MINI REVIEW VOLUME 22 (TERRIFIER 3, CUCKOO, STRANGE DARLING, SALEM’S LOT, APARTMENT 7A, WOMAN OF THE HOUR, IT’S WHAT’S INSIDE, V/H/S/BEYOND)

 

 

Edisi halloween (yang tertunda!) hahaha booo gak paten, gak paten… Jadi, edisi ini terpaksa harus telat karena masalah klasik server blog error, alhasil aku ngabisin halloween dengan berdebat di Twitter soal hasil 6:2(1+2). Anyway, edisi mini review kali ini sebenarnya paling aku antisipasi karena tahun ini horor memang lagi banyak banget. Sebulanan itu aja, aku puas hampir tiap hari nonton horor. Saking banyaknya, gak semuanya bisa tercover, karena di sini cuma muat delapan film. Maka, aku ngutamain film-film yang aku tu bener-bener pengen menyampaikan sesuatu buat filmnya. Jadi, film-film kayak Caddo Lake, Tebusan Dosa, Kuasa Gelap, Don’t Move, Bagman terpaksa enggak dulu. Mungkin bisa disempilin di edisi-edisi berikutnya.

 

 

APARTMENT 7A Review

Apartment 7A ceritanya adalah prekuel dari Rosemary’s Baby (1968). Dan Rosemary’s Baby adalah salah satu dari horor favoritku sepanjang masa. Jadiii, aku mungkin saja agak sedikit terlalu keras dalam menilai film karya Natalie Erika James ini.

For once, aktingnya gak ada yang jelek. Julia Garner sekali lagi ngasih penampilan yang solid dan meyakinkan. Tiga film dia yang kutonton, kualitas aktingnya tinggi terus, Garner salah satu yang bisa ngasih balance penampilan akting yang ‘diam’ dan yang berdialog. Karakter dan ceritanya pun sebenarnya up to standard horor modern. Aku bisa melihat penonton muda yang belum nonton film aslinya akan terhanyut ke dalam misteri, dan akan mendukung karakter Garner – Terry – karena bentukan karakternya agak beda. Alih-alih prekuel, film ini lebih cocok kalo disebut Rosemary’s Baby versi perempuan yang ngejar karir. Dari sisi karakter menarik, karena Terry gak mau punya anak – beda ama Rosemary – namun film gagal mengangkat bahasan ini. Dari sisi galian horornya, film ini terjebak menggunakan formula dan elemen-elemen film original. Terjebak di bahasan lore dan cult di dalam cerita

Alhasil, film ini juga jadi tidak banyak beda dengan cerita ‘hamil anak setan’ yang berusaha meniru Rosemary’s Baby yang sudah kita temui entah berapa kali (I’ve lost count) di tahun ini saja.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for APARTMENT 7A

 

 

 

CUCKOO Review

Cuckoo karya Tilman Singer punya metafora yang menarik sehingga ceritanya menjadi cukup aneh, yang membuat film ini menggugah rasa penasaran. Singer membicarakan soal keluarga (khususnya sisterhood) gak harus soal hubungan darah ke dalam lingkungan creepy yang dibuatnya bertema ‘burung cuckoo’ – burung yang dikenal suka menyimpan telurnya di sarang burung lain untuk ditetaskan, dan lantas anak burung yang menetas tersebut akan ‘menyingkirkan’ anak burung pemilik sarang. Dan tema tersebut benar-benar jadi semesta cerita. Anak yang asing dari orangtua, evil being yang ngeluarain suara kukuk-kukuk kayak burung – yang ultimately bisa mengacaukan memori dan persepsi waktu.

Nonton ini kayak kita sedang mimpi yang super aneh hingga kita ngerasa cuckoo – alias gila! Aku biasanya suka film aneh seperti ini. Paruh pertama Cuckoo aku pantengin dengan excitement yang tinggi. Tapi perlahan excitement itu semakin berkurang. Penyebab utamanya adalah film ini terlalu ingin memake-sensekan semua, Mastermind jahat yang diperankan oleh Dan Stevens pun terkesan berubah dari eksentrik menjadi generik type of leader genius yang gila. Bahasan kemanusiaan dari eksprimen bentrok sama konsep sci-fi absurd. Perekat cerita kini bergantung kepada karakter utama dengan adik (yang bukan adik kandung) yang bisa sewaktu-waktu berubah jadi monster. Bagian ini pun terasa kurang kuat karena yang dibuild up lebih proper di awal adalah soal Gretchen dengan ayahnya ketimbang soal Gretchen dengan adiknya ini.

Sukur film ini masih nyisain satu hal menarik di konfontrasi akhir, yakni ada tiga kubu yang berseteru alih-alih dua seperti pada cerita yang biasa.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CUCKOO.

 

 

 

IT’S WHAT’S INSIDE Review

Sekelompok teman bermain satu permainan, berakhir dengan hal mengerikan yang teramat sangat salah. Premis yang sudah cukup lumrah. Somehow,sutradara Greg Jardin berhasil membuatnya unik. Dari jenis permainannya aja dulu; bukan jelangkung, bukan permainan kartu ataupun board game. Tapi bertukar tubuh!

Film ini tahu dirinya punya konsep kejadian yang unik, yang easily bisa menangkap perhatian penonton. Tentu saja seru melihat dan ikut menebak-nebak siapa kini berada di dalam tubuh siapa. Film ini pun punya variasi penceritaan untuk menggambarkan siapa di dalam siapa. Yang bikin keren film ini bukan soal itu. Melainkan justru film gak bersandar kepada ‘kejadian’ tersebut. Film bijak untuk menghadirkan konteks alias perbincangan karakter yang membuat skenario bertukar tubuh mereka menjadi semakin menarik lagi. Konteks tersebut sebenarnya standar. Soal isu gender. Namun karena konsep dan konteks ini dipertemukan dengan kreatif jadinya tetap berbobot dan engaging. Aku sendiri berpikir karakter Shelby annoying, karena dia yang mancing-mancing. Tapi ya seru juga ngeliat ketika dia gak mau balik ke tubuhnya yang asli karena kita dibuat mengerti kecemburuannya berasal dari mana. Bentrokan dengan sudut pandang karakter lain, backstory dari karakter yang membentuk persepsi mereka, plus kefleksibelan dan kretivitas film dalam menceritakan membuat film ini tetap seru.

Sehingga judulnya itu bergaung true. Semuanya tergantung persepsi, dan persepsi itu terbentuk dari background atau lingkungan sekitar, jadi semacam paradoks kan ya?

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for IT’S WHAT’S INSIDE

 

 

 

SALEM’S LOT Review

Bukan sekali ini cerita vampir Salem’s Lot tulisan Stephen King berusaha dialihwahanakan jadi film ataupun serial.  Tapi belum ada yang benar-benar memuaskan. Bukan apa-apa, King kalo udah bikin cerita tentang satu kota, biasanya ceritanya memang panjang banget, Thoroughly bahas perspektif penduduknya, sehingga si kota jadi kayak karakter tersendiri. Itulah tantangan yang harus dijawab oleh filmmaker yang nekat mencoba ekranisasi novelnya. Gary Dauberman ngacung untuk menjawab tantangan ini. And he failed graciously.

Secara gaya pengarahan sih, Dauberman masih mumpuni. Sekuens dua anak berjalan di pinggir hutan senja hari, misalnya. Kengeriannya visualnya terasa, karena Dauberman mengambil sudut dari dalam hutan sehingga objek yang kita lihat adalah bayangan si dua anak berjalan di antara bayangan pepohonan. Well, sampai ada satu bayangan lain yang tiba-tiba muncul, menculik salah satu anak. Pak sutradara clearly punya visi horor. Efek salib menyala pun digunakannya untuk mempertegas simbol faith seseorang. Benturannya sama dengan sudah-sudah. Materi yang terlalu beragam. Film adaptasi pertama cerita ini durasinya sekitar 3 jam, film itu berusaha stay di perspektif jurnalis yang pulang ke kota Salem tersebut. Still, the wholeness of that town gak kerasa benar-benar hidup. Film kali ini, mencoba untuk lebih fluent dengan perspektif supaya kota dan aktivitasnya hidup. Tapi hasilnya, film ini justru terasa loose. Perspektif utamanya ngambang. Tokoh utamanya gak jelas siapa.

Mungkin harusnya film ini berangkat dari mencoba mengambil perspektif lain sebagai tokoh utama. Mungkin dengan begitu kita bisa dapat cerita yang lebih fresh dengan perspektif yang solid. Yang jelas, menurutku, materi se’tebal’ ini ya diapproach bukan dengan mencoba mengemulasi semua yang tertulis. Tapi lihat dari sisi banyak perspektif di buku berarti banyak pilihan bagi filmmaker untuk menghidupkan cerita seluruh kota dari perspektif utama yang mana.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SALEM’S LOT

 




STRANGE DARLING Review

Setelah menyelami berbagai persepsi dan praduga karakter dalam It’s What’s Inside tadi, coba deh langsung nonton Strange Darling. Psikologikal thriller karya JT Mollne, yang gantian bermain-main langsung dengan persepsi dan praduga kita!

Karakternya gak bernama. Inti ceritanya dibagi ke dalam enam chapter. Tapi urutannya diacak. Jadi timeline ceritanya gak linear. Yang pertama kali teringat sama aku saat nonton adalah Pulp Fiction (1994), film Tarantino itu juga dibagi per chapter dengan urutan waktu yang diacak. Pengacakan babak seperti demikian memang efektif untuk membuat setiap kejadian terasa lebih impactful, misalnya dalam Pulp Fiction yang per babaknya itu adalah karakter yang berbeda. Susunan acak membuat momen para karakter bertemu terasa lebih engaging, sehingga narasi pun juga terasa lebih nendang. Nah gimana dengan Strange Darling yang karakternya cuma dua, tanpa nama pula (yang cowok cuma dilabeli “The Demon”, dan yang cewek “The Lady”)? Yang diincar oleh film ini dengan susunan acak adalah selaman terhadap bagaimana persepsi dan praduga kita terbentuk. Untuk kemudian kita akan sensasi dramatis ketika urutan kejadian terkuak dan ternyata sebenarnya seperti apa.

Film ini menelisik isu gender lewat thriller berdarah. Cewek selalu jadi korban, cowok adalah psikopat? Belum tentu begitu, kata film ini. Susunan acak tersebut bukan pula cuma sebatas untuk bermain kejutan, bukan soal “ternyata-ternyata” doang. Sebab susunan acak tersebut paralel dengan state of mind karakter yang diperankan Willa Fitzgerald (gila banget Willa di sini, adegan sakaratul maut di epilog itu loh!) Jadi ketika susunan acak itu membuat kita katakanlah ‘tertipu’, tapi kontras dengan itu kita melihat dia sendiri percaya dan hidup dalam ‘tipuan’ tersebut. Dia percaya dia tetap victim di skenario itu. Cewek memang gak pernah salah, ya haha

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STRANGE DARLING

 

 

 

TERRIFIER 3 Review

Damien Leone kembali untuk memuaskan dahaga gore kita, while juga berhasil memperkuat posisi Art the Clown dan Sienna sebagai ikon slasher horor modern.

Kerja terbaik film ini memang di sadis-sadisan. Suasana natal berhasil film ini merahkan oleh darah. Sekuen Art minum-minum bareng sinterklas di bar itu aku suka banget. Kali ini film sepertinya benar-benar mengeksplor sisi jahat Art dan kemudian mengontraskannya dengan kesucian natal. Terrifier 3 kembali ke formula horor klasik. Kebaikan vs. Kejahatan yang disimbolkan oleh agen setan dan agen tuhan. Tapi betapapun sadisnya Art yang bahkan di film ini sampai membunuhi anak-anak – adegan openingnya aja dia nyamar jadi sinterklas dan menghadiahi penghuni satu rumah dengan tiket satu arah ke alam barzah – film tetap ‘classy’ dengan tidak sekalipun memperlihat adegan pembunuhan anak-anak tersebut secara on-cam. Gak kayak Sumala kemaren tuh. Filmmaker horor Indonesia harus banyak belajar dari film ini.

Cuma kalo dibandingkan dengan film keduanya tahun lalu, Terrifier 3 terasa kurang ‘absurd’. Pesona ganjil dan dunia surealis agak berkurang, mengalah ke sadis-sadisan yang diperbanyak. Cerita dari sisi Sienna juga kurang. Film cuma menjawab sedikit lore soal hubungan dia dan ayahnya, tapi film yang timeline ceritanya lima tahun dari film kedua menempatkan Sienna di ‘keluarga’ baru  yang membuat mainly kisah dia ‘reset’, Kembali ke soal gak mau kehilangan keluarga (lagi). Singkatnya, keberlanjutan kisah masih belum banyak, tapi film ini cukup memuaskan dengan melanjutkan feud Sienna dengan Art di lokasi yang berbeda.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for TERRIFIER 3

 

 

 

V/H/S/BEYOND Review

Makin ke sini, aku rasanya makin ilang gairah sama seri film V/H/S/. Kayak pas nonton yang Beyond ini aja. Pembukanya kan tentang dokumenter penampakan alien gitu, itu aku tertarik, tapi pas ganti segmen jadi tim penyergap nembak-nembak makhluk gitu, aku jadi bosen. Apalagi pas segmen berikutnya yang dari India tentang paparazzi dan bintang musik, duh goyang-goyang kameranya bikin capek. Secara subjektif, mungkin aku memang lagi jenuh aja sama konsep ‘rumahan’ begitu. Tapi secara objektif juga, aku males sama V/H/S/ karena selalu setengah-setengah dalam ngikutin tema.

Mestinya sekarang ini kan temanya tentang alien. Beyond, as in beyond our universe, beyond our comprehension, dsb-lah. Tapi beberapa ceritanya ya lebih mirip creature general aja. Sekalinya ada alien kayak segmen yang nyeritain sekelompok sahabat yang pesawat mereka nabrak UFO, ujungnya ya tetap kejar-kejaran creature. Makanya yang segmen dokumenter itu lebih menarik, karena kita di-engage dari misteri seputar yang mereka bicarakan di dalam dokumentasi tersebut. Sensasi eksplorasi dan discoverynya kerasa, dan dua itu adalah elemen relevan dalam cerita yang bertema ketemu dengan makhluk planet lain. Segmen “anabul” juga aku suka. Walaupun ini juga bukan exactly alien, tapi lebih ke kayak creature eksperimen dan psikopat gitu, tapi karena penceritaannya lebih absurd tapi juga lebih ‘kalem’ ngikutin ceritanya juga jadi lebih yahud. Kalo diitung-itung, dari lima cerita, aku cuma suka 2.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for V/H/S/BEYOND

 

 

 

WOMAN OF THE HOUR Review

Nah, kalo film ini kebalikannya. Aku justru excited sekali. Karena ini debut penyutradaraan Anna Kendrick! Selain akting dan nyanyi, bisa ngedirect juga, gimana gak keren tuh. Gak tanggung-tanggung juga, cerita yang ia kawangi ini ternyata berdasarkan kisah nyata. Rodney Alcala, serial killer yang beneran pernah jadi peserta dating show di televisi.

Anna Kendrick ternyata punya concern yang gede terhadap isu feminisme. Gimana perlakuan terhadap perempuan di industri hiburan, seperti film dan televisi. Bukan tidak mungkin, aspek-aspek yang ia hadirkan di sini adalah aspek yang dia ngelihat sendiri sebagai yang lama berkecimpung sebagai aktris Hollywood. Lensa berhasil membuat film ini tampak personal. Kendrick tahu persisnya feeling kayak ketika perempuan ‘dikecilkan’ jadi cuma kayak eye candy, gak boleh terlihat pintar di layar, ataupun ketika  dikuntit di lapangan parkir yang kosong. Adegan-adegan ‘predatory’ seperti begitu, sangat menyala di film ini. Seandainya Kendrick fokus di satu aspek seperti acara show dan dunia hiburan itu  saja, film ini pasti keren.

SayangnyaKendrick dapat naskah yang melebar. Actually, ceritanya punya range kurun yang luas. Mengikuti ‘kiprah’ si serial killer gondrong yang modusnya mau motret cewek-cewek untuk kontes, lalu menyorot perspektif perempuan-perempuan yang pernah bertemu dengannya. Some of them tewas. Tapi ada satu karakter yang selamat, yang kisahnya sebenarnya lebih menarik, yang bahkan film ini sendiri menjadikan kelanjutan karakternya sebagai info tertulis di penutup. Ini kan jadi sinyal kalo sebenarnya cerita si karakter ini lebih menarik. Tapi bagian tersebut dibahasnya di akhir, sementara bagian tengahnya adalah tentang dating show tadi. Jadi film ini kayak bingung sendiri memilih mana yang harusnya dijadiin utama, sehingga akhirnya memilih jalan tengah memperlihatkan semua. Yang buntutnya jadi clash, karena dengan begini berarti harusnya karakter utama adalah si serial killer karena bentukan film ini episodik dengan cuma karakter serial killer yang selalu ada di tiap ‘episode’, Cocoknya judulnya jadi Man of the Hour, atau kalo memang harus cewek-cewek, ya Womens of the Hour.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for WOMAN OF THE HOUR

 




 

 

That’s all we have for now

Maaf atas telatnya edisi halloween ini. 2024 tinggal dua bulan lagi, semoga aku bisa ngejar ketertinggalan untuk nyelesaiin rapor film akhir tahuunn

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE WILD ROBOT Review

 

“Friendship has no survival value, rather it is one of those things that give value to survival.”

 

 

Robot dan hutan, kayaknya jauh sih ya. Yang satu mesin, yang satu alami. Apa pula yang bakal dilakukan robot yang diprogram untuk meringankan tugas sehari-hari di dalam hutan yang gak ada manusia sama sekali. Tapi di tangan penulis buku Peter Brown, lalu kemudian dihidupkan jadi film oleh Chris Sanders, robot dan hutan itu bisa ketemu. Dan ketemunya itu di hati kita. The Wild Robot akan jadi lebih dari sekadar cerita tipe fish-out-of-the-water (karakter yang ditempatkan di lingkungan baru yang asing). Film animasi dengan karakter robot dan hewan-hewan di hutan ini akan membuka hati kita tentang alam, kehidupan sosial, dan bahkan motherhood. Hidup memang survival tapi film ini ngingetin yang lebih penting dari bertahan hidup itu sendiri, yakni alasan kenapa kita bertahan hidup. Our true purpose in life. Dan akhirnya, film ini akan membuat kita melawan ‘program’ kita sendiri untuk tidak menangis di bioskop.

Ada yang menekan tombol aktif Roz. Robot ini bangkit dan menemukan… tidak ada orang di sekitarnya. Yang ada malah sejumlah makhluk-makhluk berbulu dan beragam bentuknya. Sekitar Roz juga bukan gedung-gedung bertingkat, melainkan kayu-kayu besar yang menjulang. Roz kelimpungan mencari yang bisa memberikan tugas untuknya, karena sebagai robot dia memang tercipta untuk menyelesaikan tugas. Beruntung Roz adalah robot yang canggih dan pintar. Dia mempelajari bahasa para binatang supaya mereka bisa berkomunikasi. Masalahnya, para binatang di hutan itu takut pada Roz. And they couldn’t care less karena para hewan sibuk sendiri dengan urusan hidup masing-masing. Saat itulah Roz menemukan telur angsa. Telur itulah yang akan memberikan tugas untuk Roz. Membuat robot ini memulai petualangan sebagai seorang ibu bagi anak angsa yang tak bisa terbang, dari kumpulannya terbuang. Tak perlu mobil sedan itu!

Kenapa jadi puisi (salah pula puisinya!)

 

Kita sudah pernah melihat drama animasi robot yang bertindak against programnya sendiri, mesin yang supposedly gak punya perasaan tapi jadi begitu lovable dan menunjukkan cinta lebih daripada seorang manusia. Recently, kita kenal ama Baymax ataupun Wall-E. Yang bikin Roz ekstra spesial adalah ceritanya sendiri ikut berevolusi – mengalami perkembangan – seperti Roz.  The Wild Robot dimulai sebagai cerita fish-out-of-the water. Dan ini jadi set up yang efektif, membuat kita bersimpati kepada Roz. Bagian awal film ini ‘keras’.  Roz bertemu dengan hewan-hewan, mereka tidak ada di dalam datanya, Roz tidak mengerti bahasa dan perilaku mereka. Di babak awal ini kita akan kasian banget sama Roz. Karena dia dimusuhi oleh hewan-hewan tersebut. Roz mengejar mereka karena pengen dikasih tugas, tapi hewan-hewan itu balik menyerang Roz karena mereka juga punya ‘program’ sendiri dari yang Maha Kuasa, yakni bertahan hidup. Seketika film juga berhasil melandaskan gagasan utama ceritanya. Tentang bertahan hidup dan insting atau program kita sebagai makhluk.

Walaupun animasi dan fantasi yang ditujukan untuk bisa ditonton anak-anak, film ini gak lantas jadi mangkir dari persoalan realita hidup. Hewan dalam film ini bukan seperti di kartun-kartun. Burung-burung dan kelinci di film ini tidak bernyanyi riang menyambut mentari. Hewan-hewan di sini tampangnya doang yang lucu. Sikap mereka ya keras. Apatis. Karena mereka aware kematian bisa datang kapan saja. Kelaparan, kecelakaan, predator, film ini nunjukin itu dalam world-buildingnya. Hewan-hewan ini sudah biasa akan hal itu, malah ada adegan yang ngasih dialog seekor ibu possum nyebut sambil lalu aja kematian anaknya karena baru aja terjatuh ke jurang. Konsekuensi dan apa yang harus dihadapi dalam bertahan hidup ditunjukkan tanpa malu-malu oleh film ini. Membuatnya jadi punya nilai realisme yang dapat jadi pelajaran berharga bagi penonton anak-anak. Dan landasan realisme ini penting karena itulah yang nanti dijadikan sebagai landasan emosional oleh film. Pertemuan-perpisahan. Kelahiran-kematian. Urusan ketika nanti Roz membesarkan Brightbill, si anak angsa, membuat film berevolusi menjadi cerita motherhood yang menyentuh. Roz seketika menjadi relatable bagi para ibu (meskipun tidak terbatas kepada ibu, karena seorang ayah pun bisa menjadi erat dengan anaknya considering context film ini no matter dia yang ngelahirin atau bukan). Tidak ada program yang terpasang di dalam Roz tentang membesarkan anak, tapi begitu momen dia memungut telur, dia harus belajar sendiri bagaimana merawat, menjaga, dan nanti membesarkan anak tersebut hingga dewasa. Ini kan sama kayak manusia. Gak ada seorang pun yang tahu cara menjadi orang tua yang baik. Kita sebagai manusia malah enggak tau kita ini hidup purposenya apa. Namun ketika tanggungjawab itu datang, kita tahu kita harus mengemban sebaik-baiknya. Kita tahu kita harus belajar. Dan tahu harus bersiap sama pengorbanan yang pasti akan datang mengikutinya.

Berbeda dengan Roz yang sudah punya program untuk menyelesaikan tugas, kita dan para hewan tidak tahu tujuan hidup kita apa. Kita cuma tahu kita harus bertahan hidup. Gimana caranya harus kita pikirkan sendiri. Yang jelas Fink, rubah teman Roz bilang, kebaikan bukan alat untuk bertahan hidup. Dunia begitu keras. Kita gak bisa kenyang dengan berbuat baik. Kita gak bisa punya duit dengan berteman.Hal tersebut mungkin memang benar. Tapi yang diingatkan oleh film ini adalah kebaikan dan persahabatan memang bukan alat untuk bertahan hidup, tapi dua hal tersebut adalah value yang membuat bertahan hidup menjadi tujuan hidup kita in the first place.

 

Tema pengorbanan membuat film berevolusi sekali lagi. Dan ini adalah wujud terakhirnya yang sempurna. The Wild Robot bukan semata tentang Roz dan Brightbill. Sebagaimana yang diset up oleh babak awal, ini adalah tentang komunitas sosial hutan tersebut. Roz dan Brightbill – robot yang membesarkan angsa cacat – jadi bahan pembicaraan di hutan. Hewan-hewan awalnya memandang mereka sebagai keluarga yang aneh, tapi pencapaian Roz dan keberhasilan Brightbill terbang menyentuh mereka. Puncaknya adalah ketika musim dingin ekstrim datang, Roz mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan semua hewan. Pengorbanan yang mengetuk hati semua hewan. Mereka sadar akan value dari persahabatan dan kekeluargaan di atas insting bertahan hidup. Di babak akhir, film memang jadi gede, karena ada bahasan ‘perang’ melawan robot-robot lain yang datang untuk membawa Roz pulang, tapi ini bagian yang paling optimis dan paling hangat buatku. Melihat para hewan bersatu padu itu rasanya jumawa sekali. Triumphant. Keberhasilan elemen akhir ini tercapai karena film benar-benar membuild up hutan dan warganya sedari awal. Sebagai background, mereka tetap dicuatkan. Film ini jadi punya feel kayak cerita-cerita Stephen King yang selalu berhasil menghidupkan kotanya menjadi karakter sendiri, lengkap dengan warga dan kebiasaan hidup mereka.

Hutan yang dihuni oleh aktor-aktor berkelas semacam Lupita Nyong’O, Pedro Pascal, Mark Hamill

 

Gak keitung deh momen-momen berkesan yang hadir di film ini. Sebut saja mulai dari Roz ngajarin Brightbill terbang, Roz dikasih kaki kayu dari berang-berang yang tadinya takut sama dia sebagai ganti kakinya yang rusak, Roz nolongin beruang yang jadi musuh semua hewan di tengah salju dengan kondisi baterai yang udah kritis, semua hewan bersatu padu mengalahkan robot-robot, Roz ngeliat Brightbill yang udah baru balik dari migrasi tapi urung karena tugasnya udah selesai dan anaknya sukses jadi dewasa. Semuanya bakal ngulik-ngulik emosi kita. Dan itu aku belum nyebut gaya animasinya. Wuih, semuanya colorful dan terasa punya keunikan. Setiap frame berasa mencuat, film yang ngembangin latar sebagai karakter akan otomatis menjadi sangat detil di visual, dan itulah yang persisnya dilakukan oleh The Wild Robot. Aku sendiri gak nyangka, pas awal nonton mikir ah, ini tokohnya robot gak punya perasaan, pasti gak sedih-sedih. Tapi ternyataaa… Film juga gak ngasih akhir journey yang cartoonishly happy. Journey Roz justru terasa dalem. Pas di tengah film udah bukan soal lagi gimana film ngasih hati ke cerita yang tokohnya robot yang cuma punya program. Pertanyaannya jadi berapa dalem film ngasih sensasi emosional tersebut. Roz belajar untuk mengoverride programnya sendiri. Demi perasaan. Demi pengorbanan.  Journey Roz circled back dari dia yang tadinya nempel terus nagih dikasih tugas, berubah menjadi sebaliknya dia tahu sudah tugasnya menjaga sesama warga hutan jadi dia pergi supaya mereka aman.

 




Denger-denger bukunya ada tiga seri, jadi mungkin film ini bakal ada sekuel. Tapi yang jelas, film ini gak lantas menjadikan itu alasan untuk ‘menggantung’ ceritanya. Roz di sini punya akhir cerita yang complete. Karakter-karakter lain juga punya journey yang tuntas. Sementara di backgroundnya, film membiarkan banyak pintu pertanyaan tetap terbuka. Ini adalah cara yang tepat untuk menyelesaikan bagian pertama. Treat it as one complete story first. Di atas kertas, karakternya boleh saja diprogram untuk gak punya perasaan, tapi semua aspek di film ini seperti menguar oleh perasaan, Cerita yang dalam dan berevolusi mengembangkan lapisannya, karakter dengan journey menghangatkan, vibe yang kartun tapi juga realistis dan gak sugar-coating anything. Benar-benar film animasi yang menakjubkan.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for THE WILD ROBOT.

 




That’s all we have for now.

Sekilas diperlihatkan gimana dunia di luar hutan Roz, ada paus yang berenang di atas bangunan yang kayaknya jembatan, video kota canggih tentang satu keluarga yang punya peliharaan anjing robot. Menurut kalian apa yang terjadi di dunia cerita ini?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE SUBSTANCE Review

 

“We carry our own worst enemies within us.”

 

 

Kalo kemaren di Joker: Folie a Deux (2024) kita ngomongin gimana satu orang bisa kejebak di antara dua persona sampai-sampai dia sendiri bingung siapa diri dia yang sebenarnya, maka kali ini Colarie Fargeat ngajak kita ngobrol soal keadaan yang seperti sebaliknya. Apa yang terjadi ketika satu ‘diri’ punya kesempatan untuk hidup di dua tubuh. Akankah dia memilih tubuh yang baru, yang lebih sempurna, dan meninggalkan tubuh lama nan renta-nya selamanya?  Pembahasan soal body image dan industri yang demand-nya memang pada kemudaan dan kecantikan jadi substansi di balik sajian psyhcological plus body horor, yang pada akhirnya juga membuat film The Substance ini jadi dark comedy. Karena nonton film ini kita bakal nyadar bahwa mungkin hater terbesar kita memang adalah diri kita sendiri.

Elisabeth Sparkle adalah bintang Hollywood, cuma sinarnya udah redup. Ketenarannya merosot seiring bertambahnya usia. Rating acara fitnessnya turun karena dianggap ketinggalan zaman. Pihak studio sudah siap untuk mencari casting baru, yang lebih muda tentunya. Mereka mencari “The next Elisabeth Sparkle”. Melihat billboardnya diturunkan untuk informasi casting tersebut membuat Elisabeth nekat. Dia setuju untuk mencoba sebuah serum misterius yang katanya bisa membuat orang mendapatkan versi terbaik dari diri mereka. Literally! Dengan serum itu Elisabeth punya tubuh kedua. Yang lebih muda, dan jauh lebih cakep. Dia memanggil dirinya Sue ketika dalam tubuh muda ini. Sue inilah yang lantas jadi host baru acara tv pengganti Elisabeth. Sejumlah aturan petunjuk pemakaian serum harus dipatuhi olehnya. Di antaranya, setiap tujuh hari dia harus kembali ke tubuh aslinya, selama tujuh hari juga. Namun ketika sudah mencicipi kemudaan dan pemujaan baru dari orang-orang sekitar, tujuh hari jadi terasa lama. Sue mulai ‘mencurangi’ Elisabeth. Dia menyabotase dirinya sendiri. Dan kemudian efek mengerikan itu datang. Tubuhnya mulai membusuk dan ‘gugur’ perlahan.

Unboxing serum bukan sembarang skincare.

 

Siapa sih yang gak mau punya wajah cakep dan tubuh yang lebih muda? Dari sini film mengambil kedekatan karakternya dengan penonton, membuat Elisabeth simpatik despite her immediate faults. Menurutku pemilihan karakterisasi cerita ini sangat tepat. Karena meskipun semua orang pengen terus muda, cerita ini akan jadi shallow ketika misalnya tokoh yang diambil adalah perempuan yang biasa-biasa aja atau apalagi yang punya masalah berat badan. Shallow karena itu bakal membuat film terkesan ngejudge karakternya. Sebaliknya, film ini jadi tampak bijak dengan mengambil sudut pandang dari seorang bintang Hollywood yang sudah lewat masa emasnya. Motivasi Elisabeth yang arguably selfish itu jadi beralasan. Karena dia adalah orang yang secara first-hand tahu seberapa penting untuk stay awet muda di industri yang pergantiannya cepat seperti Hollywood. Sehingga film pun jadi punya kekuatan untuk sekalian menelisik industri Hollywood itu sendiri, bukan hanya ‘menghukum’ karakternya.

Hal tersebut membuatku jadi sekali lagi membandingkan film ini dengan sekuel Joker kemaren. Film tersebut membuat Arthur Fleck bernasib naas untuk menuding kita sebagai bagian dari society yang mengelukan sosok Joker dan kita berharap si Arthur mau menjadi sosok tersebut. Film itu memperlihatkan gimana society mendukung lalu lantas meninggalkan Arthur, tapi tidak pernah benar-benar membahas tentang society itu sendiri. Padahal Arthur dikembangkan sebagai akibat dari demand society tersebut. Sementara itu, The Substance memperlihatkan gimana industri basically menjadikan syarat muda dan menarik untuk bisa survive, bahwa kita – penonton – adalah bagian dari industri tersebut (bagaimana pun juga mereka mendengarkan apa yang penonton minta), tapi Elisabeth/Sue tidak pernah digambarkan hanya sebagai akibat dari industri tersebut. Film ini memperlihatkan both. Bahwasanya industri itu toxic, lewat penggambaran karakter produser yang cartonish (as opposed to gimana Harlee Quinn digambarkan abu-abu padahal manipulatif di sekuel Joker), sekaligus juga memperlihatkan konflik personal Elisabeth/Sue yang haus akan ketenaran dan gak mau nerima kenyataan sampai-sampai dia membenci dirinya sendiri yang menua. Dinamika Elisabeth dan Sue dengan brilian terus dipijakkan kepada kenyataan bahwa mereka ini adalah satu orang, sehingga tema soal ketidakpuasan – atau malah kebencian – terhadap diri sendiri tetap menjadi flaw karakter yang membuat cerita ini tetap menjadi kisah yang aktif sebagai galian dan pilihan karakter Elisabeth tapi tetap dengan muatan kritik terhadap dunia industrinya.

Kita adalah musuk terbesar diri kita sendiri. Bahasan film ini sebenarnya sangat dalam ketika memperlihatkan kontras antara kehidupan Sue dan Elisabeth padahal mereka sebenarnya adalah orang yang sama. Keduanya akhirnya menjadi musuh, saling benci, saling sabotase karena Elisabeth/Sue memandang diri mereka yang lain sebagai sesuatu yang mereka benci dari diri mereka. Elisabeth iri dengan kemudaan Sue, dan Sue jijik dengan ketuaan dan ketidakberdayaan Elisabeth. Deep inside, ini adalah Elisabeth tidak menerima dirinya sendiri.

 

Demi Moore sebagai Elisabeth (tubuh asli yang tua) dan Margaret Qualley sebagai Sue (tubuh muda) adalah perfect cast yang sepertinya juga meta melihat dari ‘kesenioran’ mereka di Hollywood. Keduanya beneran jago menangkap vibe yang tepat untuk menghidupkan cerita dan karakter mereka. Terutama Demi Moore yang dapat tantangan range sedikit lebih luas. Dia nelangsa tapi gak over-drama. Lalu dia nekat. Lalu terasa weak dan vulnerable ketika ‘dicurangi’ oleh dirinya sendiri. Lalu berontak dan broke down. Sementara itu Sue-nya Margaret Qualley come off seperti anak muda yang penuh passion dan ambisi, tau apa yang dia mau, dan juga nekat karena Sue adalah reseprentasi diri Elisabeth yang optimis dan pede kembali – dan dia sudah pernah menjalani itu semua. Dan keduanya sama-sama kentara punya denial, sama-sama ngerasa benar saat menjadi masing-masing. Makanya film ini kuat sekali sebagai cerita yang bahas psikologis. Padahal durasinya udah panjang banget, tapi kita merasa masih pengen masuk menyelami Elisabeth/Sue ini.

Buat Elisabeth, si Sue itu lama-lama jadi Su-we’

 

Penceritaan film memang begitu luwes sehingga dua jam setengah itu jadi tak terasa. Ketika butuh untuk menjelaskan aturan serum saja, film ini tidak lantas terseok jadi momen eksposisi yang annoying. Kita tetap dibuat engage oleh permainan editing serta gerak kamera. Ketika meng-setup Elisabeth sebagai bintang lawas yang kini sudah mulai dilupakan pun, film ini tidak serta merta nyerocos ataupun memperlihatkan flashback panjang lebar mengenari karir Elisabeth. Melainkan cukup dengan memperlihatkan bintang Hollywood si Elisabeth, Semacam time-lapse sederhana dari gimana ubin bintang tersebut dicetak, dikagumi orang, hingga jadi retak-retak dan gak ada lagi yang peduli. Set up yang efektif ini yang bikin kita tahu bahwa penceritaan film ini bakal unik. Kita juga jadi siap-siap tatkala momen body horor ataupun bahkan momen creature nya nanti hadir. Film cukup mengclose up seekor lalat di dalam gelas, dan kita sudah terwanti-wanti ini film at least bakal jadi se-‘jijik’ The Fly (1986). And it did. Beruntunglah film ini panjang sehingga makanan kita sudah habis saat bagian body horor-nya datang. Proses ‘kelahiran’ Sue, proses pengambilan cairan sumsum tulang belakang, momen Elisabeth menyadari ada anggota tubuhnya ternyata udah kayak bangkai, hingga ke aksi-aksi brutal di bagian belakang dan satu lagi kelahiran makhluk – aku cuma bisa bilang film ini sangat memuaskan penggemar horor. Vibe dark comedynya juga sangat mulus membayangi. Seolah film juga turut menjadi semakin edan bersama dengan perkembangan Elisabeth.

Aku sendiri tergelitik sama term “versi dirimu yang sempurna”. Buatku term ini sebenarnya bisa bermakna lebih dalam. Saat menonton aku kepikiran, kalo aku yang biasanya suka sial ini memakai serum itu, diri satu lagi yang terlahir pasti belum tentu aku versi lebih tinggi, rambut lebih tebal, mata gak minus, lidah gak cadel, dan sebagainya. Bisa jadi yang muncul adalah aku yang botak, lebih kontet, mata lebih minus, hanya mungkin otaknya yang lebih cemerlang. Atau ngerinya lagi, mungkin diri yang lahir punya jari yang lebih banyak supaya bisa ngetik lebih cepat dan bisa ngepost review lebih banyak dalam sehari. Maksudku, who knows kan, ‘versi sempurna’ diri kita itu dilihat dari apa. Siapa yang menentukan apa yang sempurna. Gimana kalo sempurna itu berarti kita tidak mesti punya tangan dan kaki, tapi punya sayap. Menurutku term ini punya potensi untuk digali lagi. Dan maka itu juga aku surprise ketika film masuk babak ketiga. Dan ternyata memang film ini menggali “diri yang sempurna” itu ke dalam perwujudan lain dari Elisabeth/Sue. Lantas film ini jadi chaos, for the better. Menurutku babak akhir film ini benar-benar nendang, ‘stylish’, dan menutup cerita dengan sangat membekas. Semuanya mendapat ‘ganjaran’ termasuk industri entertainment itu tadi. I wouldn’t have it any other way.

 

 




Bener-bener diperlihatkan tuh di sini, gimana ekspektasi sosial mampu mendorong seseorang menjadi sesuatu yang bahkan dia tidak mengenal siapa dirinya lagi. Gimana orang bisa membenci dirinya hanya karena ngikutin maunya orang lain. Aku suka film ini tetap pada jalurnya, yaitu membahas dari perspektif karakter. Menggali dari sana. Tidak berubah haluan jadi membahas asal muasal serum atau misteri pembuat serumnya, misalnya. Oh itu bakal jelek dan kosong banget pasti haha… Film Joker 2 kemaren mestinya meniru penceritaan film ini. Gimana film ini berhasil menggunakan konsepnya, yaitu body horor, sebagai penguat cerita. Menyokong pengalaman mengerikan yang ingin disampaikan. Gimana membentuk cerita tragis sehingga gak jadi ngejudge, melainkan menjadi selaman berbobot yang menyeluruh mulai dari karakter hingga ke dunianya yang punya masalah yang sebenarnya ditarik dari problem sosial beneran. Film ini berhasil, meskipun tergolong sebagai genre, tapi tetap sebuah genre dengan bahasan substansi yang kuat.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE SUBSTANCE.

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang standar kecantikan yang bakal terus menghantui industri atau dunia hiburan?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



JOKER: FOLIE A DEUX Review

 

“Didn’t someone say love is a shared delusion?”

 

 

Lima tahun lalu dipuja-puja, tapi sekarang berbalik menjadi cemo’ohan.  Enggak, aku bukan lagi ngomongin presiden kita. Melainkan lagi ngomongin Joker. Adaptasi villain superhero versi Todd Phillips. Sekuelnya ini memang telah benar-benar membuat Joker jadi bahan tertawaan. Penonton casual dan kritik sepakat film ini gagal menghadirkan bukan hanya adegan musikal, tapi terutama juga gagal menghidupkan karakter titular yang sudah dikenal dan dinanti kegilaannya oleh banyak orang. Ya, sumbernya dari tidak sesuai ekspektasi. Dan ekspektasi itu sendiri, terbentuk dari image yang ditampilkan. Orang berpenampilan sederhana akan membuat kita mengharapkan dia sebagai pemimpin yang merakyat, misalnya. Badut teraniaya yang akhirnya mengambil aksi seperti Joker, akan membuat kita mengantisipasi dirinya sebagai anti-hero. Joker: Folie a Deux gagasannya memang pada shared ekspektasi seperti itu, yang diperkuat dalam tingkat ekstrim sehingga yang tadinya ekspektasi berubah menjadi sebuah delusi yang dirayakan bersama. Membuat film ini toh tak kurang sebagai sebuah kebrilianan-edan juga jika kita melihat kemampuannya bercerita dalam level meta.

You brought make up..“,”I wanna see the real you.” Saat menonton, kata-kata Harley Quinn-nya Lady Gaga kepada Arthur Fleck-nya Joaquin Phoenix tersebut terdengar kayak buat nunjukin kegilaan mereka sebagai pasangan aja. Sama juga seperti ketika Lee ngerokok terus kalimat berikutnya yang dia ucapkan adalah ngasih tahu kepada Arthur bahwa dia lagi hamil. Aku ketawa, kupikir ni orang memang sinting. Tapi perlahan konteks film mulai mencuat. Koneksi dengan kartun Joker dan bayangannya di prolog pun akhirnya terlihat. Ini cerita tentang Arthur menemukan kembali siapa dirinya yang sebenarnya. Apakah dirinya yang sebenarnya adalah Arthur tanpa make up, atau dia adalah Joker dengan riasan badutnya. Arthur diceritakan sedang menyongsong sidang. Perbuatannya di film pertama – membunuh lima orang, salah satunya dalam siaran langsung televisi – membagi dua rakyat. Ada yang takut, ada yang kagum. Penuntut ingin Arthur dihukum mati sebagai pertanggungjawaban, namun pembela berargumen Arthur punya kelainan jiwa. Jika ingin bebas, Arthur harus ikut ‘skenario’ tersebut. Bahwa ada persona lain – si Joker – di dalam dirinya sebagai tanda dia bukan orang yang sehat. Keadaan menjadi pelik ketika Arthur jatuh cinta kepada Lee, yang ia temui di bangsal. Lee dan semua pendukung di luar sana bersikeras the real Arthur adalah Joker yang melakukan kejahatan. Mereka justru love him for that.

Ini bukan cerita tentang dua orang edan yang saling cinta. Ini cerita tentang dua orang yang merasa saling cinta karena mereka edan, as in edan karena mereka berbagi delusi yang sama. Delusi tentang sosok Joker. Film Todd Phillips ternyata bukan tentang orang bernama Joker, melainkan tentang Joker sebagai sosok, dan pengaruh sosok tersebut  kepada satu orang yang ‘menciptakannya’ serta pengaruh sosok tersebut kepada manusia lain yang mengidolakannya.

Beri makna baru pada cinta bisa mengubah manusia

 

Jadi, Arthur dan Lee shared this delusion bahwa mereka sedang saling jatuh cinta. Padahal sebenarnya. keadaannya cukup berbeda. Arthur cinta sama the idea sekarang dia punya pasangan, yang memperhatikan dan peduli kepadanya bahkan dalam persona tergelap dirinya sekalipun. Sementara Lee, dia cinta sama idea bahwa Arthur adalah sosok Joker yang bakal menjungkirbalikkan Gotham. Actually Lee juga shared delusion dengan orang-orang di jalanan kota, termasuk dengan kita. Kita love the idea of Joker; dengan sosok “Joker” sang anti-hero. Di sinilah cerita film ini jadi kompleks. Dengan berpijak kuat pada perspektif Arthur, cerita ini seperti memeriksa fenomena ketika seseorang dielukan sebagai sebuah sosok atau gagasan, padahal itu bukan siapa diri dia yang sebenarnya. Garis blur diberikan film ini kepada Arthur dalam berusaha memaknai siapa dirinya yang sebenarnya. Makanya film ini kayak gak maju-maju secara kejadian. Kebangkitan Joker yang kita tunggu-tunggu tidak pernah ada. Adegan-adegan komikal nan brutalnya hanya sebagai adegan di dalam kepala Arthur. Pria menyedihkan ini bermula di penjara, dan berakhir di penjara juga. Semua aksi dan development journey itu terjadi di dalam psyche Arthur. Buatku naskah film ini masih brilian menjabarkan perkembangan psikologis Arthur Fleck. Gimana dia tadinya memandang dirinya, gimana dia merasa ada yang cinta sama dia sebagai suatu kebutuhan karena selama ini dia diabaikan bahkan oleh ibunya sendiri, gimana dia percaya dia gak salah karena yang melakukan semuanya adalah Joker, gimana dia percaya Joker adalah jalan keluar, dan berakhir dia mengakui bahwa there’s no ‘Joker’. Ini jelas bukan journey yang menyenangkan, dan itu beneran terefleksi kepada filmnya. Sehingga filmnya ngasih bad taste pada kita. Kita ‘meninggalkan’ Joker sebagaimana Lee tidak lagi datang mendukung sidang.

Pil pahit satu lagi yang harus penonton telan karena bikin film ini jadi tampak boring adalah bentuk atau konsep penceritaan yang mentok banget, Courtoom drama dan musikal. Elemen musikal sebenarnya telah digunakan sedari film pertama. Musik sebagai bentuk dari seni pertunjukan telah diestablish sebagai eskapis psikologis Arthur. Menekankan bahwa dia ‘mendengar’ musik yang tak bisa orang lain dengar di dalam kepala. Makanya musikal di sini juga tidak dibuat blur mana yang nyata, mana yang tidak. Kita akan selalu bisa membedakan mana yang interaksi musikal beneran, mana yang bukan. Karena adegan musikal dalam film ini ditujukan supaya kita mengerti apa yang terjadi di dalam Arthur. Apa yang dia rasakan terhadap sesuatu. Sekali lagi, yang didesain untuk blur di sini adalah gimana Arthur memandang dirinya – siapa yang menurutnya ‘dirinya’ yang nyata. Secara eksekusi, jelas momen musikal yang paling asik itu hadir ketika pikiran Arthur melebur dengan kenyataan, seperti ketika dia membayangkan nyanyi pembantaian di ruang sidang. Tapinya juga karena niatnya tidak pernah untuk memblurkan, adegan musikal di film ini memang terkesan repetitif dan membosankan. Seperti sisipan pengejaan feeling ataupun psyche yang sudah bisa kita mengerti, sehingga adegan-adegan tersebut juga terasa mengganggu tempo.

Adegan di persidangan sebenarnya seru. Ada penaikan tensi ketika Arthur memecat pengacaranya dan mutusin untuk represent himself. Lantas esok harinya dia muncul lengkap dengan dandanan Joker. Sepertinya sudah ready untuk bikin ‘onar’ persidangan. Namun kemudian dialog Arthur dengan salah satu saksi dari film pertama di persidangan tersebut menambah pada value emosional cerita ini. Menurutku kalopun film ini cuma punya bagian courtroom drama, kayaknya itu udah cukup. Tapi ya ambisi Todd Phillips untuk ngasih sequel yang berbeda dan nyata-nyata jelas lebih beresiko memang pantas untuk kita apresiasi.

Si Harvey Two-Face jadi penuntut untuk kasus orang dengan dua kepribadian hahaha ironis

 

Perhaps, dosa terbesar sekuel Joker ini adalah menghukum karakternya alih-alih society yang mengelukannya for the sake of delusion tanpa sama sekali mempertimbangkan bahwa dia adalah karakter yang terus ‘tersiksa’ dan ‘diabuse’ dan ‘diperalat’ sampai semua itu broke him apart. Mungkin bisa jadi itu yang dipermasalahkan oleh penonton, bukan semata karena Arthur ternyata bukan Joker yang kita bayangkan. Kritikan sosial yang diusung oleh naskah yang punya kekuatan meta ini jadi hanya seperti dimainkan untuk shock value sehingga akhirannya membuat film seperti menuding penonton. Karena setelah melihat penyadaran Arthur, kita dibikin terputus bukan hanya dengan karakter ini melainkan juga dengan film keseluruhan. Film tidak pernah memeriksa balik society yang ‘menghukum’ Arthur for memilih dirinya ketimbang jadi sosok Joker. Sehingga ketika kita tidak lagi in-line dengan karakter manapun di dalam cerita, film jadi seperti bicara langsung kepada kita alih-alih society yang tadinya disimbolkan sebagai kita. Bahwa “penghukuman” yang didera Arthur adalah akibat dan we should feel bad. Jika melihatnya seperti demikian, film ini memang terasa kurang berimbang dan jadi ngasih shock value untuk menghakimi daripada untuk examine thoroughly dan mengajak berdiskusi. Bagaimana pendapat kalian, mengapa Joker: Folie a Deux yang sebenarnya punya bahasan psikologis personal dan kolektif ini malah balik dicerca? Mengapa penonton tidak puas? Pasti bukan semata karena musikalnya gak sesuai ekspektasi dong kan? Silakan share pendapat kalian di komen yaa

 




Jika ada dua hal yang bisa kita pelajari dari Arthur Fleck maka pertama adalah tidak jadi soal apa yang ingin kita tampilkan, melainkan yang penting adalah  bagaimana kita mengeksekusinya.  Enggak jadi soal seberapa menarik materi dan konsep dan development yang cerita dan karakter kita punya, jika penceritaannya masih kurang luwes ya cerita tersebut hanya akan masih ada sebagai gagasan semata. Dan hal kedua adalah gagasan terhadap sesuatu akan make or break sesuatu tersebut meskipun itu bukan dirinya yang sebenarnya. Film ini jadi meta seperti itu. Dia ingin menunjuk penonton tapi barangsiapa menunjuk orang lain, maka empat jarinya akan menunjuk dirinya sendiri. Film ini punya gagasan yang begitu brilian tapi penceritaannya belum mampu menghantarkan semuanya dengan sempurna kepada penonton. Penceritaannya masih kurang berimbang, sehingga bahkan konsep musik psikologis dan drama courtroomnya masih terasa mentok dan justru merusak tempo.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for JOKER: FOLIE A DEUX

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 21 (HOME SWEET LOAN, MAHARAJA, LAURA, SUMALA, KANG MAK, RIDDLE OF FIRE, BLINK TWICE, BADARAWUHI DI DESA PENARI)

 

 

Sori beribu sori dua bulanan ini konten reviewnya sepi. Nontonnya sih tetep jalan, cuma memang waktu untuk nulisnya yang semakin sempit. Kudu disempet-sempetin. Untung kali ini dapet waktunya, inilah film-film bulan Agustus dan September yang dirapel, beberapanya mungkin sudah ditunggu karena memang crowd’s favorite. Semoga Volume ini tidak diamuk massa haha..

 

 

BADARAWUHI DI DESA PENARI Review

Badarawuhi adalah peningkatan dari film pertamanya. Tapi mengingat film KKN di Desa Penari (2022) itu memanglah teramat bobrok, maka peningkatan pada sekuel ini sebenarnya adalah keharusan. Tuntutan yang kudu dipenuhi. Karena kebangetan kalo masih kayak gitu juga!

Peningkatan film ini ada pada pengarahan horornya. Kimo Stamboel yang kali ini di kursi sutradara. Kimo membawa ceritanya ke arah yang lebih personal bagi karakternya. Gadis yang mencari kesembuhan ibunya (dari penyakit yang sepertinya kutukan) ke desa terpencil tempat asal sang ibu. Horornya jadi turun temurun as gadis itu mungkin harus menyerahkan dirinya kepada Badarawuhi sebagai ganti ibunya. Jadi Kimo di sini bermain-main dengan mistisnya sosok Badarawuhi yang dia bikin menyelimuti satu desa, lewat mata karakter utama. Durasi panjang film ini kebanyakan disebabkan oleh Kimo benar-benar ngasih momen yang extended perihal penampakan atau kemunculan sosok Badarawuhi. Misalnya ketika hantu itu ‘menarik’ Mila ke kolam. Atau adegan nari mistis yang harus dilakukan sebagai ritual. Film ini lebih atmosferik ketimbang film pertamanya yang bland.

However, film ini masih halfway there. Sebagian besar waktu film ini masih terasa generik, jinak, dengan alur yang masih bisa dikembangkan lebih jauh lagi. Ini mengecewakan mengingat film ini tayang internasional.Badarawuhi punya potensi untuk jadi ikon horor modern, tapi filmnya harusnya berani embrace sisi gelap horor legenda. Afterall, horor 80an kita bisa dapat status cult di luar sana apalagi kalo bukan karena ‘keliaran’ cerita dan efeknya.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BADARAWUHI DI DESA PENARI

 

 

 

BLINK TWICE Review

Menjawab tag linenya. no, I’m not having a good time. Tapi itu bukan karena filmnya parah, melainkan justru itu bukti kalo psychological thriller ini berhasil bikin aku gak nyaman. Bukti dalam debut penyutradaraannya ini, Zoe Kravitz berhasil ngangkat cerita perempuan di dunia laki-laki, dunia yang suka semena-mena dan ena-ena dengan power, beneran kerasa urgen dan relevan.

Basically sebenarnya konsep thriller ini sederhana. Karakternya yang diundang oleh milyuner idolanya untuk bersenang-senang di pulau private – hal yang seperti too good to be true, yang lantas memang ada hal mencurigakan di baliknya. Ada momen-momen yang gak bisa diingat Frida, dan momen-momen itu seperti red flag tapi yah, gak ada satupun yang ingat sampai semua terlambat. Naturally kita sebagai penonton akan menatap layar lekat-lekat berusaha menangkap clue apa yang exactly happened kepada Frida dan para tamu. Arahan Zoe membuat konsep ini jadi ‘berbeda’. Zoe beneran gak ingin kita ngedip. Adegan yang banyak close-up dan cut-cut yang begitu abrupt, itulah yang kita pelototi. Ngasih  sensasi gak nyaman yang relevan dengan ceritanya.

Untuk tone atau voice, Zoe berusaha untuk imbang meski memang ceritanya tentang gender. Kekuasaan semena-mena pria terhadap wanita. Suara-suara berimbang dihadirkan lewat karakter yang memang banyak di dalam cerita. Misalnya ada karakter cowok yang sebenarnya gak ikut-ikutan, tapi dia juga itungannya complicit karena gak ngelakuin hal yang benar. Ataupun ada karakter cewek yang justru membenarkan kelakuan karakter Channing Tatum untuk suatu alasan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BLINK TWICE.

 

 

 

HOME SWEET LOAN Review

Bukannya mau jadi pick-me atau gimana, tapi Kaluna dalam karya terbaru Sabrina Rochelle Kalangie, Home Sweet Loan, kurang terlalu relate buatku. Dan itu mungkin karena aku tipe perantau. Dan tipe perantau biasanya selalu kangen balik ke rumah, sesumpek atau sedrama apapun. Dan ya, lebih relate ke umang-umang yang kemana-mana bawa rumahnya sebenarnya…

Tapi sebodo amat aku relate atau enggak, toh naskah film ini memang kentara kuatnya. Nice banget gimana ceritanya mengarahkan Kaluna yang sedari awal ‘berjuang’ karena ingin punya rumah sendiri, namun ketika kesempatan itu ada dia jadi malah harus memilih antara ambil rumah itu atau menggunakan tabungannya untuk menyelamatkan keluarga yang dia ingin terbebas dari mereka sejak lama. Dari perspektif penulisan, ini adalah bentukan karakter dan drama yang kuat. Bumbu pedes sebenarnya, yang bikin mata kita berair sebenarnya, datang dari drama yang membuat Kaluna ingin hidup sendiri. Drama dengan keluarganya. Terkait posisinya sebagai si bungsu yang kerap ‘dikecilkan’ atau di-overlook peranannya oleh keluarga besar.

Menurutku ini film Sabrina yang paling enjoyable sejauh ini. Walaupun aku gak relate, tapi kerasanya ‘honest’ aja gitu filmnya. Lagu latarnya gambarin keadaan Kaluna lebih dalam lagi. Ngomongin lagu, aku jadi teringat penggalan lagu Alessia Cara pas nonton ini “The house that you live in don’t make it a home”. Pengadeganan film ini juga dibikin grounded, dengan juga masih mampu menambahkan bumbu jenaka. Kayak pas lagi makan malam di meja makan sederhana mereka, lalu kakaknya sambil nyuapin anak nanya gimana hubungan Kaluna ama pacarnya. Reaksi mereka sekeluarga mendengar jawaban Kaluna terasa real tapi juga lucu karena si anak malah kelupaan disuap, sendoknya masih gantung di udara di depan mulut mangapnya. Film ini cuma terasa agak goyah saat mencapai akhir, dengan resolusi pindah-kerja yang bikin jadi kayak “how’s that add to the story?” gitu.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HOME SWEET LOAN

 

 

 

KANG MAK (FROM PEE MAK) Review

Ngeremake film luar yang populer tampaknya masih jadi strategi andalan Falcon Pictures. Kali ini Herwin Novianto ditunjuk menyutradarai komedi horor asal Thailand. Pee Mak, diadaptasi jadi Kang Mak. Dan bisa dibilang ini juga remakenya asal-mirip-doang.

Yang lebih baik dilakukan oleh film ini daripada film aslinya adalah pace atau tempo. Kang Mak terasa punya pace yang lebih baik karena membuang beberapa adegan komedi yang tidak relevan dari film aslinya (misalnya adegan main charade atau tebak kata) sehingga Kang Mak bisa lebih segera menuju ke drama atau hati cerita dan gak melulu bikin capek di komedi teriak-teriak ngebahas siapa yang sebenarnya hantu. Tapi selain itu, film ini ya plek-ketiplek sama. Tidak ada muatan baru atau lokalisasi penting yang dilakukan. Film ini masih seperti ada di Thailand, ketimbang di tanah Sunda. Komedinya memang ada yang direwrite, tapi itu juga sama aja garingnya dengan film aslinya, sehingga ya tidak menambah poin juga. Perspektif cerita pun tidak diperbaiki, Kang Mak juga sering pindah-pindah dan gak punya tokoh utama yang jelas. Karena konteks film aslinya yang berantakan itu masih dipakai; apakah ini cerita tentang Mak yang harus nerimo istrinya telah meninggal, apakah ini tentang dilema istrinya di antara dua dunia, atau apakah tentang teman-teman yang berusaha ngasih kebenaran. Cerita ini bisa lebih terarah jika mengambil salah satu, bukan amprokan tentang semuanya

Ngomongin soal adaptasi, aku ngeliat ini jadi ngerasa kita udah punya ‘adaptasi unofficial’ Pee Mak yang lebih original dan far more better, yaitu Agak Laen (2024). Karena sama-sama ada rumah hantu, hantu beneran, dan bahkan soal penggambaran ‘saksi bisu’. Tapi yang paling kasian sih ibu-ibu yang nonton ini karena pengen lihat Jirayut. Public figur itu digunakan heavily pada promo, tapi pada film aslinya dia gak muncul, melainkan hanya di kredit penghias.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for KANG MAK (FROM PEE MAK)

 




LAURA Review

Disclaimer dulu; I know cerita Laura di film ini diangkat dari kisah nyata seorang selegram bernama Laura, tapi karakter Laura dan ceritanya yang aku kritisi di review ini adalah Laura dalam frame film – sebagai sebuah cerita film. Dan the fact aku perlu ngasih disclaimer ini dulu membuktikan flaw utama dari film karya Hanung Bramantyo ini. Yaitu film ini didesain ada di pihak Laura sedari awal, bahwa filmnya bekerja seolah kita semua sudah tahu tragedi Laura dan kita bersimpati kepada sisi Laura yang ingin mereka jual. Jadi ini bukan objective view, bukan exactly cerita tentang perkembangan karakter.

Darimana kita bisa menyimpulkan ini? Dari adegan kecelakaan  saat Laura dan pacarnya mengendarai mobil sambil mabuk. Film ngetreat kecelakaan ini dengan dramatis, ada build up cukup lama dan segala macem. Supaya kita menyayangkan kecelakaannya. Sedari adegan itu bahwa Laura mau gimana pun kelakuannya, harus mendapat simpati kita. Dan ini akan semakin susah untuk kita lakukan karena cerita akan berlanjut tentang Laura terjebak dalam toxic relationship dengan alasan yang tidak diselami, again, karena kita harus bersimpati aja sama Laura. Ada dialog Laura nangis bilang dia gak bisa lepas dari Jojo karena dia ngerasa dalam kondisinya sekarang cuma Jojo yang masih mau sama dia. Padahal red flagnya Jojo sudah diperingatkan oleh teman-teman dan keluarga sejak sebelum mereka kecelakaan. Menurutku film ini harusnya menyelami persona Laura di depan maupun di belakang kamera. Kerjaannya sebagai influencer juga harus dibahas, supaya tidak cuma jadi convenience dalam cerita. Kita harus benar-benar melihat kenapa dia ini fighter dan sikapnya tegarnya mempengaruhi orang sekitar walaupun mungkin tegarnya cuma di depan kamera.

Menurutku film ini harusnya bisa jauh lebih besar lagi daripada sekadar menjual tragedi. Akting Amanda Rawles sudah menjelma menjadi sosok lain, tapi karena momen-momen Laura hanya memperlihatkan momen dia on-cam di show atau podcast, penampilan akting tersebut tidak terasa demikian konsisten karena hanya kayak meniru dari materi yang sudah ada. Kita perlu melihat Laura versi Amanda, kita perlu mendengar Laura versi Hanung, untuk film ini menjadi benar-benar bagus.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for LAURA

 

 

 

MAHARAJA Review

Maharaja film dari Telugu certainly have a strong mainstream appeal berkat konsep bait-and-switch yang jadi jualan utama. Twist. Sutradara Nithilan Sarninathan dengan cakap ngecraft cerita yang bermain-main dengan ekspektasi kita, kemudian lantas membelokkannya – mengungkap yang sebenarnya. Penutupnya juga sangat kuat ngasih disturbing feelings, udah kayak Oldboy versi pembalikan.

Namun menurutku, memilih konsep itu membuat film ini mengorbankan banyak perspektif yang dapat membuat film ini jauh lebih kaya dan berisi. Perspektif anak perempuan Maharaja, misalnya. Film dimulai dengan si anak sebagai narator, seperti dia tokoh utama cerita, tapi ternyata tidak. Film berpindah menyorot Maharaja, dan bahkan di akhir bobot dramatis itu diterima oleh karakter penjahatnya. Film melakukan banyak pindah perspektif karena ingin ‘nutupin’ kejadian sebenarnya. Feelingnya memang jadi seru ketika kita tau ternyata kejadian sebenarnya seperti apa, tapi ya perasaan “ph ternyata begitu” yang nempel ke kita. Padahal kalo perspektif anaknya digali, relationshipnya dengan Maharaja apakah berubah atau tidak ketika dia mengetahui kejadian sebenarnya. Ataupun kenapa Maharaja tidak ngasih tau kejadian sebenarnya. Begitu banyak potensi untuk bikin cerita jadi dalam dengan perspektif yang jelas, tapi film mengambil konsep yang membuat perspektifnya jelas tidak bisa dikembangkan lebih jauh.

The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for MAHARAJA

 

 

 

RIDDLE OF FIRE Review

Debut film panjang sutradara Weston Razooli ini benar-benar bikin kita kangen masa kecil. Masa ketika belanja ke toko supaya dapat izin main video game dapat menjadi petualangan yang gak kalah serunya dengan permainan video game itu sendiri! Petualangan anak-anak dalam Riddle of Fire memang akhirnya jadi hilariously besar dan out of control supaya ngasih pelajaran buat anak-anak bandel tersebut sehingga mereka jadi punya development, tapi aku pikir Weston berhasil mendaratkan ceritanya ini kembali grounded. Membuatnya tidak kehilangan hati.

Kekurangan film ini justru datang dari ketika cerita menjadi out-of-control tersebut. Weston masih terasa terlalu berhati-hati. Sehingga film ini jadi kayak surealis belum nyampe, tapi juga gak mungkin lagi disebut realisme. Weston harusnya jor-joran aja di pertengahan film. Bikin cerita yang benar-benar aneh sekalian. Karena itu bakal lebih nunjukin kenekatan dia, kekuatan visinya, terlebih ketika toh dia mampu membawa cerita ini kepada penutup yang grounded. Makanya karakter anak-anaknya jadi  kurang membekas. Padahal mereka ini bandel-bandel loh, lucu. Relationship di antara mereka benar-benar dikembangkan, dengan backstory segala macem. Mereka juga ntar dapat teman baru dengan kekuatan aneh. Film memastikan cerita bergulir dari sudut pandang mereka jadi bakal banyak keputusan yang konyol dan bikin ngakak. Tapi kupikir harusnya tim anak-anak Riddle of Fire bisa jadi lebih kuat dan memorable lagi jika sutradara totally jor-joran ngegarap cerita ini jadi fantasi atau surealis, at least pada bagian petualangan mereka.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold star out of 10 for RIDDLE OF FIRE

 

 

 

SUMALA Review

Ngomongin soal film tentang anak kecil, Sumala sukses bikin aku bertanya-tanya jangan-jangan Lembaga Sensor menyensor film ini sambil merem. Karena bahkan untuk ukuran film berating Dewasa pun, kayaknya kita jarang nemuin adegan kekerasan anak terhadap anak yang begitu frontal; anak nusuk anak, anak menggorok anak. anak kecil saling bunuh semuanya on-cam dan jelas. Bahkan ada juga adegan bapak membunuh bayinya yang baru lahir, dengan menusuk si bayi dengan keris. Hahaha, Rizal Mantovani is a twisted human being!

Sumala adalah tentang suami istri kaya yang pengen punya ahli waris, jadi si istri ke dukun hitam supaya cepat punya anak. Anak yang lahir kembar, Kumala yang cakep dan baik, Sumala yang jelek dan iblis – literally. Sumala ini pas lahir langsung dibunuh oleh ayahnya. Tinggallah Kumala sendiri. Tumbuh cukup tersiksa karena cacat fisiknya membuat dia dibully. Hantu Sumala ternyata terus menemani Kumala, dan siap membalas orang-orang yang nyakitin Kumala. Puncaknya ya Sumala ngamuk, membunuh semua orang termasuk ibu dan ayah yang jahat sama mereka berdua. Kalo ceritanya seperti itu, naturally kita akan nganggap Kumala sebagai tokoh utama, karena banyak bobot dramatis yang ada dia emban. Tapi enggak, tokoh utama film ini justru si ayah yang tadi membunuh bayinya pake keris, on cam! Ayah yang sepanjang cerita sangat satu dimensi – orangtua galak yang suka masung bahkan menyalip anaknya di kebun. Tapi ujug-ujug dia bakal dikasih momen menyesali diri, dan ada backstory. Ini contoh naskah yang benar-benar tidak rapi dan gak tau apa yang dilakukan.

Hahaha film ini isinya memang cuma eksploitasi kekerasan. They do violence because it sells. Gak ada permainan kamera ataupun treatment lain yang elegan. Luna Maya cuma ada di sana pasang tampang horor, menunggu untuk dibunuh. Makanya di iklim real world yang banyak kasus kekerasan dengan baik itu pelaku ataupun kepada anak-anak, aku heran kok film yang nonjolin kekerasan segamblang ini bisa lolos. Menurut kalian, apakah sebabnya? Silakan share pendapat di Komen yaa..

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SUMALA

 




 

 

That’s all we have for now

Semoga Oktober ini bisa bikin mini review khusus horor. Aminn..

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SPEAK NO EVIL Review

 

“The only people mad at you for speaking the truth are those living a lie”

 

 

Not gonna lie, bicarain film remake memang agak tricky. Kita gak mau film remake beda ama film aslinya, sementara kita juga gak ingin film tersebut sama persis sehingga kayak tinggal nyontek. Karena walaupun kita tahu materinya saduran, tapi at least kita pengen ada hal original lain yang diberikan oleh pembuatnya. Mungkin kita pengen lihat sudut pandang lain dari cerita yang sama. Mungkin kita pengen lihat gimana kalo cerita itu terjadi di tempat yang lain, kepada orang yang lain. Mungkin kita pengen lihat gimana cerita yang sama diceritakan lewat suara atau visi atau gagasan yang berbeda. But yea, basically, ukuran ‘bagus’ untuk film remake itu adalah film yang gak sama persis, akan tetapi berani berbeda juga belum tentu bagus. Sebab banyak pertimbangan lain; hal baru yang digali itu apakah make sense, worked out gak, sesuai konteks gak. Untuk alasan itulah aku mengacak-ngacak rambut membandingkan Speak No Evil garapan James Watkins ini dengan film originalnya yang berasal dari Denmark, released just two years ago. Masing-masing versi ini, punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jadi mari kita pelan-pelan mengurai perbandingan mereka dengan blak-blakan (bodo amat spoiler) in order to reach conclusion film versi mana yang lebih bagus!

Secara cerita, film ini sama ama originalnya. Ini yang membuatku sempat skeptis ama remake ini. Di paruh awal, adegan, dialog, bahkan aspek-aspek kecilnya sebagian besar sama. Ada keluarga lagi liburan, ketemu sama keluarga lain. Mereka jadi akrab. Apalagi mereka sama-sama punya anak. Si keluarga tokoh utama anaknya cewek ketergantungan ama boneka kelinci, keluarga satunya punya anak cowok yang gak bisa bicara karena gak punya lidah; they could be friends with each other. Sampai-sampai setelah liburan selesai, keluarga asing tadi mengundang keluarga tokoh utama untuk menginap menghabiskan weekend di rumah peternakan mereka. Di situlah nanti keluarga tokoh utama ngerasa ada yang aneh sama keluarga teman baru mereka ini. Dari bungkusan luar, Speak No Evil adalah thriller – karena dia tentang psikopat yang menipu keluarga saat liburan. Tapi begitu kita masuk ke dalam bahasannya, film ini thrillernya ternyata psikologikal. Yang dibahas adalah bentrokan pola pikir, yang intens adalah situasi, dan dengan pola pikirnya karakter mungkin malah semakin terjerat dalam situasi berbahaya.

Another definition of ‘saksi bisu’!

 

Di sanalah letak perbedaan signifikan pertama antara versi original dengan versi remake. Permainan psikologikalnya. Yang berkaitan erat dengan identitas karakter. Atau kalo di kita istilahnya ‘kelokalan’. Pada versi Denmark (original) keluarga tokoh utama cerita adalah Bjorn dan Louise, orang Denmark. Teman baru mereka adalah keluarga Belanda, Patrick dan Karin. Film tersebut mengobarkan kengerian melalui perbedaan-perbedaan kebiasaan yang dirasakan keluarga Bjorn ketika tinggal di rumah Patrick. Karena ternyata orang Denmark itu kayak orang kita, gak enakan. Sikap itulah yang bikin film tersebut kerasa ‘bleak’. Bjorn gak yakin, keanehan keluarga Patrick memang red flag atau cuma beda tata cara aja, sopan gak dia kalo nolak. Kemudian film mengembalikan kepada penonton mereka. Ya, Patrick psikopat, tapi jangan-jangan keengganan Bjorn dan keluarga yang bikin mereka sampai tragis begitu. Sementara versi remake yang dibuat oleh Amerika – mereka mana kenal ama yang namanya gak enakan – membawa permasalahan kepada bahasan gender, ke perbedaan gaya parenting, ke perbedaan prinsip hidup dengan keluarga Paddy dan Ciara , serta konflik internal antara Ben dengan Louise istrinya. Kayak pas adegan Louise yang vegetarian disuapin daging oleh Patrick/Paddy. Pada film originalnya, Louise bilang memakannya karena jaga kesopanan, dan next time, Louise ngingetin Patrick bahwa dia gak makan daging, dan Patrick minta maaf. Film tersebut membiarkan intensi Patrick terbuka kepada kita dan Louise; apakah Patrick beneran lupa dan minta maaf, atau enggak. Sementara di film remake ini, Louise bilang memakannya karena gak enak hati karena daging itu adalah angsa kesayangan keluarga Paddy yang dipotong khusus untuk menyambut mereka. Dan the next time Louise ngingetin Paddy, pria bertubuh kekar tersebut lanjut ‘menantang’ gaya hidup vegetarian  yang gak makan daging tapi makan ikan. Mereka jadi berdebat lumayan angot soal itu. Memang,perbedaan bahasan itu membuat versi remake ini terasa lebih ‘komunikatif’ dan lebih meledak-ledak.

Tema besar dari cerita sebenarnya maskulinitas. Ini perbedaan signifikan kedua. Film originalnya punya karakter utama yang pasti. Bjorn. Plot maju semuanya karena aksinya. Dia yang stumbled upon rahasia Patrick. Bjorn adalah pria yang merasa kurang ‘jantan’ sebagai ayah. Dia tertarik jadi teman Patrick karena pria itu memuji tindakannya mencarikan boneka yang hilang milik putrinya sebagai tindakan heroik. Sekali direcognize seperti itu, Bjorn ‘ketagihan’. Dia merasa perlu untuk terus nunjukin dia pahlawan, tapi dia gagal, seperti yang kita saksikan setiap kali ada kejadian di rumah Patrick. Meminjam kata-kata psikopat itu “you let us do it”. Bahkan hingga di momen terakhir yang dia harus melawan demi keluarganya, Bjorn gagal. Dia gak melawan, padahal Patrick dan istrinya gak bawa senjata. Kalo mau berkelahi, mereka bisa ngimbangin sebenarnya. Versi remake juga bicara tentang Ben ngerasa ‘kecil’ sebagai ayah dan suami, tapi juga menambah banyak bahasan lain sehingga dia bukan karakter utama tunggal lagi. His whole family kebagian porsi yang sama besar. Ben dibikin ‘tertarik’ kepada Paddy as in dia ingin bisa kayak Paddy yang nyantai, kharismatik, mesra sama istrinya. Louise punya peran lebih besar dibandingkan Louise di film asli yang bahkan kayak gak nyadar (until it’s too late) kalo keluarga mereka dalam bahaya. Louise di sini remake ini aktif dan punya backstory tersendiri – malah dia yang jadi lawan sepadan alias paralel buat Paddy. Terus juga anak mereka, Agnes, dibikin jadi menjelang abg, dan diberikan banyak ‘aksi’ – seperti juga Ant, anak Paddy yang gagu, diberikan lebih banyak peran.

Makna Speak No Evil pun di film ini jadi lebih luas. Bukan hanya soal demi menjaga kesopanan, kita seringkali enggan menyuarakan kejujuran, tapi film ini juga mengangat soal gimana dalam keluarga sendiripun kadang kita lebih memilih untuk diam, Untuk tidak mengonfrontasi masalah. Yang pada akhirnya, tidak ada yang mau saling jujur. Makanya Paddy juga jadi karakter antagonis menarik, karena meskipun dia sendiri melakukan sandiwara besar dengan modus operandi ngibulin keluarga lain – dia yang sengaja motong lidah anak korbannya supaya gak bisa menceritakan kejadian sebenarnya – tapi justru sikap red flag-nya yang seringkali mendorong Ben dan Louise untuk terbuka untuk mendebatkan masalah mereka.

 

Secara muatan, film ini memang jadi lebih kompleks. Dan sutradara memang tahu apa yang dia incar, jadi dia benar-benar ngasih ruang untuk kompleksitas muatan ceritanya bekerja. Makanya film ini jadi lebih panjang. Hebatnya, tetap rapi. Temponya tetap terjaga. Babak set upnya juga terasa klop melandaskan perbedaan para karakter yang nanti akan berlaga mental (dan fisik, sesuatu yang kurang di film pertama). Contoh simpelnya soal si boneka kelinci. Pada film pertama, boneka itu adalah device bagi Bjorn untuk menunjukkan dia pahlawan, like, anak gue butuh boneka ya gue harus cariin dong. Tapi pada film kali ini, boneka itu adalah simbol dari development para karakter. Boneka itu jadi semacam benang merah yang mengikat masing-masing karakter kepada bentuk development yang mereka tempuh sepanjang cerita. Makanya bentuk boneka itu sendiri dibikin ‘berubah’, untuk menegaskan perannya sebagai simbol atau bukti perkembangan karakter.

Kenapa lagunya mesti Eternal Flame sih, aku jadi ngerasa ikutan psikopat juga hahaha

 

Banyak yang membandingkan dua film ini dari ‘gaya’nya. Speak No Evil remake ini, aku setuju sama pendapat yang bilang, lebih mementingkan keseruan namun gayanya sendiri jadi agak generik. Lihat saja Paddy. Dia udah kayak psikopat 101 di film-film. Penampilan akting James McAvoy, however, terutama jadi highlight di sini. Hiburannya tuh di sini. Bukan dari karakternya ternyata jahat, tapi dari gimana James memerankannya. Kita udah lihat di film Split (2017) kemampuan dan range akting James; dalam satu karakter yang sama itu dia bisa jadi orang ramah, tapi juga bisa jadi completely different pada adegan berikutnya. Paddy di tangannya ya jadi seperti itu; orang yang tampak simpatik, asik, keren malah, tapi dia bisa jadi berbahaya. James ngasih gerakan senyuman khusus pada karakternya ini. Kita tahu ini karakter pasti jahat. Aku nonton film remake ini duluan, baru nonton film originalnya, dan aku bisa tahu Paddy ini karakter apa. Kita jadi semacam mengantisipasi kemunculan sisi psikopat Paddy karena penampilan akting yang begitu on-point. Tapi menurutku menjadikan Paddy generik psikopat itu agak bentrok dengan kompleksnya muatan yang dibawa cerita. Bandingkan dengan film pertama. Patricknya tidak digambarkan sebagai kharismatik yang gimana, cuma orang Belanda tapi di mata Bjorn terlihat lebih mapan dan lebih macho – dan yang memuji tindakan heroiknya sebagai ayah. Muatannya yang sederhana jadi tapi bisa tetap intens karena yang kompleks di situ bukan muatan atau bahasannya, melainkan sudut pandang karakternya di dalam ruang sikap yang terbatas. Also, versi remake ini karena pengen jadi aksi thriller seru, jadi banyak momen-momen yang biasa diada-adain supaya seru dalam genre ini, misalnya kayak ngambil kunci diam-diam dari penjahat yang tidur.

 




Decision time!! Kalo bicara suka, aku lebih suka versi remake ini karena memang lebih seru. Sutradaranya paham mana yang harus di-enhance supaya membuat cerita ini lebih seru; dia banyakin aksi, dia membuat bahasan jadi lebih kompleks, dia pasang pemain yang dikenal menjual secara range (dia membuat ini jadi soal bagaimana si aktor memerankan karakter ini), dan film ini juga put efforts supaya naskahnya bisa memuat semua itu tapi masih bisa mirip film aslinya. Momen final battlenya aku suka banget karena sutradara kayak ngasih reference ke ending film original soal mati karena batu, Tapi kalo bicara ‘teknis’ dan gaya, film originalnya itu masih sedikit lebih kuat. Punya karakter utama yang lebih jelas. Intens dan kompleksnya datang benar-benar dari karakter, bukan dari bahasan yang diberikan kepada mereka. Pilihannya untuk jadi tragis juga akhirnya lebih membekas (walau bikin frustasi karena kurang aksi) ketimbang pilihan untuk jadi aksi thriller seru tapi banyak momen-momen generik. Maka, kalo film aslinya itu aku beri 7 dari 10 bintang emas, untuk versi remake ini: 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SPEAK NO EVIL

 

 




That’s all we have for now.

Versi Speak No Evil mana yang lebih kalian suka, kenapa?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TRANSFORMERS ONE Review

 

“Good friends, better enemies”

 

 

Sama seperti Prof. X dan Magneto di X-Men, ataupun Splinter dan Shredder di TMNT, musuh bebuyutan Optimus Prime dan Megatron di Transformers dulunya juga berteman. Gatau juga, mungkin ‘kawan-jadi-lawan’ itu trope trendy di kartun Amerika 80-90an apa gimana haha… Yang jelas, kisah persahabatan dua robot yang kita kenal sedari versi kartunnya sebagai pemimpin Autobots dan Decepticons yang berseteru, akhirnya diangkat menjadi cerita origins yang baru oleh Josh Cooley. Dan ini untuk pertama kalinya aku excited menyambut Transformers di bioskop. Karena, lihat saja sendiri; Transformers One dihadirkan sebagai animasi petualangan, para robot mengambil pusat cerita, dengan desain karakternya kreatif dan ‘jelas’ – mirip sama kartun yang dulu udah sukses bikin aku suka ama robot-robot yang bisa berubah bentuk. Kalo Transformers live-action yang kemaren-kemaren itu aku anggap musuh, maka film ini certainly kuanggap kayak teman masa kecil yang kini sudah berubah, namun masih tetap kukenali dan kurindukan.

Optimus Prime dan Megatron tadinya bernama Orion Pax dan D-16. Mereka berdua adalah robot penambang. Istilahnya kelas-pekerja kasar lah. Mereka stuck sebagai penambang karena mereka tidak punya roda-gigi, sehingga mereka tidak bisa punya kemampuan optimal seperti robot-robot elit lain. Tapi Orion punya mimpi, Dia ingin nunjukin kepada Sentinel Prime, pemimpin para robot, bahwa robot penambang juga bisa lebih daripada sekadar menambang energon. Jadi Orion mengajak sahabatnya, D-16, untuk mencari Matrix of Leadership untuk diserahkan kepada Sentinel. Mereka ingin membuktikan diri mereka bisa. Setelah melanggar beberapa aturan, petualangan Orion dan D-16 bersama dua robot lain, membawa mereka ke sebuah temuan pahit. Bahwa selama ini mereka hidup dalam kebohongan. Bahwa Sentinel bukan pemimpin yang baik seperti yang dielu-elukan, melainkan robot culas yang manfaatin rakyat kecil dan dia cuma peduli sama diri sendiri (mirip siapa hayooo…) Temuan itu mengubah hal di antara Orion dan D-16. Persahabatan mereka merenggang. Keduanya punya pandangan dan reaksi yang extremely berbeda.

Hey, kenapa ya tokoh pemimpin yang dipuja itu biasanya selalu evil at heart?

 

Hati. Robot-robot itu boleh saja dadanya kosong karena gak punya roda-gigi, tapi mereka punya hati yang besar. Film ini punya jiwa meskipun karakternya cuma mesin-mesin animasi berjalan. Mereka beneran terasa seperti karakter yang hidup, dengan dunia dan permasalahan yang nyata, dan kita dibuat peduli sama keadaan mereka. Persahabatan Orion dan D-16 akan sangat berasa karena film benar-benar meluangkan waktu supaya dinamika dan persahabatan mereka terjalin genuine.  Orion yang seperti gak-sabaran untuk melakukan hal-hal yang gak biasanya – atau malah gak seharusnya – dilakukan oleh kelas penambang. D-16 yang agak reluctant dan lebih taat aturan, sebenarnya ingin nolak, tapi mereka sahabat dan supposedly always have each other back. Ini formula yang sebenarnya cukup sering kita temui, tapi film berhasil berjalan tanpa harus membuat karakternya beneran kayak trope yang lumrah, kayak Orion di sini gak jatoh kayak karakter annoying ataupun dinamika mereka gak jatoh jadi si tukang ngoceh dan si pendiam yang simpel. Bahkan karakter kayak B-127 (alias Bumblebee) yang fungsinya sebagai karakter komedi, tidak sedemikian terasa template. karena at least dia punya charm dan ‘kegilaan’ unik tersendiri.

Build up ke mereka akhirnya mendapat roda-gigi sehingga akhirnya bisa berubah juga sangat solid. Naskah film ini memang tidak terburu-buru. Tahu gimana membangun antisipasi dan tahu kapan waktu yang tepat untuk merelase semua build up-an tadi menjadi kejadian yang memorable buat kita para penonton. Secara narasi memang tidak banyak kejutan ataupun experience baru yang berarti, beberapa eksposisi dan sedikit kemudahan dapat kita temui, hanya saja film ini storytellingnya sangat well done sehingga bahkan momen-momen ‘biasa’ film ini tidak terasa mengganggu. Ketika para robot sudah bisa berubah pun, mereka tidak dibuat langsung jago. Mereka harus belajar menggunakan kemampuan baru tersebut, sambil melarikan diri menuruni lereng dari kejaran robot jahat. Sehingga momen mereka belajar tidak mengganggu tempo melainkan tetap intens karena berlangsung dalam sekuen aksi. Dan ngomong-ngomong sekuen aksi, film udah nunjukin kemampuan bikin adegan yang seru sedari saat di awal-awal Orion dan D-16 insert themselves ke kejuaraan balap antarrobot. Aku melihat ada dua kunci keberhasilan keseruan aksi di film ini. Pertama, desain kreatif yang benar-benar mewakili karakterisasi dan keunikan tiap robot. Kedua, animasi yang fluid dan colorful sebagai wadah dari desain-desain unik tersebut. Ruh dari serial kartunnya ketangkep banget oleh gaya animasi 3D modern, membuat para robot bisa dengan mudah dikenali. Gak kayak seri film live-actionnya, yang desain robotnya begitu gak-jelas; kita gak bisa ngikuti setiap perubahan wujud robotnya, karena kita bahkan gak ‘tau’ apa yang sedang kita lihat.

Yang para robot penambang itu alami juga aku yakin bakal nyampe banget ke kita. Problem mereka relatable. Bukan literally soal gak bisa berubah wujud, tapi soal mereka dibiarkan jadi begitu terus oleh pemimpin culas mereka. Mereka adalah rakyat yang dibiarkan gak bisa apa-apa selain terus bergantung kepada pemimpin, mereka rakyat yang distrip dari kebebasan untuk bergerak, berpikir, dan punya kekuatan sendiri. Sentinel sebagai pemimpin sengaja membiarkan mereka seperti itu, supaya rakyatnya tersebut terus bekerja untuk dirinya. Mengisi pundi-pundi dia dan golongannya. Like, wajah para robot memang dibuat eskpresif, tapi aku rasa yang bikin adegan saat Orion dan D-16 melihat energon-energon yang mereka tambang dengan susah payah dan mempertaruhkan nyawa ternyata digunakan Sentinel untuk ‘membayar’ Quintessons (klan musuh para robot di Cybertron) itu kena kan karena itu kayak yang kita rasakan ketika tahu uang pajak seambrek yang kita berikan kepada negara ternyata digunakan untuk menggaji buzzer dan pejabat yang tujuannya bukan untuk kepentingan bersama. Rasa kecewa, rasa dikhianatinya, itu grounded dan kena banget. Maka Orion dan D-16 lantas jadi dua kasus reaction atau perjuangan yang bisa kita mengerti. Ada yang berusaha melawan dengan diplomasi seperti Orion. Membentuk kelompok sendiri. Aku baru tahu di film ini kalo Autobots ternyata artinya robot dengan autonomi – robot dengan kebebasan. Bukan automatic robot seperti yang kukira waktu kecil dulu. Dan kita juga paham ketika ada yang marah, dan memilih pemberontakan yang bisa lebih violence, sebagai perlawanan seperti yang dilakukan oleh D-16. Konsekuensi tragisnya pun kita paham. Dua kubu rakyat tersebut jadi saling ‘berperang’ satu sama lain.

Antara kawan dan lawan, batasannya memang tipis. Lawan yang paling berbahaya biasanya justru adalah orang yang kita sangka teman. Orang yang berpura-pura manis dan peduli, padahal tidak sama sekali. Seperti Sentinel Prime, pemimpin yang membawa dirinya sebagai teman dari rakyatnya, tapi ternyata dia justru hanya memanfaatkan kelemahan mereka. As in membiarkan mereka semua lemah supaya bisa terus dimanfaatkan. Kasus Orion dan D-16 lain lagi, teman baik yang jadi musuh bebuyutan, karena mereka sebenarnya sama hanya pilihannya saja yang berbeda, dan mereka saling mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing. 

 

Cuma aku atau memang si Bumblebee wajahnya kayak Tom Holland haha

 

Cuma pada satu kesempatan naskah film ini terasa terburu-buru. Pengembangannya tidak serapih dan se-well-timed yang lain. Yaitu ketika D-16 jadi jahat; ketika Orion dan D-16 jadi musuhan. Hal ini harusnya jadi klimaks, tapi terasa abrupt saat D-16 ‘mengenyahkan’ sahabatnya itu begitu saja. Seperti ada beat yang hilang atau keskip dari development karakternya tersebut. Also, menurutku D-16 agak mengambil alih spot utama dari Orion. Perubahan sikap D-16 terasa lebih ekstrem dan lebih kentara ketimbang Orion yang agak terdorong ke background dan seolah dia tidak mengalami journey atau pembelajaran karakter. Padahal sebenarnya kan ada semacam pembalikan, dari siapa yang tadinya ingin langgar aturan dan siapa yang mau play by rules di awal dan di akhir cerita. Namun pada proses penceritaannya, aspek development ini turn-nya kurang kerasa menyeluruh ada pada kedua karakter. Perubahan mereka jadi fisik (literally, karena mereka beneran jadi Optimus Prime dan Megatron di akhir), dengan bobot dramatis lebih kuat pada D-16 dibandingkan pada Orion yang adalah tokoh utama sebenarnya.

 

 




Sebelum mengubah dunia, kita harus mampu mengubah diri sendiri dulu – mengubah sudut pandang, mengubah pemikiran, mengubah segala hal pada diri menjadi lebih baik. Film petualangan animasi ini mungkin dibuat supaya anak kecil terhibur oleh robot-robot yang bisa berubah bentuk, tapi kita bisa melihat ada nilai lebih yang ditawarkan oleh ceritanya. Atau seenggaknya, nilai lebih yang bisa kita serap karena ceritanya punya permasalahan yang grounded dan relate dengan keadaan kita. Dan yang gak kalah pentingnya lagi, film ini menceritakan itu dengan hati dan penceritaan yang telaten. Yang ngasih waktu untuk build up. Yang ngasih karakter uniknya ruang untuk mengembangkan diri. Lalu kemudian melepaskan semuanya dengan adegan aksi yang seru serta dramatis. Ini film Transformers yang aku tunggu-tunggu. Film yang bisa dinikmati bukan hanya keunikan desain karakter robotnya tapi juga ceritanya. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TRANSFORMERS ONE

 

 




That’s all we have for now.

kalo dibawa ke keadaan pemerintah sekarang, kalian lebih condong masuk atau setuju ke perlawanan ala D-16, atau Orion?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



BEETLEJUICE BEETLEJUICE Review

 

“Sometimes you will never know the value of a moment until it becomes a memory.”

 

 

Halloween datang sebulan lebih cepat, dibawakan oleh Tim Burton di atas nampan nostalgia kepada kita. Yup, Beetlejuice – karakter ikonik dan horor komedi populer dengan konsep afterlife yang bisa dibilang cukup groundbreaking pada era 80an itu – akhirnya beneran dibikinin sekuelnya. Dan seperti judulnya, Beetlejuice Beetlejuice memang dua kali lebih fun ketimbang film aslinya. Dua kali lebih random dengan segala keantikan dunianya. Mind you, Tim Burton sama sekali tidak ingin mengubah Beetlejuice dan kegilaan karakternya – eventho untuk standar era sekarang karakter tersebut certainly semakin tidak appropriate.  Dan ini memang akhirnya jadi groundwork yang unik buat pengembangan cerita dark fantasy-nya. Film ini mencoba nge-tackle bahasan yang juga dua kali lebih banyak dari sebelumnya. Dua kali lebih crowded, dua kali lebih ribet, dan sayangnya juga jadi dua kali lebih messy. Chaos yang tidak serta merta selalu funny.

Tiga puluh enam tahun yang lalu, Lydia Deetz berhasil selamat dari jadi pengantin remaja bagi Betelguise (dibaca Beetlejuice); si hantu bio-exorcist, alias hantu tukang onar yang kerjaannya membantu hantu-hantu untuk mengusir manusia dari rumah mereka. Lidya selama ini berusaha move on, punya keluarga, punya anak, punya acara tv sendiri sebagai cenayang. Tapi dia masih dihantui oleh kenangan buruk Beetlejuice tersebut. Sementara di alam baka, Beetlejuice yang kini cukup sukses dan bisnis exorcistnya makin gede, juga masih menyimpan Lydia dalam kenangannya. Ketika kematian ayah membawa Lydia bersama ibu dan anaknya kembali  ke Winter River, ke rumah tempat semuanya dimulai, Lydia bukan saja terpaksa harus bertemu kembali dengan Beetlejuice, dia bahkan terpaksa harus meminta bantuan kepadanya. Astrid, anak Lydia yang marah kepada Lydia yang dianggapnya cuma menjual sensasi ‘bisa melihat hantu’ tanpa sengaja masuk ke dunia orang mati dan jiwanya ada dalam bahaya.

Nenek seniman, ibu cenayang, cucu aktivis tree-hugger. Keluarga rame!!

 

Dunia Beetlejuice put Tim Burton’s specialty dalam bangun dunia dark fantasy on the map. Bukan cuma karakter nyentrik, wacky, zany, dengan kostum unik, dia ngecreate konsep afterlife yang dibikin kayak perusahaan tapi sangat komikal. Semua itu dihidupkannya dengan permainan animasi dan efek praktikal. Era 80an memang terkenal dengan desain produksi seperti begitu, namun ketika yang lain lean towards realisme, atau eksploitasi hal-hal yang disturbing dan gory, Beetlejuice membawa ruh cerita horornya ke dalam fantasi komedi. Nonton film itu udah kayak nonton kartun, dengan segala kegilaan, kerandoman, dan efek-efek konyol. Begitu film Indonesia tahun ini mulai marak genre horor komedi, aku sempat ngarep ada yang arahannya ke kayak Beetlejuice. Cerita tentang kematian, hantu-hantu, nakut-nakutin orang, tapi tone dan gaya dan dunianya beda sendiri. Tentang keluarga hantu, atau gimana dunia kematian versi sendiri. Beneran bikin konsep dan fantasi, bukan cuma cerita yang ngada-ngada. So far film kita belum ada yang begitu, but at least sekuel Beetlejuice beneran keluar, dan film ini beneran ngasih warna berbeda. Dunia yang sama itu kembali kita kunjungi, only bigger. Dan tentu saja lebih ‘flashier’ karena efek komputer semakin mendukung kepada penggunaan animasi stop motion dan efek praktikal lainnya. Karakter-karakternya kembali kita temui, dan pemerannya masih sama!

Michael Keaton kembali untuk meranin Beetlejuice yang begitu unhinged. Dan dia bisa membuat karakternya ini sangat entertaining, meskipun kacamata kita sekarang mungkin agak lebih sensitif. Beetlejuice ini kan juga produk dari 80an, dia juga dibuat dari trope yang ramai di kala itu. Semacam ‘bapak-bapak cabul’. Dulu mulai dari film Boboho hingga kartun Dragon Ball, trope ini ada. Film ini bukan ingin melanggengkan atau malah membela trope tersebut, melainkan hanya identitas saja. Bahwa karakter dan cerita ini ya produk dari era itu. Yang penting sekarang adalah bagaimana menceritakan karakter tersebut di era modern. Film ini tidak lantas bikin Beetlejuice jadi bermoral, ataupun punya something untuk bikin kita simpati ataupun meretcon karakternya. Film ini tidak lantas membuat dia yang basically anti-hero, jadi hero. Beetlejuice tetap digambarkan sebagai karakternya yang ‘kalo gak penting amat, kita gak usah berurusan dengannya’. Sebagai karakter yang ‘menyeramkan’ dan tidak bisa dipercaya. Again, konflik tetap dipancing dari gimana kalo ternyata kita memang terpaksa harus berurusan dengan dia. Dan ini juga yang bikin ceritanya mutar-mutar. Film berusaha mencari cara nge’tone-down’ dari cerita. Beetlejuice diberikan lawan. A Frankenstein-like lady yang menuntut balas kepadanya. Jadi, selain urusan keluarga Lydia (dengan ibunya, dengan anaknya), film ini juga punya tentang masa lalu Beetlejuice. Dan ini bikin keseluruhan film ini jadi lebih padat dan lebih ribet. Jika random dan konyol tadi jadi nilai plus yang membuat sekuel ini semakin fun, maka padatnya cerita membuat film ini jadi punya poin minus karena penceritaan akhirnya menjadi messy dengan subplot-subplot yang lemah.

Cerita film pertamanya dulu simpel. Ada pasangan muda mati, jadi hantu, lalu kemudian keluarga Deetz yang nyentrik pindah ke rumah mereka. Sebagai hantu baru yang baik, mereka kesusahan mengusir keluarga Deetz. Maka mereka minta bantuan ke Beetlejuice. Akhirannya ya mereka jadi gak tega ke keluarga Deetz karena Beetlejuice minta macem-macem, termasuk mau menikah sama Lydia yang saat itu masih remaja. Kita langsung nangkep tema intinya tentang co-exist, bahasan keluarganya juga relate, along with komedi tentang kematiannya; gimana pembalikan dari biasanya yang mau diusir adalah hantu jahat.  Sedangkan film sekuelnya ini; hati dramanya tentang ibu yang ‘jauh’ dari putrinya karena kematian ayah, tenggelam alias ketutup oleh banyak lagi bahasan karakter lain. Apa coba paralelnya urusan Lydia dan Astrid, dengan Beetlejuice dan mantannya. Atau dengan karakternya Willem Dafoe; kepala polisi di afterlife yang dulunya seorang aktor. Benang-benang karakter ini seolah dibuild up untuk akhirnya bertemu dan jadi penyelesaian besar, tapi penyelesaian yang kita dapatkan di akhir ya tetap random, dan pertemuan mereka terasa lemah. Gak benar-benar kuat jadi sesuatu. Padahal sebenarnya kalo dipikirin lagi, ada keparalelan di antara mereka. Yaitu tentang memories.

Lydia sibuk dengan kenangan buruknya akan Beetlejuice. Astrid sibuk dengan kenangannya akan sang ayah. Ibu dan anak sama-sama dihantui oleh kenangan, sehingga mereka gak sempat untuk bikin kenangan baru di antara mereka. Padahal hidup ya seharusnya kita sibuk membuat kenangan baru dengan orang-orang di dekat kita, sebelum mereka menjadi kenangan buruk yang menghantui kita karena tidak sempat dekat dengan mereka. 

 

Winona Ryder mirip Cut Mini gak sih?

 

Penceritaan semakin terbebani oleh way too much explanation. Aku gak tahu kenapa film fantasi cartoonish yang lucunya justru dari hal-hal random seperti ini merasa perlu untuk menjelaskan banyak hal. Paruh awal film ini banyak banget dialog yang naturenya eksposisi; entah itu karakter menceritakan masa lalu atau ya rangkuman dari eskposisi tersebut. Like, ada karakter yang baru dimunculin sekitar 30-menit into the story, tapi percakapan antara Astrid dan karakter ini cuma rangkuman kejadian yang baru saja kita lihat. Seolah kita tidak bisa menyimpulkan sendiri, atau kita lupa. Padahal kan, waktu-waktu tersebut seharusnya bisa digunakan untuk lebih nge-flesh out hubungan antar-karakter. Alasan yang terpikir paling ya, karena ini sekuel yang rentang waktunya jauh (supaya penonton gak lupa) atau karena ini juga ngincer penonton baru dari generasi short-attention-span sehingga tiap beberapa menit perlu ada rangkuman cerita. Atau karena film salah ambil perspektif cerita sedari awal? Hmm..

Aku ngerti Lydia dijadikan perspektif utama karena dia karakter dari film sebelumnya, yang punya arc yang langsung berkaitan dengan Beetlejuice (dan also karena dia Winona Ryder, gitu loh!) Tapi menurutku justru karena itulah film ini jadi merasa perlu untuk menjelaskan banyak hal/cerita dari film sebelumnya. Karena kita harus mengerti sudut pandang dia yang tokoh utama, maka kita harus dikasih penjelasan dulu atas hal-hal apa yang sudah ia lalui. Sebaliknya, menurutku, jika film ini mengambil perspektif utama dari si Astrid yang diperankan Jenna Ortega; karakter baru yang diceritakan not even care sama kemampuan ibunya, cerita dan segala konsep dunianya juga akan bisa berlangsung cuek, dan lebih fokus kepada hubungan Astrid dan ibunya itu sendiri. Karena kita akan berada di belakang Astrid yang awalnya tidak percaya mistis, tapi lantas dia discover banyak hal secara langsung, sehingga film gak perlu sering-sering stop untuk menjelaskan di awal dan kitapun nyemplung lebih mulus seperti baru pertama kali masuk ke dunia itu, seperti Astrid.

 




Dua kali lebih random, membuat film ini fun. Tapi dua kali lebih crowded, lebih ribet, membuat film ini lebih messy dari film originalnya. Dunia dan konsep afterlife dengan karakter unik dan cartoonish memang menghibur, sayangnya penceritaan film ini terbebani oleh penjelasan yang terlalu banyak di paruh awal. Aku pikir dunia gila seperti dunia Beetlejuice ini tidak perlu penjelasan yang terlalu banyak karena randomnya itulah letak lucu dan serunya. Aku suka Beetlejuice dan would like to explore dunianya lebih jauh. Tapi kalo setiap film bakal semakin padet dan sumpek kayak gini, aku jadi takut juga menyebut judulnya sampai tiga kali. Takut kalo beneran datang, dan bukannya lebih menghibur dengan ‘menakutkan’, tapi malah lebih mengecewakan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BEETLEJUICE BEETLEJUICE

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa cerita horor komedi yang muatannya bangunan dunia fantasi ini gak jalan di penonton kita, kenapa kita belum punya film seperti ini?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KAKA BOSS Review

 

“All parents are an embarrassment to their kids”

 

 

Arie Kriting sepertinya punya beberapa keresahan. Tentang stereotype orang Timur yang karena perawakannya, sering dianggap seram, garang, kayak preman, dan sebagainya. Like, jaman ospek kuliah di kampusku dulu (aku mahasiswa teknik geologi), teman-teman yang dari Timur gak pernah ditempatkan jadi petugas medis yang urusannya nolongin mahasiswa baru yang tumbang atau sakit. Mereka selalu kebagian ‘peran’ jadi senior ‘paling galak’, yang cuma dikeluarkan ke depan maba saat kegiatan yang bersifat stressing level maksimal. Mereka di-hype sebagai pertanda bahwa ospek hari ini akan ‘berdarah-darah’. Padahal aslinya, mereka ya biasa aja, gak ada yang jahat, malah juga suka bercanda. Selain itu, sebagai seorang bapak, Arie Kriting juga sepertinya punya keresahan yang khusus menghantui para orangtua. Tentang relasi dengan anak-anaknya nanti. Bagaimana nanti jika anak malah malu dengan orangtuanya, bukannya bangga. Bagaimana kalo ternyata sebagai orangtua, kita not good enough bagi anak-anak kita. Keresahan-keresahan itulah yang sepertinya digodok menjadi cerita oleh Arie Kriting dalam drama komedi Kaka Boss. ‘Anak-keduanya’ di layar lebar.

Kaka Boss adalah panggilan yang diberikan oleh anak-anak buah kepada Ferdinand. Karena dia bukan saja sosok pemimpin yang baik, yang ngasih saudara-saudara sedaerahnya kerjaan yang jujur dan bersih, tapi juga jadi teladan yang jempolan dengan kompas moral yang mantap di ranah pekerjaan mereka. Sebagai agen sekuriti, Kaka Boss dan bawahannya memang ngehandle kerjaan yang menyerempet dunia malam dan baku hantam; mereka harus provide tenaga di antaranya buat jadi bouncer, bodyguard, ataupun jadi debt-collector. Perawakan sepertinya memang jadi modal lahiriah mereka di bidang kerjaan ini, tapi karena kerjaan itu jugalah, banyak orang yang menganggap Kaka Boss dan teman-temannya sebagai preman. Mereka dikira gangster tukang palak, tukang pukul. Anak Kaka Boss, si Angel yang masih SMA, aja sampai malu sama bapaknya. Kaka Boss yang tiap hari mengantar ke sekolah itu tidak diperbolehkan turun dari mobil. Nanti teman-teman pada takut, alasan putri semata wayangnya tersebut. Sekarang, Kaka Boss percaya satu-satunya cara supaya Angel bangga sama dirinya adalah dengan nyari kerjaan baru. Dia mutusin buat jadi penyanyi. Bikin album. Nampil di acara sekolah Angel. Masalahnya, untuk urusan  dunia tarik-suara, Kaka Boss tidak punya modal lahiriah.

Alias suaranya lebih fals daripada suara Giant di Doraemon

 

Seorang ayah yang cuma pengen bikin anaknya bangga, tapi anaknya malu sama pekerjaan dirinya. Itu premis drama yang jadi hati film ini. Membuatku teringat sama film Jepang tentang drama pegulat, My Dad is a Heel Wrestler (2019). Di film itu dibahas gimana seorang anak SD merasa malu karena ayahnya bukan pegulat juara, melainkan justru antagonis dari bintang gulat saat itu. Ayahnya adalah Topeng Kecoa yang licik, curang, penakut. Pokoknya tidak heroik, tidak bisa dia banggain kepada teman-teman sekelas. Haru deh ketika kita melihat sikap anaknya tersebut sebagai kontras dari perjuangan si ayah untuk bikin dia bangga. Karena menjadi orang jahat dan dibenci penonton itulah yang jadi kerjaannya, dia harus melakukan yang terbaik sebagai seorang pecundang di atas ring. Angel dan Ferdinand pada film Kaka Boss ini punya dinamika serupa. Kita juga akan dibikin haru karena kita tahu Kaka Boss bukan preman, dia justru sangat cakap dan jujur dalam kerjaannya. Hanya ya soal kerjaannya itu saja yang menuntutnya harus tegas, perawakannya saja yang bikin dia tampak galak, nada bicara alaminya saja yang bikin dia kayak ngajak berantem terus. Godfred Orindeod dan Glory Hillary – sebagai Kaka Boss dan Angel – tampak genuine dan play off their on-screen dynamic very well, sehingga kita tersedot untuk peduli. Kita ikut merasakan downnya Kaka Boss ketika dia merasa gagal dan ‘mati langkah’, ketika dia sadar dia gak bisa nyanyi. Kita pengen dia berhasil bikin bangga Angel. Tapi kita juga dibuat mengerti ama tuntutan Angel dan kita pengen dia tahu gimana kerjaan ayahnya yang sebenarnya. Film menggali sudut pandang Angel dengan cukup maksimal, yang mengarah kepada penyadaran dirinya. Dan yang aku suka dari perspektif Angel ini adalah bahwa film ngasih lihat kepadanya bahwa ‘buah jatuh gak jauh dari pohonnya’. Angel punya ‘bakat’ ngeboss yang sama dengan ayahnya hihihi…

Kayaknya memang sudah lumrah bagi anak-anak untuk merasa malu dengan orangtua mereka, akan ada satu masa ketika anak mengganggap apapun yang dilakukan orangtuanya sebagai hal yang memalukan. Bahkan diajak ngobrol sama ayah atau ibu di depan orang ramai pun bisa jadi hal yang memalukan bagi seorang anak. Dan itu penyebabnya apalagi kalo bukan adalah hal yang lumrah juga bagi orangtua untuk merasa dirinya harus jadi panutan dan jadi kebanggaan bagi anak mereka. Orangtua forcing themselves to do that, ngerasa harus perlu membuktikannya sepanjang waktu, dan itulah yang membuat interaksi jadi awkward – dan tampak malu-maluin bagi si anak.

 

Sayangnya, Kaka Boss kurang maksimal dalam pengembangan perspektif karakter titularnya. Karakter Kaka Boss dibuat harus mengalah sama satu premis lagi yang dipunya cerita. Yaitu premis komedi. Dan film, di pertengahan, memang jadi condong mengeksplorasi ini saja. “Orang yang pengen jadi penyanyi, tapi gak sadar suaranya enggak bagus.” Dan premis komedi ini ditimpakan kepada karakter lain; si produser musik (diperankan oleh Ernest Prakasa) yang dimintai tolong mengorbitkan Kaka Boss sebagai penyanyi. Bagaimana memberitahu seseorang bahwa dia not good at doing something, apalagi kalo si orang itu menakutkan dan punya kemampuan untuk menggamparmu habis-habisan? Di pertengahan, film malah fokus di sini. Stakenya seolah dipindah ke si produser yang harus mempertaruhkan banyak untuk mencari cara gimana caranya bikin suara nyanyian Kaka Boss enak didengar. Yang action ya dia, dan orang-orang sekitar Kaka Boss yang sepakat merahasiakan soal suara jeleknya Kaka Boss karena gak ada yang berani jujur to his face. Sementara Kaka Boss, yang semestinya adalah karakter utama, dibiarkan dalam ketidaktahuannya, ditreat semacam bom waktu yang bisa meledak marah kalo produser gagal bikinin album atau mereka ketahuan bohong bilang suaranya bagus.

Padahal film sebenarnya masih bisa membuat premis komedi ini bergerak untuk development Kaka Boss. Contohnya kayak yang dilakukan oleh film Popstar: Never Stop Never Stopping (2016). Di film itu Andy Samberg jadi penyanyi idola remaja yang songong, dan dia gak nyadar penjualan albumnya merosot karena lagu-lagunya ciptaannya itu jelek semua. Dia gak sadar dia gak berbakat nyiptain lagu karena semua orang, mulai dari manager, groupie, hingga kru teknisnya pada ‘yes man’ semua. Ngangguk-ngangguk bagus doang ketika dimintain pendapat. Gak pernah ada yang berani ataupun peduli untuk ngasih kritik. Nah film itu tetap menempatkan karakter Andy sebagai perspektif utama karena dia yang perlahan menyadari sikap orang sekitarnya, yang leads kepada dia menyadari kesalahan-kesalahannya dalam bersikap sehingga semua orang di sekitarnya jadi ‘fake’ dan gak berani jujur padanya. Development dia menjadi lebih baik itu ada. Sedangkan pada Kaka Boss, hampir tidak ada ruang dan waktu untuk si Kaka Boss punya development. Karena perspektifnya berpindah, dan si Kaka Boss ini sendiri sudah sedemikian baik dan mulia – against his stereotype – sedari awal. Hanya putrinya saja yang belum menyadari betapa baiknya ayahnya.

Low key pengen bilang berani kritik itu penting!

 

Memang saat nonton aku ngerasa aneh sama naskahnya. Kirain Kaka Boss mau ganti kerjaan dan milih jadi penyanyi itu cuma sekuen ‘langkah pertama’ doang. Kirain abis itu dia gagal, dan nyoba kerjaan lain tapi gagal juga, until he realize bukan kerjaannya yang sebenarnya perlu dia ganti. Tapi ternyata film ini memang stay di pindah kerjaan jadi penyanyi tersebut. Ini membuatku kembali menengok ke film My Dad is a Heel Wrestler tadi untuk membandingkan bagaimana kedua film ini mencapai resolusi anaknya jadi bangga dengan ayahnya, no matter apapun pekerjaannya. Film tersebut berakhir dengan si anak nonton pertandingan ayahnya, dan untuk menunjukkan si anak kini sudah mengerti dan bangga kepada ayahnya, si anak berdiri dan ikut mencaci maki ayahnya yang lagi bertanding curang di ring. Temannya ampe bertanya “Kenapa kau meneriaki ayahmu seperti itu?” Si anak dengan tenang dan ekspresinya bangga banget menjawab “Karena itu kerjaan ayahku”. Film tersebut ngasih penyelesaian yang benar-benar tertutur manis, respek terhadap karakter dan juga kerjaannya karena pekerjaan itu adalah bagian dari karakternya. Sementara Kaka Boss, berakhir dengan nunjukin si produser somehow berhasil menemukan cara bernyanyi yang cocok untuk si Kaka Boss, sehingga bisa tetap nampil, sementara Angel sendiri  sebenarnya sudah berdamai dengan rasa malunya, dan dia sudah menghargai ayahnya, sebelum performance tersebut. Jadi gak benar-benar terasa klop. Performance itu jadi gak urgen (walaupun aku sendiri suka banget dengan penampilannya karena film nampilinnya benar-benar seperti penampilan musik untuk film) ‘Pindah kerjaannya’ itu jadi kayak hiasan, alasan kenapa alternatifnya ke ‘jadi penyanyi’ juga tidak kuat dilandaskan. Toh Angel tidak dibangun sebagai karakter yang suka musik atau semacamnya.

Aku berpikir mungkin film memindahkan kerjaan dari agen sekuriti ke penyanyi dan stay mengeksplorasi dunia nyanyi ini karena agen sekuriti yang semua pekerjanya orang Timur itu not a real job. Sehingga film ini gak tahu harus ngangkat apa lagi dari sana. Beda dengan kerjaan heel wrestler di film Jepang tadi. Gulat memang bohongan alias hasil tandingnya sudah diatur, tapi kerjaannya itu asli. Beneran ada pegulat yang khusus untuk meranin karakter curang dan dibenci orang banyak, supaya mengangkat karakter baiknya untuk jadi hero. Drama film tersebut jadi tetap terasa real, genuine. Film Kaka Boss kehilangan pijakan ketika memutuskan pindah tanpa alasan yang kuat. Bahasan prejudice terhadap stereotype-nya pun jadi tidak lagi terasa real, dan lebih kayak diadain buat lucu-lucuan aja ketimbang genuine concern karena karakter utamanya tidak berjuang di sana sebagai pamungkas cerita. Film ini seperti kejebak sendiri di stereotype, dan kurang maksimal jadi genuine drama menyentuh hati sambil menghibur dan mematahkan prasangka karena kurang maksimal dalam karakterisasi. Gak kayak sodara se-PHnya, Agak Laen (2024). Film tersebut thrive more than representasi, ceritanya kena dan lebih konek universally karena kita tidak melihat karakternya sebagai orang batak yang susah dapat kerjaan karena dianggap preman, melainkan sebagai mantan napi- sebagai orang yang pernah melakukan kesalahan yang cukup besar sehingga mereka susah dapat kerjaan lain.

 




Berangkat dari apa yang sepertinya sebuah genuine concerns terhadap stereotype orang Timur dan hubungan parenting ayah terhadap anaknya, film ini menggodok premis drama dan premis komedi ke dalam cerita. Sayangnya kedua premis tersebut belum tergabung dengan maksimal. Walau film ini masih bisa bikin kita haru dari hubungan karakter Kaka Boss dengan putri yang malu sama kerjaannya, tapi premis komedi kayak lebih mengtake over. Dan membuat cerita jadi pindah perspektif dan malah membahas lucu-lucuan soal Kaka Boss gak bisa nyanyi tapi gak ada yang berani bilang. Akibatnya karakterisasi menjadi lemah, dan berdampak kepada film ini jadi berakhir jadi cuma sebatas feel good moment tanpa benar-benar punya something to say terhadap concerns yang diangkat karena ditutup manis dengan penyadaran yang kurang klop development atau journeynya. Kalo film adalah ‘anak’ dan sutradara adalah ‘orang tua’, film ini memang belum sempurna, tapi paling tidak, enggak begitu malu-maluin karena masih punya momen-momen yang lucu dan haru di sana-sini.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for KAKA BOSS

 

 




That’s all we have for now.

Ada gak sih kelakuan ortu yang pernah bikin kalian malu?

Share cerita kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KINDS OF KINDNESS Review

 

“Genuine kindness doesn’t have ulterior motives”

 

 

Baru juga kita move on dari absurdnya dunia Poor Things (2024) yang mempertanyakan siapa sebenarnya yang malang dalam dinamika pria-wanita, Yorgos Lanthimos udah ngajak kita ke dunia yang lain lagi – yang juga tak kalah aneh. Enggak tanggung-tanggung. Isi dunianya kali ini bukan cuma satu, melainkan ada tiga cerita. Sekilas dari judulnya sih, kayaknya Yorgos ingin ngasih tau kita tentang rupa-rupa kebaikan. Makanya dia membuat ini sebagai antologi. Tiga cerita, dengan aktor-aktor yang sama memerankan karakter yang berbeda-beda pada setiap kisah. Tapi yah namanya juga dark comedy, film ini menyentil bahwa ternyata kebaikan seringkali punya motivasi. Kita manusia dengan kondisi kita yang kompleks, justru seringkali berada dalam kebaikan yang pura-pura.

Film antologi harus punya satu tema, benang merah, atau apalah yang mengikat kisah-kisahnya. Membuat mereka paralel dan berjalan menuju arah yang sama. Jadi gak bisa asal menghimpun banyak cerita pendek yang tidak saling berkaitan lalu ntar tinggal dicari cocokologinya untuk bisa dijual ‘bundel’. Menilai film antologi, kita perlu menyorot kepada desainnya. Konsepnya. Filmografi Yorgos toh membuktikan bahwa sutradara asal Yunani ini paham dan dia memang selalu punya desain dan konsep unik tersendiri. Kinds of Kindness ini, walau tiga cerita di dalamnya random dan aneh-aneh semua, tapi mereka semua punya kesamaan. Misalnya, pada tiap cerita ada momen karakter bermimpi. Ada yang mimpi dunia saat anjing jad berperilaku layaknya manusia. Ada yang mimpi bisa bernapas di dalam air. So, sudah pasti keseluruhan film ini bakal punya vibe yang sangat absurd. Menyaksikannya bakal kayak menonton film thriller, tapi begitu absurd oleh karakter; motivasi dan kejadian mereka. Dan meski absurd, karakter utama tiap kisahnya ngalamin journey yang sama. Bahasannya juga serupa, selalu ada orang yang berusaha pleasing someone, ada orang yang try to control everything, dan tentu saja ketiganya bermain-main dengan term ‘kebaikan’ itu sendiri. Sehingga pada akhirnya buatku film ini konyol tapi juga begitu mendebarkan karena daaangg, yang dikatakannya sebenarnya realistis dan grounded juga loh ke kita.

Bersiap masuk ke dunia yang anehnya kayak mimpi

 

Cerita pertama Jesse Plemons jadi karyawan ‘baik’, yang mau mengerjakan semua perintah Willem Dafoe, bosnya yang juga ‘baik’.  Jadi dia merasa utangbudi sama si bos, karena selama ini semua yang terjadi di hidupnya – istrinya, karirnya, harta bendanya – literally diatur oleh bos. Ini kan sebenarnya hal yang bisa relate juga kepada kita – harus tau terima kasih – hanya, oleh Yorgos absurdnya dinaikkan ke level maksimal. Ada satu perintah si bos yang gak bisa dituruti oleh karakter Jesse, si Roberts. Yaitu staging a fake car crash; menabrak mati seorang pria. Karakter bosnya membuatku teringat sama Arswendi pada Autobiography (2023). Tampak santai, friendly, tapi setiap kata-katanya adalah tuntutan. Perintah. Mangkir dari perintahnya berarti tersiksa pelan-pelan. Dan itu jugalah yang dirasakan Roberts setelah dia misuh-misuh menolak. Hidup Roberts, semua yang ia miliki, jadi hilang. Cerita ketiga Emma Stone jadi ibu yang ‘baik’. Ibu yang rindu dan sayang sama putrinya, sehingga dia diam-diam ke rumah saat suami dan anaknya pergi. Si Emily ini memang sudah cerai, karena dia mendedikasikan hidupnya untuk sekte yang ia percaya. Nah lo! Emily sebenarnya sedang dalam misi dari sekte untuk mencari seorang perempuan kembar yang bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan Emily sudah siap untuk melakukan apapun demi membawa perempuan itu kepada sekte. Cerita kedua sengaja aku taroh belakangan karena ini yang paling aneh. Sureal. Lucunya, mirip ama cerita Primbon (2023). Jesse Plemons, kini jadi polisi ‘baik’. Ini pasti kita semua sudah ngerti dark joke dari polisi yang baik hihihi, tapi mesti begitu toh film tetap gaspol nunjukin gimana polisi ‘baik’ itu. Istrinya yang juga polisi, hilang dalam tugas di pulau. Daniel, nama karakternya, stress berat. Lalu kemudian istrinya ketemu. Pulang. Sehat wal-afiat. Tapi Daniel merasa ada yang beda dari istrinya. Dia curiga perempuan itu mungkin kloningan atau apa. Sehingga dia  jadi tega menyuruh istrinya melakukan hal-hal tak terbayangkan. Hal yang membahayakan diri. Dan si istri mau aja. Ya namanya juga istri yang ‘baik’.

Kebaikan itu ternyata subjektif ya, jika kita melihat para karakter film ini. Berbuat baik ternyata punya maksud di baliknya, kebaikan ternyata tergantung orangnya. Jasa atasan harus kita balas dengan jasa yang diminta, no question asked. Bahkan dari sekte itu, film seperti bilang sebagai umat yang baik, kebaikan berarti kita harus rela mengorbankan apapun termasuk mati demi ramalan. Aku rasa alasan film mengambil gaya yang aneh dan nada komedi adalah supaya kita lebih mudah melihat dan memahami kalo ‘kebaikan-kebaikan’ tersebut sebenarnya bukan kebaikan. Melainkan hal yang toxic. Urgensi film ini adalah ya karena ‘kebaikan-kebaikan’ tersebut juga relate dan lumrah di kita, meskipun memang tidak sampai ke taraf edan kayak yang digambarkan film. Gimana istri terlalu patuh ama suami, padahal suaminya kasar. Oleh film ini, cerita kedua tadi juga ditambah konteks tentang dunia anjing; yang juga bisa kita hubungkan menjadi teguran dari film. Bahwa anjing peliharaan – seeing anjing dianggap sebagai hewan paling patuh – aja bisa gigit kalo ownernya kasar.

Memang, Kinds of Kindness bukan cuma gambaran. Film ini juga punya statement tentang kebaikan yang sebenarnya itu seperti apa. Tentu saja, statementnya ini pun dengan sama absurdnya. Ketika Jesse Plemons, Emma Stone, Willem Dafoe, serta aktor-aktor lain menjadi peran-peran yang berbeda pada setiap cerita, karena masing-masing cerita itu dimaksudkan sebagai gambaran kejadian yang semuanya aneh-aneh dan sekilas tampak tidak saling berhubungan, ada satu aktor yang memerankan peran yang sama pada ketiga cerita. At least, nama karakternya sama. Karakter ini perannya sebenarnya minor, tapi karena dia satu-satunya yang konstan maka dia mencuat. Film bahkan menjadikan dia sebagai nama chapter atau judul dari masing-masing cerita. Karakter itu adalah pria paruh baya bernama R.M.F. – diperankan dengan, seingatku, tanpa dialog oleh Yargos Stefanakos. Cerita pertama diberi judul “The Death of R.M.F.” – dia adalah pria yang harus ditabrak oleh Roberts. Cerita kedua berjudul “R,M.F. is flying” – dia adalah pengemudi helikopter yang menyelamatkan istri Daniel. Cerita ketiga “R.M.F. Eats a Sandwich” – dia adalah mayat yang dihidupkan kembali, dan di penutup dia makan sandwich di kafe. Ni orang kayak asik sendiri hahaha, kalo memang dia orang yang sama pada ketiga cerita, berarti ya hidupnya ngelingker sendiri. Namanya yang cuma inisial mengundang kita untuk bertanya-tanya, mungkin memang karakter ini punya makna besar sendiri. Buatku, yang cukup jelas dari gimana karakter ini berbeda dari yang lain, dan gimana dia simpel sendiri, adalah itu semua karena dia adalah karakter yang tanpa motivasi. He just accept what happens to him. Dia tidak ingin mengontrol, tidak ingin dicinta, tidak ingin diakui, tidak ingin balas budi. Dia menolong karena dia menolong. Dia jadi korban karena dia korban. Dia hidup karena dia hidup. Dan itulah bentuk ‘kebaikan’ yang dianggap film sebagai kebaikan sejati. Kebaikan tanpa motivasi. Kebaikan yang enggak subjektif.

Kebaikan yang pure tidak perlu rupa-rupa. Apalagi pura-pura. Kebaikan yang pure tidak punya motivasi apa-apa di baliknya. Justru seharusnya kebaikan itu sendirilah yang jadi motivasi kita dalam hidup. Tapi yah, mungkin memang lebih mudah memimpikan hidup seperti itu ketimbang benar-benar menjalankannya

 

Cocok deh tema sama pilihan lagu pembukanya “Sweet Dreams”

 

Dengan karakter yang aneh, alur masing-masing cerita yang juga aneh, dan durasi yang juga menuntut perhatian lebih (clocking at 2 jam 44 menit, ini kayaknya film terpanjang dari Yorgos) film ini memang perjuangan yang menantang untuk diikuti. Sebenarnya gak bener-bener bikin bingung atau berat segimana sih. Cuma ya looking back at it, karena tiga cerita yang paralel, yang pada intinya juga formula dan journeynya sama, maka bisa ada semacam rasa repetitif.  Tapi pas saat sedang ditonton gak kerasa kok. Paling kerasanya justru cerita agak ke mana-mana karena absurd. Malahan, kerja film sebenarnya cukup maksimal untuk bikin kita kehook dan terus penasaran, Being absurd itu salah satunya. Kedok yang menarik untuk nutupin kesamaan formula antara tiga cerita. Penampilan akting para aktornya certainly gak bikin kita bosan. Dari wujud, hingga pembawaan karakter, wuih semuanya unjuk range dan timing dan pemahaman karakterisasi level atas! Film ini juga punya momen-momen brutal to keep us on edge. Ada beberapa kali aku kelepasan neriakin layar, biasanya pas adegan-adegan yang aku sontak ngeh si karakter mau ngapain selanjutnya. Nah, menurutku film ini did a great job pada penceritaan karena di tengah segala keanehannya, masih kerap ada momen-momen seperti itu; momen-momen yang kita bisa ngerti precisely karakternya mau melakukan hal seram apa. Dan kita bereaksi; nunjukin kita peduli sama orang-orang yang katanya ‘baik’ itu.

 

 




Baiklah, biar gak makin bingung, diperjelas aja. Ini satu lagi film Yorgos yang menantang banget untuk didiskusikan. I think sutradara ini sekali lagi berhasil menggunakan gayanya sebagai cara untuk membicarakan sesuatu, dan menerapkan gaya tersebut menjadi ‘something’. Film ini jadi unik, menarik; apalagi ini kan sebuah antologi. Basically cuma kumpulan cerita pendek. Namun ini bukan cerita-cerita yang dikumpulkan lalu lantas dihubungkan dengan tema. Film ini dibuat menjadi antologi karena sutradaranya punya desain sendiri terhadap gagasan yang ingin dia bicarakan. Aku yakin banyak tanda tanya muncul setelah kita nonton ini, karena memang absurdnya bukan main, tapi kan di situ daya tariknya. Lagipula film ini tidak memaksudkan tanda tanya itu untuk dijawab secara eksak, melainkan  ya bebas aja, It could work sebagai satir, sebagai komedi konyol, atau umpama seni abstrak yang nyeleneh aja. Secara penceritaan memang tidak sefektif film-film ‘greatest hit’ Yorgos sebelumnya. Ini toh lebih ke kreasi atau desain cerita yang sayang dilewatkan jika kita suka sama tantangan. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KINDS OF KINDNESS

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, R.M.F. singkatan dari apa?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL