My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2024

 

Satu dua tiga.. itu bukan itungan menuju kembang api tahun baru yang sekali lagi sudah kita lewati, tapi angka jumlah – tepatnya seratus dua puluh tiga – film yang udah sukses tereview di blog ini sepanjang 2024 yang lalu. Angka yang lebih besar daripada tahun 2023. Tapi itu juga bisa review lebih banyak karena aku ‘ngecheat’ lewat mini review. Jadi, tahun 2024 filmnya lebih banyak tapi reviewnya lebih sedikit. Make sense gak sih? hahaha

Melakukan ini setelah sekian lama ternyata jenuh itu sampai juga kepadaku. Maka tahun ini ya, jujur aja, aku semakin males ke bioskop. Gairah untuk sesegera mungkin bertemu film baru itu pun jadi menipis. Aku jadi lebih suka menunggu hingga tayang di platform, lalu menontonnya di komputer. Nulis reviewnya pun udah gak kerasa begitu urgen. Satu ulasan, belakangan ini, aku garap dua hari. Padahal biasanya, langsung ngebut begitu beres kredit filmnya bergulir. Kalo nontonnya di bioskop, biasanya aku cepet-cepet pulang untuk bikin tulisan. Tapi tahun ini, kalo lagi gak ujan, aku lebih suka pulang nyantai – kalo perlu jalan kaki pulang ke kamar. Gak tau juga sih kenapa jadi ilang gairah, padahal ke film itu sendiri aku masih terus penasaran. Film masih tetap jadi eskapis dan ruang melihat karakter yang menarik bagiku. Caturwulan terakhir tuh, aku rasanya males banget. November malah aku cuma publish dua post single-review. Tapi tenang sodara-sodara, di penghujung tahun 2024, aku merasa sudah menemukan kembali passion itu – atau seenggaknya, aku menemukan pemantik gairah baru dalam menonton. However, I really hope this particular reason would work out nicely sampe ke 2025 dan further, doain aja yaww..

Balik ke soal 123 film, keliatannya banyak tapi cakupannya ternyata juga belum terlalu dalam. Beberapa film yang crucial di 2024 kayak Gladiator 2, Wicked, Emilia Perez, Mufasa, dan bahkan Red One (yang ternyata cukup unik) belum sempat kutulis – dan bahkan belum sempat kutonton – sehingga gak termasuk dalam daftar ini. So yea, daftar kali ini mungkin bukan cerminan terbaik dari perfilman 2024, tapi ya sudah cukup mewakili lah.

 

HONORABLE MENTIONS

  • American Fiction (meskipun judulnya ‘American’ tapi keadaan sosial yang diangkat di film ini relate ke kita, karena I guess semua orang sekarang memang hidup di dunia yang sama, dunia tipu-tipu alias dunia fiksi)
  • Heretic (dialog menantang soal keimanan dan agama adalah wujud asli dari thriller ini)
  • How to Make Millions Before Grandma Dies (kirain lucu-lucuan soal rebutan warisan, ternyata cerita menyentuh tentang hubungan keluarga di mana jadi caregiver adalah bentuk ultimate sebuah cinta)
  • I Saw the TV Glow (bukan cuma nostalgia kultur televisi, tapi juga kisah psikologis yang haunting tentang identitas diri)
  • Kabut Berduri (cerita detektif bernuansa psikologis dan juga mistis? jarang banget ada di Indonesia)
  • Kinds of Kindness (antologi super absurd tentang rupa-rupa (atau pura-pura?) kebaikan)
  • Longlegs (detektif bernuansa mistis jugak, tapi ini emphasize di atmosfer dan penampilan akting creepy dari Nicholas Cage)
  • Monster (yang Jepang loh, bukan film Indonesia yang berjudul sama. Film ini punya konsep tiga perspektif, sehingga ceritanya jadi kayak berevolusi jadi tiga genre berbeda. Tapi yang lebih penting, psikologis karakternya kuat sekalii. Salah satu dari dua film yang dapat skor 9 tahun ini)
  • Oddity (sebenarnya secara film kurang bagus, tapi secara cerita, ini adalah cerita dan penceritaan horor yang paling efektif)
  • Poor Things (satu lagi yang weird dan absurd dari Lanthimos, film ini kayak gimana ilmuwan memandang cinta dan kesempurnaan)
  • Speak No Evil (ini panggung pertunjukan akting dari James McAvoy)
  • Strange Darling (aku udah ngulang nonton ini 4 kali karena pengen lihat telaknya struktur acak film ini meniru bentukan judgment kita, dan karena pengen lihat adegan mati yang keren banget di endingnya)
  • Thelma (satu lagi cerita tentang hubungan dengan nenek, tapi kali ini beneran dari perspektif nenek, dengan vibe action!)
  • The Zone of Interest (nampilin ketidakmanusiawian bukan dari eksploitasi kekerasan, melainkan dari sound design yang menyiksa nurani)
  • Transformers One (ini baru film Transformers yang aku kenal!)

Special Shout Out dialamatkan kepada Agak Laen, karena film ini ulasannya paling banyak dibaca pada blog ini sepanjang 2024. Dan kepada Poor Things, yang video ulasannya di channel YouTube mydirtsheet paling banyak ditonton.

Semoga ‘Honorable Mentions’ barusan bikin kalian bertanya-tanya, kayak. “Emangnya ada film yang lebih bagus dari Monster?”. Nah itulah serunya,  untuk daftar seperti DELAPAN BESAR 2024 ini aku percaya daftar tersebut harus disusun sepersonal mungkin. Karena subjektivitas itulah justru alasan utama kita tertarik sama film pilihan orang-orang, kan? Karena kalo isi daftarnya sama semua, apa gunanya everybody bikin kan? So, here my list!

 

 

 

8. HIT MAN

Director: Richard Linklater
Stars: Glen Powell, Adria Arjona, Austin Amelio
MPAA: R
IMDB Ratings: 6.8/10
“Seize the identity you want for yourself.”

 

Aku nonton ini gak punya ekspektasi apa-apa, malahan aku nonton ini karena direkomen sama pembaca blog kalo ndak salah. Karena kukira memang ceritanya standar tentang everyday man yang ternyata pembunuh handal. Ternyata bukan. Justru sebaliknya, film ini matahin ekspektasi kita tentang citra pembunuh bayaran yang dibentuk oleh media. Serta di baliknya ada bahasan berbobot tentang bagaimana kita memandang diri sendiri. Inti film ini memang soal identitas dan psikologi; dua hal yang aku masih nyesel banget gak ngejar mereka pas di bangku kuliah.

Film ini bisa nyeritain bahasan tersebut dengan fun, karena punya permainan akting yang benar-benar menyokong. Glen Powell-lah namanya, kayaknya dia effortless banget mau jadi karakter macam apa pun. Relationship dan romance-nya pun diceritakan dengan fresh. Berjalan tetap di jalur temanya sendiri sehingga unpredictable namun juga grounded. Ini paket entertainment yang bikin kita gak ngerasa bego menontonnya

My Favorite Scene:
Adegan Gary ama Madison improv dialog pake notes di hape (karena ceritanya mereka lagi diawasi). Kocak dan clever banget!

 

 

 

 

 

 

 

7. THE FIRST OMEN

Director: Arkasha Stevenson
Stars: Nell Tiger Free, Ralph Ineson, Sonia Braga
MPAA: R 
IMDB Ratings: 6.5/10
“How do you control people who no longer believe? You create something to fear.”

 

Tahun 2024 kita banyak dapat prekuel dari film horor klasik, however, The First Omen ini yang jauh lebih mending dibanding yang lain. Bisa mengikat cerita ke lore film aslinya, sementara juga punya bahasan sendiri yang utuh. Bukan cuma itu, di tahun yang marak horor dengan kualitas yang meningkat dibanding tahun lalu, First Omen pun terasa powerful. Padahal ini baru debutnya, tapi sutradara nunjukin dia punya nyali. Berani ‘mengubah’ materi sesuai kebutuhan tema atau gagasan, tanpa merusak garis besar role atau cerita. Sehingga film The First Omen bukan sekadar soal kelahiran Damien, melainkan juga eksplorasi yang lebih dalam tentang keluarganya – tentang kultus yang ‘melahirkannya’. Semua itu terangkum dalam horor bertajuk modern; otonomitas tubuh perempuan.

Aku suka aja vibe horor klasik yang dipertahankan. Suka juga ama teknis film ini menciptakan ketakutan kita lewat adegan-adegan seram yang suspensnya kuat banget. Adegan horor film ini memorable semua loh. Tentu saja ini juga berkat penampilan akting. Tiger Nell Free nunjukin range yang luar biasa. Karakternya tidak sekadar bereaksi terhadap hal mengerikan di sekitar, namun film mengembalikan semua horor ke journeynya yang traumatis. Journey mengerikan karakternya ini yang bikin film ini ngeri. Gak banyak film horor sekarang yang ngerti itu.

My Favorite Scene:
Mulai dari imposed shot laba-laba, jumpscare tanpa suara ngagetin, sekuen bayangan, udah gak keitung adegan keren di film ini. Makanya aku pilih film ini sebagai wakil genre horor dalam daftar terbaik 2024. Kalo mau pilih satu, adegan favoritku adalah adegan melahirkan di jalan, yang juga adalah reference dari horor klasik lain.

 

 

 

 

 

6. CIVIL WAR

Director: Alex Garland
Stars: Kirsten Dunst, Cailee Spaeny, Jesse Plemons
MPAA: R
IMDB Ratings: 7.0/10
“Once you start asking those questions you can’t stop. So we don’t ask. We record so other people ask.”

 

Di tengah situasi politik yang bikin kayak ada kubu antara yang 58% dan yang masih waras, film ini terasa begitu penting dan urgen. Karena perang sodara di mana-mana kayaknya memang sumber dan masalahnya sama. Harusnya di saat-saat seperti ini, media jadi tonggak utama. Yang netral dan melaporkan kejadian faktual. Namun, bisakah mereka juga dipercaya. Civil War mengambil sudut pandang jurnalis di medan perang sodara, memotretnya dalam lensa dualitas supaya orang-orang dan bahkan para jurnalis itu sendiri bisa ingat, di mana harusnya integritas mereka berada.

Inilah yang menggerogoti protagonisnya dari dalam. Sebagai jurnalis fotografi senior, Lee telah banyak memotret dari dekat kejadian-kejadian mengerikan. Dia memotret orang terbakar, dari jarak yang sebenarnya bisa digunakannya untuk membantu si korban. Melalui si Lee ini, film pun menarik paralel antara tentara yang membidikkan senapan dengan jurnalis yang membidikkan kamera. Lalu ada lagi karakter Jesse. Jurnalis muda yang mengidolakan Lee, yang memaksa untuk ikut bersama rombongan Lee ke Gedung Putih mewawancarai Presiden. Duality yang lebih gamblang tercermin pada hubungan antara Lee dengan Jesse, karena cerita ini gak akan berjalan maksimal jika karakter Lee tidak diberikan ‘pasangan’. Dramatisnya thriller distopia ini baru akan terasa jika kita melihat Jesse dan Lee sebagai cerminan yang berlawanan. Bagaimana seseorang yang tadinya polos dan naif, menjadi ‘keras’ dan seperti mati rasa karena tuntutan kerjaan membuatnya terbiasa melihat kekerasan dari dekat – bahkan mengalami kekerasan itu sendiri. Dan juga sebaliknya, gimana setangguh-tangguhnya orang, se-hardened apapun perasaan itu, pasti akan tergugah juga demi melihat penyimpangan kemanusiaan sebegitu lama, sebegitu dekat.

My Favorite Scene:
Momen paling intense di film ini adalah saat para jurnalis bertemu dengan Jesse Plemons yang meranin tentara nasionalis – yang tentu saja borderline antara nasionalis dan rasis jadi sangat tipis. Genuinely momen yang bikin merinding karena kita bisa lihat adegan tersebut bisa easily terjadi di dunia nyata.

 

 

 

 

 

 

5. NOT FRIENDS

Director: Atta Hemwadee
Stars: Anthony Buisseret, Pisitpol Ekaphongpisit, Thitiya Jirapornsilp
MPAA:
IMDB Ratings: 7.5/10
“Imagination is more important than knowledge”

 

Saat pertama kali nonton ini aku gak nyangka film ini bakal jadi nostalgia banget buatku. Teman-teman yang mencoba bikin bersama-sama? Well ya, di pertengahan tahun aku kehilangan teman yang dulu selalu ngajak bikin film pendek. Sekarang film ini hits extra hard.

Not Friends mengulik persoalan pergaulan di sekolah – yang bisa dilihat sebagai satir dari bagaimana kita menjadi teman, tapi juga bukan teman yang benar-benar kenal dengan bahkan teman sebangku – ke dalam bahasa yang akrab sama penggemar film. Sutradaranya berhasil menggabungkan bahasan tentang pertemanan dengan passion membuat film menjadi sebuah penceritaan yang manis. Film tetap berpegang kepada storytelling dari drama dari karakter. Karenanya bahkan penonton yang gak share kecintaan yang sama dengan filmmaking pun bakal masih bisa mengikuti drama anak sekolah yang disajikan sebagai hidangan konflik utama. Film tidak membiarkan kisahnya menjadi overdramatis ataupun jadi lebih ‘besar’ daripada persoalan anak sekolah. Melainkan tetap renyah dan menapak.

Jikapun narasinya mengandalkan kepada rangkaian ‘ternyata’, rangkaian itu tidak difungsikan untuk mengecoh ataupun mematahkan plot, melainkan sebagai tantangan berikutnya dari protagonis utama sehubungan dengan development pribadinya yang ingin membuat film tentang teman sebangku yang ia akui sebagai bestienya saat sang teman itu meninggal dunia, sebagai jalan pintas untuk keluar dari masalah masa depan pendidikannya.

My Favorite Scene:
Montase ketika mereka otodidak berusaha membuat adegan dari cerita pendek, melakukan ‘movie magic’ alias treatment dan efek-efek praktikal untuk membuat seolah adegannya beneran astronot di pesawat luar angkasa, misalnya, tampak begitu menarik. Kita seperti diundang masuk ke dalam grup mereka. Kita ngerasain betapa serunya ngelakuin itu semua.

 

 

 

 

 

 

4. GODZILLA: MINUS ONE

Director: Takashi Yamazaki
Stars: Minami Hamabe, Ryunosuke Kamiki, Sakura Ando
MPAA: PG-13
IMDB Ratings: 7.7/10
“Is your war finally over?”

 

Tahun 2024, kita dapat dua film Godzilla, namun sayangnya yang tayang di bioskop adalah film Godzilla yang cuma spektakel. Sementara, Godzilla yang satunya – Godzilla Minus One yang berhasil masuk daftar 8 Besar ini – cukup hanya berpuas diri nonton di komputer. Padahal sensasi epicnya jauh lebih gede Godzilla Minus One! Ini bukan cuma pertempuran monster super gede, tapi pertempuran gede dari rasa kemanusiaan. Godzilla hanyalah sosok yang merepresentasikan perang itu sendiri. 

Yang membuat film ini jadi luar biasa bagus adalah cara mereka menghadirkan manusia dan Godzilla di dunia yang sama dengan kepentingan yang saling tak tergantikan, Cerita bertapak pada manusia dengan perspektif dan identitas lokal yang kuat, tentang posisi mereka pada situasi terendah setelah perang, dan Godzilla jadi brutal force yang menguji pandangan hidup mereka. Kreasi film ini dalam menghidupkan Godzilla di dunia Jepang 1940an pantes banget diganjar awards – dan memanglah film ini layak menjadi film Godzilla pertama yang memenangi piala Oscar untuk Visual Efek Terbaik. Yang membuat, film ini bukan saja berhasil menjadi sajian fantasi sci-fi, tapi sekaligus berhasil sebagai period piece perang! Melihat Godzilla di film ini bukan sekadar seru karena besar, dan epic karena pertarungannya dahsyat. Tapi, yang lebih penting, melihat Godzilla di sini, perasaan kita akan tergugah. Takjub dan takut bergulir menjadi satu. Mungkin seperti menonton film inilah rasanya melihat Godzilla sungguhan; beautiful, majestic, tapi juga begitu menakutkan sampai menggetarkan hati.

My Favorite Scene:
Waktu kapal rongsok penyapu ranjau yang dinaiki Shikishima dan tiga rekannya dikejar oleh Godzilla. Feelingnya intense banget, padahal yang kelihatan dari Godzilla itu cuma duri-duri di punggung dan puncak kepalanya.

 

 

 

 

 

 

3. ANORA

Director: Sean Baker
Stars: Mikey Madison, Paul Wiseman, Karren Karagulian, Mark Eydelshteyn
MPAA: R 
IMDB Ratings: 7.9/10
“I don’t need anyone’s permission to be who I am”

 

Kalo aku jadi Scott Pilgrim aku akan ganti lirik lagu Ramona menjadi “A..no~ra, on my mind”. Karena memang film ini bikin kepikiraan. Actually, ini salah satu film yang paling aku antisipasi. Karena Mikey Madison! ehem… Jadi kukira paling juga nontonnya suka karena bias. Tapi ternyata enggak. Film ini benar-benar ngasih sesuatu untuk kita pikirkan. Rom-Com itu cuma hiasannya doang. Sebenarnya film ini sedang motret relasi antarkelas sosial di dunia yang bisa dibilang semakin relate dengan dunia kita. Dunia yang semuanya semakin serba transaksional.

Si Anora sendiri diceritakan udah kayak anti dari kisah Cinderella. Dia memang ngimpi hidupnya berakhir kayak Cinderella – ketemu pangeran dan hidup di ‘istana’ – tapi Anora adalah perempuan yang tangguh dan realistis. Menyaksikannya struggle dengan ‘impian vs. realita’ dijadikan fondasi dari sebuah journey dramatis dan tak pelak traumatis bagi film. Herannya, film ini berhasil jaga vibe yang kocak. Aku bahkan gak nyangka film ini tengahnya lucuuu.. Dan ini tu sesuai dengan konsep gagasan film, bahwa sesuatu bisa muncul dari tempat yang tak terduga. Kayak, romance film ini aja ternyata bukan merujuk pada hubungan antara Ani dengan Vanya. Tapi dari seseorang yang tak direcognize oleh Ani. Jadi nonton film ini tuh kita rasanya jumpalitan oleh emosi, tanpa pernah sekalipun terlepas dari sudut pandang Ani

Dan yea, dengan bangga aku pronounce bias ku ke Mikey Madison enggak salah, karena dia di sini benar-benar cegil!! Vibe dan energinya menghidupkan film ini! 

My Favorite Scene:
Setiap scene yang melibatkan scarf merah itu, aku ngakak bukan main!

 

 

 

 

 

 

2. THE WILD ROBOT

Director: Chris Sanders
Stars: Lupita Nyong’o, Pedro Pascal, Kit Connor, Mark Hamill
MPAA: PG
IMDB Ratings: 8.2/10
“Sometimes hearts have their own conversations”

 

Inilah film kedua yang dapat nilai 9 yang langka itu! The Wild Robot dapat nilai 9 karena meskipun karakternya mungkin familiar, tapi yang bikin film ini ekstra spesial adalah karena ceritanya ikutan berevolusi seiring dengan karakter robotnya, si Roz. Berawal dari fish-out-of-water, menjadi cerita ibu besarin anak, lalu jadi cerita bertahan hidup dengan skala yang lebih besar – bukan cuma soal Roz tapi komunitas atau para hewan di hutan tempatnya terdampar. Ini muatan dan penceritaan yang kaya sekali. And the icing on the cake, desain animasi yang begitu spektakuler.

Sutradara paham bahwa animasi bukan hanya untuk pamer. Animasi bukan hanya untuk cerita anak yang bermanis-manis ria. Animasi bukan hanya untuk fantasi yang preachy. Maka dibuatnya lah animasi di film ini sebagai kendaraan untuk menyampaikan cerita yang begitu grounded oleh realita. Tentang kehidupan dan kematian. Tentang insting ataupun program bertahan hidup. Hewan-hewan di film ini boleh saja bertampang lucu, tapi mereka semua serius karena harus bertahan hidup di hutan. Kontras dunia dan sikap cerita membuat film menjadi menarik, dan ketika tiba saatnya adegan-adegan sedih, film ini bakal betul-betul menarik nadi emosi kita. Sebab kita bukan lagi melihat mereka sebagai hewan atau robot kartun, melainkan makhluk hidup yang fully fleshed, punya hati nurani. Dengan persoalan yang kita bisa relate dengan mereka. 

Udah lama aku gak nemu film yang hampir berhasil bikin nangis. Tapi itu cuma aku. Semua orang yang kukenal nangis nonton film ini. Saking powerful cerita dan karakternya.

My Favorite Scene:
Yakin udah seratus persen, adegan favorit semua orang itu pas Roz ngajarin Brightbill terbang. Mulai dari ngajarin, ampe udah bisa terbang ninggalin Roz, gak sempet ngucapin good bye, itu tuh momen tearjerker 2024 bangets!!

 

 

 

 

Biar sama kayak salah satu tren film tahun 2024 yang bikin acara TV sendiri, maka sebelum kita melihat siapa yang bercokol di posisi satu (tapi kayaknya semua udah bisa nebak), mari kita jeda pariwara dahuluuu… wuuuuu!!

 

 

 

1. THE SUBSTANCE

Director: Coralie Fargeat
Stars: Demi Moore, Margaret Qualley, Dennis Quaid
MPAA: R
IMDB Ratings: 7.4/10
“Have you ever dream of a better version of yourself? ”

 

Enggak ada kejutan memang di list tahun ini. Aku gak bisa milih film lain selain The Substance, karena film horor keren ini udah aku banget. Nature ceritanya yang psikologikal, terlebih tentang journey degdradasi karakter. Setting yang nunjukin backstage pembuatan film atau acara televisi. Dan horor (tepatnya body-horor) dengan efek praktikal yang gross tapi bikin takjub. Not to mention, bahasannya tentang self-crisis perempuan yang senada dengan concern dan tema film pendekku dulu, bahkan ada adegan yang mirip (yang tentu saja dilakukan dengan jauh lebih baik oleh film ini).

Bener-bener diperlihatkan tuh di sini, gimana ekspektasi sosial mampu mendorong seseorang menjadi sesuatu yang bahkan dia jadi tidak mengenal siapa dirinya lagi. Gimana orang bisa membenci dirinya hanya karena ngikutin maunya orang lain. Aku suka film ini tetap pada jalurnya, yaitu membahas dari perspektif karakter. Menggali dari sana. Tidak berubah haluan jadi membahas asal muasal serum atau misteri pembuat serumnya, misalnya. Film ini berhasil menggunakan body horor, sebagai penguat cerita. Menyokong pengalaman mengerikan yang ingin disampaikan. Gimana membentuk cerita tragis sehingga gak jadi ngejudge, melainkan menjadi selaman berbobot yang menyeluruh mulai dari karakter hingga ke dunianya yang punya masalah yang sebenarnya ditarik dari problem sosial beneran. Film ini berhasil, meskipun tergolong sebagai genre, tapi tetap sebuah genre dengan bahasan substansi yang kuat.

Demi Moore dan Margaret Qualley jadi tandem yang gak ada lawan menghidupkan karakter Elisabeth/Sue. Suksesnya itu adalah karakter mereka tetap tampak seperti konflik batin di dalam satu orang. Makanya adegan mereka akhirnya berantem berdua itu walaupun ngakak, tapi tetap powerful dalam menyampaikan pesannya. Duh, jadi udah ngobrolin adegan favorit kan tuh.. Kita memang bakal jadi ikutan chaos ngomongin film ini karena ada begitu banyak yang bisa diomongin. Yang bisa dibahas. Tapi semua itu berhasil diceritakan dengan begitu luwes. Jadi gak pernah terasa berat, melainkan tetap menghibur.

 

My Favorite Scene:
Banyak sih, sumpahKelahiran si Monstro Elisasue, adegan Elisabeth dan Sue berantem berdua, adegan Elisabeth ngomel-ngomel nontonin Sue diwawancara, shot di opening yang efektif ngeset Elisabeth status bintangnya udah redup. Kalo mau get personal, ya favoritku adalah adegan Elisabeth di depan cermin, dia mau pergi kencan, tapi insecure sama wajahnya sendiri. Adegan di depan cermin Elisabeth berantakin riasan wajahnya ini, juga mirip sama adegan di film pendekku dulu, Gelap Jelita. Jadi gagasannya benar-benar kerasa relate dan menohok buatku.

 

 

 

 

 

 

So, that’s all we have for now.

Itulah daftar Top Movies 2024 versi My Dirt Sheet. Maaf kalo misalnya film favorit kalian belum berhasil tertonton dan terulas. Inilah rapor lengkap 123 film pada tahun 2024. Ada dua film yang dapat nilai 9. Tapi yang dapat nilai 2 dan bahkan 1, jumlahnya lebih banyak, dan kali ini berbagi rata yang jelek itu. Bukan hanya film Indonesia tapi juga ada film impornya.

Apa film favorit kalian di tahun 2024? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2025 ini?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 
 

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2023

 

Perfilman 2023 basically dibuka oleh kembang api dan ditutup dengan bom.  Dan di tengah-tengahnya kita mendapati diri dikepung dua film dengan vibe sungguh bertolak belakang tapi tayang barengan sehingga malah jadi tren; Barbenheimer. Such an explosive experience! Kita punya dua film tentang Elvis, dua film tentang alien, film-film tentang perilaku sosial media, setidaknya ada dua ‘surat cinta’. Tiga film yang bermain dengan konsep hitam putih. Dan banyak animasi groundbreaking lewat gaya visual mereka. Tahun 2023 rame oleh cerita bergulat dengan duka, cinta kasih yang toxic, while also saw a rise pada cerita-cerita tentang kepercayaan. Reliji, kalo boleh dibilang. Baik film luar, maupun film dalam negeri – ya tentu saja dengan pengarahan dan goal yang berbeda.

Kalo kita flashback sekilas, 2023 memang berasa seperti horor melulu. Tapi enggak juga. Horor memang banyak, menduduki jejeran peringkat atas perolehan penonton terbesar di bioskop kita. Dan yang begonya pun banyak, honestly aku sempat stop menonton semua horor lokal yang tayang pertengahan tahun setelah melihat ada freezer daging di desa yang masih struggle ama bola lampu. Ngikutin perkembangan film terbaru di bioskop pun terasa semakin menantang buatku terutama karena perilaku bioskopnya terhadap horor.  Jika filmnya bukan horor, maka  kemungkinannya cuma dua. Cepat turun layar, atau berkurang – dan bahkan – hanya tayang di bioskop yang jauh-jauh. In a way, pengaruh dominasi genre ini memang ada, namun tetap saja yang membekas kepada para penonton adalah warna-warni lain, film-film yang lebih menawarkan variasi. Film horor bisa jadi menarik jika punya sesuatu yang beda, entah itu sudut pandang cerita atau tema yang jadi latarnya. Like, cerita kehilangan gak mesti jadi horor hantu, kita udah lihat cerita begitu bisa diolah ke dalam tema soal A.I. Memang, sebaliknya, cerita berlatar politik ataupun cerita yang simply tentang hubungan ibu dan anak, juga bisa lebih seram daripada tawaran hantu-hantuan. Intinya, di saat ada genre yang mendominasi, industri harusnya tidak stuk dan latah membuat hal seragam. Harus tetap kreatif. Sebenarnya dari judul ketaker tuh kreativitas pembuatnya, kalo udah pake keyword-keyword template kayak content creator ngincer SEO, isi filmnya nanti paling cuma flashback ama twist ‘siapa sebenarnya yang jahat’.

Tahun ini jumlah film yang sukses tereview menurun dari sebelumnya. Hanya 115 film. Sebenarnya yang ditonton ada lebih banyak, hanya aku memutuskan beberapa film baiknya enggak usah diulas. Atau beberapa film ‘kalah bersaing’ untuk spot di mini review. Tapi jangan kuatir, meskipun jumlahnya gak lebih banyak daripada saat masa pandemi, ini ujungnya tetap menjadi sebuah list yang menarik. In fact, aku sendiri malah surprised sama hasilnya. Kok jadi seru juga nih?

 

 

HONORABLE MENTIONS

  • Asteroid City (very stoic and weird way untuk belajar tentang duka dan hal-hal abstrak yang tidak kita mengerti lainnya)
  • Babylon (surat cinta dengan full energi chaotic kepada industri film)
  • Barbie (eksplorasi eksistensi dan bahasan menantang soal dinamika gender, di balik sekadar jualan produk)
  • Beau is Afraid (cerita yang disturbing dan hard to watch tentang pria yang jadi penakut, gara-gara kasih sayang ibunya)
  • Budi Pekerti (menelanjangi perilaku bersosmed masyarakat kita yang semakin menjadi-jadi)
  • Concrete Utopia (bencana yang dipotret powerful oleh film ini bukan exactly runtuh tanah/gempa, tapi runtuhnya kemanusiaan)
  • Evil Dead Rise (rise above all horrors yang berusaha tetap campy namun berisi)
  • No One Will Save You (invasi alien dengan konsep tanpa dialog yang unik, dan konteks kehidupan sosial yang menohok)
  • Oppenheimer (biopik yang meledak oleh tsunami fakta, dan hebatnya Nolan kali ini, tidak void dari emosi)
  • Suzume (ketika duka penyintas disulap menjadi petualangan romance dan fantasi yang superkreatif)
  • Teenage Mutant Ninja Turtles: Mutant Mayhem (bukan cuma jualan style animasi yang unik, ini actually film KKN yang benar bagus)
  • Theater Camp (seperti Babylon kepada film, ini adalah bentuk tertinggi dari sebuah kecintaan kepada teater: mampu menertawakan tapi sekaligus menceritakan dengan penuh passion)
  • The Royal Hotel (thriller psikologis realis ketakutan perempuan, thanks to sikap cowok-cowok )

Special Shout Out buat film yang ulasannya paling banyak dibaca yaitu Sewu Dino, dan buat film yang video ulasannya di channel YouTube mydirtsheet paling banyak ditonton; yaitu Hati Suhita. Dua film ini benar-benar represent genre yang lagi populer di Indonesia tahun 2023.

Oke, sekarang inilah DELAPAN BESAR 2023!! 

–PS: seperti biasa, klik di judulnya untuk dibawa ke halaman full-review masing-masing

 

 

 

8. JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM

Director: Yandy Laurens
Stars: Ringgo Agus Rahman, Nirina Zubir, Alex Abbad, Sheila Dara Aisha
MPAA: 13+
IMDB Ratings: 8.7/10
“Hidup emang enggak bisa di-retake, tetapi masih bisa dibikin sekuel.”

 

Jujur, ini film yang paling lama pertimbanganku untuk dimasukin ke daftar Delapan-Besar. Konsep berduka dan hitam-putihnya dilakukan dengan lebih baik oleh Asteroid City, karya Yandy Laurens ini masih terasa terlalu khawatir ama urusan ‘ngasih surprise’ ke penonton. The big buts yang akhirnya meloloskan film ini adalah pertama karena ini tentang bikin film – favoritku banget. Dan ini kentara begitu personal. Konsep metanya berhasil selain bikin penonton konek sama karakter yang deep dan berlapis (dua manusia pada usia yang sudah terlalu ‘tua’ untuk cinta) tapi juga jadi peduli sama proses nulis atau bikin film. Drama dan hiburan datang lewat visual berlapis dari struggle penulis skenario berusaha naskah personal yang ia tulis mendapat green light untuk diproduksi. tanpa perubahan. Banyak celetukan lucu tentang industri perfilman terlontar dari sini.

Makanya film ini jadi unik dan urgent.  Sedikit too extra pada konsep, tapi ini tetap sebuah presentasi cerita yang menyenangkan, menghangatkan, bahkan membuat kita menertawakan sesuatu yang kita sayangi.  This movie feels like love itself. Nonton ini bikin aku pengen balik lanjutin menuntut ilmu nulis skenario lagi, dan aku senang film ini bikin orang aware sama teknis-teknis nulis skenario. Setidaknya, ini jadi assurance buatku kalo penulis film kita memang berilmu semua. Mereka cuma seringkali harus ‘mengalah’ sama produser/investor. Harapan lebih banyak film bagus dan berani ambil resiko masih terus menyala

My Favorite Scene:
Film ini punya segudang adegan-adegan memorable. Mulai dari adegan drone saat ngebut-ngebutan, scene Hana marahin Bagus, scene-scene kocak bersama produser. Yang paling aku suka adalah scene saat Bagus syuting, dan para aktor mempertanyakan karakter di dalam ceritanya. Momen ketika mata Bagus terbuka melihat dan mulai mengenali kesalahannya sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

7. KILLERS OF THE FLOWER MOON

Director: Martin Scorsese
Stars: Leonardo DiCaprio, Lily Gladstone, Robert De Niro, Jesse Plemons
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 7.8/10
“Can you find the wolves in this picture?”

 

Masuk pertengahan akhir 2023 aku was-was. Aku masih belum menemukan film yang pantas untuk dikasih skor 8.5. Martin Scorsese jadi hero buatku lewat film ini. Killers of the Flower Moon jadi film pertama di 2023 yang dapat skor 8.5, dan itu bukan karena aku desperate. Karena filmnya memang sebagus itu. Alih-alih ngambil arahan gampang menjadikan ini tipikal whodunit, Scorsese membuat cerita ini jadi lebih fungsional dan berlapis dengan menjadikannya sebuah drama karakter. Dia bahkan mendobrak formulanya sendiri, ini cerita pria bobrok, tapi prianya sama sekali tidak keren ataupun inspirasional. Yang inspirasional di sini ‘hanya’ penampilan aktingnya haha, Lily Gladstone seriously perlu diganjar Oscar.

Mengadaptasi cerita berdasarkan sejarah pendatang kulit putih di tanah Osage milik bangsa Indian, film ini tidak lancang dengan ngasih penyelesaian yang menuntaskan cerita. Cara Scorsese mempersembahkan cerita yang bukan miliknya ini begitu humble dan berkelas. Dia bikin film yang bikin kita malu kalo relate sama protagonisnya. Dan impactnya jadi luar biasa karena film ini hadir pas banget dengan horrible genocide event yang sedang berlangsung. Orang yang datang malah menjajah, ingin menguasai lebih dari hak mereka, sampai melakukan apapun termasuk kejahatan kriminal. Kekuatan film ini jadi terdisplay full, nunjukin gimana pun tetap ujungnya rasis. Mendahulukan kepentingan golongan. Dan ultimately, perut sendiri. 

My Favorite Scene:
Menelisik lewat romansa dua karakter sentral, yang tampak genuine, tapi dialog menjelang akhir saat si perempuan Indian menanyakan suntikan insulin yang diberikan oleh suami kulit putihnya, maaan buatku itu adegan dengan penampilan akting dan arahan yang menantang banget. Salah-salah kita malah jadi simpati ama si Leonardo DiCaprio.

 

 

 

 

 

6. KEMBANG API

Director: Herwin Novianto
Stars: Donny Damara, Ringgo Agus Rahman, Marsha Timothy, Hanggini
MPAA: 17+
IMDB Ratings: 7.0/10
“Urip iku urup”

 

Yup, inilah salah satu surprise I talked about. Surprised yang kurasakan ketika menyusun daftar ini. Ada dua film Indonesia yang masuk!! (Tadinya malah mau tiga, tapi nanti ada waktunya untuk dibahas). Tahun 2023 at least ada tiga film yang bicara tentang karakter yang mau bunuh diri. Kalo bukan karena film ini, tren tema tersebut bisa mengkhawatirkan. Karena orang-orang harus realized, bunuh diri itu enggak keren. Bukan penyelesaian dramatis, melainkan masalah satu lagi yang harus diselesaikan. Harus diapproach dengan hati-hati. Film ini berhasil melakukan kehati-hatian itu.

Anti-bunuh diri disampaikannya secara respek dengan vibe kekomedian (meskipun tidak sampai menjadikannya bahan olokan) Hati film ini kuat banget. Naturally ini karena cerita ini adaptasi dari film Jepang, di mana concern bunuh diri memang gede. Di sana malah dianggap sebagai tradisi kehormatan. Tapi yang bikin aku kagum sama adaptasi ini (biasanya aku antipati sama adaptasi film luar yang bisanya cuma nyontek), Kembang Api actually lebih mudah deliver pesannya kepada kita dibandingkan film aslinya. Proses adaptasi yang berhasil membawa kehati-hatian dan respek terhadap tema ke karakter dan permasalahan dan penyelesaian yang lebih relate ke sosial kita, itu yang bikin film ini keren dan penting.

Konsep time loopnya selain jadi perenyah bahasan, juga jadi pesona tersendiri yang menambah variasi buat tontonan kita. Menurutku film ini perlu dinobarkan di sekolah-sekolah sebagai counter dramatisasi bunuh diri yang mulai marak jadi konten di sosial media.

My Favorite Scene:
I don’t really have favorite scene here, karena kayaknya adegan-adegan light-heartednya itu punya underline tragis semua. But I do have favorite line, yaitu pas karakter si Ringgo Agus bilang “mau mati aja susah” (hei, aku baru sadar 2 film Indo yang masuk Top-8 ini ada Ringgo Agus Rahman!). Dan aku juga suka banget gimana film menuliskan karakter Hanggini.  Si Anggun benar-benar mewakili ‘simtom’ tak-terdeteksi dari orang yang mau bunuh diri. Dari orang yang depresi. Like, kita gak akan pernah tau orang itu depresi sampai dia akhirnya ditemukan mati bunuh diri, karena biasanya orang-orang itu justru tampak lebih ceria, lebih luwes, lebih open — ya kayak gimana Hanggini mainin si Anggun. Tampak smart dan cemerlang.

 

 

 

 

 

 

5. THE BOY AND THE HERON

Director: Hayao Miyazaki
Stars: Soma Santoki, Masaki Suda, Yoshino Kimura, Aimyon
MPAA: Rated PG 13
IMDB Ratings: 7.6/10
“Will you continue my work?”

 

Bicara soal mati, well, this is anime yang ngajarin kepada anak-anak bahwa mati adalah hal yang harus kita pahami untuk melanjutkan hidup. Karena mati adalah bagian dari hidup. Dan oh boy, ‘kematian’ yang dibicarakan film ini punya spektrum luas. Aku menduga film ini juga biografi pembuatnya yang berangkat dari gimana dia kesulitan menghadapi akhir dari karirnya – yang kita semua gak mau itu terjadi, but that day will eventually come.

Terdengar berat? Memang. Boleh dibilang ini salah satu film Studio Ghibli yang paling njelimet. Tapi itu bukan berarti film ini kehilangan kemagisan khas Ghibli itu. Justru sebaliknya. Film dengan dream logic ini menaikkan kemagisan itu ke another level. Batas fantasi/sihir dan realita dunia cerita kabur banget, ini bikin ngikutin cerita jadi seru dan menantang. Lapisan-lapisan fantasi dan personal yang saling tersulam satu sama lain. Ngasih kita karakter-karakter absurd yang ikonik. Petualangannya memang sekilas terasa kurang epik, tapi yang dilalui karakter utama di film ini hampir-hampir keluar garis semua haha… Aku kaget sendiri ketika tiba-tiba ada adegan dia mukul kepalanya sendiri pake batu sampai berdarah. Tapinya lagi, semuanya itu bekerja klop ke dalam karakter. Di dalam grand design yang terbangun begitu menakjubkan oleh film yang terasa begitu deep dan personal ini.

My Favorite Scene:
Mahito bertemu burung pelikan yang sekarat. Momen yang membuka mata Mahito tentang kematian, dan juga soal keadaan yang membuat orang ‘berperang’ dan harus mati. Momen yang berujung dengan Mahito menguburkan si burung yang ia kenali sebagai musuhnya. Film ini bergerak di lapisan yang dalam seperti itu.

 

 

 

 

 

 

4. THE WHALE

Director: Darren Aronofsky
Stars: Brendan Fraser, Sadie Sink, Ty Simpkins, Hong Chau
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 7.7/10
“Do you ever get the feeling that people are incapable of not caring?”

 

The Whale bukanlah cerita tentang orang yang gendut kemudian meratapi nasibnya. Justru sebaliknya, film ini adalah tentang orang yang sudah tahu dirinya tak tertolong, tapi dia mencoba menolong orang-orang terdekatnya untuk menemukan hati mereka, supaya gak salah langkah kayak dia dulu. Aku iri sama Charlie yang masih bisa begitu optimis kepada orang lain, meskipun dirinya telah menyerah kepada dirinya sendiri. Loh? Iya, di situlah kompleksnya cerita film ini. Aku ingin seperti Charlie yang percaya bahwa masih ada cinta dan kepedulian pada semua orang, bahwa people incapable of not caring. Mereka cuma harus jujur kepada diri sendiri. Dan kepercayaan Charlie tersebut benar. Man, aku hampir nangis di ending. 

Yea, ini film tentang orang yang low key sama aja dengan pengen bunuh diri, tapi gak ada yang diromantisasi di sini. Lihat betapa ‘brutalnya’ penampilan Charlie. Gak bakal ada yang mau kayak dia. Brendan Fraser juara banget di sini, kalo bukan karena persona dan pemahamannya terhadap Charlie, karakter dan film ini gak bakalan worked seindah – dan semenyedihkan – ini. Film bersikukuh untuk kita melihat Charlie tanpa belas kasihan. Ini adalah drama di satu tempat tertutup, with nothing but dialog dan raw emotions. Makin ditonton, makin powerful!

My Favorite Scene:
Everytime dia berusaha nunjukin cinta dan ngasih semangat kepada anak gadisnya. Nge-encourage untuk nulis dan sebagainya. Puncaknya, ya di ending itu. Kalo ada yang membuncah selain berat badan si Charlie, maka itu adalah emosiku nonton adegan-adegan mereka berdua.

 

 

 

 

 

 

3. DREAM SCENARIO

Director: Kristoffer Borgli
Stars: Nicolas Cage, Julianne Nicholson, Michael Cera, Dylan Gelula
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 7.1/10
“Trauma is a trend these days. It’s a joke. Everything is trauma. Arguing with a friend is trauma. Getting bad grades is drama. They need to grow up.”

 

Ini nih filmnya. Bukan hanya berhasil menggugurkan posisi Budi Pekerti di Top-8 ini, Dream Scenario berhasil membuatku merombak keseluruhan list. Aku nonton film ini di ‘detik-detik’ terakhir. Kureview sebagai batch terakhir mini review. Dan aku suka banget sama filmnya.

Kenapa dia bisa gugurin Budi Pekerti? Karena bahasannya sebenarnya serupa, tapi (meskipun skor mereka sama karena urusan teknis dsb) Dream Scenario membawa bahasan itu ke level yang lebih surealis. Which is also my soft spots for movies.  Alih-alih viral karena ngelakuin hal di sosmed, di film ini ceritanya karakter Nicolas Cage viral karena hal yang ia lakukan di mimpi orang lain. Bayangkan hahaha… dibenci satu dunia karena hal yang tidak kita lakukan. Dibenci untuk hal yang dimimpikan oleh orang lain. Inilah yang bikin satir film ini jadi lebih menohok. Menyamakan perlakuan kita mengidolakan orang di sosmed atau menjudge orang lewat interpretasi sosmed dengan kalo kita ngejudge orang lewat hal yang ia lakukan di mimpi. Lewat hal yang cuma mimpi kita. Kocaknya deep banget hahaha

Jenius sekali film ini ngasih lihat kita seringkali kegocek sama fantasi kita sendiri. Selain itu film juga nyindir persoalan yang sejalan dengan gimana bunuh diri menjadi tren dramatis di sosmed. Yaitu bahwa kita suka berfantasi dengan trauma, seolah mengalami hal traumatis itu tren dan kita ‘berharga’ ketika mengalamin itu.

My Favorite Scene:
Aku bukan penggemar Cage, tapi kupikir di sinilah aku paling bisa melihat bahwa dia punya range yang luas, dan dia tau timing yang precise untuk nempatin akting-aktingnya. Dia bisa jadi grounded, bisa over the top, dengan mulus di sini. Momen yang paling kusuka adalah ketika mahasiswanya dikumpulin di lapangan basket untuk terapi, lalu dia disuruh masuk oleh terapis. Niatnya supaya mahasiswa tidak lagi takut melihat dia sebagai sosok nyata. Cara dia masuk ke hall, dan cara dia berjalan mendekat, kupikir itu lawak sekali karena kayak biasa-biasa saja tapi ada so many emotions di situ hahaha

 

 

 

 

 

 

2. THE HOLDOVERS

Director: Alexander Payne
Stars: Paul Giamatti, Dominic Sessa, Da’Vine Joy Randolph
MPAA: Rated R
IMDB Ratings: 8.0/10
“Every generation thinks it invented debauchery or suffering or rebellion, but man’s every impulse and appetite from the disgusting to the sublime is on display right here all around you”

 

Baru tadi pagi saat mau mulai nyusun daftar ini, aku membaca di Twitter soal pelajaran sejarah banyak yang dihapuskan di sekolah-sekolah. Aku langsung bayangin Pak Paul Hunham ngamuk soal ini, langsung bergaung quotesnya soal pentingnya sejarah bagi anak muda. Ya, film karya Alexander Payne ini memang menekankan gimana pentingnya kita untuk memahami ‘sejarah’ seseorang, dan diri sendiri, supaya bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik. Kinda melengkapi si The Boy and the Heron yang justru tentang menerima ‘masa depan’ untuk menjalani hidup.

Bungkus luar film ini awalnya kupandang remeh. Kirain tentang hubungan murid nakal dan guru galak yang terjalin saat sama-sama menghabiskan nataru di sekolah yang kayak penjara kosong. Awalnya memang para karakter di sini tampak seperti karikatur dari tipe-tipe karakter komedi. Tapi film ini much much more than that. Penampilan akting mereka menembus karikatur itu lebih dulu sebelum pembelajaran karakter mereka bekerja. Slot nominasi award ku yakin bakal penuh oleh dua, eh tiga ding, karakter sentral di sini.

Funny, emotional, real. tentang anak muda, orangtua, dan orang yang beneran sudah tua sekaligus. Mereka menemukan cinta dan kasih sayang dengan berdamai dengan masa lalu. Dengan sejarah yang mereka kira bakal mendikte gimana mereka ke depannya. Film ini gak exactly inspirational, like, gak memotivasi kita untuk merasa spesial dan punya kekhususan seperti para karakter di dalam ceritanya. Justru sebaliknya. Karakternya broken enough untuk membuat kita peduli dan memetik pelajaran di balik gimana mereka akhirnya – melawan kemauan dan kesadaran sendiri – menjadi lebih erat bahkan dari keluarga sedarah. Film ini membuat apa yang sepertinya karikatur berubah menjadi truly menghangatkan dengan seefektif namun sesederhana itu.

My Favorite Scene:
Selain pilihan ending yang terus menantang karakter, aku paling suka saat Tully menodong gurunya dengan pertanyaan seputar ‘kesalahan’ yang si bapak lakukan di masa sekolah. Dialog mereka itu berlangsung sambil keduanya ngiterin rak etalase di toko. Buatku itu adegan dinamis yang bercerita lebih banyak dibanding yang ‘terdengar’ oleh kita. The way Tully terus mengejar, tak lagi menganggap gurunya boring. The way Paul berbelok menghindar. Momen kecil seperti itu yang bikin filmn sederhana tapi bisa sangat hidup.

 

 

 

 

Aku gak pernah ngerti kenapa sebelum mereveal ‘pemenang’ atau sesuatu di puncak, kita harus berhenti dulu. Katanya sih buat ‘ngebuild up’ antisipasi. Kalo di tv, bakal ada jeda iklan sebelum puncak award. Kalo di WWE bakal ada spot komedi atau promo video dulu sebelum pertandingan utama. Di blog sepertinya gak perlu karena kalian bisa tinggal scroll dan skip bagian ini. But I still made this paragraph anyway. Kalo dipikir-pikir lagi, sekarang aku membuat ini buat diriku sendiri. Karena aku butuh napas sebelum ngasih kejutan yang bahkan tak terpikir sebelumnya olehku untuk menjadikan ini sebagai kejutan. Bukan karena filmnya gak bagus loh. Justru karena bagus dan pantas banget makanya kayak, harusnya ini ada di daftar favorit banyak orang mau paling atas atau bukan. Harusnya dia jadi favorit udah bukan jadi kejutan.

So, inilah film nomor satuku di 2023. Film yang aku pikir paling underrated sepanjang tahun, karena dia film anak-anak, dan also somekind of film religi.

 

 

1. ARE YOU THERE GOD? IT’S ME, MARGARET.

Director: Kelly Fremon Craig
Stars: Abby Ryder Fortson, Rachel McAdams, Kathy Bates, Benny Safdie
MPAA: Rated PG-13
IMDB Ratings: 7.4/10
“What I learned about religion is that it makes people fight”

 

I did it. Dulu aku pernah kepikiran, mungkin gak sih kalo film religi bisa bercokol di posisi satu film yang kusuka. And here she is. Yang benar-benar aku suka dari film ini adalah cara mereka mengaitkan kisah coming-of-age seorang gadis cilik dengan bahasan yang hanya berani diangkat oleh sedikit sekali orang, apalagi di jaman sekarang. Soal pertanyaan terhadap agama. 

Film ini bernas. Berani, tapi juga tidak terjebak. Margaret merasa tidak menemukan jawaban atas pertanyaan hidupnya karena enggak tahu cara menghubungi Tuhan yang benar. Maka Margaret nyobain berbagai macam ibadah. Pada satu minggu dia ikut nenek ke kanisah. Minggu berikutnya dia ikut temannya ke gereja protestan. Kesempatan lainnya dia ngintilin temannya melakukan pengakuan dosa di gereja katolik. Margaret menyebut, dia suka dengar ceramah, nyanyi-nyanyi, dan sebagainya, tapi dia belum merasakan keberadaan Tuhan di tempat-tempat itu. Tapi film tidak pernah memaksa Margaret membuat keputusan. Dua nenek Margaret yang maksa hingga sempat saling bertengkar, masing-masing berusaha membujuk Margaret memeluk agama mereka. Sedangkan film tetap berada di pihak orangtua Margaret. Melindungi sang anak dari semua pengaruh itu. Bukan karena tidak setuju dengan salah satu, melainkan karena itu adalah hak Margaret untuk memutuskan di saat dirinya sudah siap nanti.

Ini yang bikin aku terenyuh karena tahu film ini punya hati di tempat yang benar. Tadinya aku nonton adaptasi novel anak populer ini karena pengen lihat Regina George jadi ibu. Aku gak expect film ini begitu indah dan menghangatkan hati. Film ini tahu topiknya bisa kontroversi tapi gak mau ke sana, bukan karena takut resiko. Tapi karena tahu mana yang lebih penting.  Singgungannya mungkin kena ke kita yang seringkali cenderung fanatik, tapi ini sesungguhnya lebih untuk berkait cantik dengan soal perkembangan anak. Biarkan anak-anak tumbuh, sebagai dirinya sendiri, dan pada waktu miliknya sendiri. Childhood semestinya adalah pertumbuhan yang mereka alami dengan natural, dengan pacenya sendiri. Penceritaan film ini tidak pernah terasa menggurui, namun terasa sangat jujur mengalir dari perspektif utamanya itu.

I don’t think film kita sekarang berada di level yang berani dan mampu untuk ngangkat kisah dengan apa adanya dan tanpa tendensi seperti ini. Makanya film ini jadi juaraku. Film-film lain juga sama punya nilai urgent yang berharga, tapi aku paling inilah yang paling aku mau tidak pernah lupa ia ada.

 

My Favorite Scene:
Exactly adegan yang jadi petikan kukutip di atas. Setelah seharian kita melihat Margaret dan teman-teman dengan polos dan lucunya insecure dalam bertumbuh. Tiba malam hari, dia galau dan mencoba ngobrol dengan Tuhan. Tapi dia menemui kendala dan suatu malam dia hampir menyerah mencari Tuhannya:

 

 

 

 

 

So, that’s all we have for now.

Itulah daftar Top Movies 2023 My Dirt Sheet. The magic word of the year is ‘URGENCY’. As in, film-film ini penting untuk kita tonton dan tidak kita lupakan, karena mereka important, dan takutnya mereka akan lost in the shuffle di tengah arus dan dominasi genre tertentu yang tampak semakin secure sehingga kualitasnya semakin tak terjaga.

Berikut lengkapnya 115 film yang sudah direview dan dinilai di sepanjang tahun:

Apa film favorit kalian di tahun 2023? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2024 ini?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 
 

 

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2022

 

It has been a blessed year for cinema. Gimana tidak. Bayangkan, tahun ini kita dapat dua film dari Guillermo del Toro. Dua film dari Steven Spielberg. Tiga film yang loosely berdasarkan kehidupan masa kecil/remaja sutradaranya masing-masing. Dua film Pinokio. Film studio gede maupun film yang lebih ‘sederhana’ saling susul menyusul bikin cerita dalam konsep dunia multiverse. Avatar, making a comeback dengan sekuel. Kita dapat akhir dari seteru ikonik antara Laurie Strode dengan Michael Myers. Yang lantas diikuti oleh banyak lagi horor-horor yang berusaha ngasih sesuatu yang revolutionary. Slasher, Whodunit, dan bahkan monster creature yang juga berisi kritik/satir isu sosial. Film dialog dengan jin juga ada. Also, Voldemort jadi chef sinting sekarang. Gila, horor memang lagi lucu-lucunya sekarang. Di Indonesia juga gitu. Horor marak lagi. Mumun jump into a big screen! Ada juga horor yang bikin satu apartemen jadi kayak satu wahana rumah hantu besar. Salah satu horor nembus nyaris sepuluh juta penonton, walaupun yah secara kualitas filmnya masih jauh di bawah. Tapi di sini, di daftar film-film top saat ini, kita hanya akan bahas yang baik-baik aja. So yea., Mulai bermunculan horor-horor yang lebih nyeni, yang lebih berisi daripada sekadar parade jumpscare. Ada superhero horor sekarang. Ada horor religi juga. Jumlah penonton semakin bergerak naik setelah sekian lama berkurung sebab pandemi. Selain horor, kita dapat lebih banyak lagi film-film yang mengangkat isu perempuan, dua film Gina S. Noer, film superhero lokal, dan film-film komedi yang mulai berani untuk menunjukkan kematangan tema secara serius.

Pokoknya, jadi penggemar film di tahun ini rasanya puas banget. Puas bisa kembali ke bioskop. Puas sama pilihan dan variasi tontonan yang semakin banyak. Puas, karena actually ada lebih banyak film bagus sekarang ketimbang film jeleknya. At least buatku. Waktu ngerecap nilai-nilai film yang udah direview sepanjang tahun – My Dirt Sheet sukses mereview 122 film di tahun 2022 (peningkatan dari tahun sebelumnya) – aku notice kalo tahun ini film yang dapat skor B ke atas (6 ke atas) jumlahnya banyak. Jumlah yang dapat S (8 ke atas) kayaknya paling banyak di tahun ini, selama aku ngereview di blog ini. 

Aku cuma bisa senyam-senyum. Film-film itu ngingetin aku kenapa kita semua cinta pada film pada awalnya. Ngingetin bahwa film bisa begitu menginspirasi. Nah supaya senyumku enggak kelamaan (khawatir giginya kering!) maka kita mulai saja daftar Top-8 Movies 2022!!

 

 

HONORABLE MENTIONS

  • Before, Now & Then (Nana) (or as I called it ‘Selamanya Nana Terkurung’; film yang kayak perempuan Indonesia; cantik, tapi somehow tragis)
  • Black Phone (film horor tentang anak-anak yang benar-benar mencekam dan gak sekadar membuat mereka jadi objek.)
  • Bullet Train (di balik fast-paced action dan karakter-karakter unik nan kocak, film ini masih sempat nyiapin filosofi soal luck)
  • DC League of Super Pets (kelihatannya kayak kartun anak-anak yang simpel, tapi actually punya bobot yang gede. Film terbaik The Rock!!)
  • Nope (Jordan Peele strikes again, kali ini dalam horor creature yang ciamik!)
  • She Said (benar-benar ngasih lihat bahwa untuk empati kita hanya butuh ‘dengar dan rasakan’)
  • Tar (faux-biography komposer perempuan yang intens, Cate Blanchett show!!)
  • The Banshees of Inisherin (komedi tragis tentang gimana manusia menghadapi penolakan)
  • The Batman (temukan sendiri gimana rasanya benih harapan itu tumbuh pada kisah Batman dalam fase ’emo’ sebagai pahlawan)
  • Top Gun: Maverick (bukan hanya soal aksi-aksi pesawat tempur – yang beneran dilakuin Tom Cruise sendiri – film ini juga punya naskah yang supersolid)
  • West Side Story (kali pertama Spielberg garap musikal, rasanya sudah langsung ‘on another level’!!)
  • X – Pearl (dua dari trilogi horor Ti West yang benar-benar membekas berkat range luar biasa si Mia Goth)

Serta, Special Mention buat Ngeri-Ngeri Sedap, yang video ulasannya paling banyak ditonton di channel YouTube My Dirt Sheet. Dan kepada KKN di Desa Penari sebagai film dengan ulasan paling banyak dibaca di blog My Dirt Sheet tahun 2022. Man, film itu mecahin rekor di mana-mana

 

Oke, sekarang inilah DELAPAN BESAR 2022!! 

–PS: seperti biasa, klik di judulnya untuk dibawa ke halaman full-review masing-masing

 

 

 

8. GUILLERMO DEL TORO’S PINOCCHIO

Director: Guillermo del Toro
Stars: David Bradley, Gregory Mann, Ewan McGregor
MPAA: Rated PG 
IMDB Ratings: 7.7/10
“You did bring me joy. Terrible, terrible joy.”

 

Guillermo del Toro merebut kembali dongeng si boneka kayu yang mau dibawa Disney entah ke mana. Tadinya aku udah hopeless. Versi live-action Disney yang rilis beberapa bulan sebelumnya, mengubah Pinokio jadi propaganda ‘woke’ semata. Kehilangan magis karakter dan dongengnya. Guillermo del Toro mengembalikan itu semua lewat Pinocchio versi animasi stop-motion yang bener-bener sebuah penceritaan dongeng yang fantastis dan magical.

Ceritanya kurang lebih sama, tapi dibuat ke dalam warna yang sedikit lebih dark. Kualitas desain produksi yang bisa kita harapkan dari om del Toro, hadir semua di sini. Desain karakter yang unik, panggung era perang, tema yang bicara soal kematian di balik hubungan anak dengan orangtua. Dia membuat Pinokio benar-benar jadi miliknya sendiri.

Karena film ini, aku jadi kembali percaya, sinema modern kita masih punya kekuatan ajaib dalam bercerita. Seni mendongeng itu masih ada, and it might be stronger than ever!!

My Favorite Scene:
Aku masih terkagum-kagum gimana Guillermo del Toro kepikiran mengganti Negeri Nikmat dengan Kamp Pelatihan Perang untuk Anak-Anak. Arena bermain digantinya dengan panjat-panjatan dan obstacle courses buat latihan. Message yang diparalelkan loud-and-clear. Anak-anak yang terlalu patuh dan kaku tidak lebih baik daripada anak berandal yang bandel. Tentara sama aja kayak keledai, just follow rules! Adek-adek, cinta terkadang butuh kita untuk melanggar aturan!! 

 

 

 

 

 

 

7. SCREAM

Director: Matt Bettinelli-Olpin, Tyler Gillett
Stars: Neve Campbell, Jena Ortega, Melissa Barrera
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 6.3/10
“Because nobody takes the true fans seriously, not really. They just laugh at us, and why? Because we love something? We’re just a fucking joke to them! How can fandom be toxic? It’s about love! You don’t fucking understand, these movies are important to people.”

 

Wes Craven tidak membuat Scream sebagai slasher whodunit semata. Sejak film originalnya, Scream selalu juga bertindak sebagai komentar meta tentang genre horor itu sendiri; apa yang terjadi pada skena per-horor-an pada masa film itu dibuat. Itulah yang terutama membuat Scream konek dengan fans. Itulah yang membuatnya sebagai slasher yang cerdas.

Sebagai honor terhadap Wes Craven tersebutlah, Scream dilanjutkan kembali. Dan ya, film ini bukan soal membahas legacy Sidney semata. Film ini menyentil soal yang terpisahkan dari dunia film; penonton, penggemar. Fandom, yang di masa sekarang bisa menjadi begitu toxic, sampai-sampai membuat studio harus meluncurkan sekuel-sekuel reboot yang nothing but a cash cow. Sebagai penggemar-sejati, bahasan tersebut, yang merayap di balik kelanjutan teror Ghostface, menjadi menarik untuk dinikmati. Film ini actually ngelahirin istilah baru – rekuel – dan menikam apa-apa yang salah dari rekuel-rekuel tersebut.

Scream sendirinya adalah rekuel, namun mereka berani untuk ningkatin stake dan membuat dirinya terasa beneran urgen dengan karakter baru dan permasalahan (lama tapi) baru.

My Favorite Scene:
Film-film Scream juga biasanya suka ‘becandain’ adegan-adegan film original. Di film ini, salah satunya adalah bikin adegan yang mirip ama kejadian di basement rumah Tatum di film pertama. Dan ini adalah adegan yang bikin aku jatuh cinta sama Amber – my new favorite Scream character! Di dialog basement tersebut udah keliatan dia ini ada gila-gilanya sedikit hihihi

 

 

 

 

 

6. THE MENU

Director: Mark Mylod
Stars: Anya Taylor-Joy, Ralph Fiennes, Nicholas Hault
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 7.5/10
“Because. I need to know if you’re with us or with them.”

 

Makanan sering disimbolkan sebagai hal yang lain pada film. Termasuk pada The Menu, yang bicara soal menjadi snob dan gatekeeping art lewat cerita chef yang jadi ‘sinting’ dan mau bunuh diri beserta anak buah dan para tamunya dalam sebuah jamuan makan malam mewah terakhir.

This movie really hits me. Penampilan luar biasa Ralph Fiennes benar-benar membuatku memikirkan soal bagaimana cara yang benar untuk mengapresiasi seni, mengapresiasi film. Karena yang kita lihat di sini adalah chef yang great at what he does, yang percaya sama seni kuliner sampai ke akar filosofisnya, yang membuat rangkaian menu dengan tujuan dan konsep matang sebagaimana filmmaker menyiapkan filmnya, tapi di saat yang sama dia juga adalah orang yang telah kehilangan passion terhadap hal yang ia lakukan tersebut. 

Nonton film ini ya awalnya tertarik, lalu ngeri, terus jadi kepikiran sendiri. Sungguh sebuah konsep luar biasa menarik dipunya oleh film ini. Dijual sebagai dark komedi thriller, padahal sebenarnya merupakan food for our thought. Pada lihat dong, gimana kondisi kuliner di sana seperti menyimbolkan sinema juga? Amit-amit kita jadi sinefil yang snob kayak foodies di film itu yaa

My Favorite Scene:

Ketika heroine kita berusaha mengembalikan sedikit passion itu kepada si chef, dengan memintanya membuatkan cheeseburger – as opposed to fancy meals. Maaan, adegan bikin burgernya bener-bener menggiurkan!!

 

 

 

 

 

 

5. TRIANGLE OF SADNESS

Director: Robert Oslund
Stars: Harris Dickinson, Charlbi Dean, Dolly de Leon, Woody Harrelson
MPAA: Rated R
IMDB Ratings: 7.6/10
“I sell shit.”

 

Berawal dari model disuruh pasang tampang semakin jutek, seiring semakin mahal busana yang dikenakan, ke persoalan split bill cewek-cowok, ke persoalan orang kaya karena jualan tai, ke terdampar di pulau, Triangle of Sadness adalah satir yang menyenggol gender-role dan kelas sosial.

Setiap dialog, setiap adegan, akan membuat kita menempelkan mata dan telinga, karena semuanya dibuat dengan begitu menarik. Kita tahu film ini ingin menyampaikan sesuatu di balik kejadian yang sekilas tampak shooting fish in the barrel. Kayak cuma pengen mengolok orang kaya, tapi sebenarnya naskah mengembangkan mereka dengan berimbang. Film ini salah satu contoh lagi dari naskah yang dibuat dengan penuh pemikiran dan maksud. Enggak sekadar lucu-lucuan. Strukturnya sendiri kalo kita cermati seksama chapter-chapternya, ya kayak segitiga juga. Karena film ini sesungguhnya memuncak di tengah, dan di akhirnya adalah situasi yang sama kayak di awal, hanya dengan pembalikan role buat karakter-karakternya.

Keren banget gimana film ini bisa membuat dunia yang mungkin gak familiar itu – gaya hidup model dan orang kaya – dijadikan candaan, tapi kemudian lantas jadi relevan.

My Favorite Scene:
Badai di kapal! Serius, film ini gila banget masukin adegan seover itu tapi bisa gak tampak receh hahaha

Beberapa detik sebelum ‘badai’ menerpa

 

 

 

 

 

 

4. NOT OKAY

Director: Quinn Shephard
Stars: Zoey Deutch, Mia Isaac, Dylan O’Brien
MPAA: Rated R 
IMDB Ratings: 6/10
“So maybe one day, I’ll forgive you. But we will never be OK.”

 

Man, di pembuka aku ngomongin horor lagi make a new hits, tapi yang akhirnya masuk daftarku malah komedi satir banyaknya hahaha.. I guess aku bener-bener naruh perhatian lebih buat naskah yang menarik dan cerdas. Not Okay mungkin film yang jarang terdengar di daftar-daftar terbaik,  tapi inilah dia. Aku suka gimana film ini dengan perfect menangkap fenomena sosial media jaman sekarang. Sedari nulis reviewnya Juni lalu, aku sudah bilang aku bakal masukin ini ke daftar film teratasku. Segitu sukanya aku sama film ini. 

Bukan hanya soal konten bohong demi viral, karakter Zoey Deutch – penampilan aktingnya ngalir banget di sini, sukak! – di film ini benar-benar tepat menggambarkan gimana seorang influencer bisa sok peduli dan akhirnya terjerat dalam lingkaran kebohongannya sendiri. The lie gets bigger. Dan film mentackle bahasan ini dengan membawanya ke ranah yang grounded secara emosional.

Yang hebatnya pada naskah film ini adalah caranya menggarap protagonis yang unlikeable seperti demikian. Film tidak lantas menjadikannya pahlawan – mendapat redemption setelah dicancel. Karena itu akan sangatlah tidak adil, sebab si protagonis kita sesungguhnya adalah outsider dari bahasan yang sok ia angkat dan pedulikan. Ini menunjukkan film benar-benar paham dan tahu apa yang sebenarnya pengen mereka kritik pada konsep influencer masa sekarang.

My Favorite Scene:
Ini mungkin spoiler, tapi yah mau gimana.., Yang bikin aku suka ama film ini adalah pilihan yang mereka bikin diambil oleh karakter Zoey Deutch. Yaitu memutuskan untuk tidak jadi meminta maaf. Karena it’s not about her. Ini gak kayak di kita, yang banyak influencer bikin salah lalu segampang itu tinggal minta maaf. Film ini benar-benar mengerti dan membuat karakternya menyadari hal tersebut.

 

 

 

 

 

 

3. THE FABELMANS

Director: Steven Spielberg
Stars: Gabriel LaBelle, Michelle Williams, Paul Dano
MPAA: Rated PG-13 
IMDB Ratings: 7.7/10
“Movies are dreams that you never forget.”

 

Dari tiga film tentang kehidupan masa kecil/muda sutradara tahun ini, yang paling konek dan berkesan buatku adalah The Fabelmans karya Spielberg. Tadinya aku sudah nge-book spot buat West Side Story, ternyata Spielberg bikin film lagi, dan The Fabelmans ini actually resonance banget buatku yang pengen bisa bercerita seindah itu lewat film.

Terlihat jelas bahwa film sungguhlah penting bagi Spielberg. Karena di sini diceritakan tentang Sammy yang menemukan hidupnya dari kerjaan mengolah pita-pita yang ia rekam. Dari kerjaannya bikin video entah itu film untuk teman sekelas, maupun video liburan keluarga. At the emotional heart, film ini bicara tentang anak yang menemukan duluan ibunya ternyata tidak cinta dengan ayah. Kepentingan medium film berhasil dimasukkan berkait dengan aspek emosional tersebut. Yang menginspirasi adalah adegan-adegan saat Sammy menggarap video-video. Bagaimana dia menciptakan efek, bagaimana dia mengarahkan temannya. Dan gimana film yang ia hasilkan menyentuh setiap orang yang menonton. Lewat itu semua, Spielberg menunjukkan kekuatan sinema, bagaimana gerakan kamera dan segala macam aspek yang direkam dengan hati bisa mempengaruhi orang.

Kunci kesuksesan film ini juga datang dari penampilan akting. Sudah bukan rahasia lagi gimana Spielberg piawai ngedirect pemain-pemain, terutama yang muda-muda. Di film ini range arahannya tersebut, terbukti sangat luas. Seth Rogen saja bisa dibikinnya humanis!

My Favorite Scene:
Akting singkat nan berkesan paling memorable adalah cameo David Lynch di akhir. Gila, di menit-menit akhir itu film masih sempat ngajak kita bercanda dengan dialog Lynch dan pergerakan kamera yang selaras dengannya pas di momen final film. Bisa aja!!

 

 

 

 

 

 

2. EVERYTHING EVERYWHERE ALL AT ONCE

Director: Dan Kwan, Daniel Scheinert
Stars: Michelle Yeoh, Stephanie Hsu, Ke Huy Quan, Jamie Lee Curtis
MPAA: Rated R
IMDB Ratings: 8.1/10
“So, even though you have broken my heart yet again, I wanted to say, in another life, I would have really liked just doing laundry and taxes with you.”

 

Awalnya aku hanya memandang ini sebagai Rick and Morty versi film keluarga. Lalu sebagai multiverse yang lebih keren daripada Dr. Strange. Tapi semakin ditonton, semakin kita masuk ke dalam durasi yang memperlihatkan perjuangan seorang ibu lintas multiverse, maka jelaslah sudah film ini jauh lebih besar dari semua itu. 

Pertama, film ini juga menginspirasi untuk bikin film bagus, karena film ini actually bukan produksi gede. Budgetnya gak raksasa, timnya gak banyak. Tapi pencapaian visualnya luar biasa. Mereka membuat banyak sekali dunia yang ajaib, sebagai bagian dari multiverse, dan berhasil mengedit itu semua ke dalam penceritaan yang super duper kompleks. Syarat yang dipenuhi oleh film sehingga ceritanya tidak jadi bikin bingung – walau dunianya banyak dan bicara soal konsep nihilisme sebagai antagonis – adalah punya konflik yang grounded. Konflik ibu dan anak perempuannya, Konflik istri dengan suaminya yang terlalu baik.

Kedua, soal action. Film ini ngambil step yang jauh lebih gede dari konsep berantem ala kung-fu yang biasa kita lihat. Karena di sini, panggungnya adalah multiverse. Film menggunakan banyak sekali elemen-elemen unik dari panggung cerita, dari karakter (gimana awalnya gak bisa berantem, lalu jadi jago) sehingga semuanya jadi seru. Jamie Lee Curtis aja di sini bisa gilak gitu berantemnya. Harusnya jurus itu yang dia bawa pas ngelawan Michael Myers hihihi.

Ketiga, tentu saja naskahnya. Walau dunia, karakter, dan konsepnya zany, tapi karena kebutuhan film ini bukan jadi komedi meta kayak Rick and Morty yang basically punya konsep dunia yang sama, dialog-dialog di sini tuh bakal bikin hati kita diaduk-aduk alih-alih bikin bingung.

My Favorite Scene:
Adegan batu. Aku sampai masukin itu ke nominasi Best Scene di My Dirt Sheet Awards 11 nanti. Perbincangannya benar-benar ngena, jadi kontras yang bergaung banget setelah semua kehebohan multiverse dan donat-donat sebelumnya.

 

 

 

 

Okeh, tinggal film puncaknya. Well, yang sudah lama ngikutin blog ini mungkin sudah bisa lihat polanya. Aku hampir selalu meletakkan film yang objectively beneran best di posisi nomor dua, karena posisi satu akan kuberikan untuk film yang benar-benar ‘gue banget’. Makanya tiap tahun, selalu banyak yang surprise haha.. Kenapa konsepnya begitu? karena this list is supposed to be subjective. Aku selalu berusaha seobjektif mungkin di review-review, berusaha ngasih skor yang paling mewakili kualitas filmnya secara teori dan penulisan naskah. Sekarang, saatnya ngumpulin film-film itu ke dalam satu daftar teratas, yang kalo orang lihat mereka langsung tahu “oh ini pasti daftarnya si Arya.” Daftar My Dirt Sheet. Aku gak mau ini list Top-8 ku ini saking seragamnya jadi kayak kayak daftar yang disusun oleh A.I.. Enggak. Cukup sketsa dan gambar saja yang dibikinin oleh komputer. Let me have this one! 

Maka dari itu, inilah film yang menurutku paling pantas kuletakkan sebagai posisi puncak. Film yang bukan saja menginspirasi karena juga budgetnya gak gede, tapi juga mengembalikan cintaku kepada genre yang telah membuatku tertarik untuk nonton lebih banyak film lagi sedari awal. 

 

 

1. TERRIFIER 2

Director: Damien Leone
Stars: Lauren LaVera, David Howard Thornton, Amelie McLain
MPAA: Not rated
IMDB Ratings: 6.2/10
“Cause food’s a little funny, at the Clown Cafe”

 

Nasib horor/slasher modern ada di tangan Art the Clown.

Aku gak muluk bilang begitu karena kapan terakhir kali kita nonton horor yang gak ribet sama pesan politik atau isu sosial berlebihan, sekaligus gak takut untuk melanggar batas-batas sadis, brutal, jorok, dan lainnya, dan sanggup bikin karakter ikonik? Terrifier 2 berani dan melakukan itu semua. Setelah nonton film ini, aku gak khawatir lagi, Michael Myers can rest in peace.

Bukan berarti film ini kosong kayak ciki anak SD. Terrifier 2 adalah upgrade besar-besaran dari film pertamanya yang memang cuma gore-fest. Kali ini, Terrifier 2 dihadirkan dengan muatan drama dan plot yang berarti. Tentang kakak beradik sepeninggal ayah mereka. Kakak yang harus jadi pelindung bagi adiknya, pengganti sosok ayah, tapi si kakak ini masih galau dan gak percaya dia sanggup untuk semua itu. Plot sederhana yang berhasil jadi nyawa film ini, merayap di balik adegan-adegan pembunuhan yang gak nahan apapun. Inilah yang selama ini kuminta pada horor. Soalnya gak banyak horor atau slasher yang punya plot dan kesadisan sekaligus. Memang sih, karena level sadisnya, film ini bukan untuk semua orang. Kalo mau ajak pacar nonton ini juga kayaknya harus mikir dulu, it could be too gross. Totally, film ini bukan untuk yang faint-hearted, definitely tidak untuk ditonton saat makan. Aku aja panas dingin kok nontonnya. Dan itu membuktikan betapa film ini berhasil menciptakan ‘dunianya’. Terrifier 2 begitu kreatif, mereka juga gak punya budget gede, tapi berhasil ngasih sesuatu yang berdamage luar biasa dengan efek-efek horor/gore praktikal.

Secara akting, juga melebihi ekspektasi. Final girl dan si Art, bahkan si badut kecil yang bikin film ini jadi punya elemen mistis, semuanya dapat nominasi di My Dirt Sheet Awards. Pokoknya gak kayak horor Indonesia yang entah kenapa belakangan suka bikin final girlnya gak tersentuh, film ini beneran ‘menyiksa’ si karakter. Membuat survivalnya penuh oleh growth dan development, yang bikin kita ngecheer dia. Mengenai si Art, karakter ini bakal jadi ikonik karena punya kekhasan. Dia gilanya beda ama badut-badut di horor lainnya. To be honest, dibandingkan dengan Art yang bener-bener edan dan selalu sukses bunuh korban tanpa ba-bi-bu, Pennywise di It jadi kelihatan kayak anak pesantren yang alim hihihi

My Favorite Scene:
Aku jarang sekali suka sama adegan mimpi, karena biasanya cuma digunakan untuk mancing cheap scare, tapi adegan mimpi di Terrifier 2 begitu elaborate dan penting dalam bangunan narasi. Begitu banyak kengerian dan kegilaan di sekuen panjang mimpi tersebut!!

 

 

 

 

 

So, that’s all we have for now.

Itulah daftar Top Movies 2022 My Dirt Sheet. The word here is the ‘magic of cinema’.

Berikut lengkapnya 122 film yang sudah direview dan dinilai di sepanjang tahun:

Apa film favorit kalian di tahun 2022? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2023?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 
 

Top-Eight Serial Drama Netflix dengan Semangat Kartini

 

 

 

Bersyukurlah kita tinggal di era yang modern. Yang manusianya mulai banyak yang sadar dan berpola pikir progresif. Perjuangan Ibu Kartini untuk memuliakan derajat kaum perempuan mulai berbuah. Dunia perfilman yang dahulu dikaitkan dengan dunia milik laki-laki, kini tidak lagi. Banyak filmmaker perempuan yang mencuat. Karya film pun demikian. Sudah banyak sekarang film-film maupun serial TV yang mengangkat isu kesetaraan gender, yang menempatkan perempuan sejajar di kursi kemudi. Pokoknya Ibu Kita Kartini pasti tersenyum kalo diajak ke bioskop. Atau kalo lagi mager musim ujan ke bioskop, kita tinggal ajak Bu Kartini nonton di rumah, bersama keluarga.

Ya, kita juga mesti bersyukur tinggal di era dengan teknologi maju. Film dan serial TV berkualitas tinggal sejangkauan tangan. Banyak platform, seperti Netflix, yang mulai fokus ke membuat film dengan agenda feminis dan mengangkat perempuan sebagai sudut pandang utama. Dengan WiFi cepat, kita bisa nonton puas tanpa batas. Kayak kata salah satu provider internet dari Telkom Group; Internet menyatukan keluarga. Salah satunya, ya dengan tontonan.

Makanya,  mumpung lagi Kartinian, My Dirt Sheet ngumpulin daftar serial drama terbaik untuk dipakai ngabisin kuota internet keluarga kalian di rumah. Kenapa serial? Biar ngumpul dengan keluarganya lebih lama, dong! Nah, serial drama di daftar ini, sebagian besar adalah favoritku, dan kupilih sebagai terbaik untuk Hari Kartini karena benar-benar mengandung semangat perjuangan Ibu Kartini. Yang membahas tentang perempuan, dari sudut pandang perempuan.  Yang feminis, tapi tidak lantas agenda-ish.  Yuk, langsung kita simak!

 

 

8. NEVER HAVE I EVER (2020-2023)

Serial komedi coming-of-age remaja ini relatable bukan saja karena memotret kehidupan sekolah remaja perempuan kekinian, tapi juga relate bagi kita karena menampilkan representasi Asia, yang enggak stereotipe. Tokoh utamanya adalah Devi, anak India-Amerika, yang baru saja sembuh dari trauma berat akibat kematian ayah. Kini Devi berusaha menaikkan status sosialnya. Tentu saja bukan usaha yang gampang. Kebiasaan atau aturan keluarga, lingkungan pertemanan, hingga asmara, jadi bentrokan pemanis kehidupan Devi.

Perjuangan Devi yang berusaha menikmati masa mudanya, sebagai remaja normal, melanggar pandangan Ibu memang mengingatkan kita kepada Kartini si burung trinil. Yang juga lincah dan gak mau ‘dikurung di sangkar’.  Serial ini menurutku memang cocok sekali ditonton oleh orangtua dan anak karena bisa membuka perspektif masing-masing. Serial ini tidak membuat karakter si remaja selalu benar, karena memperlihatkan konsekuensi. 

 

 

7. SELF MADE (2020)

Kartini memang berasal dari kalangan bangsawan. Beliau sempat mengenyam pendidikan (meski distop bapaknya), berteman dengan orang-orang Belanda, tapi Kartini selalu jadi dirinya sendiri. Berkulit kuning langsat di antara kulit putih pucat, tidak pernah kita dengar RA Kartini pengen tampil seperti orang Belanda. Kebaya tetap jadi pilihan pakaiannya. Soal fit in, bagi Kartini tidak pernah jadi soal dia mendapat tempat di antara bangsawan Belanda yang terpelajar. Melainkan lebih kepada dirinya memikirkan tempat kaum, dan bangsanya.

Perilaku Kartini yang demikian itulah yang terpikirkan olehku ketika menonton Octavia Spencer bermain akting dalam serial limited-drama Self Made. Merupakan cerita biopik Madam C.J. Walker, milyuner kecantikan yang berasal dari seorang tukang cuci. Tokoh perempuan dalam cerita ini berjuang melawan standar kecantikan dan rasisme dengan memegang teguh jati dirinya. Jadi diri kaumnya itulah berhasil dia tempatkan setinggi mungkin.

 

 

6. BLACK DOG (2019-2020)

Baru banget masuk Netflix awal bulan April, serial drama dari Korea ini memang lebih khusus bicara tentang kehidupan guru. Tapi bukankah Kartini juga seorang guru? Kartini mendirikan tempat belajar di rumahnya. Bersama adik-adiknya, Kartini ngajarin anak-anak kecil membaca dan menulis.  Sampai akhirnya beliau mendirikan yayasan khusus perempuan.

Karakter dalam Black Dog juga begitu.  Perempuan yang jadi guru pengganti  di SMA, tapi benar-benar memikirkan dan mendukung impian murid-muridnya.  Keren sekali menggambarkan hubungan guru-murid dan latar pendidikan (lengkap dengan politik di dalamnya!) Tapi sebenarnya, aku suka nonton ini karena ada Lee Eun Saem jadi salah satu murid, Itu loh, yang jadi Mi-Jin di serial zombie All of Us are Dead (2022). Aku naksir berat ama karakternya hihihi

 

 

5. UNBELIEVABLE (2019)

Salah satu semangat feminis Kartini adalah perempuan harus saling bantu. Harus saling dukung, Karena memang pada kenyataan, relasi kuasa itu ada. Dunia bisa sangat susah untuk mempercayai kata seorang perempuan. Inilah yang dipotret dalam serial kriminal Unbelievable. Gak ada yang percaya kalo perempuan muda di cerita ini adalah korban perkosaan. Adalah dua detektif perempuan yang berusaha untuk mengungkap kebenaran, dan menegakkan keadilan, both literally (yang salah memang harus dihukum) and figuratively (perempuan juga berhak mendapat perlakuan dan kepercayaan yang sama) 

Penyuka kisah detektif dan kasus kriminal pasti bakal betah nonton ini. Gak ada salahnya juga jika ini ditonton bareng keluarga.  Karena selain seru, konklusi yang dihadirkan juga benar-benar memuaskan. Bisa ngasih pelajaran juga, karena kisah dalam serial ini diangkat dari peristiwa nyata.

 

 

4. GILMORE GIRLS (2000)

Single Mother yang besarin anak seorang diri udah jadi staple bagi cerita-cerita bertema feminis. Bukan hanya film, serial juga. Misalnya yang populer itu ada Maid, terus When the Camellia Blooms. Aku masukin Gilmore Girls karena merupakan salah satu yang paling duluan mengangkat bahasan tersebut. Dan juga karena di serial ini, hubungan antara ibu dan anak remajanya yang juga perempuan lebih ditonjolkan.

Tema kemandirian, serta ‘perempuan’nya kerasa banget. Inilah yang bikin serial ini menonjol dan gak sekadar drama nangis-nangisan. Aku merasa serial ini kalo jadi orang, maka dia akan jadi R.A. Kartini. Tampak lembut dan tangguh secara bersamaan.  Di Amerika serial ini memang sangat populer, sampai dibikinkan sekuelnya, enam-belas tahun setelah serial originalnya kelar. Dan sekuel tersebut; Gilmore Girls: A Year in the Life (2016) masih digarap dengan sama respek dan menghiburnya.

 

 

 

3. NEW GIRL (2011-2018)

Ya, aku tahu ini entry yang sekilas tampak aneh. Tapi kalo dipikir-pikir, serial komedi persahabatan yang quirky ini memang berjiwa feminis. Jess, karakter utamanya, ngekos bareng tiga cowok asing di sebuah apartemen. Throughout enam season, mereka akhirnya jadi berteman akrab, dengan Jess jadi pusat interaksi mereka. Sering dibandingkan dengan Friends, serial ini actually juga relate sekali buat generasi milenial karena selain soal cinta dan persahabatan, juga membahas soal kerjaan, soal hidup di usia 30an – memenuhi ekspektasi orangtua dan lingkungan.

Nilai-nilai feminis yang diperjuangkan Kartini seperti kemandirian dan kesetaraan menjelma di dalam Jess dengan nada yang lebih ringan, dengan tetap terasa grounded. Serial ini bahkan juga memperlihatkan feminis dari perspektif laki-laki, yang diwakili oleh karakter-karakter teman Jess. Dan begitu-begitu, Jess juga seorang guru, loh!

 

 

2. GLOW (2017-2019)

Perempuan, seperti yang diperjuangkan Kartini, berhak mendapat pendidikan setinggi yang bisa dicapai laki-laki. Begitu juga dengan pekerjaan. Dunia bukan hanya milik laki-laki. Perempuan gak harus di dapur saja. Bisa kok jadi filmmaker, detektif, guru, dokter, dan bahkan pegulat.

Glow terinspirasi dari acara pro-wrestling beneran di tahun 80an, yang khusus menampilkan pegulat perempuan. Serial ini dalam kondisi terbaiknya adalah tentang menaklukkan male-gaze, khususnya di dalam industri hiburan. Perempuan dalam acara gulat bukan hanya objek untuk jual tampang dan bodi semata. Mereka bisa kuat-kuatan, mereka bisa perform, beraksi sendiri sebagai persona di atas ring. Satu episode favoritku adalah ketika karakter serial ini menolak skenario gulat yang harus ia perankan, karena rasis dan merendahkan perempuan.  Jadi mereka menulis ulang peran dan storyline di atas panggung. Bersama-sama mengarahkan acara gulat versi mereka, yang akhirnya terbukti tak kalah menghibur. Girl Power!!!

 

 

1. THE QUEEN’S GAMBIT (2020)

Ngomong-ngomong soal hal yang erat dikaitkan dengan dunia lelaki, The Queen’s Gambit bercerita tentang perempuan yang berhasil menjadi grandmaster catur (alias olahraga bapak-bapak), di usia yang tergolong masih sangat muda. Kemenangan Beth Harmon atas lawannya (yang tentu saja adalah pria-pria yang jauh lebih tua) diperlihatkan cukup ‘mengguncang’ dunia percaturan di masa itu, karena benar-benar telak membuktikan perempuan bisa lebih pintar daripada laki-laki. Serial ini juga menggali kenapa perempuan jago catur itu dijadikan berita yang sensasional, apakah itu berarti memang ada batas di antara dua gender dan masyarakat secara gak sadar mengakui keberadaan batas tersebut.

The Queen’s Gambit membahas persoalan gender dan kesetaraan dengan cerdas. Di balik tanding catur, kita akan dibawa menyelami psikologis Beth Harmon. Karena sebenarnya serial ini adalah tentang karakter tersebut menyadari kemandirian – menyadari apa artinya sebagai perempuan di dunia. Seperti cerita-cerita terbaik, serial ini tidak menggambarkan karakternya sehitam putih papan catur. Duh, gara-gara ini aku jadi kepingin lihat pertandingan catur antara Beth melawan Ibu Kartini.

 

 

 

Delapan serial drama dalam daftar rekomendasi ini, semuanya udah bisa disaksikan di Netflix. Tinggal klik.  Kalo dulu Ibu Kartini bilang “Habis gelap terbitlah terang”, maka sekarang aku bilang habis sudah masa kita berbingung-bingung nyari akun yang jualan Netflix di reply komenan sosmed orang. Sekarang terbitlah kemudahan. Karena buat langganan Netflix, sekarang kita bisa sekalian ama paket IndiHome!

Netflix via IndiHome tersedia dengan mudah dan praktis karena telah tergabung dalam satu tagihan bulanan.  Ada dua paket yang bisa dipilih, yaitu paket dengan kecepatan 50mbps dan paket 100mbps (bonus 100 menit telepon!) Sementara untuk pelanggan Telkomsel, Netflix dibundling dengan kuota data Telkomsel. Jadi gak perlu pakai kartu kredit. Hiburan tanpa batas IndiHomeXNetflix ini langsung bisa dinikmati setelah melakukan aktivasi. Pelanggan lama cukup klik link di email yang terdaftar di aplikasi myIndiHome. Untuk pelanggan baru, tinggal ke Nonton Puas Tanpa Batas. 

Yuk aktifkan supaya bisa nonton serial-serial di atas, dan tentu saja banyak film dan serial lainnya. Semoga ke depan Indonesia juga gak mau kalah dan bikin serial dengan spirit Kartini supaya bisa ditonton bersama keluarga, ya!

 

 

So, that’s all we have for now.

Apa film atau serial tentang perempuan favorit kalian?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are…

 

 

 

 

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 
 

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020


 
Kita sudah pernah survive hidup di masa film-film impor telat bahkan dilarang masuk ke bioskop. Malah, abang atau kakak atau orangtua kita pernah ngalamin zaman bioskop yang film-filmnya gak ada yang terpuji. Dan siapa sangka, tahun 2020 ternyata datang beserta ancaman baru bagi para pecinta film; bioskop seluruh dunia harus ditutup demi memutus rantai pandemi! Bukan hanya film impor, film Indonesia pun tak ada yang bisa tayang di bioskop. Bukan hanya film-film bagus, film-film jelek juga harus terpisah dari penggemarnya.
Gak ada lagi yang namanya premier-premier. Gak ada lagi yang bisa nonton bareng. Tempat pemutaran alternatif juga perlahan tutup. Tapi untungnya kita hidup di masa internet yang terbilang cukup jaya. Masa di mana televisi sudah tergantikan oleh platform-platform streaming. Di era bioskop-tutup ini, streaming mencuat sebagai jawaban bagi dunia perfilman. Sebelum pandemi, kehadiran streaming memang sudah banyak, namun Studio/PH masih menomorsatukan bioskop. Karena di situlah pengalaman sinematik yang sebenarnya bisa terasa. Hanya saja, keadaan di 2020 membawa mereka terpaksa harus ‘menyerah’. Daripada film mereka mundur dan tak-tahu kapan bisa rilis karena kondisi pandemi yang tak kunjung menentu, kan. Film Trolls World Tour-lah yang pertama kali  alih-alih memundurkan tanggal tayang, memilih untuk tayang di platform. Dan praktisnya, memulai ‘new normal’ kebiasaan menonton.
Blog ini tentu saja merasakan pengaruh cukup drastis dari perubahaan ini. Pertama, tahun ini aku tidak mengeluarkan daftar ‘Kekecewaan Bioskop’; karena hanya caturwulan pertama yang film-filmnya masih di bioskop. Film-film yang tayang di platform juga banyak yang mengecewakan, sebenarnya, but I don’t feel right menyebut mereka sebuah kekecewaan – karena at least, mereka membuat industri film bisa bertahan, dan karena nonton di platform tidak terasa se-wah dan se-berjuang nonton di bioskop. Kedua, karena nonton di platform, aku jadi kebawa santai. Nonton jadi gak seurgen saat tayang di bioskop, yang perlu ngejar-ngejar sebelum filmnya turun, atau buru-buru beli tiket sebelum kehabisan atau simply sebelum spot kursi favorit diambil orang. Makanya reviewku mulai dari caturwulan kedua kemaren mulai telat-telat. Gak lagi se-on time biasanya. Malah saking banyak dan beragamnya tontonan yang bisa ditonton kapan saja, beberapa film jadi tak terulas. Tahun ini aku hanya mereview 119 film.
On the bright side, waktu nonton yang lebih senggang itu bisa kuisi dengan membuat review video. Ya, mulai tahun ini, youtube My Dirt Sheet sudah aktif ngereview film – dengan konsep sambil main video game! Ahahaha biar gak usah ribet ngurusin copyright tampilan trailer. Jadi yang belum subscribe, silakan lakukan hihihi…
Sisi positif lain dari new-normal nonton ini adalah kualitas yang kureview relatif meningkat. Karena filmnya sedikit, maka tak lagi rame oleh film-film medioker. List tahun ini sangat ketat!
 

HONORABLE MENTIONS

  • 1917 (jika film adalah sebuah experience, maka film ini nawarin experience perang terbaik di tahun ini)
  • Borat Subsequent Moviefilm (Borat kembali menyentil lewat komedi ‘pura-pura udik’, yang benar-benar sebagai reality check buat kita semua. Plus narasinya kini lebih berdrama. Very nice!!)
  • His House (persoalan hidup imigran dijadikan horor nyeni yang luar biasa manusiawi!)
  • Little Women (begini nih bikin film feminis yang gak agenda-ish; cantik dan respek!!)
  • Mank (penggemar sinema bisa belajar banyak dari film ini)
  • Nocturne (horor yang ngasih audio secreepy visual, menguatkan konflik psikologisnya)
  • Soul (film Pixar paling dewasa yang membahas filosofi keberadaan dengan ringan, lewat world-building yang kreatif!)
  • Sound of Metal (sound design luar biasa, cerita dan karakter manusiawi, akting juara, ending powerful — film ini punya semua!!)
  • Swallow (cara bertutur yang deep creep membuat cerita wanita memperjuangkan otonominya ini menjadi berkali lipat lebih thoughtful, naas, dan mengerikan)
  • The Assistant (pendekatan berceritanya realistis sekali sehingga film ini jadi luar biasa efektif menyampaikan gagasannya)
  • The Invisible Man (fenomenal opening dan fenomenal akting bikin thriller ini menjuarai caturwulan pertama film 2020)
  • The King of Staten Island (Kuat oleh sense of realism, film ini berhasil sebagai drama-komedi semi-otobiografi tanpa terpeleset menjadi sebuah parodi)
  • The Science of Fictions (film ini harusnya dikirim ke Oscar, harusnya menang Citra. Yang banyak!)
  • The Vast of Night (horor fenomena UFO dengan arahan yang sangat menarik dan menginspirasi buat filmmaker muda)
  • The Willoughbys (animasi dengan cerita yang unik, aku suka film ini mainly karena ada Alessia Cara ngisi suara karakter sentralnya!)

Tak lupa pula, Special Mention dihaturkan kepada film Vivarium yang ulasannya paling banyak dibaca tahun 2020 di blog ini.
 
Bersama dengan spoiler warning buat film-film yang masuk delapan-besar ini, aku juga ngingetin kalo daftar ini completely subjective. Ini not-exactly daftar film terbaik. Ini adalah delapan-besar film 2020 versi ku. Kesukaan-ku. Jadi isinya bisa berbeda dengan daftar versi kalian. Akan berbeda dengan daftar terbaik di web atau blog lain. Malah, daftar ini akan berbeda dengan Rapor Film My Dirt Sheet – karena penilaian rapor tersebut berusaha kubikin seobjektif mungkin.
So yea, inilah TOP-EIGHT MOVIES ANGKATAN CORONA!!
 
 

8. EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA

Director: David Dobkin
Stars: Will Ferrell, Rachel McAdams, Dan Stevens, Pierce Brosnan
MPAA: PG-13 for crude sexual material including full nude sculptures, some comic violent images, and language
IMDB Ratings: 6.5/10
“IT WILL NEVER BE ENOUGH! I ONLY WANT TO HEAR JA JA DING DONG!”
Totally hiburan di tengah pandemi!
Ketika baru nonton ini, aku tahu ini bakal jadi cerita underdog dalam sebuah kompetisi. Seperti film-film serupa; ia ringan, formulaic, tapi bisa sedikit menginspirasi. Yang aku tidak tahu adalah… bahwa film ini ternyata luar biasa asik dan menghibur!
Ini film yang paling banyak aku tonton sepanjang. Bengong mau nulis apa lagi saat ngulas film? Aku berhenti dan setel film ini. Lagi pengen ngemil? Aku putar film ini sebagai teman ngunyah. Boring nunggu render-an video? Aku mainkan film ini dan dijamin tak akan bosan lagi. Well, sebenarnya filmnya sendiri banyak kekurangan. Ada bagian gajelas banget, yang gak aku suka di tengah, yakni adegan nyanyi bareng para juara eurovision beneran. Tapi bisa diskip dan nonton yang ada Lars dan Sigritnya aja. Karena memang keasikan film ini datang dari dua karakter sentral tersebut. Mereka lucu, mereka awkward, penampilan akting Rachel McAdams dan Will Ferrell kocak banget – and they sure can perform!
My Favorite Scene:
Adegan nyanyinya keren dan kocak semua. Aku suka Double Trouble, aku suka Ja Ja Ding Dong, aku bahkan suka lagu Running with the Wolves. Namun sebagai puncak, I’ll give the cake to Husavik.

“Gra-med-DIAAAA!!!”
 
 
 
 

7. THE TRIAL OF THE CHICAGO 7

Director: Aaron Sorkin
Stars: Eddie Redmayne, Joseph Gordon-Levitt, Sacha Baron Cohen, Michael Keaton
MPAA: R for language throughout, some violence, bloody images and drug use
IMDB Ratings: 7.8/10
“Let us make sure that if blood is going to flow, let it flow all over this city.”
Makjaaaaaangg!! Adegan persidangan di film ini adalah sidang terheboh yang pernah aku lihat di dalam film. Bahkan lebih bikin geram dibandingkan sidang yang pernah kutonton di televisi – dan aku udah lihat sidang kopi sianida dan sidangnya Steven Avery!
Film ini memang sukses mengaduk-aduk emosi. Debat sidang yang ada di film ini begitu sensasional. Dan begitu kita sadar bahwa adegan-adegan dalam sidang ini tuh beneran kejadian di dunia nyata karena film ini diangkat berdasarkan peristiwa beneran. Yah, meskipun yang namanya film, ada beberapa hal yang diubah alias didramatisasi. Namun demikian, film ini berhasil tampil tidak seperti parodi ataupun lebay. Malahan powerful dan mampu membuat kita berefleksi terhadap masa kini.
Aaron Sorkin berhasil membuat film ini sebagai tontonan yang seru, meskipun sebagian besar isinya adalah orang ngomong aja.
My Favorite Scene:
Punchline film ini di ending itu kuat banget. Tapi paling terbayang-bayang itu, yang paling bikin geregetan bahkan ketika filmnya udah beres, adalah kelakukan hakimnya.

 
 
 
 

6. BLACK BEAR

Director: Lawrence Michael Levine
Stars: Aubrey Plaza, Christopher Abbott, Sarah Gadon 
MPAA: R for language throughout, sexual content, drug use and some nudity
IMDB Ratings: 6.5/10
“Hey, I think feminism is fucked up.”
Aku suka nonton film. Aku suka nulis. Aku selalu ingin tahu bagaimana satu film itu ditulis – bagaimana film itu dibuat. Black Bear memuat hal tersebut. Karena film ini memvisualkan proses penulisan sebuah film – bagaimana ide-ide personal bisa ditarik untuk menjadi sebuah cerita, yang menghormati penonton dan penulisnya sendiri.
Film ini punya banyak kesamaan dengan film terfavoritku sepanjang masa, Mulholland Drive. Sama-sama aneh. Sama-sama nunjukin adegan syuting film (this is my soft spot for movies), sama-sama dihidupi oleh karakter yang nanti direveal sebagai orang yang bukan kita kenal sebelumnya. Sama-sama bikin bingung, tapi bingung yang membuat kita peduli karena ceritanya berakar pada konflik personal. Bedanya, Black Bear actually adalah berakhir dengan nada yang positif. Karena karakternya adalah penulis, dia menulis, maka yang ia lakukan sebenarnya adalah sebuah proses healing.
Black Bear disangga oleh penampilan akting yang luar biasa natural dari tiga aktor sentralnya. Kalo kalian belum ngefans sama Aubrey Plaza, kalian bakal jadi ngefans sama aktor ini. She’s weird, she’s funny. Dia nunjukin range emosi yang menakjubkan. Kalian perlu melihat Aubrey pada adegan ketika dia disuruh berakting pada bagian kedua cerita film ini. Tapi, untukku,
My Favorite Scene adalah:
Pas dialog debat soal feminis di cerita bagian pertama. Dialog film ini memang berisi banyak argumen yang menantang kita untuk diskusi, dan salah satunya – dialog dengan argumen paling menarik dan relevan – adalah ketika Aubrey harus memilih sikap di antara seorang suami yang berpikiran lebih tradisional dengan istri yang lebih ‘woke’, namun kedua orang ini sama-sama annoying.
 
 
 
 
 

5. RELIC

Director: Natalie Erika James
Stars: Robyn Nevin, Emily Mortimer, Bella Heathcote
MPAA: R for some horror violence/disturbing images, and language
IMDB Ratings: 5.9/10
“Do you ever get lonely out here by yourself?”
Dari sekian banyak horor bagus yang tayang di tahun 2020, aku memilih Relic sebagai favorit. Relic bukan hanya superseram, tapi juga sarat oleh makna. Dan ceritanya gampang untuk relate kepada siapa saja, karena kita semua punya orangtua – dan sendirinya akan menjadi orang tua.
Seluruh kejadian dalam film ini dirancang sebagai perumpamaan dari dampak demensia kepada si pasien, sekaligus juga kepada keluarganya. Nonton film ini akan bikin kita takut tua dan tinggal sendirian, sebegitu berhasilnya metafora itu diwujudkan oleh film. Perasaan mengerikan seperti ketika orang yang kita kenal berubah menjadi orang lain karena tidak lagi mengingat siapa kita, ataupun ketika kita mulai kehilangan ingatan itu satu persatu, inilah yang jadi bahan bakar horor cerita.
Dan semua itu berhasil berkat arahan yang visioner dari sutradara yang baru sekali ini bikin film. Cerita ini seperti personal baginya. Ending film ini juga jadi salah satu ending paling powerful yang bisa kita tonton di 2020. Tepuk tangan untuk Australia sekali lagi menelurkan sutradara horor yang hebat. I can’t wait to see Natalie Erika James’s next projects.
My Favorite Scene:
Ketika karakter dalam film ini mulai tersesat di dalam rumah mereka sendiri! Gila ini adegannya serem karena terasa banget panik dan mengukungnya rumah yang dibikin ‘bertambah ruangan’ itu.

 
 
 
 
 

4. THE PLATFORM

Director: Galder Gaztelu-Urrutia
Stars: Ivan Massague, Zorion Eguileor, Antonia San Juan
MPAA: TV-MA
IMDB Ratings: 7.0/10
“There are 3 kinds of people; the ones above, the ones below, and the ones who fall.”
Perfect banget ditonton saat awal pandemi kemaren. Nonton ini tuh jadi kejawab kenapa orang-orang pada sibuk menimbun masker (atau menimbun tisu toilet di luar negeri sana). Lebih universal lagi, menjawab kenapa yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin melarat.
Film ini berhasil menjelaskan itu lewat konsep dunia-cerita yang diciptakan dengan baik. Perlambangan di balik mekanisme platform dan lantai-lantainya itu benar-benar terasa mewakili keadaan di dunia kita. Ini adalah film yang penting bagi kemanusiaan, tapi sekaligus menjadikan film ini sangat susah untuk ditonton.
Darah, muntah, kotoran, kerakusan dan moral bobrok; itulah lima elemen dasar film ini. Secara simbolik maupun literal, film ini sungguh akan membuat kita mual.
My Favorite Scene:
Adegan yang menabrakkan persiapan masak sebegitu banyak dan enak makanan, dengan bagaimana makanan tersebut akhirnya dimakan

 
 
 
 
 
 

3. I’M THINKING OF ENDING THINGS

Director: Charlie Kaufman
Stars: Jesse Plemons, Jessie Buckley, Toni Collette, David Thewlis, Guy Boyd
MPAA: R for language including some sexual references 
IMDB Ratings: 6.6/10
“Other animals live in the present. Humans cannot, so they invented hope.”
Satu lagi film 2020 yang ngingetin sama Mulholland Drive, dan bahkan punya general-idea yang mirip. Film ini secara konflik juga mirip dengan Black Bear – tentang orang yang memutar ulang cerita hidup di dalam kepalanya. Tapi film ini menohok karena memperlihatkan kegagalan.
Aku lebih suka film ini karena lebih aneh, pengadeganannya lebih menekankan kepada hal sureal. Film ini juga banyak dialog, tapi gak akan bikin bosan karena surrounding dialognya itu yang menarik. Kita melihat tokoh-tokoh yang berubah namanya, bajunya — begitu unsettling, random, dan sedikit mengerikan.
Awalnya memang film ini terasa distant. Kita gak yakin tentang apa sebenarnya. Di sinilah letak pesona film. Kaufman merangkai dialog, karakter, adegan, dan penyimbolan dengan luar biasa detil sehingga tanpa disadari film ini akan berakhir dengan terasa begitu dekat. Begitu nyata. Kenapa jadi kayak iklan provider…
My Favorite Scene: Adegan balet di menjelang akhir itu sampai sekarang bikin aku kepikiran. Apakah ini kejadian yang sebenarnya? Apakah ini harapan si tokoh? Yang jelas begitu weird dan beautiful

 
 
 
 
 

2. JOJO RABBIT

Director: Taika Waititi
Stars: Roman Griffin Davis, Thomasin McKenzie, Scarlett Johansson, Taika Waititi
MPAA: PG-13 for mature thematic content, some disturbing images, violence, and language
IMDB Ratings: 7.9/10
“Not everyone is lucky enough to look stupid.”
Film yang berada di posisi limbo sebenarnya; keluar tahun 2019, tapi berkat Indonesia yang gak mau masukin film ini ke bioskop, aku baru bisa nontonnya di tahun 2020. Sering sih kondisi gini terjadi. Biasanya film-film limbo palingan hanya kumasukin ke ‘honorable mentions’. Namun Jojo Rabbit ini begitu bagus, sehingga sayang rasanya untuk tidak mencatatkan namanya di daftar top-eightku.
Bahkan, objectively, film ini tetap dengan nilai tertinggi di antara film-film 2020. Naskahnya keren banget. Mengadaptasi cerita ‘muram’ menjadi komedi satir, yang enggak pretentious. Film ini tetap terasa sangat penting, bicara tentang ‘sebarkan cinta, bukan kebencian’ di balik nada konyolnya itu. Ini menunjukkan permainan hati dan komedi yang sangat presisi dari pembuatnya.
Progresi ceritanya benar-benar menyenangkan untuk diikuti. Membuat film terasa padat, dan membuat kita merasa sayang ketika film berakhir karena gak mau berpisah dengan karakter-karakternya.
My Favorite Scene:
Film ini punya banyak adegan top. Kita minta sedih, ada. Lucu, ada (Yorki paling bikin ngakak!). Sweet pun ada. Weird, apalagi! Tapi seperti biasa, the best part adalah ending. Dan adegan di ending Jojo Rabbit seperti mewakili semua perasaan yang sudah memuncak dari filmnya.

 
 
 
 

Pandemi memang telah sukses mengubah skena nonton kita. Beda dengan bioskop, nonton streaming-an di hp atau laptop atau tv masing-masing membuat nonton terasa lebih spiritualis lagi.  Film-film pun ternyata banyak yang menggali eksistensi, merefleksi diri, dan sebagian lagi mengajak kita untuk menikmati hidup walau dalam keadaan tak-biasa.
Perubahan yang tampak jelas di daftar ini adalah, sudah sejauh ini tapi belum ada film superhero. Padahal biasanya, film superhero pasti nongol – setidaknya mengisi di ‘honorable mentions’. Dalam kondisi dunia di mana kita butuh pahlawan, apakah superhero malah absen dalam daftar tahun ini?

Siapkan terompet tahun baru kalian – karena inilah, FILM NOMOR SATU PILIHANKU DI TAHUN 2020!
*tiup terompet: “teteteret-teret-tenettereneett!!”
 
 
 
 
 

1. DA 5 BLOODS

Director: Spike Lee
Stars: Delroy Lindo, Jonathan Majors, Melanie Thierry, Chadwick Boseman
MPAA: R for strong violence, grisly images and pervasive language
IMDB Ratings: 6.5/10
“We fought in an immoral war that wasn’t ours for rights we didn’t have.”
In the wake of #BlackLivesMatter, Spike Lee menghadirkan film ini ke tengah-tengah kita.
Da 5 Bloods menggambarkan bagaimana persisnya menjadi serdadu kulit hitam yang disuruh berperang di Vietnam. Horor perang yang seumur idup gak ilang itu dipotret oleh Lee, disebar ke lima perspektif karakter, dan kita melihat seperti apa perang membekas ke dalam hidup mereka. Selipan flashback adegan perang, ditambah cuplikan klip perang yang nyata, membuat film ini dapat jadi disturbing untuk ditonton. Aku merinding sendiri nonton ini, bahkan lebih merinding daripada nonton film-film horor yang bagus-bagus itu.
Tapi jangan bayangkan arahan Lee kaku dan one-tone seperti film-film agenda-ish. Film ini tidak tampil murni mengerikan. Juga tidak murni menuding siapa-siapa. Ada hati yang begitu menguar soal persahabatan dan keluarga. Ada kelucuan yang dihadirkan. Film ini punya segalanya. Ia bermula dari petualangan dan berakhir ke action menegangkan.
Di film ini kita bisa melihat salah satu penampilan terakhir dari Chadwick Boseman (rip) – nonton film ini sekarang akan membuat Boseman semakin fenomenal lagi karena karakternya di sini begitu kharismatik, perfectly mirroring him in real life.
My Favorite Scene:
Monolog Delroy Lindo. That’s it. Aku angkat kupluk banget. Beautiful, daunting, kita takut dan kasihan melihatnya saat bersamaan. Jika aku yang punya, aku akan ngasih Oscar untuk Delroy di adegan ini.

 
 
 
 
 
So, that’s all we have for now.
Akhir 2020, bioskop mulai menggeliat bangun. Semoga pandemi segera berakhir. Semoga perfilman segera pulih. Semoga Indonesia gak terjebak dan ikut-ikutan dalam perang platform, karena pada titik ini perfilman kita belum sanggup untuk bersaing di sana – platform tidak banyak membantu perfilman kita dalam jangka panjang, melainkan hanya membuat film-film jadi cenderung seperti ftv. Semoga tahun 2021, kita sudah bisa menikmati ngejar-ngejar film di bioskop kembali!
Apa film favorit kalian di tahun 2020? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2021?
Share with us in the comments 
 
Remember, in life there are winners.
And there are…
… karena tahun 2020 ini gak ada Kekecewaan Bioskop, maka aku mau paradein losers lain. Ya kalian; Mulan, Tenet, Milea, dan…

We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2019


 
Selamat tahun baru, semuanya!
Sebelum kita digempur oleh reboot-reboot yang bakal bikin ribet saat menyebutkan nama judul karena harus menyertainya dengan angka tahun pembuatan (“Film A yang mana, yang jadul apa yang 90an?” / “Bukan, A yang 2020”), dihebohkan oleh superhero-superhero lokal, dan dikecewakan oleh lebih sering lagi animasi-animasi yang di-live action-kan tahun ini, aku ingin ngasih tahu bahwa sebenarnya 2019 adalah tahun yang cukup mengesankan dalam bahasan film.
Bagai mesin yang panasnya lama, 2019 dimulai dengan relatif adem ayem. Rapor film cawu I My Dirt Sheet aja boringnya luar biasa. Enggak ada yang spesial. Menjelang pertengahan tahun, baru mulai kelihatan riak-riaknya. Akhir tahun buatku yang paling mengejutkan. Emosi benar-benar diaduk oleh banyaknya film-film bagus, dengan film-film jelek dan film produk gak mau kalah. Genre-genre film mainstream hadir dengan berisi. Film-film art tampil dengan merakyat. Secara objektif, sebaran yang bagus enggak banyak peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Film-film yang dapat skor 8 masih sedikit, meski 7 lumayan banyak. Namun ada lebih banyak film yang menyenangkan, menghibur; ada lebih banyak film yang dapat .5 yang berarti aku dapat begitu banyak favorit untuk bisa dimasukkan ke daftar yang bias dan subjektif kali ini.
Untuk membuat semakin menggelinjang, tahun ini aku mengupdate rule dalam menyusun daftar top-8. Bukan hanya sudah ditonton (bioskop atau bukan), sekarang aku hanya akan memasukkan film-film yang sudah kureview saja – hanya film-film yang masuk di rapor film cawu I,II,III (rapor ini kupos empat bulan sekali, look out for these). Tahun 2019 aku telah mereview 136 film. Aku gak nonton semua film yang beredar, tentu saja, aku bukan manusia super haha. Dan itu bukan jumlah yang banyak – apalagi 15 di antaranya sudah masuk daftar Kekecewaan Bioskop 2019. Jadi untuk top list kali ini, aku harus membatasi honorable mentions supaya persaingan semakin ketat dan daftarnya bisa lebih seru lagi.
 

HONORABLE MENTIONS

  • 27 Steps of May (film Indonesia terbaik; salah satu yang terpenting sepanjang tahun 2019)
  • Crawl (horor efektif manusia melawan buaya, tanpa ada twist dan political agenda ribet di antara mereka)
  • Dolemite is My Name (biografi komedi panutan buat yang mau nekat bikin film sendiri)
  • Imperfect (semua cewek harus nonton ini!)
  • Instant Family (drama keluarga menyenangkan yang mengingatkan cinta tak melulu datang dari rantai DNA)
  • Knives Out (misteri pembunuhan dengan twist unik dan bobot keren soal masalah ketakutan terhadap imigran)
  • Marriage Story (observasi proses perceraian yang sebenar-benarnya, dan ini melibatkan proses hukum dan perasaan yang sama getirnya)
  • My Dad is a Heel Wrestler (dengan indah dan penuh hati mengajarkan kepada anak-anak semua pekerjaan sama pentingnya)
  • Pretty Boys (kalo film ini mengajarkan semua pekerjaan sama pentingnya kepada orang dewasa; personal look pria terhadap dunia televisi)
  • The Farewell (terenyuh sekali nonton drama komedi yang berurusan dengan cara mengucapkan selamat tinggal ini)
  • The Irishman (kita tahu ini salah satu terbaik Scorsese saat begitu terinvest kepada tokoh utama yang kriminal)
  • The Peanut Butter Falcon (tontonan yang menghangatkan jiwa membuat mikir dua kali sebelum meremehkan mimpi orang lain)
  • Toy Story 4 (mainan-mainan ini sekali lagi akan bermain dengan perasaan kita)
  • Us (Jordan Peele kembali menakuti kita dengan komentar sosial, kali ini tentang privilege)
  • Weathering with You (salah satu pencapaian visual terindah di 2019; cara terbaik ketika bicara tentang cuaca!)

Special shout out buat Avengers: Endgame yang ulasan filmnya mendapat jumlah view terbanyak di My Dirt Sheet tahun 2019.
 
 
Top-8 yang bakalan kalian baca di bawah, aku menganggap semua sudah menonton filmnya, jadi spoiler, beware. Penjelasannya pun bisa jadi bakal sangat subjektif, jadi jangan tanya lagi kenapa jika ada satu film enggak ada, atau soal urutan yang ‘bagusan yang nomor 6 deh dibanding yang nomor 2’. Bagi yang pengen membaca penilaian lengkap filmnya yang lebih objektif, kalian bisa klik masing-masing judul film untuk membuka halaman ulasan film tersebut.
 
 

8. JOKER

Director: Todd Phillips
Stars: Joaquin Phoenix, Robert De Niro, Zazie Beetz, Frances Conroy
MPAA: R for strong bloody violence, disturbing behavior, language and brief sexual images
IMDB Ratings: 8.7/10
“I used to think that my life was a tragedy, but now I realize, it’s a fucking comedy.”
Saking manusiawi dan mengenanya emosi yang dikeluarkan, Joker menjadi film yang paling polarizing di tahun 2019. Beberapa penonton menyukainya, beberapa lagi takut akan kenyataan film ini banyak yang suka.
Joker adalah orang jahat. Dia membunuhi orang. Dia menginginkan dunia kacau. Film ini dengan hebatnya menempatkan kita di sepatu Joker, sampai kita merasa kasihan kepadanya. Inilah yang membedakan Joker dengan Taxi Drivernya Scorsese. Joker actually memang meminta kita melihat dari sudut pandang si jahat. Ada satu adegan Joker membunuh teman yang mengonfrontasi dirinya perihal pistol, dan kita malah bersimpati pada Joker karena segaris dengan sudut pandangnya bahwa ia dijebak oleh si teman. Padahal tidak. Joker adalah orang sakit di dunia yang sakit.
Buatku ini adalah tanda dari film yang bagus. Berbahaya, ya, tapi hanya bagi penonton yang tidak cakap dan salah mengenali. Selain sudut pandang, film ini juga punya banyak adegan bernada sureal yang semakin menguatkan humanisasi gelap dari manusia yang seluruh hidupnya adalah tragedi.
My Favorite Scene:
Setiap kali Joker menari, di momen-momen emosi yang sebenarnya enggak cocok untuk dipakai berjoged.

 
 
 
 
 

7. READY OR NOT

Director: Matt Bettinelli-Olpin, Tyler Gillett
Stars: Samara Weaving, Adam Brody, Mark O’Brien, Henry Czerny
MPAA: R for violence, bloody images, language throughout, and some drug use
IMDB Ratings: 6.9/10
“Maybe we deserve to burn.”
This is a pure blast! Ingat sejak dua tahun belakangan narasi wanita kuat dan pemberdayaan wanita atas tradisi jadi tren? Yah, film ini menceritakan itu dengan lebih simpel tapi tetap dramatis dan penuh gaya.
Grace bukan hanya melawan orang-orang yang memburunya. Grace melawan tradisi. Berusaha survive dari gagasan dirinya harus sesuai – memenuhi syarat – masuk ke satu ‘keluarga’. Sebagai horor film ini bekerja dengan baik karena punya aksi-aksi berdarah sebagai wujud dari simbol betapa mengerikannya pengaruh sebuah tradisi atau kepercayaan. Sebagai komedi, film ini bekerja terbaik, karena sajiannya yang menghibur penuh oleh kelucuan. Bahkan adegan orang terbunuh saja dibuat lucu.
Samara Weaving benar-benar jagoan di sini. Aku benar-benar suka pada penampilannya, dan itu mungkin karena bibirnya mengingatkanku kepada… ah sudahlah.
My Favorite Scene:
Gaun pengantin yang dikenakan Grace actually adalah karakter tersembunyi. Gaun itu menyimbolkan sesuatu yang tadinya harus ia kenakan, menjadi sesuatu yang ia kendalikan. Adegan favoritku adalah ketika Grace merobek gaunnya, menggunakannya sebagai bagian dari survival.
http://www.youtube.com/watch?v=6JDugxhF_cg
 
 
 
 

6. THE NIGHTINGALE

Director: Jennifer Kent
Stars: Aisling Franciosi, Baykali Ganambarr, Sam Claflin 
MPAA: R for strong violent and disturbing content including rape, language throughout, and brief sexuality
IMDB Ratings: 7.3/10
“”It’s the law”, cried the thief.”
Jennifer Kent baru membuat dua film. Yang pertama adalah The Babadook yang jadi film juara satu-ku di tahun 2014. Dan yang satunya lagi adalah thriller sejarah Australia ini. Film ini kayak Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, tapi lebih ganas, menakutkan, dan bikin kita lebih geram kepada kemanusiaan. Ada begitu banyak adegan kekerasan disturbing karena melibatkan anak kecil dan wanita, sampai-sampai tokoh-tokoh film ini – penampilan mereka seperti udah bukan akting – semuanya diberikan konseling kejiwaan.
Gagasan yang ingin diangkat oleh sutradara Jennifer Kent tidak sesederhana kejahatan akan mendapat balasan. Tidak, karena kekerasan yang akan berbuntut pada kekerasan hanya akan membentuk lingkaran setan kehancuran manusia yang akan terus bergulir. Kent justru mengangkat pertanyaan ‘bagaimana jika ada cara lain di luar balas dendam’. Dan terutama, ‘masihkah kemanusiaan itu akan ada di dunia yang penuh dengan kekerasan’.
Film ini keras, susah untuk disaksikan karena kontennya yang no holds barred, namun merupakan salah satu film terpenting bagi siapapun yang ingin merasakan kemanusiaan.
My Favorite Scene:
Revenge story semacam ini biasanya selalu menampilkan adegan pembunuhan pertama oleh tokoh utama sebagai sesuatu yang amat pahit, berkesan, menyayat, powerful. Dalam film ini, first kill tokohnya sangat luar biasa. Sayang, aku gak nemu potongan klipnya – sepertinya karena terlalu graphic.
 
 
 
 
 

5. FORD V FERRARI

Director: James Mangold
Stars: Matt Damon, Christian Bale, Josh Lucas, Noah Jupe
MPAA: PG-13 for some language and peril
IMDB Ratings: 8.3/10
“We’re lighter, we’re faster, and if that don’t work, we’re nastier.”
Kita gak suka balap? Who cares! Film adalah soal manusia-manusianya dan Ford v Ferrari menghadirkan dua tokoh yang begitu dekat. Bukan karena mereka tokoh asli yang pernah hidup di bawah mentari yang sama dengan kita. Melainkan karena mereka juga berjuang supaya bisa mengerjakan hal yang mereka cintai. Sama ,kan, kayak kita.
Kalian gak suka biografi karena berat dan lambat? Who CARES! Film ini akan membuktikan bahwa biografi enggak melulu berkaitan dengan cerita berat. Malahan film ini akan sangat crowd-pleaser. Percakapannya enggak pernah membosankan, karena penampilan yang total dari para pemain. Humornya juga lucu dan gak receh. Dramanya gak lebay melainkan penuh emosi yang terasa fully-earned, gak dibuat-buat.
Dan balap mobilnya? Man, gak suka balap juga pasti akan duduk sambil jingkrak-jingkrak deh melihat serunya balapan dan konflik yang melatarbelakanginya.
My Favorite Scene:
Sepanjang film aku mencubit-cubit lenganku karena geram melihat si tokoh korporat penjilat. Aku kasian sama si Miles yang disuruh mengalah tapi kemudian malah ditipu oleh timnya sendiri. Tapi film memasukkan sekilas, hanya beberapa detik adegan Miles kontak mata dengan bos Ferrari, lawan tandingnya. Dan ini buatku adalah adegan yang sangat powerful.
http://www.youtube.com/watch?v=E1Uvet8wbmA
 
 
 
 
 

4. ONCE UPON A TIME… IN HOLLYWOOD 

Director: Quentin Tarantino
Stars: Leonardo DiCaprio, Brad Pitt, Margot Robbie, Al Pacino
MPAA: R for language, some strong graphic violence, drug use, and sexual references
IMDB Ratings: 7.8/10
“It’s the actor’s job to strive for one hundred percent effectiveness. Naturally, we never succeed, but it’s the pursuit..that’s meaningful.”
Aku selalu ‘lemah’ sama film-film yang menunjukkan tentang pembuatan dan bisnis film, dan karya ke-9 dari Quentin Tarantino ini buatku too much to handle. Aku menonton ini hampir-hampir pingsan kelelahan karena menahan diri begitu kuat untuk enggak loncat-loncat menahan girang. That’s how good this movie is for me.
Kata orang, ini adalah surat cinta Tarantino buat cinema. Dan memang sedemikian kuat passion sang sutradara terasa. Ia mereka ulang salah satu hari gelap dalam sejarah Hollywood, dan memasukkan fantasi sendiri. Lewat dua tokoh – bintang film dan stuntman-nya – kita meliha cerita pahlawan di tanah rekayasa yang begitu menyentuh dan lumayan pahit. Meskipun overall film ini amat sangat kocak.
Film ini nyaris tiga jam, tapi aku gak masalah menyaksikannya berulang kali. Malahan katanya tahun ini bakal rilis versi uncut empat jam; AAAAA, I CAN’T WAIT!
My Favorite Scene:
Adegan dengan flamethrower di akhir adalah yang langsung terpikir kalo mengingat film ini. Tapi actually ada banyaaak adegan keren sepanjang durasi. Dan kalo dipikir-pikir lagi, buatku adegan Rick Dalton berusaha tampil prima berakting saat hatinya ragu dan insecure-lah yang mencuri piala sebagai adegan paling favoritku di film ini
http://www.youtube.com/watch?v=E6nGlUGnfQ4
 
 
 
 
 

3. PARASITE

Director: Bong Joon Ho
Stars: Kang-ho Song, Sun-kyun Lee, Yeo-jeong Jo, So-dam Park
MPAA: R for language, some violence and sexual content
IMDB Ratings: 8.6/10
“If I had all this I would be kinder.”
Dalam Parasite ada adegan hujan deras, di rumah orang kaya yang letaknya agak tinggi di atas hujan itu tampak begitu indah, romantis, sejuk. Namun di rumah orang miskin yang letaknya nyaris di bawah tanah, hujan itu menenggelamkan, ganas. Dingin.
Kejeniusan dari Parasite adalah mengontraskan dunia kaya dan dunia miskin, membuat tokoh-tokohnya berjuang merebut kekayaan dengan cara yang hanya Bong Joon-Ho yang bisa. Tone yang kontras dihandle dengan baik sebagai perbandingan yang satir. Tidak satupun tokohnya yang satu-dimensi berkat dialog-dialog yang ditulis dengan cerdas. Film juga berani dengan visualnya. Menangani segala macam kaya-dan-miskin dalam lingkupan semua indera kita, termasuk bau – sesuatu yang jarang sekali dilakukan dengan berhasil oleh film-film lain.
My Favorite Scene: Semakin ke belakang, Parasite menjadi semakin fantastical. Ada satu adegan yang sekilas kayak konyol, namun sarat oleh pesan dan komentar sosial yang subtil. Yakni saat dua keluarga miskin berkelahi mati-matian berebut tempat di rumah orang kaya, aku suka sekali ini.
http://www.youtube.com/watch?v=jI_Gx5B46UE
 
 
 
 
 

2. THE LIGHTHOUSE

Director: Robert Eggers
Stars: Robert Pattinson, Willem Dafoe, Valeriia Karaman
MPAA: R for sexual content, nudity, violence, disturbing images, and some language
IMDB Ratings: 8.0/10
“He believed that there was some enchantment in the light. Went mad, he did.”
Film terbaik yang kutonton sepanjang 2019. Pencapaian teknisnya luar biasa. Penggunaan warna serta rasio layarnya amat mendukung rasa terkukung yang ingin disampaikan. Editingnya sangat precise, sampai-sampai kita seolah merasakan langsung kegilaan ikutan merayap ke dalam diri kita. Ini adalah film tentang dua orang yang perlahan menjadi gila berada di pulau terpencil berdua saja untuk waktu yang lama. Dan semakin mereka tumbuh rasa curiga, rasa takut, merasa semuanya enggak beres, kita juga turut merasa begitu. Pada satu titik kita enggak tahu lagi mana yang benar.
Meskipun dialognya aneh dan ‘kuno’, namun tidak sekalipun film ini terdengar kaku. Yang menjadi bukti film ini punya arahan dan penampilan akting yang meyakinkan dan sangat kuat. Horor yang dihadirkan di sini adalah horor psikologis. Ada misteri yang berjalan di dalam dunia film, tapi kita bahkan enggak yakin dari mana kengerian dan misteri itu berasal.
Ini adalah jenis film yang jika ditonton lima orang, maka lima-limanya akan menghasilkan interpretasi yang berbeda. Ada begitu banyak adegan simbol dan kiasan yang memiliki makna berbeda tergantung masing-masing yang menonton. Di atas semua itu, film juga gak sok penting dan sok ribet, dia masih bisa bercanda dengan fart jokes di sana-sini. Aku menunggu-nunggu karya Robert Eggers berikutnya setelah The Witch yang jadi runner-up Top-8 ku di 2016, dan tahun ini dia kembali dengan tak mengecewakan.
My Favorite Scene:
Serius, aku tanya. Kapan lagi. Kita melihat adegan. Robert Pattinson dimarahi Willem Dafoe. Karena gak suka lobster yang ia masak?
http://www.youtube.com/watch?v=WBZwUdJFnhw
 
 
 
 
 
Kita beruntung masih bisa menyaksikan film dari master-master kayak Tarantino, Joon-Ho, bahkan Scorsese. Kita juga dapat comeback dari director-director muda yang ‘baru’ menghasilkan karya kedua, and it’s amazing! Seperti Jordan Peele yang debut Get Out dan sekarang Us – walaupun keduanya masih berkutat di ‘honorable mentions’/. Ada Jennifer Kent yang pernah jadi juaraku, dan sekarang muncul kembali masuk di Top-8 posisi 6. Ada Robert Eggers yang kembali menempati runner up. Sebenarnya tahun ini ada lagi yang comeback, yakni Ari Aster, yang tahun kemarin di posisi puncak dengan film debutnya; Hereditary. Bisakah Ari Aster dapat juara berturut-turut?
Atau mungkin tahun ini giliran film Indonesia? Dua sutradara master kita juga bersaing dengan film masing-masing. 2019 juga diisi oleh banyak film dari sutradara-sutradara debutan, apakah salah satu dari mereka yang bakal menempati posisi pertama dan mengukir sejarah My Dirt Sheet?
Jawabannya setelah iklan meme Joker dengan lagu WWE dariku berikut ini!
 


 
 
 
Oke, film nomor satuku di 2019 adalah:
 

1. FIGHTING WITH MY FAMILY

Director: Stephen Merchant
Stars: Florence Pugh, Vince Vaughn, Nick Frost, Dwayne Johnson
MPAA: PG-13 for crude and sexual material, language throughout, some violence and drug content
IMDB Ratings: 7.1/10
“Dick me dead, and bury me pregnant”
Jika kalian bisa nonton dan suka film balap, padahal gak suka balap, maka you’d definitely watch and like this movie too.
Dan aku bukan sekadar bias hanya karena suka gulat dan actually memfavoritkan Paige sebagai pegulat wanita revolusioner yang jadi tokoh utama cerita ini. Film bertema gulat secara mengejutkan ada tiga di tahun 2019. Tiga-tiganya bagus. Dua di antaranya nongkrong di Honorable Mentions. Fighting with My Family adalah yang paling grounded dan ringan dan menyentuh. Film ini digarap oleh Stephen Merchant, yang juga baru dua kali nyutradarain film panjang, dan dia bukan penggemar gulat. Namun dia berhasil menangkap esensi cerita dan punya gagasan sendiri yang sangat beresonansi dengan penonton.
ini adalah film crowdpleaser dengan formula yang sama kayak film-film tinju ataupun film tentang kompetisi. Tapi penampilan dan naskahnya tergarap dengan luar biasa baik. It is really inspiring. Drama keluarga dan konflik-konfliknya akan sangat menyentuh. Bayangkan kita dan saudara kita punya mimpi yang sama, tapi hanya satu dari kita yang dapat kesempatan – dan kita menyadari kita justru dapat kesempatan itu dari saudara yang kita ‘kalahkan’ tadi. Inilah yang dibicarakan oleh film ini. Bukan glorifikasi dunia gulat, melainkan fokus pada hubungan manusia yang semuanya punya keinginan untuk menang namun dunia simpelnya tidak butuh setiap orang untuk jadi pemenang.
Aku nonton ini sudah berulang kali. Tapi aku gak sanggup untuk melihat adegan Paige ‘diabaikan’ oleh abangnya karena cemburu saat mereka bertanding di arena keluarga. Sebegitu mengenanya emosi di adegan tersebut. Aku benar-benar gak nyangka film yang bahkan gak masuk di bioskop Indonesia ini, yang bersetting gulat yang sering diremehin orang, bisa mengandung cerita keluarga yang semenyentuh dan sehangat ini.
My Favorite Scene:
Film ini juga sangat lucu. Meskipun kadang lucunya awkward dan gak untuk semua orang. Favoritku adalah adegan The Rock menelfon keluarga Paige untuk memberikan suatu kabar. Reaski Nick Frost sangat kocak. Dan lihatlah ekspresi Florence Pugh saat menatap The Rock, seperti menatap idola sungguhan!

 
 
 
 
 
That’s all we have for now.
2019 tidak berlanjut sebagaimana yang kuharapkan di akhir 2018. Tapi ternyata masih menyiapkan kejutan menyenangkan. Aku pun masih optimis perfilman akan semakin mendekati nilai keseimbangan antara industri mainstream dengan ideal dan ala arthouse. Yang jelas, semoga cerita-cerita bersambung yang sengaja dipotong segera enyah dari dunia sinema.
Bagaimana dengan kalian, film 2019 apa yang menjadi favorit kalian? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2020?
Share with us in the comments 
 
Oh ya, untuk merayakan satu dekade My Dirt Sheet; nantikan artikel khusus Champion of Champions: My Dirt Sheet Top Movie of a Decade (2010-2019) segera!!
Remember, in life there are winners.
And there are…

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

My Dirt Sheet Top-Eight ‘KEKECEWAAN BIOSKOP’ OF 2019


 
 
Akhir tahun adalah waktu yang biasanya kita gunakan untuk meratapi resolusi-resolusi yang tak jadi tercapai (lagi!), keinginan-keinginan yang kandas tak terwujud, dan harapan-harapan yang berbuah kekecewaan. List ini adalah salah satu perwujudan dari harapan-harapan itu.
Ketika film disebut mengecewakan, bukan lantas seketika berarti film itu jelek, pembuatnya bego gak ngerti bikin film. Film yang bagus juga bisa saja tetap membuat kita merasa kecewa. It’s just mewujudkan sebuah film berarti membuat pilihan. Mau ngambil resiko atau tidak. Mau jadi nyenengin hati fans, atau hati semua orang, atau hanya hati produsernya. dan pilihan yang diambil film kadang enggak sejalan – enggak sefrekuensi, kalo kata Ainun – dengan harapan dan ekspektasi kita. Yang menurut kita penting, belum tentu begitu bagi pembuatnya.
Jadi, ya, daftar ini akan sangat subjektif. Kalian boleh jadi tidak menemukan film yang kalian benci. Sebaliknya, kalian bisa saja menemukan film yang kalian suka atau mungkin malah film yang menurut kalian bagus nampang di sini. Dan aku yakin memang ada. Tahun ini actually lebih banyak film yang populer, yang bisa dibilang bagus – at least yang kukasih skor lumayan tinggi – yang menurutku mengecewakan. Karena ekspektasi dan pilihan tadi. Also, daftar ini hanya akan mengcover film-film yang kutonton di bioskop, sebab dikecewakan oleh film yang kita harus berangkat dari rumah, meluangkan waktu untuk menempuh perjalanan, mengeluarkan uang, terasa lebih nyesek. Apalagi kalo ternyata yang ditonton di layar gede itu tak lebih dari glorified-ftv.
Setiap tahun aku beresolusi bisa menonton film-film di bioskop tanpa harus meratapi duit yang sudah keluar dan bertanya keras-keras ke tembok ala Adam Driver di Marriage Story “why did they do that?”, tapi nyatanya aku masih mendapati delapan film ini:
 
 
 

8. AVENGERS: ENDGAME


Director: Anthony Russo, Joe Russo
Stars: Robert Downey Jr, Chris Evans, Chris Hemsworth, Mark Ruffalo
Duration: 3 hour 1 min
Ya, ini bakal kontroversial, aku bahkan bisa mendengar mouse kalian bergerak cepat mau menutup halaman ini haha.. Jika kalian ngarahin mousenya ke judul setiap nomor, instead, maka kalian akan diarahin ke halaman ulasan, dan bisa dilihat di sana aku ngasih film ini skor 7 dari 10 bintang emas. Avengers: Endgame dibuat dengan sangat kompeten. Final fight yang kita tunggu-tunggu digarap dengan seru, menghibur sekaligus berhasil memenuhi tujuan ‘politik’ era SJW sekarang ini.
Posisinya ada di atas menunjukkan bahwa film ini tergolong bagus. Kekecewaanku timbul dari mereka memperkenalkan time-travel dan actually membuat babak kedua membahas mengenai aturan time-heist. Mereka menyusunnya dengan klop. Hanya saja, aku tidak mengharapkan itu. Infinity War berakhir dengan kemenangan Thanos, film membangun ekspektasi kita terhadap cara apa yang bakal dilakukan Avengers untuk well, to avenge their loss. Dan time-heist ini adalah cara yang paling standar untuk membahas soal serangan balasan tersebut. Film seperti punya agenda ingin membuat kita bernostalgia, maka ceritanya pun tidak move on. Malahan membawa kita ke semacam highlight.
Dan ini bukan cara yang paling aman pula. Avengers: Endgame meninggalkan kita dengan banyak plothole. Mungkin kalian adalah salah satu yang ikut membahas soal plothole dan implikasi kocak dari time-travel beda timeline di kolom komen review. It’s hilarious. Pembelaan pembuat film ini terhadap kekonyolan itu  adalah – seperti yang bisa kita tebak – penjelasannya bakal ada di film phase berikut. Ini membuat Avengers: Endgame less of a film dan lebih seperti produk. Aku setuju sama kata Martin Scorsese.
My Breaking Point:
Fans berkampanye betapa Tony Stark pantas untuk dapat Oscar. Ugh…. Bercanda haha.
Breaking point-ku yang benar adalah saat menyadari para Avengers sebenarnya berkelahi dengan orang yang berbeda. Thanos yang mereka lawan bukanlah Thanos yang mengalahkan mereka di Infinity War. Dan ini membuat pertarungan terakhir itu jadi hampa bagiku. Aku mau melihat mereka mengalahkan orang yang sudah bikin mereka kalah; Thanos dengan kekuatan Infinity Stone penuh. Bukan Thanos yang gak tahu apa-apa, yang cukup dikalahkan oleh Scarlet Witch seorang.
 
 
 
 
 

7. HABIBIE & AINUN 3


Director: Hanung Bramantyo
Stars: Reza Rahadian, Maudy Ayunda, Jefri Nichol, Diandra Agatha
Duration: 2 hour 1 min
Untuk merangkumnya, ini adalah cerita yang harus memuat kenangan satu tokoh akan tokoh lain, sekaligus mengenang tokoh yang mengenang tadi, dan juga membangun cerita kehidupan tokoh yang dikenang oleh tokoh yang juga sedang dikenang.
Film ini kayak pengen menceritakan tentang Ibu Ainun, tapi sendirinya tidak percaya bahwa cerita Ibu Ainun semasa muda tidak akan menjual. Maka mereka membuatnya sebagai sekuel Habibie & Ainun dan fokus tetap pada Habibie. Ditambah Bapak Habibie berpulang (salah satu momen menyedihkan bagi Indonesia tahun ini) dan film bergerak lebih cepat daripada lariku saat ditagih hutang untuk menguangkan kematian tersebut.
Cerita Ainun yang tentang wanita enggak kalah dari pria – manusia bukan soal gender lucunya malah seperti nomor dua, meskipun penulis tampak bersusah payah membuatnya Ainun seperti dokter wanita pertama dengan segala kesulitannya di dunia yang masih memandang wanita nantinya bakal balik ke dapur. Bagaimana film akhirnya menjual cerita ini? Dengan elemen romansa tak-sampai dan tokoh antagonis dibuat satu-dimensi demi Ainun kelihatan menarik.
My Breaking Point:
Ketika si senior antagonis masih diperlihatkan menyiapkan pidato perpisahan, dia dibuat gak logis banget masih menyangka dirinya lulusan terbaik padahal menyadari udah ketinggalan satu tahun dan kalah dalam lomba atas nama kampus. Ainun gak terlihat pintar dan selfless hanya dengan menampilkan tokoh senior ini sebagai ‘lawannya’.
 
 
 
 
 

6. FROZEN II


Director: Chris Buck, Jennifer Lee
Stars: Idina Menzel, Kristen Bell, Josh Gad, Jonathan Groff
Duration: 1 hour 43 min
Ini adalah contoh sekuel yang buru-buru diadakan karena film pertamanya laku. Ia dibuat sebagai brand ketimbang dibuat karena mereka punya cerita segar untuk dibagikan. Karena Frozen II hadir dengan cerita yang mirip Avatar Legend of Aang, penuh eksposisi dan throwback, yang ironisnya mereka tetap berhasil melepehkan perjalanan Elsa di film pertama.
Elsa yang sudah belajar untuk berani menjadi diri sendiri di tengah keramaian dalam film ini diharuskan belajar untuk menemukan dirinya sendiri dan di akhir memilih untuk sendirian karena dia begitu berbeda dengan orang-orang. Pesan seperti apa ini? Kita pengen karakter cewek yang mandiri tapi gak gini juga caranya.
Petualangan film ini tidak terasa seru, karena diberatkan oleh narasi eksposisi. Drama antar-saudari tidak lagi simpel dan mengena, melainkan terasa begitu jauh oleh cerita perang-fantasi yang ribet. Fantasinya pun terasa usang meski memang visualnya teramat indah.
My Breaking Point:
Olaf. Serius deh, Olaf sangat menjengkelkan. Dan film terus ngepush manusia salju sampai-sampai kita melihat adegan Olaf menceritakan – eng, MENGADEGANKAN ULANG! kejadian di Frozen pertama. What. An. Annoying. Waste. Of. Time.
 
 
 
 

5. X-MEN: DARK PHOENIX


Director: Simon Kinberg
Stars: Sophie Turner, James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence
Duration: 1 hour 53 min
X-Men seharusnya bisa dijadikan contoh gimana hancurnya cerita superhero jika bermain-main dengan time-travel. Namun tetap saja elemen itu bakal dipilih karena dengan begitu universe lebih mudah untuk diekspansi. Masalah logika nomor dua.
Dark Phoenix bukan saja berurusan dengan masalah kontinuitas – banyak aspek yang enggak masuk dengan dunia dalam franchise X-Men sebelumnya. Ia juga harus berurusan dengan pengaruh SJW – sekali lagi ini adalah cerita wanita yang berusaha menjadi dirinya sendiri -, dinyinyirin mirip dengan Captain Marvel yang sudah lebih dulu tayang dengan jarak yang tak begitu jauh, dan beban sebagai penutup X-Men. Well, setidaknya sebelum dibeli oleh studio dagang yang lebih gede.
Hasilnya sungguh berantakan. Dark Phoenix terlihat jelas mengalami banyak shoot ulang. Ada yang bagus, seperti final battle di kereta api. Namun secara keseluruhan, setiap babak film ini terasa kayak film yang berbeda. Mereka enggak menyatu dengan kohesif, tone ceritanya beda, motivasinya beda. Film juga pengen nampil sangat serius sehingga enggak ada lagi kesenangan menontonnya.
My Breaking Point:
Ketika mereka memperkenalkan alien sebagai musuh utama. Alien yang sangat miskin eksplorasi. Bangsa alien tersebut bahkan gak sempat disebutkan namanya. Aku hanya menyebutnya…; Peran-yang-disesali-oleh-Jessica Chastain.
 
 
 
 
 

4. AVE MARYAM


Director: Robby Ertanto
Stars: Maudy Kusnaedi, Chicco Jerikho, Tutie Kirana, Joko Anwar
Duration: 1 hour 25 min
Oh betapa ekspektasiku tinggi sekali mendengar pujian-pujian bagi film ini dari penayangannya di berbagai festival. Temanya pun berani, kisah cinta seorang biarawati. Tapi begitu ditonton di bioskop… maan, kenapa rasanya ada yang bolong.
Selain sinematografi yang keren, art yang memanjakan mata, dan adegan manis berdialog di kafe, tidak ada yang bisa dinikmati dari Ave Maryam. Perjalanan tokoh utamanya terasa abrupt. Konfliknya yang berani itu gak terasa. Film ini seperti kisah cinta biasa. Durasi film ini terlalu pendek untuk sebuah cerita hubungan dua manusia yang dilarang saling jatuh cinta. Aku seperti menonton film yang berbeda dengan orang-orang di festival. I mean, filmnya benar-benar kosong, kita hanya baru akan mengerti konflik dan backstory dan segala macemnya setelah membaca sinopsis. Sungguh sebuah karya menyedihkan jika harus mengandalkan sinopsis sebagai komplementer – sebagai sarana untuk menampilkan yang tidak bisa ditampilkan.
Kemungkinan terbesar adalah akibat penyensoran. Dan jika benar, maka sangat disayangkan sekali perfilman kita masih belum berani menghidangkan cerita yang bertaji.
My Breaking Point:
Maryam memandangi Romo Yosef bermain musik, kamera fokus kepada si Yosef seolah dia konduktor terkeren di dunia, padahal tidak ada sama sekali rasa di adegannya.
 
 
 
 

3. BEBAS


Director: Riri Riza
Stars: Maizura, Marsha Timothy, Sheryl Sheinafia, Baskara Mahendra
Duration: 1 hour 59 min
Bebas diadaptasi dari film Korea yang berjudul Sunny. Sunny sendiri merupakan cerita persahabatan cewek remaja Korea yang kental sendiri dengan lokalitas orang sana, film itu menggambarkan sistem pendidikan yang keras dan hubungan sosial remaja yang membentuk geng sekolah.
Kupikir akan menarik, bagaimana Riza akan membawa cerita ini ke dalam lokal Indonesia. Tokoh yang tadinya cewek semua, diganti dua menjadi cowok. Setting waktu yang diambil adalah 90 akhir, saat Indonesia lagi krisis-krisisnya. Ternyata, tidak ada hal lokal yang signifikan yang dijadikan daging oleh film saduran ini. Film berpuas diri dengan lagu-lagu 90an dan gak melakukan banyak terhadap cerita. Semua kejadian dalam film ini sama persis dengan yang di film asli. Hingga ke dialog-dialognya. Latar hanya sekadar tempelan. Soal cowok main dalam geng cewek pun tak dijadikan fokus utama. Seharusnya yang diganti jadi cowok, tokoh utamanya aja sekalian.
Salah satu produk film paling malas tahun ini, minim visi original, dan hanya mengandalkan nostalgia musik, jejeran cast, dan cerita dari material aslinya.
My Breaking Point:
Sesama-samanya dengan Sunny, tapi film berhasil untuk membuatku kecewa karena entah mengapa mereka mengurangi porsi Suci (Su-ji pada Sunny) dan tidak ada adegan Suci menyelamatkan Vina
 
 
 
 
 
 
 

2. RATU ILMU HITAM


Director: Kimo Stamboel
Stars: Ario Bayu, Hannah Al Rashid, Putri Ayudya, Adhisty Zara
Duration: 1 hour 39 min
Film ini juga punya jejeran cast yang yahud, tapi bahkan mereka lebih enggak banyak berguna lagi ketimbang cast Bebas. Ratu Ilmu Hitam harusnya jadi film favoritku tahun ini – horor, ada efek praktikal body horor, sadis, digarap oleh kombo maut pada genre ini (film ini ditulis dan dipromosikan secara keras oleh Joko Anwar). Aku memang menyukainya. Hanya saja, ini jauuuuuh banget untuk jadi film yang memuaskan.
Mainly karena penulisannya yang sangat mengecewakan. Cast yang berjubel itu tidak mampu diberikan penulisan yang berbobot, let alone berimbang. Si Ari ‘Wage bacanya Weij’ Irham malah hanya dikasih satu adegan penting. Bayangkan. Hampir seperti film ini enggak peduli soal mengarahkan akting. Mereka hanya fokus membangun keseraman dan twist bergagasan moral berbau politis. Buktinya lagi, film gak mau repot-repot ‘maksa’ pemainnya mainin adegan dengan kelabang asli. Hewan-hewan kecil itu masih pakai efek komputer dan terlihat gak meyakinkan. Dan menjadi menggelikan ketika di kredit penutup kita melihat still foto adegan-adegan seram – menggunakan kelabang asli – dari Ratu Ilmu Hitam original.
Yang kuharap adalah horor sadis sederhana, memanfaatkan banyaknya cast mumpuni. Namun yang didapat adalah kejadian ribet dengan sok berada di batasan moral abu-abu, yang tidak didukung oleh penulisan dan struktur cerita yang bener. Tokoh utamanya aja gak jelas siapa. Kenapa gak sekalian aja judulnya Ratu Kulit Hitam kalo memang mau dapat pujian filmnya punya isu, siapa tau bisa menang Oscar.
My Breaking Point:
Dialog-dialog film ini yang sibuk menjelaskan, ngobrol ringan, dan berusaha mengomentari banyak hal, benar-benar menjengkelkan buatku. Gak cantik penulisannya. Puncaknya adalah ketika tokoh yang diperankan Zara dan tokoh anak panti yang tadinya akur, tau-tau berantem adu mulut lantaran si cowok mau nembak tikus di dalam rumah. WTF.
 
 
 
 
 
Sebelum masuk ke posisi pertama, simak dulu Dishonorable Mentions yakni film-film bioskop 2019 yang dapat skor 1. Ironisnya, mereka memenuhi ekspektasiku; Jelek, dan ternyata beneran jelek!

Dishonorable Mentions:

11:11 Apa yang Kau Lihat,

Roy Kiyoshi the Untold Story,

47 Meters Down: Uncaged,

Pariban: Idola dari Tanah Jawa

Sekte,

Kelam

 
 
 
Dan juara paling mengecewakan tahun ini jatuh kepadaaa

1. STAR WARS: EPISODE IX – THE RISE OF SKYWALKER


Director: J.J. Abrams
Stars: Daisy Ridley, Adam Driver, John Boyega, Oscar Isaac
Duration: 2 hour 22 min
Ketika Force Awakens munculin tokoh yang practically ‘mary sue’ aku masih bisa memaafkan; at least, sudut pandang baru dan revealingnya bakal keren. Ketika Last Jedi membuang semua teori fans ke laut dan nge-swerve kita setiap kali kesempatan, aku juga masih oke – malah excited mau dibawa ke mana sebenarnya trilogi ini, apa jawaban besar yang menanti di Episode 9. Lalu, akhirnya tibalah Rise of the Skywalker. Dan jelas sudah mereka tidak punya rencana apa-apa untuk trilogi ini selain untuk menjual mainan saat natal dan tahun baru.
My Breaking Point sudah mulai mendidih di menit-menit pertama mereka munculin kembali Palpatine. Menghapus semua kejayaan prophecy Anakin yang menjadi motor di Star Wars terdahulu. Dan sepanjang durasi, aku merasa terus menggelegak karena film ini tidak melanjutkan, melainkan merevisi sesuka hati. Tidak lagi peduli pada apa yang sudah dibangun – baik atau buruk – dan just go with apapun yang sekiranya bisa bikin fans bersorak “hey itu dari episode ke anu!”
Out of nowhere mereka membuat Poe sebagai kurir scroundel galaksi – seperti Han Solo – padahal di episode sebelumnya dia anak pilot biasa, dan sudah ikut berperang sejak muda. Mereka begitu saja membuat Finn punya ‘feeling’ dan ada banyak Stormtrooper seperti dirinya, meskipun di episode sebelumnya arc Finn adalah satu-satunya mantan militer yang berusaha rise up dari komanda-komandannya dahulu. Kisah cinta Finn pun seperti tak-eksis di sini. Dan kalo aku punya popcorn, maka semua popcornnya pasti sudah kulempar-lempar ke layar ketika hantu-force Luke mengangkat pesawat yang mestinya sudah rusak dan gak bisa dipakai. Kerusakan pesawat X-Wing ini penting, karena itulah yang menyebabkan Luke mengerahkan tenaganya sendiri hingga mati untuk muncul dalam bentuk energi menolong Resistance di Episode VIII
Nonton ini aku antara nyengir seru nonton aksinya dan nyengir blo’on melihat elemen-elemen yang gak kohesif.
Aku mengerang keras di bioskop pada momen ketika Rey menyebut dirinya Rey Skywalker di akhir. AARRGGHH!
 
 
 
 
That’s all we have for now.
Bisa dilihat sebagian film di daftar ini adalah box office, dan ini merupakan pertanda tak menyenangkan industri film semakin mengarah ke produk dan wahana. Sekalinya ada film yang berbeda, film tersebut ditakutkan akan begitu kontroversial sehingga dijinakkan. Tiga dari empat film impor di sini adalah buatan Disney, dan ini aku gak menyebut film-film live-action mereka yang semuanya sudah diantisipasi bakal jelek. Kalolah yang aku bikin adalah list film terburuk, film-film Disney tahun ini akan berkumpul di sana. Magic mereka hanya visual sekarang, dan aku benar-benar takut tren ini terus berlanjut.
Untuk Indonesia, tren yang mulai muncul adalah ‘film’ yang bersambung. Dan ini sedapat mungkin kubasmi dengan tidak menyebutnya sama sekali meskipun kesalnya luar biasa dapat yang jenis ini di bioskop.
Juga noticed dong kalo kebanyakan film di list ini bertokoh utama perempuan, yang ditulis dengan kurang baik. Ini actually satu lagi tren yang menakutkan; tokoh-tokoh perempuan sekarang diharapkan kuat, mandiri, berdaya, gak butuh cowok, dan ini salah kaprah menjadikan tokoh itu sebagai poster girl SJW dan feminism, padahal mereka seharusnya jadi tokoh yang relatable dan belajar untuk menjadi kuat.
Semoga daftar ini bisa dijadikan cermin untuk perbaikan. Jangan lewatkan Top-Eight Movies of 2019 yang akan ditulis nanti setelah pengumuman nominasi Oscar, juga awards tahunan My Dirt Sheet Awards CLOUD9 di 2020.
Terima kasih sudah membaca. Apa kalian punya daftar film-film yang mengecewakan juga? Share dong di sinii~~
 
 
 
 
Because in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2018

 

Seperti yang kukatakan kepada dosen geoteknik pagi itu saat ujian semester keempat: “Maaf, saya terlambat.”

Tadinya memang seperti tahun-tahun sebelumnya aku pengen nungguin nonton semua nominasi Oscar dulu, supaya tak ada yang bikin aku merasa ah, seharusnya ini masuk… Tapi karena kelamaan dan aku merasa daftar favoritku sebenarnya sudah sangat solid – aku tidak mau merusaknya – maka aku memutuskan mengambil sikap. Daftar Top-8 ini aku keluarkan sehari sebelum pengumuman nominasi Oscar, dan kupastikan tidak akan ada penyesalan. Karena menurutku memang seharusnya kita masing-masing punya pendirian. Aku tahu lebih baik; tidak perlu mengulur-ulur demi satu film atau beberapa film, toh jika memang bagus mereka bisa dimasukin di daftar tahun depan. Kita tidak harus menunggu orang lain untuk memastikan apa yang kita tahu kita punya. Jika kita punya standar, tetaplah di sana.

Jadi ya, tahun 2018 kita sudah lihat begitu banyak kemenangan manusia yang percaya pada kemampuan dan apa yang dipilihnya. Kita melihat astronot berhasil mendarat di bulan. Penyanyi yang menggelar konser begitu besar. Robot yang mengalahkan monster raksasa. Kita juga disuguhkan dengan banyak cerita balas dendam, dengan masing-masing lebih unik dari sebelumnya. Meskipun kuakui, 2018 ini adalah tahun di mana aku paling sedikit ngasih angka di atas 8 tapi tidak berarti film-filmnya kebanyakan jelek (kecuali sebagian besar horor-horor Indonesia yang cuma pengen laku-lakuan). Film-film tahun ini banyak yang bersaing di angka 7, yang mana dalam sistem ratingku itu berarti banyak film-film yang menonjolkan idealisme mereka – dan ini adalah hal yang begitu positif.

Juga ada keseimbangan yang terjadi, karena di satu sisi kita banyak menjumpai film-film remake atau malah sekuel dari zaman 80-an dan di sisi lain kita dianugerahi sutradara-sutradara baru yang dengan berani mengusung ide segar dan sudut pandang yang belum pernah digali.

HONORABLE MENTIONS

  • Annihilation (thriller sci-fi yang memuaskan yang sekaligus bikin kita mempertanyakan apa manusia adalah kanker bagi dunia)
  • A Quiet Place (siapa bilang diam itu gampang?)
  • Blackkklansman (keseimbangan sempurna antara komedi dan tragedi)
  • Crazy Rich Asians (meski kayak ftv tapi gebrakannya dahsyat; film pertama sejak sekian lama seluruh cast Asia dalam produksi Hollywood; membuktikan diri itu penting!)
  • Creed II (sebuah film tentang bertinju yang mengingatkan kita untuk tetap berpikir menggunakan hati)
  • Green Book (penampilan akting kedua tokohnya akan menghibur kita di balik tema yang menyentuh)
  • Incredibles 2 (pergantian role dalam cerita superhero menjadikan sekuel yang ditunggu ini film yang menyegarkan)
  • Mid90s (potret anak yang mencari teman, alih-alih panutan, yang tak terasa dibuat-buat)
  • Mission: Impossible – Fallout (film aksi terbaik se2018, sebab semuana minus CGI!)
  • One Cut of the Dead (film paling asik sepanjang tahun, it’s not good but still manage to teach us a lot!)
  • Paddington 2 (dudukkan satu keluarga nonton ini dan rasakan kehangatan serta kelucuan menjalar)
  • Sebelum Iblis Menjemput (bisa juga Indonesia membuat horor gore yang menyenangkan ala cult kayak Evil Dead.. penulisan karakternya juga bagus)
  • Sekala Niskala (setiap shot di film ini layaknya puisi – gambarnya indah, tenang, menyeramkan)
  • Spider-man: Into the Spider-verse (usaha terakhir Sony menggarap Spiderman berhasil membuka banyak; peluang dan sudut pandang)
  • Suspiria (filmnya enggak bagus-bagus amat, tapi begitu aneh dengan gaya tersendiri sehingga aku dibuat penasaran dan menontonnya berulang kali)
  • Suzanna: Bernapas dalam Kubur (cerita balas dendam dengan tokoh seorang hantu. Pilu, namun beautiful, dan enggak jatoh over-the-top)
  • The Miseducation of Cameron Post (cerita di mana kelainan seksual dianggap sebagai penyakit ini dengan tepat menggambarkan keadaan remaja ketika dihadapkan dengan ‘tuduhan’ orang tua)
  • The Night is Short, Walk on Girl (salah satu film dengan cara bercerita paling unik, seperti versi lebih baik dari Aruna dan Lidahnya)

Tahun ini, special shout out aku teriakkan buat Dilan 1990 yang ulasan filmnya udah mecahin rekor jumlah view terbanyak di My Dirt Sheet tahun 2018. Selamaaatt~

 

Untuk daftar Top-8 yang bakalan kalian baca di bawah, ada baiknya kalian berhati-hati karena aku tidak akan memberikan peringatan spoiler – aku menganggap semua sudah menonton filmnya. Bagi yang pengen membaca ulasan lengkap filmnya, kalian bisa klik judul film untuk membuka halaman ulasan film tersebut.

8. AVENGERS: INFINITY WAR

Director: Anthony Russo, Joe Russo
Stars: Josh Brolin, Robert Downey Jr, Chris Hemsworth, Mark Ruffalo
MPAA: PG-13 for sci-fi violence and action, language and some crude references
IMDB Ratings: 8.5/10
“If life is left unchecked, life will cease to exist. It needs correcting.”

Menurutku cocok sekali jika daftarku ini dibuka oleh Avengers: Infinity War karena memang ‘semuanya’ – hal di daftar ini – dimulai oleh aksi si Thanos. Film ini adalah cerita superhero dengan sudut pandang langka di mana yang berjaya adalah tokoh yang jahat. Dan ini menimbulkan begitu banyak ragam reaksi, begitu banyak spekulasi, begitu ramai harapan, yang mengiringi desah-desah kaget tak percaya dari kita semua.

Enggak mudah mencampur aduk begitu banyak tokoh ke dalam satu cerita berdurasi dua jam, tapi film ini berhasil melakukannya. Kita mendapatkan banyak pertarungan seru, kita dikembalikan ke kisah klasik superhero bergabung melawan penjahat, dan tidak sekalipun film tergagap dalam menuturkan – menjalin kisah tokoh-tokohnya. Sebagai bagian dari semesta sinema yang lebih besar, film ini dengan gemilang menuaikan tugasnya sebagai sekuen titik-rendah dari para protagonis.

Buatku adalah hal yang mustahil jika kau penggemar superhero dan tidak terhibur menonton film yang endingnya memang diset depressing ini.

My Favorite Scene:
Infinity War, dengan menumpleknya karakter, punya begitu momen-momen keren; mulai dari keputusan Thanos mengorbankan Gamora – dan reaksinya setelah itu, pertempuran Wakanda – Cap dan Black Panther berlari memimpin, sampai kemunculan kembali Thor dengan kekuatan baru. Susah untuk memilih favorit, maka aku akan settle dengan yang paling memorable, dan tentu saja itu adalah momen terakhir film.. jentikan jari Thanos yang membawa maut.. apa yang terjadi sesudahnya… OH SNAP!

http://www.youtube.com/watch?v=zXavNm6y8OE

 

 

 

 

 

 

7. UPGRADE

Director: Leigh Whannell
Stars: Logan Marshall-Green, Melanie Vallejo, Steve Danielsen 
MPAA: R for strong violence, grisly images, and language
IMDB Ratings: 7.6/10
“A fake world is a lot less painful than the real one.”

Upgrade menghajar Venom habis-habisan, menendang bokongnya hingga terbang keluar hingga nyaris nyangsang di daftar Delapan Kekecewaan Bioskop 2018 ku. Kedua film ini punya kondisi tokoh yang hampir sama; konsep mereka sama-sama orang yang tubuhnya bergerak di luar kendali dan mengharuskan mereka bekerja sama dengan si ‘parasit’. Namun Upgrade melakukan tugasnya dengan jauh lebih baik, ia bercerita lebih efektif.

Keunikan berhasil dipertahankan oleh film ini. Dan menurutku aneh sekali saat menonton Upgrade aku tidak merasa ia tiruan dari Venom, malah justru sebaliknya. Upgrade membuktikan tidak butuh budget gede untuk membuat film yang menarik dan terlihat nyata. Seperti kata lagunya Triple H: “It’s how you play it”

My Favorite Scene:
Upgrade melakukan kerja yang sangat baik dengan konsep tubuh yang bergerak sendiri. Kesukaanku adalah ketika pertama kali Stem diijinkan mengambil alih dan kemudian menyerang salah satu pelaku pembunuhan; kerja kamera, reaksi yang genuine, semuanya bergabung menjadi koreografi aksi fresh!

 

 

 

 

 

6. THE HOUSE THAT JACK BUILT

Director: Lars von Trier
Stars: Matt Dillon, Uma Thurman, Bruno Ganz
Certificate:
IMDB Ratings: 7.0/10
“Don’t look at the acts, look at the works.”

Satu-satunya film yang kuberi angka 9 di tahun 2018. Bukan exactly karena sangat amat bagus, melainkan karena film ini sangat-sangat aneh dia seolah membunuh sendiri dirinya dengan keanehan dan pilihan ekstrim yang ia lakukan. Maka tentu saja, aku tidak bisa berpaling dari film-film punya nyali seperti ini.

The House that Jack Build punya struktur cerita sendiri. Dia punya aturan main sendiri. Malahan, dia tampak seperti asik sendiri ngobrol ngalor-ngidul, melakukan apa yang ia bisa lakukan, tanpa peduli tanggapan semua orang. Daya tarik film ini (dan juga kejatuhannya bagi beberapa penonton) adalah tokohnya yang seorang serial-killer, namun si Jack ini menganggap apa yang ia lakukan adalah proyek seni. Buatku film ini adalah karakter studi yang menarik. Saking kuatnya efek yang ditimbulkan, aku jadi merasa perlu untuk mengubah gaya reviewku khusus ketika mengulas film ini. Tapi memang, film ini bukan untuk semua orang. Level kekerasannya amat sangat di luar batas kemanusiaan, meskipun jika kalian terbiasa menonton film-film gore. Film ini berusaha memanusiawikan tindak pembunuhan, dan dengan  sengaja menunjukkan kegagalan.

Di luar batas-batas yang ia langgar, sesungguhnya film ini punya craftmanship tersendiri. Maka dari itulah, aku memasukkan film ini ke dalam daftar.

My Favorite Scene:
Keseluruhan babak akhir di mana Jack dan Verge turun ke bawah tanah; begitu aneh, begitu mencengkeram, begitu penuh metafora, jika kalian sama gilanya dengan aku, kalian juga pasti bakal suka.

http://www.youtube.com/watch?v=Hnoagsn7II4

 

 

 

 

 

5. EIGHTH GRADE

Director: Bo Burnham
Stars: Elsie Fisher, Josh Hamilton, Emily Robinson, Jake Ryan
MPAA: R for language and some sexual material
IMDB Ratings: 7.5/10
“Growing up can be a little bit scary and weird”

Mekar menjadi remaja tidak pernah hal yang mudah. Apalagi di jaman sosial media di mana kepopuleran menjadi semakin berpengaruh. Eighth Grade menunjukkan potret kehidupan remaja cewek mengarungi neraka yakni hari-hari terakhir sekolahnya.

Penampilan akting yang natural, penulisan yang benar-benar cerdas dan genuine membuat film ini mengerikan untuk diikuti, dalam artian yang positif. Eighth Grade tidak mangkir dari kejadian-kejadian yang plausible terjadi – yang mungkin pernah sebagian dari kita alami saat masih seumuran Kayla, tokoh utama ceritanya. Film ini juga tidak memberikan jalan keluar yang mudah ala cerita remaja film-film Hollywood.

Film ini memperlihatkan betapa hal-hal yang buat orang dewasa konyol dan sepele, sungguh bisa sangat berarti bagi remaja. Dan di sisi lain, remaja yang menonton diharapkan mendapat ketenangan dari ‘kejar-kejaran’ yang mereka lakukan demi popularitas.

My Favorite Scene:
Aku sebenarnya agak kurang sreg dengan penulisan karakter Ayah Kayla, dia seperti sosok yang terlalu too-good to be true, yang menurutku sedikit mengurangi nilai ke-genuine-an cerita. Tapi mengerti kenapa ia ditulis demikian. Dan aku juga mengakui, oleh karena karakternya demikianlah kita bisa dapatkan adegan dialog ayah-anak yang indah seperti dalam film ini

 

 

 

 

 

4. A STAR IS BORN 

Director: Bradley Cooper
Stars: Bradley Cooper, Lady Gaga, Sam Elliott
MPAA: R for language throughout, some sexuality/nudity and substance abuse
IMDB Ratings: 8.0/10
“Maybe its time to let the old ways die.”

Cerita klasik yang sudah diceritakan berulang kali, namun A Star is Born masih mampu membuat kita semua terpana. Berkat penampilan akting, kemampuan musikal, dan chemistry dari dua tokohnya.

Drama yang diceritakan juga terbangun dengan kuat, menyentuh. Tambahan elemen apa yang dilakukan industri terhadap para senimannya pun turut memperkaya film ini. Memberikan konflik yang, dikembalikan kepada karakter, dan sekali lagi, disampaikan dengan begitu mempesona. Film ini punya ending yang menurutku adalah salah satu ending paling menyentuh yang beruntung kita saksikan di tahun 2018.

Aku tahu, aku akan menantikan karya-karya berikutnya dari Bradley Cooper sama seperti aku akan duduk manis menunggu peran dramatis berikutnya dari Lady Gaga.

My Favorite Scene:
Reaksi Gaga di adegan dia disuruh nyanyi Shallow itu beneran keren! Yang pasti, gak ada yang ‘dangkal’ di adegan itu.

http://www.youtube.com/watch?v=dNxCz-Iyu0g

 

 

 

 

 

3. LOVE FOR SALE

Director: Andibachtiar Yusuf
Stars: Gading Marten, Della Dartyan, Verdi Solaiman
Certificate: 21+
IMDB Ratings: 7.8/10
“Hidupku yang sendiri sunyi.”

Tidak banyak pembuat film Indonesia yang berani mempertontonkan kenyataan pahit, dan lebih sedikit lagi jumlah yang kreatif mengubah kepahitan menjadi harapan yang manis. Love for Sale adalah film Indonesia pertama yang membuatku percaya perfilman bangsa ini memang bisa maju. Karena ia menarik spektrum baru sehingga memperluas variasi tontonan bagus yang kita punya.

Tokoh yang harus punya pasangan, yang harus bahagia selamanya di akhir, film dengan adegan yang aman dan tak boleh terlalu nyeleneh. Itu semua bukan jualan dari Love for Sale. Instead, kita dapat cerita tentang pria yang jomblo seumur hidup, yang hidupnya begitu sempit, mencicipi sedikit rasa asmara dan kekecewaan, sehingga dia tergerak olehnya. Skenarionya rapih sekali, keputusan-keputusan artistiknya juga sangat memberikan banyak kepada cerita. Film ini begitu unconventional untuk ukuran film lokal, ditambah dengan beraninya memberi kesempatan kepada pemain-pemain yang sama sekali baru ataupun baru kali ini dilepaskan dari perannya yang biasa.

Dengan peliharaan berupa kura-kura, film ini memang seanehnya yang bisa kita harapkan dari film Indonesia. And that’s a good thing.

My Favorite Scene: Adegan kejedot lampu! yang membuktikan bahwa detil dan karakter tidak pernah terlewat oleh film ini.. Yang sudah nonton pasti tahu deh kenapa adegan ini tidak kucantumin video ataupun fotonya hhihi

 

 

 

 

 

2. BURNING

Director: Chang-dong Lee
Stars: Ah-in Yoo, Jong-seo Jun, Steven Yeun
Certificate: Not rated
IMDB Ratings: 7.7/10
“Why do we live, What is the significance of living?”

Beberapa menit pertama, aku enggak suka film ini. Tokoh utamanya begitu sukar melihat kenyataan, dia seperti hanya bergerak berdasarkan feeling – dia bahkan seperti dituntun oleh orang lain. Namun begitu aku mengerti konteks ceritanya, daaannggg, film ini keren bangetttt.

Seperti yang sudah kusebut di reviewnya; film ini dibuat seperti ilusi optik. Untuk membuat kita melihat apa yang sebenarnya tidak ada. Sama seperti tokohnya yang ekspresinya kayak bengong melulu itu. Dan semua elemen cerita demi membangun semua itu diperhatikan dengan amat detil. Semua petunjuk mengenai apa yang sebenarnya terjadi sudah ada di depan mata kita, tapi kita dibuat menolaknya. Kita dipaksa untuk percaya kepada hal-hal yang buruk, seperti sikap si tokoh. Dan film dengan sengaja membuka begitu banyak interpretasi dan kemungkinan, sehingga menontonnya berulang kali tidak akan membosankan. Malahan semakin memperkaya pengalaman kita menonton.

Jika kalian senggang, coba ambil waktu nonton film Korea ini tanpa memperhatikan cerita dan hanya menikmati suguhan visualnya. Nyeni banget!

My Favorite Scene:

Adegan cantik dan penuh makna ini udah kayak adegan David Lynch banget. Menghipnotis!

 

 

 

 

 

Yang jeli akan melihat ada kekontrasan di sini. Antara awal yang menyebut tentang  kemenangan, tapi film-film yang masuk daftar ini malah tentang kegagalan. Pahlawan yang jadi abu, manusia yang membiarkan dirinya diambil alih asalkan dia dapat kenangan indah dengan istrinya, pembunuh yang gagal membuktikan dirinya benar, anak sekolah yang masih tidak populer, perjaka tua yang masih belum punya pasangan, pasangan yang malah berpisah, dan cowok yang malah jadi pembunuh karena terpisah dari pasangannya. Inilah yang aku sukai dari 2018. Meski yang bener-bener bagus jumlahnya  sedikit, namun film di tahun 2018 dengan gagah berani menunjukkan kegagalan. Aku selalu suka film seperti ini; film favoritku sepanjang masa adalah Mulholland Drive yang bercerita tentang cewek yang ingin jadi aktris besar di Hollywood, namun.. you guessed it, dia gagal. Dua film pendekku (Lona Berjanji dan.. aku bocorin pertama kali di sini judulnya Gelap Jelita) juga bercerita tentang kegagalan. Karena menurutku kegagalan terasa lebih real. Sebagai pelajaran, dia lebih menohok. Toh kegagalan tidak melulu berarti depresi, lihat Love for Sale; tokohnya belajar tidak punya pasangan bukan berarti menyedihkan, dia belajar hal lain yang ia butuhkan. Kegagalan bukan berarti kekalahan. Ia bisa saja kemenangan, saat tokoh mengerti apa yang sebenarnya kita cari. Film-film seperti begini tidak memberikan jawaban mudah.

Karena memang di kehidupan nyata, tidak ada yang semudah di dalam film. Kita bisa mencoba namun jangan lantas menyangka semuanya berjalan mulus. Film peringkat pertama di daftar ini benar-benar menunjukkan gimana jika sebenarnya kita tidak bisa lari dari takdir, sekeras apapun kita berusaha, sekelam apapun takdir itu:

1. HEREDITARY

Director: Ari Aster
Stars: Toni Collette, Alex Wolff, Milly Shapiro, Gabriel Byrne
MPAA: R for horror violence, disturbing images, language, drug use and brief graphic nudity
IMDB Ratings: 7.3/10
“[crying] Why did you try to kill me? / I didn’t! I was trying to save you!”

 

Untuk alasan di atas, Hereditary tak-pelak adalah horor paling mengerikan di tahun 2018. A dark way to see this film: ini tetap adalah cerita kemenangan, untuk si Paimon, iblis yang menjadi tokoh jahat.

Tidak gampang menemukan formula yang seimbang antara tontonan mainstream dengan konsumsi festival. Hereditary adalah contoh langka yang berhasil melakukannya. Bermain di lingkungan mitos yang sudah lumrah; ada iblis dan sekte sesat, namun ditangani dengan seni dan idealisme yang belum pernah kita lihat sebelumnya.

Tragedi keluarga tentang ketakutan kehilangan anak diolah menjadi drama berbalut misteri yang dapat direlasikan oleh banyak orang. Ketakutan seperti demikian bisa menyerang siapa saja, bisa terjadi kepada siapa saja. Benar-benar mengeksploitasi ketegangan pada setiap adegannya. Penulisan yang menutup, karakterisasi yang terbangun dengan baik, sinematografi yang menghantarkan kita melihat momen-momen paling menyesakkan, scoring yang bergaung ke hati (aku tak pernah lupa sama suara permen karet itu!), dari segi teknis film ini benar-benar menginspirasi pembuat film amatir yang baru belajar seperti aku. Terlebih karena sutradara film ini juga baru, dan dia berhasil mengukukuhkan namanya dengan gemilang.

My Favorite Scene:
Hereditary punya momen-momen menyeramkan dan momen keren yang sama banyaknya. Dari Charlie motong kepala burung hingga kepalanya sendiri dapay giliran, dari momen Annie dengan Peter hingga ke Annie tak sengaja membakar suaminya, dari Peter mematahkan hidungnya sendiri hingga dia melihat orang-orang tua tak berbaju itu di rumahnya; semua seperti punya makna. Yang paling mengiris dalem buatku adalah reaksi Peter setelah ia membuat celaka adiknya. Dia berbaring di sana, setengah mengharap semuanya cuma mimpi, setengah menunggu teriakan dari ibu yang mengonfirmasi semua kejadian itu bukan mimpi. Begitu real dan begitu menginflict kita semua!

http://www.youtube.com/watch?v=K-wZKtKUoSI

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Aku senang penggalian terhadap cerita film semakin meluas yang berarti semakin banyak pembuat-pembuat film yang ingin bercerita alih-alih memenuhi kuota jualan. Menulis ini di bulan Januari, aku sudah menonton beberapa film tahun 2019, dan aku gembira menyadari tren cerita ‘kemenangan dalam kegagalan’ ini masih berlanjut. Apa kalian tahu film-film apa yang kumaksud?

Bagaimana dengan kalian, apa film 2018 yang menjadi favorit kalian?
Apa ada yang sama? Atau ada berapa banyak yang tidak tersebut?
Yuk ngobrol berbagi di komen.

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are…

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

My Dirt Sheet Top-Eight ‘KEKECEWAAN BIOSKOP’ of 2018

 

Kita semua pernah berbuat salah. Ketika kita sadar dan meminta maaf, atau malah ketika kita ‘ketahuan’ sudah melakukannya, kita mengharapkan respons dari orang lain. Kita menunggu mereka marah kepada kita sebelum akhirnya pengampunan itu diberikan. Barulah kemudian kita merasa lega. Tapi kadang perasaan lega tersebut tidak begitu saja diberikan. Tahu gak, marahnya orangtua yang paling gawat bukanlah saat mereka ngamuk bentak-bentak dan memberikan hukuman gak ngasih jajan sebulan. Melainkan ketika mereka hanya mengeluhkan napas dan bilang “Mama/Papa enggak marah sama kamu. Kami kecewa.” Tenang. Tanpa nada tinggi. Tapi melukai kita begitu mendalam. Itulah yang namanya luka tak-berdarah.

Kekecewaan itu kesannya mengecilkan. Karena bersumber dari ekspektasi. Membuat orang kecewa berarti kita sudah melakukan sesuatu yang menurut orang tersebut tidak sesuai dengan ‘standar’ kita yang biasa, seolah bahwa justru mereka yang sudah salah menganggap kita tinggi. Seperti kita kurang berusaha terhadap diri kita sendiri, sehingga mendengar kata ‘kecewa’ dari orang lain seperti tanda mereka menarik kembali respek yang sudah diberikan kepada kita.

Kecewa kepada film buatku juga seperti demikian. Bukan exactly karena filmnya jelek, maka aku kecewa. Akan tetapi, lebih kepada aku tahu sebuah film berpotensi menjadi bagus, namun film itu sendiri mengambil pilihan yang mengecilkan dirinya. When a movie it’s bad, it’s bad. Aku mengerti pilihan mereka. Aku bisa paham kenapa mereka lebih memilih yang mereka lakukan. Ketika sebuah film mengecewakan, aku mati-matian mencari pengampunan bagi mereka; aku sama sekali tidak mengerti  selain mereka hanya melakukannya untuk nyari duit. Di 2018, cukup sering aku duduk di bioskop, merasa kecewa terhadap apa yang baru saja aku tonton.

Berikut adalah Delapan-Besarnya; dan perlu diingat lagi, film-film dalam daftar ini boleh jadi bukan yang terburuk (kalian bisa ngeklik judulnya untuk dibawa ke halaman ulasan dan score filmnya), malah bisa saja kalian menganggap filmnya bagus. Silahkan disimak;

 

 

8. THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS


Director: Lasse Hallstorm, Joe Johnston
Stars: Mackenzie Foy, Jayden Fowora-Knight, Morgan Freeman, Keira Knightley
Duration: 1 hour 39 min

Aku menyebut film ini “Kekecewaan yang adorable” Dunianya cantik. Kostumnya cantik. Mackenzie Foy-nya cantik. Semuanya magical. Kecuali cerita dan bagaimana cerita tersebut disampaikan. Film tidak mampu untuk membangun, I mean, dengan dunia fantasi seperti ini menakjubkan sekali gimana begitu keluar studio kita semua sudah lupa apa yang terjadi di film ini.

Mereka ingin menghidupkan cerita lama dengan konsep yang baru. Namun pada kenyataannya, film tidak mampu mengembangkan kreativitas pada dunia dan mitologi yang ingin mereka gali, selain tampak luarnya saja. Tokoh yang namanya jadi judul tidak banyak diberikan apa-apa. Tokoh yang lainnya hanya ada di sana dengan gimmick masing-masing. Film ini tidak mampu mengimbangi imajinasi dunia yang mereka angkat.

My Breaking Point:
Suara sok-imutnya Keira Knightley

 

 

 

 

 

7. THE NUN


Director: Corin Hardy
Stars: Taissa Farmiga, Demian Bichir, Jonas Bloquet
Duration: 1 hour 36 min

Valak adalah salah satu ikon horor masa kini yang, ya bisa dibilang lumayan keren. Namun origin story si Valak; it’s just stupid. Ini cuma film yang menyangka dirinya asik karena punya ikatan dengan franchise horor yang populer. Trik film ini cuma referensi dan easter egg. Mereka begitu fokus ke nyambung-nyambungin dunia, sehingga lupa membuat film horor.

Jika biarawati gak punya dosa, maka Nun yang satu ini dosanya adalah dia enggak seram. Malah lebih kayak film petualangan misteri mencari benda yang hilang. Aku bahkan merasa kasian sama jumpscare-jumpscare pada film ini, karena bahkan mereka pun gagal untuk menjadi mengagetkan karena film enggak mampu untuk mengembangkan cerita yang ia miliki.

My Breaking Point:
Bahwa hantu-hantu di film ini tukang nge-prank semata. Apa coba tujuan mereka membuat tangga berdarah? Menyamar jadi patung-patung?

 

 

 

 

 

6. BUFFALO BOYS


Director: Mike Wiluan
Stars: Yoshi Sudarso, Ario Bayu, Pevita Pearce
Duration: 1 hour 42 min

Puluhan milyar itu dihabiskan untuk membuat salah satu film paling konyol yang bisa kita saksikan di bioskop tahun 2018. Tapi bukan hal tersebut yang bikin film ini mengecewakan, toh terserah mereka mau ngeluarin duit berapa pun juga. Yang bikin kecewa adalah karena sepertinya mereka enggak tahu apa yang sedang mereka lakukan. Kekonyolan film ini datang dari mereka sendiri, yang menganggap dirinya terlalu serius. Orang-orang di balik Buffalo Boys bermaksud untuk menjadikan film ini proyek epik yang membanggakan.

Tetapi mereka tidak membangun logika sedetil mereka membangun set, kostum, dan segala macam produksinya. Film ini penuh dengan karakter-karakter yang secara kontekstual sudah ketinggalan jaman. Film tidak menginvestasikan banyak kepada pengembangan cerita. Menjadikan film ini enggak ada spesial-spesialnya. Maksudku, semua orang bisa bikin yang kayak gini jika mereka punya kocek puluhan milyar. Apa dong hal unik yang kalian tawarkan?

My Breaking Point:
Di bagian awal ada adegan tokoh yang kabur naik sampan di air yang tenang – bukan sungai deras, dan pihak yang ngejar cuma nembakin dari jauh. Practically sampannya cuma ngapung dan para pemain bertingkah seolah-olah kejar-kejaran mereka intens banget hahahaha

 

 

 

 

5. MILE 22


Director: Peter Berg
Stars: Mark Wahlberg, Iko Uwais, Ronda Rousey
Duration: 1 hour 34 min

Penampilan aktor Indonesia dalam peran gede di film luar mestinya membanggakan dong ya? Tidak untuk film ini sayangnya.

Iko Uwais yang udah terkenal dengan koreografi dan aksi berantemnya, dia pastinya dapat peran di sini karena keahliannya tersebut. Film ini juga punya Ronda Rousey, petarung cewek jebolan UFC, juara Women’s di WWE.

Apa kita melihat mereka berantem? Tidak.

Apa kita melihat Iko berantem? mmmm… ada sih, tapi… enggak begitu terlihat? Well, bagaimana kita bisa ngelihat kalo ternyata film menangkap adegan-adegan berantem dengan teknik cut yang begitu frantik!??

Kenapa gak wide shot aja? Tidak satupun pilihan film ini yang menguntungkan buat genre action. Aku benar-benar gagal paham kenapa mereka memfilmkannya dengan seperti begini. Segala baku hantam, ledakan, dialog, yang ia punya jadi kayak rentetan racauan edan yang membingungkan dan jauh dari menghibur.

 

My Breaking Point:
Setiap kali kamera bergoyang-goyang dan pindah cut dengan cepat. Dan ketika film ini sepertinya punya awareness bahwa Mark Wahlberg adalah seorang seleb.

 

 

 

 

 

4. GENERASI MICIN


Director: Fajar Nugros
Stars: Kevin Anggara, Morgan Oey, Cairine Clay, Joshua Suherman
Duration: 1 hour 28 min

Bayangkan kalian tidak sempat menonton Yowis Ben (2017), hanya mendengar puji-pujian tentangnya, kemudian melihat film yang dibuat oleh orang-orang yang sama sehingga kalian kepincut untuk nonton. Dan yang kalian dapatkan adalah film kelebihan micin sehingga gizinya tidak kelihatan lagi. Itulah yang kualami dengan Generasi Micin.

Materi dan sudut yang pandang menarik dimentahkan oleh pilihan menjadikan film ini cerita komedi yang over-the-top. begitu banyak aspek-aspek tak-mungkin yang dimasukkan hanya untuk memancing tawa sebentar karena enggak menambah banyak ke bobot cerita. Yang mana membuat kita jadi menertawakan film (alih-alih tertawa bersamanya) dan tak lagi menganggap ceritanya grounded. Film ini akan bekerja lebih efektif dengan komedi yang realis. I mean, we could have normal teachers and still make a funny story, right? 

My Breaking Point:
Adegan inspeksi sekolah yang melibatkan semburan air.

 

 

 

 

 

3. KAFIR: BERSEKUTU DENGAN SETAN


Director: Azhar Kinoi Lubis
Stars: Putri Ayudya, Nadya Arina, Indah Permatasari, Nova Eliza
Duration: 1 hour 37 min

Ketika melihat nama Azhar Kinoi Lubis di kursi sutradara, aku langsung tertarik. Pikirku sekiranya film ini bakal bisa mengangkat horor sebenarnya yang berasal dari ketakutan manusia, karena horor toh kebanyakan hanya mengandalkan jumpscare dan makhluk-makhluk seram yang merangkak belaka. Separuh bagian pertama, harapanku sepertinya terjawab. This film looks good, sinematografinya niat banget – memandang gambarnya aja bulu kuduk udah meremang. Ceritanya juga terhampar seperti mengandung elemen psikologis yang kental. Aku tadinya menyangka sudah menemukan horor yang bakal menjatuhkan tahta Pengabdi Setan. Sampai twist itu datang.

Film banting stir. Arahannya jadi over-the-top. Dan menghancurkan semua bangunan cerita dan suasana di awal. Akting, cerita, kejadian, semuanya jadi mengincar kepada kelebayan. Jadinya malah jatuh ke lembah kegelian. Seram yang subtil tadi, pada akhirnya terlupakan. Karena film ini hanya akan dikenang berkat penampilan over para tokoh dukun, dan perang ilmu mereka yang konyol.

My Breaking Point:
Adegan heroik protagonis nendang tokoh jahat yang tubuhnya berkobar api. Tinggal tambahin punchline insult yang cheesy tuh! hihihi

 

 

 

 

 

 

 

2. FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD


Director: David Yates
Stars: Eddie Redmayne, Zoe Kravitz, Jude Law, Johnny Depp
Duration: 2 hour 14 min

Film ini membuktikan bahwa nulis novel itu enggak sama ama nulis skenario film. Dan bahwa sehebat apapun kita dalam satu bidang, ketika pindah ke bidang lain, level kita akan selalu mulai dari nol.

Sekuel Fantastic Beasts ini pastilah bakal menjadi novel yang hebat. Dengan segala subplot dan karakter-karakter yang kompleks. Namun sebagai film, ini tak lebih bermanfaat daripada kotoran-naga. Serius deh. J.K. Rowling kelimpungan menaruh semua elemen cerita ke dalam struktur cerita film yang memang sempit. It is just too much. Tokoh utamanya jadi terkesampingkan. Kejahatan Grindelwaldnya enggak berhasil diperlihatkan dengan maksimal. Twist yang hadir, drama yang diselipkan, semua hanya lewat gitu aja.

Dan ini aku belum nyebutin betapa banyak lubang, ketidakkonsistenan, yang merusak apa-apa yang sudah dibangun dalam semesta sihir Harry Potter sebelumnya.

My Breaking Point:
Fakta bahwa penyihir-penyihir di film ini enggak lebih menarik dari para non-sihir, dunia mereka seolah tak banyak bedanya. Sama boringnya.

 

 

 

 

 

Sebelum kita sampai di posisi pertama, simak dulu Dishonorable Mentions berupa film-film yang kukasih skor 1; mereka mengecewakan justru karena sesuai ekspektasi “ah udah pasti jelek” dan hey, beneran jelek!

Dishonorable Mentions:

Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati,

Truth or Dare,

Alas Pati: Hutan Mati,

Sajen,

Jailangkung 2,

Tusuk Jelangkung di Lubang Buaya

 

 

 

Dan inilah film yang paling mengecewakan tahun ini, yang udah bikin nyesel bela-belain ke bioskop:

1. BENYAMIN BIANG KEROK


Director: Hanung Bramantyo
Stars: Reza Rahadian, Delia Husein, Rano Karno, Meriam Bellina
Duration: 1 hour 35 min

Meskipun sudah mengharapkan di film ini Hanung dan Reza bakal enggak se’serius’ mereka yang biasa, tapi tetep saja aku tidak menyangka hasilnya bakal separah ini. Benyamin Biang Kerok adalah insult dan kekecewaan bagi siapapun yang bersentuhan dengannya. Bagi seniman seperti Benyamin. Bagi keluarganya. Bagi pembuat filmnya. Bagi penontonnya. Bahkan memanggilnya sebuah film adalah hinaan tersendiri. Karena ini bukan film. Benyamin Biang Kerok tidak dibuat sebagai satu film yang utuh.

My Breaking Point:
Ketika wajah tertawa Reza sebagai Benyamin bicara kepada kita semua, memotong tepat di tengah adegan Benyamin lagi kepergok wanita macan, dan bilang bahwa filmnya bersambung.

Belum pernah ada yang selancang ini memotong cerita di tengah-tengah, tanpa memperhatikan struktur. Satu-satunya kemungkinan aku menonton sambungannya adalah jika tiket yang dipakai nonton ‘part satu’ ini masih bisa digunakan untuk yang bagian kedua, karena aku beli tiket untuk satu film. Utuh.  Dan ngomong-ngomong soal itu, mereka sepertinya sudah sadar dan malu sendiri sebab ini sudah akhir Desember dan belum ada tanda-tanda bagian keduanya bakal diputar seperti yang sudah dijanjikan.

Orang-orang di balik film ini punya kemampuan untuk membuat persembahan bagi Benyamin yang gak malu-maluin. Mereka bisa bikin yang lebih bagus, no doubt. Namun mereka memilih menampilkan ini. Membaginya menjadi dua, malah. Saking kecewanya, aku jadi ingin tertawa

Ha-ha-ha-ha! *ketawa ala Reza mainin Benyamin

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Semoga daftar ini bisa dijadikan cermin untuk perbaikan. Top-Eight Movies of 2018 seperti biasa akan ditulis nanti setelah pengumuman nominasi Oscar, untuk kemudian akan disusul oleh My Dirt Sheet Awards.

Terima kasih sudah membaca. Apa kalian punya daftar film-film yang mengecewakan juga? Share dong di sinii~~

Because in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books

Twist ending dan fake jumpscares, dua faktor utama yang terus dieksplorasi dalam banyak film horor masa kini, dapat kita telusuri jejaknya hingga ke seri buku horor anak-anak karya R.L. Stine; Goosebumps. Mungkin terbacanya sedikit aneh, bagaimana mungkin sebuah buku bisa berisi jumpscare, apalagi jadi  pengalaman seru dan menegangkan untuk dibaca? Di situlah ‘hebatnya’ penulisan cerita-cerita Goosebumps. Aku actually sudah membicarakan soal itu di review film Goosebumps (2016).

 

Bicara tentang bukunya, jika dibaca ketika kita udah gede, memang ceritanya yang tentang monster dan makhluk aneh bakal terdengar konyol. Tapi Goosebumps – yang ternyata pertama kali terbit tahun 1992, meski masuk ke Indonesia apalagi kampungku lumayan telat – dengan tepat menangkap hal-hal sederhana yang tampak horor di mata anak-anak. Permasalahan sehari-hari tentang ketakutan anak kecil sama guru, sama tetangga baru, sama tetangga yang halaman rumahnya diberantakin sama anjing peliharan miliknya, sama tukang bully, sama idola yang ternyata tidak sebaik yang diduga, dan terutama sama orangtua yang gak percayaan sama omongan kita.

Goosebumps adalah salah satu dari tiga seri buku (dua lainnya adalah Animorphs dan Lupus) yang berperan penting dalam tumbuhnya minatku terhadap menulis dan bercerita. Aku masih ingat gimana dulu waktu masih kelas enam SD, aku dan temenku setiap minggu ke taman bacaan. Kami menyewa masing-masing tiga buku Goosebumps, dan dalam waktu seminggu kami lalap enam buku tersebut. Enam-puluh-dua judul buku seri original Goosebumps itu aku baca di mana saja, meski sembunyi-sembunyi karena my dad said he will kill me jika dia melihatku baca buku yang bukan terbitan Tiga Serangkai (alias buku sekolahan). Dan sejujurnya, aku merasa ayahku tidak bercanda saat beliau mengatakan hal tersebut. Jadi, horor bagi anak-anak seusiaku saat itu adalah hal yang begitu dekat dan menarik – as in, apa aja bisa jadi horor buat kita saat masih kecil. Aku bawa buku Goosebumps ke sekolah, membacanya saat jam istirahat. Ke tempat ngaji, membacanya di bawah meja sebelum tiba giliranku membaca Al-Quran. Ke atas pohon cherry, di mana aku bisa bersembunyi dari tugas rumahan. Dan setelah baca semuanya, aku dan temenku itu, kami mengarang sendiri cerita komedi detektif berdasarkan judul-judul buku Goosebumps tersebut.

Beruntungnya, di era internet sekarang, kita bisa dengan lebih mudah dapatin bacaan klasik ini. Aku pun sekarang membacanya enggak mesti backstreet lagi. Upon re-reading, aku menemukan dan mengerti banyak hal soal kenapa buku-buku ini, cerita-cerita seramnya, bisa begitu melekat di hati anak-anak. Segala trope-trope horor, fantasi, monster-monster yang bisa kita temui di film-film, dapat kita dapatkan juga di sini. Imajinasi R.L. Stine luar biasa liar, sehingga seolah cerita-cerita karangannya – gimana dia menceritakan mereka – terasa seperti lebih maju pada jamannya. You know, dari gimana R.L. Stine terus memerah trope usang, menjadikannya cerita-cerita baru pun sepertinya banyak memberikan insipirasi. Buku-buku Goosebumps masih terus dibuat, malah banyak seri terbarunya yang belum pernah kubaca.

Demi menyambut rilisnya film Goosebumps yang kedua, menurutku tepat waktunya untuk membuat daftar delapan-besar buku Goosebumps original favoritku. Mereka terpilih berdasarkan seberapa besar ceritanya memberikan pengaruh, bukan hanya kepadaku. Dari seberapa banyak dia bisa relate kepada pembaca anak-anak. Dan tentu saja dari seberapa suksesnya membuat kita seru-seruan ber-goosebumps-ria!

 

 

HONORABLE MENTIONS

  • #10 Tetangga Hantu (arguably buku yang paling populer, dengan twist ala M Night Shyamalan untuk menutup cerita dengan hangat)
  • #08 Gadis Pencinta Monster (actually buku Goosebumps pertama dengan twist ending)
  • #11 Topeng Hantu (cerita bertema halloween tentang anak yang dikendalikan oleh topengnya, terdengar seperti Venom, bukan?)
  • #54 Kamar Hantu (ala Home Alone, tentang anak yang menginginkan keluarganya tidak ada)
  • #20 Teror Orang-Orangan Sawah (ketakutan anak kecil terhadap kakek dan neneknya, dan orang-orangan sawah)
  • #16 Suatu Hari di HorrorLand (gimana kalo taman rekreasi malah mencoba untuk membunuhmu, alih-alih hanya morotin duitmu)
  • #04 Bergaya Sebelum Mati (kamera yang bisa memotret kejadian buruk yang bakal menimpa objek yang dijepret, ini semacam cerita melawan takdir kayak Final Destination)
  • #61 Teror di Ruang Bawah Tanah (deskripsi paling disturbing jadi sajian buku ini)
  • #32 Boneka Hidup Beraksi II (kemunculan Slappy si Boneka Ventriloquist, antagonis paling populer seantero semesta Goosebumps)

 

 

 

8. MISTERI HANTU TANPA KEPALA (#37)

Ini adalah buku Goosebumps pertama yang aku baca. Dan efeknya masih terasa sampe sekarang. Cerita ini punya semua yang bisa anak kecil minta dari kisah horor. Rumah angker, eksplorasi, dan tentu saja; hantu.

Tentang Duane dan Stephanie ikutan tur rumah hantu. Aku sendiripun selalu tertarik ama wahana rumah hantu, tapi sayangnya di Indonesia aku belum nemu rumah hantu yang sistemnya kayak tur masuk museum seperti pada cerita ini. Kedua tokoh kita luar biasa tertarik mendengar kisah seram tentang rumah tersebut yang ternyata dihuni oleh hantu anak tanpa kepala. Saking tertariknya, mereka berdua memisahkan diri dari rombongan tur dan mengeksplorasi rumah tersebut sendirian. Umm, berdua. You get the point. Tentu saja , mereka menemukan hantu tersebut. Dan setelah minor twist, Duane dan Stephanie kudu berkeliling mencarikan kepala hantu yang hilang untuk bisa keluar dari sana.

Covernya aja udah bikin aku sulit memejamkan mata. Ditatap dingin begitu oleh kepala hantu berambut belah tengah. Actually, pertama kali tahu ada buku hantu namanya Goosebumps, memang aku milih-milih dari covernya mana yang kelihatan paling seram. Dan aku milih buku ini.

 

 

 

 

7. KENAPA AKU TAKUT LEBAH (#17)

Covernya lumayan disturbing. Aku selalu ngeri sendiri melihat makhluk-makhluk yang kepalanya besar, tidak proporsional dengan tubuhnya. Aku bahkan takut lihat figure bobble head, serius.

Tapi sejujurnya, sewaktu kecil, ini adalah salah satu buku yang kuskip dan baca belakangan, karena gak bener-bener ada hantunya. Dan dulu aku pikir cerita kayak gitu enggak seram. Sinopsis di bagian belakang bukunya juga ‘apa banget’. Gary Lutz yang takut lebah, dia sering dibully karenanya. Lelah dengan semua itu, Gary ikutan program bertukar tubuh di kotanya. Alih-alih menjadi anak lain, Gary malah masuk ke tubuh lebah. Fiksi ilmiah yang sangat aneh, kedengarannya ya.

Membaca cerita ini saat dewasa, aku bisa melihat apa yang sebenarnya ingin dibicarakan oleh R.L. Stine di buku ini. Adalah tentang mengatasi ketakutan dengan mencoba memahami ketakutan itu sendiri. Dengan menjadi hal yang kita takutkan. Cerita yang actually berlapis, tapi tetep konyol sih, lantaran konsep yang gak masuk akal dan lapisan terluar cerita ini beneran pelajaran tentang lebah. Anak-anak ya ogah disuruh belajar hihi.

 

 

 

 

 

6. TOPENG HANTU II (#36)

Meskipun waktu kecil dulu selalu mupeng lantaran enggak ada tradisi Halloween di lingkungan rumah, aku tahu betapa pentingnya mengenakan topeng paling seram yang bisa kita dapatkan. Apalagi buat anak seperti Steve. Yang keren dari cerita buku ini adalah, ceritanya terasa luas, kontinu, dan sangat fresh dengan role reversal. Steve sebenarnya adalah salah satu anak yang ngebully tokoh utama di Topeng Hantu pertama. Karena kejadian di buku pertama, kini mereka temenan. Tapi sebenarnya karena Steve pengen tampak paling keren dengan topeng ‘seotentik’ milik Carly Beth.

Di luar lapisan cerita tentang kehidupan sosial anak SD tersebut, buku ini menyimpan horor yang cukup dalem (untuk ukuran cerita buat anak kecil). Yaitu mengenai kengerian anak kecil menjadi orang tua. Topeng Steve membuatnya menjadi monster tua, dan cerita benar-benar mendeskripsikan ngerinya pengalaman Steve harus bertindak seperti yang diinginkan oleh topengnya

 

 

 

 

5. JAM ANTIK PEMBAWA BENCANA (#28)

Bukan tentang burung setan yang tinggal di dalam jam kukuk, sebenarnya ini adalah cerita tentang perjalanan waktu. Bayangkan episode Twilight Zone, hanya saja berbentuk buku.

Aku menemukan dua horor dalam cerita ini. Pertama tentang betapa ngerinya punya adek cewek yang begitu nyebelin, dia mengacau semua hal, dan malah kita yang dipersalahkan. Dan harus membereskan semuanya. Michael ‘dendam’ ama adeknya. Jadi, ketika mereka membeli sebuah jam kukuk antik, Michael berencana untuk merusakkan jam tersebut supaya dia bisa memfitnah sang adek. Tapi ada sesuatu yang ganjil ketika Michael mundurin jarum jam; dirinya juga ikut mundur ke masa lalu! Yang membawaku ke horor yang kedua; Betapa membetulkan kesalahan di masa lalu itu sungguh sulit untuk dilakukan, bahkan jika kau punya kemampuan untuk balik ke masa lalu. Konsekuensi akan selalu ada, dan buku ini benar-benar bikin kita ngeri bahwa seringnya hal-hal tertentu tidak bisa diubah.

 

 

 

 

 

4. HOROR DI CAMP JELLYJAM (#33)

Buku dengan ending paling “What the…!?” seantero seri original. Goosebumps memang terkenal dengan caranya mengakhiri cerita; antara ngegantung atau dengan twist super aneh. Dan buku ini, seberapapun sintingnya kau menerka, tetep akan meraih gelar juara ending paling aneh sedunia akhirat.

Di luar endingnya, sebenarnya buku ini punya gagasan cerita yang menarik. Kalian tahu gimana bagi anak kecil setiap aspek hidup bisa jadi lomba? Kita dulu girang bisa makan paling cepat. Bisa naik sepeda satu tangan. Ambisi kekanakan untuk terus menang itulah yang digali dalam cerita ini.

Camp Jellyjam adalah perkemahan musim panas bertema olahraga. Tiada hari tanpa kompetisi buat para peserta, karena setiap malam para pemenang kompetisi akan dikasih penghormatan dan hadiah. Anehnya, para pemenang tidak pernah kelihatan lagi esok hari. Jelas sekali ada misteri di balik semua ini, seperti surga yang ternyata adalah mulut manusia bagi tokoh-tokoh dalam animasi sarkas Sausage Party. Cerita buku ini punya selera humor, dan tetap berhasil menguarkan teror kengerian karena kita akan merasakan was-was itu sedari beberapa halaman pertama.

 

 

 

 

3. ARWAH PENASARAN (#56)

Cerita Goosebumps akan banyak yang mengambil setting di perkemahan karena memang ‘budaya’ orang sana untuk mengirim anak ke luar dari rumah, untuk beraktivitas di perkemahan sepanjang liburan musim panas. Dan dikirim oleh orangtua ke pondok banyak nyamuk, banyak binatang liar, bergaul dengan orang asing, tak pelak merupakan pengalaman yang mengerikan buat banyak anak-anak. Salah satunya Sarah dalam cerita ini. Dia membenci semua kegiatan di alam bebas, dia susah bergaul, dan orangtuanya malah tega mengirimnya ke perkemahan olahraga air.

Tak seperti Camp Jellyjam, cerita buku ini lebih girly dalam sense Regina George di film Mean Girls sekiranya pernah membaca buku ini waktu masih kecil. Ceritanya memang seputar mean girls yang harus dihadapi Sarah. Keputusan Sarah mengenai cara menghadapi mereka yang bikin buku ini terasa begitu gelap.

Sarah pura-pura mati dengan tenggelam di danau.

Bayangkan ini gimana kalo ditiru sama anak cewek yang baca? Tapi buku ini hadir di masa yang tidak terlalu sensitif, sehingga narasinya yang menyerempet ambang antara nelangsa dengan bego itu dijadikan aspek horor yang benar-benar mengerikan. Sarah yang pura-pura tenggelam mendapat teman, yang sudah mati beneran!

 

 

 

 

 

 

2. MESIN TIK HANTU (#55)

Saat masih kecil, ini adalah buku yang actually menggebahku untuk menulis cerita horor. Saat udah gede, aku semakin respek sama buku ini, karena sekarang aku bisa merasa semakin relate dengan tokohnya. Buatku, ini adalah cerita paling cool dalam di antara Goosebumps yang pernah aku baca.

Tokoh dalam cerita ini, Zackie, suka mengarang cerita seram. Bagai orang mengantuk disodorkan bantal, Zackie dikasih mesin tik dari seorang penjual barang antik yang tokonya kesambar petir. Tunggu. Anak-anak jaman sekarang pada tahu mesin tik ga nih? Itu loh, yang selalu dibawa-bawa pacarnya Starla. Anyway, kejadian menjadi menarik (horor tapi menarik) ketika semua cerita seram yang diketik Zackie pada mesin tik tersebut, menjadi kenyataan!

Menurutku, apa yang ingin disampaikan oleh R.L. Stine di sini adalah gimana tanggungjawab kita atas sesuatu masalah yang kita ciptakan sendiri. Ini adalah pesan yang penting bagi anak kecil, karena ya kita ngaku-ngaku aja, saat kecil kita cenderung egois – maunya benar melulu. Dari segi penulisan, kita juga bisa melihat Stine benar-benar enjoy menulis ini, dia tidak memberikan solusi mudah bagi tokohnya. Hampir terasa personal bagi dirinya, karena ini adalah penulisan tentang penulisan.

Dan ya, bagi yang penasaran; Mesin tik ini actually jadi senjata utama untuk mengalahkan para monster di film Goosebumps

 

 

 

 

 

Setiap buku Goosebumps memberikan pengalaman horor yang berbeda-beda. Kita tidak perlu baca semuanya, karena terkadang karakternya lumayan repetitif. Tapi meski begitu, kualitas cerita setiap buku sangat konstan. Bahkan buku yang berupa ‘sekuel’ pun bisa berdiri sendiri. Tapi kita akan merasa pengen untuk membaca semuanya. Karena kita penasaran ide apa lagi yang akan diangkat. R.L. Stine begitu berhasil membuat kita kepancing dan betah, sejak dari buku pertamanya.

Dan ya, inilah buku Goosebumps peringkat pertama kami:

1. SELAMAT DATANG DI RUMAH MATI (#01)

Diawali dengan sangat klasik; keluarga Benson sampai di kota baru mereka. Mereka mengalami kejadian ganjil, tentu saja di rumah baru mereka. Apakah rumah mereka berhantu? Well, hantunya boleh jadi adalah produk dari imajinasi keluarga Benson. Tapi nyatanya memang ada sesuatu yang jahat, di kota tersebut.

Apa yang tadinya kita kira adalah cerita rumah hantu, dengan perlahan tabir itu dibuka lapisan demi lapisan. Progres narasi buku ini terasa sangat natural. Kita akan belajar bersama tokoh cerita, menyusun kesimpulan gimana seluruh kota sudah mati, dan para penghuni yang tak lagi hidup itu menyiapkan perangkap bagi keluarga Benson; Mereka adalah korban berikutnya yang akan dihisap darahnya dan dijadikan zombie.

Jauh sebelum The Walking Dead, Goosebumps sudah bereksperimen dengan zombie-zombie dan buku ini sukses berat menghadirkan kengerian. Bahkan imaji-imaji mengerikan. Ada satu adegan di buku yang menceritakan para tokoh melelehkan wajah para zombie, atau hantu, atau apapun lah mereka. Buku ini sangat detil mendeskripsikan horornya. Jumpscarenya akan membuat kita turut melonjak, hanya dengan membayangkan saja.

Akan susah untuk enggak jatuh cinta dengan Goosebumps setelah kalian membaca buku ini.

 

 

 

 

 

Goosebumps penuh dengan monster, twist, dan cerita aneh. Itulah yang menyebabkannya begitu menyenangkan untuk dibaca. Seram, tapi semuanya dicraft dengan begitu baik sesuai dengan gaya yang menurut sang penulis dapat diterima oleh pembaca sasaran. Menurutku, setiap anak kecil perlu membaca, paling tidak, satu cerita seram semasa kanak-kanak mereka. Karena seperti kata R.L. Stine, monster atau hantu itu diciptakan supaya kita bisa siap menghadapi dunia nyata, letak horor sesungguhnya. Bukan hanya itu, R.L. Stine juga sudah berhasil membuat satu anak kecil jadi tertarik untuk menulis, untuk bercerita, menumbuhkan ketertarikan dengan monster-monster. Anak kecil itu, ya aku.

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa buku Goosebumps favorit kalian? Kenapa ya, kira-kira, Goosebumps yang dicetak ulang baru-baru ini kurang mendapat sambutan dari anak-anak? Apakah masa  buku dan media cetak memang sudah lewat? Apakah kenyataan tersebut tidak menyeramkan buat kalian? 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

Review buku ini terpilih untuk dimasukkan dalam kampanye “Blog Review Buku Terbaik,” dari penerbit bahan ajar pendidikan Twinkl.