MAZE RUNNER: THE DEATH CURE Review

“To attain something of  greater value, one must give up something of lesser value.”

 

 

 

Maze Runner benar-benar seri FILM YANG BERLARI DENGAN CEPAT. Jika bukan karena kecelakaan yang terjadi pada bintangnya di lokasi syuting, kita akan mendapat sekuel ini exactly dalam per satu tahun yang berurut. Cerita yang  berjalan dengan cepat, para tokohnya literally berlari dari satu plot poin ke plot poin berikutnya, intensitas aksi yang ditawarkan nyaris nonstop – inilah yang membuat Maze Runner sedikit berbeda dalam kalangan cerita dystopia Young Adult yang lain. Ini juga sebabnya kenapa, di tahun yang bisa kita sebut sebagai faktual distopis bagi seri Young Adult, kita menonton sekelompok anak muda berusaha merampok gerbong kereta api yang tengah berjalan. Adegan aksi pembuka The Death Cure tak pelak melanjutkan tradisi seri ini yang hobi berlari; ceritanya menolak untuk berhenti dan memberikan kesempatan kepada penonton baru untuk naik ke atas plot cerita. Kita yang harus berlari mengejar ketinggalan, sebab film hanya akan sesekali mengerem sedikit untuk memberi informasi sebagai penunjuk jalan.

Kelompok Thomas-lah yang sedang berusaha menyabotase kereta api tersebut. Mereka ingin menyelamatkan salah satu rekan mereka yang sedang dalam perjalanan ke kota tempat markas Organisasi Rahasia WCKD yang selama ini sudah memperlakukan mereka sebagai binatang percobaan di dalam labirin. Dan sekarang, setelah darah Thomas dan kawan-kawan terbukti kebal terhadap virus semacam zombie yang menjangkiti seluruh penjuru dunia, WCKD ingin memanfaatkan darah tersebut sebagai bahan utama pembuatan vaksin. Thomas dan anak-anak remaja lain yang sehat adalah properti WCKD, mereka ‘dibiakkan’, darah mereka bisa digunakan seenaknya oleh WCKD. Thomas dan kawan-kawan bagai domba yang dipersiapkan untuk menjadi korban. Tetapi domba-domba yang satu ini adalah domba yang sadar akan kemampuan dan jumlahnya. Jadi tentu saja Thomas menolak. Dan sekarang, Thomas sedang berjuang menyelamatkan Minho dari gerbong kereta. Hanya saja, Thomas tidak menemukan Minho di dalam gerbong yang susah payah mereka bajak. Puluhan anak baru berhasil diselamatkan, namun lantaran Minho masih diculik, Thomas dan kawan-kawan pun bergegas menuju The Last City. Jika sebelumnya, mereka harus keluar dari tembok, kini mereka harus berjuang untuk menyelinap masuk demi menolong Minho. Sekaligus menyelamatkan dua-puluh delapan anak-anak lain. Jangan sampai mereka salah nolong lagi kali ini.

Kepanjangan dari akronim WCKD berasa kayak diambil dari komik Donal Bebek

 

Benarkah kita bisa salah menolong? Dalam kondisi bagaimana kita merasakan sudah melakukan kesalahan saat kita sudah  membantu orang? Dan kalopun kita memang melakukannya, apa yang kita rasakan sesudah itu – penyesalan? Nyesal udah membantu orang lain padahal ada yang lebih pengen kita bantu? Ultimately, film ini akan menghadirkan kepada kita keambiguan moral mengenai  mengedepankan kebaikan yang lebih kecil ataukah kebaikan yang lebih besar meski itu berarti kita harus berkorban banyak.

 

Aku memang cukup tertantang oleh gagasan dan sudut pandang yang dimiliki oleh narasi. Di sini kita punya Thomas sebagai protagonis, namun motivasi tokoh utama kita ini enggak muluk-muluk. Sedewasa apapun temanya,  semacho apapun aksinya, film tetap memperlihatkan Thomas sebagai anak remaja. Udah bukan anak kecil, tetapi tetap belum benar-benar matang dari segi emosi. Dan remaja toh memang sedikit egois. Thomas dan teman-teman enggak berniat untuk menyelamatkan dunia. Mereka ingin menolong ‘bangsa’ mereka sendiri. Kelompok yang udah gede bareng di Glade di tengah labirin. Kelompok yang udah bersama-sama dalam suka, meskipun lebih banyak dukanya.

Film juga cukup bijak dalam memainkan tokoh antagonisnya. Karena antagonis bukan berarti bisa disimpelkan menjadi tokoh jahat. Antagonis adalah tokoh yang menghalangi protagonis dalam mencapai keinginan.Dan dalam The Death Cure, kita dapat melihat bahwa kelompok yang berlaku semena-mena kepada teman-teman Thomas sesungguhnya bergerak demi kebaikan yang lebih besar. WCKD ingin menciptakan vaksin demi kesembuhan seluruh dunia. Narasi merepresentasikan kekompleksan WCKD sebagai antagonis ke dalam tiga figur yang  berbeda. Eventually, kita akan merasakan kompleks moral ini lewat tokoh Teresa, cewek yang pada film pertama mengkhianati Thomas dan terungkap sebagai salah satu imuwan yang memprakarsai remaja sebagai objek penelitian. Dan memang ada agen WCKD yang total jahat, namun tokoh ini bekerja dengan baik sebagai pembelajaran buat Thomas; dia ingin menggunakan vaksin untuk kepentingan pribadi, dan ini membuat Thomas sadar bahwa dirinya dengan si agen punya kesamaan, bahwa mereka perlu belajar soal pengorbanan.

Atau paling enggak, kita yang sadar mereka punya kesamaan. Karena lebih sering daripada tidak, tokoh-tokoh film ini tampak terlalu sibuk dengan berlari dari zombie, dari pasukan bersenjata, dari ledakan dahsyat, sehingga mereka lupa pegangan sama moral masing-masing. Big dump action adalah judul besar, kalo perlu ditulis di papan neon terang benderang, yang menggantung di atas film ini. Aksi-aksi seru namun mindless, malah sebagian besar sangat konyol, bakal mengisi sebagian besar dari seratus empat puluh menit waktu durasi. Kita akan melihat bis berisi anak-anak bergelantungan di atas kota, dan jatuh berdebam, dan semua selamat. Kita akan melihat adegan seru terus melaju, membuat babak akhir film terasa diulur-ulur karenanya. Seolah film ingin membuat kita lupa kalo banyak adegan-adegan aksi yang ia punya, sesungguhnya dipinjem dari film-film action lain. Membuat kita gak ingat ataupun jadi gak peduliin ada tokoh tak berhidung yang jangankan backstory, nasibnya di akhir cerita pun, tidak pernah disentuh lagi oleh narasi. It’s all about teenagers take on actions facing a huge world problem. Dan ledakan. Selalu ledakan.

Film ini udah kayak WCKD, mengekploitasi remaja demi universenya berputar

 

Secepat-cepatnya film ini berlari, aku masih mengingat betapa film Maze Runner yang pertama (2014) cukup mengesankan bagiku. Aku suka desain produksinya, aku suka aspek cerita tentang gimana mereka membangun society. Labirin itu memberikan elemen misteri yang fresh. Film yang kedua, aku suka separuh awalnya saja. Saat menonton yang ketiga ini, tampak jelas penyutradaraan Wes Ball sudah outrun source materialnya. Keseluruhan film tampak lebih mengesankan. Kubilang, film ketiga ini tampak lebih dekat seperti yang kedua, pengecualiannya adalah dia dilakukan dengan lebih baik dan lebih matang. Adegan-adegan aksi kejar-kejaran direkam semakin intens.  Bagian berantemnya, bagian yang tergolong ‘baru’ dalam seri ini, butuh penguasaan yang lebih lagi sebab kita melihat kameranya cukup banyak goyang dan enggak benar-benar merekam apa yang mustinya diperlihatkan. Di lain pihak, porsi penggunaan efek prostetik dengan penggunaan CGI tampak semakin bijak. Set jalanan kota terakhir di dunia itu tampak meyakinkan, enggak berlebihan, malah kelihatan sangat mungkin kota tersebut ada di dunia nyata.

Para tokoh juga diberikan arahan yang lebih dewasa. Tidak ada dialog-dialog klise. Enggak pake pancingan romansa norak. Dylan O’Brien sebagai Thomas membuktikan dia punya karisma sebagai tokoh lead di petualangan aksi fantasi kayak gini. Kali ini, Thomas memang tampak sebagai yang paling kurang beraksi dibanding yang lain – tugas O’Brien kebanyakan pasang tampang penuh determinasi. Adegan kebut-kebutan naik kereta api di awal tadi, misalnya. Aku cukup lucu juga melihat kenapa bukan Thomas yang nyetir mobil dan kenapa bukan dia yang kesusahan naik ke atas kereta; bukankah bisa jadi stake yang bagus kalo early kita diperlihatkan tokoh utama udah hampir mati. Namun kemudian setelah konteks cerita aku pegang, aku dapat melihat pilihan itu bekerja efektif dalam karakter Thomas. Untuk menunjukkan dia belum berkorban banyak saat cerita baru dimulai.

Dunia toh memang terletak di tangan anak-anak muda yang kuat, yang berpendidikan. Namun, dalam kepentingan kontinuitas dari umat manusia, mementingkan dua puluh delapan remaja di atas semua orang tetap adalah hitungan yang mengerikan.

 

 

 

 

Cepatnya film memang kadang terasa membingungkan, terlebih buat penonton yang baru pertama kali mengikuti seri ini. Ataupun buat penonton yang sudah lupa sama sekali akan ceritanya. Film tampak cukup pede dengan aksi-aksi seru yang ia punya, as it would expect us to sit through there menikmati sekuens dahsyat. Sesungguhnya ini dapat menjadi berbalik menjemukan, karena durasi yang panjang hanya efektif jika kita peduli sama tokohnya. Namun bagaimana bisa jika kita tidak kenal siapa mereka. Menjelang midpoint, akan ada kejutan berupa kembali salah satu karakter dari film pertama, dan ini bisa jatoh datar kalo penonton enggak tahu. Porsi cerita dialamatkan untuk dinikmati oleh penonton setia dan penggemar bukunya saja. Ini bukan film yang contained, yang bisa berdiri sendiri. Melihatnya sebagai penutup trilogi, perkembangan karakter-karakternya bekerja dengan baik. Namun bukan berarti menjelaskan semuanya. Looking back, aku jadi bingung kenapa mesti ada labirin sedari awal. Ah, ternyata kita masih tersesat di dalam labirin ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MAZE RUNNER: THE DEATH CURE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PITCH PERFECT 3 Review

“Life is not a competition.”

 

 

 

Hidup memang keras. Kalian boleh saja bagian dari grup nyanyi yang aca-awesome sewaktu di kampus, namun tetap berakhir gak sukses di pekerjaan yang juga gak keren-keren amat. Masing-masing anggota Barden Bella terbukti ngalamin ini. Bahkan Beca yang udah mewujudkan mimpinya jadi musik produser, keluar dari pekerjaan. Idealismenya enggak ketemu jalan nyambung ama ide kreatif klien. Jadi, para Bella sekarang punya waktu luang untuk ngumpul-ngumpul lagi. Mereka kangen nyanyi bareng. Diundang oleh ayah Aubrey yang tentara, Bella ikut tur USO – nyanyi keliling Eropa. Tapi tentu saja yang namanya tur, bukan mereka saja yang meramaikan acara. Barden Bella bertemu dengan grup musik lain, dan ‘teman-teman’ baru mereka itu actually bermain dengan alat musik. Ada grup rocker cewek, band country, juga duo musik elektronik. Mengetahui tur ini bisa saja adalah penampilan bareng terakhir mereka, Bella bertekad mempersembahkan yang terbaik. Supaya mereka terpilih sebagai band pembuka di acara puncak tur bersama pemusik DJ Khaled.

Aku sudah nonton Pitch Perfect (2012) lebih banyak dari yang seharusnya. Oke, aku ‘mungkin’ pernah muterin film ini nonstop seharian sambil belajar bikin sketch kala itu.. Aku-muternya-hampir-tiap-hari, aku ngaku. I was so surprised by that film. Kocak, pemainnya likeable, ceritanya seger banget – jika kita melihat ke belakang ke dunia perfilman saat itu -, anak kuliahan yang ingin mengerjakan yang ia suka – tentu kita bisa relate ke sana. Aku suka suara Anna Kendrick, aku juga suka lagu Cup yang kukasih Best Musical Performance untuk My Dirt Sheet Awards, Rebel Wilson’s antics, lagu-lagu mash upnya, kaki Alexis Knapp, ada banyak yang bisa disukai dari sana. Aku bahkan tahu The Breakfast Club (1985) dari film ini. Pitch Perfect actually adalah urutan paling wahid di daftar film favoritku tahun 2012. Dan tiga tahun setelah itu, sekuel film ini muncul. Nyaris dari nada ke nada, dari beat ke beat, filmnya mirip. Dan buatku Pitch Perfect 2 (2015) merupakan sedikit kekecewaan, but you know, kita gak bisa benar-benar mencibir mendengar lagu Flashlight dan melihat penampilan panggung DSM.

Tapi serius, aku gak pernah berharap Pitch Perfect dibikin sekuelnya. Apalagi jadi trilogi seperti kenyataan sekarang ini. Musik yang asik dan unik dan komedi dead-pan, itulah kekuatan utama franchise ini. Dan bahkan semua itu bisa jadi repetitif dan menjemukan jika terus dilakukan tanpa ada perubahan. Sepuluh menit pembuka film Pitch Perfect 3, kita mendengar akapela lagu Toxic, Barden Bella nyanyi di kapal alih-alih panggung, dan kemudian Fat Amy terjun dari langit-langit. Tak lama kemudian kapal tersebut meledak, para Bella loncat ke air.  And I was like, wow, MEREKA BERBEDA SEKARANG!

Stacie gak ikutaaaan huhuuu

 

Pitch Perfect 3 tampaknya mendengarkan koor suara penggemar, dan mereka dengan berani mengambil langkah gede untuk melakukan pembaruan di sana sini pada ceritanya. Mereka menambahkan elemen action, mereka menambahkan hal untuk dilakukan oleh para Bella selain bernyanyi dan melontarkan lelucon yang gitu melulu-melulu. Regarding menyanyi, film ini menaikkan permainan mereka. Untuk pertama kalinya, Barden Bella tampak gak yakin dengan akapela. Tidak banyak akapela yang kita dapatkan di sini, at least enggak sebanyak di dua film pendahulunya. Dan ini sesungguhnya bisa jadi pedang bermata dua; penonton yang ingin melihat mereka bernyanyi akapela akan jadi sedikit kurang puas, tapi untuk penonton yang menginginkan musik; well, film ini punya musik-musik bagus dari genre yang lebih beragam.

Jika kita melihat kembali dari film pertama, bila kita melihat gambaran utuh serial ini, Pitch Perfect 3 bekerja efektif sebagai bagian penutup. Mereka menggali masa lalu. Tokoh-tokoh mendapat penutup buat arc mereka, dan arc itu berlangsung dari film yang pertama. Beberapa tokoh mestinya bisa dipresentasikan dengan lebih baik lagi, tapi secara keseluruhan, film ini berhasil membungkus cerita  sama seperti yang dilakukan Cars 3 (2017) terhadap franchise Cars. At it’s heart, ini adalah tentang keluarga,  bahwa keluarga harus saling support, walaupun kadang tak selalu bersama. Dalam film sebelumnya, Bella sudah mengestablish bahwa mereka adalah keluarga, namun di sini mereka harus belajar memperluas keluarga mereka, bukan lagi semata soal tradisi. Satu adegan yang aku suka adalah ketika band lain mendadak nyanyi bareng, mereka melanggar aturan permainan Riff-Off, dan cewek-cewek kita enggak mengerti kenapa para pesaing mereka melakukan hal tersebut.

Barden Bella, terutama Beca, yang sudah berkompetisi dari dua film pertama, gagal untuk melihat bahwa hidup yang sebenarnya bukanlah sebuah perlombaan. Terutama dalam keluarga. Kita tidak saling bersaing dengan keluarga. Jikapun ada, maka lawan kita sesungguhnya adalah waktu. Karena kemenangan dalam hidup adalah ketika kita sebagai keluarga bersikap saling mendukung, tidak mengecewakan satu sama lain.

jadi kalo menang, jangan besar kepala

 

Ceritanya sendiri jadi terasa sangat padat, bukan dalam artian yang bagus. Kita melihat banyak cerita sampingan, di antaranya ada Fat Amy yang ketemu dengan bokapnya, ada Aubrey yang pengen ketemu sama bokapnya, ada Chloe yang lagi berflirt-flirt ria sama tentara pemandu mereka. Juga ada cerita tentang dua komentator acara (duet Elizabeth Banks-John Michael Higgins memberikan banyak sumbangan komedi) yang bernapsu untuk mendokumentasikan detik-detik kejatuhan Beca dan teman-teman. Mereka ngikutin ke mana Barden Bella pergi dengan komentar-komentar sarkas yang berhasil memancing gelak tawa penonton di studio. Kehadiran elemen-elemen narasi tersebut dibutuhkan dan integral sama tubuh besar cerita, cerita-cerita tersebut tidak tercampur dengan benar. Flownya enggak mulus.  Film ini berusaha menampung banyak, tapi penulisan tidak mampu merangkai semuanya dengan baik.

Dan tetap saja ada yang tokoh yang gak kebagian, mereka hanya dapat sepatah dua patah kalimat. Hailee Steinfeld is barely there, aktris ini underutilized banget padahal kita udah melihat sebagus apa dia jika diberikan kesempatan. Malahan, kebanyakan pemain film di sini menyuguhkan akting yang membuat kita berharap mereka dapat unjuk kebolehan di film yang terstruktur lebih baik. Rebel Wilson, khususnya, sangat bersinar di film ini. Komedi-komedi yang bekerja baik itu datang darinya. Dia juga hilarious di bagian aksi.

 

 

Berusaha menjadi lebih besar, film ini nekat menjadikan root yang udah bikin dirinya digemari penonton sebagai nomor dua. Film ini melakukan seperti apa yang dilakukan oleh tokoh utamanya; ngemash up genre, sayangnya kadang yang miss terasa lebih banyak dibandingkan yang hit. Bagaimana pun juga, sebagai penutup, film ini berhasil menunaikan tugasnya. Ceritanya terasa konklusif. Messy sebagai diri sendiri, akan tetapi film ini cukup bersinkronisasi dengan dua film sebelumnya. Jikapun ada masalah yang kita temui, maka itu adalah lantaran seri ini enggak perlu banget dibikin sekuel sedari awal. Lebih baik dari yang kedua, namun itu enggak berarti banyak.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PITCH PERFECT 3.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

STAR WARS: THE LAST JEDI Review

“The opposite of Love is not Hate, but Indifference”

 

 

Luke adalah Yoda. Dan Kylo Ren adalah Bezita. Itu teori yang kupatenkan setelah aku selesai nonton The Force Awakens tahun 2015 yang lalu. Yup, aku memang termasuk salah satu penonton yang suka berspekulasi dan nebak-nebak dan bikin kajian lengkap sendiri terhadap sebuah film. Jika kalian juga begitu, maka kita bisa jadi teman baik ngobrol berjam-jam membahas film. Aku tahu bukan aku sendiri yang punya penyakit begini. Di internet banyak kita jumpai artikel-artikel semacam “Fakta Mengejutkan Seputar Star Wars” yang membahas berbagai kemungkinan seperti Rey itu anak Luke, atau Rey itu saudara kembar Ren, atau yang paling gampang; bahwa Rey adalah Jedi Terakhir. Tidak satupun prediksi dan teori tersebut terbukti benar. Star Wars: The Last Jedi, di tangan sutradara Rian Johnson yang biasanya membuat film-film ngeart, MENGENYAHKAN SEMUA EKSPEKTASI DAN BERCERITA DENGAN SUARA KHASNYA SENDIRI.

Itulah yang membuat pengalaman nonton film ini terasa begitu menyenangkan. Ada begitu banyak kejutan yang diberikan. Seni dalam film ini adalah bagaimana mereka memainkan konflik moral, membuat kita terombang-ambing di dalam dilema para karakternya. Dalam lapisan terluar, The Last Jedi sukses menjelma menjadi film dalam franchise Star Wars yang punya sekuens aksi yang paling menarik dan sangat menghibur sejauh ini. Ada aksi tembak-tembakan Millenium Falcon yang sangat keren; visual efeknya makjaaaanggg! Tarung lightsabernya adalah yang terbaik dari pernah kulihat dari seri Star Wars. Dengan wide shot nampilin para tokoh dari kepala ampe ujung kaki, mereka pasang stance masing-masing, kemudian “zing..zingg…zinggg”, mereka udah kayak ngayunin samurai dengan koreografi dan pengaplikasian lightsaber yang begitu awesome

Plus para Porg itu imut bangeettt. Dan perlu dicatet mereka enggak annoying

 

The Force Awakens literally berakhir dengan cliffhanger, cerita dibiarkan ‘menggantung di tebing’. The Last Jedi melanjutkan ceritanya tepat di kejadian itu, dan itu sama sekali di luar apa yang kita kira. Contoh simpelnya adalah Luke Skywalker yang tampak begitu cool sampe jadi intimidating saat didekati oleh Rey yang mengulurkan lightsaber, ternyata malah membuang senjata paling keren sealam semesta tersebut dalam fesyen yang mengundang kikik penonton. The Last Jedi memang mengeset ulang franchise Star Wars hampir seperti gimana Thor: Ragnarok (2017) merevitalisasi karakter dan persona Thor.  Jadi, Rey harus berusaha minta diajarin menggunakan The Force kepada Luke yang memilih mengasingkan diri. Sementara Poe, Finn, dan pasukan Resistance yang lain di bawah pimpinan Leia (serius, agak tercekat haru nih ngeliat Carrie Fisher, ihiks) berjuang sebisa mungkin untuk bertahan, sukur-sukur bisa melakukan serangan balasan, dari serangan First Order yang semakin nafsu memburu mereka. Yang paralel dari perjalanan para tokoh adalah gimana mereka sama-sama membutuhkan ‘spark’ untuk membalikkan keadaan; sebuah percikan yang bisa membuat mereka di atas angin dan semakin kuat. Namun, percikan apa sih yang dimaksud? Itulah yang harus mereka cari tahu.

Hakikat dari berjuang dan menang sebenarnya bukanlah ‘berhasil mengalahkan yang kita benci’. Melainkan adalah melindungi orang-orang yang kita sayangi. Cinta dan benci memang adalah perasaan yang intens yang kita rasakan terhadap sesuatu hal, terhadap orang lain, jadi in a way, cinta dan benci adalah perasaan yang sama, yang diekspresikan berbeda. Ini yang tercermin dari Kylo Ren dan Rey. Mereka basically adalah pribadi yang sama; mereka punya kekuatan yang sama, tapi mereka tidak bisa ‘melukai’ satu sama lain. Setidaknya belum, karena sesungguhnya lawan dari cinta bukanlah kebencian. Melainkan ketidakpedulian, sesuatu yang hampir saja dilambangkan oleh Luke dalam cerita epik kebingungan moral ini.

 

“Pada dasarnya, aku sama sekali enggak setuju sama setiap pilihan yang kau tulis buat tokoh Luke”, begitu pengakuan Mark Hamill ketika dia pertama kali disodorin skrip film ini oleh si sutradara. Luke Sykwalker memang benar-benar dibuat ‘tak disangka-disangka’. The Last Jedi adalah film yang lucu. Banyak lelucon kocak di sana-sini. Namun hebatnya, lucu-lucuan tersebut tidak pernah digunakan dengan mengorbankan karakter ataupun cerita ataupun pakem mitologi yang sudah ada. Semuanya bekerja dalam konteks. Buktinya, Luke Skywalker tidak jatoh konyol. Malahan, dia adalah salah satu karakter paling keren dalam film ini. Salut itu pantas juga kita berikan buat Mark Hamill yang jelas bekerja profesional. Semua arahan yang diberi kepadanya berhasil dia eksekusi dengan meyakinkan. Ada eksplorasi mengapa karakter ini mengasingkan diri, Luke bergulat dengan sebuah tragedi masa lalu, semua itu ditampilkan dalam visi yang sangat sangat berbeda. Aku gak pernah tahu aku ingin melihat Luke yang seperti ini, dan hasilnya memang sangat keren.

Sebagai seri kedelapan dari seri film populer, akan sangat sia-sia jika mereka enggak bermain-main dengan referensi dari film-film sebelumnya. Justru adalah hal yang wajar jika mereka melanjutkan sistem yang sudah ditetapkan, merecognize aspek-aspek dunia dalam cerita mereka. The Last Jedi toh memang memasukkan adegan referensi, akan tetapi tidak semata sebagai penghibur buat penggemar Star Wars. Enggak terasa seperti mereka memasukkan hal begitu saja supaya kita bisa “hey lihat itu si anu”, kayak di Rogue One (2016) di mana kehadiran C-3PO tampak sekedar dimasukin aja. Alih-alih demikian, yang dilakukan oleh film ini adalah memasukkan hal-hal yang sudah terestablish, merecognize pakem dan kelemahannya, dan eventually mempertanyakan hal tersebut lewat karakter baru, yang masuk akal dong kalo si karakter ini enggak punya pengetahuan tentang itu. Misalnnya ketika film ini mengeksplorasi gimana Jedi yang udah seperti semacam aliran kepercayaan, dipertanyakan aturan-aturannya oleh Rey, dan sebagai jawabannya, film actually melandaskan pakem baru yang sangat mengejutkan.

Tokoh di film ini udah kayak Big Show, sering ‘turn’ antara baik dan jahat

 

Penampilan Daisy Ridley seolah berkata “Lihat gue, gak nyesel kan lo udah milih gue sebagai Rey!” Cewek ini dahsyat banget kalo udah urusan adegan-adegan dramatis dan bagian-bagian berantem. Tokoh Rey dibentuk dengan sangat baik sebagai protagonis utama, dia kuat, dia mau belajar, dan dri berbagai pilihan yang dia ambil jelas tokoh ini bergerak dalam moral kompasnya sendiri. Menurutku, secara karakterisasi, si Rey inilah yang paling dekat dengan Anakin. Kupikir film berikutnya akan mengeskplorasi gimana Rey adalah apa yang terjadi kepada Anakin jika dia tidak menyeberang ke Dark Side.

Tokoh favoritku di film ini, bagaimanapun juga, adalah Kylo Ren. Penampilan emosional yang sangat luar biasa dari Adam Driver. Kita sudah dapat melihat sedari Episode VII bahwa Ben Solo adalah karakter yang sangat conflicted. Dia bukan antagonis biasa, dia lebih dalem daripada itu. Dia adalah petarung yang belum matang, dia diliputi kemarahan, dia belum siap, dan di Episode VIII ini kita akan lebih mengerti kenapa. Kita jadi dapat melihat alasan dia begitu mengidolakan Darth Vader, meskipun aspek ini diberitahukan impisit oleh narasi. Kylo diberikan kesempatan untuk bersinar di sini. Aku suka koneksi yang tercipta antara Ren dengan Rey. Aku sungkan untuk ngebahas lebih banyak soal ini, karena menurutku ini adalah aspek terpenting cerita yang harus kalian alami sendiri.

Semua tokoh diberikan kesempatan untuk unjuk kebolehan. Bahkan Chewie dan BB-8 dikasih momen tersendiri. Arc si Poe juga cukup menarik. Aku suka gimana tadinya dia melanggar perintah Leia, dan kemudian di babak akhir, dia berada di posisi pemberi perintah dan guess what; dia mendapati perintahnya dilanggar. Masalahku hanya ada pada ceritanya si Finn. Secara berkala, narasi akan membuat kita mengikuti petualangan Finn bersama tokoh cewek baru, Rose. Mereka punya misi mencari seorang pemecah kode, jadi dua orang ini pergi ke sebuah planet. Aku enggak bisa menikmati bagian ini, karena setiap kali kita balik ke mereka, cerita menjadi melambat. Malahan, hampir terasa seperti menjadi sebuah cerita lain, sebuah film pendek petualangan ke planet yang bahkan gak terasa seperti planet dari galaksi far far away. Setting lokasi yang Finn dan Rose datangi adalah setting yang gak aneh bagi kita penduduk Bumi. Dan yang  mereka lakukan juga gak benar-benar menarik. Terasa seperti detour yang gak diperlukan. Tentu, apa yang mereka kerjakan tersebut memiliki dampak di akhir cerita, semuanya ada koneksi, hanya saja mestinya ada cara yang lebih baik dalam menceritakan ini.

 

 

Yang perlu aku tekankan adalah film ini membuatku terhibur, amat malah. Maksudku, Luke malah jadi kayak Goku di sini hahaha. Dan setelah nonton dua kali, teoriku soal ‘Luka Adalah Yoda’ masih belum tertutup gagal seratus persen, asal jangan diartikan secara harafiah tentunya; Anak kecil yang nonton juga pasti tahu Luke dan Yoda adalah dua makhluk yang berbeda. Namun, kesamaan arc mereka sangat mencengangkan, penggemar sejati pasti ngerti deh apa yang kumaksud. Secara struktur, however, ini adalah film yang bisa berdiri sendiri. Sebuah cerita pertengahan dari sebuah trilogy yang tidak terasa seperti bagian dari rangkaian produk. Film yang memiliki awal-tengah-akhir dari sudut karakter-karakter yang mampu membuat kita peduli. Pencapaian teknisnya juga luar biasa, sekuens aksi dengan wide shot tercantik yang bisa kita harapkan dari film fantasi seperti ini. Ada sekuens yang belum pernah kita saksikan dalam franchise Star Wars. Mitologi Jedi pun mendapat penggalian yang lebih dalam, ada pengetahuan baru yang bisa kita dapat mengenainya. Dan setelah menonton film ini, kita akan memohon semoga semua petualangan awesome itu tidak pernah berakhir.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STAR WARS: THE LAST JEDI.

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kami mau ngucapin terima kasih buat kamu-kamu yang udah sudi mampir baca dan bahas film di sini sehingga My Dirt Sheet jadi kepilih sebagai nominasi Blog Terpilih Piala Maya 6.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

WAR FOR THE PLANET OF THE APES Review

“When a man assumes leadership, he forfeits the right to mercy”

 

 

Kera sering dianggap sebagai kerabat terdekat manusia. Para ilmuwan dengan teori evolusi sih berkata begitu, we are both primates, rantai DNA dan segala macem punya kesamaaan. Namun siapa sih yang sudi dikatain mirip ama monyet? Well, sejak menonton film pertama dari prequel seri The Planet of the Apes, suka gak suka aku jadi terhenyak juga melihat pelajaran yang terus berulang; bahwa manusia dan kera itu memang mirip tanpa kita sadari. Kera juga adalah spesies yang menyayangi keluarga, hidup bersosial dan saling berketergantungan, mereka punya rumah, mereka punya emosi yang membentuk karakter.

Bahwa kemanusiaan bukan ekslusif milik manusia semata. Malahan, oleh film ketiga ini – yang mengeksplorasi kata pertama dari judulnya –  kita akan dibuat benci sama spesies kita sendiri. Kera diserang, diperbudak, mereka adalah korban dari ketidakmampuan manusia mengaplikasikan ‘kemanusiaan’ itu sendiri.

 

The Planet of the Apes has been a great series so far. Kita sudah melihat kebangkitan bangsa kera mengambil alih planet dari manusia. Kita sudah melihat permulaan era baru di mana bukan lagi manusia sebagai spesies terkuat, dan dalam film kali ini kita akan melihat perang antara manusia-manusia yang tersisa dengan kera-kera pintar itu terjebak di tengahnya. Namun lebih daripada tentang memenangkan peperangan tersebut, ini adalah tentang SURVIVE DARI HORORNYA PERANG. Perspektif film ini teramat kuat karena sebagian besar waktu kita akan ngikutin Caesar sebagai pemimpin bangsa kera, and it’s also about pilihan-pilihan yang dibuat oleh pemimpin. Struggle antara rasa belas kasih dan balas dendam menjadi elemen konflik yang mewarnai cerita.

screw science, we are at war!!

 

Pada titik ini, kita tidak lagi mengagumi Caesar hanya sebagai pencapaian teknologi. I mean, not to overlook the production dan efek film ini sih. Yang mana sangat mencengangkan. Sekali lirik adegan pembukanya saja, kita langsung sadar bahwa film ini dibuat tekun oleh sekumpulan orang-orang jenius yang sangat berbakat. Kerja motion capturenya adalah salah satu yang terbaik yang pernah aku tonton, semuanya terlihat nyata. Andy Serkis sekali bermain brilian menghidupkan Caesar. Seperti yang kutulis tadi, mereka bisa menyejejerkan manusia dengan kera dalam satu adegan dan kita akan lebih respek terhadap yang kera, tapi bukan lagi karena bulu dan tingkahnya terlihat asli dan meyakinkan. Caesar di sini teramat menderita. Dia bukan lagi kera kecil yang diajarin bicara sama James Franco. Dia tidak lagi seekor kera naïf yang idealis berusaha menjadi simbol perdamaian manusia dengan kera. Di sini Caesar dan kelompoknya belajar hal baru: Dendam. Amarah menguasai, as Caesar bergulat melawan sisi gelap dari dalam dirinya sendiri. Pertumbuhan inilah yang membuat War for the Planet of the Apes bekerja luar biasa berhasil sebagai penutup trilogi. Journey Caesar bukan hanya bergerak di dalam lingkar film ini saja, jika kita menonton ulang dari Rise, terus Dawn, terus War ini, maka akan terasa pergerakan natural dari arc Caesar dan tokoh-tokoh lain, bahwa arc mereka membentuk satu gambar besar. Tentu saja aku gembira sekali karenanya, sebab meski aku belum nonton seri yang jadulnya, aku suka seri Planet of the Apes modern ini sedari Rise (2011).

Tidak seperti Simian Flu yang enggak ada obatnya, untungnya film ini berhasil menyembuhkan beberapa ‘penyakit’ yang menurutku menjadi masalah dalam dua film sebelumnya. Main problem seri ini adalah mereka bicara begitu banyak sebagai kera, sehingga melupakan karakter manusianya. Tokoh manusia tidak dibuat semenarik Caesar dan kawan-kawan. Setiap kali film membawa kita ke posisi tokohnya James Franco atau tokohnya Jason Clarke, kita pengen cepet-cepet pindah kembali ke Caesar, yang selalu menjadi inti cerita. Dalam film ini, kita setidaknya dapat tiga tokoh manusia yang diolah dengan menarik. Terutama tokohnya Woody Harrelson yang awalnya terlihat komikal sebagai Kolonel keji yang menyerang rumah Caesar. Ada kedalaman di dalam tokoh ini.  Kolonel adalah cerminan seperti apa jadinya Caesar jika dia terjerumus ke dalam lubang kesalahan yang sama. Kedua orang ini adalah pemimpin yang sama-sama menderita oleh pengorbanan dan kehilangan, jadi mereka ingin memastikan kelompoknya tidak lagi mengalami hal tersebut.  Ada gagasan tentang trait pemimpin yang juga dibahas oleh film ini secara subtil lewat dinamika Caesar dan Kolonel.

Dan tentu saja simbolisme. Kolonel menangkap dan memperbudak kera-kera di markas pasukannya yang dibuat mirip banget ama markas pasukan holocaust. Pasukannya bahkan punya chant khusus segala. In fact, ada banyak imaji holocaust dalam film ini. Sejalan dengan itu, masalah kedua film-film Apes ini adalah terlalu banyak dialog eksposisi, terutama Dawn (2014) tuh, banyak banget.  Dalam film War, penulis tampaknya menyadari hal ini, dan mereka membuang semua penjelasan, kecuali pada satu sekuen di mana Caesar dan Kolonel  ngobrol tegang membahas apa yang terjadi di masa lalu.

kera saktiii, membuat semua orang menjadi gempar

 

Aku sudah dibuat ternganga semenjak tembakan pertama berdesing. Ada begitu banyak sekuens dalam film ini yang membuat aku takjub hanya dari sudut pandang filmmakingnya. Arahan Matt Reevers membuat cerita menjadi sebuah perjalanan emosi yang suram namun sangat indah untuk diikuti. Sinematografi dan editingnya pun menyambung dengan mulus. Tidak ada momen yang terasa out-of-place ataupun sia-sia. Semua yang terjadi di sepuluh menit pertama basically ngeset-up segala yang kita butuhkan mengenai narasi dan film ini dan pada akhirnya akan terkonek sempurna dengan babak akhir. Untuk melengkapi pencapaian akting dan visualnya, departemen musik pun turut menyumbangkan peran yang begitu besar buat penceritaan. Suara dan musik eventually menjadi aspek yang penting sekali sebab ada banyak sekuens di mana tidak ada yang berbicara. Caesar memberikan isyarat kepada kera lain, mereka berkomunikasi diam-diam, dan yang kita punya untuk dipegang memang hanya penampilan, timing pengambilan gambar, dan musik. Juga ada momen yang ngebangun detik-detik balas dendam Caesar yang entirely senyap, jadi permainan musik dan desain suara begitu vital. Ditambah dengan penampilan Serkis, maka kita dapat the very definition of epic right there.

Musuh selalu mengintai  dari luar sana. Dan kekerasan manusia terhadap kera dalam film ini berfungsi sebagai metafora yang sangat pas terhadap keadaan kita dengan alam sekarang ini. Kita menjawab hal yang tidak kita tahu dengan ketakutan dan keinginan untuk mengontrolnya. Jadi kita merasa sebagai pemimpin dan berpikir berhak untuk membuang belas kasihan. Maka daripada itu, jika dibalik, siapkah manusia jika suatu saat nanti benar-benar muncul spesies yang lebih pintar untuk menggantikan posisi kita sebagai spesies alpha di muka bumi ini?

 

 

Salah besar jika kita masuk ke dalam studio, mengharapkan tontonan ringan yang ‘ceria’ oleh ledakan dan tembak-tembakan perang. Film ini begitu uncompromising sehingga menyebutnya fun sungguh sebuah typo yang disengaja. War digarap dengan unconventional. We do get a gigantic action scene, namun tidak bakal seperti yang kita bayangkan. Saat menonton pun, mungkin kita akan mulai berpikir, menebak-nebak ke mana arah cerita, you know, like, siapa akhirnya bakal melakukan apa, dan film ini tidak akan melakukan apa yang kita pikirkan. Narasi tidak memberikan jalan keluar gampang untuk karakter-karakternya. Film akan membuat mereka melakukan pilihan dan keputusan yang susah.

But also, film ini dengan berani mengambil resiko. Tone gelap itu berusaha mereka imbangi dengan sedikit suara ringan. Resiko ini datang dalam wujud kera botak yang menyebut dirinya “Bad Ape”. Tokoh ini adaah semacam komedik relief yang sebenarnya punya potensi untuk menghancurkan setiap adegan yang ada dianya dengan lelucon yang bikin nyengir. Sukur Alhamdulillah, film berhasil menemukan celah waktu dan kadar humor yang tepat, dan menurutku peran Steve Zahn ini menjelma menjadi salah satu kekuatan yang dipunya oleh film. Ada juga momen-momen manis yang datang dari tokoh gadis cilik bisu, yang salah-salah garap bisa saja hanya menjadi device nostalgia buat penggemar seri orisinil Planet of the Apes. Tetapi Nova oleh Amiah Miller begitu adorable, kehadirannya jadi simbol bunga di padang salju, eh salah, padang gurun, hmmm… medan perang, ding! Nova adalah harapan sekaligus bukti bahwa kedua spesies dapat hidup berdampingan.

 

 

 

 

Masterpiece ini bukan hanya tambahan yang hebat buat dua film sebelumnya, melainkan juga adalah sebuah penutup yang melengkapi trilogy ini dengan overaching plot yang sungguh-sungguh memuaskan. Setiap menit durasinya terasa sangat emosional dan riveting. Tidak ada dialog ataupun momen yang ‘salah’, kecuali satu kali mereka melakukan adegan eksposisi. Di luar itu, ini adalah cerita brutal tentang perang dan survival dan apa yang membuat pemimpin menjadi seorang pemimpin. Ini bukan blockbuster popcorn. Tetapi tak pelak, this was a beautiful experience. Penampilan aktingnya amazing semua, arahannya sangat riveting. Film ini adalah kasus langka di mana film ketiga menjadi film terbaik dalam trilogi tersebut. Dan juga adalah sebuah pengingat bahwa prekuel bisa kok menjadi sangat bagus jika digarap dengan sepenuh hati seperti ini. Explosive dan emosional, ini tak lagi sekedar khayalan gimana jika kera menguasai dunia. Ini sudah menjadi pembahasan mendalam apakah kita manusia, yang tidak berbelas kasih kepada alam, memang pantas untuk menjadi spesies penguasa dunia.
The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for WAR FOR THE PLANET OF THE APES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.