Ngepublish Mini Review Volume 18 ini, sebenarnya aku agak gak rela. Karena lihat saja film-filmnya, banyak di antaranya masih baru banget, dan banyak juga yang ingin aku bicarakan panjang lebar. Namun sekali lagi, waktu tidak berpihak padaku. Bulan Mei ini aku kembali harus menghabiskan banyak waktu di jalan, jadi yah, aku harus ikhlas menuliskan film-film keren ini dengan lebih singkat. Kalian yang sekiranya belum puas juga, boleh kok ngajak diskusi yang lebih panjang di kolom komen. Ketemuan di sana yaa, abis baca delapan ulasan ini:
BOY KILLS WORLD Review
Ngeliat posternya, jujur aku ngirain ini adaptasi dari game Double Dragon. Ternyata bukan. Meskipun memang, debut film panjang sutradara Moritz Mohr ini seperti mendapat inspirasi dari video game beat’em up dan fighting. Boy Kills World menceritakan pemuda yang ingin balas dendam kepada penguasa, yang telah membunuh ibu dan adiknya, jadilah dia mengarungi petualangan gebuk-gebukan, yang oleh film adegan berantemnya ditreatment kayak berantem di game, apalagi dengan banyaknya ‘boss fight’ yang harus dikalahkan di masing-masing stage alias tempat.
Boy Kills World memang banyak gaya. Salah satu gayanya adalah gak banyak bicara. Dan gaya tersebut mengembang menjadi gaya-gaya lain. Aku bisa mengerti kenapa Mohr bersandar pada gaya, atau katakanlah gimmick, seperti ini. Yaitu karena cerita berantem karena revenge ini udah sering. Monkey Man (2024) yang baru bulan lalu kureview aja contohnya, juga cerita anak yang jadi petarung demi balas dendam atas kematian ibu di tangan penguasa. Tapi tidak seperti Dev Patel yang punya akar galian berupa mitologi Hanoman dari budaya lokalnya, Mohr berusaha membuat Boy Kills World berbeda dari campuran banyak gaya/gimmick. Dia membuat Bill Skarsgard meranin pemuda yang tak banyak berdialog, melainkan lebih banyak berbicara kepada kita sebagai narator. Si Boy ini sudah lama tidak bicara dengan orang sehingga dia sendiri lupa ama suaranya, sehingga suara narator yang kita dengar adalah suara narator video game – karena main game adalah kenangan indah yang selalu diingatnya. Dan untuk menggambarkan si Boy bicara dengan dirinya sendiri, film membuat Boy ini sering ‘halu’ berinteraksi dengan sosok adiknya yang telah tewas saat kecil. Jadi fun nonton ini datang dari tingkah laku ‘ajaib’ si Boy alih-alih karakternya. Dari aksi-aksinya, alih-alih plot. Plot dan dunia film ini, sama tipisnya. Meski Mohr mati-matian berusaha supaya menarik. Salah satunya dengan mengambil elemen Hunger Games.
Oh iya, ada Yayan Ruhian juga.
Pilihan film ini untuk mendahulukan gimmick memang dengan segera terasa jadi ganjalan. Like, babak pertama yang harusnya mengset up relasi si Boy dengan Yayan, hanya ditampilkan berupa montase dan voice over narator yang panjang. Padahal kalo diadegankan secara biasa, dua karakter tersebut bisa terbangun dengan lebih baik. Yayan juga bisa kebagian dialog, enggak cuma kayak dicast buat adegan berantem doang. Apalagi relasi Boy dan dukun yang menyelamatkan dan mengajarinya berantem itu ternyata merupakan relasi kunci di akhir cerita. Sebuah film sah-sah saja memilih untuk karakternya sedikit bicara, banyak bergaya, namun tentu film itu sendiri harus tetap bicara tentang sesuatu.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BOY KILLS WORLD.
Sayangnya, ini bukan film terakhir di Volume ini yang irit ngomong dan actually gak bicara tentang apa-apa…
CHALLENGERS Review
Sementara itu, Challengers karya Luca Guadagnino is all about style. Film tenis yang not really bicara tentang tenis, tapi lebih ke bicara soal relationship. Seperti yang diucapkan oleh karakternya, tenis adalah relationship. Dan Luca, masterfully, merancang kisah romansa segitiga ini ke dalam dunia olahraga tenis. Bahkan kita sebagai penonton, akan dibuat sama seperti bola yang dipingpong (mau bilang ditenis, tapi kok ya janggal hhihi), melesat dari satu ‘pemain’ ke ‘pemain’ lain dalam artian literal maupun penggambaran. Literal karena memang ada adegan yang membuat kita berada dalam pov bola tenis yang melayang ke sana kemari, dipukul oleh dua pemain yang sedang saling mengkomunikasikan perasaannya lewat pukulan-pukulan penuh passion tersebut. Penggambaran, karena well…
Kita dipingpong oleh flashback. Challengers tidak diceritakan oleh Luca secara linear. Style-nya yang ingin memparalelkan semua ini ke dalam dunia tenis, membuat Luca bicara dengan bolak-balik. Kita melihat tiga karakter sentral di masa sekarang – dua di antaranya sedang bertarung di lapangan, sementara yang satu menonton di bangku depan – tidak tahu sebenarnya dia mendukung yang mana. Atau bagaimana mereka terhubung. Lalu film lompat ke 13 tahun lalu; lompat ke delapan tahun kemudian, balik ke masa kini, mundur lagi. Memang asyik cara Luca membuka siapa sebenarnya mereka, apa yang terjadi di antara mereka. Dua cowok itu ternyata sahabatan, satu tim, dan mereka sama-sama ‘mengidolakan’ si cewek. And that’s pretty much about it. Setiap lompatan flashback membuka informasi baru, membawa kita informasi satu lalu informasi berikutnya. Emosi kita memang ikut bergolak ke dalam asmara mereka, kita either bakal peduli sama satu karakter begitu terungkap seperti pasangannya lebih cinta ke siapa, atau kita gak peduli sama siapapun karena ya tiga-tiganya player – and they know it.
Inilah resiko yang diambil oleh Luca ketika memilih gaya bercerita pada film yang kini sudah begitu populer berkat potongan adegan bertiga dan adegan tenisnya. Karena hanya momen itulah yang akhirnya nempel. Gak lagi exactly tentang filmnya. Karena development karakternya – jika memang ada – tercacah oleh lompatan-lompatan waktu. Lompatan yang bukan dilakukan untuk membuka perkembangan, tetapi membuka kepada informasi ‘ternyata-ternyata’. Tiga karakternya adalah orang penuh passion yang enggak satu-dimensi, mereka berlapis, cuma kita tidak pernah stop begitu lama, tidak dibiarkan stay pada satu di antara mereka. Film ini tidak mengajak kita bermain bersama karakternya. Heck, kita bahkan tidak ‘menonton’ mereka bermain cinta. Ingat, di sini kita seperti bola yang dipingpong. Kita yang sedang dipermainkan. Dan sama seperti dipermainkan cinta, we all like it so much.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CHALLENGERS.
CIVIL WAR Review
Film kehancuran dunia bukan semata bahasan bencana alam ataupun zombie, film roadtrip bukan cuma soal bersenang-senang, dan film perang bukan cuma milik prajurit atau tentara. Begitu kira-kira gambaran Civil War dalam menjadi tidak biasa. Menilik kehancuran karena perang saudara, lewat sudut pandang jurnalis yang mempertaruhkan nyawa berkeliling mengejar titik kerusuhan untuk meliputnya dari jarak dekat. Lalu kemudian sutradara Alex Garland balik bertanya; Yakin, tentara dan jurnalis itu berbeda?
Ada semacam duality pada konsep dan cerita yang membuat film ini jadi menarik. Pertama-tama, tentu saja film ‘melaporkan’ susah dan bahayanya pekerjaan jurnalis dalam meliput perang. Untuk berada begitu dengan ancaman. Juga ada gambaran yang menyinggung perbedaan ‘kelas’ antara jurnalis tv dengan jurnalis media cetak. Pekerjaan mereka sangat dibutuhkan sebagai media yang mengabarkan keadaan dengan aktual, faktual, supaya orang percaya dan melihat kebenaran di tengah suasana sechaos perpecahan kubu dalam satu negara. Sebaliknya, untuk dapat melakukan kerjaan mulia itu, mereka membutuhkan nyali dan tekat dan stamina, dan moral? Apakah integritas di atas segalanya? Inilah yang memakan karakter Kirsten Dunst sebagai protagonis dari dalam. Sebagai jurnalis fotografi senior, dia telah banyak memotret dari dekat kejadian-kejadian mengerikan. Dia memotret orang terbakar, dari jarak yang sebenarnya bisa digunakannya untuk membantu si korban. Lee memang tidak pernah mengutarakan konflik internalnya, tapi dari sikap dan pandangannya kita mengerti. Melalui si Lee ini, film pun menarik paralel antara tentara yang membidikkan senapan dengan jurnalis yang membidikkan kamera.
Lalu ada karakternya Cailee Spaeny. Jesse. Jurnalis muda yang mengidolakan Lee, yang memaksa untuk ikut bersama rombongan Lee ke Gedung Putih mewawancarai Presiden. Duality yang lebih gamblang tercermin pada hubungan antara Lee dengan Jesse, karena cerita ini gak akan berjalan maksimal jika karakter Lee tidak diberikan ‘pasangan’. Tegangnya film memang bukan masalah karena sukses tergambar lewat pengadeganan aksi jurnalis membuntuti kecamuk perang berkat kamera dinamis dan editing konsep fotografi yang precise. Namun dramatisnya thriller distopia ini baru akan terasa jika kita melihat Jesse dan Lee sebagai cerminan yang berlawanan. Bagaimana seseorang yang tadinya polos dan naif, menjadi ‘keras’ dan seperti mati rasa karena tuntutan kerjaan membuatnya terbiasa melihat kekerasan dari dekat – bahkan mengalami kekerasan itu sendiri. Dan juga sebaliknya, gimana setangguh-tangguhnya orang, se-hardened apapun perasaan itu, pasti akan tergugah juga demi melihat penyimpangan kemanusiaan sebegitu lama, sebegitu dekat.
Sebagai salah satu film yang paling kuantisipasi tahun ini. Civil War tidak mengecewakan. Bahkan shot-shotnya saja bisa demikian tak akan segera terlupakan. Buat kalian penggemar film dan pengen merasakan lebih banyak perbedaan storytelling, kalian bisa coba bandingkan adegan Cailee Spaeny dalam lubang mayat di film ini dengan adegan Kathryn Newton dalam kolam mayat di film Abigail (2024). Kalian bisa sampaikan pandangan kalian di komen, yaa
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CIVIL WAR.
GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE Review
Aku butuh satu film lagi buat melengkapkan Volume ini jadi delapan-film. Who do I gonna call? Ghostbusters!! Haha, engga ding. Sebaliknya, aku udah nonton film sedari rilisnya Maret lalu, tapi selalu terundur-undur ulasannya. Spotnya selalu tergugurkan oleh film lain. Penyebabnya satu; walau sekuel Ghostbusters modern ini fun, tapi film ini terasa kurang urgent. Apalagi di masa yang udah sumpek oleh revival franchise yang sebenarnya kekuatan utamanya pada curi-curi memerah nostalgia.
Terkait nostalgia act, film ini bermain hormat dan punya caranya tersendiri. Cast lama (baca: legend!) disatukan jadi tim bareng cast baru. Film berhasil membuat mereka tidak tampak awkward ataupun mencuri spotlight. Frozen Empire tetap mendevelop cerita dari karakter baru. Phoebe yang diperankan oleh McKenna Grace menyetir film dengan arc yang benar terasa modern dan berdiri sendiri. Untuk melengkapi karakternya itu, film ini menciptakan hal yang kalo aku gak salah ingat, belum pernah ada di Ghostbusters sebelumnya. Yakni karakter hantu yang full ter-flesh out sebagai jiwa manusia yang tertinggal di bumi. Hubungan mereka mengangkat film ini, ngasih bobot drama. Sehingga film ini bukan sekadar petualangan menangkap hantu.
Namun di situ jugalah masalahnya. Gil Kenan, yang menulis skenario di film sebelumnya, kini duduk juga di kursi sutradara. Dan dia tersandung masalah yang sama, yang seringkali kita temui pada film setiap kali yang tadinya penulis skenario, sekarang juga menyutradarai ceritanya; Cerita tersebut cenderung menjadi penuh sesak. Frozen Empire either lebih baik dijadikan serial, atau ya pembuatnya harus ‘rela’ ngetrim cerita supaya lebih lugas dan tidak terasa berjubel baik itu oleh karakter, subplot, ataupun adegan-adegan hiasan atau hiburan. Karena begitu padatnya inilah, keurgenan film jadi tidak mencuat.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE.
MONSTER Review
Kesamaan karya Rako Prijanto ini dengan buatan Kore-eda hanya sebatas pada judul dan karakternya anak-anak. Selain itu, sebaiknya jangan dibandingkan. Monster buatan Rako adalah thriller yang menempatkan anak kecil di lokasi tertutup, untuk bermain kucing-kucingan nyawa dengan orang jahat sindikat pembunuh dan penyiksa anak-anak. Gimmicknya adalah tanpa dialog, dan film ini sendirinya actually memang tidak bicara apa-apa di balik tujuan genrenya.
Ya, of course kita akan peduli dan ikut khawatir sama keselamatan karakter utamanya. Siapa yang tidak kasihan melihat anak berseragam pramuka SD tersebut memutar otak untuk menyelamatkan bukan saja dirinya sendiri, tapi juga teman yang disekap – againts orang dewasa bersenjata tajam. Dalam lingkup genrenya sendiri saja, hal tersebut adalah hal paling mudah yang bisa dilakukan seorang pembuat film. Meniadakan dialog sekilas tampak seperti creative choice, tapi jatohnya jadi kayak males saat film ini tidak punya lapisan apa-apa. Kita bahkan tidak kenal karakternya. Sehingga durasinya yang 80menitan itupun jadi terasa bahkan lebih panjang daripada durasi Ghostbusters barusan – yang dikritik kepanjangan oleh banyak pengulas. Isinya ya dragging aja, si anak sembunyi, ketahuan, struggle, kabur untuk sembunyi lagi, on repeat. Satu-satunya momen yang bikin melek adalah ketika mbak Marsha Timothy dapat The Shining moment versi dirinya sendiri. Udah.
Selain itu, yang bikin kita ikhlas nonton sampai habis adalah demi mengapresiasi akting Anantya Kirana. Film ini bersandar pada akting ketakutan dan survivalnya (eventho naskah – yang ternyata ditulis tiga orang – terus saja membuat protagonis utama kita ini khas karakter dalam horor yang pilihan aksinya blo’on)
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for Rako Prijanto’s MONSTER.
THE FALL GUY Review
Based on action tv series 80’s, The Fall Guy dari luar memang heboh oleh adegan-adegan aksi stunt yang bisa dibilang over the top, tapi on the inside, sutradara David Leitch ngambil kebebasan ngembangin cerita dan dia memilih rute komedi romantis. Hasilnya, wuih The Fall Guy jadi salah satu film paling sukses menghibur kita tahun ini. Sebab Leitch menemukan cara yang sungguh brilian dalam menggodok semuanya.
Ryan Gosling dan Emily Blunt jadi pasangan yang tak biasa. Gosling adalah Colt, seorang stuntman film blockbuster yang sempat hengkang dari industri karena kecelakaan saat stunt, dan Blunt adalah Jody, juru kamera yang kini jadi sutradara film distopia luar angkasa (bayangkan Mad Max digabung Star Wars) Relationship mereka jadi hati, karena alasan satu-satunya Colt mau diminta balik jadi stuntman karena itu adalah filmnya Jody. Tapi Jody belum siap dengan ‘kejutan’ tersebut. Jadilah kita mendapat banyak sekali adegan awkward-bagi-mereka, kocak-bagi-kita saat Jody terus-terusan ngetake ulang adegan berbahaya yang dilakukan Colt karena she doesn’t feel it right. Yang berujung pada keduanya membahas cerita film – yang sebenarnya paralel ama kehidupan cinta mereka – over loudspeaker, di tengah syuting, di depan semua kru. Keadaan sebenarnya jauh lebih pelik, karena Colt juga diminta untuk menemukan aktor utama di film tersebut yang – tidak diketahui oleh Jody dan kru lain – menghilang secara misterius. Dari sinilah, adegan-adegan action seru yang sebagian besar dilakukan oleh Gosling sendiri, bisa terjadi. Sehingga walaupun di awal, film agak terseok dalam usaha memunculkan konflik, setelahnya film melaju mulus. Naskah gak punya masalah dalam melakukan transisi antara Colt yang bereaksi terhadap misi yang tak ia mengerti betul dengan pilihan-pilihan Colt demi film yayangnya sukses.
Kayaknya untuk urusan adegan action, kalian bisa bayangin sendirilah. Leitch sendiri berasal dari seorang stuntman. Selain ngerti banyak soal cara menangkap adegan aksi yang seru, dia juga begitu paham sama dunia stunt itu sendiri. Makanya, di balik itu rom-com dan aksi itu, Leitch punya misi mulia. Film yang konsepnya film dalam film ini ia gunakan sebagai komentar meta terhadap bidang kerjaan yang fungsinya penting dalam sinema ini. Gimana suka duka kerjaan sebagai stunt. Gimana posisi mereka terhadap aktor yang mereka ‘gantikan’. Gimana kerjaan seberbahaya dan sepenting ini belum ada ganjaran awardnya. Semua itu dilakukan dalam nada ringan yang menyokong kepada kocaknya komedi film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for THE FALL GUY.
THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE Review
Basically, mereka adalah preman. Untungnya yang mereka basmi bukan pemuda-pemuda yang dikambinghitamkan sebagai PKI. Tapi beneran prajurit Nazi. Sehingga nontonnya seru dan fun. Kelewat fun, malah. Guy Ritchie sukses menghasilkan adegan-adegan pembantaian yang sadis tapi stylish. Namun, film yang sepertinya juga terinspirasi dari Akira Kurosawa’s Seven Samurai ini (hitunglah, mereka tujuh preman bawahan pemerintah!) lupa memasukkan sisi yang bisa jadi kelemahan ataupun obstacle berarti bagi karakternya. Stake dan resiko justru adanya pada Winston Churchil sebagai orang yang memerintahkan mereka. Hanya saja, stakenya not really about life and death – tidak sejalan dengan aksi dan bahaya yang jadi sajian utama.
Mulai dari aksi pura-pura saat ketahuan patroli Nazi hingga ke aksi infiltrasi ke kamp-kamp dan kota pelabuhan, bahkan ketika rencana mereka mendadak berubah dan harus mencuri kapal alih-alih meledakkannya, tim yang dipimpin oleh Henry Cavill tidak pernah punya kesulitan yang berarti. Mereka semua jago dalam bidang masing-masing. Mereka selalu menemukan cara. Tidak pernah ada momen dalam film ini yang kita merasa khawatir sama keselamatan atau keberhasilan mereka. Kapten Nazi yang sepertinya pintar, tidak lengah, dan paling galak – yang sepertinya dibuild up untuk jadi final boss – saja ujungnya kalah begitu saja oleh anggota tim yang terlihat paling vulnerable. Sehingga nonton film ini jadinya lempeng aja. Fun, seru, tapi ya lempeng. Tidak ada gejolak emosi di sana-sini.
Karakternya yang satu tim itu bahkan tidak punya momen saling berantem, atau berdebat, atau ada percikan trust issue atau semacamnya. Benar-benar film ini tidak ada tantangan berarti sama sekali. Tidak ada konflik, kalo boleh dibilang. Kita hanya menyaksikan orang-orang super kompeten melaksanakan tugas ilegal mereka, dengan overcoming all the odds yang tidak benar-benar tampak seperti odds bagi mereka.
The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for THE MINISTRY OF UNGENTLEMANLY WARFARE.
TUHAN, IZINKAN AKU BERDOSA Review
Sebelumnya, izinkan aku mengutarakan rasa skeptis yang sempat terbit di hati; begitu baca bukunya (Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur), aku ngerasa ragu cerita ini cocok ditangani oleh Hanung Bramantyo. Walau memang topik kontroversialnya Hanung banget, tapi penceritaan Kiran di buku lebih ke arah kontemplatif. Dia lebih banyak berdialog di dalam kepalanya sendiri – menuntut Tuhan. Penceritaan yang sepertinya bukan ranah Hanung yang terkenal jagonya dalam konflik-konflik ke luar yang dramatis. Tapi aku salah. Satu yang aku lupa dari mas Hanung; bahwa dia adalah satu dari sedikit sekali sutradara yang aktif saat ini yang berani mengeluarkan visi. Yang berani mengadaptasi secara benar-benar, dalam artian gak harus mengikuti sumbernya. Maka itulah rasa skeptis itu aku tinggalkan saat menonton. Karena ternyata Hanung benar-benar mengubah banyak hal – bukan hanya judul. Penceritaan, karakter, alur, dan vibe cerita ini, ia ambil dan jadikan sesuai dengan kekhasan dan kepiawaian dirinya.
Karakternya, Kiran bakal bisa jadi sobat akrab si Sita di film Siksa Kubur (2024). Karena Kiran juga adalah perempuan yang merasa dikecewakan, ditelantarkan oleh agama yang tidak lagi ia percaya ajarannya karena melihat kelakuan orang-orang di sekitarnya yang mengaku penganut taat. Hanya, langkah yang diambil Kiran berikutnya sedikit lebih logis daripada Sita. Kayak anak kecil yang marah sama ortunya, Kiran ngambek. Pundung. Manggok. Yang tadinya alim, Kiran jadi ogah beribadah. Dia malah menceburkan diri ke pergaulan bebas, sampai akhirnya mau untuk ikut permainan dosennya yang ternyata germo. Kiran mau karena dia punya suatu maksud. Film ini mengenakan kontroversi tanpa malu-malu. ini menjadikannya sungguh sebuah film yang menantang. Misalnya, Hanung mengontraskan gimana cara berpakaian Kiran yang alim dengan saat dia sudah bandel – dan itu dilakukannya dengan sama-sama masih mengenakan atribut agama. Aghininy Haque pun menaikkan level aktingnya, kini dia sudah bisa bermain di akting suara, bukan hanya postur dan gestur. Sehingga terasa sekali perbedaan antara Kiran yang dulu dengan yang sekarang.
Ngomong kembali soal perbedaan. Yes, Hanung took this story and make it his own, successfully and masterfully. Meskipun kalo mau dibandingkan, aku lebih suka versi buku dibandingkan versi film. Kiran versi buku lebih ‘dingin’, misinya untuk mengekspos kelemahan lelaki – dan ia menemukan itu setiap kali para lelaki selesai tidur dengan dirinya. Penceritaan di buku mengambil sisi dramatis dari transformasi, atau katakanlah degradasi, Kiran. Saat menonton film ini, aku bingung karena Hanung tidak tampak mengincar hal serupa. Kisah Kiran tidak diceritakan linear, melainkan seperti Challengers tadi. Banyak bolak-balik antara Kinan dulu dengan Kinan sekarang. Yang aku takutkan adalah kita gak akan bisa merasakan dramatisnya kejatuhan Kiran menjadi pendosa, karena sedari awal kita sudah diperlihatkan Kiran yang sekarang sikapnya sudah begitu. Tapi sekali lagi aku lupa. Hanung sudah membentuk ulang cerita ini sehingga dramatisasinya bukan lagi dari transformasi. Lupa bahwa Hanung adalah sutradara yang bisa membuat instan dramatisasi dari dua atau satu momen saja. Dan memang itulah yang dilakukannya. Kiran menantang Tuhan di atas gunung. Petir menggelegar, DHUAR!! Selesailah sudah kekhawatiranku.
Karena setelah itu aku merasakan film ini berjalan di rodanya sendiri. Kiran di film banyak berkonflik langsung dengan karakter lain. Bentukannya dari khas auteur lelaki mengapproach cerita ini, yaitu Kiran menjadi victim di dunia yang dikuasai laki-laki. Kiran mengalami banyak siksa dunia – bukan siksa kubur seperti Sita – sebelum akhirnya dia sadar dan gain strength dari pengetahuannya bahwa para lelaki itu munafik dan tidak lebih kuat darinya. Kiran menunjukkan pengabdiannya kepada Tuhan dengan caranya sendiri. Mengekspos kemunafikan di dunia.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TUHAN, IZINKAN AKU BERDOSA.
That’s all we have for now
Wah sepertinya ini menjadi mini review terpanjang ya hihihi!
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA