• Home
  • About
  • Movies
    • [Reader’s Neatpick] – FLIPPED (2010) Review
    • CHAOS WALKING Review
    • TERSANJUNG: THE MOVIE Review
    • GODZILLA VS. KONG Review
    • THE FATHER Review
    • ZACK SNYDER’S JUSTICE LEAGUE Review
    • CHERRY Review
    • THE MAURITANIAN Review
    • RAYA AND THE LAST DRAGON Review
    • FLORA & ULYSSES Review
    • TOM AND JERRY Review
    • I CARE A LOT Review
    • STAND BY ME DORAEMON 2 Review
    • WRONG TURN Review
    • MONSTER HUNTER Review
    • JUDAS AND THE BLACK MESSIAH Review
    • MALCOLM & MARIE Review
    • DON’T TELL A SOUL Review
    • EARWIG AND THE WITCH Review
    • ALL MY FRIENDS ARE DEAD Review
    • SAINT MAUD Review
    • THE LITTLE THINGS Review
    • JUNE & KOPI Review
    • AFFLICTION Review
    • PIECES OF A WOMAN Review
    • ONE NIGHT IN MIAMI Review
  • Wrestling
    • WrestleMania 37 -Night II Review
    • WrestleMania 37 -Night I Review
    • Fastlane 2021 Review
    • Elimination Chamber 2021 Review
    • Royal Rumble 2021 Review
    • TLC: Tables, Ladders, and Chairs 2020 Review
    • Survivor Series 2020 Review
    • Hell in a Cell 2020 Review
    • Gold Rush: Clash of Champions 2020 Review
    • SummerSlam 2020 Review
    • The Horror Show at Extreme Rules (Extreme Rules 2020) Review
    • Backlash 2020 Review
    • Money in the Bank 2020 Review
  • Books
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards CLOUD9
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: true story

GREEN BOOK Review

08 Tuesday Jan 2019

Posted by arya in Movies

≈ 10 Comments

Tags

2018, 2019, action, awards, biography, comedy, drama, funny, real people, review, spoiler, thought, true story

“Get to know someone who doesn’t come from your social class; this is how you see the world”

 

 

Green Book, cerita berdasarkan kisah nyata, dihadirkan dengan gaya yang ringan rupanya bertindak seperti lampu hijau; membiarkan potret-potret intoleran tahun 60an itu masuk ke tengah-tengah masyarakat yang lebih luas. Supaya semakin banyak orang dapat berkaca, memperbaiki cara pandang diri terhadap sempitnya pandang dan pergaulan. Mungkin dirinya bukan pendekatan yang serius, namun kita bisa beragumen mungkin saja ini adalah salah satu cara yang efektif untuk mengobati kerasisan dan menyembuhkan prasangka.

Judul film ini merujuk kepada istilah brosur travel perjalanan yang dikeluarkan khusus untuk pelancong penduduk kulit hitam sehingga mereka bisa mencari tempat-tempat singgah yang ‘bersahabat’, yang mengizinkan mereka masuk dan mendapat pelayanan, selama bepergian jauh. Zaman dulu boleh jadi belum ada aplikasi yang menyajikan info hotel dan penginapan yang lengkap sampai ke harga-harganya seperti sekarang, jadi kita mungkin tak-begitu mengerti urgensi ataupun uniknya si brosur itu sendiri. Tapi kita tidak bisa mengatakan hal yang sama terhadap perilaku-perilaku dan prasangka yang ingin ditunjukkan sebagian besar orang kepada minoritas, zaman dulu ama zaman sekarang – masih relevan, walaupun dalam kadar terang-terangan yang berbeda. Green Book ingin memperlihatkan kembali masalah serius yang dihadapi oleh orang kulit hitam, dan untuk itu ia menjelma menjadi bentuk-bentuk penceritaan yang sudah acap kita lihat. Film ini adalah film road trip, film dua tokoh yang begitu kontras yang nantinya menyadari bahwa mereka sebenarnya ‘sama’, ini juga adalah film musik, sekaligus film natal.

Orang bilang, salah satu penyebab perjalanan menjadi menyenangkan adalah siapa yang menemani kita dalam perjalanan tersebut. Dan yang benar-benar bikin Green Book menjadi perjalanan yang menyenangkan ialah karena kita ditemani oleh dua penampilan yang sama-sama luar biasa.

 

Memutar balikkan peran kulit putih dengan kulit hitam pada era di mana si kulit hitam tidak sepantasnya memakai kamar kecil yang sama dengan kulit putih, Green Book sudah menjanjikan dinamika yang menarik. Tokoh utama kita adalah Tony “Lip” Vallelonga. Sekali lagi Viggo Mortensen membuktikan kepandaiannya melebur ke dalam tokoh yang ia perankan. Tiga-puluh pound bobot yang ia tambahkan ke tubuhnya itu belum apa-apa dibandingkan bagaimana dia membuat Tony yang orang italia itu menjadi seperti tokoh kartun berjalan. Dia melipat pizza satu loyang dan memakannya bulat-bulat begitu saja sebagai snack tengah malam, dia selalu ngobrol dengan ceplas-ceplos dengan aksen yang kental, dia mukulin orang-orang kalo diperlukan. Bukan sembarang saja dia dijuluki Tony Lip. Mulut adalah ‘senjata utama’ Tony. Sebagian besar adegannya adalah jika tidak sedang makan, dia pasti mengoceh. Dia membanggakan diri sebagai bullshitter ulung; bahkan dirinya sendiri percaya pada bualan yang ia lontarkan. Tony mencari nafkah dengan keunggulannya tersebut, “sebagai public-relation” katanya. Tony lantas mendapat kerjaan menyupiri seorang pemusik bernama Don Shirley. Seorang yang ternyata diperankan oleh Mahershala Ali, seorang yang ternyata ras kulit hitam; yang dipandang sebelah mata oleh Tony dan keluarganya. Beberapa adegan sebelum Tony bertemu Shirley, kita melihat Tony membuang gelas bekas air minum dua tukang reparasi westafel yang datang ke rumahnya. Dan sekarang, demi uang, Tony harus belajar menahan diri, dia harus meyakinkan dirinya sendiri untuk belajar menghormati Shirley sampai konser keliling si pemusik beres sebelum malam natal.

Seperti melihat Fat Tony, mafioso di The Simpsons, bagi-bagikan permen

 

Cerita yang disajikan memang gampang tertebak. Kita akan melihat gimana sikap Tony melihat perlakuan orang-orang kepada Shirley, mulai dari mereka yang mengundang Shirley untuk nampil – Shirley dipuja namun tetap didiskreditkan sebagai manusia di belakang panggung, hingga ke ‘orang-orang’ Shirley sendiri. Kita sudah bisa memastikan Tony dan Shirley yang kaku akan menjadi dekat satu sama lain. Namun interaksi antara kedua tokoh inilah yang membuat film begitu menyenangkan. Bagaimana mereka saling masuk ke dalam pikiran masing-masing. Bagaimana mereka saling mempengaruhi. Adegan paling kocak buatku adalah ketika Tony membujuk Shirley untuk memakan ayam KFC. Tony terkejut sekali mendengar Shirley enggak suka makan ayam goreng, “ini kan makanan kalian” herannya mengimplikasikan sudut pandang sempitnya terhadap ras. Kita melihat Shirley, yang sepanjang hidupnya terjebak di antara bangga-dengan-ras dan tidak-mau-distereotipekan, ‘malu-malu kucing’ untuk mencoba ayam yang diacungkan Tony tepat di bawah batang hidungnya. Seolah belum cukup dinamis, adegan itu berlangsung di jalanan, selagi Tony mengemudi. Sebagai komedi, adegan tersebut juga punya punchline yang sangat kocak. Aku tantang kalian untuk tidak tertawa menyaksikannya hhihi

Sekilas memang tampak seperti pilihan yang aneh. Kenapa film memilih karakter yang lebih komikal sebagai tokoh utama. Bukankah menjadikan Shirley (later, Tony lebih nyaman menyebut tokoh ini dengan “Doc” saja) yang punya konflik inner yang lebih dalem, yang mesti berhadapan dengan situasi yang mengecilkan sebagai minoritas, seketika akan membuat cerita menjadi lebih mengundang simpati? Karena film ingin langsung mendudukkan kita di posisi ‘pelaku’; supir, seperti Tony, as to speak. Bahwa kondisi penuh prejudice itu, kita yang menciptakan. Kritikus film NBC, Jenni Miller menuliskan bahwa film ini dibuat oleh white people untuk white people. Tulisan tersebut diniatkan sebagai kritikan olehnya, namun bagiku; aku setuju tapi bukan sebagai kritikan. Toh film cukup bijak memperlihatkan dua tokoh kita bergantian menyelamatkan ‘nyawa’ masing-masing. Melainkan sebagai pencapaian yang didapatkan oleh film lewat keputusan yang diambil.

Karena menurutku, salah satu tema besar yang diangkat oleh film ini adalah tentang bagaimana pandangan yang kita punya bisa muncul dari diri kita. Bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Ada satu kalimat yang diucapkan oleh Tony kepada Shirley yang menjadi kunci dalam permasalahan ini, “Ada terlalu banyak kesepian di dunia karena mereka enggak berani untuk memulai duluan” Kalimat tersebut dengan tepat menyimpulkan arc Shirley dan Tony, makanya bagian ending film ini terasa begitu menyentuh. Bahwa terkadang kita tidak berani untuk bergerak sendiri; perhatikan betapa gembira Shirley main musik bersama ‘orang-orang’nya di sebuah klub jazz, dan sebagai kontrasnya perhatikan betapa kosongnya yang dirasakan Tony di tengah-tengah perayaan natal bersama keluarga besarnya.  Kita akan segera sampai pada satu pemahaman bahwa sikap rasis yang dimiliki Tony tidak murni berasal dari kebencian. Dan mungkin, film ini ingin menyampaikan, begitu juga yang terjadi di luar sana. Perasaan kolektif kita sebagai bagian dari society yang membuat kita mengambil tindakan, mengambil sisi yang sebenarnya sama sekali tidak kita rasakan. Buat Shirley, ini berarti kesendirian – karena dia juga ikut ‘terwarna’ oleh pandangan putih-putih di sekitarnya, yang membuat dia enggan nyampur dengan warnanya sendiri.

Kadang memang cuma itulah yang kita perlukan. Meluaskan pergaulan. Berkumpul selalu dengan orang-orang yang sama, yang pandangannya itu-itu melulu, membatasi jarak pandang. Kita butuh untuk memperluasnya. Berinteraksi dengan pihak yang kita sangka berseberangan. Keputusan Tony mengambil pekerjaan dari Shirley tak pelak adalah keputusan paling penting yang pernah ia ambil selama hidupnya, sebab ia membuka jalan bagi dirinya untuk berhubungan langsung dengan yang selama ini ia sangka ia benci.

 

 

 

Dalam setiap kesempatan, film akan menghadiahi kita dengan kepuasan. Memberikan harapan bahwa kemanusiaan itu bukan fiksi – dua orang di mobil yang bersedia membuka hati dan saling menghormati akan membuat keindahan di dunia. Dan dua orang ini bener ada di dunia. Penampilan kedua aktornya sama-sama pantas untuk diganjar Oscar. Gaya komedi, bahkan penulisan yang kadang nyaris menyerempet garis ‘kartun’ sama sekali tidak mengurangi bobot dan nilai-nilai yang diusung oleh cerita. Kalo kekurangan, aku pribadi sebenarnya kurang setuju dengan banyaknya trope-trope yang dipakai, namun film memang menjadikan crowd-pleaser sebagai garis finishnya. Dan mereka berhasil. Jadi yang bisa kubilang cuma, resikonya terbayar lunas.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for GREEN BOOK.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Coba tengok lingkaran sosial kita masing-masing. Ada gak sih kita gaul ama yang bukan dari kalangan kita? Berapa banyak teman kita yang lebih tua dari kita?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

BUNDA: KISAH CINTA 2 KODI Review

08 Thursday Feb 2018

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2018, adaptation, drama, family, gadis sampul, life, love, novel, relationships, review, spoiler, thought, true story

“…at ease in your own shell.”

 

 

Uang menciptakan begitu banyak guncangan powerplay, meski kita lebih suka untuk enggak mengakuinya. Keluarga jaman sekarang bisa saja lebih terbuka soal istri yang ikutan bekerja mencari nafkah, dan bahkan punya penghasilan yang lebih gede dari suami, namun tetap saja tensi psikilogis itu tetap ada. Karena manusia secara naluriah makhluk yang kompetitif. Teratur, namun kompetitif. Dan lagi, kita sudah terbiasa dengan aturan ‘cowok berburu, cewek bebersih gua’ sejak jaman batu. Makanya ketika proyek Fahrul dicancel meninggalkan posisi penanggung jawab keuangan kosong, yang segera diambil alih sang istri – Ika , rumah tangga mereka mulai gonjang-ganjing.

Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi tidak malu-malu memperlihatkan keluarga yang harmonis bisa berubah menjadi enggak enak ketika powerplay itu keganggu. Namun demikian, film juga tidak gegabah mengajarkan mana yang lebih baik. Malahan, film ini dalam kapasitas drama keluarganya yang menghangatkan, akan menyentuh lembut pundak kita. Mengingatkan dengan halus apa yang membuat kita bekerja sedari awal – untuk kebahagiaan siapa. Apa yang terpenting dalam sebuah keluarga. Film ini juga bekerja dengan lumayan efektif dalam menginspirasi, bukan hanya ibu-ibu rumah tangga, melainkan juga bagi kita-kita yang pengen berusaha mandiri yang mungkin ragu-ragu, takut gagal, atau malah karena ada yang ngelarang. Aku memang baru mendengar nama Bunda Tika dan Keke Collectionnya dari film ini, tapi aku jadi lumayan tertarik mengikuti perkembangan bisnis konveksi pakaian muslim anak-anaknya, gimana dia membuat dan memasarkan produknya tersebut, lantaran film menggunakan beberapa layer dalam bercerita, dan actually punya konflik yang gampang direlasikan.

misalnya, setiap terima rapor aku juga selalu kena marah orangtua

 

Meskipun dinarasikan oleh tokoh Fahrul, namun tokoh utama film ini hampir terasa seperti Tika sebab memang tokoh wanita ini lebih menarik. Film cukup bijak dengan membuat tokoh yang diperankan Ario Bayu tersebut tidak completely kayak kertas kosong. Fahrul masih punya karakter, dia masih melakukan berbagai keputusan, kita diberikan kesempatan untuk masuk ke dalam kepalanya. Aku jadi bisa melihat kenapa Acha Septriasa tertarik untuk memainkan Bunda Tika; tokoh ini memang lumayan kompleks dan merupakan peran yang menantang karena Acha dituntut untuk bersikap intens, range emosinya benar-benar seketika bisa melompat jauh di sini.  Tika adalah pribadi yang sangat driven, kontras dengan suaminya yang lebih ke family man baek-baek. Konflik di awal cerita mungkin diniatkan untuk melandaskan, membuat kita memaklumi, kenapa Tika bisa bersikap begitu insecure  nyaris sepanjang waktu. Dia begitu ingin berhasil sehingga setiap tindak gak pede, setiap usaha yang gak maksimal, akan sangat mengganggu dirinya.

I do find it’s riveting. Alih-alih enggak konsisten, ketika Tika mengatakan kepada anak-anaknya mereka boleh sekolah sejauh apapun yang mereka mau, tetapi di lain pihak dia melarang kedua putri kecilnya tersebut untuk tidak membuka satu pintu di rumah mereka tanpa seizinnya. Aku juga mendapati bagaimana strategi bisnis andalan Tika adalah “Kita coba aja dulu” sebagai sesuatu yang optimis sekaligus sedikit lucu. Maksudku, mungkin ini karena diceritakan dari sudut pandang Fahrul, maka kita turut melihat tindak-tanduk Tika sebagai sesuatu yang kinda ekstrim. Kita enggak pernah benar-benar paham maksud hati wanita ini. Seperti ketika mereka lagi makan malam setelah malam sebelumnya salah satu anaknya melanggar larangan; membuat Tika marah besar. Si anak mencoba untuk meminta maaf, dan Tika bilang dengan senyum dia sudah lupa ada kejadian apa. Konteks cerita di titik ini membuat adegan tersebut punya arti mendua; apakah ini berarti Tika sudah memaafkan anaknya, atau dia hanya lagi girang aja tadi siang baru dapet projek di Jakarta Kids Fashion Week.

Salah satu elemen terbaik yang dipunya oleh film adalah gimana mereka menuliskan karakter anak Tika yang paling gede. Sayangnya elemen ini kurang mendapat pengembangan. Karakter anaknya masih sama seperti pada trope-trope drama keluarga kebanyakan; anak yang distant dengan ibunya. Menurutku film masih kurang pede meletakkan lebih banyak tugas emosi dan cerita kepada tokoh anak-anak. Padahal si anak ini udah punya sesuatu yang beda yang ia lakukan. Anak Tika ini suka ngumpet di kolong tempat tidur. Dia suka tiduran di bawah sana sambil menggambar keluarganya  pada papan ranjang di atas. Dia memelihara keong (atau umang-umang gede?) dalam toples yang ia beri label anggota keluarga yang lain. Anak ini sebenarnya menambah banyak kepada bobot cerita, aku ingin melihat bagaimana dia dealing with sikap mamanya lebih banyak, ingin melihat kebiasaan-kebiasaanya lebih sering. Dan actually keong – dan juga kereta api – punya peran yang penting. Padahal tadinya aku pikir bahwa keong itu cuma dijadikan lucu-lucuan, saat Fahrul dan Tika pertama kali ketemu di dalam kereta api, Fahrul just so happened membawa keong di dalam kantongnya. Ternyata aku salah. Keong menjadikan film ini unik.

malahan kupikir kostum yang mereka pakai di runway ntar bakal mirip rumah keong haha

 

 

Bisa dibilang film menggunakan keong sebagai metafora buat para tokoh sentral. Tika menyangka dia adalah keong yang diberikan rumah. Di pihak lain, tanpa disadarinya, Tika adalah rumah keong terindah bagi anak-anak dan suami ‘keong’nya. Dan di akhir cerita keong-keong itu pulang ke rumah mereka masing-masing. Begitu juga dengan kita; punya ‘rumah personal sendiri’ tempat kita berpulang, berlindung, berkasih sayang. Ini bukan lagi semata tentang membangun rumah, melainkan bagaimana cara pulang ke sana.

 

Dalam film ini kita akan melihat gimana Tika berbagi tugas dengan ibu-ibu yang lain dalam menyelesaikan pesenan. Dan unfortunately seperti itu jugalah penulisan film ini terasa. Kayak para penulisnya dibagikan bagian masing-masing, terus baru digabung begitu saja. Tentu saja ‘tuduhan’ku ini juga menyasar kepada editing yang menurutku tidak benar-benar berhasil mengantarkan cerita dengan flow yang maksimal. Terutama di paruh awal. Terasa seperti kita diloncat-loncat ke bagian yang ada konfliknya, hanya untuk menunjukkan konflik itu ada, tanpa dibuild up ataupun juga diselesaikan dengan baik dan memuaskan. Ada bagian ketika Tika yang baru mulai usaha diminta menyelesaikan 1000 baju dalam seminggu; ini konflik, kita diperlihatkan, namun penyelesaiannya dihajar dengan menggunakan montase. Seharusnya adegan Tika bonding dengan ibu-ibu yang lain, bagaimana mereka mencari orang, mengusahakan misi ala Roro Jonggrang ini, dilakukan dengan lebih on-the-point. Tone cerita di sepuluh menit pertama juga tercampur tidak rata; kita dilihatkan animasi lucu  dengan suasana ceria, untuk kemudian dilanjut ke konflik gede yang actually crucial untuk cerita, dan aku seperti “whoaaa, tunggu dulu, aku belum siap untuk peduli sama mereka”

Backstory di bagian awal tersebut juga kurang efektif dan mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik lagi karena kita hanya diperlihatkan awal mereka ketemu, tanpa kita pernah benar-benar tahu mereka siapa. Tentu saja, bagus juga kita dibuat mengenal siapa karakter seiring waktu berjalan, tapi kalo dengan cara ini kita mendapatkan ada satu tokoh ujug-ujug muncul di babak akhir demi memancing elemen cemburu, pikirku sih baiknya diambil cara lain yang membuat konflik-konfliknya terasa gak kayak di-throw away, sekaligus mencari cara untuk penonton mengenal baik tokoh-tokohnya sedari awal.

 

 

 

Meskipun agak messy di paruh awal, film ini tetap bisa dijadikan pilihan tontonan ketika ngumpul bareng keluarga. Trope-trope drama sering membuat film ini kayak dibuat-buat, hanya saja keunikan metafora cerita membuatnya masih menarik untuk disaksikan. Aku juga suka gimana film ini berjuang membangun dunianya, mereka setia menggunakan kereta api walaupun beberapa adegan jadi sedikit mengangkat alis kita menanyakan ‘kenapa?’ Sedikit editing ataupun pemindahan letak adegan bisa mengimprove film ini. Aku juga enggak keberatan kalo durasinya dipanjangkan demi membuat hubungan antarkarakter lebih terflesh out, untuk membuat layer ceritanya lebih masak lagi. I mean, kalo Tika sanggup membuat lebih dari dua kodi, kenapa filmnya enggak bisa jadi lebih panjang dan berbobot, ya gak?
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars of 10 for BUNDA: KISAH CINTA 2 KODI

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

MOLLY’S GAME Review

27 Saturday Jan 2018

Posted by arya in Movies

≈ 1 Comment

Tags

2017, 2018, awards, crime, drama, family, life, mature, Oscar 2018, review, spoiler, thought, true story

“The most dangerous phrase in the English language is ‘be a man’”

 

 

Pernikahan adalah jebakan. Bermasyarakat adalah lelucon. Dan orang-orang? Molly Bloom enggak percaya sama orang. Tadinya Molly sendiri enggak mengerti, kenapa dia tumbuh sebagai seorang remaja yang begitu sinis. Sampai kejadian yang mengubah hidupnya jungkir balik itu terjadi. Molly tadinya sudah hampir menjuarai pertandingan ski. Sejak kecil dia sudah berlatih sehingga sukses mencapai kelas profesional. Molly bertanding untuk olimpiade, padahal dia punya masalah yang bukan main-main dengan tulang belakangnya. Eventually, Molly mengalami cedera serius. Molly selamat dari kematian, namun karirnya sebagai atlit ski profesional tamat sudah. Dia dapat kesempatan untuk memikirkan kembali seluruh hidupnya dan entah bagaimana, wanita ini jadi bekerja sebagai host permainan poker underground. Karena pekerjaannya tersebut, sekarang Molly dikenai tuduhan kriminal. Dan kemudian dia menulis buku yang isinya mengekpos dunia selebriti dan poker gelap yang ia geluti. Dan ini adalah kisah yang sangat aneh. Dan aku sengaja menyebut hal ini terakhir sebagai kejutan; kisah Molly Bloom ini adalah kisah nyata.

Mengepalai kisah hidup yang benar-benar aneh, penulis Aaron Sorkin membuktikan kebolehannya sebagai sutradara untuk pertama kali. Dia mengarahkan cerita dengan benar-benar kompeten. Kita akan dibawa mengikuti Molly dengan penceritaan yang detil. Film ini berisik oleh sekuen-sekuen dialog. Sebagian besar di antaranya adalah narasi voice-over oleh tokoh Molly. Biasanya penceritaan begini akan menurunkan nilai film, karena kita diberitahu poin cerita alih-alih diperlihatkan, namun Sorkin menemukan cara untuk memanfaatkan hal tersebut ke dalam cerita. Narasi voice-over dalam film ini tidak terasa seperti menyuapi kita dengan informasi sehingga menjadi membosankan. Malah, dua-setengah jam itu enggak terasa lantaran narasinya menarik. Beberapa momen memang tidak tampak menambah banyak buat cerita, melainkan justru memperlambat pace, tapi karena ditangani dengan memikatlah kita gak akan benar-benar mempermasalahkannya.

Terkadang, narasi membutuhkan banyak ekposisi, namun Sorkin melakukannya dengan cepat, dan dia memastikan kita benar-benar butuh informasi yang ia beberkan. Dalam adegan bermain poker, misalnya. Kita didudukkan pada tempat duduk yang sama dengan Molly. Dia mengobservasi permainan, kita diperkenalkan sama istilah-istilah permainan yang mungkin enggak semua penonton mengerti. Kemudian untuk adegan permainan selanjutnya kita tiba-tiba sudah mengerti psikologi di balik permainan tersebut, kita paham rintangan pada langkah yang diambil para tokoh yang sedang bermain poker. Di mana Molly pada poin ini? Dia sudah menjadi kepala penyelenggara permainan. Begitu tangkasnya alur mengalir, pace yang disajikan amat thrilling sehingga kita gak sadar sudah terlena mengikutinya. I mean, sepertinya aman untuk mengatakan penceritaan Sorkin membuat kita kecanduan sama kehidupan Molly yang luar biasa.

serius deh, cerita kayak gini sama normalnya dengan setiap kali main Poker kita dapat full house

 

Jessica Chastain pernah bermain dalam film yang buruk, namun sebagai aktris, Chastain tidak bisa menjadi sebuah aktor yang buruk – apapun perannya. Paling enggak, aku belum pernah nonton film yang jelek karena akting Chastain. Dalam Molly’s Game, dia bermain dengan sangat terrific. Karakternya sendiri sudah menarik sedari awal, dan bagaimana Chastain menghidupkannya membuat Molly mekar berkembang menjadi peran yang hebat. Kalo ini sedang ngulas gulat, maka aku akan bilang Chastain punya mic skill yang dahsyat. Maksudku, setiap kalimat yang ia ucapkan terasa punya bobot, lengkap dengan emosi yang meyakinkan. Begitu compellingnya sehingga aku merasa kalolah dia menyeramahiku, Chastain’s Molly bisa menyebut semua pilihan-pilihan salah yang sudah kuambil sepanjang hidupku, dan aku akan melaksanakan semua nasehatnya tanpa argumen. That’s how convincing she was.

Sosok pahlawan bagi kebanyakan anak perempuan biasanya adalah bapaknya. Tapi bukan buat Molly. Sedari kecil, Molly enggak punya pahlawan, enggak punya tokoh panutan. Malahan, bisnis poker illegal yang ia lakukan, tanpa ia sadari, adalah perwujudan perlawanannya terhadap sang ayah. Sebagai cara bagi Molly untuk punya kontrol di atas pria-pria yang lebih berdaya.

 

Sorkin mengambil sebuah pertaruhan yang besar ketika ia mengembangkan kisah hidup Molly Bloom sebagai naskah film. Sebab ini adalah film yang stake ceritanya terlihat ngambang, gak jelas. Padahal setiap film harus punya stake yang terang sehingga penonton dapat terkonek dan peduli dengan protagonisnya. Materi yang dipunya Sorkin adalah seorang wanita yang sudah kehilangan segalanya. Tragedi di olimpiade itu adalah titik balik; Molly sudah kehilangan segalanya di awal cerita. Dan sebagaimana pepatah lama bilang, “saat kau ada di dasar, jalan yang ada hanya ke atas”. Tantangan dan resiko yang diambil oleh Sorkin sebagai penulis merangkap sutradara adalah dia harus memutar caranya gimana supaya kita peduli apakah nanti Molly bisa bebas atau hidup dalam penjara, sementara kita tahu dipenjara atau enggak sama sekali udah gak banyak bedanya bagi Molly. Bukan hidupnya, melainkan hanya reputasi yang jatoh kalo dia dipenjara. Jadi, perjalanan dalam film ini dibuat Sorkin sebagai somewhat psikologikal, perjalanan ke dalam diri yang dilakukan oleh Molly – dia harus mencari tahu pijakan moralnya sendiri, mencari tahu apa yang menyebabkan dirinya begitu tertarik menyambung hidup sebagai seorang host poker illegal.

Poker dan film punya satu kesamaan; ada taruhannya.

 

Kita akan eventually mengetahui lapisan terdalam yang memotivasi Molly. Tidak peduli betapa powerful dan berkuasanya pria di sekitar Molly, dirinya selalu bisa untuk mengambil kendali. Molly pinter, tegas, dan sudah terlatih untuk tidak terintimidasi.  Tentu, dia toh terscrew up juga oleh pria – dalam film kita melihat seorang seleb yang tadinya langganan permainan poker Molly malah ‘mengkhianati’ dengan almost literally pindah ke meja lain, tetapi Molly selalu siap berdiri dengan pinggangnya yang cedera. Actually, bagian akhir film yang mengungkap penjelasan ini, tentang keunggulan dan kelemahan karakter Molly, adalah bagian yang menurutku malah menyepelekan nilai penceritaan yang sudah dibangun oleh film di awal. Juga menurunkan kadar temanya yang soal bahwa wanita enggak kalah dari laki-laki.

Adegan yang dimaksud itu adalah ketika Molly yang sedang galau oleh banyaknya tuduhan kriminal dan sebagainya, berjalan gitu aja ke ring ice skating. Dia memutuskan untuk bermain sebentar, menyewa sepatu skate dengan menggadai sarung tangan Chanel, dan ketika dia bermain ice skating, seseorang memanggil namanya. “Molly!” Ia terjatuh. Di luar ring, ujug-ujug ada ayahnya. Adegan ini begitu konyol buatku, tadinya aku menyangka sosok si ayah itu hanya imajinasi Molly. Ayah (Kevin Costner memainkan seorang ayah sekaligus psikolog yang disiplin) selama ini bersikap tegas dalam mendidik dan melatih Molly. Beliau adalah tipe ayah yang akan kecewa padamu, meskipun kau sudah jadi juara kelas, hanya untuk terus memompa semangat juangmu. Jadi kupikir akan sangat emosional sekali bagi Molly mengingat sang ayah di tempat yang sudah lama ia tinggalkan, akan sangat masuk akal jika momen ini akan jadi momen penyadaran bagi Molly. Tapi ternyata film malah membuat si Ayah benar-benar ada di sana; faktor kebetulan berusaha mereka tutupi dengan menyebut Ayah tahu Molly ada di mana dari Ibunya, meskipun asumsi yang kita dapat dari konteks adegan sebelumnya adalah Molly enggak pernah exactly mutusin akan ke ice skate – dia hanya berjalan ke arah sana. Ayahlah yang mengungkapkan apa yang selama ini jadi kelemahan Molly, apa yang membuatnya getol bikin poker gelap, darimana motivasi Molly berasal. Sesungguhnya ini semua berlawanan dengan aspek karakter dan cerita yang sudah dibangun, kenapa Molly yang mandiri dan pintar harus dijelaskan tentang dirinya sendiri oleh pria yang selama ini ia antagoniskan?

Bahkan lebih aneh lagi jika kita sambungkan konteksnya dengan adegan sebelum ice skating itu berlangsung. Sebuah adegan yang merupakan titik balik dari hubungan Molly dengan pengacaranya. Di adegan ini Idris Elba melakukan monolog menakjubkan tentang bagaimana selama ini dia salah menilai Molly. Bahwa Molly lebih dari sekedar “Poker Princess”. Basically, Elba bilang kepada kita semua bahwa inilah saatnya kita sadar tentang kebaikan Molly dan segera mendukungnya. Hanya karena dia membuat kesalahan, bukan berarti Molly adalah penjahat. Jadi, aku mengerti supaya arc Molly beres, dia kudu bisa melihat koneksi dirinya dengan sang ayah. Hanya saja, membungkus arc yang demikian dengan dia mendapat penjelasan dari si ayah benar-benar melemahkan karakter Molly sendiri.

Semua pemain poker dalam film ini adalah pria-pria kaya, terkenal, punya jabatan. Dan kebanyakan mereka jatuh bangkrut akibat ulah sendiri. Molly yang dibesarkan supaya setangguh laki-laki kecanduan untuk mengontrol mereka, dan pada gilirannya Molly juga dijatuhkan oleh pria-pria yang bahkan nama mereka enggak berani diungkap oleh Molly dalam bukunya. Molly bermain sebagai pria jantan, tapi permainan itu bubar dengan cepat. Film ini mengeksplorasi tentang betapa kemaskulinan dapat menjadi racun bukan hanya kepada pria, namun juga kepada wanita. Kepada society. Karena bagaimanapun juga, pria dan wanita tetap saling bergantung satu sama lain.

 

 

 

 

Debut sutradaranya ini membuktikan kekompetenan Aaron Sorkin sebagai pengarah cerita. Akan tetapi, penampilan akting, dialog yang memikat, dan fakta bahwa ini adalah kisah nyatalah yang membuatnya menjadi film yang spesial. Salah satu penulisan yang paling menarik di tahun 2017. Pacing film bisa terasa sangat lambat, pilihan yang diambil untuk menyelesaikan plotnya pun enggak benar-benar kartu as. Tapi yang diceritakan film ini sebenarnya penting untuk kita saksikan.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10  for MOLLY’S GAME.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE GLASS CASTLE Review

29 Sunday Oct 2017

Posted by arya in Movies

≈ 2 Comments

Tags

2017, adaptation, comparison, drama, family, life, love, relationship, review, spoiler, thought, true story

“Family are the people who must make you feel ashamed when you are deserving of shame”

 

 

Lumrah adanya orangtua suka bohong kepada anak-anak. Dan pada gilirannya akan membuat anak-anak suka bohong kepada – dan terutama, tentang – orangtua mereka. Waktu kecil, beberapa dari kita ada yang enggak mau ngajak teman main ke rumah kalo ayah dan ibu lagi enggak kerja. Terkadang kalo lagi ngobrol bareng teman-teman, kita akan menceritakan yang keren-keren tentang keluarga kita. Keluarga, bagi kita jauh di dalam adalah salah satu kebanggaan terbesar, namun kita masih sering merasa malu karena mereka. Dan tak jarang, perasaan malu saat keluarga ini kebawa hingga dewasa. Memperkenalkan pasangan kepada orangtua jelas adalah momok buat sebagian besar orang. Karena setiap keluarga punya rahasia, tidak ada keluarga yang sempurna. “Let me do the lying about my family,” begitu kara Jeanette Walls kepada tunangannya, mengisyaratkan setelah selama bertahun-tahun diajarkan mandiri dengan cara sangat tak-konvensional, Jeannette masih respek sekaligus malu sama keluarganya.

Tahun 2016 kita dibuat kagum sama Captain Fantastic yang dengan cueknya menantang moral kita dengan gaya hidup dan parenting orangtua yang mengajarkan anak-anaknya dekat dengan alam dan melawan sistem. Aku pikir, wah kalo beneran ada keluarga kayak gitu gimana ya. Dan kemudian, di tahun 2017, keluarlah The Glass Castle; film yang membuktikan bahwa aku tidak tahu banyak. Karena film ini adalah kisah nyata. Jeannette Walls adalah pengarang dan jurnalis, terutama terkenal sebagai  columnist gossip yang nulis memoir tentang masa kecilnya. Jeannette adalah saksi hidup seorang anak yang dibesarkan oleh orangtua dengan pemahaman begitu nyentrik; orangtua yang membiarkan anak dua-belas tahunnya masak sendiri, yang melempar anaknya begitu saja ke kolam, orangtua yang memberikan bintang di langit sebagai kado natal.

Aku dilarang keras berada di rumah kalo teman-teman cewek adekku dateng, mainly she was afraid norakku kumat.

 

 

Kita akan dibawa maju mundur, antara masa kini (1989) dan masa lalu, ketika Jeannette dewasa berkontemplasi tentang masa kecilnya. Kita bisa melihat jelas betapa sukarnya hidup Jeannette dan keluarga. Mereka berpindah-pindah tinggal dari satu bangunan kosong, ke rumah reyot lain. Dari Woody Harrelson sebagai ayah yang tak pernah menyelesaikan apa yang dia mulai ke Naomi Watts seorang ibu yang lebih mentingin ngelukis-tak-dibayar daripada masak, film ini dipersembahkan dalam lingkupan keluarga yang berakting sangat baik. Sebagai ujung tombak dari sekumpulan talenta, film punya Brie Larson  dan Ella Anderson yang menyuguhkan penampilan yang amat stricken sebagai sudut pandang utama. Jadi, ada alasannya kenapa saat menonton ini kita akan merasakan tone yang sangat berbenturan. Jeannette kecil dan saudara-saudaranya percaya bahwa apa yang dilakukan ayah mereka adalah hal yang benar. Bahwa mereka enggak miskin, bahwa yang mereka lakukan adalah melawan sistem demi kebaikan yang lebih besar.

Sesungguhnya, memang ada cara yang benar dan cara yang salah dalam hidup. Rumah tangga Wells terbangun dari cara-cara benar yang dilanggar. Istana mereka memang transparan, namun ada atap kaca patriarki yang tidak bisa dipecahkan oleh Jeanette. Akan tetapi pada akhirya, seperti kata Ibu, strugglelah yang membuat indah. Pengalaman kita bersama keluarga, baik atau buruk, akan membentuk integritas personal, keberanian, suatu jati diri. Jika kita tidak bisa menghargai keluarga satu persatu, palign tidak hargailah apa yang sudah keluarga sumbangkan dalam membentuk siapa kita.

 

Film mengeksplorasi aspek kelam dari kehidupan keluarga Jeanette. Narasinya panen drama dan emosi. Masalah alkohol sang ayah, juga ada situasi yang benar-benar disturbing dengan nenek mereka. Kita melihat banyak hal dan situasi terrible terjadi kepada keluarga Jeannette. Namun masalahnya adalah, film tidak paham akan kelamnya apa yang terjadi kepada mereka. Kita melihat basic skenario yang sama dimainkan berulang kali, sehingga lama-kelamaan jadinya bosenin. Kita kerap terflashback ke masa lalu, lalu kembali ke saat mereka dewasa, tapi ketertarikan itu malah semakin sirna. Sudut pandang Jeannette yang mixed banget digambarkan oleh film lewat benturan tone. Akibat dari ini adalah beberapa adegan really misses the mark lantaran malah terlihat dimainkan sebagai komedi.

Aku selalu punya masalah dengan film-film yang menggunakan musik yang terlalu menyuruh penonton untuk merasakan suatu emosi tertentu. Di film ini, aku mendapati musiknya sangat gak klop nan mengganggu penyampaian emosi. Film ini mencoba membuat kita merasakan apa yang dirasa oleh anak-anak itu ketika orangtua memanfaatkan mereka dengan harapan. Maksudku, sangat sering kita jumpai dalam film ini adegan-adegan yang sebenarnya tragis, sedih dengan dilatari oleh score musikal yang ‘memaksa’ kita untuk melihat bahwa ini adalah adegan yang bahagia. Pemandangan seorang ayah dan ibu yang basically membiarkan anak mereka enggak makan, ataupun mengambil duit tabungan anak mereka, atau membiarkan mereka berada dalam situasi yang berbahaya sesungguhnya adalah pemandangan yang sukar untuk dilihat – disturbing. Akan tetapi, musik yang dimainkan saat adegan kelam ini begitu uplifting seolah itu adalah momen keluarga yang hangat. Mungkin sebagian orang akan suka dengan cara bercerita seperti ini, namun buatku adegan-adegan tersebut menjadi kurang otentik, emosi yang disampaikan tidak tersampaikan dengan impactful.

keluarga kaca apa keluarga cemara

 

 

Kurang-kurangin deh berbohong kepada anak-anak. Berikan anak-anak kredit perspektif yang lebih sehingga mereka bisa melihat sebening melihat kaca. Buat mereka mengerti situasi dengan mempersembahkan konsekuensi, bahaya, ketakutan, kejelekan dengan transparan. Karena hanya dengan begitu, orangtua akan lebih dihormati oleh anak-anak yang tumbuh lebih kuat.

 

 

Dengan tema yang sama-sama mengangkat pertanyaan apakah membesarkan anak jauh dari sistem dan sosial adalah hal yang bertanggung jawab, film ini tetap terasa tumpul dan kurang greget. Absennya ambiguitas moral yang membuat film ini kalah menarik dan penting dibandingkan Captain Fantastic. Naskah meminta kita untuk merasakan suatu perasaan tertentu untuk karakter-karakter yang ada, namun apa yang kita lihat-kita dapatkan- kita rasakan tidak selaras dengan perasaan mengangkat yang diberikan dengan terlalu banyak. Rex Walls bisa saja memang jujur terhadap anak-anaknya mengenai teori sistem sosial yang ia percaya. Film ini, however, tidak transparan dalam menyampaikan emosi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE GLASS CASTLE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

NYAI AHMAD DAHLAN Review

26 Saturday Aug 2017

Posted by arya in Movies

≈ 3 Comments

Tags

2017, biopik, comparison, drama, history, life, love, relationship, religi, review, spoiler, thought, true story

“Behind every great man is a great woman.”

 

 

“Bajumu jangan membuatmu lupa untuk berjuang,” nasihat Nyai Ahmad Dahlan kepada Jenderal Besar Soedirman ketika dua tokoh sejarah ini berdiskusi. Adegan yang kita jumpai di babak ketiga tersebut benar-benar menunjukkan sebesar apa pengaruh dan peranan Nyai terhadap Indonesia. Aku suka gimana Soedirman tidak sekalipun menatap mata Nyai, mengisyaratkan wanita di depannya adalah seorang yang penting luar biasa. Nyai bukan sebatas istri dari seorang Kyai hebat yang disegani. Nyai sudah berjuang bersama dalam dakwah, beliau adalah seorang tegas, agamis, guru yang cerdas dan begitu bijak dia berbicara dengan alat peraga dan analogi yang sangat mengena kepada lawan bicaranya. Dan di poin adegan Nyai dan Soedirman tiba di babak ketiga itu,  Nyai sudah berjuang sendiri. Tanpa Kyai di sisi, kita melihat perubahan yang terjadi pada Nyai baik dari gestur, cara dia memandang orang, dan bahkan suaranya. Tegas dan kinda creepy melihat determinasinya. Tika Bravani menunjukkan pemahaman kepada gejolak yang dirasakan oleh tokoh ini. Membuat kita ingin melihat lebih banyak perjuangan yang dialami oleh Nyai Ahmad Dahlan sendiri.

Nyai dan Kyai Ahmad Dahlan berjuang lewat dakwah demi memberantas jahiliyah dari tanah Jawa. Kala itu rakyat umum masih percaya takhayul, masih banyak yang puas di garis kebodohan, belum lagi ancaman dari londo-londo yang membawa ajaran yang merusak akidah. Perjuangan mereka masih relevan dengan keadaan sekarang ini, di mana musuh kita adalah masih banyak yang percaya hoax internet, gampang dibegoin troll di sosial media, dan tentu saja bablasnya budaya luar yang malah mengikis  atau katakanlah membuat kita mengenyampingkan akidah.

 

Ini adalah film biopik yang enggak menawarkan banyak selain PELAJARAN SEJARAH BERBALUT CERAMAH. Namun bahkan menyebut menonton film ini seperti membaca buku sejarah adalah sebuah pujian yang melebihi dari yang pantas diterima olehnya. Karena, to be fair, aku enggak banyak tahu tentang Nyai Ahmad Dahlan, jadi setelah nonton aku nyari informasi tentang tokoh pahlawan ini. Aku membaca Wikipedia dan menonton film ini terasa sama persis dengan aku membaca halaman Wikipedia Nyai Ahmad Dahlan.

I mean, narasi cerita film ini – plot poin-plot poin yang menghantar kita dari satu adegan ke adegan lain – sama sederhana dan melompat-lompatnya sama poin-poin yang ditulis di Wikipedia. Nyai Ahmad Dahlan menggunakan struktur bercerita yang linear; kita melihat Nyai sedari kecil hingga beliau wafat, tanpa ada inti atau benang merah yang merangkai perjalanan tokohnya. Kita tahu Nyai ingin mencerdaskan kaum kecil dan wanita, ingin ajaran Islam ditegakkan. Tapi sampai film berakhir, kita tetap enggak kenal siapa dirinya. Kenapa dia bisa menjadi begitu alim dan cerdas. Apa konflik internal yang melandaskan pembentukan karakternya. Film ini terjangkit penyakit yang kusebut dengan “Jyn Erso Problem” di mana narasi malah ngeskip bagian yang penting; bagian ketika pribadi tegas nan cerdas itu terbentuk. Sama seperti Jyn Erso yang tau-tau udah gede dan jagoan, Nyai juga tau-tau sudah menjadi istri Kyai Ahmad Dahlan and she’s instaniously mulia dan sangat bijak. Kita gak liat dari mana segala kebijakan itu hadir di diri Nyai. Dan setelah itu, kita ngikutin dia ngikutin suaminya sepanjang besar film. Semua terasa sangat membosankan hingga babak ketiga dimulai ketika kita melihat perjuangan Nyai seperti yang kusebut di atas. Akan tetapi, bukan hanya sudah sangat telat, film juga membahas perjuangan sendiri ini dengan sangat singkat. Tidak ada arahan yang jelas, film sepertinya tidak tahu apa yang menarik untuk dibahas dari materi tokoh sejarah yang mereka punya.

Mereka gagal melihat konflik menarik yang bisa datang dari Kyai menganggap dokter sebagai setan yang menghalanginya berdakwah

 

Sebagai period piece pun, film ini tidak pernah berhasil membawa kita ke puncak interest. Ada banyak yang bisa kita kritik dari tampilannya seperti wardrobe error ataupun ‘kebocoran’ properti yang lain. Penampilan film ini tidak pernah kelihatan megah. Dari segi teknik, film tidak terasa professional. Di awal-awal ada adegan warga ngobrol di pasar yang sama sekali tidak meyakinkan, terlihat seperti adegan di sinetron-sinetron kolosal. Jangankan dengan Hollywood, jika dibandingkan dengan Kartini (2017) biopik yang juga bicara tentang emansipasi dan pemberdayaan, film ini masih terasa subpar. Editingnya kasar, dialognya antara ceramah ama eksposisi, musiknya nerobos banget hingga terdengar komikal ketimbang epik.  Ada sekuen aksi yang diambil dengan biasa aja. Kamera memang sepertinya terbatas dalam hal pergerakan, soalnya ada banyak syut yang ngambil dari kanan kemudian kamera muter 90 derajat ke kiri.

Sebagian besar adegan di film ini berupa sekelompok orang duduk di sekitar Nyai, ataupun Kyai, yang sedang bicara memberikan pelajaran. Sungguh, hanya ada tenggang waktu beberapa kali sebelum kita menguap lebar-lebar demi melihat pemandangan orang manggut-manggut ngedengerin ceramah. Film ini tidak pernah menghandle ceramah mereka sebagai sesuatu yang menarik. Menjelang midpoint ada adegan pengajian Wal Asri yang boring banget, selama beberapa menit kita duduk di antara ibu-ibu tanpa ada hal menarik yang terjadi. Saking bosennya, aku berdoa Rick dan Morty datang kemudian menghabisi mereka dengan trash talk dan pistol laser, kemudian Nyai membuka kedoknya yang ternyata alien dengan seribu tentakel yang bisa kungfu dan SopoTresno itu ternyata adalah nama planet asalnya!

It is easy to nitpick this tapi masalah sebenarnya terletak pada ketidakpahaman film soal mengbuild up adegan. Pengadeganan film ini rumusnya begini: orang lain ngutarakan pendapa atau masalah, Nyai menanggapi dengan bijak pake analogi, dan musik latar akan berkumandang seolah menyimpulkan bahwa setiap yang Nyai katakana sangat mindblowing dan begitu megah. Tapi kita enggak akan benar-benar peduli karena tidak pernah ada build up atas apa yang dikatakan Nyai. Misalnya, ketika Kyai bilang tantangan mereka adalah duit, dan Nyai masuk ke dalam rumah mengambil harta warisan orangtuanya untuk kemudian diberikan kepada Kyai, dan musiknya menggelegar mengamini yang dilakukan Nyai adalah mulia walau berat, but we don’t feel that karena kotak warisan tersebut tidak pernah dibuild up terlebih dahulu. Kita tidak pernah tahu stake yang dipertaruhkan Nyai ketika dia menyerahkan bantuan tersebut.

 

The one time music did it right adalah saat mereka melelang barang. Selebihnya, konflik-konflik film ini datang dan pergi gitu aja. Salah satu ‘rintangan’ yang dihadapi Nyai dan Kyai adalah organisasi Muhammadiyah mereka diprotes warga lantaran dianggap sesat. Namun kita enggak pernah diperlihatkan kenapa warga menganggap begitu. Mereka bilang penjajah menghalang-halangi ajaran mereka, tapi hanya satu kali kita melihat penjajah dateng dan mengusik asrama Nyai. Dialog dan adegan dimasukkan gitu aja, tanpa pernah benar-benar diperhatikan ritme ataupun kepentingannya. Ketika penghuni rumah dan murid-murid menyambut kedatangan Nyai dan Kyai dengan cemas, percakapan gulir begitu saja dari “Kami dengar Kyai hendak dibunuh” menjadi kurang lebih ke “Kami ingin seperti Nyai, dapet cowok sekeren Kyai hehehe” tanpa ada weight ke adegan possible murder sebelumnya. Dan yang buatku jadi hilarious adalah actually adegan Kyai dan Nyai mau dibunuh itu, mereka ‘ribut’ dengan beberapa warga di… PANTAI! I mean, betapa randomnya, kenapa bisa di pantai coba. Aku jadi membayangkan sebelumnya mereka bertemu kayak gini… crrriiiingggg *bunyi efek adegan fantasi*

WARGA A: Kami mau memprotes ajaran Kyai dan Nyai!
WARGA B: Betul! Biarkan parang kami bicara!
KYAI: Baiklah, kita bicarakan sambil santai di pantai

NYAI: Cihuuuii, aku lagi butuh vitamin sea nih! *ngedipin mata ke Kyai*

 

 

Jika film ini ingin menceritakan tentang perjuangan Nyai, mestinya dia mengambil babak ketiga dan mengeksplorasi narasi dari sana. Jika film ini ingin memperlihatkan kehidupan Nyai dari kecil hingga wafat, mestinya mereka memfokuskan kepada pertumbuhan tokoh Nyai alih-alih membuat kita lompat langsung ke saat bersama Kyai. Juga mestinya kita tidak lagi dihadapkan dengan flashback, terutama jika flashback itu ditujukan buat mancing dramatisasi semata. Jika film ini ingin bercerita tentang Nyai, mestinya dia tidak membuat Nyai terlalu ngekorin Kyai – sebab sesungguhnya di balik pria hebat ada wanita yang sama hebatnya, jika tidak lebih. Dan kehebatan Nyai tidak kita lihat hingga film benar-benar berakhir. Biopik mestinya membuat sejarah tidak membosankan, namun sebenarnya tidak ada yang lebih bosan dari tokoh utama yang lurus saja tanpa kita pernah kenal konflik personal dan internalnya.
The Palace of Wisdom gives 3 out 10 gold stars for NYAI AHMAD DAHLAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners .
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

MEGAN LEAVEY Review

24 Thursday Aug 2017

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2017, animal, drama, funny, life, love, relationship, review, spoiler, thought, true story, war

“Whoever said diamonds are a girl best friend, never owned a dog.”

 

 

Anjing dapat merasakan ketakutan seseorang. Aku tahu teori itu seratus persen benar. Aku hanya enggak tahu apakah kalimat tersebut seharusnya bisa menenangkan orang yang takut sama anjing. Maksudku, setiap kali papasan sama anjing di jalan, lututku malah semakin lemas terutama jika teringat saran “Jangan takut, nanti anjingnya tahu kalo kau takut”. Arya kecil memang sering dikejar anjing-anjing tetangga, malah aku bersumpah istilah yang tepat adalah Arya kecil sering dibully anjing tetangga. Karena mereka tahu aku gugup dan takut banget sama mereka.

Bukan hanya rasa takut, para ahli berpendapat bahwa anjing bisa mengetahui perasaan atau emosi seseorang. Kemampuan ini sejalan dengan penciuman anjing yang luar biasa tajam. Mereka dapat membaui adrenalin, pheromone, ataupun senyawa lain yang menguar dari manusia. Saat anjing menggonggongi orang tak-dikenal, bisa saja karena mereka mencium senyawa yang keluar dari perasaan negatif manusia. And they didn’t like to sniff those feelings. Orang yang sedang disalaki biasanya antara sedang cemas, gelisah, sedih, atau sedang merasa bersalah.

 

Bahkan ketika kita membawa anjing jalan-jalan, getaran perasaan yang kita alami bisa sampai ke anjing melalui tali leash mereka. “Semua yang kau rasakan mengalir di tali itu,” Sersan Andrew Dean menasehati Megan Leavey seperti itu ketika Megan terihat tidak nyaman dipasangkan dengan anjing paling galak di camp pelatihan mereka, “Aku tidak bisa mengajarkan gimana hubungan tercipta di antara kalian” lanjut Sersan Andrew. Mempertahankan hubungan sosial, berakrab-akrab ria jelas bukan kelebihan yang dimiliki Megan. Malahan, alasan cewek ini ikutan gabung di US Marine Corps awalnya adalah semata karena dia males berhubungan sama manusia. Megan dipecat dari berbagai pekerjaan. Dia berantem melulu sama ibunya. Dan sekarang Megan justru harus dealing with anjing pelacak bom yang belum apa-apa sudah menggigit separoh bokongnya.

Apapun yang terjadi jangan nurunin celana di depan K-9. Apalagi nungging!

 

Film ini diangkat dari kisah nyata VETERAN PERANG DAN ANJING PAHLAWAN, bersama mereka sudah berhasil menemukan sejumlah besar bom dan ranjau, dan menyelematkan nyawa banyak orang. Pada beberapa kesempatan, film ini bisa menjadi sedikit too much buat para penyayang binatang. Terutama penyayang anjing. Sekuens perang yang dihadirkan sangat intens. Kita dapat banyak build up yang sangat menegangkan. Megan dan anjingnya, Rex, berjalan di depan garis depan mengendus bom, mencari ranjau dan peledak tersembunyi yang lain. You know, adegan-adegan yang membuat kita mendapati diri berdoa dalam hati “semoga anjing itu enggak terluka”. Kita begitu terinvest terhadap keselamatan mereka dan itu disebabkan oleh penampilan akting yang sangat hebat dari Kate Mara (Megan Leavey adalah penampilan terbaiknya sejauh yang pernah kutonton) dan dari anjing (mungkin juga anjing-anjing) yang memerankan Rex.

Elemen pelacak bom memberikan semacam pengalaman baru buat kita.  Ada sudut pandang segar yang orisinil sebab kita melihat perang dari bagian militer yang belum banyak dieksplorasi sebelumnya. Kita melihat Megan dan Rex berlatih. Anjing diajarkan untuk mengenali peledak, dan tentara pendampingnya harus belajar bagaimana memberikan perintah, membimbing, memberi anjing-anjing itu pujian, dan merawat – jika diperlukan – memberikan pertolongan medis. Dari sinilah bond mereka yang sangat menyentuh hati itu berkembang. Film ini melakukan kerja yang fantastis dalam menunjukkan gimana hubungan yang dalam bisa tumbuh dan terjalin antara manusia dengan hewan. Dengan terasa sangat real. Namun begitu, beberapa orang mungkin akan menangkap film ini sebagai terlalu overdramatis. Menurutku, hanya penyayang binatang yang benar-benar bisa mengerti bonding tersebut.

Jikapun aku penyayang binatang, maka obviously aku bukan penggemar anjing. Bisa dibilang I’m more of a cat person. Tapi aku tetap tersentuh oleh film ini, sebab aku bisa mengerti apa yang dirasakan oleh Megan ketika unexpected bonding terjadi. Dulu pernah ada kucing hitam yang terluka ngabur cari perlindungan ke kamar kosanku. Lukanya parah, kakinya patah. Karena takut kalo-kalo tuh kucing isdet di balkon kamar dan mikirin betapa repotnya harus menguburkan dan segala macem, kucing itu aku kasih makan. Eh setelah sembuh, bukannya pergi, dia malah betah di kamar. Masalahnya adalah aku juga enggak berani-berani amat sama kucing, sementara kucing yang satu ini liarnya bukan main. Mungkin dia ngajak main, tapi kukunya enggak pernah dimasukin. Kaki dan tanganku penuh luka goresan. Saking liarnya, kucing item jantan itu aku kasih nama Gelap Jelita dengan harap supaya jadi jinak. Namun enggak ngaruh. Jadi aku ngerti deh ketakutan yang dialami Megan ketika disuruh masangin perban ke Rex yang pernah menggigit tentara lain sampai tangan tuh orang patah. Dan ketika nonton film ini, mau-tak-mau aku teringat sama kucing itu.

Wajah nginyemmu ketika mereka bawa pulang tulang-tulang sebagai balas jasa

 

Belum lama ini di Netflix tayang film Okja (2017) yang juga menceritakan tentang hubungan antara manusia dengan binatang. Namun, di balik kisah manis anak kecil dengan babi mutan peliharaannya itu, terasa ada ambisi lain yang turut dibicarakan oleh film. Megan Leavey terasa lebih manusiawi karena film ini hanya memfokuskan tentang gimana manusia yang begitu mendambakan hubungan sosial dan apa yang terjadi ketika dia mendapatkannya dari makhluk hidup lain. Film ini lebih mengeskplorasi feeling tanpa benar-benar menjadi cengeng atau sappy. Persahabatan dalam Okja terhalang oleh komentar soal perangai konsumtif dan ekonomis manusia. Dalam Megan Leavey, persahabatan manusia dan hewan ini terhalang oleh aspek teknikal; di mana anjing veteran perang – terutama yang galak kayak Rex – dicap berbahaya jika kembali hidup di masyarakat. Ada tema perang yang digunakan untuk mewarnai narasi dengan sedikit elemen budaya – gimana perlakuan negara muslim terhadap anjing – tapi itu dibahas dengan ringan, tanpa menjadi terlalu hitam-dan-putih.

Siapapun yang berkata berlian adalah teman terbaik wanita, pastilah belum pernah memelihara anjing. Atau belum pernah mendengar cerita tentang Megan Leavey.

 

Kehidupan normal Megan juga diberikan kesempatan untuk tampil. Kita melihat hubungannya dengan orangtua, masalah pribadinya. Juga ada kisah cinta dengan sesama tentara. Hanya saja romansa ini tidak benar-benar pergi ke mana-mana. Seolah hanya untuk menunjukkan perubahan personal Megan setelah dia menyintai Rex. Lebih sering daripada enggak, transisi kehidupan Megan ini terlihat dipercepat. Misalnya, ketika dia abis dipecat, kemudian dia melihat dua tentara masuk toko, dan dia kontan jadi berniat masuk angkatan bersenjata juga. Lalu ada sedikit masalah bullying, yang kalo di naskah ini adalah bagian ‘tantangan pertama’, yang berakhir begitu saja. Aku mengerti film ingin memperlihatkan banyak sisi kehidupan Megan. Durasi keseluruhan film sudah nyaris dua jam, sehingga terkadang mereka sengaja mempercepat proses. Menggunakan montase untuk menjelaskan momen-momen emosional, ataupun dengan menggunakan teks. Ini dapat menjadi menyebalkan sebab kita ingin merasakan progres tokohnya, mengalami transisi itu secara langsung.

 

 

Kita tidak butuh penciuman setajam anjing untuk dapat mengendus sense of realism perasaan dan emosi yang terkandung dalam film ini. Menghadirkan drama excellent soal hubungan persahabatan manusia dan hewan dengan tidak pernah menjadi terlalu cengeng. Namun tetap bakal menarik-narik hati kita, terutama para penyayang binatang. Penampilan aktingnya memukau, sekuens aksinya sukses bikin kita khawatir.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for MEGAN LEAVEY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

LION Review

25 Saturday Feb 2017

Posted by arya in Movies

≈ 1 Comment

Tags

2016, 2017, Australia, awards, drama, family, India, love, oscar, real life, review, spoiler, thought, true story

“Sometimes direction you never saw yourself going turns out to be the best road you have ever taken.”

 

lion-poster

 

Delapan-puluh-ribu lebih anak-anak India hilang setiap tahunnya. Nyasar, tak-tau jalan pulang ke rumah, terpisah dari keluarga. Jalanan yang penuh orang acuh-tak acuh dan potensi abuse lah yang menunggu mereka. Saroo pernah menjadi salah satu dari angka delapan-puluh-ribu. Saat masih kecil, Saroo yang tertidur di stasiun kehilangan jejak sang abang dan malah terangkut sebuah kereta api hingga beribu-beribu kilometer jauhnya. Hanya bisa bicara dengan bahasa India, kata-kata minta tolong dari mulut Saroo kecil tidak bisa dimengerti oleh orang-orang di Kalkuta, tempat kereta ‘tumpangan’nya berhenti, yang berbahasa Bengali. Jikapun ada yang nyambung diajak ngobrol, Saroo tetep repot lantaran dia bahkan enggak bisa nyebutin nama kampungnya dengan bener.

Adalah pemeran Saroo kecil, Sunny Pawar, yang akan membuat kita truly merasakan perasaan terasing di bawah langit India. Film panjang pertamanya ini membuktikan kepiawaian Garth Davis menarik keluar penampilan-penampilan yang begitu meyakinkan. Melihat Saroo berjalan tanpa tahu arah, serta merta aku jadi kagum juga. Bayangkan, ini DIANGKAT DARI KISAH NYATA; Saroo dan anak-anak yang masih ilang, bener-bener sendirian di luar sana. They don’t know anything. Bagaimana mereka bisa bertahan, apa yang mereka hadapi, all of that was so scary. Aku waktu kecil baru nyasar di pasar aja udah jejeritan sejadi-jadinya.

Butuh keberanian yang tak kalah gedenya bagi sebuah film meletakkan kepercayaan kepada aktor cilik baru yang baru berusia lima tahun (!) untuk memainkan cerita dengan compelling. Davis paham bahwasanya bahasa tidak harus jadi masalah, jadi dia berbicara lewat pengalaman dan ekspresi manusia. Dan memang hanya itulah yang menggandeng kita mengikuti Saroo kecil terlunta-lunta di jalan, mengandalkan insting dan sepersekian detik keputusan ‘pintar’nya untuk bertahan hidup. Kita enggak perlu ngapalin isi kamus bahasa india, kita enggak really butuh subtitle, malahan kita bisa nonton ini tanpa suara, dan tetap mengerti; merasakan apa yang terjadi di layar. Tidak ada adegan yang overdramatis, kayak Saroo ujan-ujanan – atau ampir diterkam singa beneran, so to speak. Sunny Pawar dipercaya untuk memberikan emosinya lewat gestur, ekspresi, ataupun hanya dengan tatapan mata. Yang dilakukan Sunny Pawar dengan sangat amazing, terlebih mengingat lebarnya rentang emosi yang dialami oleh tokohnya sepanjang film. Image Saroo makan boongan bakal terpatri lama di benak kita. Jika pada awalnya mungkin film ini sedikit bertaruh, maka pastilah setelah melihat hasil presentasinya, film ini berbalik jadi berutang budi kepada Sunny Pawar.

Pertengahan pertama adalah di mana kita akan dibuat mengerti kenapa film ini pantas berdiri mejeng sebagai nominasi Best Picture Oscar 2017. Visi sutradara Garth Davis mengaum lantang dalam setiap frame bidikan kamera. Sudut pandang bocah kecil itu tergambar syahdu. Didukung juga oleh sinematografi yang sungguh menawan throughout. Film ini precise dalam netapin timing kapan harus mengambil jarak. Begitupun penempatan hal-hal kecil, seperti burung yang terbang di ambang jendela, menjadi sarana penghantar cerita yang subtle tanpa harus repot-repot memaparkan.

dinding kamarku bakal penuh kalolah aku ngecapture shot-shot indah film ini dan memajangnya kayak lukisan

dinding kamarku bakal penuh kalolah aku ngecapture shot-shot indah film ini dan memajangnya kayak lukisan

 

Tidak hanya sampai di situ. Saroo kemudian diadopsi oleh pasangan suami istri yang tinggal di Australia. Semakin jauhlah dia dengan keluarga aslinya, yang sampai saat itu Saroo tidak tahu bagaimana keadaan mereka. But at the same time, Saroo menemukan keluarga baru. Paruh kedua film mengajak kita melihat Saroo dewasa deal with problematika identitas saat dia teringat kampung namun enggak yakin gimana harus menceritakan asal muasal ia yang sebenarnya kepada orangtua asuh. At one point Saroo benar-benar menyembunyikan tindakannya dari keluarga angkat. Dia bahkan jadi kasar sama saudara tirinya, yang merupakan cara film ini ngeintegralkan hubungan Saroo dengan abang aslinya.

Aku suka gimana film ini menggunakan overlapping visual untuk membandingkan keadaan Australia dengan India, membenturkan keadaan Saroo kecil dengan Saroo dewasa. Pemandangan seperti demikian sebenarnya adalah sebuah simbol keadaan Saroo yang berada di tengah-tengah kedua budaya. Film ini adalah bukan soal perjalanan pulang ke rumah. Ini adalah cerita pergolakan seseorang yang terombang-ambing antara tempatnya berasal dengan tempat yang sekarang sudah menjadi rumah baginya. Sejak dari kecil, Saroo selalu merasa ia berada bukan pada tempatnya. Derita dan bingung Saroo mencapai puncak ketika ia dewasa sampai dirinya belajar untuk – sekali lagi dihadapkan kepada pilihan – memilih salah satu atau mencoba menyatukan kedua ‘rumah’nya.

Bukan berarti kita harus pernah diadopsi dulu buat bisa ngerasain yang dialami oleh Saroo. Orang-orang yang pernah merantau, ataupun dalam perantauan, pasti mengerti.
Mengerti alasan kenapa harus pulang.
Mengerti siapa saja yang kita rindukan dan yang merindukan kita.
Mengerti bahwa keluarga adalah segala hal yang kita usahakan untuk menjadi rumah.

 

Dev Patel melakukan usaha yang bagus memainkan ‘cela’ dan konflik Saroo, dia menjaga cengkeraman kita tetap erat as Saroo berinteraksi dengan orang-orang baru yang ia cintai dalam hidupnya. Tapi tongkat estafet film ini tampaknya jatoh kesandung tulisan “20 tahun kemudian”. Cerita kedua ini enggak bisa bersanding dengan cerita pertama. Dibandingkan dengan saingan Oscarnya, Moonlight (2016) yang juga nampilin perjalanan hidup tokoh dari kecil hingga dewasa, Lion terasa kurang mulus. Rooney Mara turut bermain dalam film ini, she’s very good, namun tokohnya enggak punya arc. Dia cuma pacar tempat Saroo bersandar, dan enggak nambah banyak-banyak amat buat cerita. Bagian kedua kehidupan Saroo ini diselamatkan oleh penampilan akting Nicole Kidman yang berperan sebagai ibu angkat Saroo. Percakapannya dengan Saroo, beliau menjelaskan alasan kenapa dia mengadopsi anak berkulit coklat dari benua lain, adalah dialog yang paling kuat dan menyentuh dari seantero film. Nicole Kidman sendiri aslinya adalah ibu asuh beneran, jadi semua yang tokohnya katakan berdering oleh emosi yang feels so true.

Saroo mirip Rano Karno masih muda ga sih haha

Saroo mirip Rano Karno masih muda ga sih haha

 

Hubungan antara berkah dan derita terkadang begitu rumit dan membingungkan, sehingga kita tak menyadari pengaruhnya sama sekali. Dalam film ini, keseimbangan dua hal tersebut dibahas dalam bahasa sinema yang jujur dan powerful lewat Saroo yang menemukan, setelah kehilangan. Saroo mesti nyasar dulu sebelum dia menyadari keberkahan dua kali lipat dari yang bisa ia dapatkan sebelumnya. Berkah yang juga dirasakan oleh orang-orang sekitar Saroo yang terus merindukan cinta yang bersemayam di dalam tragedi.

 

To be honest, meskipun memang sebenarnya Lion adalah FILM YANG INTIMATE DAN SENSITIF dan relatable bagi banyak perasaan rindu, buatku film ini terasa rada pretentious. Gini, Lion ini kayak dua cerita yang berbeda; bagian pertama Saroo kecil yang kehilangan keluarga, dan bagian kedua tentang Saroo besar yang berusaha menggenggam kedua keluarganya. Aku ngerasa film ini berangkat dari kisah menakjubkan Saroo yang berhasil menemukan keluarga aslinya. Hanya saja mereka enggak bisa bikin cerita just around Saroo duduk galau ngulik google map, bikin papan investigasi kayak detektif. That would make a boring story. Buktinya, dalam film ini memang ada bagian ketika Saroo dewasa mengurung diri, dia menggunakan teknologi dan kepintarannya menemukan lokasi kampung halaman yang dulu tak-lurus ia sebut namanya. And it was nowhere near as engaging and compelling as bagian Saroo kecil. Jadi, film ini butuh sesuatu untuk bikin cerita lebih nendang. Mereka memutar kepala looking at the real issue there; Saroo adalah satu dari delapan-puluh-ribu, and they used that. Craft cerita dari sana, gunainnya sebagai hook identitas film. Namun toh, Saroo hanya satu yang beruntung dari delap…who knows sekarang jumlahnya jadi berapa. It did feels film ini enggak really doing anything kepada isu tersebut. They just gain more advantages dengan campaign segala macam. If anything, film ini memperlihatkan anak-anak yang hilang itu bakal pulang sendiri; siapa tahu kali aja kehidupan mereka bakal jadi lebih baik kayak Saroo. I mean, apa yang kita selebrasi jika film ini mendapat penghargaan di Academy nanti?

 

 

Mengatakan film ini berakhir setelah satu jam pertama sesungguhnya agak sedikit mendramatisir. Karena meski ceritanya kayak terbagi dua bagian – dengan drama paruh paling penting tidak pernah semenarik dan semeyakinkan bagian pendahulunya; keintiman hati, dan sensitifitas film ini terus menguar sepanjang durasi. Membuat film ini mudah dimengerti, membuat kita merasakan empati. Begitu powerful sehingga kita ikut merasakan terdiskonek, yang not always menjadi hal yang bagus. As in, film ini jadi kadang terasa mengaum ke arah yang salah.
The Palace of Wisdom give 7 out of 10 gold stars for LION.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

The Conjuring 2 Review

13 Monday Jun 2016

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2016, family, hollywood, horror, love, mystery, relationship, review, sequel, spoiler, supernatural, thought, true story

“A supportive family is what makes a home.”

 

TheConjuring2-Poster

 

Ed dan Lorraine Warren dalam The Conjuring, buat kamu-kamu yang enggak peka sama obvious kode yang diberikan dalam setiap kesempatan oleh filmmakernya, adalah sepasang investigator paranormal yang beneran ada. Istilah kerennya mereka adalah Demonologist. Suami-istri ini ketemu setan lebih sering daripada aku ketemu cewek manis yang sudi untuk senyum balik setelah cukup lama aku pelototin. Tentu saja ada banyak pengalaman menarik dari mereka, dan dari sekian jumlah tersebut, aku menggelinjang begitu tahu kalo The Conjuring 2 kali ini berdasarkan kepada kasus sebuah rumah berhantu di kawasan Enfield, Inggris yang nyaingin The Amityville Horror. Kasus rumah tersebut terkenal dengan judul The Enfield Poltergeist, di internet – apalagi di forum-forum misteri – kasusnya memang rame dibicarakan karena memang sensasional dan, yea, mengerikan. Foto anak cewek penghuni rumah yang sedang melayang di udara seolah ditarik oleh suatu kekuatan tak-terlihat diperdebatkan banyak pihak apakah asli atau tipuan.
Dan film The Conjuring 2 really captures misteri seputar fenomena-fenemona rumah tersebut dan menjalinnya ke dalam sebuah cerita yang kuat. Juga ada sedikit sleuthing skill saat Ed dan Lorraine mencoba memecahkan teka-teki identitas dan motivasi para hantu pengganggu.

 

Keberhasilan film horor gampang untuk diukur; Filmnya seram atau enggak? Kalo misalnya sehabis nonton dan kalian masih merinding disko sampe-sampe ciut untuk keluar rumah cari makan sahur jam dua pagi, terus alhasil kalian cuma meringkuk di kasur sambil ngemil mie mentah bilang “bulan-puasa-hantu-dikurung-kok (33 kali),” maka yup, film tersebut itungannya seram. That is literally happen to me the night after I watched this movie lol

Tak ‘u-uk lah yaw papasan sama suster model begini di tengah jalan

Tak ‘u-uk lah yaw papasan sama suster model begini di tengah jalan.

 

James Wan probably adalah sutradara horor mainstream terbaik periode dewasa ini. Di tangannya, MATERI YANG SEBENARNYA SUDAH OVERUSED tetap bisa terasa genuine serem sekaligus bikin kita penasaran. Dalam The Conjuring 2 kita akan menemukan klise-klise horor semacam anak yang kesurupan, keluarga berantakan, pintu yang digedor, suara tak-berwujud, barang-barang yang piknik ke mana-mana dengan misterius, rekaman suara dan peralatan video untuk nangkap setan, all kind of craziness yang sudah kita expect untuk kejadian. Terlebih dalam film horor yang targetnya pasar global, bukan festival. Kendati semua conventional horror things tersebut numplek di dalamnya, film ini tidak serta merta jadi dull dan boring. I’ve had tons of fun. Bergidik dan nyaris jantungan sih, but still.. FUN! Keahlian direksi dan visi James Wan lah yang bikin The Conjuring 2 ada di beberapa tingkat di atas film hantu kebanyakan. Itu dan ditambah oleh performance dan penulisannya.

Kita bisa merasakan real tension yang terus dibangun. It gets intense as you’ve might expect. Tensinya ditumpuk terus sampai akhirnya tak terbendung lagi. Hal ini dapat tercapai berkat kerja EXCELLENT CINEMATOGRAPHY DAN DESAIN SUARAnya. Favoritku tentu saja adalah adegan entrance dramatis kemunculan dari dinding si hantu yang ngikutin terus ke mana pun Lorraine pergi. Sepertinya aku sudah dapat satu nominasi untuk Best Movie Scene buat My Dirt Sheet Awards tahun depan.

Ada tiga jenis style pengambilan adegan dalam film ini. Sejumlah adegan yang bikin kita nahan napas, antara ketakutan dan sok tahu menatap hanya ke satu titik di layar, menunggu hantunya muncul, dan kemudian mencelos ngeri karena hantunya justru muncul di tempat tak-terduga atau malah absen sama sekali. Build-up adegan kayak gini well-crafted banget dan terbukti ampuh ‘mengecoh’ kita semua. Terus ada juga adegan-adegan yang diambil dengan cara tidak biasa, misalnya adegan Ed yang membelakangi Janet dalam rangka nanyain si hantu Bill yang gak mau bersuara kalo diliatin langsung. This was really intriguing karena di latar – fokus kamera ada di Ed – kita bisa lihat, tapi gak jelas alias ngeblur, transformasi Janet menjadi penampakan pria tua. Dan tentu saja, pengambilan gambar yang udah jadi ciri khas James Wan; long-moving continuous take, yang ngajak kita ngeliat aktivitas penghuni rumah dari berbagai sudut. Dinamis sekali!

Iya, film ini ngagetin. Yes, there are jump scares. Akan tetapi seenggaknya dalam film ini jump scarenya enggak palsu. Tidak sekedar suara yang diilangin untuk beberapa waktu terus kita tahu bakal ada suara ngejreng yang segera ngikutin. James Wan mampu membuktikan kalo dia cakap dalam menggunakan jumps scare dengan efektif. Semua yang membuat kita terbelalak ngeri dalam film ini memang dimaksudkan untuk bikin kita takut. Hal-hal yang menyeramkan terjadi untuk membuat kita terlonjak dari tempat duduk. Maunya film ini mungkin kita mengalami nasib yang sama dengan hantu Bill Wilkins; mati dalam keadaan nonton xD

Dalam film, kursi sofa ini goyang sendiri. Sementara dalam kenyataan, kursi di barisan aku duduk tidak berhenti shaking sepanjang film berlangsung hhihi

Dalam film, ada kursi sofa goyang sendiri. Sementara dalam kenyataan, kursi di barisan aku duduk tidak berhenti shaking sepanjang film berlangsung hhihi

 

Apalah artinya film hantu jika tidak berhasil nyentuh penonton sebagai sesuatu yang nyata. The Conjuring 2 tidak membatasi diri sebagai ajang serem-sereman saja. Film ini juga adalah tentang pernikahan. Tentang keluarga. It is actually about being with somebody that understands you. Bukan enggak mungkin loh ada orang yang sempat baper nonton film ini. The Conjuring 2 mengambil pijakan kepada cerita keluarga yang realistis. Baik keluarga Warren maupun keluarga Hodgson, mereka berjuang demi tempat mereka dalam komunitas. Warren sempat mendapat kecaman publik sebagai tukang ngarang, sedangkan keluarga Hodgson – sesuai dengan fakta kasus di dunia nyata kita – tidak lagi mendapat simpati khalayak karena ada dugaan mereka merekayasa semua fenomena ganjil yang terjadi di kediaman mereka.

Menjaga keutuhan keluarga, mencoba untuk saling melindungi satu sama lain. Mencoba untuk menjadi sebuah keluarga yang fungsional. Bukan hanya soal teknik film, ataupun soal betapa mengerikannya, The Conjuring 2 stands out karena ia adalah sebuah film emosional yang membebani kita dengan problematika nyata yang dengan mudahnya bisa terjadi terhadap keluarga kita sendiri.

 

Arahan yang expert didukung oleh penampilan yang luar biasa terpercaya membuat The Conjuring 2 menyenangkan untuk diikuti. Vera Farmiga dan Patrick Wilson memainkan arc mereka sebagai pasangan yang sungguh menyentuh hati. Sweet banget pas ngeliat Lorraine begitu takut dan gak-rela Ed harus melawan setan sendirian sementara dirinya – yang sudah mendapat penglihatan akan nasib buruk yang bakal terjadi – terkurung di luar rumah. Yang jadi Janet Hodgson, aktris muda Madison Wolfe, juga menyuguhkan really good performance sebagai anak yang paling menderita akibat ulah si hantu jahat itu. Adek ini lah yang pertama dan paling banyak merasakan hal-hal goib. Dia sampai mengikat tubuhnya sendiri di tempat tidur supaya enggak dipindahin sama hantu lagi. Ketakutan yang ia alami terasa real. Saat malam hari di mana semua kegilaan dan kengerian terjadi, kita turut merasakan takut terhadap apa yang akan terjadi kepada Janet dan keluarga. Kita berharap kejadian tersebut berhenti mengganggu mereka. We feel bad for them all. Film ini sukses membuat kita actually care about these characters. Karena setiap mereka ditulis dengan well-rounded. Kita memang akan selalu excited sama adegan yang ada hantunya, dengan yang seram-seram, tapi dalam film ini kita juga tertarik terhadap momen-momen development para tokoh, even the smaller ones.

Regarding struktur, The Conjuring 2 sometimes terasa molor. Kadang seolah dipanjang-panjangin, tetapi minor kok. Pacenya dijaga stabil cepet sehingga walau ceritanya rada ngulur-ngulur tetep kita tidak diberi ruang untuk merasa bosan. Ibaratnya kalo ada yang ngantuk pun, pasti segera melek karena hantunya nongol.

 

 

Nakutin banget, fast-paced, really entertaining. Aku kayaknya lebih enjoy nonton ini daripada The Conjuring yang pertama. Dan perlu dicatat The Conjuring masuk Top-8 film favoritku di tahun 2013. Memang enggak ada satupun aspek horor yang baru yang ditawarkan oleh sekuel ini, kita sudah pernah lihat semua. It does feel like sebuah rumah yang lagi ngadain pesta reunian trik-trik horor mainstream. Namun craft dan penulisan dan performance pemainnya lah yang bikin horor ini berbeda. Film ini mempersembahkan orang-orang nyata yang berada dalam situasi di luar akal sehat, dan itulah yang membuat kita bisa peduli. Yang membuat kita tertarik dan merasa weighted oleh realism. Dan agak tak-peduli bahwa film ini toh terasa kurang tight.
The Palace of Wisdom gives a square 8 gold stars out of 10 for THE CONJURING 2

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember in life, there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Spotlight Review

29 Tuesday Mar 2016

Posted by arya in Movies

≈ 1 Comment

Tags

2015, awards, biography, drama, hollywood, life, media, oscar, review, spoiler, thought, true story

“Seeing a spider isn’t a problem. It becomes a problem when the spider is gone.”

 

Spotlight-Poster

 

Kita hidup di dunia di mana kita enggak bisa mengharapkan seorang pahlawan super datang melibas segala masalah di muka bumi seperti yang dipertanyakan oleh Batman v Superman: Dawn of Justice. Begitu pun kita enggak bisa juga ngarepin masalah-masalah di dunia bisa diselesaikan semudah resolusi dalam film Blusukan Jakarta.
Dalam dunia nyata, pahlawan kita sesederhana guru, dokter, atau jurnalis. Kita memang enggak bisa mengubah dunia dari atas sofa nyaman nan empuk di rumah, tapi kita bisa menulis sesuatu yang paling enggak menginspirasi banyak pihak. Seperti orang-orang dalam film Spotlight. Tim reporter harian The Boston Globe yang berani dan sabar, dengan teguh menyibak skandal yang sangat disturbing dalam jaringan gereja-gereja Katolik di Boston, Massachusetts. Ini adalah kisah nyata, dengan orang-orang yang beneran ada dan beneran menghadapi kecaman publik dan tekanan dari pihak lain.

Mungkin itu sebabnya kenapa film ini memakai cast yang sudah dikenal luas sebagai bintang yang pernah mainin tokoh superhero. Ada Hulk, ada Sabretooth, dan yea juga ada Batman, karena kenapa tidak. It fills the purpose, gimana sih pahlawan di dunia nyata. Hebatnya arahan film ini adalah meski kita tahu dengan mereka, kita masih percaya kalo orang-orang tersebut adalah benar seorang jurnalis yang nyata. Spotlight enggak membuat mereka terlihat menggebu ataupun mengungkap berita mengerikan tersebut dengan niat menjadi seorang pahlawan yang dipuja dan dielu-elukan. Film ini membuat mereka jujur seperti apa adanya; mereka hanya reporter yang peduli terhadap kerjaan mereka, reporter yang ingin mempersembahkan sebuah cerita yang bagus dan sukur-sukur membuka mata orang-orang tentang kebenaran yang selama ini disembunyikan.

Dan aktor-aktor tersebut, mereka menghilang sempurna ke dalam karakter reporter yang mereka perankan. Michael Keaton benar-benar sudah enggak terasa seperti Birdman. Enggak ada secercah pun karakter detektif tangguh dalam penampilan Rachel McAdams meski di sini dia juga menginterogasi korban sampe ke dalem-dalem seperti perannya dalam musim kedua serial True Detective. Yang paling terlihat beda adalah Mark Ruffalo. Penampilannya dalam film ini bisa dibilang sebagai salah satu dari suguhan terbaik sepanjang karirnya. Mark melakukan sesuatu yang berbeda dengan suaranya, yang keluar begitu alami sehingga aku percaya memang seperti begitulah aslinya dia berbicara. Sungguh sebuah pencapaian luar biasa bisa membuat penonton melupakan sosok yang so recognizable dan ikut tenggelam ke dalam seseorang berbeda yang mereka perankan.

 u-huh see the movie Spotlight, “oooh I love your style”

uh-huh see the movie Spotlight, “oooh I love your style”~~

 

Nonton Spotlight kita akan dibuat geregetan karena film ini ahli banget dalam soal menahan-nahan. Aku dibuat tertegun lagi dan lagi menyaksikan cerita film ini terungkap dengan perlahan, di mana selalu ada kejutan – selalu ada stake – yang dihadapi oleh para reporter tersebut. Spotlight really HOLDING BACK ALOT. Bahkan para aktornya juga sepertinya diarahkan untuk bermain dengan menahan-tahan. Kita bisa lihat sendiri cuma satu kali ada adegan seorang teriak karena frustasi. Kebanyakan adegan yang kita lihat adalah mereka duduk terdiam, sambil ngurut kening atau ngusap-ngusap wajah dan bergumam lirih “this is not good”. Inilah yang membuat kenapa aku suka film ini. Reaksi yang mereka perlihatkan itu genuine; natural dan enggak dibuat-buat. Membuat film jadi nyata seperti cerita yang dijanjikannya.

Gini deh, bayangin jika kalian mendengar suatu kabar buruk; skripsi ditolak, atau gaji belum dikirim, atau mungkin denger kabar hari Senin dimajuin ke hari Minggu. Kita enggak serta merta bereaksi dengan ngelempar kursi ke dinding, kan? Lebay banget kalo iya. Umumnya sih kita paling hanya geleng-geleng kepala sambil ngembusin napas. Mungkin sambil ngurut-ngurut dada.
Dan begitulah cara para aktor Spotlight memainkan peran mereka sepanjang film. Selama proses investigasi, setiap ada hambatan yang mereka temui, entah itu dari pihak hukum yang ingin menutup-nutupi atau simply karena mereka tahu harus menunggu waktu yang tepat, para reporter tersebut bertindak persis bagaimana reaksi manusia yang terjadi di dunia nyata.

 

Spotlight adalah film yang disturbing, tapi disturbing dalam kapasitas yang tepat. Mengganggu, karena ini adalah kejadian yang benar-benar terjadi tahun 2001 lalu. Kasus yang diragukan oleh banyak orang, dan kita melihat langsung perjuangan sekelompok yang berani mengangkat kasus ini dalam sorotan cahaya. Sekelompok orang yang melakukan perbuatan yang terpuji. Mereka tidak membiarkan masalah yang mereka temukan hilang begitu saja. Tidak salah jika mereka kita sebut pahlawan jurnalis. Pertanyaan yang lebih mengganggu adalah; masih adakah jurnalis pahlawan kala sekarang ini?

 

Bukan berlebihan jika banyak yang bilang Spotlight adalah film horor. Aku sendiri cukup merinding menyaksikan bagaimana cerita kasus tersebut terungkap. Kasusnya terus saja terbendung, sampai ke titik aku bengong menyadari ini semua benar terjadi di Amerika sana (“oh…my…god”) Tentu saja, aku juga terinspirasi, dalam hal tulisan kita mampu mengubah dunia. Lewat film ini kita belajar tentang dunia jurnalisme, khususnya jurnalis investigasi yang butuh kesabaran dan terutama keberanian untuk mengungkap sesuatu yang berlawanan dengan yang sudah dipercaya oleh sebagian besar masyarakat. Berlawanan dengan sistem. Sacha Pfeiffer dan rekan-rekannya tahu bahwa tugas seorang jurnalis bukan hanya mengidentifikasi masalah, tapi juga menyelidikinya masalah tersebut sampai ke akarnya. Mungkin jurnalis investigasi seperti ini sudah agak redup di jaman media online yang lebih mengutamakan kecepatan berita, dan film ini mengingatkan kita tentang betapa pentingnya sesuatu yang melewati proses yang panjang dan melelahkan. Aku kesulitan mencari adegan yang paling aku suka karena memang semua adegan, semua sekuens investigasi dalam film Spotlight adalah sama pentingnya. It shows us the process dan tantangan yang memang betul-betul dialami oleh reporter yang menyelidiki.

 

 

Paket lengkap sebuah tontonan yang membuka mata. Diarahkan dengan cakap, well-written, sekaligus dimainkan dengan penampilan yang luar biasa. Film ini diceritakan dengan sangat baik sehingga seolah kita sedang menonton tayangan dokumenter. Bahkan rasanya seperti menyaksikan kejadian tersebut secara langsung. Satu lagi yang enggak bisa disangkal dari film ini adalah faktor kepentingannya. Tidak ada kata tidak untuk film ini jika kalian suka menonton cerita yang benar nyata dengan kasus mengerikan yang betulan terjadi di baliknya. Pantas saja film drama biography ini terpilih jadi Best Picture Oscar 2016. The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for SPOTLIGHT.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember in life, there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

 

We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

The Finest Hours Review

09 Tuesday Feb 2016

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2016, comparison, drama, hollywood, life, love, nature, review, spoiler, thought, true story

“The greatest crimes in the world are not committed by people breaking the rules but by people following the rules.”

 

TheFinestHours-Poster

 

Perhatiin gak beberapa tahun belakangan lagi ngehits banget bikin film yang diangkat dari kejadian yang pernah terjadi. Lihat saja nominasi Oscar tahun ini. Bukan hanya film bagus, nonton film yang biasa-biasa aja pun seringkali kita menemukan tulisan “berdasarkan kisah nyata” dipajang sebagai nilai jual utama. Padahal dulu film-film enggak seunjuk gigi begitu loh, ke mana perginya tulisan “cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaaan nama dan tempat hanyalah ketidaksengajaan saja” itu sekarang?
Sebenarnya predikat film yang demikian memang cuma strategi pemasaran aja. Film yang ‘minta maaf’ biasanya memang diniatkan untuk nyinggung suatu kejadian beneran. Sementara film yang membusung dada bilang ia adalah kisah sejarah manusia, justru cenderung menyelipkan banyak unsur fiksi sehingga ceritanya bisa jauh lebih menarik. The Revenant misalnya, Hugh Glass yang asli tidak punya anak Indian yang mati dibunuh.

Toh, to some extent, semua film sebenarnya adalah kerja fiksi. Tapi kita tetep lebih suka nonton film yang ditempeli label “dari kisah nyata”. Kenapa? Simpelnya karena kita suka nonton perjuangan orang-orang yang berhasil, apalagi kalo tokoh yang punya mimpi sama dengan kita itu benar-benar ada. Makanya, tidak susah bagi The Finest Hours untuk memikat kita. Drama penyelamatan ini dibuat untuk mengenang kisah empat orang Penjaga Pantai yang mengarungi badai dalam sebuah misi penyelamatan setengah Kapal Tangker Pendleton. Perjuangan yang nyaris mustahil. Membuat Bernie Webber, Richard Livesey, Andy Fitzgerald, dan Ervin Maske menjadi pahlawan dalam sejarah kelautan Amerika. Dan bukan Disney namanya jika tidak berhasil memasukkan hati ke dalam cerita yang basah namun hangat tersebut.

gile aja itu ada yang duduk di ujung kapal, face-to-face ama ombak!

gile aje itu ada yang duduk di ujung kapal, face-to-face ama ombak!

 

Jika dibandingkan dengan In the Heart of the Sea (2015), CGI yang digunakan oleh The Finest Hours memang ketinggalan. Namun pengalaman yang disuguhkan juga tak kalah seru. Musik latarnya sangat mendukung experience saat kita menonton. Ada adegan nyanyi untuk membangkitkan nyali dari salah seorang relawan, random tapi it is a nice touch, jadi kerasa Disney nya!

Secara garis besar ADA TIGA NARASI UTAMA di dalam film ini, dan dua di antaranya akan membuat kita terombang ambing, berpindah dari satu kapal yang mau tenggelam ke kapal yang diterjang badai lain. Laut selalu marah, membuat intensitas adegan senantiasa meningkat. Ada saja penghalang tangker itu mencari tempat dangkal. Terus saja ada hambatan yang didapat oleh motorboat yang mencari si kapal tangker. Build-up yang efektif. Terlebih karena kita sudah dikenalkan kepada tokoh-tokohnya. Baik bagi Webber maupun bagi si engineer kapal, Sybert, bencana ini adalah ajang pembuktian diri mereka masing-masing. Kedua orang cakap ini punya masalah yang sama. Mereka orang pasif yang lebih suka nurut perintah atasan walau enggak jarang mereka malah lebih tahu mana yang lebih baik. Untuk kasus Ray Sybert, saking lay low nya, dia enggak berani menatap mata rekan-rekannya saat melaporkan kondisi kapal kepada semua orang.

Mengikuti perintah atasan adalah hal yang penting sebagai sebuah tim, tapi ada saatnya kita harus mengikuti perintah kata hati sendiri. Karena kesalahan paling besar adalah mengikuti apa yang jelas-jelas tidak benar.

Chris Pine dan Casey Affleck mengemudikan film ini dengan kenon-agresifan tokoh mereka masing-masing. Buatku, Chris Pine sebagai Bernie Webber terasa lebih genuine. Dalam beberapa kesempatan kita merasakan keengganannya untuk menjalankan perintah. Dan di adegan dia bengong ditinggal pergi setelah bilang “tidak” kepada calon tunangannya, well, kita seolah bisa mendengar roda-roda otaknya berputar mempertimbangkan jawaban yang sudah ia berikan. Motivasi Webber, rasa bersalahnya – apa yang membuat dia menjadi lebih memilih untuk manut, lebih bisa kita mengerti. Alhasil semua nya terasa kebayar setelah dia memutuskan melawan perintah, justru saat keadaan lagi genting-gentingnya. Bukan karena seumur-umur belum pernah dipanggil “kapten”, kita tahu ada sesuatu yang lebih dalem yang membuat Webber berubah.
Sebaliknya tokoh Sybert yang diperankan Casey Affleck malah condong ke arah annoying. Lebih sedikit ruang untuk Affleck mengembangkan karakternya. Untuk sebagian besar waktu, dia hanya kelihatan sebagai si tahu-segala yang pendiam. Saat menolak ditunjuk sebagai pemimpin, alasan yang ia lontarkan terdengar kayak remaja labil yang super-angsty, “Nobody likes me!”.. well, yea, boo-hoo for that! Ujungnya juga tidak spesial. Momen Sybert memuji Webber di atas kapal penyelamat seharusnya bisa lebih epik lagi mengingat itu adalah momen ketika kedua pribadi yang ‘tumbuh bareng dalam cerita’ bertemu untuk pertama kali.

 

 

Apa persamaan dari badai dan pernikahan? Itu bukan tebakan, itu adalah hal yang ditanyakan oleh Mirriam kepada Webber. Pertanyaan yang bikin pria yang sehari-hari melaut itu menjadi sadar. Tokoh yang dimainkan dengan manis tapi tegas oleh Holliday Grainger ini adalah pasangan kontras yang sempurna untuk Webber. Kontra mereka juga digambarkan lewat cut antar-adegan yang terasa sangat ‘keras’ antara mereka berdua. Kita ngeliat Webber kesusahan mengemudikan kapal di tengah ributnya deru angin dan –pet!—adegan pindah ke Mirriam di daratan yang hening dan penuh kecemasan. Agak sedikit menganggu, sih.

Sepertinya mustahil untuk menulis analisis literal terhadap karya jaman sekarang tanpa ada implikasi feminisme di dalamnya, hahaha, kehadiran Mirriam dalam The Finest Hour memperkuat keyakinanku akan hal itu.

Webber diketawain oleh rekan pelautnya lantaran Mirriam lah yang practically melamar duluan alih-alih sebaliknya. Dan dalam usahanya sebagai si aktif, Mirriam yang menerobos kantor Kapten Cluff, terlihat sebagai lambang perjuangan kesetaraan gender. Bahwa siapa yang pake celana dan siapa yang pake rok tidak lagi jadi soal dalam hubungan mereka. Pada intinya Mirriam adalah tambatan emosional buat Webber.

mereka kenalan lewat telepon, karena 1952 belum ada facebook hihi!

mereka kenalan lewat telepon, karena 1952 belum ada facebook hihi!

 

Karena sebagian besar adegan terjadi di malam hari, FILM INI GELAP SEKALI. Mungkin untuk menutupi kekurangan dalam efek visual. Tapinya lagi malah berbuntut kita susah untuk mengikuti apa yang terjadi. Bahkan saat siang pun kita akan dibuat bingung oleh percakapan tentang istilah laut yang pastinya tidak familiar. Sutradara Craig Gellispe tampaknya lebih nyaman bermain di darat bersama tokoh-tokohnya. Adegan-adegan intens di laut, tepatnya lebih terasa diintens-intensin. Aksi mengemudikan kapal bermanuver menerobos badai membuat Webber serasa pahlawan super. Aksi penyelamatan kru Pendleton terasa diatur dengan segala drama-drama nya, hampir mirip episode Fear Factor. Aksi kamera nya juga kadang terlalu susah untuk membuat kita fokus; ada saat ketika film ini mengambil gambar dengan take panjang ala Birdman – waktu adegan penyampaian informasi dalam Tangker Pendleton – but it just doesn’t work.

Yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja adalah BANYAKNYA KEBETULAN DEMI MAJUNYA NARASI FILM. Aku enggak tahu apakah dalam peristiwa nyatanya memang begitu. Masalahnya adalah terlalu banyak kebetulan bukanlah hal yang bagus untuk sebuah film. Kebetulan radar menangkap badan kapal yang sebenarnya telah kehilangan kemampuan untuk ngirim sinyal. Kebetulan kompas hilang dan motorboat berjalan ke arah yang benar. Kebetulan kalo yang badannya paling gede meninggal sehingga beban kapal kecil jadi enggak berat-berat amat. Kebetulan mereka muncul tepat di dermaga kota, HA! Penjelasan ‘masuk akal’ yang diberikan film ini adalah si Webber tahu arahnya jika ia bisa merasakan hembusan angin di telinga kanannya. Meh, I didn’t buy that even for a second. Ending film ini lebih lemah ketimbang ending The 33 (2015), film dari kisah nyata penyelamatan para penambang terperangkap di bawah tanah.

And oh, ngomongngomong, kenapa jumlah korban terperangkap dalam dua film ini sama ya? Ada apa dengan tiga-puluh tiga? Hiiii…!!

 

Dua jam menonton ini jelas bukan lah the finest hours dalam bioskop yang pernah kualami. Namun juga bukan yang buruk. It was fine. Film ini masih enjoyable. Gaya Disney membuat kisah nyata yang inspirasional ini semakin gampang untuk disukai. Tapi narasi nya terlalu bergantung kepada kebetulan, hal yang juga diakui dalam filmnya sendiri dengan istilah “keberuntungan”. Sayangnya, kebetulan-kebetulan tersebut membuat film ini sendiri menjadi tidak lagi seperti kisah nyata. The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 for THE FINEST HOURS.

 

 

 

That’s all we have for now.
Remember in life , there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Recent Posts

  • WrestleMania 37 -Night II Review
  • WrestleMania 37 -Night I Review
  • [Reader’s Neatpick] – FLIPPED (2010) Review
  • CHAOS WALKING Review
  • TERSANJUNG: THE MOVIE Review
  • GODZILLA VS. KONG Review
  • THE FATHER Review
  • Fastlane 2021 Review
  • ZACK SNYDER’S JUSTICE LEAGUE Review
  • CHERRY Review

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought thriller

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • @RandyAshem Dogol emang sih ya, motong gak liat2 konteks hahaha 3 hours ago
  • Four Horsewomen, beware! Raquel >< Becky Bianca >< Sasha Rhea >< Charlotte Mereka kurang satu lagi tuh, tinggal co… twitter.com/i/web/status/1… 3 hours ago
  • Ya kalo film anak, ada adegan belah kepala, yaa bolehlah dicut. Kalo film keluarga, ada adegan gory, ya bolehlah di… twitter.com/i/web/status/1… 8 hours ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Blog at WordPress.com.

Cancel

 
Loading Comments...
Comment
    ×
    loading Cancel
    Post was not sent - check your email addresses!
    Email check failed, please try again
    Sorry, your blog cannot share posts by email.
    Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
    To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
    %d bloggers like this: