ODDITY Review

 

“The only true voyage of discovery would be not to visit strange lands, but to possess other eyes”

 

 

Kau sendirian malam itu di rumah barumu yang belum selesai direnovasi. Lampu-lampunya bahkan belum terpasang semua. Kesunyian membuat tiupan angin dan derit-derit rumah terdengar mengancam. Sudut-sudut gelap mengundang pikiran macam-macam. Mendadak, pintu depan diketuk dengan lantang. Seorang pria asing berdiri di luar sana, bersikeras supaya kau segera membuka pintu, karena dia bilang tadi dia melihat seseorang masuk ke rumahmu. Akankah kau percaya dengan kata-katanya – maukah kau membuka pintu? Tergantung, mungkin pikirmu. Tergantung siapa yang di balik pintu itu. Maka kau membuka slot jendela di pintu untuk melihat siapa di luar sana. Walau asing, tapi kalo penampilannya cukup meyakinkan, mungkin kau akan percaya. Afterall lebih aman berdua daripada sendirian di rumah yang memang udah bikin senewen sedaritadi. Tapi ternyata orang itu pucat, tampak liar dengan rambut gondrong, terdengar edan dengan kata-katanya yang semakin tidak masuk di akal, matanya cacat sebelah pula. Kau semakin terperosok ke lubang dilema yang bisa-bisa berujung kehilangan nyawa. Itulah opening dari Oddity, horor kedua karya Damian Mc Carthy. Dia langsung membenturkan antara ketakutan kita terhadap sesuatu yang tak terlihat, dengan ketakutan kita terhadap hal di depan mata – yang kita kira kita lihat. Suspens cerita ini begitu kerasa. Karakternya gak tahu harus percaya apa. Kita gak tahu harus percaya apa! Akhirnya, Dani – si karakter – memutuskan untuk membuka pintu. Lantas adegan tersebut dicut, kita pindah ke karakter lain, beberapa waktu kemudian.

Nasib Dani jadi misteri yang menghantui karakter-karakter lain yang dia tinggalkan. Namun buat kita, nasib Dani ‘baru’ set up yang melandaskan betapa hebatnya Oddity dalam bercerita horor. Baru teaser for more great storytellings to come. Karena, hal terbaik pada Oddity ini adalah pembuatnya kentara sekali punya passion yang kuat terhadap cerita horor, dan paham bagaimana menceritakan itu, khususnya lewat editing yang cut to cutnya precise sekali dalam membangun misteri kemudian mereveal, tanpa sedikitpun mengurangi suspens yang terus saja dibangun. Momen-momen di Oddity ini vibenya kayak kumpulan cerita-cerita pendek horor klasik yang dikemas menjadi satu cerita-panjang modern. Ada elemen supernatural dari karakter yang literaly punya kekuatan cenayang, ada elemen mitos yang dipadukan dengan horor creature; dari makhluk yang kayak golem kayu, ada elemen psikologikal thriller, home invasion, bahkan rumah-berhantu, serta juga ada elemen misteri whodunit. See, ini bakal jadi exactly my choice untuk ditonton lagi pas merayakan musim halloween nanti!

Paket komplit banget gak tuh!?

 

Dari elemen-elemen itu, yang mau kuhighlight di sini adalah soal rumah-berhantu dan creature Wooden Man-nya. Aku takjub aja sama gimana film menggunakan elemen tersebut, uniknya film ini lebih mudah kita rasakan jika melihatnya dari sana. Dalam horor, rumah berhantu adalah panggung. Set piece yang bakal jadi tempat karakter lari menyelamatkan nyawa, tempat kamera bermanuver membangun atmosfer atau juga membuild up jumpscare dan penampakan lainnya, juga menjadi latar yang menambah identitas dan karakterisasi ceritanya itu sendiri. Makanya biasanya rumah itu jadi ruang tertutup yang ‘mengunci’ karakter, tapi juga biasanya dibuat besar. Supaya ruang gerak galian horornya lebih luwes. Rumah berhantu di Oddity punya interior yang tidak biasa. Rumahnya gede, tapi yang actually digunakan sebagai panggung hanya sebagian kecil. Dan itu bentuknya basically cuma ruangan yang panjang, dengan balkon di atas. Ruangan yang benar-benar diset supaya sudut pandang karakternya cuma lurus, dan they will always have to turn their back untuk melihat porsi ruangan lainnya. Ini ngasih sensasi seram tersendiri. Ditambah pula posisi pintu masuk yang basically di tengah set, sehingga siapapun yang masuk dan keluar pasti ke-notice, dan untuk mencapai pintu berarti mereka mengekspos diri mereka. Membuat diri mereka terlihat.  Kata ‘lihat’ bakal banyak dijumpai, karena merupakan bagian dari tema besar cerita ini.

Jadi yang dilakukan film ini adalah membalikkan fungsi, menggulingkan ekspektasi -mengsubversi apa yang biasanya kita ketahui dari fungsi rumah sebagai panggung. Bukan lagi untuk survival, melainkan supaya karakter stay in the center, supaya terlihat dan melihat, serta memberikan tantangan karakter dalam proses melihat tersebut. Subversi yang sama kita jumpai juga pada elemen creature horornya. Si Wooden Man yang mirip Golem tanah liat dalam mitos; bisa melakukan apapun jika dimasukkan suatu barang personal ke dalamnya. Enggak seperti makhluk horor lain yang biasanya ‘diumpetin’ dulu atau kayak ‘dispesialkan’, Wooden Man ditarok Oddity gitu aja di tengah-tengah ruangan. Di tengah-tengah cerita. Duduk, diam, bikin takut karakter yang melihat. Ngasih uneasy feelings yang konstan kepada kita, karena kita bakal ‘ngarep’ untuk menangkap momen dia bergerak di latar itu.  Perasaan semacam itu yang terus diincar oleh film; semacam dramatic irony yang kita ngerasa waspada lebih dahulu daripada karakternya, dan juga semacam ekspektasi untuk melihat horor. Bahkan pada adegan terakhirnya pun, ekspektasi kita terhadap gimana makhluk horor hadir sebagai penutup juga dijungkirkan. Aku kinda berharap bakal ada jumpscare, tapi kalo aku udah keburu nutup mata aku gak bakal lihat nada berbeda film ini menutup cerita horornya. Jadi alih-alih membuat kita siap-siap menutup mata, film ini seolah menantang kita untuk meminta horor itu datang.  Meminta makhluk kayu kayak manusia tadi itu bergerak. Film menantang untuk kita membuka mata. Untuk melihat. There goes that word again.

Melihat. Dengan apa? Dengan mata. Mata apa? Soal mata dan penglihatan jadi tema berulang yang hadir di sepanjang cerita. Pria asing yang matanya cacat sebelah (mata yang rusak ia tutup dengan mata porselen). Kembaran Dani, Darcy, yang buta tapi bisa melihat hal-hal beyond normal dengan mata batin. Suami Dani, Ted, seorang dokter di asylum yang – biasalah tipikal man of science gini – hanya melihat hal-hal logis dan menutup diri kepada hal supernatural. Oddity menempatkan karakter-karakternya ke dalam situasi yang mengharuskan mereka memperlebar pandangan. Cerita sebenarnya berpusat pada Darcy yang ingin menyelidiki kematian kakak kembarnya, maka dia – dengan segala perlengkapan cenayangnya, termasuk si Wooden Man tadi – menginap di rumah baru Dani. Rumah yang kini ditempati Ted bersama pacar barunya. Darcy dan Ted punya pandangan, kepercayaan, dan rahasia masing-masing. Cerita suggest harusnya mereka bukan hanya melihat dari sudut lain, tapi juga dari literally mata yang lain.

Bukan soal sejauh apa kita main, memperluas pemahaman terhadap suatu hal bisa jadi justru adalah soal kemauan kita melihat hal yang dekat tapi kali ini coba dari kacamata yang lain.

 

Best quote “I’m a doctor, Yeah, of course, I can be the villain”

 

Sadisnya film ini, para karakter tersebut tidak didorong untuk berubah, untuk sadar, untuk punya journey – bagi Darcy dan Ted, Oddity ini adalah tragedi naas dan cerita kelam antara karakter yang tidak mau dan yang  tidak bisa membuka pandang mereka. I mean, tega banget film ngasih Darcy adegan ‘terjun’ seperti itu. Mata batin bahkan tidak bisa banyak membantu ataupun jadi jaminan kebenaran. Sama lamurnya sama mata dokter Ted yang pongah; Ted juga sepertinya gak jadi selamat karena mata dunianya terlalu sempit.  Maka itu Oddity ini jadi literally keganjilan juga sebagai sebuah film. Oddity gak mau ngasih development buat karakternya. Mereka lebih dekat jadi sebagai cautionary tale – dalam sebuah kisah yang bentukannya persis dongeng horor jaman dulu. Alih-alih development dan journey karakter, sebagai film, Oddity justru hanya seperti terstruktur dari lembaran-lembaran revealing. Ternyata demi ternyata. Aku bahkan gak bisa ngomong banyak tentang karakterisasi ataupun misterinya, karena bakal bikin revealing itu jadi gak istimewa lagi, dan Oddity kinda bersandar ke sana. Tema sudut pandang melihat tadi ditranslasikan menjadi film ini tidak punya tokoh utama yang sejati. Kita melihat cerita dari perspektif berbagai karakter; Darcy, Dani, Ted, pacar Ted, dan bahkan si ‘pelaku’, perspektif mereka yang seperti cerita-cerita pendek itu amprokan membentuk cerita-besar film ini.  Oddity adalah cerita horor yang perfect, but it went on against bentukan film yang kita kenal.

 

 




Oddity adalah keganjilan. Baik itu tentang temanya, maupun juga tentang posisinya sebagai film itu sendiri. Sialnya, ini bikin aku susah menilai hahaha.. Sebagai cerita horor, ini perfect banget buat halloween. Cerita yang benar-benar spooky, dengan arahan yang kerasa banget passionnya ke genre ini. Precisenya editing, desain, set piece, dan timing revealing membuatnya enak banget diikuti. Ditambah elemen-elemen horornya paket komplit. Diangkat pula oleh penulisan yang memuat tema dan gagasan serta konsep yang ganjil di balik pengungkapan-pengungkapan kejadian.  Sebagai tontonan horor, ini favoritku tahun ini; 8.5 out of 10. Love it very much. Tapi ini adalah review film. Keganjilan ataupun resiko yang diambil Mc Carthy dalam mempresentasikan cerita horor ini enggak in-line dengan nilai-nilai plus sebuah film. Teknisnya bagus, teknik berceritanya juara, tapi yang kumaksud adalah cetakannya. Cerita tanpa development, tanpa journey, tanpa perspektif utama yang utuh, bukan cetakan ‘film’ yang selama ini jadi standar penilaian kita. Ah, I wish aku tidak perlu melihat cerita ini sebagai film, lebih baik kalo ini tuh kayak video-video atau klip yang kita tonton di internet – yang so good sampai kita bilang “ah. cinema!” 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ODDITY

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian seharusnya kita memandang/melihat sebuah film? Apakah bisa hanya dari cerita atau faktor hiburannya saja – terpisah dari struktur atau cetakan yang membuat dia berbeda dari video-video tayangan lain yang lebih bebas?

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SCREAM VI Review

 

“A franchise is a family”

 

 

Rule number uno dari franchise adalah membuat setiap rilisannya terus membesar. Tapi aturan seperti itu juga ada pada bola salju yang melongsor. Membesar dan terus membesar sampai hancur berkeping-keping. Maka supaya franchise tidak sekadar jadi seperti bola salju, filmmaker dan studio perlu  ngisi film-film itu dengan sesuatu yang ‘lebih’. Scream, by now, telah menjadi franchise horor thriller yang dinanti bukan saja karena elemen whodunit yang exciting, tapi juga karena selalu punya komentar terhadap trope ataupun perkembangan genrenya sendiri. Warisan Wes Craven ini memang tampak ‘aman’ di tangan duo Matt Bettinelli-Olpin – Tyler Gillett yang tahun lalu membuktikan mereka sanggup menyenggol requel, horor modern yang ‘nyeni’, serta toxic fandom sekaligus di balik episode baru teror Ghostface di Woodsboro. Scream lima, despite judulnya yang membingungkan karena gak pake angka, terasa seperti kelanjutan yang ‘benar’ – yang respek, sembari terasa berani mengguncang fondasi pendahulunya. Memberikan franchise ini arahan baru yang pantas kita tunggu, Ketika mereka kembali dengan Scream VI, mereka memang memantapkan arahan tersebut. Membuat Scream menjadi semakin besar sebagai franchise, sekaligus berusaha menyentil franchise modern itu sendiri.

Jadi juga Scream waving ke Samara Weaving

 

Beberapa bulan setelah kejadian Scream lima, Sam dan adiknya, Tara, pindah ke New York, Tara udah kuliah, dan Sam ada di sana untuk menjaga adiknya. Like, menjaga yang bener-bener jaga kayak helikopter parent, gitu. Pergaulan mereka dikontrol ketat. In fact, sahabat mereka, si kembar Mindy dan Chad yang juga survivor serangan Ghostface di film sebelumnya itu, juga ikut pindah ke sana. Diminta Sam bantu menjaga Tara. Keempat orang yang menamai diri Core Four ini memang saling menjaga apapun di antara mereka. Berhati-hati dengan teman baru, dan sebagainya. Hal ini actually membuat Tara gerah. Menimbulkan sedikit friksi antara dia dengan kakaknya. Sementara itu ada Ghostface baru di luar sana yang mengincar mereka. Ghostface kali ini sangat berbeda. Lebih brutal, lebih nekat, Ghostface yang mereka hadapi sekarang gak akan malu-malu menyerang di tempat terbuka. Melukai siapapun. Worst of all, Ghostface yang satu ini bahkan bukan penggemar film ataupun horor. Sehingga tidak ada ‘rule’ yang bisa dipegang oleh Sam, Tara, dan teman-teman yang lain untuk memprediksi serangannya!

Jerat-jerat pemikat telah disebar Scream VI semenjak opening sequence. And I’m not just talking about Samara Weaving haha.. Yang mau kubilang adalah soal Scream VI yang tau-tau ngasih lihat wajah di balik topeng Ghostface di adegan pembuka! Wah, pas nonton aku langsung melongo. Belum pernah loh, Scream melakukan hal kayak gini sebelumnya. Aku sempat mikir wah ini keren juga kalo kita udah tau duluan siapa pelakunya. Elemen Whodunit mungkin jadi melemah, tapi bayangkan dramatic irony yang kita rasakan kalo kita melihat Sam atau Tara terjebak mempercayai pelaku. Tapi ternyata, ada Ghostface satu lagi yang di momen pembuka itu membunuhi geng Ghostface yang pertama, Ah, kepalaku memang ternyata langsung melangkah jauh saking ‘baru’nya langkah yang diambil Scream VI, namun aku tak merasa kecewa. Development bahwa ternyata ada Ghostface lain yang membunuhi Ghostface satunya, masih tetap merupakan langkah baru yang dilakukan pada franchise Scream, dan opening itu sukses membuatku bertanya-tanya apa lagi yang bakal dilakukan oleh sutradara untuk membuat film ini mengejutkan. Sepanjang durasi, seorang fans Scream sepertiku, niscaya bakal jerit-jerit demi ngeliat apa-apa yang dimunculkan, dan dibawa kembali oleh film ini. Kirby’s return, Gale mendapat telefon dari Ghostface untuk pertama kalinya sejak film pertama, Stu Macher ditease mungkin masih hidup (!) dan banyak lagi easter eggs lain apalagi karena investigasi Ghostface kali ini melibatkan banyak topeng dan memorabilia dari film-film Scream (alias Stab dalam dunia cerita mereka) sebelumnya. Nostalgia makin tak tertahankan karena film ini mencerminkan dirinya pada Scream 2.

Seperti sekuel original tersebut, Scream VI membawa action keluar dari Woodsboro. Hanya saja Scream VI mengambil langkah esktra. As in, pembunuhan sekarang bisa terjadi pada siapa saja, termasuk orang-orang di mini market yang bahkan gak ada sangkut pautnya sama Sam dan Tara. Ini menciptakan stake yang semakin besar. Belum lagi, narasi juga mengestablish soal rule franchise yakni semua karakter expendable. Artinya, semua karakter bisa mati. Semua karakter mungkin untuk jadi pelaku. Bahkan karakter original seperti Gale. Semua karakter dalam franchise jadi ‘kalah penting’ dari IP yang dibangun. Dengan itu, Scream VI cuek saja bikin lokasi dan adegan pembunuhan di tempat-tempat terbuka yang rame oleh orang-orang. Seolah kota New York itu sama jahatnya dengan Ghostface. Kita dan geng protagonis gak tahu siapa atau di mana yang aman. Arahan duo sutradara kita yang memang energik dalam bermain kucing-kucingan yang brutal, bikin film Scream kali ini makin terasa ekstrim. Untuk mendaratkan cerita, film memberi lumayan banyak fokus pada persoalan kakak-adik Sam dan Tara. Dua karakter ini jadi hati cerita. Karena ini bukan saja tentang kakak yang mencemaskan adiknya, ini juga adalah tentang dua survivor yang memiliki cara berbeda dealing with trauma. Permasalahan Sam yang masih dirundung bayangan ayahnya yang serial killer, juga terus dieksplorasi naskah. Scream VI menjadikan itu sebagai corong untuk berkomentar soal gimana di dunia sosial kita sekarang, seorang korban bisa balik diantagoniskan.

Malah di kita, korban yang udah tewas aja bisa dijadikan pelaku

 

Victim-blaming, sindiran buat franchise, kisah trauma shared by sisters, elemen-elemen cerita pada film ini sayangnya tidak benar-benar terikat dengan memuaskan. Franchise modern Scream di luar Wes Craven mulai kick-off, tapi langsung tersandung karena Matt dan Tyler seperti masih berkutat untuk keluar dari trope-trope franchise yang mestinya mereka examine. Melissa Barrera dan Jenna Ortega seharusnya sudah bisa lepas mewujudkan karakter mereka – and they did, mereka punya lebih banyak ruang kali ini karena ini pure cerita dari perspektif mereka – tapi dalam naskah, Tara dan Sam masih belum sepenuhnya ‘bebas’. Matt dan Tyler yang pada Scream lima membunuh Dewey, karakter original, kali ini seperti ragu-ragu dalam memperlakukan Gale, Kirby, dan yang lain. The elephant in the room adalah Sidney. Protagonis utama lima Scream sebelumnya, the face of Scream, tidak lagi muncul di film. Backstage, karena Neve Campbell tidak setuju dengan bayaran yang ditawarkan. Kita gak akan bahas gosip di luar film itu di sini, namun naskah Scream VI mau tidak mau harus nge-write off karakternya. Sidney memang ditulis ‘keluar’ dengan penuh hormat, disebut oleh karakter lain mengejar happy endingnya sendiri. Namun momen itu hanya terasa seperti throw-away, cari aman, di saat Mindy dalam monolog flm-nerdnya menyebut contoh-contoh karakter utama (di antaranya ada Luke Skywalker,  Laurie Strode di sekuel-sekuel original, Ripley di Aliens, dll) yang dibunuh demi jadi pijakan buat franchise bisa berkembang. Scream VI menyindir pembunuhan karakter tersebut dengan melakukan ‘pembunuhan karakter’ lewat aksi-aksi yang kurang konklusif, yang kurang impactful. Aku lebih suka gimana mereka nekat membunuh Dewey sebagai hook drama, ketimbang membuat para karakter legacy itu muncul untuk beraksi ala kadarnya. Kayak kalo di WWE, ada pegulat legend dibook cuma buat nongol di ring, dan menang atas superstar baru. Akan lebih impactful kalo legend itu dibuat kalah, karena dia bakal ngeboost status superstar muda yang mengalahkannya.

Tau gak kenapa film whodunit biasanya castnya bertabur bintang? Itu sebenarnya buat nutupin hal yang disebut dengan ‘hukum ekonomi karakter’. Karakter atau tokoh yang penting dalam sebuah film, pasti akan dimainkan oleh aktor yang lebih ‘bernama’. Jadi sebenarnya dari cast aja kita bisa tahu siapa yang jadi pelaku. Untuk menyamarkan itulah maka film-film whodunit sekalian aja makai cast yang ternama semua. Scream pushed this even further dengan membuat opening sequence sebagai kebiasaan naruh cameo-cameo bintang terkenal. Supaya surprise dan impact itu bisa tetap sekalian terjaga. Scream VI, dengan segala returning cast, anak baru, dan geng Core Four seperti tidak benar-benar berusaha. Bukan soal gampang ketebak atau apa, Scream lima masih Ghostface yang paling gampang tertebak buatku, tapi ini adalah soal gak ada impactnya. Pelaku di sini, meskipun masih punya kejutan, tapi basic banget. Motif pelaku yang kali ini tidak lagi peduli sama film-film, melainkan karena pure balas dendam juga membuat Scream VI nyaris balik ke thriller generik.

Dalam urusan sindiran meta, Scream VI unfortunately terasa tidak seimpactful pendahulunya. Bahasan ‘franchise’ memang dibreakdown rule-rulenya, tema ‘franchise adalah urusan keluarga’ juga memang mendarah daging sebagai konflik yang paralel antara protagonis kakak-beradik dengan antagonis, namun tidak terasa klik jadi statement yang wah dan memorable. Buatku, sindiran paling telak yang dipunya film ini lewat Ghostface yang sekarang tidak lagi peduli pada film dan rule-rule horor, adalah bahwa franchise modern juga seperti itu; not really care ama filmnya sendiri. Menurutku, film ini harusnya lebih mempertajam sindiran tersebut.

 

 




Aksi-aksi pembunuhannya memang lebih beringas. Ghostfacenya memang lebih nekat. Film kali ini definitely lebih ‘besar’. Tapi secara efek, terasa lebih jinak. Komentar meta yang jadi ciri khas film-film sebelumnya, terasa kurang nendang. Kurang dikejar oleh naskah. Cerita yang mau grounded dan mengarah ke bentukan elevated horror (horor modern yang mulai berisi seperti yang disinggung film pendahulunya) pun kurang nyampe karena film ini sendiri masih berkutat dengan nostalgia. Dalam proses itu, film ini jadi kehilangan taringnya. Statement soal franchise yang dimiliki film terasa kurang kuat karena film hanya seperti menghindar, tapi tanpa ngasih bentukan baru. Aku bisa suka dan menerima arahan baru yang ditawarkan, tapi dengan kecepatan dan bentuk seperti ini, bisa-bisa franchise thriller horor whodunit kesukaanku ini jadi bola salju beneran, Warnanya saja yang ntar berubah jadi merah darah. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SCREAM VI

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang perkembangan franchise film di negara kita?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



BODIES BODIES BODIES Review

 

“Sometimes your dearest friend whom you reveal most of your secrets to becomes so deadly and unfriendly…”

 

 

Bersahabat berarti kita tahu baik-dan-boroknya perangai sobat-sobat sekalian. Tolerate them, just like they tolerate us – at some degree. Nah, batasan degree inilah yang menarik. Berbagai cerita telah mengeksplor apa yang terjadi kepada satu grup pertemanan saat dark secret masing-masing dibongkar, dihamparkan keluar. Udah jadi kayak trope tersendiri. The ‘revealed secrets’ trope. Serial sitcom Community, misalnya, punya tiga episode dengan trope ini. Karena memang menarik mengulik karakter melalui rahasia terdalam mereka, dan tentunya juga membuat relationship mereka jadi semakin berwarna. Namun, belum banyak yang menggali trope ini lewat lensa horor atau thriller. Itulah hal fresh yang dibawa oleh Bodies Bodies Bodies garapan Halina Raijn. Yang dalam prosesnya, juga balik menyajikan sesuatu yang baru terhadap perspektif dan juga trope lain, yakni, whodunit itu sendiri.

Kata Bodies Bodies Bodies merujuk kepada permainan yang dilakukan oleh geng karakter di film ini. Mereka berkumpul di rumah gede, merayakan kembalinya Sophie dari rehab. Di luar lagi badai, jadi mereka mengisi waktu dengan permainan yang mirip kayak Werewolf atau Among Us. Mereka akan berusaha menebak satu ‘killer’. Dan saat itulah tuduh-tuduhan itu semakin menjadi. Dari dialog-dialog kita bisa mendengar bahwa ada rekah-rekah kecil – tapi serius – di balik keakraban mereka. Kehadiran orang baru seperti Bee, pacar baru Sophie, juga tidak banyak membantu. Ketegangan menjadi benar-benar memuncak menjadi horor saat salah satu dari mereka ditemukan tewas dengan luka sabetan pada leher. Ada ‘killer beneran’ yang menginginkan mereka semua mati satu persatu. Kita lantas melihat geng ini semakin hancur as semua mulai saling serang dengan fakta-fakta kelam demi mencari siapa pembunuh di antara mereka.

Anak Borat main film thriller!!

 

Yang nonton film ini mengharapkan whodunit standar, bakal either surprise berat atau malah kecewa parah. Dan itu bukan salah penonton, melainkan karena memang itulah resiko yang diambil oleh film ini. Misteri siapa pelakunya, apakah pelakunya ada di antara mereka atau ada orang lain (ada satu anggota geng yang menghilang sedari awal cerita dimulai) memang dibangun penuh tensi dan misteri. Namun di balik tensi dan mayat-mayat bersimbah darahnya, Bodies Bodies Bodies sebenarnya terutama diniatkan sebagai satir. Sindiran buat perilaku komunikasi sosial seperti yang diperlihatkan oleh karakter-karakternya. Sophie dan gengnya adalah anak-anak orang kaya, trendi, mereka ini istilahnya anak gaul banget. Bahkan karakter utama kita, Bee, walaupun berasal dari luar circle, dia foreigner di antara yang lain, gak share lifestyle yang sama, tapi tetap punya ‘gaya’ sosial yang serupa. Salah satu dialog yang jadi diulang saat Sophie muncul bersama Bee di rumah itu adalah persoalan anak-anak yang lain surprise melihat Sophie beneran dateng karena selama rehab Sophie tidak pernah membalas grup chat di Whatsapp. Ya, karakter-karakter di cerita ini merepresentasikan Generasi Z. Anak-anak muda yang secara konstan bergaul di internet, sosial media. Karakter-karakter di sini punya podcast, bicara dengan kamus ala anak-anak woke di Twitter, dan cari pacar di dating app. Furthermore, film ngasih lihat sedikit perbandingan antara generasi mereka dengan generasi yang sedikit lebih tua lewat karakter Greg. Outsider seperti Bee, karena adalah pacar tinder si Alice, salah satu teman geng Sophie.

Rahasia buruk mereka semua berkenaan dengan betapa fake-nya mereka terhadap masing-masing. Satu adegan menunjukkan mereka nari TikTok bareng, lalu ada juga adegan lain yang nunjukin mereka berargumen soal apakah satu orang karakter beneran suka sama podcast karakter yang satunya. See, dari karakter-karakternya saja film ini sudah divisive. Sebagian penonton akan merasa relate sama permasalahan sosial ‘kekinian’, sebagian penonton lagi akan jengkel. Aku termasuk yang sebagian kedua. Buatku mereka semua annoying,  candaan mereka gak masuk ke aku, aku tahu kalo aku seatap dengan circle seperti mereka itu aku pasti sudah cabut daritadi. Aku hanya bisa relate sama game bodies bodies bodies mereka karena.. well, karena game. Selebihnya aku hanya seperti benar-benar menonton saja. Nah, ketika seorang yang gak care dan gak relate bisa betah menonton, itu sebenarnya sudah ‘prestasi’. Bahwa di balik itu, film ini punya ‘sesuatu’. Dan ‘sesuatu’ itu bukan hanya soal misteri whodunit atau misteri bunuh-bunuhannya saja, melainkan juga pesan di dalamnya. Relate atau tidak, suka atau tidak dengan revealing di endingnya (mungkin lebih tepatnya, merasa ‘tertipu’ atau tidak) gagasan film ini adalah sesuatu yang beresonansi dengan kita yang hidup di masa sekarang. Film hanya membungkusnya dengan rapi ke dalam misteri whodunit dan karakter-karakter annoying.

Memikirkan tujuannya sebagai satir untuk pergaulan Gen Z, film ini sebenarnya cukup ‘keras’. Banyak dialog yang benar-benar menyindir tajam betapa insignifikan hal yang merasa jadi masalah buat mereka. Gen Z yang nonton kayaknya bakal tersentil. Like, sebegitu pentingnyakah orang harus balas chat Whatsapp sehingga dia datang saja dianggap ‘tiba-tiba’ dan dianggap sombong sama teman satu geng. Atau soal podcast, segitu pentingnyakah kita harus suka sama konten yang dibuat teman kita untuk populer di sosmed. Ini kayak gue like punya lu, lu like punya gue, karena harus saling menghargai usaha bikin konten. Atau juga soal bahasan toxic, dan istilah-istilah itu. Film dengan blatant menyebut anak jaman sekarang menggunakan istilah-istilah trending just because it is trend, dan padahal sebenarnya mereka tidak punya pendapat personal soal permasalahan yang bersangkutan. Bagian-bagian mencekam ketika lampu mati dan mereka harus berjalan dalam gelap hanya dengan bantuan cahaya dari layar hp seperti menguatkan gagasan film soal betapa anak muda sudah merasa gede dan ‘aman’ hanya dengan melihat lewat gadget. Ultimately, ending filmlah yang ngasih toyoran paling kuat. Film rela whodunitnya jadi ‘agak laen’ supaya gagasan dan sindiran tersebut benar-benar nonjok.

Yang film ini ingin tunjukkan adalah betapa lemahnya pertemanan dan bahkan relationship yang didasari oleh bagaimana orang bertindak di internet. Yea, sesama teman mungkin bisa khilaf dan keeping secret lalu membocorkan rahasia, tapi dengan perilaku bersosial media sekarang, semua itu terasa lebih rapuh. People will have no idea how to act genuinely ketika berhadapan langsung, dan bakal ended up hurting each other more. Yang baru saja kita lihat adalah kisah bagaimana sekelompok Gen Z menghancurkan koneksi, menghancurkan diri mereka sendiri karena ketika bertemu, mereka tidak bisa bonding secara natural melainkan jadi merasa saling ekspos satu sama lain

Mungkin karena settingnya seringkali gelap, tapi si Emma ini sekilas-kilas tampak mirip Mawar de Jongh

 

Horor atau thriller biasanya suka membunuh karakter yang paling likeable atau simpatik, you know, untuk menaikkan tensi dramatis. Untuk karakter utama, kematian karakter likeable ini biasanya diset sebagai pukulan berat. Malangnya bagiku, karakterBodies, Bodies, Bodies yang likeable – yang mikir pakai logika dan gak berdialog pake istilah-istilah kekinian –  juga dibuat mati, yang berarti aku ditinggal bersama karakter-karakter annoying, dengan situasi kematiannya yang juga sama-sama annoying. Karena dari adegan kematiannya itulah aku sadar bahwa karakter utama film ini juga tidak akan diniatkan untuk belajar inline dengan penonton. Bahwa karakter utamanya juga bergerak dalam design tipikal karakter Gen Z. Itulah yang jadi bahan koreksi untukku pada film horor keluaran A24 ini. Karakter utamanya, si Bee, tidak benar-benar punya pembelajaran yang kuat, melainkan hanya dijadikan sadar, dan dia itu tetap adalah bagian dari kerapuhan relasi.

Maria Bakalova sebenarnya memerankan Bee dengan sesuai. Dia mengerti kebutuhan naskah, paham kapan harus mengundang simpati, kapan harus bertingkah sus, kapan harus cerdik, dan mainly itu dilakukannya dengan ekspresi. Sama seperti si Amanda Stenberg yang jadi Sophie, jago dan ngertinya juga dalam memainkan ekspresi. Design karakter mereka saja yang ngambil resiko. Kayak si Bee,  momen dia membunuh karakter likeable satu-satunya, adalah momen kita meragukan dirinya sebagai tokoh utama. Momen ketika tokoh utama tidak bertindak seperti penonton jika mereka ada di posisi yang sama. Karena kita tidak bisa melihat alasan dia harus membunuh. Bee hanya berubah dari yang tadinya cinta, overly kalo boleh disimpulkan sesuai aksinya, ke jadi takut sama pacarnya. Ini bukan plot yang kuat untuk karakter utama. Sehingga karakternya malah jadi kurang kuat punya alasan untuk ada di sana, melainkan hanya sebagai pasangan dari karakter lain. Film tidak mengeksplorasi banyak siapa dirinya. Aku malah mikir, kalo karakter Bee gak ada, ceritanya jadi hanya tentang Sophie yang balik dari rehab untuk menjalin pertemanan lagi dengan teman-teman gengnya – film ini masih bisa jalan. Gagasan dan sindiriannya masih bisa juga tersampaikan tanpa harus lewat sudut pandang Bee. So yea, Maria Bakalova memainkan Bee dengan hebat, hanya saja Bee ini kurang kuat sebagai karakter. Hampir seperti dia ada karena film butuh romance, dan butuh dua orang untuk moment final.

 

 




Aku gak nyangka bisa betah juga nonton film yang karakternya benar-benar annoying semua dan gak relate. Mungkin itulah kekuatan dari cerita. Kekuatan dari naskah. Film ini benar-benar punya sesuatu untuk dikatakan, dan mendesign ceritanya untuk memenuhi itu. Menempuh banyak resiko, di antaranya membuat bangunan misteri whodunit jadi punya ‘surprise’ yang might not working well buat penonton. Untukku, endingnya worked great, design atau konsepnya bisa dimaklumi karena film ini mengincar ini sebagai satir. Yang kurang hanya pembangunan karakter utamanya, yang gak benar-benar dieksplor. Cerita dan fungsi film menurutku masih bisa jalan tanpa dia
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BODIES BODIES BODIES

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian society generasi kekinian memang akan menghancurkan dirinya sendiri?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



PENYALIN CAHAYA Review

“If he cannot silence her absolutely, he tries to make sure no one listens”

 

 

As of right now, people are just projecting their hate onto this movie. Kebencian yang memang layak sekali untuk dikoarkan karena bersumber dari dugaan kekerasan seksual yang ditutupi, yang ironisnya jadi tema dalam cerita. Sehingga orang-orang sekarang either mengasihani korban, atau mengutuk pelaku yang malah dapat penghargaan dengan menuliskan cerita ini. Like, hampir semua orang yang kulihat di timeline Twitter, yang memilih untuk menonton film ini, menyaksikannya supaya bisa membuktikan dosa itu benar tercermin ke dalam cerita. Menontonnya supaya bisa mengutuknya. Menonton tanpa apresiasi – apalagi memuji dan menikmati – sebagai bentuk solidaritas dan pembelaan kepada penyintas-penyintas yang didramakan. Mengutuk kekerasan seksual dan mengutuk pelakunya jelas adalah perbuatan yang benar. Tidak akan ada yang meragukan di sisi mana kita berpihak when it comes to case like this. Everyone should condemn it. Namun, film tentu bukan persoalan satu orang. Hanya untuk menilai salah-benar adalah alasan yang ‘kurang tepat’ untuk menonton film. Karena menonton harusnya pertama-tama untuk personal.

Aku gak meminta kalian untuk berhenti menyuarakan kebenaran dan berhenti membenci kasusnya. Aku hanya meminta untuk sejenak kita memisahkan film ini dari pelakunya. Toh film hanya ‘mesin fotokopi,’ bukan satu orang yang menyalinkan sesuatu di atasnya. Aku ingin meminta waktu sebentar untuk kita memikirkan apa yang diomongkan Penyalin Cahaya kepada kita, masing-masing. Seperti apa kira-kira dialog kita dengan film ini. Jika kita bukan korban, jika kita bukan pelaku, maka siapa kita, kata film, di cerita ini. Di mana posisi kita. Apa yang kita lakukan di cerita ini. 

penyalinmedia
Kenapa di akhir itu cuma dua cewek yang mendorong mesin fotokopi ke atas gedung? Karena yang cowok Tariq

 

Penyalin Cahaya bercerita tentang mahasiswi berprestasi bernama Suryani. Perempuan yang aktif di kegiatan teater kampus, sekaligus sibuk membantu usaha warung makanan milik orangtuanya. Selain sedikit masalah dengan ayahnya yang keras, things seem going well untuk Sur. Permohonan beasiswanya hampir tembus. Pertunjukan teater mereka sukses berat. Namun semua itu sirna ketika Sur menemukan dirinya terbangun kesiangan esok hari. Beredar foto-foto dia lagi mabok dan berpesta pora di acara sukuran klub teater tadi malam. Permohonan beasiswanya lantas ditolak. Sur diusir dari rumah. Sur yang sama sekali tidak ingat apa-apa kini berusaha membersihkan namanya. Mencari tahu siapa yang telah mengambil foto dan menguploadnya, hanya untuk menemukan perbuatan mengerikan lain yang malam itu terjadi kepadanya. Dan mungkin kepada banyak lagi teman lainnya.

Jadi, di mana aku dalam cerita Sur Menuntut Kebenaran dan Keadilan ini? Aku ngikutin perjuangan Sur menyibak misteri. Aku melihat ketika Sur malah balik dipersalahkan. Dia bicara dan mempertahankan diri tapi, aku menyaksikannya, jadi malah berbalik dituduh melempar fitnah dan meminta maaf walaupun di sini dialah yang paling dirugikan. Hidupnya hancur. Dan apa yang kulakukan? Aku hanya bisa merasa malu. Sedih dan marah juga sih, tapi yang paling nyesek kurasakan adalah malu. Karena film ini memperlihatkan kepadaku kesusahan yang harus dilalui Sur saat speak up sebagai korban. Diperlihatkan dengan emosi yang sangat mendetil, dalam teknis visual yang terlihat begitu luwes bermain close up dan warna-warna, sehingga kadang seperti realm fantasi tapi terasa menampar saking realnya semua terasa. Film ini dihadirkan ringan, tapi karena itulah justru terasa semakin menohok. Karena aku yang sama sekali gak tahu sesusah apa bagi korban seperti Suryani, yang merasa semua bisa selesai dengan enteng, jadi benar-benar merasa tersadarkan dengan tamparan. Malu karena ternyata sesusah itu bagi Suryani, dan Suryani-Suryani lain di luar sana. Malu karena kita gak doing enough to help them

Film ini paham bahwa awareness terhadap itu harus ditingkatkan. Jadi mereka membuat Sur menempuh semua yang kita jatuhkan kepada korban pelapor setiap kali ada kasus seperti ini. Sur akan dicurigai berbohong. Sur dipersalahkan karena ceroboh. Sur dianggap mencemarkan nama baik. Semua itu ditampilkan film dalam gambaran yang begitu naas, bukan semata demi dramatisasi ataupun glorifikasi penderitaan korban. Melainkan untuk ngeshame kita yang entah kenapa selalu takut untuk mempercayai korban. Kita malah lebih suka mempertanyakan mereka. Akhirnya membuat mereka senewen sendiri, merasa diri merekalah yang salah. This is the worst feeling. Film dengan berani mengangkat itu. Konflik personal Sur dieksplorasi. Dia merasa bersalah melanggar aturan ayahnya. Dia merasa bersalah nuduh temannya. Telah ngebajak hape mereka. Adegan Sur dan teman-teman nonton rekaman CCTV dan kemudian tuduhannya berbalik menjadi Sur malah disalahin teman-teman, duduk terdiam di sana, dengan pikiran berkecamuk antara apa ia dia salah dengan masih ada satu hal yang gak kejawab baginya, merupakan salah satu yang paling menohok. Menciptakan intensitas, dan karakter building yang kuat. Sur tidak digambarkan tak-bercela, dia tidak selalu benar, dan ini jadi menambah lapisan konflik. Ke kita, yang selalu failed mengenali urgensi korban. Bahwa sekalipun korban tampak bersalah, itu tidak mengurangi kenyataan bahwa dia adalah korban kasus kekerasan. It still happened to her. Help her.

Dengan begitu, ironi yang digambarkan film ini jadi semakin kuat. Sur, untuk speak up, terpaksa harus bertindak sendiri. Tanpa dukungan. Dia harus melanggar hukum untuk membuktikan dirinya tak bersalah dan adalah korban dari ini semua. Arahan untuk perjalanan karakter ini terasa begitu kuat. Mantap mengarah kepada efek yang diniatkan. Thriller bergaya misteri whodunnit dipilih untuk semakin mengontraskan. Kenapa? karena whodunnit biasanya simpel. Everybody is suspect tapi ujungnya selalu siapa yang salah, siapa yang benar. Sur pikir dia tinggal menemukan siapa yang upload. Siapa yang membiusnya. Sayangnya, urusan kasus kekerasan seksual di kita belum bisa jadi sesederhana itu. Tidak dengan relasi kuasa dan ketimpangan gender masih merajalela. Padahal seharusnya ya sederhana, orang yang berbuat salah, ya harus dihukum. Tapi kenapa Sur yang jadi semakin susah dan sendirian. Di pilihan bercerita inilah gagasan film sesungguhnya juga berada.

Bahkan penampilan akting Shenina Cinnamon sebagai Suryani tampak dikawal sangat ketat. Seperti misalnya ada beberapa dialog yang diucapkan dengan sedikit belibet olehnya, tapi oleh cara film ini mempersembahkan, belibet itu jadi tampak sesuai dengan konteks. Bahwa karakter ini memang sedang mengalami kejadian yang emosionalnya harus ia pendam sendiri. Sehingga ia ‘bergetar’ menahan semua itu.

Yang ditunjukkan dengan begitu emosional oleh film ini adalah bahwa pilihan satu-satunya bagi korban kekerasan  adalah untuk diam. Bukan karena mereka mau diam. Melainkan karena diam berarti pilihan yang paling aman. Karena keignorance kita-lah mereka memilih itu. Angkat bicara menjadi sulit. Bukan saja membuka trauma, tapi juga sebab kita masih lebih cenderung tidak mempercayai korban. Sementara pelaku dengan gampangnya memainkan kuasa untuk mendiamkan, bahkan balik menuding mereka. 

 

Mitologi medusa jadi alegori yang tepat. Dalam adegan revealing yang dibuat sangat teatrikal, mendadak realm fantasi tadi mendobrak kesan realism yang dibangun, kita diperlihatkan pelaku yang sebenarnya beraksi kayak wayang orang di tengah asap, berdialog soal medusa dan perseus. Di depan korban-korban yang dibekep. Adegan ini memang terlihat aneh dan over the top. Tapi masih berfungsi efektif dalam memuat gagasan. Karena beginilah gambaran korban-korban kekerasan seksual di dunia nyata. Mereka dibungkam. Mereka jadi terdiam. Membatu, kayak korban Medusa. Pelaku di cerita ini bilang dirinya Perseus, but really, pelaku sebenarnya lebih cocok dikatain medusa. Karena udah bikin korban membatu. Pelaku bebas bergerak. Terus beraksi ke sana kemari, menepis tudingan sana-sini, dan balik menyalahkan korban. Memastikan tidak ada yang mendengarkan mereka. Dan kita simply tidak melihat itu.

penyalininopsis-Film-Penyalin-Cahaya-Angkat-Cerita-Tentang-Kekerasan-Seksual
But now we know, dan kita kasih cermin ke Medusa. Mereka kini yang diam membatu.

 

Menjadi whodunnit ternyata punya lubang jebakan sendiri. Dan penulisan film ini enggak seanggun arahannya, sehingga film kecemplung juga beberapa kali. Dalam pengembangan misteri misalnya. Untuk membuat penonton tetap engage ke misteri, film paham harus mengungkap perlahan. Hanya saja, misteri ini terlalu dielaborate. Dari siapa pelaku upload, hingga ke pelaku pelecehan yang lebih besar, film terlalu sibuk mengembangkan seolah ini adalah kejahatan cerdas. Terselubung, terencana dengan matang. The crime keeps getting bigger. Hingga jadi kayak mustahil. Ya mustahil terjadi, mustahil gak ketahuan, mustahil ada yang bantuin. Kasusnya sendiri, jadi kayak ngada-ngada. Di sini aku bisa lihat penonton yang udah tahu kasusnya bakal ilfeel lagi saat menonton. Karena film tampak seperti mau ngepush kehebatan pelaku. Yang berlawanan dengan gagasan dan sasaran dialog film. Kita. Penyalin Cahaya harusnya ngepush narasi dari perspektif Sur untuk menegur kita yang gak melakukan apa-apa melainkan mempersulit korban. Bukan untuk memperlihatkan soal rencana sinting dan rapi si pelaku. 

Sehingga film terasa jadi lebih panjang daripada seharusnya, untuk urusan kasus yang tidak perlu terlampau digayain. Seharusnya waktu dipakai untuk ngeresolve beberapa hal. Terutama dari sudut pandang korban seperti Sur dan yang lain. Turn around mereka perlu dieksplorasi lagi karena berkenaan dengan kesukaran membuka suara. Aku sendiri sebenarnya pengen banget konflik Sur dan ayahnya diresolve, seperti Sur dengan ibu. Terutama karena ayahnya yang paling keras tidak mau mempercayai Sur, sementara dia juga ada benarnya – kalo ayah gak nyuruh Sur pake baju dalam, Sur gak akan pernah menyadari satu kejanggalan kunci yang membuatnya yakin dirinya ‘dikerjai’. Yang paling kurang greget sebenarnya adalah karakter Amin (Chicco Kurniawan di sini mirip John Cho ya haha) sahabat Sur yang tukang fotokopi dan menampung/memfasilitasi usaha Sur. Kalo kita balik ke kasus, menurutku ke dalam karakter inilah co-writer menuangkan dirinya. Pelaku in the past, dan kini berusaha meredeem diri dengan membantu Sur. Tapi yang dilakukan Amin tidak cukup. Hanya sebatas memberi mesin fotokopi. Sikapnya tidak pernah diselesaikan. Pengkhianatannya dirasakan oleh Sur, sebesar ‘pengkhianatan’ yang penonton rasakan sehingga banyak yang akhirnya memilih untuk tidak lagi mendukung film penting ini.

 

 

With all of that being said, pendapatku terhadap film ini – dan kasusnya –  ada dua. Pertama untuk filmnya sendiri. Aku masih menganggap film ini layak menang Terbaik FFI. Karena pesan dan relevansinya. Karena arahan dan teknis dan permainan aktingnya. Tapi tidak untuk sebagian lagi, terutama untuk penulisan. Yang memang terlalu bombastis, seringkali tidak sesuai dengan niat filmnya sendiri. Kedua, mengenai tujuan film dan kasus itu sendiri. I feel like, keberadaan film ini penting karena menyadarkan kita bahwa korban-korban itu susah mendapat keadilan, maka permudahlah. Bantu mereka sebarkan suara, karena itulah justice yang paling mungkin bisa mereka dapatkan. Akan tetapi, kalo dengan keberadaan film ini malah membuat korban semakin merasa tak diperlakukan adil, membuat mereka makin susah mendapat justice, maka menurutku hate it if we must. Sebaiknya film ini bertindak tegas dan merestore itu. Jangan sampai film ini hadir tapi jadi bertentangan dengan makna keberadaannya sendiri. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PENYALIN CAHAYA

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa kebanyakan orang masih begitu sulit mempercayai korban?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HAPPY DEATH DAY Review

“The definition of insanity is doing the same thing over and over again, but expecting different results”

 

 

Bagi Tree, hidup adalah film slasher pribadi – sebuah mimpi buruk yang tidak berhenti, akan tetapi senantiasa terus berulang. Kehidupan Tree membentuk lingkaran sempurna saat hari ulang tahunnya menutup menjadi hari kematian. Dan Tree terbangun hanya untuk mengulangi lagi satu hari spesial tersebut. Tentu saja tidak butuh waktu banyak bagi Tree untuk menyadari hal ini; Hanya beberapa hari, dan itu itungannya tetep sehari bagi Tree hehehe. Pagi berikutnya dia terbangun di kamar kos cowok yang sama (as opposed to various), berjalan teler melewati orang-orang yang melakukan hal-hal yang persis seperti yang sudah ia lihat kemaren, dikasih surprise cupcake oleh teman sekamar, disirikin oleh saingan Regina Georgenya, dan malamnya disatroni oleh seorang misterius bertopeng bayi yang ngebet pengen ngebunuhnya, Tree langsung tahu dia harus segera menyibak siapa orang yang berusaha membunuhnya supaya dia bisa mencegah kematian dan hopefully mengembalikan hidupnya ke alur yang normal.

Akan butuh banyak banget kematian yang kejam untuk menyelamatkan satu nyawa.

 

Menjalani hidup yang itu-itu saja mungkin membosankan. Beberapa orang toh merasa nyaman dengan repetisi. Tetapi, melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda, jelas adalah satu kegilaan. Dan adalah suatu kebegoan untuk terus jatuh ke lubang yang sama. Happy Death Day menunjukkan bahwa  yang terbaik dari kita sekalipun kadang harus gila, atau bego dulu, sebelum bisa berkembang dan keluar dari lingkaran penderitaan.

 

Bayangkan film Mean Girls (2004), lalu taroh karakter cewek plastiknya ke dalam situasi yang sama dengan yang menimpa Bill Murray di Groundhog Day (1993), aduk rata, kemudian ditaburin kejutan-kejutan horor slasher whodunit ala Scream (1996). Itulah resep membuat kue tart Happy Death Day.  Dan kue tart yang satu ini rasanya sangat meriah. Berbagai macam rasa ‘cerita’ loop yang sudah pernah kita cicipi, bergabung menjadi satu. Belum lama ini Zoey Deutch di film Before I Fall (2017) juga terbangun di hari yang sama, dan terus mengulang kejadian over and over – Happy Death Day basically mengikuti alur cerita yang sama, Tree juga harus belajar menjadi orang yang lebih baik, tapi film ini melapis perjalanan innernya dengan gimmick thriller. Film ini tidak sesendu drama Before I Fall. Dari semuanya, Groundhog Day lah yang berpengaruh paling kuat. Malahan, film ini sadar diri dan mengakui hal tersebut. Ada adegan di mana satu tokoh beneran nyebut tentang film tersebut saat Tree lagi curhat soal apa yang ia alami. Namun alih-alih nostalgia, Happy Death Day adalah film yang kekinian.

Film ini digarap dengan sangat komersil. Sutradara Christopher Landon yang menulis film-film Paranormal Activity sudah barang tentu tak asing dalam mengolah cerita yang mudah disukai oleh banyak kalangan, khususnya remaja. Filmnya tampak sangat cantik, sekuens kejar-kejarannya exciting, aku suka arahan Landon ketika menangani blocking di sekuens aksi film ini. Happy Death Day tidak pernah menjadi terlalu serius. Tone film ini benar-benar mengejutkanku, aku tidak menyangka film ternyata LIGHT-HEARTED, KOCAK, DAN SANGAT ENJOYABLE. Kalo mau dibandingin, menonton Tree di sini membuatku teringat sama Emma Roberts dan perannya sebagai Chanel di serial Scream Queens.

Attitude dan karakter Tree yang membuat film ini begitu menyegarkan untuk ditonton meskipun cerita seperti ini sudah berulang kali kita dapatkan. Jessica Rothe melakukan banyak permainan emosi, juga sangat ekspresif. Memainkan Tree adalah sebuah perjalanan yang fisikal, dengan lapisan psikologis, dan Roth melakukan pekerjaan yang fantastis di sini. Tree mungkin adalah tokoh pertama yang mengemban tugas sebagai tipikal tokoh ‘jalang’ yang bakal mati duluan dan cewek heroin yang selamat berkat kebaikannya sekaligus.

Sebagai cewek populer, Tree berlaku kasar sama semua orang. Ada adegan kocak ketika dia membuat daftar orang-orang yang sekiranya punya motif untuk membunuh dirinya, dan dia kewalahan sendiri begitu sadar bahkan pengemudi uber pun pernah ia kasarin dan berkemungkinan menyimpan dendam kesumat. Di sekitar midpoint, kita ngeliat penggalan-penggalan yang sangat lucu saat Tree menguntit para ‘tersangka’ satu-persatu, hanya untuk menemukan bahwa mereka tidak bersalah dan dia membiarkan dirinya terbunuh oleh si Pembunuh Berwajah Bayi yang muncul menyerangnya dari tempat tak terduga. Lama kelamaan memang adegan pembunuhannya tidak lagi seram, malah berubah menjadi lawak.

Terkadang bukanlah kesempatan yang banyak yang kita perlukan. Pada akhirnya, yang benar-benar diperhitungkan adalah tindakan yang kita pilih untuk memanfaatkan kesempatan tersebut. Perubahan itu harus kita sendiri yang memulai.

 

Dalam perjalanannya, film ini tidak lagi terasa seperti horor buatku. Tree yang dibunuh terus, kemudian mengulang lagi pencariannya, malah menjadi seperti permainan video game dengan nyawa tak terbatas. Tonenya yang ringan dan cenderung tidak-serius juga turut membantu raibnya faktor-taku tersebut, meskipun film memang menaikkan taruhan dengan menetapkan kondisi Tree semakin melemah setiap kali dia terbangun dari keadaan terbunuh. Jika kalian penggemar horor yang ada jumpscarenya, mungkin kalian bahkan lebih terhibur lagi daripada aku saat menonton ini. Ada banyak taktik jumpscare yang digunakan untuk memancing rasa takut, sayangnya sebagian besar lemah banget untuk membuat kita beneran kaget.

Cerita yang klise tidak memberikan banyak ruang untuk kejutan. Dan bicara soal kejutan, film ini punya dua momen gede sehubungan dengan identitas pelaku. Tentu saja, sebelum pengungkapan terdapat sejumlah red-herring yang ditebar. Film ini banyak banget red herringnya,  setiap dari mereka langsung tereliminasi dengan dibunuh langsung oleh the real culprit. Masalahnya adalah, pengungkapan identitas pelaku tampak begitu berjalan-sesuai-skema. Kita tidak merasa begitu terkejut. Di bagian false resolution, pengungkapannya memang tidak memuaskan. Dan ketika resolusi yang sebenarnya datang, it just doesn’t hold together, tidak terasa benar-benar masuk akal.

Hidup seolah tak ada hari esok, literally

 

 

 

Toh, film ini memang menghibur. Aku tidak menyangka mereka mengolah misteri dengan konsep ‘mengulang hari’ menjadi sajian yang ringan. Ada banyak adegan yang diolah untuk memancing kelucuan alih-alih kengerian. Perjalanan inner Tree tidak ditangani dengan dramatisasi berlebihan. Tapi itu bukan berarti film ini serta merta bagus. Landon paham bagaimana harus mengikuti selera pasar, khususnya remaja-remaja putri. Kekerasan dibuat minimal. Aksi-aksi fisik jatohnya kocak. Film ini menyenangkan untuk dinikmati pada permukaan. Dalam tingkatan yang lebih dalam, however, tidak banyak kejutan yang diberikan. Ceritanya klise. Lebih seperti gabungan plot-plot sejenis, hanya saja digarap dengan visi supaya menjadi menyenangkan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for HAPPY DEATH DAY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.