THE MUMMY Review

“The hardest thing in the world is to accept that something is wrong with you, face the uphill road to recovery ahead, and realize that none of it makes you less than human”

 

 

Dalam The Mummy, kita akan diingatkan bahwa masa lalu enggak bisa dikubur selamanya. Yes, selamat deh buat yang berusaha move on, hidup pasukan “Always” Snape. Past will always find a way to bite us in the butt, dalam film ini masa lalu, ya, harafiah datang dalam sesosok mayat (or not, jeng jeng!!) kuno yang terkubur di dalam bumi, berbalut perban, dan beretina dua, per bola mata.

I love The Mummy (1999) with Brendan Fraser. Walaupun saat menontonnya aku belum tau mana film yang bagus, mana film yang jelek, namun paling enggak film itu menghibur. Ia seru, lucu, dan ketika beranjak ke elemen seram, whenever Imhotep berteriak menggelegar, aku sukses ngumpet di belakang sofa. Karena lagi puasa, aku gak boleh su’udzon bahwa franchise ini direboot demi lembaran tunai belaka. Faktanya, memang, The Mummy adalah bagian dari Dark Universe, dunia cinematic penuh oleh Gods and Monsters yang lagi digiatkan oleh Universal. Kalian tahu monster-monster klasik kayak Frankenstein atau Drakula? Nah, mereka semua dibuat ulang untuk kita pelototin sama-sama di bioskop.

Kali ini, tokoh utama kita adalah sejenis tentara yang suka ‘mengutil’ emas dan benda-benda berharga yang bisa ia temukan (dan cari) di medan perang, yang diperankan oleh Tom Cruise. Karena perangainya itu, Tom Cruise dan temennya yang berpangkat Kopral dikejar-kejar oleh pemberontak Irak, hingga mereka memanggil bantuan udara. Namun bukan hanya tentara ISIS saja yang kocar-kacir ditembak oleh helikopter, sejumlah besar massa tanah kota tempat mereka berada pun turut sirna. Menampakkan makam rahasia di baliknya. Seperti pada film pertama, mereka membuka makam tersebut, sehingga terlepaslah raga busuk jahat yang bersemayam di dalamnya. Tom Cruise dan teman-temannya, including cewek arkeolog yang kerjaannya diselametin melulu, musti berburu relik kuno. Sembari diuber-uber oleh badai pasir berwajah si mumi cewek.

“gue cium, kering lo!”

 

Meski memang ini bukan kali pertama ada mumi cewek, still Ahmanet sebagai main villain adalah sebuah tiupan angin segar. Sofia Boutella ngejual peran ini dengan amat baik. Dia adalah salah satu spot cerah dalam film ini. Dia nyeremin, dia sadis, pada satu titik dia berusaha terlihat baik menipu daya dalam menjustifikasi aksinya – tapi tetep aja I was like, “go away spider-mummy-woman!!”, dan dia kadang mirip Jupe. Film ini memainkan sudut baru dalam hubungan antara protagonis dengan antagonisnya, di mana ‘Sang Terpilih’ dalam cerita ini justru adalah cowok yang diuber untuk dikorbankan oleh wanita.

Film baru ini punya banyak sekuen aksi yang exciting dan menawarkan hal-hal fun. Desain produksinya juga kelas atas, filmnya terlihat keren. Spesial efek sekuen-sekuen tersebut are so good. Menurutku akan ada banyak penonton yang terhibur oleh aksi-aksi seru yang melibatkan tokoh-tokoh horor. Adegan pesawat jatuh adalah highlight terkeren sepanjang presentasi dan Tom Cruise sekali lagi membuat rekan-rekannya menderita lantaran dia enggak tanggung-tanggung dalam menjalankan adegan, terutama bagian action. Tom Cruise sekali lagi menunjukkan dedikasinya. Dia melakukan berbagai adegan dengan maksimal like no one else. Di sini, dia bukan hanya karismatis, tapi juga kocak. Tokohnya diberikan banyak dialog lucu, yang sebagian besar bergantung kepada waktu penyampaiannya. Dan his comedic timing is actually really excellent. Nick ia perankan sehingga menjadi gampang untuk disukai sebab tokoh ini juga bukan seperti peran-peran hero yang Tom Cruise biasa mainkan. Nick is a kind of dick. Dia lebih seperti penjarah daripada tentara yang mengayomi, serius deh, pada dasarnya dia bukan hero. Dia lebih kayak terjebak situasi, dia ada di sana, jadi sekarang dia harus deal with it. Tapi justru di situlah letak daya tariknya. Aku ngakak ngeliat Nick kabur gitu aja naik mobil, ninggalin ceweknya di tengah hutan, dia benar-benar gak berhenti, si cewek yang musti ngejar. Dan ketika dia bilang “kupikir parasutnya ada dua..” kita tahu itu jujur dari hatinya – ngorbanin diri enggak terlintas dalam pikirannya saat itu.

Kejahatan diibaratkan sebagai penyakit yang diam-diam bersarang di dalam diri manusia. Makanya, kejahatan juga bisa disembuhkan. Hal paling sukar di dunia adalah mengakui ada yang salah pada diri kita. Dan tentu saja, dibutuhkan keberanian yang luar biasa gede untuk mencari pertolongan saat kita menyadari kita punya ‘penyakit’ di dalam diri. Dan menerima kenyataan akan dua hal tersebut tidak mengurangi nilai kita sebagai manusia.

 

 

“Kita harus segera keluar dari sini, Nick!”
“Nick, gue digigit laba-laba!”
“Nick, let’s go, Nick!”
“Niii~~~iiickkk!!”

Sebagai sidekick, ada Jake Johnson. Di sini perannya sebagai sobat yang terus ngikutin ke mana tokoh utama kita pergi dengan komentar-komentar komikal. Pada awalnya, aku juga terbahak. You know, aku ngikutin serial New Girl, dan di sana Jake berperan sebagai tokoh yang bernama Nick. So begitu di film ini, dia kayak sengaja nyebut nama tokoh Tom Cruise setiap kali merengek, and it’s really funny hearing how he says it. Tapi tentu saja, karakter sidekick yang terlalu komikal seperti ini dengan cepat menjadi annoying. Kemunculan si Chris Vial actually dikurangi setelah babak satu, dan tetap saja setiap kali kesempatan langka di mana ia menampakkan diri, adegan dan komedinya enggak benar-benar bekerja dengan baik.

Ada dinamika yang dimainkan terkait dua tokoh wanita satu-satunya dalam film ini. Si mumi digambarkan sangat ‘aktif’, dia langsung mengincar cowok-cowok di titik terlemah kodrat mereka, sedangkan Jenny, si cewek arkeolog yang diperankan oleh Annabelle Wallis, diportray sebagai cewek baik-baik yang lebih kalem, yang jadi love interest tokoh utama. Ketika aku nulis tokoh ini ‘kalem’, ketahuilah itu sebenarnya aku berusaha ngebaik-baikin, karena tokoh Jenny ini, faktanya, adalah salah satu tokoh paling annoying dan paling enggak berguna dalam sejarah perfilman dalam kurun waktu dekat ini. Beneran, setelah kita melihat Wonder Woman (2017) yang tentang cewek luar biasa mandiri dan kuat yang diarahkan oleh sutradara yang juga cewek, The Mummy punya nyali untuk membawa kita mundur ke jaman jahiliyah di mana tokoh cewek yang dimilikinya completely totally useless. Jenny enggak nambah banyak buat cerita. Dia butuh untuk diselamatkan pada setiap kesempatan. Dia jarang sekali ngelakuin sesuatu yang berguna, dia enggak mecahin teka-teki, dia cuma ‘pesawat-sederhana’ yang membantu tokoh utama bepergian ke tempat yang dibutuhkan, dan kalo lagi enggak pingsan, kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya eksposisi belaka. JENNY ADALAH CONTON MODEREN DAMSEL IN DISTRESS PALING PAYAH.

“dunia belum berakhir, bila kau mumikan aku”

 

 

Secara garis beras, eh sori efek puasa hemm,… secara garis besar, narasi film ini tersusun oleh formula EKSPOSISI, AKSI, EKSPOSISI, AKSI, SETUP FOR DARK UNIVERSE, AKSI, EKSPOSISI, SETUP, DAN GITU SETERUSNYA. Sepuluh menit pertama actually adalah menit-menit panjang paparan melelahkan yang diceritakan langsung kepada kita oleh tokoh yang bukan tokoh utama. It just doesn’t make sense dalam hal gimana storytelling yang baik dan benar. Film ini memang terlihat sebagai usaha untuk memperkenalkan Universe yang sedang dibangun oleh Universal, sehingga mereka lupa untuk bercerita dengan asyik, seperti layaknya film yang berdiri sendiri. Tokoh di awal film, akan muncul lagi di pertengahan, dan meski sebenarnya aku gak ada masalah sama Russel Crowe – he’s really good seperti biasa dan tokoh yang ia perankan benar-benar menarik – namun tetap saja kehadirannya menambah sesak suasana. Malahan, melihat Russle Crowe dan Tom Cruise ngobrol berdua di film ini, rasanya amazing banget, kayak ngeliat dua main eventer WWE just kill it on the mic.

The Mummy tidak punya arahan emosional yang lurus. NARASINYA SUMPEK. Fokusnya pada set up untuk film berikutnya, juga tentu saja ada homage untuk seri terdahulu. Adegan-adegan aksi yang exciting diselingi oleh eksposisi yang memberatkan – mereka bahkan ngerasa perlu untuk benar-benar mengungkapkan seberapa jauh jarak dari Mesir ke Persia. Dan semua itu adalah karena film ini ditulis dengan keroyokan. Cek deh ke imdb, writernya ada enam kepala. Ceritanya dikembangkan oleh banyak pendapat dan memang kelihatan; jadi gak heran kenapa screenplay film ini jadi terasa tidak teroganisir dengan baik. Film ini lebih ke action, despite naturally punya elemen horor, dan malah resort ke jumpscare-jumpscare.

Kalo ada yang bisa dipelajari oleh orang Mesir, maka itu adalah gimana mereka memperlakukan si Jahat dengan respek. Mereka membuatkan makam yang indah dengan arsitektur yang sangat cermat. Walaupun segala sistem dari makam tersebut ditujukan supaya yang di dalam enggak keluar lagi, tapi itu menunjukkan bahwa yang terburuk dari kita pun tidak bisa dipandang sebelah mata.

 

 

 

Dimulai dengan cukup enggak-enak, dan berakhir dengan bikin hati makin masygul. I mean, kalo mau ditutup dengan ‘iklan buat the next installment’ seperti itu, at least lakukan setelah closing credit bergulir. Film ini hanya berupa paparan-aksi-setup. Namun, desain produksinya membuat kita enggak bisa semena-mena mengutuk film ini jelek. Beberapa adegan aksinya genuinely menarik dan seru. Penampilan Tom Cruise berada di atas yang lain, di mana jadinya kita enggak mendapatkan chemistry yang asik dari hubungan para karakter. Film ini padat tanpa ada arahan emosi yang jelas. It’s loud, berantakan, sampe-sampe saat menonton kita akan kepikiran “kayaknya mejamin mata enak, nih!” Tapi film ini masih bisa ditonton dengan ‘okelah’ kok, terutama kalo kalian sebodo amat sama storytelling, lagi gak punya tontonan lain, atau lagi nyari kesibukan dalam rangka nungguin bedug maghrib.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for THE MUMMY.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

Leave a Reply