My Dirt Sheet Awards PERFECT10

 

 
Seperti semua cerita memalukan lainnya, awarding ala-ala ini juga bermula dari Facebook.
Nun jauh sebelum aku punya blog khusus ngulas film, dulu aku suka nulis semacam ‘personal-literatur’ di notes Facebook. Dan di akhir tahun 2009, aku bikin cerita rangkuman kejadian-kejadian yang terjadi dan menimpaku tahun itu. Baru di 2011-lah, konsep rangkuman tersebut berubah menjadi per-kategori. Kayak award show. Terpengaruh heavily oleh segmen The Dirt Sheet milik Miz dan John Morrison di WWE. So yeah, itulah cikal bakal atau origin dari awarding serta blog ini sendiri.
Konsep The Dirt Sheet di WWE yang tahun berikutnya itulah yang kuadopsi saat melebarkan diri dari FB ke blog beneran. Mulai dari catchphrase “winners and losers” hingga ke acara award yang ngasal dan suka-suka aja. Seiring waktu, aku jadi pencinta film dan mulai giat menonton dan nyari pengetahuan tentang film. Sehingga blog ini pun lebih fokus ke ulasan, dan ‘yang dinilai’ di award pun ikut bergeser; Dari yang tadinya berasal dari hal-hal yang kualami, kuamati, di manapun, sekarang jadi lebih banyak nyerempet tentang film dan sosial media.
Dan gak kerasa, sekarang ternyata udah yang ke-10 kalinya (tahun, iye, tahuun!) aku bikin awarding kayak begini di blog yang aku juga gak nyangka masih ada – dan ngelewatin cukup banyak evolusi. Aku sendiri juga kaget, excitement aku nulis dan ngerangkum kaleidoskop-yang-nyaru-sebagai-awarding ini masih sama kayak pas pertama kali bikin. Rasanya masih superseruu!! Padahal tahun 2020 gak exactly tahun yang ramah…
Ya, selain sebagai penanda full-circlenya sepuluh tahun Award ini, fokus kali ini juga tentu saja kepada 2020 itu sendiri. Tahun yang bagi sebagian besar manusia normal adalah tahun yang mengerikan. Merenggut kita dari kebiasaan normal. Membuat kita bertempur dengan penyakit yang menyebar lewat satu-satunya yang membuat manusia itu manusia; sosialisasi. Bagaimana dengan kalian, berapa menurut kalian angka yang sudah dicetak oleh tahun 2020?
Karena, inilah skor tahun 2020 menurut My Dirt Sheet!
 
 
 
 

TRENDING OF THE YEAR

Oke, menurutku kita semua tahu, tahun 2020 itu tahun milik siapa. Jadi gak usah basa-basi, inilah pemenang The Dirty untuk Trending of the Year:

Ilustrasi di atas (credit buat siapapun yang bikin) benar-benar mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Bermula dari kalelawar yang dijadiin sup, Covid-19 udah mengambil alih dunia. 2020 praktisnya bagi kita hanya berlangsung tiga bulan – cuma sampai Maret. Karena setelah itu semuanya hanya tentang survival kita dari corona. Virus ini mengubah gaya hidup, menguak sisi buruk, dan memercikkan banyak pengaruh lain – positif dan negatif – ke dunia yang kita kenal.
Tapi, kalo kalian masih penasaran sama tren apa aja pernah nongol di 2020, berikut mention buat para nominasinya:
1. #Blacklivesmatter
Seolah dunia gak bisa lebih horor lagi, hashtag ini jadi viral setelah insiden polisi bertindak semena-mena terhadap warna kulit di Amerika, yang memicu gerakan yang melawan praktik rasisme yang masih senantiasa ada di masyarakat nyaris di seluruh dunia.
2. Bu Tejo
Sosok yang memungkinkan film pendek Tilik menjadi viral. Karakter ini dibahas dari segala sudut oleh beragam warna netijen. Whether Bu Tejo adalah stereotipe atau gambaran nyata, yang jelas ibu bermulut tajam ini sudah sukses jadi idola
3. Dancing Pallbearers
Gak heran meme pembawa peti jenazah yang menari ini jadi viral. After all, komedi adalah mekanisme terbaik manusia. Dan 2020 memang adalah tahun dengan angka kematian yang tinggi
4. Kekeyi
Selegram dan bintang Youtube yang terkenal karena… ah katakanlah, karena keahlian tutorial make up dan video clip musiknya. Tengah 2020 aja, subscribernya udah nyampe satu juta
5. Kopi Dalgona
Bulan-bulan pertama masa karantina atau PSBB, kopi dalgona jadi pengalih perhatian yang trendi, saat semua orang berusaha untuk menyajikan sendiri kopi campur krim yang katanya enak ini
6. Parasite
Film yang paling banyak dibicarakan oleh sinefil. Menang gemilang di Oscar, mendobrak begitu banyak pintu rekor dalam catatan sejarah penghargaan film bergengsi di dunia itu sendiri.
7. Sepedaan di Tengah Jalan
Di masa pandemi, semua orang pada pengen sehat. Jadi beberapa ada yang merogeh goceknya, membeli sepeda termutakhir, dan merasa memliki separuh jalan raya!
 
 
 
 
Sepertinya aku gak perlu mengingatkan berapa persisnya angka kasus dan kematian karena Covid-19 di akhir tahun, karena semua itu masih berlanjut hingga sekarang. Begitu banyak korban. Belum lagi bencana-bencana yang lain. Di Januari itu ada banjir di Jakarta, lalu disusul oleh kebakaran hutan gede-gedean di Australia, bahkan katanya sempat mau ada Perang Dunia Ketiga! Gak heran jiwa yang menuju Great Beyond di film Soul itu jumlahnya banyak banget. Atuk dan Oomku ada di antara mereka.
Maka, mari kita Mengheningkan Cipta,
kita panjatkan do’a-do’a kepada mereka – mungkin kalo bisa juga sedikit kata maaf karena menyepelekan kematian mereka karena kepala kita terlalu keras untuk percaya Corona itu ada.
Kita dedikasikan

MOMENT OF SILENCE

ini untuk mereka-mereka, serta para tenaga kesehatan yang baik yang telah gugur maupun yang masih terus berjuang tanpa kenal lelah.
Mengheningkan Cipta
….
….
Mulai!
….
….
….
….
….
….
….
….
Selesai!
 
 
 
 
With that being said, aku gak akan biarkan Award ini jadi gloomy karena bencana dan trauma yang dibawa oleh Covid. Karena penyakit itu, bukan dia-lah yang kuat sebenarnya, melainkan karena kekonyolan kita yang menghadapinya. Sikap dan reaksi kitalah yang memberikan kesempatan besar kepada pandemi tak-kenal ampun itu untuk terus eksis.
Sehingga, lewat kategori spesial berikut ini, aku ingin mengajak kita semua untuk merayakan reaksi-reaksi beragam manusia dalam menghadapi si trend 2020.

BEST REACTION TO CORONA


 
Nominasinya adalah:
1. Bebasin Napi
Sementara rangorang diharuskan mengurung diri di rumah, para napi yang tadinya udah aman di dalam sel, malah dibebaskan menuju rumah masing-masing. Dengan efektif menambah calon korban – either korban pandemi atau korban kriminal-yang-diulangi-lagi
2. Bikin Tugu
Emangnya siapa sih yang gak mau selfie bersama makhluk paling terkenal seantero 2020?
3. Dangdutan
Kalo Taylor Swift bilang “shake it off”, maka orang-orang di negara kita beda lagi. Mereka bilangnya “jogetin aja!” 
4. Diskonin Turis
Alih-alih menghentikan penerbangan, pemerintah di Indonesia yang jago melihat peluang malah menggenjot pariwisata dengan ngasih diskon untuk turis asing berkunjung ke Indonesia. Rasakan langsung sensasi hidup di tengah Corona!!
5. Jadi Pocong
Untuk mastiin penduduk daerah mereka disiplin ber-PSBB, dua orang penduduk sebuah desa di Lamongan nekat berjaga sambil cosplay jadi Pocong. Bercandanya memang level Halloween di April Mop
6. Jualan Kalung
Ada gula ada semut. Ada penyakit, ada obat. Maka para petinggi di Kementan jualan kalung yang katanya anti-corona.
7. Ngarang Teori
Nyiptain film dan lagu tentang corona udah biasa. Di antara pemusik, ada yang namanya disebut sebagai jerinya oleh anak gaul sosmed, ngarang sesuatu yang lebih kreatif. Teori konspirasi di balik bencana pandemi.
6. Nimbun Masker
Setara dengan jalan pikiran pemimpinnya yang, beberapa penduduk yang punya jiwa bisnis tinggi, dengan sigap memborong masker, tisu toilet, hand sanitizer, dan beberapa perlengkapan esensial lain untuk dijual kembali dengan harga tinggi

 
Seringkali aku jadi mikir, jangan-jangan penanganan corona gak pernah terlalu serius karena memang ada peluang bisnis yang gede dibawa oleh pandemi ini? But anyway, inilah pemenang The Dirty untuk Reaksi Terbaik:

At least, reaksi mereka memang berdasarkan untuk pencegahan virus yang lebih baik

 
 
 
Setali tiga uang dengan itu, kategori yang berikutnya diumumkan adalah penghargaan untuk kebegoan paling hakiki yang pernah dilakukan umat manusia di tahun 2020. Marilah kita sambut para nominasinya dengan elu-eluan yang dahsyat.
“Elu! Elu! Elu!!!”

BEGO OF THE YEAR

 
1. Buku Film Kemendikbud
Jenius dan dogol mungkin jaraknya memang hanya ‘sebenang’. Tapi jika kalian – dan begitu juga dengan sejumlah penulis lain – membaca buku yang penuh typo, ungkapan aneh, kalimat yang kayak terputus, dan istilah yang salah, maka jelas tidak akan salah menempatkan buku ini ada di kotak yang mana
2. Covidiot
Terms untuk orang-orang yang bego dalam menghadapi covid-19. Entah itu karena gak percaya, atau ngambil kesempatan, atau malah ngejelekin orang yang mengutamakan kesehatan ketimbang keviralan.
3. Hamil Karena Berenang
Komisioner KPAI mengaku menemukan sesuatu di jurnal ilmiah. Yakni jenis sperma super yang bisa hidup dan berenang mencari mangsa di kolam renang. Penemuan yang saking ‘jenius’nya aku sampai gak yakin si Ibu kesandung hoaks di bagian mana; supersperma atau jurnal ilmiahnya…
4. Karen
‘Spesies’ ini terlahir di Amerika yang lagi krisis sosial, dalam lingkungan gabungan dari salah kaprah feminis dan salah kaprah masalah rasis. Mind you, spesies ini bisa lebih berbahaya daripada covid, karena selain membawa senjata api, perempuan-perempuan itu juga selalu benar.
5. Penonton Film Milea
Filmnya sendiri pintar. Culas, lebih tepatnya. Kita-kita yang nontonnya-lah yang udah sukses dibego-begoin. Sekian jumlah orang telah tertipu beli tiket film untuk nonton cuplikan-cuplikan no effort. Dan banyak yang ngaku suka pula sama ‘film’nya!
6. Pertandingan Money in the Bank
Konsep MITB kali ini cukup unik. Cowok ama cewek digabung. Arenanya bukan ring, melainkan satu gedung. Namun nyatanya yang kita dapatkan adalah pertandingan konyol – semacam food fight dan komedi sketch, dengan editing yang poor. Way to waste such a good concept.

 
Dan anugerah yang lebih malu-maluin ketimbang Razzie ini jatuh kepadaa..

Basically, nyaris semua nominasi Best Reaction to Corona tadi masuk ke dalam istilah Covidiot

 
 
 
Semoga gak ada yang berantem karena dua kategori di atas. Karena, bukannya apa-apa, tapi kategori Feud of the Year kami sudah punya daftar nominasi yang lengkap dan tinggal nunggu keputusan pemenang. Jadi kalo mau berantem, tahun depan saja ya. Jangan kuatir, Corona juga dipastikan oleh Pemerintah untuk tetap ada, kok!

FEUD OF THE YEAR

Nominasinya adalah:
1. Amerika vs. TikTok
Salah satu deklarasi di masa-masa akhirnya menjabat presiden, Trump mendeklarasikan perang terhadap TikTok, buatan Cina yang diyakininya menjual data-data pengguna Amerika
2. Geprek Bensu vs. I am Geprek Bensu
Seteru branding antara dua franchise ayam geprek (so last year!) yang setelah dipikir-pikir lebih cocok masuk Shocker of the Year. Karena, serius aku baru tahu, ternyata keduanya berbeda!! 
3. Habib Rizieq vs. Nikita Mirzani
Atau lebih dikenal dengan pertengkaran tukang obat melawan wanita tunasusila. Mungkinkah seteru mereka ini akan mewakili seteru gender-role yang kian ngehits di kalangan SJW?
4. Jefri Nichol vs. Falcon Pictures
Single-handedly nyingkirin WWE vs. Twitch dari daftar nominasi, karena yang dihadapi Nichol di sini actually adalah apa yang terjadi kalo WWE benar-benar mempermasalahkan penampilan superstarnya di media/platform lain. Seteru kontrak yang kedua belah pihak sama-sama punya poin ‘benar’
5. Joe Exotic vs. Carole Baskin
Nah kalo ini, baru, seteru yang kedua belah pihaknya sama-sama ‘mencurigakan’. Musuh bebuyutan yang sama-sama merasa lawannya bukan penyayang biantang yang baik. Pertengkaran mereka dikipas menyala lagi oleh serial dokumenter Tiger King di Netflix. 
6. Sasha Banks vs. Bayley
Klasik dari teman jadi lawan. Build up Sasha lawan Bayley udah dari setahun sebelumnya, dan di 2020 kita baru dapat klimaksnya. Yang dimainkan dengan character-work sangat bagus dari kedua superstar.
7. Telkom vs. Netflix
Siapa di sini yang pake Indihom, pas streaming Netflix kualitas gambarnya cetek? Nah, ditengarai penyebab itu adalah kesirikan Telkom kepada Netflix yang gak kunjung usai sepanjang tahun
8. Ukhti vs. Kawat Berduri
Di Twitter ada yang ngumpulin kumpulan klip-klip para ukhti yang berjuang dengan motor mereka di jalan raya. Enggak jelas juga mereka berjuang melawan apa, aturan lalu lintaskah, atau keignoran sendiri terhadap cara mengemudi yang baik dan benar. Melawan kawat berduri inilah yang paling bikin aku ngakak karena seperti puncak dari ‘perjuangan’ tersebut.

 
The Dirty jatuh kepadaaa…

Mereka berdua salah, aku gak mau memihak tapi tbh aku masih yakin kalo Carole memang memberi makan suaminya kepada harimau

 
 
Orang berantem biasanya dibumbui oleh trash talks, sebagai penyedap pertengkaran mereka. Membuat kita betah menyimak ketubiran mereka. Tapi, ada juga talks atau omongan yang justru bikin kesel. Gak semua komen atau quote atau meme lucu untuk terus diulang-ulang.
Kategori berikut ini akan memberikan penghargaan buat Quote paling annoying, yang sukur-sukur setelah dikasih piala, mereka menghilang dari muka bumi. Dan membawa Covid serta bersamanya

MOST ANNOYING QUOTE


Nominasinya adalah:
1. “Ikan hiu makan tomat”
2. “Iri bilang, Boss!”
3. “Karena pembahasannya agak sulit”
4. “Ku menangiiisss membayangkan..”
5. “Si kecil mulai aktif ya, Bun!”
 
Dan jeng-jeng-jenggg, pemenangnya a-da-laaaaah..

Pemerintah yang benar-benar tone deaf. Dan malas. Mendengarnya bikin aku… menangisss membayangkaaannn

 
 
Yea, I know mungkin si ‘ku menangis’ itulah yang harusnya kumenangin. Paling enggak, sebenarnya dia bisa menang sebagai Adegan Terbaik, jika kategori tersebut masih seperti di tahun 2013 saat pertama kali dimunculkan. Karena saat itu, kategori Best Movie Scene masih untuk lucu-lucuan. Tapi sekarang aku ingin lebih kritikal terhadap film. Dan lagi, penghargaan beneran untuk adegan terbaik memang masih kurang di luar sana.
Jadi, marilah kita simak nominasi Adegan Film Terbaik sepanjang tahun 2020

BEST MOVIE SCENE

 
Para nominasinya adalah:
1. City tracking – (“The Vast of Night”)

2. Dancing Drunk – (“Another Round”)
https://www.youtube.com/watch?v=J5jZTO92ZVk
3. Escaping House – (“The Invisible Man”)

4. Kitchen Fight – (“The Hunt”)

5. Police Station Fight – (“Birds of Prey”)

6. Reunion – (“Da 5 Bloods”)
https://www.youtube.com/watch?v=DqIy8ywpvKI
7. The Interview – (“Borat Subsequent Moviefilm”)
https://www.youtube.com/watch?v=voTC3VEZ054
 
And The Dirty goes to…..

The power of filmmaker yang beneran bikin film dengan berani dan punya suara

 
 
 
Selain nonton film, selama lockdown kita menghabiskan waktu di rumah paling banyak di antaranya adalah dengan main video game. Sebelum masuk ke pengumuman kategori berikutnya, aku mau umumin perihal My Dirt Sheet sekarang udah aktif juga ngereview di Youtube, dengan konsep yang agak berbeda. Yakni ngereview sambil main game! Dan game-game berikut ini boleh jadi bakal dimainin berikutnya.

GAME OF THE YEAR


 
Nominasinya adalaaaaaaa —– loading —— aaah:
1. Among Us

 
2. Animal Crossing: New Horizons

 
3. Crash Bandicoot 4: It’s About Time

 
4. Final Fantasy VII Remake

 
5. Resident Evil 3

 
 
Game udah mulai kayak film aja, banyakan sekuelnya… Tapi at least, sekuel game ngasih sesuatu yang benar-benar harus jelas berbeda dari originalnya.
Oke, inilah, pemenang The Dirty sebagai Game Tahun Ini:

Di masa pandemi, everybody is a SUS (alias dicurigai OTG)

 
 
 
Bahkan di dalam game kayak Among Us pun kita bertengkar satu sama lain. Kayak kurang belajar PPKN aja. In fact, segala kekacauan reaksi dan kekeraskepalaan orang-orang berhadapan dengan situasi seperti pandemi ini seperti ya karena memang kurang edukasi. Level negara aja lebih percaya kata influencer ketimbang kata-kata scientist.
Untuk itulah, maka My Dirt Sheet kali ini memberikan penghargaan khusus untuk guru-guru atau pendidik yang udah menghibur dan somewhat mendidik kita dengan ilmu dan kepandaian mereka

TEACHER OF THE YEAR


 
Nominasi untuk kategori ini adalah….
1. Frank Tassone (“Bad Education”)
Diadaptasi dari tokoh nyata, Frank adalah guru yang populer di sekolah, terkenal ramah dan bijak. Bagaimana kita menyingkapi jika ternyata guru seperti ini ketangkap basah korupsi?
2. Joe (“Soul”)
Joe begitu sibuk mengejar mimpi sehingga ia sendiri gak sadar betapa banyak orang-orang di sekitarnya menjadi lebih baik berkat didikan dan bimbingannya.
3. Martin (“Another Round”)
Guru yang satu ini gokil banget; karena merasa dirinya udah jadi membosankan, maka dia menerapkan salah satu penelitian tentang alkohol. Dia minum sebelum ngajar!
4. Mr. Shaibel (“The Queen’s Gambit”)
Kita bisa belajar dari siapapun. Mr. Shaibel membuktikan hal tersebut. Karena meskipun dia ‘cuma’ janitor, tapi berkat ajarannyalah Beth Harmon jadi punya mental dan attitude seorang juara catur.
5. Taat Pribadi (“Guru-Guru Gokil”)
Guru gokil versi Indonesia. Tadinya dia benci banget ama guru, tapi begitu ngerasain berada di tengah murid-murid saat menyamar jadi guru, Taat jadi menemukan cinta.

 
Dan, guru yang akhirnya jadi pahlawan dengan tanda jasa karena punya The Dirty adalaahh

 
 
 
 
Di tangan pendidik kayak Mr. Shaibel itulah masa depan anak-anak bisa cerah. Kalo di film, di tangan penulisan naskah lah, karakter anak-anak bisa punya modal kuat untuk masa depan yang cerah. Karena jadi bisa dimengerti dan dimainkan perfect oleh aktor cilik nantinya.
Kali ini pun, kategori Karakter Anak Terbaik dihadirkan kembali

BEST CHILDREN CHARACTER


dengan nominasi sebagai berikut:
1. Becky – “Becky”
Becky adalah Home Alone dengan tingkat violence maksimal!
2. Christmas – “Troop Zero”
Christmas ngingetin kita untuk jadi diri sendiri dan tidak conform ke standar buatan sosial.
3. David – “Minari”
David yang terlahir Amerika, tapi tetap tak melupakan jiwa Korea-nya. 
4. Flora – “The Haunting of Bly Manor” 
Flora boleh jadi creepy dan aneh, tapi semua itu ia lakukan demi melindungi orang-orang yang ia cinta
5. Mary – “The Secret Garden”
Mary menunjukkan kepada kita kekuatan dari memupuk imajinasi dan harapan.
6. Miles – “The Haunting of Bly Manor”
Miles adalah peringatan untuk tidak berkubang dalam kehilangan dan terbujuk rayu setan.
7. The Willoughby Children – “The Willoughbys”
Anak-anak Willoughby sangat unik, karena bermain dalam imajinasi gelap anak-anak yang menyangka mereka gak suka dengan orangtua sendiri

 
Dan The Dirty diberikan kepadaaa…

Perfectly splendid!!

 
 
 
Dari anak-anak, kita beralih ke calon ibu anak-anakku…haiayaaassssaphambyaarr XD Unyu op the Year, salah satu kategori original My Dirt Sheet Awards, dari tahun ke tahun selalu jadi kategori yang paling susah untuk ditentuin pemenangnya. Karena semuanya cakep-cakeeepppp hihihi

UNYU OP THE YEAR


Dan inilah para nominasi yang udah malang melintang di internet dan perfilman sepanjang 2020:
1. Alexa Bliss
Dari Goddess, Alexa berganti menjadi karakter yang unyu tapi creepy. Ini adalah kesekian kalinya Alexa masuk nominasi, mungkinkah penampilan barunya ini membawa berkah?
2. Anya Taylor-Joy
Dari Mak Comblang ke juara catur ke mutant petarung, Anya Taylor-Joy yang juga udah sering nongol sebagai nominasi, kini punya tiga penampilannya itu sebagai jurus pamungkas untuk mendapatkan piala!
3. Joey King
Dari remaja yang menyimpan rahasia hingga remaja yang memendam cinta menggelora, Joey King siap menjadi penantang kuat berkat aktingnya yang natural
4. Kathryn Newton
Dari remaja tak-populer kemudian berubah menjadi seorang pembunuh berantai, semua itu dilakukan Kathryn Newton dalam satu film yang sama. Penampilan dual aktingnya merupakan salah satu tantangan unik di tahun 2020
5. Millie Bobby Brown
Dari yang awalnya dikenal sebagai gadis cilik misterius dengan kekuatan psikis, Millie Bobby Brown berevolusi menjadi gadis muda yang enerjik, supel, dan cerdas dalam membongkar misteri.
See, semua nominasi ini membekas di hati. But there’s only one true winner. Dan inilah pemenang yang membawa pulang The Dirty berhias pita pink…

Checkmate!

 
 
 
 
Selagi aku membayangkan punya pasangan kayak mereka, mari kita rayakan cinta beneran yang udah membuat 2020 menjadi tahun yang hangat, di tengah segala keterbatasan akibat pandemi. Tapi awas, jangan sampai baper!

COUPLE OF THE YEAR



1. Abby & Harper
Menjadi pasangan berarti harus saling mengerti dan memahami, seperti Abby dan Harper yang tadinya udah mau putus tapi berakhir happy ending
2. Baskara & Sherina
Kita pikir kita dan pasangan yang paling uwu? Well, look at them and think again
3. Hinode & Miyo
Suka sama orang pasti ada alasannya. Dan alasan Hinode dan Miyo saling cinta ini akan membuat kita klepek-klepek sendiri
4. Jake & Amy
So happy akhirnya Jake dan Amy akhirnya dikasih momongan
5. Jamie & Dani
Kisah cinta Jamie dan Dani yang akhirnya harus terpisah dunia, memang sehangat dan semenyayat romansa yang dibalut horor!

6. Lars & Sigrit
Menjadi pasangan juga berarti harus saling dukung. Tengok saja perjalanan cinta Lars dan Sigrit di atas panggung karir menyanyi mereka
7. Otis & Mandy
Romansa klasik ‘beauty & the beast’ selalu punya pesona tersendiri, khususnya ketika dibawa ke dalam ring WWE

8. Zayn & Gigi
Satu lagi pasangan seleb real-life yang sukses bikin netijen ber-uwu uwu ria
 
Dan inilah The Dirty sebagai simbol cinta untuk pasangaaannn….

Tadinya kirain bakal cringe, tapi ternyata jadi salah satu dari sedikit sekali storyline yang kocak dan berbeda dari WWE di 2020

 
 
 
Di tengah kondisi yang semakin memprihatinkan, kita memang perlu mengisi dunia dengan lebih banyak cinta dan… musik!
Kategori berikut ini dijamin akan membuat kita terhibur dengan penampilan musik yang lain dari yang lain

BEST MUSICAL PERFORMANCE


 
Nominasinya adalaaah
1. Aubrey Plaza “Get Ready for Judgment Day”

2. Baby on Twitter “Killing in the Name of”

3. Baby on Twitter II “I Wonder What’s Inside Your Butthole”

4. Class 1-A “Hero Too”

5. Fire Saga “Double Trouble”

6. Miz & Morrison “Hey Hey”

7. Slashstreet Boys “Die by My Knife”

 
8. Troop Zero “Space Oddity”

 
Dan dengan bangga The Dirty kami berikan kepadaaa…

Gagal sebagai Couple of the Year, Lars dan Sigrit justru berhasil merebut hati kita dengan penampilan musik yang konyol dan menghibur!

 
 
 
 
Sebelum aku jadi keterusan mengkhayal, kayak beberapa teman kita yang masih bahagia dengan menganggap semua baik-baik saja dan Covid akan hilang dengan sendirinya sehingga tetap berkeliaran dengan masker yang dijadiin sebagai bagian dari gaya, baiknya aku segera balik menghadap realita. Menatap apa-apa saja yang sudah kukerjakan di tahun 2020.

MY MOMENT OF THE YEAR

Sebagai seorang Cancer yang memang lebih senang menyendiri, nyaris sepanjang tahun berdiam di rumah – untuk pertama kalinya lebaran sendirian (cuma sama kucing) – memberi aku banyak waktu untuk reinventing self. Dengan kebiasaan menonton yang juga semakin longgar karena pindah ke platform, aku akhirnya bisa mengejar untuk bikin konten di channel My Dirt Sheet yang Alhamdulillah sudah diaktifkan tahun 2020 ini. Awalnya berisi main game, yang kemudian ditambah dengan segmen ngereview sambil main game! Yang belum subscribe silakan subscribe yaa. Blog ini gak akan kutinggalin, channel itu hanya untuk perpanjangan ulasan dan penyaluran hobi bermain-main aja hehehe
Awalnya sih karena memang aku sempat diundang ngereview bareng oleh CineCrib. Aku jadi ngerasain juga keluwesan yang bisa didapat dari menyampaikan langsung, yang gak bisa sepenuhnya tersampaikan lewat review tulisan. Jadi, review di channel itu akan berfungsi sebagai pelengkap saja. Selain itu, aku juga diberi kesempatan untuk menjadi juri di kompetisi film pendek. Lumayan, aku jadi sempat juga dimention satu twit barengan Jokowi dan orang-orang penting. Dan kalo ada satu kejadian yang bikin aku gak tidur semaleman, maka itu adalah kejadian berpayung-payung ria (padahal malamnya mencekam) bersama Gadis Sampul.
Namun begitu, kejadian paling mengesankan buatku di tahun 2020 – jauh lebih mengesankan daripada pencapaianku dapat King of Games 10 kali di Duel Links, adalah ketika….
Menang Liga Komik (kuis-kuis tentang film) Kompasiana!

Serius deh, ini perjuangannya berdarah-darah, timku harus benar-benar ngatur strategi!

 
 
 
Dan sampailah kita ke penghargaan terakhir. Penghargaan paling greget yang bisa ditawarkan oleh My Dirt Sheet.
Aku gak yakin setelah melihat semua yang dikerjakan Pemerintah di tahun 2020 kita masih bisa kaget, tapi inilah kategori puncak

SHOCKER OF THE YEAR

Sebelum sampai ke pemenangnya, simak dahulu para runner-ups ini:
1. Parasite dari Korea menang empat Oscar, dan mencetak sejarah!
2. Edge kembali berlaga di atas ring!!
3. Utang Temon ke Muklis nyampe 250 juta!!!
4. Valentino Rossi cheated death! Twice!!
5. Undertaker main TikTok!
6. Everything is cake!!!
7. Mudik beda ama pulangkampung!?!
8. The Dirt Sheet Miz and Morrison is back!!
9. Es Krim Viennetta juga comes back!!
10. Tapi es krimnya beda ama yang dulu!!?!
11. Video UFO Pentagon!!
12. Monolith kayak film 2001: A Space Odyssey ditemuin di beberapa tempat!!!

 
Oke, tarik napas dalam-dalam…
Udah?
Inilah yang paling mengejutkan di antara semuanya…:

Di saat aku baru bikin youtube karena lockdown, orang di luar sana udah mecahin kode serial killer paling rumit abad ini!!!

 
 
 
 
Jadi, begitulah.
Semoga sebagian besar juara di 2020 ini enggak jadi juara bertahan di tahun depan nanti. Dan untuk itu memang keignorant kita semua harus cepat-cepat dienyahkan. Jangan sampai ada lagi selebrasi-selebrasi gak penting. Jangan dipelihara lagi denial-denial hanya untuk mempercantik citra diri. Kita semua punya banyak waktu untuk merenung sendiri di rumah.
I hope you all have wonderful year ahead.
Jaga kesehatan, dan selamat Tahun Baru!!!
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember in life, there are winners.
And there are 

 
We still the longest reigning BLOG KRITIK TERPILIH PIALA MAYA.

ONE NIGHT IN MIAMI Review

“You can never have an impact on society if you have not changed yourself”
 

 
 
Satu malam yang disebut oleh judul film ini adalah malam tanggal 25 Februari 1964. Malam di Miami ketika Muhammad Ali menjadi juara dunia tinju untuk pertama kalinya. Sungguh malam yang bersejarah. Film ini lantas mengajak kita melangkah ke balik tirai peristiwa legendaris tersebut. Ke dalam relung-relung imaji alih-alih lembaran fakta-fakta solid. Penulisnya mengajukan skenario fiksi – skenario andai-andai – soal Muhammad Ali merayakan kemenangannya tersebut. Dalam skenario Kemp Powers ini (ia adaptasi dari naskah teater karyanya sendiri), Ali yang saat itu masih menggunakan nama Cassius Clay tidak menghabiskan malam besarnya dengan berpesta di tempat mewah. Melainkan duduk di dalam kamar hotel yang sederhana. Membicarakan soal perubahan besar yang perlu diambil untuk mengubah dunia 60an yang rasis itu menjadi lebih baik. Bersama tiga sahabatnya; Sam Cooke, Jim Brown, dan Malcolm.
Jika kalimat terakhir tersebut kurang berefek bagi kalian for some reasons – mungkin kalian masih terlalu muda untuk ngeh mereka-mereka tadi itu siapa, maka aku akan mengulanginya sekali lagi. Dengan lebih memperjelas tentunya. Cassius Clay alias Muhammad Ali adalah legenda tinju yang namanya bukan cuma gede di atas ring melainkan juga di layar televisi dan layar lebar. Jim Brown juga seorang atlet sukses, yang juga menjelma menjadi figur kenamaan di dunia olahraga futbol dan perfilman. Sam Cooke merupakan salah satu penyanyi terbesar di zaman itu. Dan ya, Malcolm adalah sosok luar biasa berpengaruh dalam gerakan Kulit Hitam, yang diabadikan oleh Spike Lee dalam film Malcolm X (1992). Empat karakter dalam film ini adalah empat tokoh yang larger than life. Prestasi dan gebrakan mereka punya catatan sejarah masing-masing. Pada zaman itu, mereka bukan semata punya penggemar atau pengikut. Melainkan itu membuktikan pengaruh mereka yang demikian besar. Mereka berjuang dengan cara, melalui keahlian, masing-masing untuk mengupayakan dunia yang lebih baik.
Skenario One Night in Miami mempertemukan keempat tokoh ini. Empat sahabat yang berkumpul dan berkelakar, hingga akhirnya mulai beradu argumen, dan saling mempengaruhi untuk kemajuan temannya. Dan sutradara Regina King memvisualkan segala kekompleksan dan emosi tersebut ke dalam tayangan yang mudah dicerna tanpa mengurangi bobot isu besar yang dieksplorasi. Isu yang masih relevan buat kita yang menontonnya di tahun 2021.

Influencer beneran adalah influencer yang ngumpul bukan untuk sekadar selfie dan party.

 
So yea, tantangan buat menghidupkan film ini enggak gampang. Apalagi buat sutradara debutan seperti Regina King. Bukan hanya King harus membuat adegan-adegan ngobrol tampil engaging, dia juga harus bisa memberi nyawa kepada setting dan terutama kepada empat tokoh legenda tersebut. Jangan sampai semuanya itu malah tampak sebagai parodi. Setelah menghabiskan nyaris dua jam durasi, kita akan bisa melihat bahwa pendekatan yang diambil oleh King berhasil dengan baik.
‘Antagonis’ di cerita ini sudah jelas, isu rasisme. Permasalahan kuat yang harus dihadapi oleh para karakter. Sehingga kini, break or make untuk film ini jelas tergantung dari cara King mempersembahkan karakter-karakter utamanya. King mengerti bahwa ia harus menguatkan emosi manusiawi supaya para tokoh itu beneran seperti karakter yang hidup. King juga paham konflik yang kompleks dari setiap mereka datang dari mana. Mereka adalah yang orang yang besar dari karir, tapi juga punya sesuatu yang ingin diperjuangkan atas kepentingan sosial bersama. Di menit-menit pertama, sebagai perkenalan, King menarik para karakter ke belakang. Kita diperlihatkan momen masing-masing mereka di luar sana, ketika karir maupun sosial mereka bertemu dengan berbagai bentuk ketimpangan warna kulit. Adegan pembuka paling menyentuh adalah bagian Jim Brown, yang berkunjung ke kediaman kerabat keluarga. Momen yang awalnya terasa hangat dan bersahabat itu seketika berubah menjadi dingin karena sang kerabat keluarga yang ramah itu ternyata tidak memperkenankannya masuk ke rumah atas alasan warna kulit.
Momen-momen awal yang seperti itu tadi sesungguhnya krusial. Karena film bisa-bisa bakal jadi seperti overdramatisasi saat memperlihatkan perlakuan timpang yang dialami oleh karakternya. King menghandle ini dengan membuat setiap karakter sedekat mungkin dengan tokoh aslinya. Referensinya tentu saja pada bacaan sejarah. Bagaimana tokoh itu bertindak. Apa hal yang ia suka. Film memasukkan banyak elemen asli ini untuk melandaskan rasa otentik tersebut. Seperti misalnya Cassius Clay yang punya pesona unik di atas ring. Sudah jadi rahasia umum kalo Muhammad Ali senang bertindak layaknya ‘heel’ di atas ring; suka belagu, beliau mencontoh gimmick gulat Gorgeous George yang ia anggap sangat menghibur bagi penonton. Film One Night in Miami bahkan memuat dialog soal kegemaran Clay nonton wrestling dan pengaruh Gorgeous George terhadap cara bertandingnya. Jadi film ini bukan hanya membayangkan diskusi dan dialog-dialog, tapi juga dibumbui oleh fakta-fakta dari para tokoh. Hasilnya dapat kita rasakan drama dalam film ini terasa hidup dan meyakinkan. Kita melihat mereka seperti Muhammad Ali beneran, Sam Cooke – Malcolm X – dan Jim Brown beneran. Bukan ‘beneran’ as in tampak seperti tokoh yang dimuliakan, melainkan benar-benar manusiawi oleh emosi, kebimbangan, passion, dan sering juga, amarah.
Menempatkan perdebatan mereka di dalam kamar merupakan tindak simbolik yang menunjukkan kepada kita bahwa keempat tokoh kulit hitam ini baru bisa bebas menjadi mereka, mengungkapkan isi kepala dan menumpahkan isi hati mereka, di tempat yang tertutup. Jauh dari mata-mata yang lain. Terpisah dari kehadiran kulit putih, kalo boleh dibilang. Kamera dengan luwes menangkap momen-momen. Yang juga menunjukkan arahan sutradara tidak demikian terbata ketika berpindah dari suasana di luar dengan saat di dalam. Permainan akting pun tak kalah luwesnya. Eli Goree berhasil mengenai sikap bahkan aksen dari Cassius Clay. Aldis Hodge bicara banyak lewat ekspresi Jim Brown yang memang lebih banyak diam, menimbang konflik dan pilihannya di dalam hati. Bagiku, adu-akting yang paling memorable adalah antara Leslie Odom Jr. dengan Kingsley Ben-Adir ketika Sam Cooke dan Malcolm terlibat debat. Adegan sungguh membuncah; baik emosi maupun pikiran. Jadi, Malcolm-lah yang membujuk mereka semua untuk berada di kamar itu. Malcolm ingin mereka untuk berbuat lebih banyak, untuk menggunakan influence mereka yang besar sebagai memvokalkan perjuangan kulit hitam. Nah, Malcolm dan Cooke debat seru saat Malcolm mempertanyakan musik Cooke – kenapa malah Bob Dylan yang kulit putih yang duluan menyuarakan kaum kulit hitam. Debat mereka ini sangat menarik bukan hanya dari akting, melainkan terutama dari argumen yang dilontarkan masing-masing. Nonton bagian ngobrol ini akan sama serunya dengan ngeliat adegan Cassius Clay tanding tinju di atas ring.
Satu lagi yang menarik dilakukan oleh film ini adalah soal agama. Poin vokal Malcolm di sini adalah mengajak ketiga sahabatnya masuk ‘Nation of Islam’. Kita lihat Cassius Clay belajar sholat. Kita melihat dia juga tampak bimbang; sekilas boleh jadi dia tampak bakal merindukan minum alkohol, tapi berkat penceritaan film ini kita tahu sebenarnya kebimbangan Clay bukan kepada agama dan aturannya itu tetapi lebih kepada motivasi sang sahabat. Dan secara garis besar, ini menunjukkan bagaimana film menangani elemen agama. Malcolm yang membujuk tidak pernah tampak seperti ngasih dakwah, melainkan lewat persuasi yang mengena langsung ke sisi manusiawi para sahabat.
Film ini bisa ngajarin kita cara yang baik menegor sahabat

 
 
Cassius, Cooke, Brown, dan Malcolm — mereka adalah aktivis, selain juga sebagai katakanlah selebriti. Beginilah influencer sejati. Film ini nunjukin masa saat influencer itu kerjaannya benar-benar berjuang mempengaruhi orang untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Bukan semata untuk dapat endorsement dan tinggi-tinggian follower. Dalam film ini kita akan melihat bagaimana Malcolm berusaha menyadarkan teman-temannya akan ‘power’ yang mereka miliki dengan punya banyak penggemar dan pengaruh sebesar itu. Menurutku, di samping soal isu rasisme yang memang sangat disayangkan masih diperjuangkan hingga sekarang, the biggest take away yang bisa kita peroleh dari film ini adalah soal menyadari impact yang bisa kita punya tersebut. Kita sekarang hidup di masa yang semua orang bisa jadi influencer yang punya pengikut berjuta-juta. Namun rasisme masih ada. Ketimpangan masih banyak. Either kita tidak menyadari impact yang bisa kita buat, atau we simply doing it wrong. Bujukan Malcolm kepada sahabat-sahabatnya di film ini bisa kita jadikan sebagai pembuka mata.

Film ini bicara tentang realizing impact yang bisa kita punya, dengan berani berubah demi itu. Dan sepertinya memang inilah yang susah. Nelson Mandela bilang kita tidak akan bisa berpengaruh besar terhadap sosial jika diri kita sendiri belum berani untuk berubah. Dan betapa benarnya itu semua, karena dalam film ini kita akan melihat perubahan pribadi itulah yang jadi penyelesaian cerita. Cassius yang akhirnya berani dan yakin masuk Islam – dia mengganti namanya. Cooke yang akhirnya berani membuat lagu-lagu yang berbobot. Bahkan perubahan ‘sekecil’ Jim Brown yang akhirnya berani berhenti sebagai atlet dan mengejar karir lain, pada akhirnya jadi titik balik signifikan dalam perjuangan masing-masing.

 
Harusnya, dengan pesan seperti ini, film berakhir dengan impact yang powerful. Tapi tidak terasa begitu. Jika kita bandingkan dengan Ma Rainey’s Black Bottom (2021); film yang juga diangkat dari teater play, film yang juga banyak ngobrol, film yang juga dari tokoh beneran, One Night in Miami ini terasa jinak. Imajinasinya bermain aman. Tidak ada aspek seperti ‘pintu yang tak bisa dibuka’ yang jadi gempuran dan klimaks buat konflik karakter dalam One Night in Miami. Seperti kurang nonjok. Film ini menutup diri dengan montase kejadian asli yang menimpa karakternya – terkait pilihan mereka. Tapi tidak terasa impactful karena malah hanya tampak seperti eksposisi – karena kita udah tahu mereka yang tokoh beneran ini bakal gimana. Kalo dilihat dari materi atau penulisan, film memang punya dialog-dialog yang menantang pikiran. Sehingga kurang nonjoknya ini sesungguhnya berasal dari masalah pacing. Building ke momen-momen-nya yang bisa diperbaiki lagi. Misalnya, momen Cassius menerima dan ikhlas mau ngumumin masuk Islam; dalam film ini terasa agak terlalu cepat – padahal tadinya mereka baru saja berargumen soal itu. Momen kayak gini yang mestinya bisa diperhatikan lagi build up dan temponya. Kreasi mengadaptasi juga bisa lebih ‘diberanikan’ lagi.
 
 
 
 
Membahas empat karakter sekaligus tampaknya memang sedikit terlalu banyak untuk proyek pertama penyutradaan. Tapi selain itu, film ini berhasil membangun sebuah skenario fiksi menjadi sesuatu yang kompleks dan tetap jujur dan menghargai sejarah di baliknya. Kekuatannya ada pada hubungan keempat tokoh, yang berhasil digambarkan sebagai sosok yang manusiawiFilm berhasil keluar dari jebakan parodi. Sehingga yang kita dapatkan adalah kisah persahabatan yang seperti real dan membuka banyak ruang untuk diperbincangkan. Bagi sutradaranya sendiri, film ini membuka ruang untuk banyak improvement untuk ke depannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ONE NIGHT IN MIAMI
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Jika boleh berandai, siapa empat orang tokoh atau aktivis atau influencer Indonesia yang akan kalian tempatkan di satu ruang untuk berdebat demi kemajuan Indonesia? Dan berdebat soal apa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

NOMADLAND Review

“Not all who wander are lost”
 

 
Meskipun manusia purba sekarang telah berubah menjadi manusia modern cakap-teknologi semua, tapi kebiasaan hidup nomaden mereka tidak begitu saja hilang. Bedanya, kalo dulu manusia purba nomaden karena hidup tergantung musim dan iklim. Kini, nomaden udah berevolusi menjadi gaya hidup modern. Ada orang-orang yang lebih senang hidup tak-menetap alias traveling, dari satu tempat ke tempat lain, dari negara satu ke negara lain. Nomaden udah sama kayak hobi bagi mereka. Namun ada juga orang-orang yang terpaksa – dan akhirnya – hidup di jalan. Mereka hidup di dalam mobil van yang merangkap menjadi hunian. Menetap untuk bekerja sementara kemudian pindah lagi ke lokasi lain, mencari kerjaan yang lain. Nomadland karya Chloe Zhao adalah tentang para nomaden modern yang ‘tipe B’ ini. Nomaden yang tidak punya lagi tempat tinggal, sehingga mereka menjadikan jalanan panjang, berbatu, dan berdebu sebagai rumahnya.
Ini adalah film yang tergolong pendiem. Yang lebih banyak berekspresi lewat visual. Persis seperti protagonisnya. Fern, adalah perempuan baya yang lebih suka untuk mendengarkan nasihat dan cerita dari para ‘senior’ nomaden, ketimbang bicara terlampau banyak mengenai dirinya sendiri. Itu karena Fern memang ‘anak baru’ dalam kehidupan jalanan ini. Setelah Resesi hebat yang melanda Amerika, kota tempat Fern dan mendiang suaminya membangun rumah tangga seketika menjadi kota hantu. Semua pabrik mata pencaharian di sana tutup. Jadi Fern membawa hidupnya ke jalanan, di dalam van yang ia beri nama Vanguard. Berpindah dari satu kerjaan ke kerjaan lain. Berpindah-pindah dan selalu hadir ke tempat komunal nomad. Fern bermaksud belajar menjalani gaya hidup ini. Gaya hidup yang walaupun ada komunitasnya, tapi tetap saja sebagian besar akan berarti sebuah kesendirian.

Ku berjalan seorang diri, sebagai seorang kelana

 
 
Sekali lihat saja, kita langsung tahu bahwa ini adalah film yang spesial. Penempatan dan pergerakan kamera tampak simpel tapi sungguh bermakna. Menambah banyak sekali ke dalam penceritaan. Antara di awal memperlihatkan Fern bekerja di pabrik dengan di momen-momen berikutnya yang bertempat di lingkungan terbuka, film ini bukan hanya menyuguhkan pemandangan fenomenal. Ya, tentu kita akan terperangah melihat lokasi yang menjadi panggung cerita. Tempat-tempat eksotik wilderness khas Amerika (tampak seperti film koboi!), seringkali dipercantik dengan warna-warna yang mendukung mood, akan menjadi menu santapan utama mata kita. Bahkan sense geologi-ku yang udah lama tertimbun sempat menggelinjang manja melihat penampakan singkapan formasi batuan yang disinggahi oleh Fern. Tapi film ini bukan cuma soal pemandangan visual yang ‘wah’. Melainkan juga soal bagaimana perilaku kamera dalam menampilkannya. Bagaimana Fern – karakternya manusia – ditempatkan; dengan skala yang menggiring pemahaman kita bahwa ada dunia yang either mengukung atau luas pada Fern. Yang kaitannya ada pada soal kapitalisme yang digaungkan sebagai gagasan film. Bahwa tidak ada satupun yang dari gurun atau dataran atau pabrik atau tempat parkir itu yang milik Fern. Semua dimiliki oleh korporasi/manusia lain. Dan ini menciptakan rasa tidak adil.
Kita tak pernah dilepaskan dari apa yang dilihat – dan apa yang dirasakan – oleh Fern, sebab kamera akan terus mengajak kita mengikutinya. Zhao mempercayakan sepenuhnya visinya ini kepada Frances McDormand yang menyambut kamera dengan penampilan aktingnya sebagai Fern. Dan pilihan Zhao ini, tak pelak, adalah pilihan yang akurat. Jikalau dimainkan oleh aktor dengan permainan less dari McDormand, Fern akan jadi karakter yang annoying dan unlikeable. Emosi manusiawi yang menghidupi karakter ini gak akan nyampe kepada kita. But McDormand, dia paham bahwa karakternya ini adalah seorang yang berusaha kuat dan mandiri, pada saat dirinya paling tidak yakin pada dirinya sendiri. Pada saat dirinya justru percaya sebenarnya dia butuh bantuan orang lain. Kita bisa melihat bagaimana Fern tersenyum tipis saat mendengar perbincangan mengenai ‘ide-untuk-pergi’ dari sahabat sesama nomaden yang ia jumpai, dan instantly kita paham Fern saat itu sedang teringat kepada mendiang suaminya.
Selain lewat masalah kapitalisme, film menunjukkan betapa kecil Fern merasa juga melalui momen-momen saat dia ditinggal. Para kaum/society nomaden yang ditemui Fern, yang tinggal bersama dirinya beberapa hari di suatu lokasi, akan menjadi teman bagi Fern. Betapapun kaku tampaknya, tapi Fern ini memang selalu nyari teman. Dia bahkan bacain puisi untuk seorang pemuda yang ia kenal di jalanan. Dan kita paham apa yang dirasakan Fern saat para nomaden itu akhirnya pergi; Saat masing-masing mereka dengan cueknya cabut, Fern tinggal. Kamera akan memfokuskan kepada Fern yang memandangi mobil-mobil itu pergi. Emosi subtil yang ditunjukkan McDormand sebagai Fern justru ternyata bicara banyak kepada kita. Aku rasa aku bahkan gak perlu musik untuk dapat tersentuh oleh apa yang Fern rasakan. Metoda akting McDormand ini cocok sekali dengan niatan/visi sutradara yang membuat luapan emosi film tidak dalam ekspresi yang menggelegar. Tidak ada orang teriak-teriak marah di sini. Tapi yakinlah, kita akan merasakan luapan emosi saat melihat adegan setenang Fern berenang di sungai pada saat menjelang babak akhir film.

Fern belajar banyak dari komunitas nomaden. Dan yang ia pelajari itu akan lantas membuat kita lebih menghargai gaya hidup ini. Karena tidak semua yang berkelana tanpa arah itu tersesat. Bagi kaum nomaden itu, mereka dengan bebas dan bangga mengenali dunia sebagai rumah. Mungkin kita semua sesekali harus nyobain berkelana.

 

Enggak, nonton The Avengers sendirian gak sedih kok

 
Komunitas nomaden ini memang yang bikin film semakin terasa unik. Zhao melepas McDormand ke tengah-tengah kaum nomaden beneran. Ada tiga tokoh nomaden yang berperan sebagai diri mereka sendiri, difungsikan untuk bercerita – sebagai supporting – untuk karakter Fern. Aku gak yakin apakah istilahnya tepat, tapi berkat campuran karakter cerita dengan tokoh asli ini film jadi terasa seperti semi-dokumenter buatku. Dan unfortunately for this film, bagiku porsi bincang-bincang dan gaya hidup nomaden beneran itu tampak lebih menarik dan otentik. I kinda wished cerita film ini ada versi dokumenternya. Aku mau tahu tentang para nomaden itu lebih banyak. Fern-nya McDormand tampak hidup, dengan emosi yang manusiawi, dengan penampilan akting level dewa. Tidak akan ada yang mengecilkan karakter ini. Hanya saja, dibandingkan dengan keotentikan yang ditawarkan para nomaden asli yang bukan aktor tersebut, aspek melankoli yang jadi karakter Fern membuat dirinya jadi kalah menarik. Fern ini jadi kayak spirit-artifisial; semua kesedihan ada padanya, sementara yang bahagia-bahagianya ada pada para nomaden asli. Film seperti enggan memperlihatkan kesedihan di balik hidup nomaden yang sebenarnya sehingga Fern ini dijadikan sebagai perwujudan dari itu. Yang nantinya si sedih ini akan belajar untuk lebih menghargai dan merayakan gaya hidup ini.
Sehingga pada akhirnya, film ini meninggalkan kesan yang bercampur aduk. And not exactly dalam artian bagus. Kalimat “bukan homeless tapi houseless” itu lebih cocok diucapkan Fern di akhir. Karena dengan mengucapkan di awal, jadi tidak jelas. Kalo ini adalah story tentang orang awalnya terpaksa kemudian jatuh cinta sama life on the road, maka apakah itu berarti di awal itu Fern sudah complete arc-nya? Tapi ini juga menunjukkan film hanya mengangkat rintangan dari desain karakter Fern. Film tidak benar-benar menilik dari rintangan hidup di jalan itu sendiri. Semua tampak mudah bagi Fern. Jadi jika cerita ini sedari awal adalah selebrasi dari kehidupan nomad, apa berarti filmnya hanya tok menggali dari sisi yang bagus-bagus aja? Soal kapitalis juga tidak benar-benar tergali dari sini. Aku tidak merasa ada sikap yang kuat dari film ini. In the end, aku tidak benar-benar merasa terkonek dengan ‘apa sesungguhnya’ film ini.
 
 
 
Tidak ada sangkalan film ini tampaknya bakal jadi powerhouse di Oscar tahun ini. Teknis dan arahan, serta penampilan aktingnya luar biasa. Istimewa semua. Jika film adalah ‘show, don’t tell’ maka film ini menjuarai apsek ‘show’ tersebut. Adegan demi adegannya bicara banyak dengan apa yang ditampilkan. Aspek yang paling menarik adalah menggunakan non-actor sebagai karakter pendukung. Namun untukku, aspek ini sedikit menjadi bumerang. Karena menyebabkan protagonis cerita yang manusiawi itu bagaimanapun juga jadi tampak artifisial jika dibandingkan dengan mereka. Kalah menarik. Narasi yang merayap subtil di balik itu semua pun jadi tampak mixed.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for NOMADLAND
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apa yang paling kalian khawatirkan jika hidup di jalanan, di dunia yang luas, tanpa-rumah?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

MINARI Review

“The ultimate goal of farming is not the growing of crops, but the cultivation and perfection of human beings”
 

 
 
Land of opportunity itu bernama Amerika. Tempat yang katanya semua orang boleh bebas mengais rejeki di sana, siapapun mereka. Termasuk satu keluarga Korea, yang ayahnya punya cita-cita lebih besar daripada jadi pengamat kelamin anak ayam profesional seumur hidup. Si ayah pengen punya ladang sendiri. Supaya bisa ia tanami dengan berbagai sayuran khas korea. Maka si ayah membeli tanah luas di pinggiran kota. Mereka sekeluarga pindah tinggal ke sana. Hidup dalam sebuah trailer alih-alih rumah hunian yang biasa. Tentu saja hidup baru keluarga ini tidak lantas mudah. Ayah dihadapkan oleh berbagai tantangan. Mulai dari menumbuhkan tanaman-tanamannya, menyuburkan, dan kemudian berusaha untuk menjual hasilnya. Belum lagi kondisi anak bungsu yang punya jantung lemah. Dan Ibu yang terus mengkhawatirkan sang anak, sehingga lebih suka mereka tinggal di kota saja, di dekat banyak orang.
Begitulah set up film Minari ini. Begitu sederhana dan simpel. Film ini memang bertindak selayaknya semi-otobiografi karena ceritanya berdasarkan masa kecil sang sutradara. Sutradara Lee Isaac Chun adalah David, si anak bungsu, dalam cerita ini. Sehingga film ini pun dibuatnya bernuansa sangat real. Tidak akan kita jumpai karakter yang comically jahat, ataupun keajaiban-keajaiban seperti sihir – apalagi supernatural. Yang paling dekat sebagai pihak antagonis adalah keadaan. Mengejar ‘american dream’ memang gak gampang, kita akan melihat begitu banyak permasalahan yang muncul seputar usaha keluarga ini untuk hidup berkecukupan di ladang tersebut. Yang jawaban atau solusinya sebenarnya justru ada di dalam mereka semua. Menyaksikan para karakter – keluarga ini – menyadari hal tersebut, belajar darinya, berkompromi dengan keadaan; inilah yang membuat film Minari menjadi menyenangkan dan sangat heartwarming untuk disimak.
Film menjadi semakin hangat lagi dengan nunjukin relasi antara si bungsu David dengan Nenek yang dipanggil tinggal bersama mereka untuk menjaga si bungsu dan kakaknya saat Ayah dan Ibu bekerja. Relasi David dengan nenek adalah salah satu inti dari cerita. Banyak adegan interaksi mereka yang bikin hati kita meremang. Membuat emosi kita teraduk-aduk. Ada yang lucu, yang sedih, yang bahagia. Semuanya bakal bercampur menjadi satu membentuk perasaan hangat di hati. Kalo gak percaya lihat saja adegan di dekat ending. Ketika si Bungsu yang tadinya karena keadaan jantungnya membuat ia percaya dia tidak mampu untuk berlari, akhirnya – oleh buncahan kasih sayang yang meluap di dada – berlari mengejar… ah, aku enggan melanjutkan karena sebaiknya memang film kayak gini ditonton sendiri supaya emosinya bisa benar-benar terasa.

Menceritakannya terlalu banyak nanti malah jadi kayak review yang isinya spoiler nyeritain semua itu

 
 
Serius deh, kurasa ulasan kali ini bakal jadi salah satu ulasan yang paling membosankan di blog ini. Karena gak banyak yang bisa kita bahas tentang film yang memang menggelora dari pengalaman dan perasaan yang film ini berhasil hadirkan. Aku nekat ngespoiler-pun, percuma. Emosi dan rasanya gak akan bisa mewakili atau menggambarkan sebenar-benarnya yang diberikan oleh film ini dengan menontonnya langsung. Not even 50%-nya. Minari ini adalah film yang sayang banget kalo dilewatkan. Aku harap film ini masuk ke bioskop Indonesia kapan-kapan. Enggak mesti sekarang. Bisa nanti setelah pandemi, atau kapan deh, pokoknya tayang. Sebab film kayak gini udah jarang kita dapatkan. Dengan industri yang semakin kebut-kebutan, terlebih karena pemulihan setelah kosong di pandemi, aku pikir akan semakin jarang lagi ada yang membuat film seperti Minari ini. Film yang ‘cuma’ nyeritain kehidupan satu keluarga. Film yang gak bermuatan agenda atau political, selain nunjukin sesuatu untuk mengangkat harapan kita semua.
‘Berbeda’ itu salah satunya membuat film ini jadi tidak tertebak. Bukan dalam artian tidak ada twist, melainkan dalam artian kita tidak bisa melihat ke mana poin-poin plotnya akan berujung. Dan ini juga bukan dalam artian naskahnya gak clear, karena poin-poin itu – tersusun dalam struktur naskah dengan benar – dan kita akan melihat itu dengan jelas di akhir film. Tema besar filmnya pun kita dapat mengerti sembari menonton, yang menunjukkan naskah berhasil melandaskannya sedari awal. Tidak tertebak tadi itu maksudnya adalah datang dari cerita yang terasa begitu besar. Kita tidak tersesat di dalamnya, tapi kita justru terasa seperti benar-benar ikut mengarungi cerita film ini. Kita mengarunginya sama seperti dalam kehidupan yang nyata; kita tahu path yang kita pilih, tapi kita tidak tahu ke depan bakal ada apa. Kita hanya berjuang untuk tetap berjalan pada path yang kita yakini. Makanya film ini terasa so wonderfully real.
Aku menunggu film ini untuk membuat kesalahan. Untuk menjadi overdramatis. Aku menunggu ada obstacle yang dihadirkan annoying dan maksa. Tapi tidak pernah itu semua terjadi. Film stays in it’s glorious storytelling. Memainkan perasaan kita tanpa berlebay-lebay. Bahkan ketika dalam momen pertengkaran – di tengah-tengah suasana yang paling emosinal untuk dua karakter film ini menjelang babak akhir cerita – film tidak lantas jadi tearjerker kacangan. Masalah dan bincang-bincang debat itu masih tetap terasa real. Kita mengerti kebimbangan kedua belah pihak. Kita paham bahwa yang satu bukan hanya ingin keluarganya bahagia, tapi baginya perjuangan mereka itu personal; baginya ini pembuktian kemampuan, sementara yang satunya lagi seperti tercabik; bukan karena tidak percaya tapi karena dia yang lebih conform tinggal di kota punya nilai tinggi terhadap hubungan sosial. Konflik ini menjadi puncak yang membuat perjuangan hidup menanam mimpi itu kian terasa bagi kita.

Hidup bukan soal memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Seperti merawat tanaman yang tentu saja bukan soal menyiram. Melainkan ada soal tanah dan segala macam. Tanah, berkenaan dengan tempat kita hidup. Di mana kita bertumbuh. Keluarga Korea dalam film ini berada di tanah Amerika. Untuk bertahan hidup, tidak cukup dengan mandiri, melainkan selalu akan ada asimilasi sosial yang juga harus dipupuk. Pada akhirnya film ini menunjukkan perjuangan itu tidak harus sendiri. Jadilah seperti tanaman minari yang bisa tumbuh dengan beradaptasi dengan jenis tanah ia ditanam.

 
Momen-momen yang memperlihatkan interaksi antara keluarga ini dengan penduduk asli, baik secara individu seperti Ayah dengan rekan kerjanya yang penganut agama yang ‘kelewat’ taat maupun secara bersama-sama seperti saat mereka pergi ke gereja, tidak dimasukkan hanya untuk menambah durasi cerita. Justru momen inilah yang jadi salah satu poin vokal oleh film. Ketika Korea dan Amerika saling ‘belajar’. Film membuatnya sangat menarik. Kita melihat betapa kebiasaan yang satu tampak aneh bagi pihak satunya. Dan bahkan bisa saja terjadi semacam pembullyan kecil-kecilan – subtil ditampakkan oleh film – tapi kemudian mereka lanjut menjadi teman. Momen-momen sosial yang indah seperti ini membuat film menjadi semakin menyenangkan untuk ditonton.
Akting para pemain tampak luar biasa natural. Sealami pemandangan hijau nan cerah yang kita lihat pada layar (Oh I’ll be damned kalo itu ternyata ada CGI-nya… it is not! Hmmph!) Steven Yeun sebagai Jacob (Ayah), Yeri Han sebagai Monica (Ibu); mereka berdua dapat bagian merasakan gejolak emosi yang tertahan kemudian meluap, dan keduanya berhasil dengan mantap menghidupkan karakter masing-masing. Aktor-aktor cilik juga gak mau kalah. Alan S. Kim yang jadi David dan Noel Cho yang jadi kakaknya, Anne, juga berhasil memperlihatkan permainan emosional yang subtil maupun yang lebih lepas. Mereka adalah anak Korea yang lahir dan berjiwa Amerika, tapi film tidak terjebak membuat dua karakter ini seperti stereotipe anak-gak-hormat-ama-budaya-sendiri. Ada layer dalam karakter mereka, yang berhasil dihidupkan. Yang mencuri perhatian adalah karakter Nenek Soonja yang diperankan Youn-Yuh-jung. Karakter ini menarik banget karena punya moral kompas sendiri, dia juga bukan tipikal nenek-nenek biasa yang cenderung grumpy. Justru Nenek yang seperti free-spirit dengan sikapnya yang bicara apa adanya. Karakter ini penting banget untuk development keluarga mereka.

Nenek juga suka nonton gulat!!

 
Meskipun diisi dengan banyak dialog yang mewakili perbedaan dua pihak, tapi film ini berhasil menghindar untuk menjadi ceramah. Ayah di film ini sama kayak protagonis di Tarung Sarung (2021) dan Levee di Ma Rainey’s Black Bottom (2021); yakni sama-sama jauh dari agama. Ayah lebih percaya pada kemampuan sendiri. Akan ada banyak adegan ketika Ayah berada di lingkungan agamis, dan kita melihat reaksinya seperti apa. Kita akan menemukan ada perbedaan – ada eskalasi – dari reaksi-reaksi tersebut – dari di awal dengan seiring cerita berjalan. Eskalasi reaksi itulah cara film ini untuk memperlihatkan Ayah belajar sesuatu tanpa terlihat seperti karakter ini diceramahi. Sehingga kita pun merasa tidak diceramahi.
 
 
Such a lively and lovely experience. Film yang mengandalkan gambar-gambar natural dan atmosfer cakep, dengan dikontraskan oleh musik yang cukup menghantui perasaan, ini benar-benar terasa seperti kehidupan berjalan. Dihidupi oleh karakter-karakter yang sama natural dan realnya. Pacing yang excellent dan interaksi yang menarik membuat film ini tidak terasa membosankan untuk disimak. Perjuangan keluarga yang diperlihatkan terasa akrab, kita ingin mereka berhasil. Kita ingin jadi teman bagi mereka. Sepanjang durasi, kita akan dibungkus oleh perasaan hangat. Dan diikat oleh film dengan rasa pengharapan yang benar-benar menguatkan.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for MINARI
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apa tantangan terbesar bagi kalian ketika pindah dan hidup berjuang di tempat yang baru?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PROMISING YOUNG WOMAN Review

“Ibarat kucing disodorin ikan asin..”
 

 
 
Guru Agama di sekolahku dulu pernah ngajarin; cowok itu ibarat duren, sedangkan cewek itu pepaya. Kalo ada kecelakaan atau apapun yang menyebabkan dua buah itu beradu, maka yang rusak adalah pepaya. Ini nunjukin bahwa gimana pun juga, cewek adalah pihak yang akan paling dirugikan. Cewek yang harus mengendure semua perubahan menyakitkan, baik itu pada tubuh maupun mentalnya. Sehingga, kata Guru Agamaku itu, kita semua harus saling menjaga – diri maupun sesama. Jadi pepaya harus bisa menjaga diri dari duren, DAN durenpun kudu mawas diri untuk enggak gasrak gusruk menubruk pepaya-pepaya.
Aku jelas lebih suka analogi tersebut daripada analogi satu lagi yang mengibaratkan cowok dan cewek dengan kucing dan ikan asin. Karena analogi tersebut memberi kesan memaklumkan sikap kucing yang punya nafsu sama ikan asin. Kalo ada ikan asin yang termakan, berarti bukan salah kucingnya. Namun sialnya, analogi ini yang malah berkembang di masyarakat. Di luar sana, karena pada gak tau ikan asin, mereka simply menyebutnya ‘boys will be boys’. Jadilah kebiasaan menyalahkan korban sebagai sebuah kultur. Korban kekerasan seksual ‘males’ ngaku karena nanti mereka sendiri yang bakal balik ditanya duluan. Dicurigai mancing duluan, atau malah dicurigai berbohong. Udah jatuh, tertimpa tangga pula! Sedangkan bagi para cowok yang memang terbukti bersalah, ‘paling cuma’ dipenjarakan. Untuk membuktikannya bersalah itu yang luar biasa tak adil. Kultur gak sehat inilah yang ditilik – dengan komedi yang cukup gelap – oleh Emerald Fennell dalam debut film-panjangnya, Promising Young Woman.
Dalam film ini kita akan mengikuti Cassandra, atau disapa Cassie (she could very well be Carey Mulligan’s best performance to date) yang dengan sengaja menjadi ‘ikan asin’, padahal dia justru adalah seekor piranha! Ya, Cassie setiap malam keluar untuk berburu ‘kucing-kucing’. Modus operandi Cassie adalah dia akan berpura-pura mabok di bar, sampai seorang laki-laki yang mengaku cowok baek-baek datang dan membawanya pulang. Di ‘tempat aman’ itulah Cassie akan mengejutkan si cowok. Supaya mereka semua kapok. Cassie ingin menghukum mereka dengan caranya sendiri, karena sistem hukum dan sosial menolak memberi ganjaran kepada cowok. Cassie sudah melakukan perbuatan demikian lama sekali, sebagai bentuk perlawanannya terhadap trauma atas kehilangan sahabat ceweknya. Dan semakin ke sini, ‘perburuan’ yang dilakukan Cassie semakin kelam. Sampai akhirnya dia bertemu dengan cowok yang adalah teman lamanya di sekolah. Cassie sudah seperti menemukan jalan kembali untuk melanjutkan hidup dengan normal, tapi pertemuan tersebut juga membuka selembar rahasia gelap lagi. Yang membuat Cassie percaya tindakan yang benar-benar ekstrim harus segera ia lakukan.

Kucing disodorin ikan… piranha!!

 
Cassie di film ini sungguh karakter unik, yang punya tingkat kesulitan tinggi dalam eksplorasi emosinya. Karena, kalo ada satu kata yang menggambarkan emosi karakter ini, maka itu adalah ironi. Di titik kita berjumpa dengannya, Cassie telah berada pada titik yang benar-benar udah kehilangan simpati ama bukan hanya pria-pria, tapi juga pada perempuan. Yang betah hidup langgeng di dalam sistem yang menyalahkan korban. Cassie kita lihat sebagai pribadi yang cuek dan sinis. Dia gak ingat tanggal ultahnya sendiri, dia gak niat nyari pacar, dan gak sedetikpun dia menyesali berhenti dari kuliah kedokteran dan malah memilih kerja di kafe. Namun di balik itu, Cassie punya luka besar yang menganga. ‘Kecuekan’nya tadi bersumber dari luka tersebut. Cassie begitu tertohok oleh ketidakadilan yang terjadi pada sahabatnya, yang jadi korban kekerasan seksual. Kita gak tahu perjuangan Cassie menuntut keadilan bagi sahabatnya tersebut. Tapi dari sikapnya yang sekarang, kita tahu Cassie sudah menghadapi ribuan ‘boys will be boys’. Dia telah melalui begitu banyak derita dan trauma hanya untuk menuntut cowok pelaku ditindak adil. Ini adalah beban yang sangat berat ditanggung oleh seseorang. Dan beban tersebut dapat kita rasakan merayap, menguar, di balik sikap cuek dan dark Cassie yang sekarang. Emosi dan permainan peran yang sungguh tidak gampang. And Carey Mulligan nails this so perfectly. Di tangan aktor sembarangan, peran Cassie ini gak akan kena.
Selain karakternya, rentang di film ini juga kita jumpai pada visual dan tone secara keseluruhan. Film ditampilkan dalam warna-warna cerah. Kelihatannya persis kayak film komedi romantis. Isu-isu yang menantang lantas dilontarkan dengan lantang oleh Cassie, sehingga kini bukan hanya warna saja yang terasa mencuat keluar dari layar. Film ini begitu mengonfrontasi di balik keceriaan dan kemeriahan visualnya. Film juga enggak ragu untuk membentrokkan tone. Kita akan dibuat ikut menari bersama para karakternya — to a Paris Hilton song! Bayangkan!! Dan momen berikutnya kita akan dibuat merasakan karakternya menghadapi suatu kenyataan yang mengerikan. Arahan film ini berani seperti demikian, seberani Cassie itu sendiri. Film ini memang pantas menuai banyak apresiasi dari visinya ini.
Namun, dari segi materi atau penulisan secara keseluruhan, I gotta be honest; film ini masih terasa sepihak. Penggaliannya masih agenda-ish. Pemilihan endingnya sendiri akan membagi-dua penonton. Dan aku masuk golongan yang menganggap ending film ini sangat buruk. Kalo film ini aku tonton tepat waktu di 2020, maka aku pastilah akan bikin daftar ‘Worst Ending of the Year’, dan film ini akan jadi juaranya.
Analogi kucing dan ikan asin tadi; justru film ini sendiri yang dengan semangatnya melabelkan laki-laki sama dengan kucing. Karakter-karakter cowok di cerita ini semuanya digambarkan punya nafsu bejat. Modus operandi film adalah menampilkan mereka kelihatan seperti orang baik – dan si karakter sendiripun berulang kali menegaskan mereka adalah orang baik – dan pada akhirnya, setelah gak kuat iman melihat kesempatan berwujud Cassie, mereka akan ‘memperlihatkan’ perangai asli mereka. Cowok dalam film ini akan disuruh untuk mengakui mereka enggak sebaik yang mereka bilang ke orang-orang. Bahwa sebenarnya mereka semua ya memang kucing. Yang punya niat jahat, tapi nanti akan terlalu pengecut untuk mengakui telah salah atau gelap mata. Terlalu pengecut dan berlindung di balik ‘kucing disodorin ikan asin, ya makan-lah’. Bahkan love interest Cassie juga ditulis dengan karakter seperti begini. Si Cassie sendiri was having a hard time untuk percaya cowok yang ia taksir tersebut sudah berubah dari hati yang paling dalam. It’s actually really hard untuk melihat apa sebenarnya yang dikejar film ini. Apakah ingin menunjukkan kepada kita Cassie itu salah; karena selama ini Cassie membuang hidupnya dan tenggelam dalam dendam sehingga gak bisa melihat orang lain dalam cahaya yang baik. Atau simply karena memang film ingin nunjukin semua cowok itu, ya, kucing garong.
Kalo ini film Indonesia, pasti yang diorkestrain bukan lagu Toxic, melainkan: “Kumenangiiiiissss…”

 
 
Yea, aku tahu realitanya memang pada sebagian besar kasus, cowoklah yang brengsek. Yang terlalu lemah untuk menahan diri dan bertanggungjawab, dan malah balik nyalahin. Tapi dari standpoint materi atau penulisan, film ini tuh bener-bener butuh untuk membuat semua cowok begitu supaya arc Cassie bisa bekerja. Sehingga film ini jadi banal. Ia meninggalkan kepentingan untuk menggali dari dua sisi, atau untuk memanusiakan kedua sisi.
Kita bisa mengerti dari endingnya. Dirancang untuk nunjukin bahwa cowok gak bisa dihukum karena perbuatan yang ia perbuat masa lalunya itu; cowok-cowok lolos dari sistem yang broken. Jadi, tindakan yang diberikan kepada karakter Cassie adalah Cassie harus membuat si pelaku bersalah atas perbuatan lain. Perbuatan itu pun haruslah yang genuinely melekat di diri cowok. Supaya si pelaku bisa dipastikan dihukum kali ini. Maka dari itulah, film ini membuat karakter cowok tanpa ada sisi baik. Dan juga supaya kita melihat tindakan Cassie di akhir itu sebagai pengorbanan terakhirnya. Cassie sudah membuang hidupnya selama ini tidak jadi ikut kita ‘salahkan’ hidupnya karena di akhir itu, dia membuat hidup yang sudah ia buang selama ini jadi berguna. Dengan akhirnya berhasil menjebloskan si pelaku ke penjara.

Kucing disodorin ikan asin pasti mau. Boys will be boys. Jangan buang hidupmu untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Boys will be boys. Cepat atau lambat, toh kesalahan yang sama akan berulang. Tangkap mereka saat itu. Tangkap dan pastikan mereka tak bisa lolos lagi. Begitulah, kurang lebih yang ingin disarankan oleh film ini.

 
 
Akan tetapi, tetap saja, dari cara film ini memperlihatkan adegan-adegannya, Cassie terasa seperti menjebak si cowok. Membuat si cowok kepepet. Seperti kesalahannya itu dicari-cari. Cassie tidak diperlihatkan apakah dia peduli jikalau si pelaku beneran udah insaf atau enggak. Dan yang paling menggelikan dari film ini adalah; Supaya dunia dan orang-orang yang ditinggalkan Cassie sadar akan kesalahan sistem yang mereka anut, supaya mereka sedih, dan Cassie mencuat triumphantly, film ini membuat ending yang konyol dengan elemen ‘pesan dari kubur’! Ha! Cassie bisa menebak kejadian bakal seperti apa, seseorang akan berada di mana, timing kejadian di ending itu begitu tepat ditebak dari jauh hari oleh Cassie. Ini over-the-top sekali. Sudah jauh dari kesan real yang menguar kuat di balik cerita di menit-menit sebelum bagian akhir film ini.
Sesungguhnya cerita Promising Young Woman ini punya kembaran serupa-tapi-tak sama, yakni film Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017) Kalian pasti masih ingat, karena film itu diunnggulkan untuk Oscar. Film tersebut ceritanya tentang seorang ibu yang menghabiskan umurnya mengejar polisi, menuntut kasus perkosaan yang menyebabkan kematian putrinya diusut tuntas, dan pelakunya dicari – dijebloskan ke penjara. Saat nge-review film itu, aku nulis kayaknya aku bakal lebih suka kalo film tersebut memperlihatkan hasil akhir perjuangan si ibu – kalo nasib pelakunya dituntaskan. Namun, setelah menonton film Promising Young Woman ini, baru terasa bagiku. Baru terasa betapa jauh lebih powerful cerita Three Billboards tersebut dengan membuat protagonisnya mencari kedamaian bagi diri sendiri. Lebih terasa real sehingga lebih emosional dan important.
 
 
 
Sebagai film thriller, ini adalah debut yang cukup menjanjikan dari Emerald Fennel. Menunjukkan ia mampu bermain dengan tone dan karakter untuk menyampaikan sebuah gagasan dan mewujudkan visi yang penting. Tapi tentu saja memuat gagasan yang penting, tak lantas membuat film otomatis bagus. Semua itu bergantung kepada tulang punggung, yakni naskah. Materi film ini masih berupa satu pandangan, sehingga terpaksa dipilih ending yang kurang logis dan maksa secara over-the-top. Ending film ini, jika dilihat dari genrenya, masih mungkin untuk disukai sebagian penonton. Hanya, buatku, endingnya justru break this entire film apart. Mengurangi kepentingannya begitu drastis. Terlebih karena memang film ini punya pembanding yang jauh lebih real dan powerful.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PROMISING YOUNG WOMAN.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Supaya pria pelaku kejahatan seksual bisa jera dan benar-benar adil bagi perempuan, Indonesia baru-baru ini mengumumkan soal hukum kebiri. Bagaimana pendapat kalian mengenai hukuman tersebut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review

“You have to be determined to change the world … Even though nothing changes.”
 

 
 
Semua orang bekerja keras supaya jadi sukses. Semua orang ingin sukses, well, demi alasan yang beragam. Mulai dari tujuan yang noble seperti membahagiakan keluarga. Hingga yang sedikit lebih personal. Ada yang bekerja keras menjadi sukses supaya tidak perlu lagi memperkenalkan dirinya. Ada pula yang bekerja keras menggapai sukses supaya bisa mengubah dunia. Levee, karakter dalam film Ma Rainey’s Black Bottom yang diadaptasi dari teater, ingin sukses supaya bisa seperti Ma Rainey si penyanyi blues tersohor itu. Supaya produser musik kulit putih tunduk dan mendengarkan apa maunya. Karena Levee punya pandangan baru mengenai musik blues, that he knows better, dan dia ingin menaikkan derajatnya demi keluarga. Ya, Levee pengen sukses untuk ketiga tujuan tadi. Maka dari itu, cerita film ini akan berakhir mencekat bagi dirinya.
Keseluruhan cerita Ma Rainey’s Black Bottom berlangsung dalam kurun satu hari, dan practically sebagian besar berlokasi di satu tempat yang sama. Jadi ceritanya memang akan sangat contained. Cerita ini berlangsung di gedung rekaman musik. Ma Rainey yang terkenal itu akan ngerekam album, tapi dia belum datang. Sehingga kita dibawa ke basement, berkenalan dengan empat anggota band pemusiknya. Salah satunya adalah Levee, si peniup terompet. Pemusik muda berbakat, yang punya visi dan ambisi besar. Levee ingin menulis musik sendiri. Dia bahkan sudah menyiapkan satu untuk dipitch kepada produser rekaman ini. Ada sedikit ketidakcocokan antara Levee dengan Ma, mainly karena Levee sedikit mengubah aransemen lagu Ma, dan dia percaya gubahannya ini bakal lebih laku. Yang terang saja ditolak oleh Ma. Ketidaksamaan mereka berujung pada ‘rusuhnya’ proses rekaman.
Jika Levee bersedia melakukan apapun untuk mengorbitkan dirinya sendiri – termasuk enggak koperatif dengan band, maka Ma juga tidak kalah sukarnya untuk diajak bekerja sama, at least bagi produser rekaman. Namun begitu, ada begitu banyak yang bisa kita simak di balik gambaran kedua karakter ini. Lewat kisah Levee dan Ma Rainey yang lagi rekaman musik di Chicago 1920an ini, film secara khusus menyoal masalah rasisme yang masih terus bergulir, dan secara umum juga membahas dinamika keahlian yang dimiliki oleh seseorang dengan kuasa yang menyertainya.

Kayaknya Ma Rainey ini-lah yang mempelopori musisi harus banyak maunya kalo disuruh nyanyi

 
 
Karena film ini tadinya adalah naskah teater, maka memang akan banyak sekali dialog yang akan kita dengar. Tapi jangan khawatir, tak akan sedetik pun dari film ini yang bikin kita mengucek mata yang berair karena kebanyakan menguap. Sebab craft film ini dalam menghidupkan dialog-dialog, yang ditulis dengan cerdas dan menantang, adalah tingkat juara.
Pertama tentu saja soal permainan aktingnya. Semuanya bagus banget. Yang bikin was-was itu adalah karakter Ma Rainey, karena biasanya karakter yang berasal dari tokoh asli kayak gini ekstra sulit karena tuntutan perbandingan dengan versi aslinya. Karakter kayak gini punya kadar seimbang yang harus dicapai sehingga hasilnya tidak tampak seperti parodi, melainkan berhasil menghidupkan dengan respek. Viola Davis berhasil untuk membuat Ma versi dirinya tak tampak sebagai parodi ataupun tak tampak hanya sekadar bermain ‘pura-pura’. Meskipun permintaan Ma dalam film ini terdengar komikal, tapi lewat ekspresi Davis kita merasakan urgensi. Kita merasakan weight dan tensi yang real, bahwa karakter ini gak main-main ketika dia minta kola dingin sebelum rekaman (dan tak akan mulai rekaman sebelum ada kola). Kita juga dapat merasakan karisma sosok Ma Rainey tersebut. Secara desain naskah, karakter Ma ini dimaksudkan sebagai ‘antagonis’ dari Levee, tapi film ini tidak berniat untuk membuat semua hitam-putih. Sehingga tantangannya adalah membuat penonton melihat sesuatu di balik cara pandang Levee terhadap Ma. Dan film ini berhasil. Permainan akting para aktor sangat membantu mencapai dinamika yang diinginkan.
Menurut IMDB, ini adalah film terakhir Chadwick Boseman. Istilahnya, ‘swan song’ buat Boseman. Dan mengetahui hal tersebut, membuat film ini terasa semakin mencekat saja. Boseman main film ini sambil berjuang dalam pengobatan kanker, yang ultimately merenggut nyawanya. Aku tau aktor profesional selalu memberikan kerja maksimal dalam setiap pekerjaan mereka, tapi melihat aktingnya yang begitu intens – khususnya di satu adegan monolog mempertanyakan Tuhan – dalam film ini, I wonder apakah Boseman ‘tahu’. Karena emosi yang ia tunjukkan tampak amat, sangat real. Amarah dan terlukanya karakter Levee ini menguar kuat di balik sikapnya yang tampak konfiden akan perubahan besar yang bakal ia bawa melalui bakat musiknya. Sama seperti Ma tadi, walaupun tokoh ini didesain sebagai protagonis, tapi lewat akting yang benar-benar tepat memaknai naskah, Levee juga seringkali membuat kita khawatir, atau kita tidak merasa setuju dengannya. Range karakter ini juga luar biasa. Di awal kita akan melihat dia dengan senyum dikulum “aku tahu kapan harus tersenyum, aku bisa tersenyum kepada siapapun yang ku mau” dengan ambisi terasa kuat di balik sifat optimis, dan di akhir saat dia tampak menyangkal dan meluap, kita bisa merasakan penyesalan dan pembelajaran merebak di hatinya. Boseman berpindah dari arahan yang menyuruhnya untuk subtil ke meledak, dengan sangat precise. Tanpa terbata melainkan sangat meyakinkan. Tak pelak, perfilman benar-benar telah kehilangan aktor sehebat Chadwick Boseman.
Kalo kata Mr Sneecbly “You’re gonna be a footnote on my epic ass!”

 
 
Kedua, ya tentu saja tulang punggung film ini. Naskah. Penulisannya keren banget. Walaupun isinya orang-orang ngobrol – mau berdebat atau bercerita – tapi tidak monoton. Ada eskalasi yang terasa. Percakapan mereka pun sangat imajinatif. Misalnya ketika berbincang soal analogi ras kulit hitam dengan makanan. Benar-benar fantastis untuk disimak. Pun terasa kepentingannya sebagai menyuarakan struggle ras yang seperti tak akan ada habisnya.
Komentar tentang perjuangan ras memang jadi pilar utama film ini. Film ingin kita ikut duduk mengobrolkan soal bagaimana cara terbaik melakukan perjuangan tersebut. Levee dan Ma adalah ‘studi kasus’ yang mewakili dua bentuk perjuangan. Memahami perbedaan sikap kedua karakter tersebut akan membuat kita mengerti dengan gagasan yang ‘ditandingkan’ oleh film ini. Ma Rainey, yang dijuluki Mother of Blues. Dia reluctant menggunakan julukan tersebut. Karena musik blues, katanya, sudah ada dari dulu. Dan bahwa orang harusnya tahu dulu sejarah, jangan tau memainkan musiknya saja. Pernyataan dan sikap Ma inilah yang jadi kunci – yang paling membedakan Ma dengan Levee. Yang membuat Levee tidak akan bisa seperti Ma. Bahwa Ma berjuang bukan demi ambisi pribadi. Kita melihat Ma bersikeras keponakannya yang gagap ikut dalam rekaman album, kita melihat Ma bersikeras keponakannya dan anggota band dibayar tunai sehabis rekaman. Ma peduli kepada rombongannya. Ma peduli pada perjuangan bersama.
Sedangkan Levee, dia sudah siap untuk keluar, nyiptain musik sendiri, bikin band sendiri. Levee bahkan sulit ‘bekerjasama’ dengan Tuhan, karena dia gak percaya. Dia menggunakan uang hasil main musiknya untuk beli sepatu – sebagai bentuk ‘puk-puk’ terhadap dirinya sendiri. Levee sama seperti Ma, berjuang demi derajat ras yang lebih baik. Bedanya Levee bergerak demi dirinya sendiri terlebih dahulu. Dia bersikeras berjuang untuk mendobrak pintu, hanya untuk menemukan dirinya sendirian tak akan bisa mencapai ke mana-mana. Hal ini divisualkan oleh film lewat adegan yang bernuansa cukup sureal di mana Levee akhirnya berhasil membuka pintu di ruang latihan hanya untuk merasa semakin terkungkung, bukannya semakin bebas.

Setiap perjuangan yang kita lakukan adalah untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Tapi itu tidak berarti perubahan akan langsung terjadi. Makanya, penting bagi kita untuk berjuang dengan mengingat ke belakang. Supaya kita bisa mengingat ‘lebih baik’ itu untuk siapa. 

 
Sebagai kulminasi dari cerita, penampilan akting, arahan, dan penulisan itu sendiri, film berakhir dengan terasa sangat ironis. Perjuangan Levee sendirian itu dengan sangat mudah ditampik. Dia tidak accomplish apa-apa selain melukai kaumnya sendiri. Berbeda sekali dengan Ma yang pada akhirnya bukan hanya karirnya menjadi lebih secure, dia juga membawa ‘security’ bagi orang-orangnya. Yang berarti perjuangan mereka masih akan berlanjut. Eventually dunia akan berubah jika semakin banyak orang mengusahakan hal yang sama.
 
 
 
Film ini adalah proyek kedua dari Denzel Washington yang 2015 lalu mengumumkan bahwa dirinya akan membuat film berdasarkan naskah teater karya August Wilson. Aku suka banget sama film proyek pertamanya, Fences yang keluar tahun 2016. Dan film yang kali ini, aku dengan senang hati sekali memberitahu, bukan hanya mempertahankan prestasinya punya penampilan akting yang memukau, tapi juga ceritanya bahkan lebih emosional lagi. So yea, I also like this movie very much. Sutradara George C. Wolfe ditunjuk untuk menggarap cerita, dan yang ia bikin untuk kita adalah suatu tontonan yang begitu menghantui. Hingga lama setelah kita menontonnya.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for MA RAINEY’S BLACK BOTTOM
 
 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa kecewa saat telah berjuang keras tapi merasa tidak mengubah apapun?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020


 
Kita sudah pernah survive hidup di masa film-film impor telat bahkan dilarang masuk ke bioskop. Malah, abang atau kakak atau orangtua kita pernah ngalamin zaman bioskop yang film-filmnya gak ada yang terpuji. Dan siapa sangka, tahun 2020 ternyata datang beserta ancaman baru bagi para pecinta film; bioskop seluruh dunia harus ditutup demi memutus rantai pandemi! Bukan hanya film impor, film Indonesia pun tak ada yang bisa tayang di bioskop. Bukan hanya film-film bagus, film-film jelek juga harus terpisah dari penggemarnya.
Gak ada lagi yang namanya premier-premier. Gak ada lagi yang bisa nonton bareng. Tempat pemutaran alternatif juga perlahan tutup. Tapi untungnya kita hidup di masa internet yang terbilang cukup jaya. Masa di mana televisi sudah tergantikan oleh platform-platform streaming. Di era bioskop-tutup ini, streaming mencuat sebagai jawaban bagi dunia perfilman. Sebelum pandemi, kehadiran streaming memang sudah banyak, namun Studio/PH masih menomorsatukan bioskop. Karena di situlah pengalaman sinematik yang sebenarnya bisa terasa. Hanya saja, keadaan di 2020 membawa mereka terpaksa harus ‘menyerah’. Daripada film mereka mundur dan tak-tahu kapan bisa rilis karena kondisi pandemi yang tak kunjung menentu, kan. Film Trolls World Tour-lah yang pertama kali  alih-alih memundurkan tanggal tayang, memilih untuk tayang di platform. Dan praktisnya, memulai ‘new normal’ kebiasaan menonton.
Blog ini tentu saja merasakan pengaruh cukup drastis dari perubahaan ini. Pertama, tahun ini aku tidak mengeluarkan daftar ‘Kekecewaan Bioskop’; karena hanya caturwulan pertama yang film-filmnya masih di bioskop. Film-film yang tayang di platform juga banyak yang mengecewakan, sebenarnya, but I don’t feel right menyebut mereka sebuah kekecewaan – karena at least, mereka membuat industri film bisa bertahan, dan karena nonton di platform tidak terasa se-wah dan se-berjuang nonton di bioskop. Kedua, karena nonton di platform, aku jadi kebawa santai. Nonton jadi gak seurgen saat tayang di bioskop, yang perlu ngejar-ngejar sebelum filmnya turun, atau buru-buru beli tiket sebelum kehabisan atau simply sebelum spot kursi favorit diambil orang. Makanya reviewku mulai dari caturwulan kedua kemaren mulai telat-telat. Gak lagi se-on time biasanya. Malah saking banyak dan beragamnya tontonan yang bisa ditonton kapan saja, beberapa film jadi tak terulas. Tahun ini aku hanya mereview 119 film.
On the bright side, waktu nonton yang lebih senggang itu bisa kuisi dengan membuat review video. Ya, mulai tahun ini, youtube My Dirt Sheet sudah aktif ngereview film – dengan konsep sambil main video game! Ahahaha biar gak usah ribet ngurusin copyright tampilan trailer. Jadi yang belum subscribe, silakan lakukan hihihi…
Sisi positif lain dari new-normal nonton ini adalah kualitas yang kureview relatif meningkat. Karena filmnya sedikit, maka tak lagi rame oleh film-film medioker. List tahun ini sangat ketat!
 

HONORABLE MENTIONS

  • 1917 (jika film adalah sebuah experience, maka film ini nawarin experience perang terbaik di tahun ini)
  • Borat Subsequent Moviefilm (Borat kembali menyentil lewat komedi ‘pura-pura udik’, yang benar-benar sebagai reality check buat kita semua. Plus narasinya kini lebih berdrama. Very nice!!)
  • His House (persoalan hidup imigran dijadikan horor nyeni yang luar biasa manusiawi!)
  • Little Women (begini nih bikin film feminis yang gak agenda-ish; cantik dan respek!!)
  • Mank (penggemar sinema bisa belajar banyak dari film ini)
  • Nocturne (horor yang ngasih audio secreepy visual, menguatkan konflik psikologisnya)
  • Soul (film Pixar paling dewasa yang membahas filosofi keberadaan dengan ringan, lewat world-building yang kreatif!)
  • Sound of Metal (sound design luar biasa, cerita dan karakter manusiawi, akting juara, ending powerful — film ini punya semua!!)
  • Swallow (cara bertutur yang deep creep membuat cerita wanita memperjuangkan otonominya ini menjadi berkali lipat lebih thoughtful, naas, dan mengerikan)
  • The Assistant (pendekatan berceritanya realistis sekali sehingga film ini jadi luar biasa efektif menyampaikan gagasannya)
  • The Invisible Man (fenomenal opening dan fenomenal akting bikin thriller ini menjuarai caturwulan pertama film 2020)
  • The King of Staten Island (Kuat oleh sense of realism, film ini berhasil sebagai drama-komedi semi-otobiografi tanpa terpeleset menjadi sebuah parodi)
  • The Science of Fictions (film ini harusnya dikirim ke Oscar, harusnya menang Citra. Yang banyak!)
  • The Vast of Night (horor fenomena UFO dengan arahan yang sangat menarik dan menginspirasi buat filmmaker muda)
  • The Willoughbys (animasi dengan cerita yang unik, aku suka film ini mainly karena ada Alessia Cara ngisi suara karakter sentralnya!)

Tak lupa pula, Special Mention dihaturkan kepada film Vivarium yang ulasannya paling banyak dibaca tahun 2020 di blog ini.
 
Bersama dengan spoiler warning buat film-film yang masuk delapan-besar ini, aku juga ngingetin kalo daftar ini completely subjective. Ini not-exactly daftar film terbaik. Ini adalah delapan-besar film 2020 versi ku. Kesukaan-ku. Jadi isinya bisa berbeda dengan daftar versi kalian. Akan berbeda dengan daftar terbaik di web atau blog lain. Malah, daftar ini akan berbeda dengan Rapor Film My Dirt Sheet – karena penilaian rapor tersebut berusaha kubikin seobjektif mungkin.
So yea, inilah TOP-EIGHT MOVIES ANGKATAN CORONA!!
 
 

8. EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA

Director: David Dobkin
Stars: Will Ferrell, Rachel McAdams, Dan Stevens, Pierce Brosnan
MPAA: PG-13 for crude sexual material including full nude sculptures, some comic violent images, and language
IMDB Ratings: 6.5/10
“IT WILL NEVER BE ENOUGH! I ONLY WANT TO HEAR JA JA DING DONG!”
Totally hiburan di tengah pandemi!
Ketika baru nonton ini, aku tahu ini bakal jadi cerita underdog dalam sebuah kompetisi. Seperti film-film serupa; ia ringan, formulaic, tapi bisa sedikit menginspirasi. Yang aku tidak tahu adalah… bahwa film ini ternyata luar biasa asik dan menghibur!
Ini film yang paling banyak aku tonton sepanjang. Bengong mau nulis apa lagi saat ngulas film? Aku berhenti dan setel film ini. Lagi pengen ngemil? Aku putar film ini sebagai teman ngunyah. Boring nunggu render-an video? Aku mainkan film ini dan dijamin tak akan bosan lagi. Well, sebenarnya filmnya sendiri banyak kekurangan. Ada bagian gajelas banget, yang gak aku suka di tengah, yakni adegan nyanyi bareng para juara eurovision beneran. Tapi bisa diskip dan nonton yang ada Lars dan Sigritnya aja. Karena memang keasikan film ini datang dari dua karakter sentral tersebut. Mereka lucu, mereka awkward, penampilan akting Rachel McAdams dan Will Ferrell kocak banget – and they sure can perform!
My Favorite Scene:
Adegan nyanyinya keren dan kocak semua. Aku suka Double Trouble, aku suka Ja Ja Ding Dong, aku bahkan suka lagu Running with the Wolves. Namun sebagai puncak, I’ll give the cake to Husavik.

“Gra-med-DIAAAA!!!”
 
 
 
 

7. THE TRIAL OF THE CHICAGO 7

Director: Aaron Sorkin
Stars: Eddie Redmayne, Joseph Gordon-Levitt, Sacha Baron Cohen, Michael Keaton
MPAA: R for language throughout, some violence, bloody images and drug use
IMDB Ratings: 7.8/10
“Let us make sure that if blood is going to flow, let it flow all over this city.”
Makjaaaaaangg!! Adegan persidangan di film ini adalah sidang terheboh yang pernah aku lihat di dalam film. Bahkan lebih bikin geram dibandingkan sidang yang pernah kutonton di televisi – dan aku udah lihat sidang kopi sianida dan sidangnya Steven Avery!
Film ini memang sukses mengaduk-aduk emosi. Debat sidang yang ada di film ini begitu sensasional. Dan begitu kita sadar bahwa adegan-adegan dalam sidang ini tuh beneran kejadian di dunia nyata karena film ini diangkat berdasarkan peristiwa beneran. Yah, meskipun yang namanya film, ada beberapa hal yang diubah alias didramatisasi. Namun demikian, film ini berhasil tampil tidak seperti parodi ataupun lebay. Malahan powerful dan mampu membuat kita berefleksi terhadap masa kini.
Aaron Sorkin berhasil membuat film ini sebagai tontonan yang seru, meskipun sebagian besar isinya adalah orang ngomong aja.
My Favorite Scene:
Punchline film ini di ending itu kuat banget. Tapi paling terbayang-bayang itu, yang paling bikin geregetan bahkan ketika filmnya udah beres, adalah kelakukan hakimnya.

 
 
 
 

6. BLACK BEAR

Director: Lawrence Michael Levine
Stars: Aubrey Plaza, Christopher Abbott, Sarah Gadon 
MPAA: R for language throughout, sexual content, drug use and some nudity
IMDB Ratings: 6.5/10
“Hey, I think feminism is fucked up.”
Aku suka nonton film. Aku suka nulis. Aku selalu ingin tahu bagaimana satu film itu ditulis – bagaimana film itu dibuat. Black Bear memuat hal tersebut. Karena film ini memvisualkan proses penulisan sebuah film – bagaimana ide-ide personal bisa ditarik untuk menjadi sebuah cerita, yang menghormati penonton dan penulisnya sendiri.
Film ini punya banyak kesamaan dengan film terfavoritku sepanjang masa, Mulholland Drive. Sama-sama aneh. Sama-sama nunjukin adegan syuting film (this is my soft spot for movies), sama-sama dihidupi oleh karakter yang nanti direveal sebagai orang yang bukan kita kenal sebelumnya. Sama-sama bikin bingung, tapi bingung yang membuat kita peduli karena ceritanya berakar pada konflik personal. Bedanya, Black Bear actually adalah berakhir dengan nada yang positif. Karena karakternya adalah penulis, dia menulis, maka yang ia lakukan sebenarnya adalah sebuah proses healing.
Black Bear disangga oleh penampilan akting yang luar biasa natural dari tiga aktor sentralnya. Kalo kalian belum ngefans sama Aubrey Plaza, kalian bakal jadi ngefans sama aktor ini. She’s weird, she’s funny. Dia nunjukin range emosi yang menakjubkan. Kalian perlu melihat Aubrey pada adegan ketika dia disuruh berakting pada bagian kedua cerita film ini. Tapi, untukku,
My Favorite Scene adalah:
Pas dialog debat soal feminis di cerita bagian pertama. Dialog film ini memang berisi banyak argumen yang menantang kita untuk diskusi, dan salah satunya – dialog dengan argumen paling menarik dan relevan – adalah ketika Aubrey harus memilih sikap di antara seorang suami yang berpikiran lebih tradisional dengan istri yang lebih ‘woke’, namun kedua orang ini sama-sama annoying.
 
 
 
 
 

5. RELIC

Director: Natalie Erika James
Stars: Robyn Nevin, Emily Mortimer, Bella Heathcote
MPAA: R for some horror violence/disturbing images, and language
IMDB Ratings: 5.9/10
“Do you ever get lonely out here by yourself?”
Dari sekian banyak horor bagus yang tayang di tahun 2020, aku memilih Relic sebagai favorit. Relic bukan hanya superseram, tapi juga sarat oleh makna. Dan ceritanya gampang untuk relate kepada siapa saja, karena kita semua punya orangtua – dan sendirinya akan menjadi orang tua.
Seluruh kejadian dalam film ini dirancang sebagai perumpamaan dari dampak demensia kepada si pasien, sekaligus juga kepada keluarganya. Nonton film ini akan bikin kita takut tua dan tinggal sendirian, sebegitu berhasilnya metafora itu diwujudkan oleh film. Perasaan mengerikan seperti ketika orang yang kita kenal berubah menjadi orang lain karena tidak lagi mengingat siapa kita, ataupun ketika kita mulai kehilangan ingatan itu satu persatu, inilah yang jadi bahan bakar horor cerita.
Dan semua itu berhasil berkat arahan yang visioner dari sutradara yang baru sekali ini bikin film. Cerita ini seperti personal baginya. Ending film ini juga jadi salah satu ending paling powerful yang bisa kita tonton di 2020. Tepuk tangan untuk Australia sekali lagi menelurkan sutradara horor yang hebat. I can’t wait to see Natalie Erika James’s next projects.
My Favorite Scene:
Ketika karakter dalam film ini mulai tersesat di dalam rumah mereka sendiri! Gila ini adegannya serem karena terasa banget panik dan mengukungnya rumah yang dibikin ‘bertambah ruangan’ itu.

 
 
 
 
 

4. THE PLATFORM

Director: Galder Gaztelu-Urrutia
Stars: Ivan Massague, Zorion Eguileor, Antonia San Juan
MPAA: TV-MA
IMDB Ratings: 7.0/10
“There are 3 kinds of people; the ones above, the ones below, and the ones who fall.”
Perfect banget ditonton saat awal pandemi kemaren. Nonton ini tuh jadi kejawab kenapa orang-orang pada sibuk menimbun masker (atau menimbun tisu toilet di luar negeri sana). Lebih universal lagi, menjawab kenapa yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin melarat.
Film ini berhasil menjelaskan itu lewat konsep dunia-cerita yang diciptakan dengan baik. Perlambangan di balik mekanisme platform dan lantai-lantainya itu benar-benar terasa mewakili keadaan di dunia kita. Ini adalah film yang penting bagi kemanusiaan, tapi sekaligus menjadikan film ini sangat susah untuk ditonton.
Darah, muntah, kotoran, kerakusan dan moral bobrok; itulah lima elemen dasar film ini. Secara simbolik maupun literal, film ini sungguh akan membuat kita mual.
My Favorite Scene:
Adegan yang menabrakkan persiapan masak sebegitu banyak dan enak makanan, dengan bagaimana makanan tersebut akhirnya dimakan

 
 
 
 
 
 

3. I’M THINKING OF ENDING THINGS

Director: Charlie Kaufman
Stars: Jesse Plemons, Jessie Buckley, Toni Collette, David Thewlis, Guy Boyd
MPAA: R for language including some sexual references 
IMDB Ratings: 6.6/10
“Other animals live in the present. Humans cannot, so they invented hope.”
Satu lagi film 2020 yang ngingetin sama Mulholland Drive, dan bahkan punya general-idea yang mirip. Film ini secara konflik juga mirip dengan Black Bear – tentang orang yang memutar ulang cerita hidup di dalam kepalanya. Tapi film ini menohok karena memperlihatkan kegagalan.
Aku lebih suka film ini karena lebih aneh, pengadeganannya lebih menekankan kepada hal sureal. Film ini juga banyak dialog, tapi gak akan bikin bosan karena surrounding dialognya itu yang menarik. Kita melihat tokoh-tokoh yang berubah namanya, bajunya — begitu unsettling, random, dan sedikit mengerikan.
Awalnya memang film ini terasa distant. Kita gak yakin tentang apa sebenarnya. Di sinilah letak pesona film. Kaufman merangkai dialog, karakter, adegan, dan penyimbolan dengan luar biasa detil sehingga tanpa disadari film ini akan berakhir dengan terasa begitu dekat. Begitu nyata. Kenapa jadi kayak iklan provider…
My Favorite Scene: Adegan balet di menjelang akhir itu sampai sekarang bikin aku kepikiran. Apakah ini kejadian yang sebenarnya? Apakah ini harapan si tokoh? Yang jelas begitu weird dan beautiful

 
 
 
 
 

2. JOJO RABBIT

Director: Taika Waititi
Stars: Roman Griffin Davis, Thomasin McKenzie, Scarlett Johansson, Taika Waititi
MPAA: PG-13 for mature thematic content, some disturbing images, violence, and language
IMDB Ratings: 7.9/10
“Not everyone is lucky enough to look stupid.”
Film yang berada di posisi limbo sebenarnya; keluar tahun 2019, tapi berkat Indonesia yang gak mau masukin film ini ke bioskop, aku baru bisa nontonnya di tahun 2020. Sering sih kondisi gini terjadi. Biasanya film-film limbo palingan hanya kumasukin ke ‘honorable mentions’. Namun Jojo Rabbit ini begitu bagus, sehingga sayang rasanya untuk tidak mencatatkan namanya di daftar top-eightku.
Bahkan, objectively, film ini tetap dengan nilai tertinggi di antara film-film 2020. Naskahnya keren banget. Mengadaptasi cerita ‘muram’ menjadi komedi satir, yang enggak pretentious. Film ini tetap terasa sangat penting, bicara tentang ‘sebarkan cinta, bukan kebencian’ di balik nada konyolnya itu. Ini menunjukkan permainan hati dan komedi yang sangat presisi dari pembuatnya.
Progresi ceritanya benar-benar menyenangkan untuk diikuti. Membuat film terasa padat, dan membuat kita merasa sayang ketika film berakhir karena gak mau berpisah dengan karakter-karakternya.
My Favorite Scene:
Film ini punya banyak adegan top. Kita minta sedih, ada. Lucu, ada (Yorki paling bikin ngakak!). Sweet pun ada. Weird, apalagi! Tapi seperti biasa, the best part adalah ending. Dan adegan di ending Jojo Rabbit seperti mewakili semua perasaan yang sudah memuncak dari filmnya.

 
 
 
 

Pandemi memang telah sukses mengubah skena nonton kita. Beda dengan bioskop, nonton streaming-an di hp atau laptop atau tv masing-masing membuat nonton terasa lebih spiritualis lagi.  Film-film pun ternyata banyak yang menggali eksistensi, merefleksi diri, dan sebagian lagi mengajak kita untuk menikmati hidup walau dalam keadaan tak-biasa.
Perubahan yang tampak jelas di daftar ini adalah, sudah sejauh ini tapi belum ada film superhero. Padahal biasanya, film superhero pasti nongol – setidaknya mengisi di ‘honorable mentions’. Dalam kondisi dunia di mana kita butuh pahlawan, apakah superhero malah absen dalam daftar tahun ini?

Siapkan terompet tahun baru kalian – karena inilah, FILM NOMOR SATU PILIHANKU DI TAHUN 2020!
*tiup terompet: “teteteret-teret-tenettereneett!!”
 
 
 
 
 

1. DA 5 BLOODS

Director: Spike Lee
Stars: Delroy Lindo, Jonathan Majors, Melanie Thierry, Chadwick Boseman
MPAA: R for strong violence, grisly images and pervasive language
IMDB Ratings: 6.5/10
“We fought in an immoral war that wasn’t ours for rights we didn’t have.”
In the wake of #BlackLivesMatter, Spike Lee menghadirkan film ini ke tengah-tengah kita.
Da 5 Bloods menggambarkan bagaimana persisnya menjadi serdadu kulit hitam yang disuruh berperang di Vietnam. Horor perang yang seumur idup gak ilang itu dipotret oleh Lee, disebar ke lima perspektif karakter, dan kita melihat seperti apa perang membekas ke dalam hidup mereka. Selipan flashback adegan perang, ditambah cuplikan klip perang yang nyata, membuat film ini dapat jadi disturbing untuk ditonton. Aku merinding sendiri nonton ini, bahkan lebih merinding daripada nonton film-film horor yang bagus-bagus itu.
Tapi jangan bayangkan arahan Lee kaku dan one-tone seperti film-film agenda-ish. Film ini tidak tampil murni mengerikan. Juga tidak murni menuding siapa-siapa. Ada hati yang begitu menguar soal persahabatan dan keluarga. Ada kelucuan yang dihadirkan. Film ini punya segalanya. Ia bermula dari petualangan dan berakhir ke action menegangkan.
Di film ini kita bisa melihat salah satu penampilan terakhir dari Chadwick Boseman (rip) – nonton film ini sekarang akan membuat Boseman semakin fenomenal lagi karena karakternya di sini begitu kharismatik, perfectly mirroring him in real life.
My Favorite Scene:
Monolog Delroy Lindo. That’s it. Aku angkat kupluk banget. Beautiful, daunting, kita takut dan kasihan melihatnya saat bersamaan. Jika aku yang punya, aku akan ngasih Oscar untuk Delroy di adegan ini.

 
 
 
 
 
So, that’s all we have for now.
Akhir 2020, bioskop mulai menggeliat bangun. Semoga pandemi segera berakhir. Semoga perfilman segera pulih. Semoga Indonesia gak terjebak dan ikut-ikutan dalam perang platform, karena pada titik ini perfilman kita belum sanggup untuk bersaing di sana – platform tidak banyak membantu perfilman kita dalam jangka panjang, melainkan hanya membuat film-film jadi cenderung seperti ftv. Semoga tahun 2021, kita sudah bisa menikmati ngejar-ngejar film di bioskop kembali!
Apa film favorit kalian di tahun 2020? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2021?
Share with us in the comments 
 
Remember, in life there are winners.
And there are…
… karena tahun 2020 ini gak ada Kekecewaan Bioskop, maka aku mau paradein losers lain. Ya kalian; Mulan, Tenet, Milea, dan…

We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

ANOTHER ROUND Review

“Drink to enjoy life”
 

 
 
Coba tebak apa persamaan antara Ernest Hemingway, General Grant, dengan Winston Churchill? Ya mereka adalah tokoh-tokoh hebat, but also, mereka bertiga adalah peminum berat. Sama seperti kalian; well, at least itulah yang dikatakan Martin kepada kelasnya dalam salah satu adegan belajar-mengajar paling gokil yang kita tonton di tahun ini. Adegan tersebut dapat kita jumpai dalam film Another Round garapan Thomas Vinterberg.
Drama komedi yang menilik kebiasaan minum di Denmark ini punya premis yang menarik. Ceritanya berangkat dari teori seorang penulis dan psikiatris beneran bernama Finn Skarderud. Penelitian yang kontroversial itu menyebutkan kandungan alkohol dalam gula darah manusia 0.05 persen itu masih terlalu rendah; dan argumennya adalah jika ditingkatkan menjadi 0.10 persen, akan membuat manusia menjadi lebih energik, lebih berpikiran tajam, lebih fokus dan terbuka. Basically, penelitian itu menyebut kandungan alkohol yang lebih tinggi akan meningkatkan performa manusia.
Empat guru SMU dalam film Another Round tertarik untuk membuktikan teori tersebut. Terutama Martin (diperankan luar biasa oleh Mads Mikkelsen), yang ngerasa dia kini menjadi membosankan. Semembosankan pelajaran sejarah yang ia ajarkan. Hubungan dengan istri dan keluarganya kian hambar. Murid-murid pun tak lagi memperhatikan kelasnya. Bahkan para murid menyalahkan Martin gagal mengajar sehingga nilai mereka jeblok. Jadi, Martin dan ketiga guru sobatnya itu mulai menerapkan minum-sebelum-bekerja. Hasilnya memang positif. Martin kembali jadi guru dan ayah dan suami yang keren. Murid-murid kini memperhatikan pelajaran karena kelas Martin sekarang jadi fun. Sesuatu yang lebih muda seperti menyeruak keluar dari Martin. Ini membuat Martin pengen lebih lagi. Dia dan teman-teman ngepush penelitian mereka lebih jauh lagi. Hingga mereka minum sampai mabuk. Dan tentu saja, mabuk dalam budaya manapun jarang sekali adalah salah satu pertanda yang bagus.

Ini baru namanya guru-guru gokil!

 
 
Maka film ini mengambil tempat sebagai studi perilaku manusia. Bukan hanya Martin yang disorot, ketiga temannya punya masalah masing-masing, dan kita akan melihat seperti apa pengaruh eksperimen dan penelitian mereka terhadap para guru ini satu persatu. Inilah yang membuat film ini menarik. Kita melihat mereka semua mulai dari fase stagnan – memboring dalam mid-life crisis – ke fase ‘terlahir-kembali’ sebagai guru yang cerdas dan menyenangkan – dan akhirnya tiba di fase paling rendah dalam hidup mereka.
Dalam mengarungi tiga fase yang dilewati karakter-karakternya tersebut, Vinterberg tampak menyetir perhatian kita keluar dari hal-hal klise. Seperti dia menyadari bahwa cerita seperti ini akan selalu ngikutin fase yang demikian, sehingga Vinterberg memusatkan perhatian kita bukan kepada fasenya melainkan dari bagaimana para karakter beraksi di dalamnya. Vinterberg juga memastikan semua itu direkam dengan treatment yang spesifik sehingga eksperiens yang dialami oleh karakter tersampaikan kepada kita. Lihat saja bagaimana kamera diperintahkannya bergerak ketika mengambil gambar Martin yang dalam pengaruh minuman, mengajar dengan cerdas di depan kelas. Martin memang masih tampak bugar, dia gak mabok atau keleyengan. Namun kamera bergerak dengan sedikit unsteady. Berayun-ayun dari close-up ke medium. Memberikan ruang tapi gak pernah lepas dari Martin. Aku gak pernah mabok. Aku bahkan gak suka (gak bisa) minum. Aku tim minum air putih karena bahkan teh dan kopi saja akan bisa membuatku tak-bisa jauh dari kamar mandi untuk beberapa jam. Tapi aku tahu bahwa efek seperti keleyengan itulah yang ingin dicapai oleh Vinterberg ketika membuat kameranya menangkap dengan gerakan seperti itu. Supaya kita dapat merasakan dengan subtil apa yang sedang terjadi pada karakternya.
Puncaknya tentu saja adalah pada adegan menari di ending. Wuih! Buatku ini adalah salah satu ending yang berhasil mencampurkan rasa/emosi dengan gelora visual, dan enggak muluk-muluk. Powerfulnya itu mirip seperti pada ending Sound of Metal (2020). Karena kedua film ini berhasil mentransfer emosi karakter sepanjang cerita kepada kita yang udah ngikutin tanpa pernah dibuat terputus sekalipun. Ending ini juga sekaligus memperlihatkan betapa menuntutnya permainan peran yang diberikan kepada Mads Mikkelsen. Dia harus mendeliver both secara emosional dan secara fisik – dilaporkan Mikkelsen beneran melakukan adegan menari itu sendiri tanpa stuntmen – dan keduanya tersebut sukses berat ia lakukan. Yang istimewa dari adegan ini adalah journey karakter Martin sudah demikian kuat tertutup – film menghantarkan kita melihat itu dalam cara yang sungguh unik. Di situ, walaupun dia memang terlihat minum tapi kita tahu bahwa Martin tak menari karena mabok, seperti pada adegan mereka ‘party’ di pertengahan cerita. Di akhir ini kita mengerti bahwa Martin menari sebagai dirinya sendiri. Bahwa saat itu dia yang menyadari hidup dan dirinya sendiri tidak akan bisa kembali ke ‘kejayaan masa muda’, namun toh dia tetap merayakan hidupnya.

Bahwa minum bukan untuk mengobati keadaan susah dan jadi jalan keluar untuk lebih baik dengan menjadi mabok. Minum adalah bentuk dari merayakan kehidupan. Sebuah tos yang dilakukan seseorang kepada dirinya sendiri, karena hidup tak akan menjadi baik kecuali kita sendiri yang mengubah pandang dan mengusahakannya.

 

Tapi bagaimana cara agar minum tak menjadi candu?

 
 
Tidak seperti film komedi Indonesia tahun ini yang tentang guru itu, Another Round memang memperlihatkan karakternya bekerja sebagai guru. Karena film ini gak lupa bahwa itulah kontras yang ‘dijual’ sejak awal. Lebih lanjut lagi, Another Round memang memiliki penulisan yang secara teori benar. Tiga aspek kehidupan tokohnya diperlihatkan semua. Kehidupan personal, kehidupan profesional, dan kehidupan privat Martin benar-benar ditampilkan supaya kita lebih memahami akar dari konfliknya. Kita mengerti kenapa Martin yang seorang guru nekat untuk minum alkohol justru pada hari-hari dia mengajar. Kita mengerti motivasi dari karakter ini. Karena sekali lagi, ini bukanlah semata tentang perbuatan minum atau maboknya. Another Round tetap adalah perjalanan personal karakter.
Semua orang di kota Martin minum alkohol, bahkan remaja sudah diperbolehkan mengonsumsi dengan batasan tertentu. Semua orang di sana pernah mabok. Nah, di sinilah letak kegoyahan film ini. Ada titik ketika film seperti bingung mengambil sikap terhadap mabuk – terhadap kebiasaan minum alkohol – itu sendiri. Istri Martin dalam satu adegan menyatakan mereka renggang bukan karena Martin yang kini jadi suka minum, karena semua orang minum. Melainkan karena Martin itu sendirilah, jadi Martin harus menengok ke dalam dirinya. Tapinya lagi, film tampak kesusahan melepaskan kesalahan Martin dengan alkohol. Menjelang babak penyelesaian film ini, narasi justru semakin memperlihatkan hal-hal buruk itu dari kecanduan alkohol. Minum yang tak-terkendalikan. Sehingga pandangan film ini terhadap alkohol jadi mencuat kembali, menutup soal personal karakter, dan pandangan tersebut blur. Film tak mengambil sikap tegas terhadap tradisi minum-minum yang mereka potret.
Pengembangan karakter di babak ketiga itu jadinya terasa terlalu cepat. Setelah satu peristiwa kematian, on top of peristiwa ‘tragis’ lain, Martin jadi berubah. Film terasa seperti nge-skip eksplorasi penting. Aku mengerti ini soal karakter Martin, tapi aku juga ingin melihat posisi film lebih tegas. Begini; sedari awal, minum-minum itu sudah diset layaknya jawaban yang benar, tapi lalu diperlihatkan sebagai yang salah, tapi karakter menyebut bukan soal mabuknya, dan kemudian Martin arc complete. See, seperti ada yang hilang. Film seperti berkelit dan cerita beres. Aku ingin eksplorasi yang lebih banyak supaya hubungan ke karakternya lebih erat.
 
 
 
Buatku hanya dengan begini, cerita film ini cukup terlihat sebagai anekdot saja. Seperti anekdot Hitler dengan dua tokoh politik yang diajarkan oleh Martin di dalam kelas. Amusing untuk didengar, tapi anekdot itu mengundang pemikiran yang lebih mendalam; kenapa yang gak peminum seperti Hitler pada akhirnya tetap menjadi the worse person. Film ini sendiri pun meng-gloss over pemikiran seperti itu. Fokusnya tetap pada karakter. Yang dimainkan luar biasa, dengan arahan dan treatment penceritaan yang baik. Membuat film ini lucu, dan maka menjadikannya cukup tragis. Penulisannya-lah yang sedikit kurang bagiku. Tapi tetep, film ini bakal jadi pesaing kuat buat kategori Film Internasional Terbaik di Oscar tahun depan.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ANOTHER ROUND.
 
 

 

That’s all we have for now.
Orang bilang mabuk membuat seseorang bisa jadi lebih jujur, film ini memperlihatkan alkohol membuat Martin jadi lebih keren. Bagaimana pendapat kalian tentang itu? Kenapa mabuk bisa membuat orang menjadi lebih jujur, lebih berani, dan lebih terbuka?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SOUL Review

“Life starts now.”
.

 
 
Bertahun-tahun pengen jadi bintang jazz, Joe (diisi suaranya oleh Jamie Foxx) yang bekerja jadi guru musik honorer akhirnya diterima untuk nampil bermain musik di klab bersama idolanya. Tentu saja Joe langsung memilih gig ini ketimbang tawaran untuk jadi guru tetap di sekolah dasar. Dalam perjalanan pulang, Joe yang begitu girang sibuk menelpon sehingga tak lagi memperhatikan jalan (itupun kalo dia pernah memperhatikan jalan sebelumnya). Joe mengalami kecelakaan. Dia jatuh tewas. Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai.
EIIIIITTSS, jangan keburu sedih dan depresi dulu. Karena Joe adalah tokoh utama dalam film Soul; film buatan Pixar. Dan jika ada satu hal yang kita ketahui tentang Pixar, maka itu adalah Pixar selalu merancang cerita dengan muatan perasaan yang real, yang nge-tackle masalah yang manusiawi seperti kematian, perpisahan, dibalut dengan konsep yang menyenangkan. Selalu ada lapisan kreatif yang menjadikan ceritanya menarik.
Kecelakaan tadi ternyata belumlah akhir dari semua bagi Joe. Karena dia mendapati dirinya – jiwanya – berada di sebuah tempat yang bisa membawanya hidup kembali. Joe kabur dari jembatan lorong ‘siratal mustaqim’, dan sampai di The Great Before. Tempat pelatihan dan seminar bagi jiwa-jiwa sebelum dilahirkan ke dunia. Joe yang menyamar menjadi salah satu mentor, ditugaskan untuk mengajari unborn soul bernama 22 (disuarakan oleh Tina Fey dengan suara yang menurut si karakter “annoys people”) tentang kehidupan duniawi. Si 22 ini sudah beribu-ribu tahun gagal terus lulus pelatihan, padahal mentor-mentornya adalah orang terkenal semua. Joe dan 22 yang bertualang bersama mencari spark untuk 22, akhirnya saling mengajari soal apa yang sebenarnya paling berharga dari kehidupan.
Film Soul ini digarap oleh Pete Docter yang sebelum ini menggarap Inside Out (2015). Jadi kita bisa mengharapkan eksplorasi dan world-building yang sama imajinatifnya di Soul ini. Dibandingkan dengan Inside Out, memang Soul terasa bahkan lebih ‘dalem’ lagi. Karena alih-alih soal emosi dan kepribadian bekerja, Soul adalah eksplorasi soal eksistensi dan jiwa itu sendiri. Docter dan co-director Kemp Powers menerjemahkan filosofi mengenai kehidupan, afterlife, dan apa yang membuat kita, kita ke dalam dunia ‘kartun’ versi mereka sendiri.

Dan tak lupa juga menampilkan ‘soul music’ alias musik Jazz

 
 
Menjelaskan soal filosofis seperti eksistensi ke dalam presentasi atau bentuk yang ringan, jelas adalah sebuah tantangan besar. Bahkan bagi sekelas Pixar. Kita tahu anak kecil memang ada kalanya nanyain hal-hal ‘sulit’; hal-hal yang enggan untuk kita bahas kepada usia mereka. Namun begitu, rasanya jarang sekali ada anak kecil yang nanyain ‘kenapa kita suka mengejar hobi yang dilarang oleh orangtua’. I’m not saying film Soul ini gak cocok untuk selera anak. Karena memang filmnya sendiri didesain untuk bisa ditonton oleh anak kecil. Desain visualnya mengundang. Karakter jiwa-jiwa itu berbentuk lucu, mereka tampak seperti gabungan awan dengan roh. Fluffy sembari garis tubuhnya agak-agak berpendar transparan. Masing-masing jiwa ini punya bentuk yang distinctive, yang sesuai dengan penampakan atau fisik tubuh manusia mereka. Sehingga menyenangkan untuk menebak-nebak atau membandingkan wujud asli dengan wujud jiwa beberapa karakter yang disebutkan. Selain itu ada juga karakter lain yang bentuknya tak kalah unik. Film ini juga punya antagonis, walaupun di sini tokoh antagonis itu tidak benar-benar punya niat jahat, melainkan hanya terlihat sebagai penghalang bagi Joe yang literally kabur dan pengen mengubah nasibnya. So yeah, film ini masih punya pesona khas animasi Pixar yang digemari anak-anak. Dialognya juga masih sempat untuk terdengar lucu dalam sebagian besar porsi adegan.
Hanya saja menu yang disajikan Pixar kali ini memang lebih cocok untuk konsumsi orang dewasa. Pixar mengambil langkah yang berani di sini; membuat tokoh utama yang bukan anak-anak, malah pria dewasa yang bahkan belum punya keluarga/anaknya sendiri. Segala konteks yang berusaha disederhanakan tadi itu juga pada akhirnya akan tetap jauh bagi anak kecil. Menonton film ini bagi anak-anak sekiranya bakal sama seperti ketika kita yang sudah dewasa menyaksikan Tenet (2020). Film Soul ini pun kadang terseok juga oleh kebutuhan untuk menjelaskan konteks dan pembangunan dunianya; itulah terutama yang memberatkan bagi anak yang belum dapat menangkap dengan baik gambaran besar ataupun maksud dari narasi yang diceritakan. Bagi kita orang dewasa, atau bagi penonton yang sudah mengerti permasalahan yang menimpa karakternya, film Soul ini akan jauh lebih emosional. Tidak akan terasa hampa seperti saat nonton Tenet. Karena tokoh utamanya, permasalahan dirinya, begitu universal dan terceritakan dengan baik oleh film. Penyederhanaan konteks filosofis, konsep dunia afterlife yang dijadikan ceria seperti camp pelatihan, tidak mengurangi penekanan kepada konflik emosional dan psikologi yang dirasakan oleh karakter Joe – dan bahkan juga si 22. Film ini pun semakin fleksibel dengan tone-nya, sebab di pertengahan akan ada bagian cerita jiwa yang tertukar tubuh, dan film berhasil untuk tidak tersesat menjadi komedi konyol. Melainkan malah semakin terasa penting sebagai suatu bagian dari perkembangan karakter.
Penulisan film ini luar biasa. Aku suka cara film menyelipkan hal-hal seperti kematian, keputusasaan ke dalam cerita. Hal-hal tersebut penting dan tidak-bisa tidak disebutkan ketika kita bicara tentang persoalan tujuan hidup, eksistensi, dan kebahagiaan seperti ini. Ada banyak aspek dalam film ini yang kalo kita pikirkan lagi ternyata sebenarnya sangat suram. Misalnya soal jiwa-jiwa yang segitu banyaknya muncul di dekat Joe di jembatan ke cahaya itu, menunjukkan segitu banyaknya manusia yang mati setiap hari. Ada yang muncul bertiga pula, mereka mati kecelakaan apa gimana. Dan Joe sendiri, dia gak sadar dirinya tewas karena dia begitu sibuk mengejar passionnya sebagai pemusik Jazz. Kalimat ‘Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai’ sesungguhnya sangat naas dan inilah yang jadi gagasan utama penulisan karakter Joe.
Berarti menurut film ini, semua manusia terlahir tanpa jiwa

 
 
Joe adalah seorang yang sangat passionate. Dia mengejar karir, and do what he loves. ‘Kesalahan’ yang harus Joe sadari adalah menyangka bahwa hidupnya baru akan dimulai – baru benar-benar berarti jika passion atau karir impiannya itu sudah tercapai. Film langsung membenturkan ini dengan membuat Joe celaka. Namun Joe gak mau nerima, dia kabur membawa jiwanya keluar dari kematian. Jiwanya berontak, bagaimana mungkin dia mati pada saat hidupnya justru baru dimulai – pada saat karirnya mulai mencapai titik terang. Joe tidak pernah benar-benar peduli pada hidupnya, selain untuk berhasil menjadi pianis jazz. Inilah yang membedakan Joe dengan 22 pada saat si unborn soul itu mencicipi seperti apa hidup untuk pertama kalinya. Joe tidak pernah duduk dan menangkap daun yang jatuh. Joe selalu mengejar karirnya sehingga lupa untuk melihat hidup. Tidak seperti 22 yang berhenti dan menikmati apapun yang ditawarkan kehidupan kepadanya. Ada momen yang sangat menyentuh ditampilkan oleh film ini yaitu ketika Joe melihat visual kehidupannya, yang ternyata sangat hampa. Dia tidak melakukan apa-apa padahal sudah hidup selama itu. Momen ini menunjukkan bahwa mengejar impian meskipun adalah suatu perjuangan hidup, tapi bukan berarti hidup jadi harus tentang itu.
Lebih lanjut film memperlihatkan Joe yang tetap tidak bahagia setelah berhasil menjadi anggota band jazz bareng idolanya. Karena dia ketinggalan semua hal lain kehidupannya. Dalam film ini ada makhluk yang disebut lost-soul. Para jiwa akan berubah menjadi makhluk ini jika tidak lagi senang dalam hidup. Meskipun dalam film ini tidak ditunjukkan, tapi aku yakin jika Joe tetap memilih ngeband dan melupakan 22 dan semua yang ia lalui tadi, maka Joe akan perlahan berubah menjadi lost-soul. Dan ultimately menjadi lost-soul adalah hal yang paling mengerikan yang bisa terjadi kepada sebuah jiwa. Karena yang terpenting adalah untuk menghidupi hidup.

Kita bisa mati kapan pun. Inilah yang diingatkan oleh film. Hidup tidak dimulai ketika kita lulus kuliah, atau ketika kita dapat kerja, atau ketika impian kita tercapai. Hidup sedang berlangsung. Sekarang juga! Maka tunggu apa lagi? Kejarlah yang dicita-citakan, tapi jangan lupa untuk membina hidup. Karena purpose of life is to live the life

 
Sehingga masuk akal jika film ini memberikan kesempatan kedua bagi Joe. Karena perkembangan karakternya diset sebagai orang yang kini mulai belajar untuk dengan benar-benar melihat hidup. Bukan hanya tentang musiknya, tapi juga tentang keluarganya, tentang teman-temannya. Dan kupikir cerita Soul yang dibikin seperti ini justru lebih indah dan mengena sebagai inspirasi ketimbang membuat cerita yang ‘kelam’ dengan membuat Joe benar-benar memutuskan untuk ‘terus’. Nah kembali lagi ke penulisan yang hebat, Soul tidak lantas memberikan kesempatan kedua itu saja dengan cuma-cuma kepada Joe. Dia dibuat pantas untuk mendapatkanya dengan membantu 22. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan telah menyadari apa ‘kesalahannya’ dalam memandang hidup. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan sudah menerima dan merelakan nasibnya.
Semua aspek sudah dipertimbangkan oleh film ini. Semua yang ditampilkan terasa masuk ke dalam suatu tujuan. Suatu makna. Sehingga membuat film ini semakin berbobot. Satu lagi yang paling aku suka dari cara film ini menangani karakternya adalah dengan bersikap open terhadap ‘ending’ karakter 22. Tokoh ini sangat menarik, awalnya dia gak suka untuk pergi ke bumi, dia menganggap semua kehidupan itu yang sama aja. Not worth, enakan di Great Before. Tapi hidup sesungguhnya benar seperti paradoks Cliche-22 (mungkin dari sini nama 22 itu); kita gak bakal tau seberapa enaknya hidup, tanpa pernah menjalani hidup itu sendiri. Si 22 memang akhirnya terjun untuk dilahirkan ke bumi, dan yang aku suka adalah kita tidak diperlihatkan terlahir atau menjadi siapa si 22 di Bumi. Film tidak memberikan kita adegan Joe bertemu dengan 22 versi manusia, dan menurutku ini sungguh langkah yang bijak. Karena menunjukkan hidup tidak bergantung kepada kita terlahir sebagai apa, bisanya apa, sukanya apa. Itu semua tidak berarti bagi 22, karena dia hanya ingin sekali untuk hidup.
 
 
 
Ini adalah karya Pixar yang paling berbeda. Mulai dari tokoh utamanya yang dibuat dewasa (not to mention merepresentasikan African-American yang belum pernah dijadikan tokoh utama oleh Pixar) hingga ke permasalahan yang berjarak dengan anak-anak. Konteksnya adalah tentang eksistensi yang berusaha diceritakan dengan sederhana. Dan ini memang tidak membuat Pixar keluar dari identitasnya. Yang kita lihat tetaplah sebuah journey yang imajinatif, penuh warna, dengan karakter yang adorable. sehingga nilai hiburannya tetap dipertahankan di balik bobot yang luar biasa. Sungguh sebuah tantangan yang gak ringan. Namun film ini berhasil. Ceritanya menyentuh dan terasa penting. Para karakter pada akhirnya tampil realistis karena bergelut dengan masalah yang sangat relatable. Kebingungan yang mungkin terjadi saat mempelajari konsep dunianya akan tertutupi oleh keunggulan penulisan karakter. Minus poin bagiku cuma minor, yaitu menurutku harusnya film sedikit lebih konklusif terhadap karakter Joe yang mendapat kesempatan kedua. Buatku alih-alih membuatnya hanya terlihat bersyukur dan menikmati hidup, mungkin bisa juga ditambah dia akhirnya mengambil tawaran sebagai guru; just to circle back ke pilihan yang dia dapatkan di awal cerita. Selebihnya buatku film ini beautiful dan penting, if you care about life and your existence. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SOUL.
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian sudah menemukan ‘spark’ di dalam hidup?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ASIH 2 Review

 

“A real parent is someone who puts their kids above their own selfish wants and needs.”

Cerita Asih 2 menyorot keluarga pasangan dokter Sylvia dan suaminya yang pembuat komik/cerita bergambar. Sylvia yang kehilangan putri cilik mereka yang meninggal dunia empat tahun yang lalu, merasakan emotional attachment kepada seorang gadis kecil misterius yang jadi pasiennya di rumah sakit. Anak itu tertabrak mobil di tengah hutan. Tak ada keluarga yang menjemput. Tak ada siapapun yang tahu siapa orangtua ataupun dari mana asal si anak ini. Maka Sylvia pun membawanya pulang, mengadopsi anak itu. Memberinya nama Ana. Such a close call, sebab Ana ternyata adalah anak pasangan pada film Asih pertama (2018). Tujuh tahun ini, Ana hidup dibesarkan oleh hantu mirip kuntil-ana-k bernama Asih. Tindakan Sylvia mengambil Ana dari dekapan Asih, jelas tindakan yang mengundang malapetaka bagi dirinya dan keluarga.

Jadi, ini adalah konflik antara dua orang perempuan, dua orang ibu yang ingin melindungi anaknya. Sylvia yang bertanggungjawab menyembuhkan Ana, dan Asih yang actually benar-benar merawat Ana sedari bayi. Menariknya adalah bahwa tidak satupun dari mereka berdua yang ibu kandung dari Ana. Bahwa mereka berdua justru adalah ibu yang melihat Ana sebagai kesempatan kedua; kesempatan untuk menebus kesalahannya pada anak kandungnya. Bedanya cuma Sylvia manusia, dan Asih hantu. Tindakan Asih akan naturally lebih mengerikan daripada perbuatan Sylvia. Padahal inilah sebenarnya kontras yang menarik yang ada pada film. Seperti ada komentar mengenai makna sebenarnya dari menjadi orangtua bagi seseorang. Apa yang membuat kita pantas dipanggil ‘ibu’. Penggalian gagasan tersebut bisa membawa film ke level dramatis, ke cerita yang manusiawi sekaligus menginspirasi dan empowering – khususnya karena film ini tayang berdekatan dengan Hari Ibu.

Seorang Ibu tak pelak memang adalah orang yang telah melahirkan anak. Namun melahirkan, atau simply mengadopsi anak tidak serta merta membuat kita pantas disebut sebagai orangtua yang baik. Karena orangtua berarti adalah harus mampu mementingkan anak di atas kepentingan sendiri. Bukan saja harus mampu mengasuh dengan penuh kasih, tapi juga mampu bertindak yang terbaik bagi anak, walaupun itu berarti harus mengikhlaskan mereka.

Namun, sutradara Rizal Mantovani tidak melihat ceritanya seperti itu. Film tidak difokuskannya ke sana. Atau tepatnya, film diarahkannya berjalan lewat aspek yang paling konyol dan paling dangkal, untuk kemudian menjadikan bahasan soal ibu tadi hanya sebagai konklusi yang ditampilkan ujug-ujug di akhir.

Siapa sih yang gak mau jadi anak dokter?

Jika Christopher Landon punya konsep membangun narasi horor dari komedi jadul, maka para filmmaker horor di Indonesia gak mau kalah. Mereka bikin horor dari lagu anak-anak jaman dulu! Mulai dari lagu Boneka Abdi, hingga lagu sepolos ngajak orang naik Kereta Api pun sudah ada film horornya. Tren yang menarik, tapi kasihan juga sih anak-anak Indonesia. Lagu untuk mereka udah punah, udah gak ada yang bikin lagi, eh lagu jadulnya pun diubah jadi materi horor kacangan. Tapinya lagi, memang beberapa lagu anak itu serem kok. Contohnya ya Indung-Indung yang jadi (un)official soundtrack sekaligus plot device dalam Asih 2 ini.
Well, at least, seram buatku waktu kecil.

Waktu kecil, sekitaran umur 6-7 tahun, aku takut banget sama lagu ini. Kalian pasti tau dong lirik lagu Indung-Indung itu ada kelanjutannya (gak kayak karakter-karakter dalam film ini yang nyanyiinnya muter-muter di situ melulu). Soal perempuan bernama Siti Aisyah yang mandi di kali rambutnya basah. Nah, dulu waktu kecil kalo di rumah nenek, aku selalu ditidursiangkan ortu di kamar Om. Seluruh tembok kamar itu dicat oleh beliau sendiri, digambarin aneka rupa. Mulai dari tokoh kartun Donal Bebek hingga tokoh zodiak. Salah satu gambarnya itu berupa perempuan yang mengenakan handuk merah, dengan rambut yang seperti…basah!! Satu kali, pas lagi dininaboboin pake lagu Indung-Indung, mataku natap si gambar cewek itu. Dan aku mimpi buruk si cewek itu hidup, dia lah Siti Aisyah dalam lagu, dan rambutnya basah ternyata oleh darah sampe ke anduk!!! Sejak saat itu aku trauma sama lagu Indung-Indung.
Sehingga nonton Asih 2 di kala bioskop sepi masih pandemi benar-benar pengalaman menantang buatku. Aku bisa ngerasain keseraman masa kecil itu menguar setiap kali lagu tersebut muncul di film. Dan buatku yang punya kisah personal, hanya lagu itu sajalah yang jadi titik kedekatan dalam film ini. Selebihnya film ini sama sekali enggak menakutkan. Tokoh hantunya, si Asih; aku malah berempati dan kasihan padanya. Aku justru rooting for her. Itu karena memang Cerita Asih 2 punya potensi drama horor untuk digali. Film ini bisa jauh lebih bagus daripada sodara-sodaranya di Danur Universe JIKASAJA pembuatnya enggak obses ke lagu yang cuma serem untuk dipake nakutin anak kecil.

Alih-alih fokus kepada penggalian drama dan trauma orangtua yang bergulat dengan kematian anak mereka – lewat sudut pandang perempuan yang mengadopsi, film malah menitikberatkan kepada misteri asal muasal dan lirik lagu. Adegan seram di Asih 2 sebagian besar berupa seseorang mendengar lantunan lirih “Indung indung kepala lindung” dan kemudian mereka melihat sosok mengerikan somewhere di latar belakang.

Pernah gak ngalamin kejadian mendengar satu lagu, lalu kemudian lagu tersebut mendadak muncul di mana-mana; ke mana pergi, ada lagunya. Kurang lebih kayak gitulah film ini; mendadak semua tokoh dalam cerita nyanyiin dan ketemu sama lagu ini. Film kemudian lanjut mempersoalkan itu lagu apa. Ada misteri yang kuncinya ada pada lagu tersebut. Film mengerahkan semua kepada lagu ini. Bahkan bonding ibu dan anak dilakukan dengan memperlihatkan Sylvia belajar nyanyiin lagu tersebut karena lagu itu merupakan lagu favorit Ana. Yang paling konyol adalah adegan ‘fight’ Sylvia dengan Asih. Mereka rebutan Ana “Ini anakku!” pake tarik-tarikan, daaann mereka lantas ‘lomba nyanyi’. Gantian nyanyiin Indung Indung demi menarik perhatian dan kasih sayang Ana.
Kasihan sekali melihat Marsha Timothy dan Ario Bayu yang jadi pasangan suami istri di film ini. Mereka adalah aktor yang pernah mengantongi piala penghargaan. Aktor yang mumpuni, dengan range drama yang luas. Dan cerita film ini actually terbuka untuk ruang drama tersebut. Sebagai suami istri yang pengen punya anak lagi, move on dari trauma-lah yang harusnya digali dalam film ini. Bikin mereka benar-benar butuh Ana. Buat kita yakin mereka beneran peduli sama anak sebagai person, bukan sebagai penebus dosa. Hanya ada satu adegan yang mengarah ke pembahasan ini, padahal narasi harusnya dibangun di sekitar persoalan ini. Bukannya malah memfokuskan kepada ‘lagu seram’. Akibatnya drama dan karakter itu gak kena. Kita gak ngerasa apa-apa, kita gak ngerasain urgensi Sylvia harus dapatin Ana. Atau bahkan kita gak sedih ketika Ana hilang dari Sylvia. Karena film gagal melandaskan kepentingan Ana secara nyata dan emosional buat Sylvia dan suaminya. Kita gak melihat mereka ‘rugi’ apapun jika Asih mengambil Ana. Karena memang si Asih toh did a pretty great job gedein Ana. Anak itu sehat, dia celaka karena ditabrak mobil di hutan. Mobil. Di hutan. Come on! itu odd-nya kecil banget hahaha… Dan di luar kebiasannya saat makan yang aneh, anak itu toh gak tumbuh jadi psikopat. Dalam pandangan kita, film malah seperti memperlihatkan Sylvia-lah yang menculik Ana dari Asih.

“Lu ambil anak gue! Lu ambil lagu gue!!”

 

Shareefa Daanish sekali lagi hanya dipakai untuk jadi hantu yang teriak-teriak ngejumpscare orang. Padahal potensi drama dan permainan karakter bisa ia lakukan di sini. Too bad pembuat film cuek dengan ini. Justru Asih-lah di sini yang cocok sebagai protagonis. Dialah yang kehilangan sesuatu – meskipun awalnya juga curian. Dialah yang pada akhirnya berbesar hati. Yang menunjukkan bahwa Asih-lah yang mengalami perkembangan karakter – yang actually punya plot dalam cerita ini. Cerita bahkan menyimpan satu kejutan menarik lagi berupa kehadiran seseorang dari masa lalu Asih; orang yang mengenal Asih saat masih seorang manusia. Jika memang begitu, toh kerja film sangat buruk dalam memperlihatkan Asih sebagai tokoh utama. Karena porsi paling gede ya ada pada Sylvia dan keluarga. Sylvia, yang tak ngalamin perkembangan apa-apa. Yang gak ada stake. Yang bahkan tidak membuktikan kepada kita dia bisa jadi orangtua yang baik; karena yang film perlihatkan hanyalah dia yang selalu pulang malam hanya dekat dengan Ana saat mandi dan saat belajar lagu.

Dan si Ana itu sendiri… Memanglah, film horor Indonesia hanya melihat anak kecil sebagai objek. Setelah lagu mereka diambil jadi materi horor, tokoh yang mewakili mereka pun di sini hanya jadi objek rebutan. Ana dihidupkan sebagai trope ‘anak setan’, alias anak berkelakuan aneh yang suka ngobrol sama sesuatu yang tak terlihat. Film ini tak memberikan Ana kesempatan untuk bersuara, untuk punya pendapat dan pandangan sendiri. Literally, Ana ditulis sebagai karakter yang gak bisa bicara. For no reasons at all, kecuali ya dengan alasan untuk memudahkan penulis naskah bermalas-malasan. Ana yang tak bisa bicara berarti tidak perlu digali sudut pandang dan sisi dramatisnya. Ana hanya dijadikan jalan keluar ala deus ex machina saja. Di akhir tiba-tiba dia sadar dan ngasih pandangan ke ibunya. Karakter Ana yang dibikin seperti inilah yang menjadi penanda keras betapa film ini males dan memang menghindari penggalian karakter. Arahannya dibuat khusus untuk memfasilitasi jumpscare-jumpscarean saja. Menyia-nyiakan potensi karakter yang ada.




Kalo ada yang nanya film apa yang bisa narik penonton ke bioskop, dalam situasi pandemi kayak sekarang ini, maka aku percaya jawabannya adalah film horor. Dan film ini, aku juga sama yakinnya, mampu untuk melakukan hal tersebut. Karena memang didesain untuk memfasilitasi ‘hiburan’ netijen. Penuh jumpscare, ada yang kesurupan, dan flashback backstory. Peningkatannya sedikit di visual kemunculan penampakan, seru juga melihat hantu yang perlahan nampak dari transparan ke memadat. Dengan durasi yang lebih panjang tiga-puluh menit dari film pertamanya, kupikir film ini bakal lebih berisi. Cerita dan karakter penyusunnya akan benar-benar memiliki sesuatu. Tidak dangkal seperti film pertama. Tapi ternyata film ini tidak tertarik menggarap semua itu. Melainkan hanya berkutat pada menghantu-hantukan lagu. Sehingga akhirnya ya jadi sama saja dangkalnya. Such a waste potential.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ASIH 2.




That’s all we have for now.
Apakah kalian juga punya pengalaman seram dengan lagu anak-anak?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA