“All of us are imperfect human beings living in an imperfect world”
Sekali lagi kelompok misfit penjaga galaksi ini dikapteni oleh James Gunn. Tapi kali ini adalah terakhir kalinya Star-Lord, Nebula, Drax, Mantis, Rocket, Groot, Gamora, dan kawan-kawan bertualang bersama. Ini juga terakhir kalinya bagi pak sutradara berkiprah di jagat sinematik Marvel. Maka pantas saja beliau memastikan semuanya terasa spesial. Guardians of the Galaxy Volume Tiga ini ia bentuk sebagai salam perpisahan yang epik. Yang bukan para karakternya saja yang mendapat akhir perjalanan yang melingker dan benar-benar pengembangan keren dari awal mula mereka. Kita yang nonton pun merasa mendapatkan konklusi memuaskan dari petualangan panjang yang seru, penuh musik dan penuh warna. Film superhero Marvel yang satu ini buatku benar-benar terasa seperti akhir dari sebuah era!
Jalan cerita film ini juga sama seperti beberapa film Marvel belakangan ini. Contained di dunia sendiri, not really meddling around dengan multiverse yang membingungkan, dan terasa seperti episode kartun minggu pagi. Akibat serangan mendadak Adam Warlock ke Knowhere – kota tempat para Guardians tinggal – Rocket terluka parah. Ini menyadarkan Peter Quill yang masih depresi kehilangan begitu banyak orang yang ia cintai. Gak mau kehilangan Rocket yang ia anggap sebagai bestie, Peter mengajak para Guardians yang lain untuk menginfiltrasi lab tempat Rocket ‘diciptakan’. Tapi aksi penyelamatan oleh Star-Lord dan kawan-kawan itu ternyata adalah jebakan. Karena dalang di balik penyerangan kota mereka adalah si High Evolutionary, orang yang merasa dirinya Tuhan, orang yang ingin menciptakan spesies dan dunia yang sempurna. Orang kejam yang bereksperimen dengan berbagai macam hewan, dan tanpa kasihan membunuhi ciptaannya yang gagal. Rocket actually adalah ciptaannya yang sukses, dan sekarang dia bermaksud untuk mengambil kembali otak cerdas si rakun!
Ketika Guardians of the Galaxy jadi pahlawan super PETA!
Cerita petualangan superhero bermuatan seperti yang dipunya film ini seolah ditakdirkan untuk sukses. Gampang disukai. Gimana tidak. Guardians of the Galaxy punya karakter yang begitu colorful sifatnya. Karakter yang sudah matang dimasak dari at least dua film sebelumnya. Interaksi mereka di sini jadi semakin natural. Ketika mereka bertengkar, saling menggoda, mereka terasa seperti keluarga beneran. Relate seperti interaksi antara orang-orang yang sudah sangat akrab. Duo Drax dan Mantis paling banyak mencuri tawa; Batista semakin jago ngelock-on timing komedinya, sementara Pom Klementieff pun semakin ahli membawakan karakternya yang bermata besar jadi adorable kayak cewek anime. Tapi tone ringan dan interaksi segar gak terbatas milik mereka. Volume Tiga actually punya banyak karakter, dan Gunn gak ragu untuk menggali sisi humanis mereka semua. Karen Gillan juga akan membuka sisi-baru karakternya karena di film ini journey Nebula jadi salah satu yang circled-backnya berakhir paling manis. Nebula akan berinteraksi dengan lebih banyak orang. Dan bicara tentang ‘orang’, Volume Tiga ini melakukan yang dilakukan oleh Taika Waititi kepada karakter utama dua film Thor terakhir, tapi juga kepada karakter anak buah musuh dan ‘NPC’. Menjadikan mereka bertingkah kayak orang normal di keseharian kita. Mereka semua kayak punya cerita dan kehidupan di luar momen mereka nampil di layar. Bahkan Adam Warlocknya si Will Poulter yang mestinya jadi sub-boss dengan kekuatan mengancam aja, ternyata sayang binatang. Hal ini membuat vibe film ini terasa lebih dekat dan semakin kocak lagi.
Tentunya yang terpenting untuk film ketiga adalah fresh. Keunikan. Atau paling enggak kebaruan yang dimunculkan dari elemen yang familiar. Aspek ini terwujud lewat interaksi antara Gamora dengan para Guardians, khususnya dengan Peter Quill. Gamora yang bareng-bareng mereka, yang pacar si Peter itu, telah tewas, dan Gamora yang diperankan oleh Zoe Saldana di sini merupakan Gamora dari masa lalu yang belum kenal mereka. Gamora yang esentially pribadi yang berbeda. Sehingga dinamika karakter mereka pun jadi berbeda. Peter yang masih belum move on, berusaha terus mendekati Gamora, while cewek-hijau yang kini anggota Ravager itu terus menolak. Chris Pratton mission kentara lebih menyenangkan untuk disaksikan ketimbang Pratt yang mabuk-mabukan di awal cerita. Development kecil yang dimiliki oleh Gamora dan Peter terkait relasi mereka di sini, jadi salah satu hati yang dipunya oleh cerita. Yang aku suka adalah film ini berani menegaskan diri sebagai ‘salam perpisahan’ yang membuat relasi dua orang ini terasa semakin dewasa. Karena ini basically cerita tentang dua lover yang jadi orang asing – some of us mungkin bisa relate dengan kisah cinta mereka. Film ini bisa membantu mencapai closure yang matang dari gimana Gamora dan Peter berakhir nantinya.
Arahan Gunn pun terasa kian matang. Volume Tiga terasa semakin enerjik lewat aksi cepat, di dunia yang imajinatif. Desain estetik lab biologisnya unik. Pun punya kontras yang chilling ketika film mulai menyentuh elemen cerita yang lebih dark. Yang paling kentara enerjiknya itu adalah gimana lagu-lagu rock populer yang sudah jadi ciri khas Guardians of the Galaxy dimasukkan sebagai suara-suara diegetik (suara yang beneran didengar oleh karakter di dalam cerita). Musik-musik itu selain bikin kita semakin seru menonton aksi yang dihadirkan, juga menambah layer adegan karena keberadaannya berhubungan langsung dengan pilihan karakter. Misalnya, di opening, Rocket berjalan keliling kota sambil muterin lagu Creep. Lagu yang cocok mewakili mood si Rocket yang lagi mengenang masa-masa dia pertama kali punya kesadaran (setelah jadi percobaan di lab High Evolutionary), yang turns out setelah kita sampai di bagian akhir film dan telah menangkap bahwa film ini adalah tentang orang-orang tak sempurna yang membuat dunia jadi terasa sempurna ternyata lagu itu juga mewakili tema dan plot keseluruhan film.
Bertahun-tahun High Evolutionary berusaha menciptakan spesies sempurna. Membangun, dan menghancurkan. Begitu terus. Dia tidak pernah mendapat kesempurnaan itu. Karena memang tidak ada yang sempurna. Hidup penuh oleh hal-hal yang tidak sempurna, oleh orang-orang yang tak sempurna. Justru dari situlah datangnya harmoni yang menjadikan hidup berharga. Guardians of the Galaxy pada akhirnya merayakan ketidaksempurnaan mereka, ketidaksempurnaan keluarga mereka. Salam perpisahan Peter Quill sejatinya adalah salamnya kembali pulang ke rumah, ke keluarganya yang tidak sempurna.
Ada banyak Shiragiku!!!
Selain sebagai salam perpisahan, film ini tepatnya bertindak sebagai transisi. Era James Gunn dengan Guardians Galaxy-nya memang telah berakhir, tapi seperti yang ditampilkan pada mid-credit scene, akan ada Guardians Galaxy generasi baru. Film Volume Tiga ini dengan baik mengeset perpindahan itu dengan membuat kita lebih dekat mengenal sosok yang berpengaruh nantinya, yakni si Rocket. Masa lalu Rocket sebagai makhluk ciptaan (dari rakun beneran) dieksplor habis-habisan di sini. Cerita akan bolak-balik antara misi penyelamatan oleh Star-Lord dkk dengan flashback masa lalu Rocket. Bagian flashback yang disebar di sana-sini tersebut memang penting dan tak bisa dipisahkan dari film, tapi ada kalanya flashback ini jadi problem bagi keseluruhan penceritaan. Yang jelas, tone jadi aneh. Volume Tiga really juggling dari ekstrim ke ekstrim. Dari ekstrim fun, ke esktrim dark. Gunn toh berusaha menjaga ritme dengan editing dan timing yang precise membangun feeling. Hanya saja sama seperti lirik lagu; gak semua yang ritmenya sama itu make sense. Kayak soal Rocket yang berkata dia gak akan membunuh High Evolutionary karena dia adalah Guardians of the Galaxy, perkataan yang cool kalo saja pada beberapa adegan sebelumnya kita enggak melihat Star-Lord literally membunuh si Mateo Superstore saat mereka terjun bebas kabur dari pesawat. Flashback-flashback itu seperti jadi mengganggu bangunan film. Kadang flashback itu muncul dengan menyalahi aturan yang sudah disetup oleh film sendiri. Flashback yang merupakan kenangan dari Rocket itu tertangkap basah muncul tanpa ada Rocket – jadi setelah adegan dari karakter lain, tau-tau kita dibawa ke ingatan Rocket. Menurutku film ini mestinya bisa ngerem sedikit, untuk merapikan hal-hal yang seperti ini.
Bagian flashback itu yang bikin penonton banyak terharu. Ngelihat Rocket ternyata dulu punya teman-teman sesama makhluk buatan, dan tentu saja kita tahu ke arah mana nasib teman-teman Rocket itu. Bagus sebenarnya gimana dengan ini berarti ada film superhero yang gak melulu bicara tentang menyelamatkan manusia. Bahwa hewan juga adalah makhluk hidup, dan mereka juga sama pantasnya untuk diselamatkan dengan manusia. Masalahnya buatku adalah penjahat yang hanya cartoonish. High Evolutionary hanya seperti penjahat kartun yang kejam dan jahat. Gampang memancing simpati dan heat penonton dengan nunjukin orang yang bertindak kejam (and really loud) kepada hewan atau makhluk lemah. Menurutku High Evolutionary mestinya bisa diperdalam sedikit. Karena bahkan motivasinya yang pengen nyiptain spesies sempurna untuk dunia sempurnanya itu mirip-mirip sama motivasi Thanos – yang sudah terbukti bisa punya penggalian dan dimensi lebih banyak. Chukwudi Iwuji’s High Evolutionary cuma kejam, melotot, dan berteriak-teriak – masih mending kalo masih terasa kayak penjahat kartun, teriak ngamuk sekali lagi bisa-bisa ngeliat dia jadi berasa sama aja kayak ngeliat mertua galak di sinetron istri tersiksa hahaha
Nice send off buat era superhero misfit yang dibesarkan oleh James Gunn. Semua karakter utama mendapat development dan akhir journey yang memuaskan. Sekaligus bikin penasaran untuk film selanjutnya. Energi film ini benar-benar tumpah ruah, membuatnya jadi tontonan super yang menghibur, seru, dan tertawa-tawa. Film-film Guardians Galaxy selalu punya nilai lebih bagi penggemar rock, dan begitu juga dengan film ini. Tapi sama seperti yang dibicarakan naskah, bagiku juga tidak ada film yang sempurna. Penceritaan yang melibatkan bolak-balik antara petualangan dengan eksposisi backstory mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik lagi. Seenggaknya, bisa dilakukan dengan lebih konsisten pada rulenya sendiri. Secara objektif, flashbacknya masih kurang rapi. Tapi di samping itu, I have a blast watching this. Kayaknya aku bakal lanjut nonton film action barunya si kapten Amerika bareng Ana de Armas di Apple TV+ buat cooling down. Kalian bisa juga dengan subscribe di link ini yaa https://apple.co/3W0emlN
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 3
That’s all we have for now.
Orang berbuat kejam/kasar kepada hewan juga kerap terjadi di sekitar. Menurut kalian kenapa sih orang-orang bisa setega itu?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“Inside every angry child is an emotion they haven’t been able to comprehend”
Menyelamatkan dunia bukan hanya hak orang dewasa. Tagline Virgo and the Sparklings tersebut kontan menggelitik. Menyelamatkan dunia kan sebenarnya adalah sesuatu yang diemban sebagai tugas, sebuah kewajiban. Tanggungjawab. Bukan sesuatu yang didapatkan dengan jumawa, untuk gaya-gayaan. Kentara sekali kalimat tersebut punya nada penuh kebanggaan, namun sedikit polos tapi juga angkuh terhadap orang dewasa, semacam ingin nunjukin mereka juga bisa dan melakukan dengan lebih baik. Mereka siapa? Siapa lagi yang bisa bersikap angkuh padahal aslinya perlu belajar lebih banyak kalo bukan anak muda. Remaja. So, sedari taglinenya saja, karya Ody C. Harahap ini sudah menguarkan identitas yang kuat. Bahwa superhero kali ini beda dari kakak-kakak hero Bumi Langit sebelumnya. Jagoan super kali ini adalah anak muda, dan kita akan ngikutin cerita dari dunia dan perspektif mereka. Percikan api gelora anak muda, dan permasalahan mereka dengan orangtua, jadi hati pada cerita. Bahkan mungkin bisa dibilang, ini adalah cerita remaja dengan kedok superhero.
Berkedok superhero. Aku bilang begitu karena memang Virgo and the Sparklings works best saat memperlihatkan interaksi antarkarakter remaja dan segudang permasalahan mereka. Riani nama karakter utama di sini. Gadis SMA yang agak pemalu itu jadi semakin gak suka nonjolin diri lagi lantaran dia punya ‘kebiasaan’ aneh. Bola api suka tau-tau berkobar muncul dari dua tangannya. Padahal Riani ini punya bakat nyanyi. Suaranya bagus banget. Waktu Riani nyanyi sendirian di dalam kelas kosong itulah, beberapa teman mendengar kebolehannya. Riani akhirnya diajak gabung ngeband bareng Ussy, Monica, dan manajer mereka; Sasmi. Band mereka dinamai Virgo (karena semua personel ternyata berzodiak Virgo, cute!) dan mereka ikutan semacam kontes battle of the band. Di kontes itu mereka bertemu dan akhirnya saingan sama girl rock band idola mereka, Scorpion Sisters. Bagian Riani membuka diri untuk bergaul dan bikin band bareng teman-teman itulah yang menyenangkan sekali untuk disimak. Karena situasinya benar-benar dibuat grounded. Khas pergaulan anak remaja sehari-hari. Dari situ juga masuklah bahasan tema utama cerita, karena teman-teman Riani sebenarnya gak ada yang boleh ngeband oleh orangtua masing-masing. Tapi mereka tetap nekat, sampai bikin topeng dan kostum biar identitas mereka gak ketahuan nanti pas nampil di panggung. Jadi kostum dan kekuatan api Riani – yang obviously bakal jadi karakter superheronya – di awal itu dihadirkan natural. Para karakter ini ‘hanya’ menjadikan itu sebagai gimmick mereka buat manggung. Buat dapat view. Momen-momen Riani dibantu oleh teman-teman mengendalikan kekuatan api juga terasa sangat lugu. Dia disuruh manasin air, dan juga masak mie. Tapi momen-momen sederhana itu jadi semakin serius, karena di balik keceriaan mereka, di background kita kerap mendengar berita tentang anak muda yang kesurupan dan mengamuk kepada orangtua mereka. Inilah yang jadi konflik, jadi sesuatu yang harus dibereskan oleh Riani terkait journeynya menjadi seorang patriot super.
Kekuatannya api, lagunya angin, zodiaknya tanah
Action-fantasi atau superhero yang grounded memang terbukti lebih menyenangkan. Apalagi yang settingnya kehidupan anak muda kayak gini. Yang ceria walau juga penuh drama. Tapi yang jelas, jauh dari ba-bi-bu intrik plot twist politik. Film Virgo juga cukup bijak nahan diri – tidak hingga momen credit kita melihat tie in universe Riani dengan superhero BCU lainnya. Cerita yang contained di dunia sendiri, membuat film jadi lebih fokus, dunianya itu terasa lebih hidup (walaupun memang tidak sepenuhnya dieksplorasi). At least, Virgo terasa punya identitas dan keunikan. Scott Pilgrim vs. The World masih jadi nomor teratas dalam daftar film favoritku setelah sepuluh tahun lebih untuk alasan tersebut. Film itu berlaga di dunianya sendiri, dan berhasil. Dan dunianya itu adalah dunia absurd, tapi sebenarnya adalah cerita khas anak muda. Seorang cowok yang ingin pacaran sama si cewek baru, tapi dia harus ‘ijin’ dulu sama tujuh mantan si cewek. Premis itu diwujudkan dalam aksi seperti pada komik dan video game, karakternya yang di awal kayak remaja sehari-hari ternyata pada punya kekuatan unik. Dan mereka juga tanding ngeband! See, no wonder aku bandingin Scott Pilgrim dengan Virgo ini.
Walau ternyata memang enggak seabsurd itu, Virgo hadir dengan energi remaja khasnya sendiri. Geng-gengan. Naksir-naksiran. Saing-saingan. Idol-idolan. Pertemanan yang akrab banget, tapi sesekali juga bisa berantem. Api kekuatan Riani yang tak terkendali itu bisa kita sambungkan sebagai simbol passion remaja yang sedang dalam masa pencarian tempatnya di dunia. Tapi yang paling penting di antara itu semua, film ini mengangkat value yang relate banget dengan setiap remaja manapun. Tentang komunikasi antara anak dengan orangtua, dengan orang dewasa. Dalam cerita ini, Riani akan menyelediki kenapa anak-anak yang menonton satu video misterius di YouTube pada mendadak kesurupan dan mengamuk. Nice play dari fenomena masa kini yang anak-anak cenderung dinilai lebih emosian kalo terekspos gadget terlalu lama. Memang di jaman sekarang, anak-anak lebih suka menghabiskan waktu di internet ketimbang dengan orangtua. Di salah satu adegan, teman sekelas Riani mengamuk dan ada yang minta untuk manggil guru. Namun Riani menjawab, guru bisa apa. Sekali lagi film ini nunjukin betapa anak muda seperti mereka tidak lagi memilih orangtua atau orang dewasa sebagai opsi yang terpercaya. Film lebih jauh mengeksplorasi masalah ini dengan memperlihatkan Riani dan kawan-kawan berusaha membereskan masalah mereka sendiri. Orangtua hanya berarti masalah.
Kebanyakan cerita dengan tokoh remaja memang biasanya ‘mengantagoniskan’ orangtua. Atau kalo perlu, kehadiran orangtua dihilangkan gitu aja, tidak disebut di dalam cerita. Yang membuat Virgo berbeda dari film-film atau cerita remaja serupa itu adalah, film ini actually mengungkap sudut pandang lain. Bahwa kemarahan anak, ketidakpercayaan anak yang disasar ke orangtua, hanyalah luapan emosi berapi-api yang mereka rasakan di umur segitu. Anak takut membuat marah orangtua, suka ngerasa akan makin susah, sehingga komunikasi itu gak ketemu. Padahal bisa jadi kalo masalah itu diomongin langsung malah jadi ‘plong’ Seperti yang ditunjukkan oleh film ini. Kids, your parents are not that bad.
So much fun ngelihat Adhisty Zara, Satine Zaneta, Ashira Zamita, Rebecca Klopper, dan aktor-aktor muda itu ‘dilepas’ di lingkungan yang akrab dan relate dengan keseharian mereka. Membuat film makin terasa genuine. Problem, however, mulai bermunculan ketika film mengangkat yang agak serius dan kehilangan pegangan kepada dunia remaja saat genre superhero itu harus ditegakkan. Virgo and the Sparklings memang terasa enggak balance, pada beberapa momen dapat berubah drastis dari menyenangkan menjadi cringe. Mungkin arahannya kurang bisa mengena ke pemain? Coba bandingkan dialog ’emangnya guru bisa apa’ tadi dengan dialog ‘polisi gak bisa ngapa-ngapain’ yang diucapkan Zara sebagai Riani di menjelang babak akhir nanti. Celetukan yang lebih serius soal polisi itu terdengar agak cringe diucapkan. Enggak senatural murid yang gak percaya guru. Dan juga feel forced, karena di titik itu kita sudah tahu kekuatan Riani dan sebenarnya naturally dia tinggal bilang cuma dia yang bisa lihat ‘asap hitam’ penyebab semuanya.
Final battlenya juga terasa cringe, tidak tampak seperti ujung yang natural dari build up dan hubungan karakter yang telah dijalin. Situasi menjelangnya padahal masih terasa ceria dan lucu di balik keseriusan masalah. Geng Riani udah full jadi tim hero, tapi kehalang satu pintu terkunci aja mereka kocar-kacir. Lalu mereka yang pakai alat untuk menghalang kekuatan si penjahat jadi punya interaksi kocak karena alat itu membuat mereka tidak bisa mendengar satu sama lain. Tapi saat Riani sudah face-to-face dengan penjahatnya, dalang dari semua, semua terasa lop-sided. Aksi pada Riani seperti terbatas pada lempar bola api (yang not destructive, tapi menyembuhkan korban dari pengaruh jahat) sehingga battlenya dengan cepat jadi monoton meski film berusaha membuatnya dramatis dengan kekuatan Riani sendiri mulai takes toll on her body. Yang buatku paling mengganjal di final battle itu adalah Riani kayak gak punya plight, perdebatan dengan si jahat. Dia enggak benar-benar menanggapi omongan si jahat, padahal si jahat ini adalah idolanya, padahal si jahat ini sudah menyebut mereka sebenarnya sama dan mengajak Riani bergabung dengannya. Riani cuma ngomong sekadarnya saat mereka bertemu untuk pertama kali sebelumnya, tapi di momen final, benar-benar gak banyak bantering antara mereka berdua. Buatku ini sedikit kekurangan pada naskah, serta missing opportunity. Naskah tidak benar-benar bisa memparalelkan antara Riani dengan si jahat, sehingga resolve konflik mereka kurang nendang. Missed opportunity, karena ini harusnya jadi momen kita melihat Zara dan Mawar Eva adu akting, tapi film gak benar-benar ngasih mereka sesuatu melainkan hanya gimmick cringe sebagai momen ‘berantem’.
Bulan baru, film Mawar baru!
Kalo mau jujur sih, adegan-adegan perform musik film ini menurutku sebenarnya juga masih tergolong missed opportunity. Kenapa? Karena di sini mereka punya assemble cast yang sebagian besar beneran bisa nyanyi dan bisa main alat musik tapi coba lihat sendiri deh gimana film ini ngesyut adegan-adegan perform tersebut. Bland dan seragam semua cara nampilinnya. Boring. Sekali lagi aku membandingkannya dengan Scott Pilgrim yang punya banyak adegan ngeband, dan masing-masing adegan tersebut berbeda treatment dan ada keunikannya satu sama lain. Ody Harahap memang bukan Edgar Wright yang ahli bercerita dengan gaya editing dan timing komedi yang khas, Ody punya cara tersendiri menampilkan komedi atau aksi, ataupun keduanya, tapi untuk nampilin perform musik yang energik, arahannya masih terlalu standar. Adegan musik yang ceritanya direkam dengan hape Sasmi yang kakinya sakit, akan tertampil sama dengan adegan musik di panggung pertunjukan. Kita selalu melihatnya dari kamera yang seperti kamera pada acara TV sehingga nyanyian tersebut tidak pernah dikesankan seperti dinyanyikan langsung. Mawar ataupun Zara harusnya bisa banget punya momen perform seperti Brie Larson nyanyi Black Sheep di Scott Pilgrim, tapi Virgo tidak pernah meng-utilized pemainnya seperti demikian. Performance mereka artifisial semua, enggak ada aksi panggung sehingga gak berhasil ngasih kesan ‘live’ kayak Brie.
Film ini buatku punya vibe yang sama dengan film dan video game favoritku, Scott Pilgrim dan seri River City Girls. Aku enjoy nonton bagian karakternya saling interaksi, latihan band, latihan menggunakan kekuatan superhero. Value yang dikandung ceritanya juga relate banget, terutama buat anak muda. Film ini bisa jadi hiburan sekaligus something untuk dipikirkan bagi penonton muda. Walaupun memang pada akhirnya naskah dan arahan cukup keteteran, aksinya berakhir cringe, kekuatan Riani jatohnya underwhelming banget – apinya gak sakit, sinesthesianya cuma plot device untuk misteri kekuatan penjahatnya – adegan perfom musiknya enggak benar-benar nendang (walau lagunya enak-enak), dan banyak karakter yang bikin penasaran simply karena cerita tidak benar-benar bisa memanfaatkan waktu untuk mengeksplor mereka. But hey, I’d take cheerful and grounded superhero movies any day ketimbang superhero yang sok-sok gelap dengan fantasi politikal yang melebar ke mana-mana.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for VIRGO AND THE SPARKLINGS
That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa sih anak-anak muda gak percayaan sama orang dewasa?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Sejujurnya, aku gak nyangka sampai sekarang blog ini masih ada. Karena, tahun 2021 lalu, aku sudah benar-benar siap untuk pindah total ke YouTube. Bukan karena capek nulis, tapi karena males ngurusin wordpress yang semakin ribet. Itulah sebab utama kenapa tahun kemaren itu My Dirt Sheet Awards ditiadakan. Tapi untungnya, 2022 adalah tahun penyembuhan bagi banyak orang. Termasuk bagi blog ini. Aku nemuin hostingan baru, yang less-ribet, walau punya kekurangan lain. Tapi who cares? Mari rayakan kesempatan untuk bisa bikin award-awardan lagi!!
Gak bikin award setahun membuatku jadi punya banyak waktu untuk refleksi. Dari situlah tema kali ini, Mirror, berasal. Afterall, award-awardan ini memang dibuat sebagai highlight dari kejadian setahun penuh. Kaledoiskop ala My Dirt Sheet. Dan bagi yang jeli, kalian akan bisa melihat juara tahun-yang-hilang itu terpantul dalam video nominasi masing-masing kategori.
Kita sudah membuang waktu satu tahun, mari langsung saja awards ini kita mulai – ada 14 kategori, dengan nominasi yang sudah dipatok jadi delapan supaya seruuu!!
TRENDING OF THE YEAR
2022 bakal dikenang sebagai tahun dunia kembali pulih. Tahun dunia mulai kembali normal seperti sedia kala. Tapi di samping itu, tahun 2022 juga bakal diingat orang sebagai tahun ngetrennya nominasi-nominasi berikut: 1. Citayam Fashion Week Gak mau kalah ama Paris Fashion Week, anak-anak SCBD turun ke jalan,dengan street clothes mereka dan sukses viral jadi berita di mana-mana 2. Gambar NFT NFT adalah karya dalam bentuk aset digital. Ketika orang tahu NFT bisa menghasilkan cuan, langsung deh dirubung dan banyak yang coba bikin. Meski ga benar-benar paham sistem dan segala macamnya 3. Hacker Bjorka Hacker Bjorka muncul sebagai salah satu reaksi dari kebijakan internet pemerintah, dan orang misterius ini langsung viral. Jelas saja, dia mengklaim punya bocoran dokumen rahasia negara dan data-data pribadi bernilai tinggi lainnya! 4. Lato-Lato Tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek… you know what, baru kepikiran harusnya aku ngasih mainan ini nominasi di Most Annoying Quote… 5. Mixue Saking menjamurnya, gerai es krim ini sampai jadi meme di mana ada bangunan – atau bahkan ruang kosong – di situ bakal jadi tempat Mixue jualan. 6. Pesulap Merah Viral sesuai membongkar dapur perdukunan, pesulap ini makin dikenal berkat penampilannya yang melawan pakem magician harus serba-hitam! 7. Spirit Doll Orang Indonesia memang paling lemah sama yang namanya horor-hororan. Tren dari Thailand ini pun lantas jadi ramai karena selebriti-selebriti tanah air mulai ikut-ikutan ngasuh boneka seolah benda itu ada jiwa manusia 8. World Cup Qatar Piala Dunia cuma empat tahun sekali. Makanya setiap perhelatannya selalu heboh. Apalagi yang sekarang ini result pertandingannya benar-benar kejutan. Terutama buat tim dari Asia
Daan, yang menurutku pantes untuk dapat The Dirty dari antara mereka semua adalaahhKapan lagi coba anak muda Indonesia punya aksi semacam ini? Aksi mereka ini ditiru, dibicarakan, bahkan mau ‘dibeli’ oleh publik figur. Tapi yang terpenting adalah mereka have fun dalam berekspresi. Sebagai generasi yang udah mulai diitung tua huhu, aku salut.
Berhubung tadi sudah kesebut, langsung aja kita lanjut dengan
Tenang, ku gak akan muterin suara mereka. Cukup tahun 2022 aja kuping berdarah mendengarnya. Dan yang dapat The Dirty adalaaahhSudah-sudah, jangan ditanyeaaa
To keep things hyped, selanjutnya aku bakal mempersembahkan dua kategori spesial untuk awards kali ini. Dua kategori dari dunia horor. Yang sebenarnya juga adalah tribute buat bebuyutan legendaris Laurie Strode dan Michael Myers, yang di tahun 2022 telah mencapai akhir dari ketubiran mereka.
FINAL GIRL OF THE YEAR / LAURIE STRODE AWARD
Somehow film horor modern belakangan ini sering lupa pada apa yang membuat final girl layak untuk, ya survive. Jadi yang berhasil ngalahin kejahatan. Ketika kebanyakan film horor berusaha sok woke dengan salah kaprah bikin heroine-nya segala benar dan terlalu kuat, para nominasi ini merupakan final girl tradisional dengan sudut pandang modern, yang benar-benar berjuang babak belur demi mengalahkan demon atau lawan mereka 1. Emerald, dalam film Nope Relasinya dengan sang abang jadi hati pada cerita. Dan lagi, siapa yang gak bersorak saat Emerald pasang aksi sepeda motor ala Akira? 2. Maxine, dalam film X Gak setiap hari kita dapat film yang protagonisnya adalah bintang film dewasa. But this girl has dream, dan gunain mimpi itu sebagai semangat untuk survive dari kegilaan di rumah peternakan 3. Naru, dalam film Prey Selalu diremehkan oleh teman-teman cowok sesuku, Naru – yang bisa jadi adalah pemimpin wanita pertama dalam dunia horor – buktiin bahwa ini lemah-kuat bukan soal gender. Si Predator aja kaget ngeliat aksinya! 4. Noa, dalam film Fresh If anything, Noa ngasih liat kalo cewek bisa membuat mereka masuk ke dalam masalah, maka mereka sendiri juga bisa mengeluarkan diri dari masalah. 5. Odessa, dalam film Hellraiser Bukan cuma ngelawan makhluk-makhluk dari ‘neraka’, Odessa adalah sosok yang berjuang melawan dan berhasil berdamai dengan kecanduannya 6. Sienna, dalam film Terrifier 2 Bagi Sienna, ini juga adalah perjuangan melawan demon dalam dirinya sendiri. Perjuangan untuk menjadi berani dan menjadi pelindung keluarga 7. Tara dan Sam, dalam film Scream Kakak beradik yang harus dealing with the facts bahwa ayah mereka (ayah kandung Sam, dan ayah tiri Tara) adalah pembunuh original yang meneror kota. 8. Tess, dalam film Barbarian Cuma Tess yang ngerti bahwa horor yang menimpa mereka sekalian di rumah airbnb itu sebenarnya adalah tragedi dari betapa berbedanya perempuan dan laki-laki memandang dan meng-experience dunia
Dan, yang paling komplit untuk melanjutkan legacy final girl dari Laurie Strode, adalaahh Perjuangan Sienna mengalahkan Art the Clown begitu epik. The icing on the cake tentu saja adalah kostum armor dan sayap dan pedang panjangnya. Sienna udah kayak valkyrie modern!!
SERIAL KILLER OF THE YEAR / MICHAEL MYERS AWARD
Horor modern juga kurang berhasil nyiptain karakter jahat yang ikonik. Karena kebanyakan sekarang main surprise dan jumpscare saja. Kurang banyak galian ke karakter jahat itu sendiri. Kurang bereksperimen, dan kurang gila. Sepeninggal Michael Myers, berikut adalah nominasi pengganti kekosongan dirinya: 1. Amber, dalam film Scream Maan, I really love gilanya Amber, dan merasa sayang dia gak bakal muncul lagi di film berikutnya. But at least, dia benar-benar mencuri perhatian dan did a thing yang tidak bisa dilakukan Ghostface lain; membunuh Dewey! 2. Art the Clown, dalam film Terrifier 2 Dibandingkan dengan Art yang gila, creepy, brutal, and nyaris always did a job done, Pennywise jadi kayak anak pramuka 3. Chucky, dalam serial Chucky season 2 Apa yang lebih ngeri dari Chucky? Berpuluh-puluh Chucky – dan semuanya sama gilanya gak pandang bulu bunuhin orang, tua atau muda! 4. Corey, dalam film Halloween Ends Pewaris Michael Myers dalam canon cerita. Corey adalah good-guy yang berubah jadi psikopat ketika seluruh kota tidak melupakan kesalahan dirinya 5. Esther, dalam film Orphan: First Kill Sedikit masa lalu dari pembunuh yang suka nyamar jadi anak-anak ini terkuak, dan orang-orang langsung ngeri mau kasian atau tidak 6. Jeffrey Dahmer, dalam film serial Dahmer-Monster: The Jeffrey Dahmer Story Yang ini cukup kontroversial, karena karakternya diangkat dari pembunuh nyata. Tapi Dahmer yang diperankan Evan Peters memang mengguncang banyak kepala yang menyaksikannya 7. Pearl, dalam film Pearl Pearl adalah Maxine dalam timeline berbeda, dan jika Maxine menyeberang ke dark side 8. Pinhead, dalam film Hellraiser Pinhead versi modern benar-benar terlihat keren tapi sekaligus juga sangat creepy
Piala The Dirty berdarah ini jatuh kepadaaa Michael Myers beneran bisa rest in peace, dengan Art melanjutkan teror di sinema horor. Badut supernatural dengan aksi brutal dan misteri benar-benar menarik hati. Props juga buat David Howard Thornton yang sukses menghidupkan karakter ini dengan pantomim yang bikin merinding. Ciri khas Art yang paling sakit: ketawa puas tanpa suara!
Terrifier 2 actually jadi film 2022 terbaikku (kalian bisa lihat daftar Top-8 Movies 2022 selengkapnya di sini) Jadi sementara kita ngomongin itu, ada tiga kategori lagi yang nominasinya berhasil diraih oleh film tersebut. Hmm, bakal menang juga gak yaaaa?
BEST CHILD CHARACTER
Kategori khusus yang bertahan jadi kategori tetap, karena ya, penting bagi kita untuk melihat bagaimana karakter anak-anak ditulis. Bahwa karakter anak bukan cuma korban yang harus diselamatkan, bukan cuma versi mini dari karakter dewasa yang gak punya purpose atau bahkan dialog. 1. Anya Forger, dalam anime Spy X Family Kayaknya Anya yang paling populer di antara nominasi ini. Karakternya benar-benar polos kayak anak kecil, sementara juga grounded dan aware sama situasi 2. Ara, dalam film Keluarga Cemara 2 Janji begitu bermakna bagi anak-anak, dan mereka akan terus nagih. Ara bener-bener ngingetinku sama masa kecil karena juga sering dijanjiin sesuatu tapi gak dikasih hahaha 3. Buddy, dalam film Belfast Kreatif, respectful, suka film, suka bermain, Buddy kayak teman kita dulu, tapi teman kita yang satu ini juga musti memahami kenapa kampung halamannya jadi seperti itu 4. Gabi Braun, dalam anime Attack on Titan Season 4 Part 2 Awalnya aku benci ama Gabi. Tapi melihat apa yang harus dia pahami dan mencoba mengerti posisinya, Gabi jadi begitu memantik simpati 5. Gwen Shaw, dalam film The Black Phone Gwen adalah adek yang gak kita punya. Selain itu di balik kepeduliannya sama keluarga, Gwen juga ‘dibebani’ oleh penglihatan yang jadi momok tersendiri baginya 6. Meilin, dalam film Turning Red Kepanikan dan ketidaktahuan Meilin tentang bertumbuh, membuat dirinya berubah menjadi panda merah! 7. Pinocchio, dalam film Guillermo del Toro’s Pinocchio Guillermo mengubah karakter tradisional Pinokio menjadi anak yang kini masih bandel dan penuh rasa ingin tahu, tapi juga cerdas dan berani untuk mengubah bandelnya itu menjadi bentuk cinta kepada ayahnya 8. The Little Pale Girl, dalam film Terrifier 2 Karakternya masih berbalut kabut misteri yang pekat, tapi anak ini niscaya adalah salah satu karakter anak terseram yang pernah aku lihat
Piala The Dirty jatuh kepadaaa Anak yang terdoktrin hate, melihat sendiri – bahkan melakukan sendiri – sesuatu yang diajari kepadanya untuk ia percaya, lalu mengalami pembelajaran bahwa hal tidak sesimpel yang diajarkan kepadanya. Gabi has the best writing – the best character development seantero Attack on Titan.
BEST SCENE
Berikut adalah nominasi buat adegan-adegan dari film, ataupun serial, yang either masih terngiang-ngiang serunya ataupun begitu populer sehingga jadi tren di sepanjang 2022 1. Clown Cafe – film Terrifier 2 Sekuen mimpi terpanjang dan tersadis!! 2. Hangman Rescue – film Top Gun: Maverick Ini adegan yang bikin aku nyesel gak nonton di bioskop 3. Jadi Batu – film Everything Everywhere All at Once Di tengah hiruk pikuk multiverse, muncul adegan ini, dan langsung jleb! 4. Monolog & Credit – film Pearl Pearl benar-benar Pearl show. Mau monolog, maupun ekspresi, semuanya ngena banget! 5. Nembak – film The Banshees of Inisherin Satu lagi adegan jleb, kikuknya Barry Keoghan spike this scene further 6. Payakan’ Revenge – film Avatar: The Way of Water Aku bersorak banget waktu ‘ikan paus’ ini balasin dendam ke manusia yang menghinanya 7. The Experience – film Nope Bicara tentang ‘binatang’ yang balas dendam ama manusia, Nope nawarin ‘pengalaman’ luar biasa di adegan ini 8. Weird Dancing – serial Wednesday Kabarnya Jena Ortega sendiri yang nyiptain koreografi viral ini – itulah kerennya kalo aktor benar-benar paham sama karakter yang dimainkan
And the Osca–eh salah, The Dirty goes to
So simple, tapi begitu filosofis
FEUD OF THE YEAR
Gak ada capeknya kita berkelahi. Padahal baru beres berantem ama pandemi, baru bangkit dari covid, eh sudah ada lagi yang diributkan. Inilah nominasi perseteruan ter—angot! 1. Amanda vs. Arawinda Atau sebut saja Misteri Tanktop Ungu 2. Art vs. Sienna Ikon slasher/gore modern yang baru saja memulai seteru panjang dan personal mereka! 3. Colonel vs. Jake Dendam kesumat turun ke clone si Colonel, jadi konflik utama film Avatar kedua 4. Depp vs. Amber Real courtroom drama yang ditonton semua orang di timeline tengah tahun lalu 5. Eleven vs. Vecna Di season terbaru Stranger Things, Eleven ketemu orang yang bahkan lebih kuat darinya 6. Laurie vs. Michael Legendary feud mereka mencapai babak akhir. Dua orang ini literally inspired dua kategori khusus kali ini! 7. Polisi vs. Polisi Kasus real juga, yang sampai sekarang kayaknya masih diusut – udah kayak sinetron 8. Ukraina vs, Rusia Awal tahun 2022 lalu, nyaris terjadi Perang Dunia Ketiga karena masalah antarnegara ini
Semoga piala The Dirty ini bisa jadi juru damai kepadaa Konflik mereka muncul pas banget saat pelakor lagi tren-trennya. Dan benar-benar membagi netijen. Sampai-sampai netijen pendukung masing-masing ikutan berantem!
Kadang heran juga, kenapa kita asik berantem. Kayak dunia kekurangan hal untuk ditangisi saja. Perang, gempa, tragedi di Kanjuruhan, di Itaewon, banyak yang berpulang di antaranya ada Mak Nyak, Ratu Inggris, Remy Silado, Richard Oh, enggak tau deh berapa jiwa yang berpulang di tahun 2022. Untuk itu marilah kita heningkan waktu sejenak untuk mendoakan mereka.
Harapan kita semua tentu saja semoga ada lebih banyak cinta di dunia. Untuk itulah kategori berikut dipersembahkan. Saatnya kita merayakan cinta dengan
COUPLE OF THE YEAR
Nominasinya adalah: 1. Alexa Bliss & Ryan Cabrera Buatku ini agak nyelekit sih, aku ditikung. But hey, kalo Alexa happy, aku juga happyyyy 2. Alithea & Djinn Hubungan unik antara manusia dan jin 3. Batman & Catwoman Dua superhero ini manis banget di film Batman yang baru itu 4. Dom & Rhea Ripley Pasangan jahat tapi kocak yang ngingetin kita sama Eddie Guerrero dan Chyna 5. Evelyn & Waymond Kayak versi live-action dari Beth dan Jerry di kartun Rick & Morty hihihi 6. Hae-Jun & Seo-Rae Lupakan vampir jatuh cinta sama mangsanya, pasangan kali ini lebih ‘ngeri’; Detektif jatuh cinta sama tersangka! 7. Sammy & Tay Melo
Pasangan nyebelin yang jengkelin banyak fans di AEW. Buy hey, they make a great team together 8. Tom Holland & Zendaya Everyone’s darlings, ikon remaja masa kini, psstt denger-denger mereka udah tunangan loohh.. ada yang patah hati??
Okeh, dengan senang hati The Dirty kategori ini diberikan kepadaaa
Waymond kepada Evelyn benar-benar cinta sejati. Dengar aja nih yang dia bilang “So, even though you have broken my heart yet again, I wanted to say, in another life, I would have really liked just doing laundry and taxes with you.” Meleleh semua universe!!
As for me, berikut kategori yang aku cinta banget!!
UNYU OP THE YEAR
Gimana gak cinta, kategori ini tempatnya cewek-cewek cakep nan berbakat yang menghiasi 2022, dan I hope sepanjang masa. Kayak yang sudah-sudah, kategori ini yang beda jumlah nominasinya karena aku simply can-not-choose! xD 1. Alyvia Alynd Lind Namanya lucu, ya, pake diulang-ulang. Kalo mau lihat aktingnya, bisa cek serial Chucky. Di season 2 Alyvia mulai perdalam rangenya 2. Daisy Edgar-Jones Selain jadi Noa di Fresh, dia juga main jadi gadis rawa di Where the Crawdad Sings. Keduanya bukan film yang bagus banget, but Daisy bisa belajar banyak dari sana 3. Jenna Ortega Cukup banyak seliweran di 2022. Jenna ada di Scream, di X, dan tentu saja di serial yang jadi populer karena cara dia menghidupkan karakternya, Wednesday 4. Joey King She’s come along way, dari jadi Ramona Quimby dulu hingga sekarang jadi anak yakuza di Bullet Train 5. Lee Eun-Saem Aktingnya sebagai Mi-Jin di serial zombie All of Us are Dead benar-benar bikin jatuh hati, padahal karakternya galak! 6. Mia Goth Belum apa-apa Mia udah mecahin rekor di sini. Nyabet nominasi Final Girl dan Serial Killer sekaligus. Bukti dari jagonya dia dual akting! 7. Mikey Madison
Sekilas milip Raline Shah gak sih? Mikey jadi Amber di Scream benar-benar definisi dari crazy chick yang keren abissss 8. Sadie Sink Max!! Sejak Stranger Things kayaknya dia terus mempertajam akting ya, soalnya semua penampilannya nyuri perhatian. 8. Zoey Deutch Di Not Okay, Zoey kocak dan cakep banget. Baru kali itu aku kasian ama karakter yang basically annoying haha
Sumpah ini aku milih pemenangnya susah sekali. Satu hari aku fix milih Mikey. Eh, hari besoknya berubah ke Sadie. Besoknya berubah lagi. 2022 memang jadi tahun yang manis berkat mereka-mereka ini. Tapi, karena tetap harus milih pemenang, maka aku akan milih satu yang lebih unik dari yang lain. Daaan, The Dirty dibawa pulang oleeehhh
For the first time ever, artis Korea yang menaangg, cihuiii.. Mi-Jin alias Ms.Shibal yang jutek bener-bener bikin jatuh cinta karena she’s so real dan somehow lucu. Habis nonton serialnya, aku memang langsung nontonin interview Eun-Saem, and she seems like totally asik-person. Cerdas pula soal akting dan film.
Dan ini sebenarnya rahasia karena memalukan, aku sempat nekat nge-DM Eun-Saem, ngasih lihat sketch Mi-Jin yang kubuat, tapi gak dibales hihihi
Anyway, kata orang love is a game. Dan inilah kategori buat
GAME OF THE YEAR
Aku juga excited sama kategori ini, karena tahun 2022 itu aku beneran bisa mulai fokus main game-game masa kini. Channel YouTube My Dirt Sheet mulai bisa ngehandle konten game, setelah rencana pindah total ke review format video tampaknya mulai bisa dicancel. Sehingga nominasi kali ini, komposisinya lebih banyak yang sudah aku mainin daripada yang masuk karena hype/popularitas tanpa dimainkan. So yea, inilah nominasinya: 1. Chained Echoes Aku terutama suka sama game pixel arts, dan Chained Echoes benar-benar RPG pixel arts paket kumplit! 2. Eiyuden Chronicles: Rising Ini adalah game pemanasan sebelum RPG utamanya rilis di tahun 2023. Dan game ini actually ‘kelanjutan’ dari dunia Suikoden! 3. Elden Ring Game ini populer banget, bahkan jika kalian bukan gamer, besar kemungkinan kalian pernah mendengar judul ini disebut 4. God of War: Ragnarok Kelanjutan dari God of War ini memang jadi salah satu game yang paling diantisipasi fans di tahun 2022 5. Infernax Game metroidvania sadis ini suprisingly menantang dan punya replay value yang tinggi karena punya begitu banyak cabang pilihan aksi yang bisa kita ambil sepanjang petualangan 6. River City Girls 2 Jangan anggap remeh karena kayak game ‘wibu’. River City Girls 2 actually beat them up yang sangat fun, kita akan sibuk menghajar orang dan nyelesaiin misi. 7. TMNT: Shredder’s Revenge
Nostalgia? Cowabunga!!! 8. Wordle Tebak kata yang sempat heboh banget di Twitter!
Baiklah tanpa banyak loading-loadingan, inilah pemenangnyaaa
Ketika aku bilang paket komplit, well bayangkan sistem rekruitment dan castle di Suikoden, robot-robot raksasa kayak di Wild Arms, cerita dengan waktu berbeda kayak Chrono Trigger, misi-misi tersembunyi, Chained Echoes punya semua itu. Plus battle system unik yang belum pernah ada sebelumnya, sistem level up yang juga beda banget, dan banyak playable karakter yang kocak. I have a really great time mainin game ini.
Promosi sedikit boleh dong ya, actually di channel YouTube My Dirt Sheet, aku dan teman-teman sekarang lagi mainin River City Girls 2 dan TMNT: Shredder’s Revenge. Jadi yang pengen ikut seru-seruan, bisa lihat-lihat ke sanaaaa
And you know what, itulah
MY MOMENT OF THE YEAR
Dengan dua platform, aku bisa lebih banyak ngasilin konten yang fresh, Blog My Dirt Sheet dengan hostingan baru sekarang jadi punya tampilan baru yang lebih enak untuk pengalaman membaca ulasan. Sementara channel YouTube, lebih rame lagi dengan konten seperti talkshow yang menghadirkan undangan-undangan seru, atau juga seperti yang dibilang tadi, konten main game yang seru-seru
Semoga gak pada bosen ya sama My Dirt Sheet
Agak aneh sih rasanya ngiklanin konten di sela-sela awards, tapi aku harus belajar cuek karena kategori spesial berikut ini isinya khusus untuk orang-orang yang putus urat malunya demi ya majuin konten atau promosiin karya mereka.
SHAMELESS PROMOTION OF THE YEAR
Tadinya kategori ini memang Bego of the Year. Tapi setelah dipikir-pikir, mereka pada pinter dong bisa kepikiran cara promosi yang nekad seperti ini. Justru yang bego kita karena kemakan strategi mereka. Jadi, yah, tahun ini Bego of the Year diganti dulu sama Shameless Promotion, dan inilah nominasinya 1. Deddy Corbuzier – dilantik jadi Letkol Tituler C’mon kalo kalian gak bisa lihat promosi silang di balik ini, mata kalian perlu digedein sedagunya Deddy 2. Disney – Pinokio dan film anak-anak sok ‘woke’ Trik andalan Disney belakangan ini adalah ambil agenda ‘woke’ dan masukin ke versi baru dari film-film mereka. Disney gak lagi punya cerita. Mereka cuma mau jual produk yang sama kepada penonton yang pengen dibilang modern 3. Geprek Bensu – ngaku di Paris Fashion Week Di saat anak-anak muda lokal bikin fashion week sendiri, ada beberapa orang yang malah ngaku-ngaku nampil di Paris Fashion Week, padahal cuma bikin acara sendiri di negara orang 4. Joko Anwar – thread clue film Film itu ibarat sulap. Tapi toh mana ada tukang sulap yang promoin pertunjukan mereka dengan ngasih kisi-kisi rahasia triknya apaan 5. KKN di Desa Penari – tayang berbagai versi Bukan cuma versi extended, film ini juga pake strategi rilis dua versi rating umur dan tayang berbarengan 6. KKN (lagi!) dan film-film lain – promo beli 1 dapat gratis 1 Actually Joko Anwar yang pertama kali ngritik kalo strategi promo buy 1 get 1 melulu tidak akan ngasilin hal yang baik kepada perfilman, kecuali jumlah penonton 7. Pawang Hujan Rara – remote AC
Maaan, itu aksi dan foto paling cringe seantero 2022. 8. Will Smith di Oscar – tampar dahulu menang kemudian Aksi tamparannya mungkin memang asli, tapi sebagai yang nonton WWE, ada yang di-staged pasti di sana. Soalnya urutan kejadiannya seems too perfect buat ngebuild up speech kemenangan Will Smith
Pemenangnya adalaaahhh
Taktik tayang bareng dua versi umur beneran ‘curang’, bikin miris karena sistem klasifikasi umur lembaga sensor ternyata cuma dijadikan bahan jualan. Di Luar gak ada tuh yang begitu. Harus nunggu beberapa bulan dulu baru bisa tayang versi lain dari satu film yang sama. KKN ini saking ngebetnya tembus 10 juta, bisa ditebak, juga rilis versi lain beberapa bulan setelahnya. Magically mereka bisa dapat spot tayang yang strategis.
Sampailah kita di penghujung ‘acara’. Sebelum masuk ke kategori puncak, kita penyegaran dulu dengan satu kategori lagi, kita akan melihat para nominasi Best Musical Performance. Semoga semuanya ada linknya di YouTube hihihi
BEST MUSICAL PERFORMANCE
1. Alpha “Duyung Senja”
2. Bheem & Ram “Naatu Naatu”
3. Farel Prayoga “Ojo Dibandingke”
4. Hector & Lyle “Take a Look at Us Now”
5. Lydia Tar “Apartment for Sale”
6. Porsha “Could Have Been Me”
7. Rooster “Great Balls of Fire”
8. Skullflower “Machinery of Torment”
The Dirty goes tooo Cover rock british yang jadi ngepop!
Seru juga ya menapak tilas apa-apa yang terjadi di tahun 2022 lewat format award. Memang yang sekarang jadi agak panjangan, karena siapa suruh bikin delapan nominisi per kategori hihihi.. Tapi gak papa, paling enggak jadinya semakin banyak yang bisa dimuat. Untuk kategori puncak
SHOCKER OF THE YEAR
mari kita simak runner-ups terlebih dahulu: 1. Tim Asia melaju di Piala Dunia! 2. Cody Rhodes balik ke WWE, di WrestleMania!! 3. Twitter dibeli Elon Musk!? 4. Twitter mau ditutup?! 5. Karen Dinner buka di Indonesia! 6. Anak presiden bisa pesan cetak uang sendiri!!! 7. Kominfo blokir situs-situs!?! 8. Di rumah Bupati Langkat ada kerangkeng manusia!! 9. Menantu ama mertua??!! 10. WWE tayang di Disney+Hotstar!!! 11. Jefri Nichol nantangin tinju!!
Sudah shock belum? Kalo belum, siap-siap nih.
Yang lebih mengejutkan dari itu semuanya adalaaahhh
Ku tak pernah menyangka bakal melihat Vince McMahon turun dari kursi kreatif, dan digantikan oleh Triple H.
That’s all we have for now. Semoga tahun 2023 lebih menyenangkan dan lebih seru.
Jaga kesehatan, dan selamat Tahun Baru!!!
Remember in life, there are winners. And there are losers
We still the longest reigning BLOG KRITIK TERPILIH PIALA MAYA.
“True love doesn’t have a happy ending, because true love never ends.”
Waktu telah membuktikan kisah cinta Galih dan Ratna, pasangan dalam cerita karangan bapak Eddy D. Iskandar tahun 70an, benar-benar adalah sebuah kisah cinta yang legendaris di Indonesia. Kisah mereka menginspirasi begitu banyak cerita cinta remaja yang muncul sesudahnya. Jika kita nemuin cerita yang cowoknya pendiam, atau puitis, atau kisah cinta yang terhalang status sosial, besar kemungkinan jika ditelusuri, cerita tersebut dapat pengaruh dari kisah Galih dan Ratna. Bahkan Ada Apa dengan Cinta? katanya juga terinspirasi – film itu berakhir dengan perpisahan di bandara, seperti Galih dan Ratna yang berpisah di kereta api. Sendirinya, Galih dan Ratna dalam Gita Cinta dari SMA telah difilmkan dalam dua periode waktu berbeda. Film originalnya tahun 79, juga lantas sukses mengorbitkan Rano Karno dan Yessy Gusman. Sementara adaptasi versi modernnya di tahun 2017, gak kalah berhasil bikin musik jadi trend romantis pada generasi muda. Kali ini, Gita Cinta dari SMA kembali diadaptasi, dihadirkan oleh Monty Tiwa dengan emphasis ke tahun 80an. Mengembalikan Galih dan Ratna ke dunia mereka yang colorful, penuh musik, dan puitis, dan membawa serta para penonton untuk nostalgia ke jaman SMA. Ah ya, cinta dan nostalgia memang pasangan serasi. Seperti Galih dan Ratna!
Cowok yang bersepeda ke sekolah dari rumahnya di pasar buku bekas. Cewek yang ke sekolah diantar ayahnya pake mobil sedan. Dari situlah kisah kali ini dimulai. Cewek itu, Ratna, anak baru. Tapi begitu dia sampai di sekolah, digodain sama cowok-cowok yang gak bisa lihat ‘barang’ baru – bening, pula!Ratna malah notice cowok bersepeda tadi. Cowok yang tampak cuek tapi dikagumi orang. Galih. Ya, seketika Ratna jadi suka sama Galih, dan cewek itu gak begitu malu-malu untuk menunjukkan ketertarikannya. Tinggal Galih yang sok play it cool sendiri. Interaksi ‘iya-enggak’ mereka di awal-awal itu sudah barang tentu bakal bikin penonton sekalian jerit-jerit gemas di tempat duduk masing-masing. Dan setelah puas ‘mainin’ perasaan kita seperti demikian, film memang lantas membuat Galih dan Ratna jadian. Tapi semua kemanisan romansa itu ternyata tidak seabadi janjinya. Karena di antara Galih dan Ratna berdiri Ayah Ratna. Sosok pemberang yang seratus persen menolak hubungan mereka. Sosok, yang terus mengingatkan Galih akan jurang status sosial yang memisahkan dirinya dengan Ratna.
Gak heran banyak penonton yang nantangin Dwi Sasono berantem begitu keluar dari bioskop hihihi
Walau endingnya nyelekit, tapi Gita Cinta dari SMA secara overall terasa punya after-taste yang menyenangkan. Sepertinya karena dunianya. Bahasa bakunya. Musiknya. Warnanya. Nuansa 80an memang punya peran besar bagi kita untuk dapat lebih menikmati cerita ini. Bahkan ketika kita bukan yang pernah ngerasain hidup di masa itu. Kayak aku. Nuansa artifisial yang dikeluarkan dengan kuat oleh film ini menjadi semacam lullaby, nina-bobo, bagiku. Dengan gampang membujukku untuk mematikan alarm ‘wah, ini mah standar teen love story antara dua karakter cakep tanpa alasan lebih jauh kenapa mereka harus jadi pasangan’ dan just nikmatin simpelnya dunia like it used to be. Kupikir, itulah pesona terkuat yang dimiliki oleh Gita Cinta dari SMA. Dunia yang sederhana nan puitis sebagai panggung dari permasalahan cinta anak muda yang tentu saja masih relevan hingga sekarang. Sehingga keluarnya jadi menyenangkan. Momen-momen kecil seperti ge-er karena dapat puisi berjudul sama dengan inisial nama, dilarang pacaran atau main ke luar rumah oleh ortu, rekam kaset untuk dikasih ke gebetan jadi terangkat lebih manis karena sekarang ada layer nostalgia di baliknya.
Ketika pesona dunia dan karakternya telah terestablish, film lantas mulai memperkuat konflik. Kalo ada satu kata untuk menggambarkan apa yang mencuat dari Gita Cinta dari SMA versi Monty Tiwa, maka itu adalah dramatis. For better and worse, karena memang dramatis di sini ada yang membuat film ini jadi bagusan, dan tak sedikit juga yang membuatnya terasa… over-the-top. Dan seperti guru di sekolah dulu biasanya suka memuji dahulu sebelum menasehati (“cerita karangan kamu sudah bagus, tapi alangkah baiknya kalo tulisannya jangan kayak cakar ayam!”), baiknya kita ngomongin dramatis yang bagus-bagus dulu dari film ini. Dari penulisan cerita, film ini banyak ngasih hal baru yang berujung pada dramatisasi yang diperlukan supaya film lebih menggigit. Pertama adalah pemisah antara Galih dan Ratna. Dibandingkan dengan film jadulnya, film ini lebih tegas dan keras nyebut bahwa ini adalah soal Galih yang anak jelata gak bakal pernah good enough bagi ayah Ratna yang orang kaya dan ningrat Yogyakarta, Klasik si kaya dan si miskin. Konflik ini membuka ruang bagi film untuk semakin melibatkan keluarga dari dua karakter sentral. Sementara juga tentu saja membuild up karakter Galih, yang harusnya karismatik tapi semakin terasa minderan sepanjang durasi berjalan. Karena halangan tersebut really gets to him, melukainya, sebagai seorang manusia laki-laki. Untuk menyeimbangkan perspektif, film mengembangkan konflik ini kepada Ratna sebagai persoalan tentang perempuan dan kebebasan untuk memilih. Ratna menyamakan posisinya dengan Roro Mendut, dari novel yang ia baca. Perempuan yang tidak bisa bersama lelaki yang ia pilih. Dan dari perspektif itu muncul hal terbaik kedua yang dipunya oleh film. Mbak Ayu yang diperankan oleh Putri Ayudya.
Mengutip obrolan dengan Putri Ayudya saat interview “Setiap keluarga pasti punya satu orang, tante atau om, yang mendukung kita” Memang begitulah Mbak Ayu. Dia mendukung Ratna untuk pacaran sama Galih. Dia bahkan membantu Ratna ngeles dari ayah dengan ide-ide seru. Actually peran Mbak Ayu di versi ini memang dibuat lebih besar, apalagi sekarang kita diperlihatkan lebih dalam backstory dari karakter ini. Bagaimana dia juga ngalamin ‘nasib’ serupa Ratna. She goes way back dengan ayah Ratna yang merupakan saudaranya, Permasalahan perempuan mandiri atas pilihannya jadi semakin kuat, dan relationship Ratna dan Mbak Ayu jadi salah satu hati pada film ini. Mbak Ayu actually membuat film ini berisi. Jika tidak ada dia, film ini bakal kosong. Ya, karena somehow, film tidak lagi full di kehidupan sekolah Galih Ratna (meski teman-teman mereka kayak Erlin, Anton, Mimi tetap ada), sehingga di sini Galih dan Ratna not really do anything selain bereaksi saat hubungan mereka dilarang. Mereka – khususnya Ratna – bahkan tidak diperlihatkan banyak mengalami pembelajaran. Dan masalah tersebut menurutku berakar pada directing yang kurang kuat. Directing yang hanya mengincar dramatisasi.
Aku notice directingnya agak kurang total itu dari nuansa yang terasa lebih seperti artifisial ketimbang genuine. Walau memang, perasaan menyenangkannya nyampe karena nostalgia dan karakter. Elemen-elemennya buatku, yang terasa setengah-setengah. Kayak, musical numbers. Film ini banyak menggunakan lagu, bukan hanya sebagai latar tapi juga penggerak cerita. Bahkan juga ada tarian. Tapi ya, pengadeganannya terasa… gitu aja. Hanya pasang kamera, drone, nari-nari di jalan. Dengan musik dan lagu sebanyak itu, aku heran kenapa tidak sekalian aja dibikin musikal. Kenyataannya film ini sama kayak film jadul, tapi dengan adegan nyanyi yang teatrikal, tapi gak jor-joran. Terus soal Yesaya Abraham sebagai Galih. Aku paham bahwa aktor gak harus bisa nyanyi beneran untuk mainin karakter yang bernyanyi. Tapi kupikir keputusan film ini tidak membentuk dulu paling enggak Yesaya beneran genjreng-genjreng dikit dengan gitar, adalah keputusan yang bisa jadi momok buat mereka ke depan. Karena gimana pun juga kedengarannya aneh saat semua adegan nyanyi di film ini terdengar seperti olahan studio. Bahkan adegan Galih latihan dengan gitar sendirian. Film harusnya lebih memperlihatkan perbedaan antara adegan nyanyi di panggung, adegan nyanyi sendirian, dan adegan nyanyi dalam bayangan Ratna – salah satunya dari suara nyanyian itu sendiri.
Beberapa adegan diarahkan supaya amat dramatis, sometimes it works, sometimes feels over. Yang berhasil itu kayak adegan lempar batu di danau, yang bahkan lebih emosional daripada film jadulnya. Ada satu adegan dramatis yang baru, yang emosinya juga dapet banget berkat penampilan akting para pemain. Prilly Latuconsina yang jago ngasih emosi di kalimat-kalimat panjang, Unique Priscilla dengan permainan emosi tertahan, Putri Ayudya dan Dwi Sasono yang luar biasa penekanan dan ekspresinya; mereka membuat adegan tersebut berhasil, meskipun cara ngesyutnya sangat datar, pengadeganannya hanya kayak mereka lagi baris-berbaris. Nunggu giliran buat ngomong. Aku menyebutnya sebagai drama smackdown; karena begitulah drama backstage di acara smekdon direkam. Superstar/talentnya baris berjajar di depan kamera, lalu marah-marah bergantian. Bicara soal posisi pemain, aku juga ngerasa ada sedikit aneh dari gimana mereka menempatkan Yesaya dan Prilly dalam satu adegan. Ratna dan Galih sejajar tu cuma saat mereka duduk di batang pohon, membahas surat putus dan masa depan mereka. Perbedaan tinggi badan keduanya, kupikir digunakan film untuk mempertegas perbedaan sosial yang jadi tema cerita. Tapi aku gak yakin. Karena lucunya, saat adegan Ratna mengusap pipi Galih pakai saputangan, dua-duanya berdiri, dan magically keduanya kayak sama tinggi! Nah ini contoh momen dramatis yang agak over, menurutku. Selain itu ada juga Ratna pake acara pingsan. Ataupun treatment Ratna bawain minyak angin dari pov Galih yang abis kena mental demi ngeliat Ratna dibonceng orang.
Tapi gak ada yang lebih over-the-top dibandingkan endingnya. Pilihan film ini dengan menaikkan kembali konflik di momen akhir (Ayah Ratna kembali muncul bahkan sampai main fisik segala) terasa aneh sekali. Tidak seperti pada film jadul yang memberikan Galih dan Ratna momen personal, menerima kenyataan mereka harus berpisah, dan saling menguatkan diri (di film itu mereka ngobrol sampai subuh!), yang berarti mereka berdua mengalami pembelajaran dan tuntas (meski ‘kalah’), film versi baru ini tidak punya momen-momen itu. Karakter Galih dan Ratna di film kali ini belum terasa tuntas. Mereka masih kayak di akhir babak pertama, yang mendapat tantangan dari ayah yang melarang, sementara pembelajarannya nanti ada di film kedua. Film ini atas keinginannya untuk jadi superdramatis, luput untuk melihat bahwa yang diperlukan bukan adegan ayah ngamuk sekali lagi, melainkan Galih dan Ratna yang harus belajar menerima bahwa mereka tidak bisa bersama. Setidaknya, untuk sekarang. Mungkin, untuk sekarang.
Cinta sejati adalah cinta yang abadi. Kita biarkan orang yang kita cintai pergi, karena hati kita tahu cinta kita kepadanya tak akan berubah. Cinta sejati tidak peduli memiliki atau tidak. Makanya, keadaan Galih dan Ratna ini tepat sekali dengan gambaran cinta sejati pada kutipan terkenal. Bahwa cinta sejati tidak punya happy ending, karena cinta sejati abadi tidak pernah berakhir.
Beruntung yang jadi tulang punggung film adalah skenario. Bukan arahan. Karena film ini punya materi dan penambahan konflik atau karakter yang baru, yang efektif dan emosional, tapi tidak dibarengi dengan bentuk yang benar-benar saklek dan terarah. Terutama bergantung kepada nostalgia dan dramatisasi, yang artifisial. Penampilan akting dari para pemain pun jadi sesuatu yang disyukuri di sini, karena mereka membuat semuanya work out nicely. Film ini secara objektif masih belum sempurna, filmnya masih terasa minimal dan agak kosong – melainkan hanya berisi momen dramatis, tapi toh berhasil menyentuh saraf-saraf emosi. I can’t help but jadi peduli sama Galih, Ratna, Mbak Ayu, dan karakter-karakter lainnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GITA CINTA DARI SMA
That’s all we have for now.
Jadi menurut kalian kenapa Galih dan Ratna bisa menjadi pasangan yang begitu fenomenal?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“Arts are the very human way of making life more bearable.”
Salah satu perasaan paling menyenangkan sedunia, salah satu momen paling penting dalam hidup, adalah saat menemukan orang yang memiliki kesukaan yang sama dengan kita, the ones who share our obsessions. You know, yang effortlessly saling mengerti, yang bisa jadi lawan bicara berjam-jam soal suatu ide. People who you want to ‘make an art’ with.
Masa remaja Connor diisinya dengan dengerin musik, yang awalnya disebabkan lantaran Connor (sukar dipercaya kalo ini adalah debut film dari Ferdia Walsh-Peelo, saking compellingnya!) ingin meredam suara berantem kedua orangtuanya. Hidup pada jaman Duran-Duran (aaa Lupus bangeett!) mulai memperkenalkan konsep musik video, Connor sebenarnya enggak tahu apa-apa soal musik selain sebagai pelarian. Permainannya pas-pasan, dia bahkan enggak familiar dengan aliran musik, pengetahuannya sebatas yang hanya ia dengar dari omongan abangnya, Brendan (peran Jack Reynor ini sedikit mengingatkan kepada kehangatan uniknya tokoh Jack Black di School of Rock). Karena masalah ekonomi, Connor dipindahsekolahkan ke public school yang menjunjung erat nilai-nilai Katolik. Di sekolah yang semua muridnya cowok tersebut, sepatu warna coklat Connor enggak boleh dipake; harus hitam! Life is such a prison bagi Connor. Awalnya, Connor cuma seadanya, cuma se-existnya aja. Dia enggak melakukan apa-apa terhadap hidupnya. He’s just go with it; Ayah ibu berantem; dia bikin jadi lagu, Bully datang; “I’ll just take the punch.”
Momen pertama kita mulai merasakan ‘api’ di dalam diri Connor adalah ketika dia memberanikan diri mendekati cewek yang selalu berdiri di beranda rumah seberang sekolah mereka. Connor ngajak kenalan, dan turns out si cewek kece adalah seorang model. Apa akal Connor agar bisa kenal lebih akrab dan dapetin nomer Raphina (aura misterius yang natural dari Lucy Boynton) yang setahun lebih tua itu? Connor bilang dia lagi mencari model untuk video clip band mereka. Masalahnya adalah, there was no band!
Bikin musik itu ternyata sama dengan bikin film. Adalah sebuah proses yang required us untuk menemukan orang-orang yang sevisi. Proses yang enggak gampang, tapi sangat menyenangkan. Apalagi begitu sudah ketemu yang bener-bener ‘klik!”. Mau tahu apa lagi yang sama seperti demikian? Mencari jodoh.
Lewat film ini, beberapa di antara kita mungkin akan bernostalgia, beberapa akan pengen jadi anak band, beberapa akan reflecting so hard dan ujungnya baper. Maksudku, film ini sukses bekerja dengan baik dalam beberapa tingkatan. PUNYA BANYAK ELEMEN CERITA, yang kesemuanya dikonstruksi very tight, diceritakan dengan well-thought dan highly coherent. Sebagai period piece, Kota Dublin di Irlandia pada tengah 80an terhidupkan dengan baik. Kita lihat anak-anak muda di sana, Connor dan temen-temennya, follows tren musik yang terus berkembang. Mereka juga terinspirasi dari film. Amerika sebagai kiblat, dan London adalah tempat yang ingin mereka tuju. Bahkan Synge Street, sekolah mereka, worked greatly sebagai simbol penjara, sebagai tempat penting yang menempa kreasi dan pemasok bahan bakar pribadi Connor. Setting waktu dan tempat ini actually terintegrasi sempurna ke dalam cerita.
“Drive It Like You Stole It” is my favorite!
Penggemar musik jelas akan terhibur. Selain memberikan referensi beberapa pemusik yang udah jadi ikon, film ini juga membuat kita berdendang dengan lagu-lagu original yang asik punya. This is a fun, easy listened to, musical film. Menulis sebuah lagu, mendiskusikan nada-nadanya, mencari – aku enggak tahu istilahnya dalam musik – ‘lead’ atau ‘hook’ yang jadi appeal buat lagu itu, kemudian membuat video klip, ngumpulin properti, mereka adegan; rangkaian proses memproduksi musik yang mungkin enggak semua kita tahu tersebut tergambarkan luar biasa menyenangkan oleh film ini. Dan perjalanan musik band mereka sungguh asik untuk disimak. Menyebut diri sebagai aliran futurist, anak-anak Sing Street berevolusi dari Duran-Duran yang funky ke The Cure untuk kemudian akhirnya found their own beat. Dari yang tadinya untuk mengimpress Raphina, Connor realized musik adalah senjata terkuatnya untuk mengekspresikan diri.
Ini drama komedi yang kodratnya adalah film sedih, it tugs so many our heart strings. Namun arahan film ini mencegahnya untuk bermuram durja. Arahannya membuat cerita ini bersemangat tinggi! Tidak mellow berlebih. Kita bisa menikmati film ini sebagai kisah cinta remaja. The really sweet one, kalo boleh kutambahkan. Setiap anak cowok pasti ngimpi punya pacar yang keren. Begitu juga Connor. Tapi baginya, Raphina adalah kenyataan. Charm antarkedua tokoh ini worked magically. Kedua pemeran menyuguhkan penampilan akting yang supergrounded, dan terasa teramat real. Natural. Kita bisa rasakan cinta yang genuine tumbuh, tak hanya pada Connor dan surprisingly – bahkan mengejutkan buat dirinya sendiri – pada Raphina. Namun apa enaknya cinta tanpa konflik, maka film ini menulis dengan menarik soal ‘beda dunia’ mereka dan berhasil membuat kita jadi sangat peduli sama nasib hati Connor. Lagu The Riddle of the Model hanyalah salah satu cara film ini mendeskripsikan relationship mereka di tahap-tahap awal. Membuat kiita mengantisipasi the bad outcome, we care for them, we want so much for them to be together in the end.
happy-sad
Pemusik basically adalah pemberontak. Kita juga bisa melihat film ini sebagai drama pembebasan diri dari sebuah sistem. Connor memakai riasan ke sekolah, meniru dandanan Simon Le Bon, David Bowie. Bukan hanya the looks, Connor mengimplementasikan juga attitude mereka ke dalam dirinya sendiri. Dia bahkan berakhir dengan nama panggung, Cosmo. Nama yang memiliki arti luar angkasa, as opposed to dunia sempit tempat ia tinggal.
Sebagai sebuah karakter, pertumbuhannya yang demikian ini membuat Connor begitu compelling. Kita sungguh terinvest kepada karakternya. Kita turut dibikin penasaran ke mana dia akan melangkah setelah ini, karya yang bagaimana lagi yang akan ia hasilkan, akankah dia sukses atau hanya akan berakhir seperti abangnya.
Yang membawa kita kepada cara ketiga melihat film ini. Sebagai drama persaudaraan kakak-beradik yang sangat emosional. Semua orang di sekitar Connor adalah individu-individu yang meninggalkan mimpi mereka karena, well, hidup harus realistis. Kayak saudara cewek Connor yang dulunya hobi melukis, namun setelah gede ia berhenti dan tekun belajar biar nilai di sekolah bagus. Abang Connor, Brendan, on the other hand, memilih dropout dari kuliah untuk mengejar cita-citanya sebagai pemusik. Sayangnya, sampai Connor remaja, Brendan belum berhasil meraih mimpinya itu. Namun sosok Brendan adalah guru bagi Connor. He listens and hang on to Brendan’s every words. Prinsip Brendan ‘kerjakan impianmu’ jadi semacam mantra yang membimbing Connor. As a character, Brendan ditulis dengan sangat kuat dan interesting. Dia sudah melewati banyak hal, endure so many hard things – kegagalan – di masa lalu. Dia ada pada titik hidup di mana pikirannya sudah begitu terbuka, dia mendukung semua orang yang punya mimpi, bahkan jika mimpi itu adalah menjadi karyawan. Baginya, Connor sudah lebih dari sekedar adik; Connor adalah dirinya waktu masih muda. And this creates a great conflict di dalam dirinya. Ada adegan di mana Brendan beneran menumpahkan segala emosinya kepada Connor karena Brendan tidak ingin Connor gagal, while deep inside it also hurt him karena ia tidak mau ditinggal sukses. Ia akan kehilangan arti jika Connor gets his dream come true. High note pada hubungan antara Connor dan Brendan ini ditulis dengan sangat indah.
Bagian terbaik dari sebuah film adalah bagian endingnya. Dan film yang terbaik adalah film dengan banyak elemen yang saling berlapis. Sing Street punya kedua kualitas di atas. Each of its stories berkumpul manis di akhir, pada lokasi yang disimbolkan oleh lautan lepas. Aku enggak mau spoiler banyak, namun perasaan accomplished, perasaan bebas, tergambar dengan megah. Setiap akhir film adalah suatu awalan yang baru, dan yes kita bisa merasakan gamangnya Connor menghadapi apa yang ada di hadapannya.
I enjoy every seconds of it. Tidak ada nada sumbang dalam film ini. It was beautifully written. It has heart and soul. Penceritaan yang sangat kreatif. Dialog-dialog membuat kita gatel pengen mengutipnya. Karakter-karakternya terflesh out dengan sempurna, bahkan temen-temen anggota band — the brothers of the same cause – dan bully langganan Connor mendapat jatah ‘hati’ yang cukup. It was highly well-performed. Cerita remaja yang bittersweet. Penuh great humor, pula. Dengan lagu-lagu yang catchy, yang menyuarakan ambisi Connor, ketakutannya, romantic feelings, his growing pains, akan tetapi membuat film ini tidak terasa pretentious. Malahan, lebih sebagai sebuah suara harapan yang menginspirasi benak-benak muda yang beruntung sudah menontonnya. The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for SING STREET.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners and there are losers.
Koala Buster Moon telah menyelamatkan teater di kota kecilnya. Dia melakukannya dengan menyelamatkan bakat-bakat di sana lewat kompetisi bernyanyi. Johnny si gorila, Rosita si ibu babi, Ash si landak rocker, Gunter si babi energetik, Meena si gajah pemalu; Buster Moon membantu mereka semua menemukan suara masing-masing. Sekarang, bertahun-tahun menikmati kesuksesan kecil mereka, Mr. Moon siap untuk mengejar kesuksesan yang lebih besar. Dia pengen mereka manggung di kota, di panggung yang lebih ternama. Dan semenjak seorang (err… tepatnya seekor) kritikus ngelepehin pertunjukan teater mereka, Moon jadi makin napsu untuk membuktikan diri. Nekat saja, dia memboyong para talent andalannya ke kota. Masuk gitu aja ke audisi di depan produser gede Jimmy Crystal si serigala putih yang ruthless, dengan persiapan yang minim. Bakatnya sendiri; sepik-sepik, memang berhasil membuat mereka dilirik. Dikasih slot mempersembahkan pertunjukan sendiri. Tapi pertaruhannya berat. Apalagi Buster Moon sama sekali belum nulis apa-apa tentang show musikal sci-fi yang ia janjikan, ataupun sama sekali tidak mengenal dan bisa menjamin singa rocker legendaris yang telah lama mengasingkan diri bisa hadir dan manggung bersama mereka semua!
Sutradara dan penulis naskah Garth Jennings paham ke mana harus melihat ketika ingin mengangkat cerita tentang dunia pertunjukan. Cerita tentang bakat dan menggapai mimpi digunakannya sebagai pondasi dalam film Sing yang pertama (2016) Di film sekuelnya ini, Jennings membangun cerita dari perjuangan ‘menjual’ bakat, bagaimana mengapitalisasi kesempatan. Sing 2 punya celetukan-celetukan kecil soal bisnis pertunjukan. Dan sebagai orang yang gak in-touch sama lagu-lagu populer (apalagi lagu kekinian), tema bisnis pertunjukan itulah yang lebih mudah untuk kunikmati saat menonton animasi hewan-hewan anthropomorphic ini.
P.T. Barnum dunia satwa
Sebagai kreator, sebagai produser, Buster Moon selalu punya jiwa oportunis yang bisa membuat dia kadang tampak sebagai orang jenius, dan kadang juga tampak sebagai produser nekat yang gak-bener. Moon berjalan di antara garis ini, dan somehow suara Matthew McConaughey terasa cocok untuk menghidupkan karakter yang ada di posisi kayak gini. Cukup berwibawa dan terdengar genuinely care untuk jadi leader, dengan sedikit ‘nada’ ngambang yang membuatnya terdengar ‘berbahaya’, in sense that he is talk first. Moon jadi protagonis yang dapat kita pedulikan pada akhirnya karena dia adalah karakter yang terus ngepush kesempatan untuk dirinya sendiri, dan juga demi orang lain. Dia ada di situ untuk memastikan bakat-bakat terdengar dan menampilkan pertunjukan hebat. Kita bisa relate karena tentu kita juga pengen didengar. Di film ini, Moon juga mewakili kita yang memang sering harus berkompromi jika ingin ‘nampil’. Di samping permasalahan Moon harus live it up janji-janji palsunya (janji yang terpaksa ia ucapkan hanya supaya mereka bisa nampil), Sing 2 juga menyeletuk soal titipan studio. Seperti misalnya, Moon harus ngecast anak produser ke dalam pertunjukan teaternya walaupun si anak itu gak bisa akting.
Karena sekarang udah kayak, bakat itu gak penting lagi. Yang penting adalah marketable. Pihak studio akan menilai talent dari apakah ada dari mereka yang bisa diuangkan. Membuatku jadi teringat sama permasalahan kontes-kontes nyanyi/bakat. Peserta akan bela-belain audisi walaupun antrinya panjang sekali. Hanya supaya kemampuan mereka dinilai oleh segelintir juri sebagai bagian dari acara tivi. Acara yang sudah jadi rahasia umum ada storyline dan segala macamnya. Those shows are never just about talent searching. Mereka sebenarnya hanya mau menjual cerita lucu, cerita sedih, atau cerita keberhasilan dari peserta untuk show televisi. Ratings. Bakat dibisnisin. Mereka seharusnya bernyanyi saja, rekam sendiri saja, sepuas hati. Bikin band sendiri. Terus main dan asah kemampuan. Enjoy talent sembari mempertajamnya. Inilah yang berusaha dilakukan oleh Moon. Dia ingin ngasih tempat untuk talent-talent, tapi harus berhadapan dengan studio yang mengecilkan mereka.
Tentu memang benar, to make it big, we cannot sell ourselves short. Kita harus ngepush, menantang diri sendiri. Nampil di panggung yang lebih besar, so to speak, harusnya dijadikan tantangan untuk menjadi lebih baik.
Padahal mengusung tema itu, tapi film ini kasiannya tampil ironis. Studionya clearly enggak mau ‘memberatkan’ film dengan penggalian itu. Studionya clearly hanya melihat Sing pertama sukses berkat cover lagu-lagu populer. Maka, Sing 2 hadir juga lebih fokus ke lagu. Karakter-karakternya jadi sekadar diadakan saja. Mereka diberikan plot tipis, dengan journey ke arah pembelajaran yang sama singkatnya.
Johnny, misalnya, dia harus belajar menari, di bawah ajaran koreografi profesional yang strict. In the end, semuanya ya salah si pengajarnya. Rosita, merasa tersingkirkan ketika dia digeser dari peran utama, karena dia yang takut ketinggian tidak sanggup melakukan adegan terjun bebas dan terbang di luar angkasa. Konflik pribadi/psikologisnya ini tidak dibereskan lewat pengembangan yang bertahap. Melainkan beres gitu aja dalam satu adegan. Meena punya masalah beradegan romantis, karena dia belum pernah pacaran. Belum kenal cinta. Solusi naskah untuk ini ya gampang aja. Tau-tau di luar ada gajah simpatik, jatuh cintalah Meena. Gunter, dan Moon, mereka nulis cerita on the way, dengan Gunter dengan kocak selalu mengubah-ubah situasi pada narasinya setiap saat. Mereka tidak punya momen kompromi atau apapun yang mengisyaratkan pembelajaran team work atau semacamnya. Permasalahan Moon menggarap show dari ide spontan dibuat terlalu gampang, they just made it. Sehingga pokok tema yang diangkat di awal jadi gak kena. Permasalahan studio ‘jahat’, sehingga kini mereka mengorbitkan diri sendiri, menjadi terlalu sederhana. Dengan sedikit, bahkan nyaris tidak ada pembelajaran yang dialami. Setidaknya, tidak ada yang mengajak penonton terinvolved.
Yang namanya Gina bukan si gajah, tapi Suki si kritikus lol
Cukup banyak diberikan porsi adalah tentang Ash yang berusaha membujuk Calloway – si singa legendaris – untuk kembali manggung. Relationship mereka ini bakal jadi hati film, jika memang dibahas lebih mendalam. Ash sudah seperti berkonfrontasi dengan dirinya dari film sebelumnya, dan Calloway juga punya konflik yang mudah menyentuh emosi kita semua. Namun bagian yang harusnya bisa jadi plot utama kedua film ditampilkan terlalu telat. Dan walaupun cukup banyak, tapi melihat dari bagaimana bagian mereka diposisikan – seringkali seperti selipan di antara adegan-adegan persiapan show – sepertinya studio memang menolak untuk menonjolkan ini. Sama seperti persoalan plot masing-masing karakter tadi, studio seperti gak mau penonton lebih fokus ke meresapi drama-drama itu. Studio maunya penonton nyanyi-nyanyi aja.
Bukannya mau nuduh, hanya saja, memang jadi terasa seperti studio gak percaya kalo penonton anak-anak akan bisa menyelami perasaan karakter. Dan bukan hanya film ini, banyak film lain yang seperti merasa mereka perlu ‘melindungi’ penonton (dan bukan hanya anak-anak!) dari real emotion. Film Backstagebaru-baru ini contohnya. Seolah real emotion itu momok yang bikin film jadi berat. Seolah real emotion itu bahaya untuk hiburan penonton. Padahal kalo dipikir-pikir, ngasih cerita yang soulless kayak gini, yang hanya berisi lagu-lagu supaya happy, justru lebih mengkhawatirkan. Menumbuhkan penonton yang gak mau memikirkan perasaan for the sake of hiburan.
Salah satu kritikanku untuk film pertama Sing adalah kurang banyak lagu original. Film ini ‘menjawab’ itu dengan melipatgandakan jumlah lagu-lagu populer. Sebenarnya enggak masalah jika lagu-lagu itu adalah penampilan para karakter di panggung show mereka. It’s okay kalo gimmick franchise ini memang pertunjukan musikal dari karakter hewan yang mengcover lagu asli dari dunia kita. Aku suka kok, final show film ini. Terutama pas Halsey nyanyiin lagu Could Have Been Me. Dibikinnya lagu rock itu jadi kayak pop, yang buatku masih keren dan worked (walau greget dari lirik “Wrrraapped in your regret” dari vokalis The Struts tetap tak-bisa tergantikan). Akan tetapi, film kali ini juga lebih banyak menggunakan lagu cover untuk adegan-adegan yang gak perlu ada lagunya. Nyaris setiap ada adegan baru, film akan memutar lagu populer. Mereka juga bermaksud lucu-lucuan dengan penempatan lagu-lagu itu. Tapi ya jadinya annoying sekali. Film udah jadi kayak klip musik ketimbang cerita.
Lagu-lagu selingan itu jadinya mendistraksi. Karena memang untuk distraksi itulah film memasukkan banyak sekali mereka. Film gak mau penontonnya merasa berat atau bosan oleh cerita. Apalagi ini film anak dengan tema bisnis atau panggung hiburan. Jadi film merasa perlu untuk masukin musik populer sepanjang waktu. Lagipula bukankah lagu-lagu pop itu yang bikin film pertamanya laku? See, ironis film ini sendiri lebih mikirin jualan. Menjadikan bakat menyanyi dan desain karakternya yang lucu tidak sekalian sebagai penghantar cerita dengan real emotion. Film ini bisa menjadi keduanya secara berimbang, tapi memilih untuk jadi dangkal. Jadi nyanyi-nyanyian nostalgia semata. Cerita dan pembelajaran karakternya dibiarkan sederhana saja. The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SING 2.
That’s all we have for now
Bagaimana menurut kalian tentang ajang-ajang pencarian bakat di televisi?
Share pendapat kalian in the comments yaa
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Coda adalah singkatan dari ‘Child of Deaf Adults” – Anak dari keluarga tunarungu. Coda, juga bisa berarti istilah untuk bagian penutup dalam sebuah komposisi musikal. Coda, garapan sutradara Sian Heder, adalah dua hal tersebut sekaligus. Film yang bercerita tentang Ruby, satu-satunya yang berpendengaran normal dalam keluarganya, yang sangat berbakat menyanyi dan menemukan kecintaan pada dunia musik. Dunia yang gak berarti apa-apa bagi ayah, ibu, dan abangnya. Simply karena mereka gak bisa mendengar betapa amazingnya suara Ruby. Ibu malah menyangka anak remajanya itu hanya sedang dalam fase ‘memberontak’, “Kalo ibu buta, kamu pasti ngelukis, ya” begitu katanya ringan ketika Ruby ngasih tau soal masuk kelas musik. Dan momen itu, aku yakin, juga dialami oleh banyak anak remaja. Tak peduli seberapa normal pendengaran mereka sekeluarga.
Karena Coda ini pada hatinya memang sebuah cerita coming-of-age yang relatable. Tapi, dia adalah cerita dengan suara yang begitu unik. Sehingga bahkan dengan film aslinya pun – ini adalah versi Amerika dari film Perancis La Famille Belier (2014) – Coda terdengar seperti sajian yang berbeda.
Belum pernah kan ngeliat orang bercarut pakai bahasa isyarat? Hihihi
Tentu, Coda dikembangkan Heder dari perspektif yang serupa. Keluarga yang quirky. Nyeleneh. Interaksi keluarga ini dipertahankan, Ruby yang kerap bertengkar dengan abangnya, pake bahasa isyarat. Ruby yang kesel sama ‘kemesraan’ ayah dan ibu. Itu memanglah pesona utama yang membuat cerita ini populer sehingga dibuat lagi. Ya, keluarga Ruby berbeda dengan orang-orang lain. Keluarga Ruby dipandang remeh. Dan hidup mereka enggak mudah. Tapi film memperlihatkan semua itu lewat perspektif yang tidak sekalipun mengiba belas kasihan. Keluarga Ruby bangga dengan siapa mereka, dengan kerjaan mereka. Dalam Coda, mereka adalah keluarga nelayan. Mereka mengarungi masalah yang sama dengan nelayan-nelayan lain di sana. Yang tangkapannya dibeli penadah dengan harga rendah. Yang merasa dirugikan lebih jauh oleh kebijakan perdagangan dan penangkapan ikan yang baru diberlakukan. Mereka tau mereka akan baik-baik saja. Selama ada Ruby.
Ya, selama ini Ruby memegang peranan besar dalam keluarga. Ruby ikut melaut, membantu mengoperasikan dan komunikasi kapal. Ruby jadi juru bicara. Dalam tawar menawar harga, dalam rapat. Dalam apapun. Film menitikberatkan ketergantungan ini dengan memperlihatkan Ruby bahkan harus ada di sana saat ayah dan ibunya konsultasi ke dokter mengenai masalah yang mendera area privasi mereka. Kebergantungan semacam itulah yang jadi titik awal konflik. Karena Ruby yang sudah beranjak dewasa, mulai menemukan dunianya sendiri. Dia mulai naksir cowok, dia mulai serius menjajaki tarik-suara. Tentu saja, gak lama jadwal Ruby mulai bentrok dengan jadwal kerjaan keluarga. Semua pilihan mendadak menjadi tough choices bagi Ruby, karena dia sadar keluarganya membutuhkan dirinya tapi sebaliknya dia tahu bahwa dia juga butuh untuk menapaki jalan hidupnya sendiri. Semua lapisan permasalahan itu mengumpul semua membentuk emotional depth yang dalem banget. Membuat film ini jadi menarik-narik hati kita, membuatnya hangat oleh haru dan cinta, tanpa sekalipun terasa overdramatis.
Kehidupan keluarga Ruby dalam rumah tangga dan dalam bermasyarakat, menambah realisme ke dalam cerita. Kita percaya yang dialami Ruby bisa terjadi pada anak dalam keluarga manapun. Masalah keluarga tunarungu tersebut mendadak jadi masalah universal. Untukku, aku melihatnya sebagai masalah yang relatable bagi remaja karena Ruby dalam cerita ini dealing with keluarga yang tidak bisa melihat value dari kemampuannya. Penyanyi tapi orangtuanya tuli. Mereka gak bisa tau, gak bisa mengerti how good she really is. Jadi ya, remaja yang suka musik tapi disuruh jadi karyawan kantoran, remaja yang pandainya bulutangkis tapi disuruh jadi PNS, yang tulisannya bagus tapi disuruh jadi sekolah dokter aja, mereka adalah Ruby-Ruby dalam keluarga yang ‘tuli’ sama suara anak mereka. Solusi untuk masalah ini adalah bagaimana membuat orangtua kita mendengar ‘suara’ tersebut. Maka film Coda ini bisa jadi penguat. Bisa menjadi pengingat bahwa keluarga itu ya sebenarnya saling membutuhkan. Karena jika Ruby dan keluarganya yang berkekurangan saja bisa menemukan jalan keluar, tidak ada alasan untuk kita tidak menemukannya.
Hubungan dalam keluarga tidak berjalan satu arah. Yang satu membutuhkan yang lainnya. Anak akan membutuhkan orangtua, sebagaimana orangtua pun membutuhkan peranan sang anak. Maka dari itulah, anak dan orangtua harus saling mengenali. Masuk ke dunia masing-masing.
Dari situlah datang aspek beauty yang kuat dimiliki oleh film ini datang. Pertengahan film hingga ke akhir udah kayak parade adegan-adegan keluarga yang indah. Yang hangat. Keluarga Ruby yang datang ke sekolah menonton pertunjukan musik meskipun mereka gak bisa mendengar apa-apa (ngeliat mereka yang malah menonton dari reaksi penonton sekitar itu adegan yang supersweet banget) ke adegan ayah meminta Ruby menyanyikan ulang lagu kepadanya, dan ayah mencoba mendengar dan mengerti lagu tersebut dengan cara yang ia bisa (easily adegan paling bikin netes air mata, dan kandidat nominasi untuk adegan terbaik di My Dirt Sheet Awards tahun depan!) hingga ke adegan saat…. ah, tonton sendiri deh. Film ini penyelesaiannya penuh oleh beautiful moments. Yang juga digarap dengan sama sensitif dan beautifulnya.
Heder tahu dia gak perlu apapun selain memaksimalkan karakter-karakter yang menghidupi ceritanya. Sehingga dia benar-benar menaruh kita ke dalam perspektif. Ketika adegan keluarga Ruby nonton pertunjukan nyanyi tadi, misalnya. Saat Ruby nyanyi solo, film justru menarik semua suara dari layar. Kita tidak mendengar suara cantik Ruby. Kita tidak mendengar apa-apa. Karena memang itulah yang persisnya didengar oleh keluarga Ruby. Kita jadi tahu apa yang mereka rasakan. Build up pada sekuen pertunjukan musikal tersebut juga bener-bener diperhatikan sehingga momen terakhirnya jadi luar biasa. Di awal kita melihat ayah dan ibu Ruby malah sibuk ‘ngobrolin’ hal lain. Namun ketika giliran Ruby, kita yang dibuat ikut tidak mendengar jadi melihat ayah, ibu, dan abang Ruby tersebut tidak hanya memusatkan perhatian mereka, tapi juga berusaha ‘mendengar’ Ruby dari sekeliling. Dan kita dibuat mendengarkan dalam cara mereka mendengar. Film ini bijak sekali, tahu persis memainkan perspektif. Timingnya efektif sekali. Sebaliknya, ketika nyanyian Ruby memang harus didengar (seperti pada adegan ayah Ruby meminta dinyanyiin tadi), film memastikan lagu yang kita dengar benar-benar mencerminkan keadaan yang dialami, dan bermakna bagi Ruby dan ayahnya. Lagu tentang bagaimana seseorang bergantung kepada yang mereka cintai tersebut menambah bobot yang banyak sekali untuk hati film ini.
Meski dijual sebagai drama musik, tidak perlu ngerti belajar musik untuk dapat menikmati film ini
Bahkan untuk adegan-adegan kecil pun, film ini mengerti untuk tidak melakukan dengan berlebihan. Urusan cinta-cintaannya Ruby; elemen itu dibutuhkan untuk membuat karakter Ruby makin ter-flesh out. Tapi kadarnya harus pas, supaya enggak mengambil alih persoalan utama yakni Ruby dan keluarganya. Yang dilakukan film ini, apa coba? Benar-benar pas. Ruby tidak pernah jadi karakter yang bucin, melainkan tetap pada jalur yang manis. Begitu juga sebaliknya; dengan pembullyan yang ia terima. Tidak pernah film jadi kayak ‘sinetron’, yang menjalin interaksi antara karakter anak remaja yang satu dimensi jahat atau semacamnya dengan Ruby yang nelangsa. Penampilan akting dan arahan serta naskah jelas yang mengakibatkan ini semua.
Didaulat sebagai pemain utama, Emilia Jones memainkan Ruby dengan segenap hati sehingga tidak mungkin bagi kita untuk tidak peduli dan tidak sayang kepada karakternya. Dia berbakat, tapi juga kikuk dan tidak benar-benar pandai untuk mengekspresikan diri. Adegan-adegan dia adegan musik dengan guru yang exceptionally idealis dan nyeni sehingga jadi kayak komikal (satu-satunya aspek yang too good to be real di film ini) digunakan dengan efektif oleh film sebagai saat-saat untuk menunjukkan perkembangan personal Ruby. Dia juga dimainkan dengan penuh cinta kepada keluarga, tapi di saat bersamaan Jones juga membuat Ruby memancarkan sedikit, katakanlah, kelelahan dan dia ingin break free, dalam cara yang tidak annoying.
Yang mengangkat Coda dari originalnya adalah representasi. Heder enggak ragu untuk mencasting aktor-aktor yang memang tunarungu untuk memerankan ayah, ibu, dan abang Ruby. Tidak seperti film originalnya yang menggunakan aktor berpendengaran normal. Dan ini tentu saja selain lebih respek terhadap komunitas tunarungu yang direpresentasikan, tapi juga menambah aspek realisme yang berusaha ditonjolkan oleh film. Gak sampai di sana, supaya gak jadi sekadar gimmick atau apa, Heder memback up karakter-karakter tersebut dengan lapisan. Ibu Ruby (Marlee Matlin) adalah – atau bukan adalah – seorang mantan model (ini jadi salah satu running-jokes dalam cerita), dan film membuka kesempatan untuk karakter ini menjelaskan apa makna kehadiran anak normal bagi diri dan keluarganya. Abang Ruby (Daniel Durant) juga punya pandangan sendiri terhadap peran Ruby dalam keluarga, yang berkenaan dengan posisinya sendiri sebagai anak sulung, cowok pula. Dia akan menambah bobo konflik tersendiri yang tentu saja kita welcome sekali ke dalam cerita. Dan tentu saja, ayah Ruby (Troy Kotsur) yang sudah dijelaskan sedikit lebih banyak di atas tadi. Dia yang kepala keluarga punya tanggung jawab, dia yang kelihatan paling dekat dengan Ruby, dia yang paling ‘bertingkah’ – in a lot of ways. Cerita Coda hidup lewat karakter-karakter ini.
Resolusinya mungkin dapat terasa terlalu cepat bagi beberapa penonton, dengan permasalahan-permasalahan kecil dalam cerita belum terikat sempurna. Namun bagiku memang itulah poin cerita. Urusan Ruby dengan keluarganya memang bukan sebuah urusan yang patut dibesar-besarkan. Memang sebenarnya sesimpel mengeluarkan suara, dan mendengarkan suara tersebut. Masalah komunikasi. Dan mengenai hal-hal lain yang belum kelar, ya masalah memang bakal terus ada. Film ini tentang keluarga yang akhirnya saling mengerti dan itu membuat mereka jadi keluarga yang semakin kuat meski sekarang mereka tidak lagi bersama secara fisik, bukan tentang problem yang lantas jadi beres. Yang perlu diperhatikan adalah film di akhir telah memperlihatkan bagaimana keluarga ini sekarang punya dan mau menempuh cara lain untuk berurusan dengan problematika sehari-hari, sebagai tanda kekeluargaan yang semakin menguat.
Buat yang pengen ngajak keluarga nonton bareng, CODA bisa disaksikan di Apple TV+ https://apple.co/3J2UFU7
Ekspektasiku nonton ini adalah yaah, aku bakal nonton cerita anak yang dibully karena keluarganya berbeda, kemudian menemukan cinta – kepada musik dan kepada cowok – yang berlawanan dengan kepentingan orangtua, yang pada akhirnya membantunya berurusan dengan keadaan keluarga tersebut. Film ini secara garis besar memang seperti itu, tapi tidak sedramatis atau semenye-menye yang kubayangkan. In fact, tidak pernah dia menyuarakan seperti demikian. Melainkan ini berhasil jadi cerita yang terasa unik. Menawarkan sudut pandang baru dengan lucu dan kikuk di awal, dan lantas benar-benar indah dan hangat sebagai penutup. Dia juga terasa real dan relatable. Biasanya, aku punya aturan penilaian yang ketat untuk film-film yang bukan original. Namun untuk kali ini, teruntuk film ini, aku rela sedikit melunakkan aturan tersebut. Karena dia berhasil tampil tetap cantik, dan malah seperti memperbaiki versi originalnya. The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for CODA.
That’s all we have for now
Apakah kalian juga punya hal yang menurut kalian penting, tapi tidak bisa ‘didengar’ oleh orangtua, tidak punya value yang sama di mata mereka? How do you dealt with that?
Share with us in the comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Seperti semua cerita memalukan lainnya, awarding ala-ala ini juga bermula dari Facebook.
Nun jauh sebelum aku punya blog khusus ngulas film, dulu aku suka nulis semacam ‘personal-literatur’ di notes Facebook. Dan di akhir tahun 2009, aku bikin cerita rangkuman kejadian-kejadian yang terjadi dan menimpaku tahun itu. Baru di 2011-lah, konsep rangkuman tersebut berubah menjadi per-kategori. Kayak award show. Terpengaruh heavily oleh segmen The Dirt Sheet milik Miz dan John Morrison di WWE. So yeah, itulah cikal bakal atau origin dari awarding serta blog ini sendiri.
Konsep The Dirt Sheet di WWE yang tahun berikutnya itulah yang kuadopsi saat melebarkan diri dari FB ke blog beneran. Mulai dari catchphrase “winners and losers” hingga ke acara award yang ngasal dan suka-suka aja. Seiring waktu, aku jadi pencinta film dan mulai giat menonton dan nyari pengetahuan tentang film. Sehingga blog ini pun lebih fokus ke ulasan, dan ‘yang dinilai’ di award pun ikut bergeser; Dari yang tadinya berasal dari hal-hal yang kualami, kuamati, di manapun, sekarang jadi lebih banyak nyerempet tentang film dan sosial media.
Dan gak kerasa, sekarang ternyata udah yang ke-10 kalinya (tahun, iye, tahuun!) aku bikin awarding kayak begini di blog yang aku juga gak nyangka masih ada – dan ngelewatin cukup banyak evolusi. Aku sendiri juga kaget, excitement aku nulis dan ngerangkum kaleidoskop-yang-nyaru-sebagai-awarding ini masih sama kayak pas pertama kali bikin. Rasanya masih superseruu!! Padahal tahun 2020 gak exactly tahun yang ramah…
Ya, selain sebagai penanda full-circlenya sepuluh tahun Award ini, fokus kali ini juga tentu saja kepada 2020 itu sendiri. Tahun yang bagi sebagian besar manusia normal adalah tahun yang mengerikan. Merenggut kita dari kebiasaan normal. Membuat kita bertempur dengan penyakit yang menyebar lewat satu-satunya yang membuat manusia itu manusia; sosialisasi. Bagaimana dengan kalian, berapa menurut kalian angka yang sudah dicetak oleh tahun 2020?
Karena, inilah skor tahun 2020 menurut My Dirt Sheet!
TRENDING OF THE YEAR
Oke, menurutku kita semua tahu, tahun 2020 itu tahun milik siapa. Jadi gak usah basa-basi, inilah pemenang The Dirty untuk Trending of the Year:
Ilustrasi di atas (credit buat siapapun yang bikin) benar-benar mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Bermula dari kalelawar yang dijadiin sup, Covid-19 udah mengambil alih dunia. 2020 praktisnya bagi kita hanya berlangsung tiga bulan – cuma sampai Maret. Karena setelah itu semuanya hanya tentang survival kita dari corona. Virus ini mengubah gaya hidup, menguak sisi buruk, dan memercikkan banyak pengaruh lain – positif dan negatif – ke dunia yang kita kenal.
Tapi, kalo kalian masih penasaran sama tren apa aja pernah nongol di 2020, berikut mention buat para nominasinya: 1. #Blacklivesmatter Seolah dunia gak bisa lebih horor lagi, hashtag ini jadi viral setelah insiden polisi bertindak semena-mena terhadap warna kulit di Amerika, yang memicu gerakan yang melawan praktik rasisme yang masih senantiasa ada di masyarakat nyaris di seluruh dunia. 2. Bu Tejo Sosok yang memungkinkan film pendek Tilik menjadi viral. Karakter ini dibahas dari segala sudut oleh beragam warna netijen. Whether Bu Tejo adalah stereotipe atau gambaran nyata, yang jelas ibu bermulut tajam ini sudah sukses jadi idola 3. Dancing Pallbearers Gak heran meme pembawa peti jenazah yang menari ini jadi viral. After all, komedi adalah mekanisme terbaik manusia. Dan 2020 memang adalah tahun dengan angka kematian yang tinggi 4. Kekeyi Selegram dan bintang Youtube yang terkenal karena… ah katakanlah, karena keahlian tutorial make up dan video clip musiknya. Tengah 2020 aja, subscribernya udah nyampe satu juta 5. Kopi Dalgona Bulan-bulan pertama masa karantina atau PSBB, kopi dalgona jadi pengalih perhatian yang trendi, saat semua orang berusaha untuk menyajikan sendiri kopi campur krim yang katanya enak ini 6. Parasite Film yang paling banyak dibicarakan oleh sinefil. Menang gemilang di Oscar, mendobrak begitu banyak pintu rekor dalam catatan sejarah penghargaan film bergengsi di dunia itu sendiri. 7. Sepedaan di Tengah Jalan Di masa pandemi, semua orang pada pengen sehat. Jadi beberapa ada yang merogeh goceknya, membeli sepeda termutakhir, dan merasa memliki separuh jalan raya!
Sepertinya aku gak perlu mengingatkan berapa persisnya angka kasus dan kematian karena Covid-19 di akhir tahun, karena semua itu masih berlanjut hingga sekarang. Begitu banyak korban. Belum lagi bencana-bencana yang lain. Di Januari itu ada banjir di Jakarta, lalu disusul oleh kebakaran hutan gede-gedean di Australia, bahkan katanya sempat mau ada Perang Dunia Ketiga! Gak heran jiwa yang menuju Great Beyond di film Soul itu jumlahnya banyak banget. Atuk dan Oomku ada di antara mereka.
Maka, mari kita Mengheningkan Cipta,
kita panjatkan do’a-do’a kepada mereka – mungkin kalo bisa juga sedikit kata maaf karena menyepelekan kematian mereka karena kepala kita terlalu keras untuk percaya Corona itu ada.
Kita dedikasikan
MOMENT OF SILENCE
ini untuk mereka-mereka, serta para tenaga kesehatan yang baik yang telah gugur maupun yang masih terus berjuang tanpa kenal lelah.
Mengheningkan Cipta
….
….
Mulai!
….
….
….
….
….
….
….
….
Selesai!
With that being said, aku gak akan biarkan Award ini jadi gloomy karena bencana dan trauma yang dibawa oleh Covid. Karena penyakit itu, bukan dia-lah yang kuat sebenarnya, melainkan karena kekonyolan kita yang menghadapinya. Sikap dan reaksi kitalah yang memberikan kesempatan besar kepada pandemi tak-kenal ampun itu untuk terus eksis.
Sehingga, lewat kategori spesial berikut ini, aku ingin mengajak kita semua untuk merayakan reaksi-reaksi beragam manusia dalam menghadapi si trend 2020.
BEST REACTION TO CORONA
Nominasinya adalah: 1. Bebasin Napi Sementara rangorang diharuskan mengurung diri di rumah, para napi yang tadinya udah aman di dalam sel, malah dibebaskan menuju rumah masing-masing. Dengan efektif menambah calon korban – either korban pandemi atau korban kriminal-yang-diulangi-lagi 2. Bikin Tugu Emangnya siapa sih yang gak mau selfie bersama makhluk paling terkenal seantero 2020? 3. Dangdutan Kalo Taylor Swift bilang “shake it off”, maka orang-orang di negara kita beda lagi. Mereka bilangnya “jogetin aja!” 4. Diskonin Turis Alih-alih menghentikan penerbangan, pemerintah di Indonesia yang jago melihat peluang malah menggenjot pariwisata dengan ngasih diskon untuk turis asing berkunjung ke Indonesia. Rasakan langsung sensasi hidup di tengah Corona!! 5. Jadi Pocong Untuk mastiin penduduk daerah mereka disiplin ber-PSBB, dua orang penduduk sebuah desa di Lamongan nekat berjaga sambil cosplay jadi Pocong. Bercandanya memang level Halloween di April Mop 6. Jualan Kalung Ada gula ada semut. Ada penyakit, ada obat. Maka para petinggi di Kementan jualan kalung yang katanya anti-corona. 7. Ngarang Teori
Nyiptain film dan lagu tentang corona udah biasa. Di antara pemusik, ada yang namanya disebut sebagai jerinya oleh anak gaul sosmed, ngarang sesuatu yang lebih kreatif. Teori konspirasi di balik bencana pandemi. 6. Nimbun Masker Setara dengan jalan pikiran pemimpinnya yang, beberapa penduduk yang punya jiwa bisnis tinggi, dengan sigap memborong masker, tisu toilet, hand sanitizer, dan beberapa perlengkapan esensial lain untuk dijual kembali dengan harga tinggi
Seringkali aku jadi mikir, jangan-jangan penanganan corona gak pernah terlalu serius karena memang ada peluang bisnis yang gede dibawa oleh pandemi ini? But anyway, inilah pemenang The Dirty untuk Reaksi Terbaik: At least, reaksi mereka memang berdasarkan untuk pencegahan virus yang lebih baik
Setali tiga uang dengan itu, kategori yang berikutnya diumumkan adalah penghargaan untuk kebegoan paling hakiki yang pernah dilakukan umat manusia di tahun 2020. Marilah kita sambut para nominasinya dengan elu-eluan yang dahsyat.
“Elu! Elu! Elu!!!”
BEGO OF THE YEAR
1. Buku Film Kemendikbud Jenius dan dogol mungkin jaraknya memang hanya ‘sebenang’. Tapi jika kalian – dan begitu juga dengan sejumlah penulis lain – membaca buku yang penuh typo, ungkapan aneh, kalimat yang kayak terputus, dan istilah yang salah, maka jelas tidak akan salah menempatkan buku ini ada di kotak yang mana 2. Covidiot Terms untuk orang-orang yang bego dalam menghadapi covid-19. Entah itu karena gak percaya, atau ngambil kesempatan, atau malah ngejelekin orang yang mengutamakan kesehatan ketimbang keviralan. 3. Hamil Karena Berenang Komisioner KPAI mengaku menemukan sesuatu di jurnal ilmiah. Yakni jenis sperma super yang bisa hidup dan berenang mencari mangsa di kolam renang. Penemuan yang saking ‘jenius’nya aku sampai gak yakin si Ibu kesandung hoaks di bagian mana; supersperma atau jurnal ilmiahnya… 4. Karen ‘Spesies’ ini terlahir di Amerika yang lagi krisis sosial, dalam lingkungan gabungan dari salah kaprah feminis dan salah kaprah masalah rasis. Mind you, spesies ini bisa lebih berbahaya daripada covid, karena selain membawa senjata api, perempuan-perempuan itu juga selalu benar. 5. Penonton Film Milea Filmnya sendiri pintar. Culas, lebih tepatnya. Kita-kita yang nontonnya-lah yang udah sukses dibego-begoin. Sekian jumlah orang telah tertipu beli tiket film untuk nonton cuplikan-cuplikan no effort. Dan banyak yang ngaku suka pula sama ‘film’nya! 6. Pertandingan Money in the Bank
Konsep MITB kali ini cukup unik. Cowok ama cewek digabung. Arenanya bukan ring, melainkan satu gedung. Namun nyatanya yang kita dapatkan adalah pertandingan konyol – semacam food fight dan komedi sketch, dengan editing yang poor. Way to waste such a good concept.
Dan anugerah yang lebih malu-maluin ketimbang Razzie ini jatuh kepadaa.. Basically, nyaris semua nominasi Best Reaction to Corona tadi masuk ke dalam istilah Covidiot
Semoga gak ada yang berantem karena dua kategori di atas. Karena, bukannya apa-apa, tapi kategori Feud of the Year kami sudah punya daftar nominasi yang lengkap dan tinggal nunggu keputusan pemenang. Jadi kalo mau berantem, tahun depan saja ya. Jangan kuatir, Corona juga dipastikan oleh Pemerintah untuk tetap ada, kok!
FEUD OF THE YEAR
Nominasinya adalah: 1. Amerika vs. TikTok Salah satu deklarasi di masa-masa akhirnya menjabat presiden, Trump mendeklarasikan perang terhadap TikTok, buatan Cina yang diyakininya menjual data-data pengguna Amerika 2. Geprek Bensu vs. I am Geprek Bensu Seteru branding antara dua franchise ayam geprek (so last year!) yang setelah dipikir-pikir lebih cocok masuk Shocker of the Year. Karena, serius aku baru tahu, ternyata keduanya berbeda!! 3. Habib Rizieq vs. Nikita Mirzani Atau lebih dikenal dengan pertengkaran tukang obat melawan wanita tunasusila. Mungkinkah seteru mereka ini akan mewakili seteru gender-role yang kian ngehits di kalangan SJW? 4. Jefri Nichol vs. Falcon Pictures Single-handedly nyingkirin WWE vs. Twitch dari daftar nominasi, karena yang dihadapi Nichol di sini actually adalah apa yang terjadi kalo WWE benar-benar mempermasalahkan penampilan superstarnya di media/platform lain. Seteru kontrak yang kedua belah pihak sama-sama punya poin ‘benar’ 5. Joe Exotic vs. Carole Baskin Nah kalo ini, baru, seteru yang kedua belah pihaknya sama-sama ‘mencurigakan’. Musuh bebuyutan yang sama-sama merasa lawannya bukan penyayang biantang yang baik. Pertengkaran mereka dikipas menyala lagi oleh serial dokumenter Tiger King di Netflix. 6. Sasha Banks vs. Bayley Klasik dari teman jadi lawan. Build up Sasha lawan Bayley udah dari setahun sebelumnya, dan di 2020 kita baru dapat klimaksnya. Yang dimainkan dengan character-work sangat bagus dari kedua superstar. 7. Telkom vs. Netflix
Siapa di sini yang pake Indihom, pas streaming Netflix kualitas gambarnya cetek? Nah, ditengarai penyebab itu adalah kesirikan Telkom kepada Netflix yang gak kunjung usai sepanjang tahun 8. Ukhti vs. Kawat Berduri
Di Twitter ada yang ngumpulin kumpulan klip-klip para ukhti yang berjuang dengan motor mereka di jalan raya. Enggak jelas juga mereka berjuang melawan apa, aturan lalu lintaskah, atau keignoran sendiri terhadap cara mengemudi yang baik dan benar. Melawan kawat berduri inilah yang paling bikin aku ngakak karena seperti puncak dari ‘perjuangan’ tersebut.
The Dirty jatuh kepadaaa… Mereka berdua salah, aku gak mau memihak tapi tbh aku masih yakin kalo Carole memang memberi makan suaminya kepada harimau
Orang berantem biasanya dibumbui oleh trash talks, sebagai penyedap pertengkaran mereka. Membuat kita betah menyimak ketubiran mereka. Tapi, ada juga talks atau omongan yang justru bikin kesel. Gak semua komen atau quote atau meme lucu untuk terus diulang-ulang.
Kategori berikut ini akan memberikan penghargaan buat Quote paling annoying, yang sukur-sukur setelah dikasih piala, mereka menghilang dari muka bumi. Dan membawa Covid serta bersamanya
MOST ANNOYING QUOTE
Nominasinya adalah: 1. “Ikan hiu makan tomat” 2. “Iri bilang, Boss!” 3. “Karena pembahasannya agak sulit” 4. “Ku menangiiisss membayangkan..” 5. “Si kecil mulai aktif ya, Bun!”
Dan jeng-jeng-jenggg, pemenangnya a-da-laaaaah.. Pemerintah yang benar-benar tone deaf. Dan malas. Mendengarnya bikin aku… menangisss membayangkaaannn
Yea, I know mungkin si ‘ku menangis’ itulah yang harusnya kumenangin. Paling enggak, sebenarnya dia bisa menang sebagai Adegan Terbaik, jika kategori tersebut masih seperti di tahun 2013 saat pertama kali dimunculkan. Karena saat itu, kategori Best Movie Scene masih untuk lucu-lucuan. Tapi sekarang aku ingin lebih kritikal terhadap film. Dan lagi, penghargaan beneran untuk adegan terbaik memang masih kurang di luar sana.
Jadi, marilah kita simak nominasi Adegan Film Terbaik sepanjang tahun 2020
BEST MOVIE SCENE
Para nominasinya adalah: 1. City tracking – (“The Vast of Night”)
And The Dirty goes to….. The power of filmmaker yang beneran bikin film dengan berani dan punya suara
Selain nonton film, selama lockdown kita menghabiskan waktu di rumah paling banyak di antaranya adalah dengan main video game. Sebelum masuk ke pengumuman kategori berikutnya, aku mau umumin perihal My Dirt Sheet sekarang udah aktif juga ngereview di Youtube, dengan konsep yang agak berbeda. Yakni ngereview sambil main game! Dan game-game berikut ini boleh jadi bakal dimainin berikutnya.
GAME OF THE YEAR
Nominasinya adalaaaaaaa —– loading —— aaah: 1. Among Us
2. Animal Crossing: New Horizons
3. Crash Bandicoot 4: It’s About Time
4. Final Fantasy VII Remake
5. Resident Evil 3
Game udah mulai kayak film aja, banyakan sekuelnya… Tapi at least, sekuel game ngasih sesuatu yang benar-benar harus jelas berbeda dari originalnya.
Oke, inilah, pemenang The Dirty sebagai Game Tahun Ini: Di masa pandemi, everybody is a SUS (alias dicurigai OTG)
Bahkan di dalam game kayak Among Us pun kita bertengkar satu sama lain. Kayak kurang belajar PPKN aja. In fact, segala kekacauan reaksi dan kekeraskepalaan orang-orang berhadapan dengan situasi seperti pandemi ini seperti ya karena memang kurang edukasi. Level negara aja lebih percaya kata influencer ketimbang kata-kata scientist.
Untuk itulah, maka My Dirt Sheet kali ini memberikan penghargaan khusus untuk guru-guru atau pendidik yang udah menghibur dan somewhat mendidik kita dengan ilmu dan kepandaian mereka
TEACHER OF THE YEAR
Nominasi untuk kategori ini adalah…. 1. Frank Tassone (“Bad Education”) Diadaptasi dari tokoh nyata, Frank adalah guru yang populer di sekolah, terkenal ramah dan bijak. Bagaimana kita menyingkapi jika ternyata guru seperti ini ketangkap basah korupsi? 2. Joe (“Soul”) Joe begitu sibuk mengejar mimpi sehingga ia sendiri gak sadar betapa banyak orang-orang di sekitarnya menjadi lebih baik berkat didikan dan bimbingannya. 3. Martin (“Another Round”) Guru yang satu ini gokil banget; karena merasa dirinya udah jadi membosankan, maka dia menerapkan salah satu penelitian tentang alkohol. Dia minum sebelum ngajar! 4. Mr. Shaibel (“The Queen’s Gambit”) Kita bisa belajar dari siapapun. Mr. Shaibel membuktikan hal tersebut. Karena meskipun dia ‘cuma’ janitor, tapi berkat ajarannyalah Beth Harmon jadi punya mental dan attitude seorang juara catur. 5. Taat Pribadi (“Guru-Guru Gokil”) Guru gokil versi Indonesia. Tadinya dia benci banget ama guru, tapi begitu ngerasain berada di tengah murid-murid saat menyamar jadi guru, Taat jadi menemukan cinta.
Dan, guru yang akhirnya jadi pahlawan dengan tanda jasa karena punya The Dirty adalaahh
Di tangan pendidik kayak Mr. Shaibel itulah masa depan anak-anak bisa cerah. Kalo di film, di tangan penulisan naskah lah, karakter anak-anak bisa punya modal kuat untuk masa depan yang cerah. Karena jadi bisa dimengerti dan dimainkan perfect oleh aktor cilik nantinya.
Kali ini pun, kategori Karakter Anak Terbaik dihadirkan kembali
BEST CHILDREN CHARACTER
dengan nominasi sebagai berikut: 1. Becky – “Becky” Becky adalah Home Alone dengan tingkat violence maksimal! 2. Christmas – “Troop Zero” Christmas ngingetin kita untuk jadi diri sendiri dan tidak conform ke standar buatan sosial. 3. David – “Minari” David yang terlahir Amerika, tapi tetap tak melupakan jiwa Korea-nya. 4. Flora – “The Haunting of Bly Manor” Flora boleh jadi creepy dan aneh, tapi semua itu ia lakukan demi melindungi orang-orang yang ia cinta 5. Mary – “The Secret Garden” Mary menunjukkan kepada kita kekuatan dari memupuk imajinasi dan harapan. 6. Miles – “The Haunting of Bly Manor”
Miles adalah peringatan untuk tidak berkubang dalam kehilangan dan terbujuk rayu setan. 7. The Willoughby Children – “The Willoughbys”
Anak-anak Willoughby sangat unik, karena bermain dalam imajinasi gelap anak-anak yang menyangka mereka gak suka dengan orangtua sendiri
Dan The Dirty diberikan kepadaaa… Perfectly splendid!!
Dari anak-anak, kita beralih ke calon ibu anak-anakku…haiayaaassssaphambyaarr XD Unyu op the Year, salah satu kategori original My Dirt Sheet Awards, dari tahun ke tahun selalu jadi kategori yang paling susah untuk ditentuin pemenangnya. Karena semuanya cakep-cakeeepppp hihihi
UNYU OP THE YEAR
Dan inilah para nominasi yang udah malang melintang di internet dan perfilman sepanjang 2020: 1. Alexa Bliss Dari Goddess, Alexa berganti menjadi karakter yang unyu tapi creepy. Ini adalah kesekian kalinya Alexa masuk nominasi, mungkinkah penampilan barunya ini membawa berkah? 2. Anya Taylor-Joy Dari Mak Comblang ke juara catur ke mutant petarung, Anya Taylor-Joy yang juga udah sering nongol sebagai nominasi, kini punya tiga penampilannya itu sebagai jurus pamungkas untuk mendapatkan piala! 3. Joey King Dari remaja yang menyimpan rahasia hingga remaja yang memendam cinta menggelora, Joey King siap menjadi penantang kuat berkat aktingnya yang natural 4. Kathryn Newton Dari remaja tak-populer kemudian berubah menjadi seorang pembunuh berantai, semua itu dilakukan Kathryn Newton dalam satu film yang sama. Penampilan dual aktingnya merupakan salah satu tantangan unik di tahun 2020 5. Millie Bobby Brown Dari yang awalnya dikenal sebagai gadis cilik misterius dengan kekuatan psikis, Millie Bobby Brown berevolusi menjadi gadis muda yang enerjik, supel, dan cerdas dalam membongkar misteri.
See, semua nominasi ini membekas di hati. But there’s only one true winner. Dan inilah pemenang yang membawa pulang The Dirty berhias pita pink… Checkmate!
Selagi aku membayangkan punya pasangan kayak mereka, mari kita rayakan cinta beneran yang udah membuat 2020 menjadi tahun yang hangat, di tengah segala keterbatasan akibat pandemi. Tapi awas, jangan sampai baper!
COUPLE OF THE YEAR
1. Abby & Harper
Menjadi pasangan berarti harus saling mengerti dan memahami, seperti Abby dan Harper yang tadinya udah mau putus tapi berakhir happy ending 2. Baskara & Sherina Kita pikir kita dan pasangan yang paling uwu? Well, look at them and think again 3. Hinode & Miyo
Suka sama orang pasti ada alasannya. Dan alasan Hinode dan Miyo saling cinta ini akan membuat kita klepek-klepek sendiri 4. Jake & Amy
So happy akhirnya Jake dan Amy akhirnya dikasih momongan 5. Jamie & Dani
Kisah cinta Jamie dan Dani yang akhirnya harus terpisah dunia, memang sehangat dan semenyayat romansa yang dibalut horor! 6. Lars & Sigrit Menjadi pasangan juga berarti harus saling dukung. Tengok saja perjalanan cinta Lars dan Sigrit di atas panggung karir menyanyi mereka 7. Otis & Mandy
Romansa klasik ‘beauty & the beast’ selalu punya pesona tersendiri, khususnya ketika dibawa ke dalam ring WWE 8. Zayn & Gigi Satu lagi pasangan seleb real-life yang sukses bikin netijen ber-uwu uwu ria
Dan inilah The Dirty sebagai simbol cinta untuk pasangaaannn…. Tadinya kirain bakal cringe, tapi ternyata jadi salah satu dari sedikit sekali storyline yang kocak dan berbeda dari WWE di 2020
Di tengah kondisi yang semakin memprihatinkan, kita memang perlu mengisi dunia dengan lebih banyak cinta dan… musik!
Kategori berikut ini dijamin akan membuat kita terhibur dengan penampilan musik yang lain dari yang lain
BEST MUSICAL PERFORMANCE
Nominasinya adalaaah 1. Aubrey Plaza “Get Ready for Judgment Day”
2. Baby on Twitter “Killing in the Name of”
3. Baby on Twitter II “I Wonder What’s Inside Your Butthole”
4. Class 1-A “Hero Too”
5. Fire Saga “Double Trouble”
6. Miz & Morrison “Hey Hey”
7. Slashstreet Boys “Die by My Knife”
8. Troop Zero “Space Oddity”
Dan dengan bangga The Dirty kami berikan kepadaaa… Gagal sebagai Couple of the Year, Lars dan Sigrit justru berhasil merebut hati kita dengan penampilan musik yang konyol dan menghibur!
Sebelum aku jadi keterusan mengkhayal, kayak beberapa teman kita yang masih bahagia dengan menganggap semua baik-baik saja dan Covid akan hilang dengan sendirinya sehingga tetap berkeliaran dengan masker yang dijadiin sebagai bagian dari gaya, baiknya aku segera balik menghadap realita. Menatap apa-apa saja yang sudah kukerjakan di tahun 2020.
MY MOMENT OF THE YEAR
Sebagai seorang Cancer yang memang lebih senang menyendiri, nyaris sepanjang tahun berdiam di rumah – untuk pertama kalinya lebaran sendirian (cuma sama kucing) – memberi aku banyak waktu untuk reinventing self. Dengan kebiasaan menonton yang juga semakin longgar karena pindah ke platform, aku akhirnya bisa mengejar untuk bikin konten di channel My Dirt Sheet yang Alhamdulillah sudah diaktifkan tahun 2020 ini. Awalnya berisi main game, yang kemudian ditambah dengan segmen ngereview sambil main game! Yang belum subscribe silakan subscribe yaa. Blog ini gak akan kutinggalin, channel itu hanya untuk perpanjangan ulasan dan penyaluran hobi bermain-main aja hehehe
Awalnya sih karena memang aku sempat diundang ngereview bareng oleh CineCrib. Aku jadi ngerasain juga keluwesan yang bisa didapat dari menyampaikan langsung, yang gak bisa sepenuhnya tersampaikan lewat review tulisan. Jadi, review di channel itu akan berfungsi sebagai pelengkap saja. Selain itu, aku juga diberi kesempatan untuk menjadi juri di kompetisi film pendek. Lumayan, aku jadi sempat juga dimention satu twit barengan Jokowi dan orang-orang penting. Dan kalo ada satu kejadian yang bikin aku gak tidur semaleman, maka itu adalah kejadian berpayung-payung ria (padahal malamnya mencekam) bersama Gadis Sampul.
Namun begitu, kejadian paling mengesankan buatku di tahun 2020 – jauh lebih mengesankan daripada pencapaianku dapat King of Games 10 kali di Duel Links, adalah ketika….
Menang Liga Komik (kuis-kuis tentang film) Kompasiana! Serius deh, ini perjuangannya berdarah-darah, timku harus benar-benar ngatur strategi!
Dan sampailah kita ke penghargaan terakhir. Penghargaan paling greget yang bisa ditawarkan oleh My Dirt Sheet.
Aku gak yakin setelah melihat semua yang dikerjakan Pemerintah di tahun 2020 kita masih bisa kaget, tapi inilah kategori puncak
SHOCKER OF THE YEAR
Sebelum sampai ke pemenangnya, simak dahulu para runner-ups ini: 1. Parasite dari Korea menang empat Oscar, dan mencetak sejarah! 2. Edge kembali berlaga di atas ring!! 3. Utang Temon ke Muklis nyampe 250 juta!!! 4. Valentino Rossi cheated death! Twice!! 5. Undertaker main TikTok! 6. Everything is cake!!! 7. Mudik beda ama pulangkampung!?! 8. The Dirt Sheet Miz and Morrison is back!! 9. Es Krim Viennetta juga comes back!! 10. Tapi es krimnya beda ama yang dulu!!?! 11. Video UFO Pentagon!!
12. Monolith kayak film 2001: A Space Odyssey ditemuin di beberapa tempat!!!
Oke, tarik napas dalam-dalam…
Udah?
Inilah yang paling mengejutkan di antara semuanya…: Di saat aku baru bikin youtube karena lockdown, orang di luar sana udah mecahin kode serial killer paling rumit abad ini!!!
Jadi, begitulah.
Semoga sebagian besar juara di 2020 ini enggak jadi juara bertahan di tahun depan nanti. Dan untuk itu memang keignorant kita semua harus cepat-cepat dienyahkan. Jangan sampai ada lagi selebrasi-selebrasi gak penting. Jangan dipelihara lagi denial-denial hanya untuk mempercantik citra diri. Kita semua punya banyak waktu untuk merenung sendiri di rumah. I hope you all have wonderful year ahead.
Jaga kesehatan, dan selamat Tahun Baru!!!
That’s all we have for now. Remember in life, there are winners. And there are
We still the longest reigning BLOG KRITIK TERPILIH PIALA MAYA.
“You have to be determined to change the world … Even though nothing changes.”
Semua orang bekerja keras supaya jadi sukses. Semua orang ingin sukses, well, demi alasan yang beragam. Mulai dari tujuan yang noble seperti membahagiakan keluarga. Hingga yang sedikit lebih personal. Ada yang bekerja keras menjadi sukses supaya tidak perlu lagi memperkenalkan dirinya. Ada pula yang bekerja keras menggapai sukses supaya bisa mengubah dunia. Levee, karakter dalam film Ma Rainey’s Black Bottom yang diadaptasi dari teater, ingin sukses supaya bisa seperti Ma Rainey si penyanyi blues tersohor itu. Supaya produser musik kulit putih tunduk dan mendengarkan apa maunya. Karena Levee punya pandangan baru mengenai musik blues, that he knows better, dan dia ingin menaikkan derajatnya demi keluarga. Ya, Levee pengen sukses untuk ketiga tujuan tadi. Maka dari itu, cerita film ini akan berakhir mencekat bagi dirinya.
Keseluruhan cerita Ma Rainey’s Black Bottom berlangsung dalam kurun satu hari, dan practically sebagian besar berlokasi di satu tempat yang sama. Jadi ceritanya memang akan sangat contained. Cerita ini berlangsung di gedung rekaman musik. Ma Rainey yang terkenal itu akan ngerekam album, tapi dia belum datang. Sehingga kita dibawa ke basement, berkenalan dengan empat anggota band pemusiknya. Salah satunya adalah Levee, si peniup terompet. Pemusik muda berbakat, yang punya visi dan ambisi besar. Levee ingin menulis musik sendiri. Dia bahkan sudah menyiapkan satu untuk dipitch kepada produser rekaman ini. Ada sedikit ketidakcocokan antara Levee dengan Ma, mainly karena Levee sedikit mengubah aransemen lagu Ma, dan dia percaya gubahannya ini bakal lebih laku. Yang terang saja ditolak oleh Ma. Ketidaksamaan mereka berujung pada ‘rusuhnya’ proses rekaman.
Jika Levee bersedia melakukan apapun untuk mengorbitkan dirinya sendiri – termasuk enggak koperatif dengan band, maka Ma juga tidak kalah sukarnya untuk diajak bekerja sama, at least bagi produser rekaman. Namun begitu, ada begitu banyak yang bisa kita simak di balik gambaran kedua karakter ini. Lewat kisah Levee dan Ma Rainey yang lagi rekaman musik di Chicago 1920an ini, film secara khusus menyoal masalah rasisme yang masih terus bergulir, dan secara umum juga membahas dinamika keahlian yang dimiliki oleh seseorang dengan kuasa yang menyertainya. Kayaknya Ma Rainey ini-lah yang mempelopori musisi harus banyak maunya kalo disuruh nyanyi
Karena film ini tadinya adalah naskah teater, maka memang akan banyak sekali dialog yang akan kita dengar. Tapi jangan khawatir, tak akan sedetik pun dari film ini yang bikin kita mengucek mata yang berair karena kebanyakan menguap. Sebab craft film ini dalam menghidupkan dialog-dialog, yang ditulis dengan cerdas dan menantang, adalah tingkat juara.
Pertama tentu saja soal permainan aktingnya. Semuanya bagus banget. Yang bikin was-was itu adalah karakter Ma Rainey, karena biasanya karakter yang berasal dari tokoh asli kayak gini ekstra sulit karena tuntutan perbandingan dengan versi aslinya. Karakter kayak gini punya kadar seimbang yang harus dicapai sehingga hasilnya tidak tampak seperti parodi, melainkan berhasil menghidupkan dengan respek. Viola Davis berhasil untuk membuat Ma versi dirinya tak tampak sebagai parodi ataupun tak tampak hanya sekadar bermain ‘pura-pura’. Meskipun permintaan Ma dalam film ini terdengar komikal, tapi lewat ekspresi Davis kita merasakan urgensi. Kita merasakan weight dan tensi yang real, bahwa karakter ini gak main-main ketika dia minta kola dingin sebelum rekaman (dan tak akan mulai rekaman sebelum ada kola). Kita juga dapat merasakan karisma sosok Ma Rainey tersebut. Secara desain naskah, karakter Ma ini dimaksudkan sebagai ‘antagonis’ dari Levee, tapi film ini tidak berniat untuk membuat semua hitam-putih. Sehingga tantangannya adalah membuat penonton melihat sesuatu di balik cara pandang Levee terhadap Ma. Dan film ini berhasil. Permainan akting para aktor sangat membantu mencapai dinamika yang diinginkan.
Menurut IMDB, ini adalah film terakhir Chadwick Boseman. Istilahnya, ‘swan song’ buat Boseman. Dan mengetahui hal tersebut, membuat film ini terasa semakin mencekat saja. Boseman main film ini sambil berjuang dalam pengobatan kanker, yang ultimately merenggut nyawanya. Aku tau aktor profesional selalu memberikan kerja maksimal dalam setiap pekerjaan mereka, tapi melihat aktingnya yang begitu intens – khususnya di satu adegan monolog mempertanyakan Tuhan – dalam film ini, I wonder apakah Boseman ‘tahu’. Karena emosi yang ia tunjukkan tampak amat, sangat real. Amarah dan terlukanya karakter Levee ini menguar kuat di balik sikapnya yang tampak konfiden akan perubahan besar yang bakal ia bawa melalui bakat musiknya. Sama seperti Ma tadi, walaupun tokoh ini didesain sebagai protagonis, tapi lewat akting yang benar-benar tepat memaknai naskah, Levee juga seringkali membuat kita khawatir, atau kita tidak merasa setuju dengannya. Range karakter ini juga luar biasa. Di awal kita akan melihat dia dengan senyum dikulum “aku tahu kapan harus tersenyum, aku bisa tersenyum kepada siapapun yang ku mau” dengan ambisi terasa kuat di balik sifat optimis, dan di akhir saat dia tampak menyangkal dan meluap, kita bisa merasakan penyesalan dan pembelajaran merebak di hatinya. Boseman berpindah dari arahan yang menyuruhnya untuk subtil ke meledak, dengan sangat precise. Tanpa terbata melainkan sangat meyakinkan. Tak pelak, perfilman benar-benar telah kehilangan aktor sehebat Chadwick Boseman. Kalo kata Mr Sneecbly “You’re gonna be a footnote on my epic ass!”
Kedua, ya tentu saja tulang punggung film ini. Naskah. Penulisannya keren banget. Walaupun isinya orang-orang ngobrol – mau berdebat atau bercerita – tapi tidak monoton. Ada eskalasi yang terasa. Percakapan mereka pun sangat imajinatif. Misalnya ketika berbincang soal analogi ras kulit hitam dengan makanan. Benar-benar fantastis untuk disimak. Pun terasa kepentingannya sebagai menyuarakan struggle ras yang seperti tak akan ada habisnya.
Komentar tentang perjuangan ras memang jadi pilar utama film ini. Film ingin kita ikut duduk mengobrolkan soal bagaimana cara terbaik melakukan perjuangan tersebut. Levee dan Ma adalah ‘studi kasus’ yang mewakili dua bentuk perjuangan. Memahami perbedaan sikap kedua karakter tersebut akan membuat kita mengerti dengan gagasan yang ‘ditandingkan’ oleh film ini. Ma Rainey, yang dijuluki Mother of Blues. Dia reluctant menggunakan julukan tersebut. Karena musik blues, katanya, sudah ada dari dulu. Dan bahwa orang harusnya tahu dulu sejarah, jangan tau memainkan musiknya saja. Pernyataan dan sikap Ma inilah yang jadi kunci – yang paling membedakan Ma dengan Levee. Yang membuat Levee tidak akan bisa seperti Ma. Bahwa Ma berjuang bukan demi ambisi pribadi. Kita melihat Ma bersikeras keponakannya yang gagap ikut dalam rekaman album, kita melihat Ma bersikeras keponakannya dan anggota band dibayar tunai sehabis rekaman. Ma peduli kepada rombongannya. Ma peduli pada perjuangan bersama.
Sedangkan Levee, dia sudah siap untuk keluar, nyiptain musik sendiri, bikin band sendiri. Levee bahkan sulit ‘bekerjasama’ dengan Tuhan, karena dia gak percaya. Dia menggunakan uang hasil main musiknya untuk beli sepatu – sebagai bentuk ‘puk-puk’ terhadap dirinya sendiri. Levee sama seperti Ma, berjuang demi derajat ras yang lebih baik. Bedanya Levee bergerak demi dirinya sendiri terlebih dahulu. Dia bersikeras berjuang untuk mendobrak pintu, hanya untuk menemukan dirinya sendirian tak akan bisa mencapai ke mana-mana. Hal ini divisualkan oleh film lewat adegan yang bernuansa cukup sureal di mana Levee akhirnya berhasil membuka pintu di ruang latihan hanya untuk merasa semakin terkungkung, bukannya semakin bebas.
Setiap perjuangan yang kita lakukan adalah untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Tapi itu tidak berarti perubahan akan langsung terjadi. Makanya, penting bagi kita untuk berjuang dengan mengingat ke belakang. Supaya kita bisa mengingat ‘lebih baik’ itu untuk siapa.
Sebagai kulminasi dari cerita, penampilan akting, arahan, dan penulisan itu sendiri, film berakhir dengan terasa sangat ironis. Perjuangan Levee sendirian itu dengan sangat mudah ditampik. Dia tidak accomplish apa-apa selain melukai kaumnya sendiri. Berbeda sekali dengan Ma yang pada akhirnya bukan hanya karirnya menjadi lebih secure, dia juga membawa ‘security’ bagi orang-orangnya. Yang berarti perjuangan mereka masih akan berlanjut. Eventually dunia akan berubah jika semakin banyak orang mengusahakan hal yang sama.
Film ini adalah proyek kedua dari Denzel Washington yang 2015 lalu mengumumkan bahwa dirinya akan membuat film berdasarkan naskah teater karya August Wilson. Aku suka banget sama film proyek pertamanya, Fences yang keluar tahun 2016. Dan film yang kali ini, aku dengan senang hati sekali memberitahu, bukan hanya mempertahankan prestasinya punya penampilan akting yang memukau, tapi juga ceritanya bahkan lebih emosional lagi. So yea, I also like this movie very much. Sutradara George C. Wolfe ditunjuk untuk menggarap cerita, dan yang ia bikin untuk kita adalah suatu tontonan yang begitu menghantui. Hingga lama setelah kita menontonnya. The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for MA RAINEY’S BLACK BOTTOM
That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa kecewa saat telah berjuang keras tapi merasa tidak mengubah apapun?
Share with us in the comments Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“Hearing loss is less about hearing and more about understanding”
Bayangkan kalian mendedikasikan diri untuk menggeluti satu bidang, dan kemudian berhasil di sana, lalu tiba-tiba semua itu direnggut dari kalian. Tentunya sangat devastating. Tapi ternyata ada yang lebih mengenaskan daripada itu. Bayangkan, hal yang kalian geluti tadi itu, adalah satu-satunya hal yang bisa kalian jadikan pelarian. Bayangkan jika hal tersebut actually adalah sesuatu yang kalian butuhkan dalam perjuangan personal untuk menjadi lebih baik. Dan lalu kalian dirampas dari ‘pegangan’ tersebut.
Kehilangan seperti demikianlah yang persisnya menimpa Ruben dalam film Sound of Metal. Ruben yang seorang drummer band rock menemukan zona nyamannya di atas panggung. Ketika dia nampil bersama pacarnya, Lou. Mereka tinggal dalam minibus, sembari tur keliling kota. Heavy metal dan drum itu bagi Ruben bukan sekadar hobi. Melainkan caranya berjuang melawan kecanduan obat-obatan. Musik keras dan hingar bingar kehidupan di jalan adalah kehidupan baru Ruben sebagai seorang yang clean. Namun ‘pajak’ yang harus ia tanggung dari kehidupan semacam itu, dari eksposur terhadap suara-suara lantang setiap hari, sungguhlah berharga tinggi bagi Ruben. Pendengarannya, berangsur-angsur hilang. Memutuskan Ruben dari kehidupan lebih baik yang sedang coba ia bangun. Di dunia tanpa-suaranya kini, Ruben bagaikan anak kecil yang telanjang di tengah rimba. Helpless. Defenseless. Obat-obatan dapat dengan gampang menculiknya kembali.
Sound of Metal, meskipun bicara tentang tokoh yang kehilangan pendengaran, bijak sekali untuk tahu bahwa cerita seperti ini bukan semata soal bagaimana menyembuhkan pendengaran itu sendiri. Melainkan adalah soal membuka telinga untuk sebuah pemahaman yang lebih besar. Pemahaman untuk menerima sebuah kehilangan. Dan nyatanya, itulah yang membuat drama garapan Darius Marder ini begitu manusiawi. ‘New normal’ bagi Ruben
Film yang menyoal seseorang yang hidupnya dipaksa untuk berubah, seseorang yang harus kehilangan semua yang ia butuhkan dalam waktu singkat, akan gampang sekali untuk jadi sangat overdramatis. I mean, cerita begini tuh udah kayak taman-bermainnya drama tragis. Yang diset untuk membuat penonton lomba mewek dan mendorong lajunya penjualan sekotak tisu di pasaran. Di sinetron aja udah sering kan, cerita yang tokohnya tiba-tiba buta, atau tiba-tiba bisu. Ruben bisa saja jadi ‘sinetron’ dengan tokoh yang tiba-tiba tuli. Serius, sepanjang nonton ini aku udah bersiap-sipa nyumpahin kalo-kalo film belok ke arah ‘sinetron’. Kalo-kalo ada satu saja elemen cringe atau lebay. Tapi ternyata tidak ada. Dari awal hingga akhir tak ada. Dan aku senang sekali. Karena; amit-amit. Serius. Amit-amit kalo sampai begitu. Karena cerita dengan arahan seperti begitu tidak akan bisa menggapai dan berlaku hormat kepada karakternya. ‘Misi’ film seperti begini harusnya bukan untuk mempermainkan emosi penonton, melainkan justru memperlihatkan gambaran emosi yang manusiawi terkait persoalan yang terjadi kepada karakter. Gol minimum yang harus dicapai film ini, paling enggak, adalah untuk membuat kita bisa merasakan langsung seperti apa rasanya kehilangan pendengaran.
Marder achieves lebih banyak melampaui gol minimum tersebut. Sound of Metal di tangannya menjelma menjadi cerita yang benar-benar respek dan memanusiakan Ruben. Gak menye-menye maupun overdramatis. Marder telah membuat ini sebagai sebuah perjalanan karakter; sudut pandang yang menarik kita masuk. Membawa kita untuk berempati terhadap karakternya. Ya, lewat permainan sound design, kita jadi tahu langsung apa yang dirasakan oleh Ruben. Ketika Ruben kesulitan untuk mendengar, maka kita pun akan dibuat mendengar kehampaan yang sama. Dan ini bukan hanya soal suara berdering atau hanya ngemute menjadikan adegannya tanpa-suara. Marder enggak memanipulasi emosi lewat absennya suara. Melainkan bercerita dengan absen suara. Ada ritme. Marder membangun kontras sedari awal. Musik rock yang memenuhi setiap adegan, belakangan akan tergantikan oleh dialog-dialog yang teredam. Menimbulkan sensasi ‘kita ingin dengar lebih banyak, tapi tak bisa’. Persis inilah yang dirasakan oleh Ruben. Ketika intensitas naik bagi Ruben, film akan mulai menarik semua suara. Ketika Ruben seperti mulai menyerah, atau saat ia akan mengambil keputusan penting, film akan menampilkan kembali suara-suara percakapan. Membuat Ruben dapat mendengar lewat alat atau membuat lawan bicara Ruben bisa bicara dengan alat. Alias, sebenarnya saat itu Ruben ‘dipertemukan’ kembali dengan cara untuk mengembalikan pendengarannya. This fuels Ruben. Ini menguatkan konflik yang ada pada pertengahan cerita. Konflik saat Ruben masih memandang tuli itu sebagai sesuatu yang harus disembuhkan. Actually, ini jadi salah satu poin penting yang dibicarakan oleh film. Babak kedua diisi oleh cerita Ruben yang tinggal di sebuah komunitas tuna-rungu. Bagi Ruben, ini adalah tempat untuk menyembuhkan dirinya. Padahal justru merupakan tempat untuk membiasakan dirinya dengan kehidupan tanpa-suara. Kita akan melihat adegan-adegan Ruben diajarin ini itu. Menjalin relasi dengan para anggota; ada yang seperti Ruben kehilangan kemampuan mendengar secara tiba-tiba, ada yang sedari lahir. Kita melihat Ruben melihat anak-anak tuna rungu belajar berkomunikasi, lalu lantas dia sendiri juga belajar bahasa-isyarat. Tempat rehab ini terlihat ramah dan menenangkan, tapi kita bisa melihat Ruben justru tidak melihatnya seperti itu. Di titik ini, Ruben masih belum berdamai dengan keadaannya. Dia percaya bisa sembuh dari yang ia anggap penyakit, sebagaimana dia bisa sembuh dari candunya. Menarik cara film mengomunikasikan argumen bahwa sebenarnya tuli itu sendiri tidak pernah dianggap sebagai penyakit yang harus disembuhkan bagi para pengidapnya. Melainkan tak lebih sebagai ‘cara lain dalam menempuh hidup’. Inilah yang ultimately harus dipelajari oleh Ruben.
Bahwa dengan kehilangan pendengaran, tidak berarti seseorang kehilangan hidup. Melainkan hanya hidup di dunia dan gaya yang baru. Kepositifan orang-orang di komunitas itulah yang dijadikan poin vokal oleh film ini. Gak semua masalah selesai dengan uang, karena dua hal. Uang tidak menjamin, ataupun memang tidak ada masalah. ‘Hanyalah’ soal pemahaman dan penerimaan kita terhadap kondisi.
Saat belajar skenario, biasanya kita dikasih tahu untuk merancang kehidupan tokoh utama. Mulai dari ia kecil, hingga ke momen yang akan jadi periode cerita pada film. Rancangan atau karangan kehidupan karakter inilah yang jadi backstory, yang semakin memperkuat karakterisasi tokoh utama yang kita tulis. Backstory tersebut tidak mesti terpampang pada film, tapi harus tersampaikan garis besarnya, supaya penonton bisa mengenali karakter dan bersimpati kepadanya. Backstory Ruben dalam cerita Sound of Metal berperan besar terhadap konflik yang harus ia lalui. Penceritaan yang dilakukan oleh Marder sungguh berhasil menuturkan backstory itu semua tanpa membuat film menjadi bertempo lambat ataupun membuat ceritanya jadi melanglang buana. Marder dengan efektif membuat kita mengerti. Semua hal yang perlu kita ketahui sebagai elemen emosional bagi Ruben dengan sukses tersampaikan. Misalnya, film masih ingat (dan sempat) untuk membahas kenapa pekerjaan sebagai drummer rock itu penting bagi Ruben. Begitupun soal makna dari hubungannya dengan Lou; apa peran Lou sang kekasih itu di hidup Ruben. Semua itu terbahas, menyatu dalam plot-plot poin cerita sehingga keseluruhan narasi film ini terasa sangat padat. Dan somewhat feels real. “Plok! Plok! Plok!” adalah bunyi metal yang baru
Porsi terakhir dari ulasan ini khusus kudedikasikan untuk penampilan akting Riz Ahmed, yang luar biasa emosional – tanpa perlu berteriak-teriak – sebagai Ruben. Supaya cerita yang memfokuskan kepada personal dan kepribadian Ruben ini bisa berhasil, tentu beban itu tersandarkan kepada pemerannya. Tantangan bagi Ahmed di sini adalah menemukan titik-seimbang untuk penonton dapat merasakan emosi karakternya. Titik-seimbang di antara drama soal kehilangan pendengaran yang gak semua orang bisa langsung terkonek, dengan drama tentang manusia yang berusaha menerima kenyataan. Ahmed berhasil, buktinya kita mengerti dan berempati pada setiap keputusan yang diambil oleh Ruben, entah itu soal dia bersikukuh mencari uang untuk operasi, atau ketika dia memilih keluar dari komunitas dan kembali kepada Lou.
Ahmed mengerti bahwa yang diincar sutradara adalah untuk tidak membuat tokohnya ini tampil seperti minta dikasihani, atau mengasihani diri sendiri. Dan sebaliknya, juga tidak ingin tampak seperti sosok yang sempurna bagi kita. Jadi apa yang dilakukan Ahmed untuk mewujudkan semua itu? Permainan emosi. Ahmed membawa kita menyelami reaksi Ruben saat berjuang menerima kenyataan pendengarannya tak akan pernah kembali. Karakter ini tidak dimainkannya sebagai tokoh yang bersikap kasar, ataupun suka berteriak, tapi kita masih tetap merasakan gejolak emosi dan marah dan gak-terima itu di balik dirinya. Ia menggunakan bahasa tubuh dan gerakan mata, terutama saat adegan-adegan dia mengobservasi lingkungan komunitas, sehingga arc Ruben dapat tersampaikan dengan utuh. This is one top level performance. Yang aku dengan sangat senang hati melihatnya mendapat ganjaran piala. Lihat saja adegan fenomenal di ending. Kalo itu tidak memberikan dorongan semangat dan menginspirasi kita untuk berdamai dengan kenyataan, untuk mensyukuri yang terjadi sebagai lanjutan kehidupan; maka aku gak tau lagi yang menginspirasi itu seperti apa.
Dengan penggunaan sound-design, penampilan akting, dan arahan yang benar-benar respek menempatkan karakter sebagai identitas dan subjek – bukannya objek penderita – film ini berhasil menjadikan ini lebih dari cerita tentang orang yang kehilangan indera pendengar. Malahan membawa kita lebih dalam ke persoalan yang lebih relatable dan manusiawi. Menggambarkan dengan penuh hormat bagaimana susah dan perlunya sebuah acceptance terhadap situasi. Beberapa penonton mungkin akan menganggap film ini berat – inner journey Ruben memang demikian kompleks – tapi film ini gak akan bikin bingung. At the end of the movie, kita gak akan dibuat bertanya balik “apa itu tadi?” Percayalah, saat menonton film ini, berat itu ada tapi berat karena konflik karakter, tidak menghambat sama sekali bagi pengalaman menonton. Dan di akhir itu, oh percayalah, kita semua akan merasakan beban itu terangkat sudah dengan perasaan yang sangat melapangkan. The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for SOUND OF METAL.
That’s all we have for now.
Aku pernah membaca bahwa ternyata penyandang disabilitas pendengaran malah lebih suka disebut tuli ketimbang dengan sebutan tuna rungu. Menurut kalian, kenapa?
Share with us in the comments Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA