• Home
  • About
  • Movies
    • AFFLICTION Review
    • PIECES OF A WOMAN Review
    • ONE NIGHT IN MIAMI Review
    • NOMADLAND Review
    • MINARI Review
    • PROMISING YOUNG WOMAN Review
    • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
    • TARUNG SARUNG Review
    • SHADOW IN THE CLOUD Review
    • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020
    • ANOTHER ROUND Review
    • SOUL Review
    • ASIH 2 Review
    • WONDER WOMAN 1984 Review
    • SOUND OF METAL Review
    • MANK Review
    • HAPPIEST SEASON Review
    • THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH) Review
    • BLACK BEAR Review
    • FREAKY Review
    • TENET Review
    • THE CALL Review
    • HILLBILLY ELEGY Review
    • THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN Review
    • RUN Review
    • DREAMLAND Review
  • Wrestling
    • TLC: Tables, Ladders, and Chairs 2020 Review
    • Survivor Series 2020 Review
    • Hell in a Cell 2020 Review
    • Gold Rush: Clash of Champions 2020 Review
    • SummerSlam 2020 Review
    • The Horror Show at Extreme Rules (Extreme Rules 2020) Review
    • Backlash 2020 Review
    • Money in the Bank 2020 Review
    • WrestleMania 36 Review
    • Elimination Chamber 2020 Review
    • Royal Rumble 2020 Review
    • TLC: Tables, Ladders & Chairs 2019 Review
    • Survivor Series 2019 Review
    • Hell in a Cell 2019 Review
    • Clash of Champions 2019 Review
  • Books
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards CLOUD9
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: supernatural

ASIH 2 Review

25 Friday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 13 Comments

Tags

2020, adaptation, drama, family, horror, kids, mother, review, sequel, spoiler, supernatural, thought

“A real parent is someone who puts their kids above their own selfish wants and needs.”

 

 

 

Cerita Asih 2 menyorot keluarga pasangan dokter Sylvia dan suaminya yang pembuat komik/cerita bergambar. Sylvia yang kehilangan putri cilik mereka yang meninggal dunia empat tahun yang lalu, merasakan emotional attachment kepada seorang gadis kecil misterius yang jadi pasiennya di rumah sakit. Anak itu tertabrak mobil di tengah hutan. Tak ada keluarga yang menjemput. Tak ada siapapun yang tahu siapa orangtua ataupun dari mana asal si anak ini. Maka Sylvia pun membawanya pulang, mengadopsi anak itu. Memberinya nama Ana. Such a close call, sebab Ana ternyata adalah anak pasangan pada film Asih pertama (2018). Tujuh tahun ini, Ana hidup dibesarkan oleh hantu mirip kuntil-ana-k bernama Asih. Tindakan Sylvia mengambil Ana dari dekapan Asih, jelas tindakan yang mengundang malapetaka bagi dirinya dan keluarga.

Jadi, ini adalah konflik antara dua orang perempuan, dua orang ibu yang ingin melindungi anaknya. Sylvia yang bertanggungjawab menyembuhkan Ana, dan Asih yang actually benar-benar merawat Ana sedari bayi. Menariknya adalah bahwa tidak satupun dari mereka berdua yang ibu kandung dari Ana. Bahwa mereka berdua justru adalah ibu yang melihat Ana sebagai kesempatan kedua; kesempatan untuk menebus kesalahannya pada anak kandungnya. Bedanya cuma Sylvia manusia, dan Asih hantu. Tindakan Asih akan naturally lebih mengerikan daripada perbuatan Sylvia. Padahal inilah sebenarnya kontras yang menarik yang ada pada film. Seperti ada komentar mengenai makna sebenarnya dari menjadi orangtua bagi seseorang. Apa yang membuat kita pantas dipanggil ‘ibu’. Penggalian gagasan tersebut bisa membawa film ke level dramatis, ke cerita yang manusiawi sekaligus menginspirasi dan empowering – khususnya karena film ini tayang berdekatan dengan Hari Ibu.

Seorang Ibu tak pelak memang adalah orang yang telah melahirkan anak. Namun melahirkan, atau simply mengadopsi anak tidak serta merta membuat kita pantas disebut sebagai orangtua yang baik. Karena orangtua berarti adalah harus mampu mementingkan anak di atas kepentingan sendiri. Bukan saja harus mampu mengasuh dengan penuh kasih, tapi juga mampu bertindak yang terbaik bagi anak, walaupun itu berarti harus mengikhlaskan mereka.

 

Namun, sutradara Rizal Mantovani tidak melihat ceritanya seperti itu. Film tidak difokuskannya ke sana. Atau tepatnya, film diarahkannya berjalan lewat aspek yang paling konyol dan paling dangkal, untuk kemudian menjadikan bahasan soal ibu tadi hanya sebagai konklusi yang ditampilkan ujug-ujug di akhir.

Siapa sih yang gak mau jadi anak dokter?

 

Jika Christopher Landon punya konsep membangun narasi horor dari komedi jadul, maka para filmmaker horor di Indonesia gak mau kalah. Mereka bikin horor dari lagu anak-anak jaman dulu! Mulai dari lagu Boneka Abdi, hingga lagu sepolos ngajak orang naik Kereta Api pun sudah ada film horornya. Tren yang menarik, tapi kasihan juga sih anak-anak Indonesia. Lagu untuk mereka udah punah, udah gak ada yang bikin lagi, eh lagu jadulnya pun diubah jadi materi horor kacangan. Tapinya lagi, memang beberapa lagu anak itu serem kok. Contohnya ya Indung-Indung yang jadi (un)official soundtrack sekaligus plot device dalam Asih 2 ini.

Well, at least, seram buatku waktu kecil.

Waktu kecil, sekitaran umur 6-7 tahun, aku takut banget sama lagu ini. Kalian pasti tau dong lirik lagu Indung-Indung itu ada kelanjutannya (gak kayak karakter-karakter dalam film ini yang nyanyiinnya muter-muter di situ melulu). Soal perempuan bernama Siti Aisyah yang mandi di kali rambutnya basah. Nah, dulu waktu kecil kalo di rumah nenek, aku selalu ditidursiangkan ortu di kamar Om. Seluruh tembok kamar itu dicat oleh beliau sendiri, digambarin aneka rupa. Mulai dari tokoh kartun Donal Bebek hingga tokoh zodiak. Salah satu gambarnya itu berupa perempuan yang mengenakan handuk merah, dengan rambut yang seperti…basah!! Satu kali, pas lagi dininaboboin pake lagu Indung-Indung, mataku natap si gambar cewek itu. Dan aku mimpi buruk si cewek itu hidup, dia lah Siti Aisyah dalam lagu, dan rambutnya basah ternyata oleh darah sampe ke anduk!!! Sejak saat itu aku trauma sama lagu Indung-Indung.

Sehingga nonton Asih 2 di kala bioskop sepi masih pandemi benar-benar pengalaman menantang buatku. Aku bisa ngerasain keseraman masa kecil itu menguar setiap kali lagu tersebut muncul di film. Dan buatku yang punya kisah personal, hanya lagu itu sajalah yang jadi titik kedekatan dalam film ini. Selebihnya film ini sama sekali enggak menakutkan. Tokoh hantunya, si Asih; aku malah berempati dan kasihan padanya. Aku justru rooting for her. Itu karena memang Cerita Asih 2 punya potensi drama horor untuk digali. Film ini bisa jauh lebih bagus daripada sodara-sodaranya di Danur Universe JIKASAJA pembuatnya enggak obses ke lagu yang cuma serem untuk dipake nakutin anak kecil.

Alih-alih fokus kepada penggalian drama dan trauma orangtua yang bergulat dengan kematian anak mereka – lewat sudut pandang perempuan yang mengadopsi, film malah menitikberatkan kepada misteri asal muasal dan lirik lagu. Adegan seram di Asih 2 sebagian besar berupa seseorang mendengar lantunan lirih “Indung indung kepala lindung” dan kemudian mereka melihat sosok mengerikan somewhere di latar belakang. Pernah gak ngalamin kejadian mendengar satu lagu, lalu kemudian lagu tersebut mendadak muncul di mana-mana; ke mana pergi, ada lagunya. Kurang lebih kayak gitulah film ini; mendadak semua tokoh dalam cerita nyanyiin dan ketemu sama lagu ini. Film kemudian lanjut mempersoalkan itu lagu apa. Ada misteri yang kuncinya ada pada lagu tersebut. Film mengerahkan semua kepada lagu ini. Bahkan bonding ibu dan anak dilakukan dengan memperlihatkan Sylvia belajar nyanyiin lagu tersebut karena lagu itu merupakan lagu favorit Ana. Yang paling konyol adalah adegan ‘fight’ Sylvia dengan Asih. Mereka rebutan Ana “Ini anakku!” pake tarik-tarikan, daaann mereka lantas ‘lomba nyanyi’. Gantian nyanyiin Indung Indung demi menarik perhatian dan kasih sayang Ana.

Kasihan sekali melihat Marsha Timothy dan Ario Bayu yang jadi pasangan suami istri di film ini. Mereka adalah aktor yang pernah mengantongi piala penghargaan. Aktor yang mumpuni, dengan range drama yang luas. Dan cerita film ini actually terbuka untuk ruang drama tersebut. Sebagai suami istri yang pengen punya anak lagi, move on dari trauma-lah yang harusnya digali dalam film ini. Bikin mereka benar-benar butuh Ana. Buat kita yakin mereka beneran peduli sama anak sebagai person, bukan sebagai penebus dosa. Hanya ada satu adegan yang mengarah ke pembahasan ini, padahal narasi harusnya dibangun di sekitar persoalan ini. Bukannya malah memfokuskan kepada ‘lagu seram’. Akibatnya drama dan karakter itu gak kena. Kita gak ngerasa apa-apa, kita gak ngerasain urgensi Sylvia harus dapatin Ana. Atau bahkan kita gak sedih ketika Ana hilang dari Sylvia. Karena film gagal melandaskan kepentingan Ana secara nyata dan emosional buat Sylvia dan suaminya. Kita gak melihat mereka ‘rugi’ apapun jika Asih mengambil Ana. Karena memang si Asih toh did a pretty great job gedein Ana. Anak itu sehat, dia celaka karena ditabrak mobil di hutan. Mobil. Di hutan. Come on! itu odd-nya kecil banget hahaha… Dan di luar kebiasannya saat makan yang aneh, anak itu toh gak tumbuh jadi psikopat. Dalam pandangan kita, film malah seperti memperlihatkan Sylvia-lah yang menculik Ana dari Asih.

“Lu ambil anak gue! Lu ambil lagu gue!!”

 

Shareefa Daanish sekali lagi hanya dipakai untuk jadi hantu yang teriak-teriak ngejumpscare orang. Padahal potensi drama dan permainan karakter bisa ia lakukan di sini. Too bad pembuat film cuek dengan ini. Justru Asih-lah di sini yang cocok sebagai protagonis. Dialah yang kehilangan sesuatu – meskipun awalnya juga curian. Dialah yang pada akhirnya berbesar hati. Yang menunjukkan bahwa Asih-lah yang mengalami perkembangan karakter – yang actually punya plot dalam cerita ini. Cerita bahkan menyimpan satu kejutan menarik lagi berupa kehadiran seseorang dari masa lalu Asih; orang yang mengenal Asih saat masih seorang manusia. Jika memang begitu, toh kerja film sangat buruk dalam memperlihatkan Asih sebagai tokoh utama. Karena porsi paling gede ya ada pada Sylvia dan keluarga. Sylvia, yang tak ngalamin perkembangan apa-apa. Yang gak ada stake. Yang bahkan tidak membuktikan kepada kita dia bisa jadi orangtua yang baik; karena yang film perlihatkan hanyalah dia yang selalu pulang malam hanya dekat dengan Ana saat mandi dan saat belajar lagu.

Dan si Ana itu sendiri… Memanglah, film horor Indonesia hanya melihat anak kecil sebagai objek. Setelah lagu mereka diambil jadi materi horor, tokoh yang mewakili mereka pun di sini hanya jadi objek rebutan. Ana dihidupkan sebagai trope ‘anak setan’, alias anak berkelakuan aneh yang suka ngobrol sama sesuatu yang tak terlihat. Film ini tak memberikan Ana kesempatan untuk bersuara, untuk punya pendapat dan pandangan sendiri. Literally, Ana ditulis sebagai karakter yang gak bisa bicara. For no reasons at all, kecuali ya dengan alasan untuk memudahkan penulis naskah bermalas-malasan. Ana yang tak bisa bicara berarti tidak perlu digali sudut pandang dan sisi dramatisnya. Ana hanya dijadikan jalan keluar ala deus ex machina saja. Di akhir tiba-tiba dia sadar dan ngasih pandangan ke ibunya. Karakter Ana yang dibikin seperti inilah yang menjadi penanda keras betapa film ini males dan memang menghindari penggalian karakter. Arahannya dibuat khusus untuk memfasilitasi jumpscare-jumpscarean saja. Menyia-nyiakan potensi karakter yang ada.

 

 

 

 

Kalo ada yang nanya film apa yang bisa narik penonton ke bioskop, dalam situasi pandemi kayak sekarang ini, maka aku percaya jawabannya adalah film horor. Dan film ini, aku juga sama yakinnya, mampu untuk melakukan hal tersebut. Karena memang didesain untuk memfasilitasi ‘hiburan’ netijen. Penuh jumpscare, ada yang kesurupan, dan flashback backstory. Peningkatannya sedikit di visual kemunculan penampakan, seru juga melihat hantu yang perlahan nampak dari transparan ke memadat. Dengan durasi yang lebih panjang tiga-puluh menit dari film pertamanya, kupikir film ini bakal lebih berisi. Cerita dan karakter penyusunnya akan benar-benar memiliki sesuatu. Tidak dangkal seperti film pertama. Tapi ternyata film ini tidak tertarik menggarap semua itu. Melainkan hanya berkutat pada menghantu-hantukan lagu. Sehingga akhirnya ya jadi sama saja dangkalnya. Such a waste potential.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ASIH 2.

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian juga punya pengalaman seram dengan lagu anak-anak?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

ROH Review

16 Monday Nov 2020

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2020, drama, family, horror, life, mystery, review, spoiler, supernatural, thought, violence

“The unseen enemy is always the most fearsome”

 

 

 

Hidup Mak di hutan, bersama dua orang anak; Along dan Angah, tak repot memikirkan banyak aturan (apalagi protokol kesehatan!). Hukum ‘rimba’ yang mereka amini cuma satu. Jangan percaya pada apapun yang ada di hutan, khususnya pada hal-hal yang tak bisa mereka lihat dan yang tak dapat mereka pegang. Bahkan ketika tau-tau ada rusa yang kena ke perangkap, Along si putri sulung memilih untuk mengabaikan jerit kesenangan Angah, si putra bungsu, yang mengira mereka dapat makanan untuk seminggu. Alih-alih, Along tetap mengumpulkan arang sesuai perintah Mak. Keluarga yang luar biasa ‘sederhana’ dan ekstra berhati-hati ini tampaknya adalah protagonis dalam Roh, gacoan Malaysia untuk Oscar tahun depan. Konflik bagi mereka datang berwujud seorang anak kecil yang tersesat, yang tau-tau memberi peringatan kepada mereka bahwa nyawa mereka semua akan berakhir pada bulan purnama berikutnya. Si anak misterius kemudian bunuh diri dengan mengiris lehernya sendiri! Tess!!!

Sutradara Emir Ezwan membuat cerita ini sebagai horor yang kuat secara atmosfer dan sarat akan lapisan. Film Roh tidak akan menakuti kita dengan membuat jantung copot. Melainkan Ezwan membuat Roh lebih seram daripada itu. Ia berusaha membuat kita turut merasakan keputusasaan yang dialami oleh Mak dan kedua anaknya. Seiring durasi yang tergolong singkat ini berjalan (hanya satu jam dua-puluh menitan) Ezwan meningkatkan bukan hanya stake, melainkan juga semakin banyaknya pertanyaan yang tak bisa Mak dan anak-anaknya ungkap. Karena Mak dan anak-anaknya berada di posisi bak pelanduk di tengah-tengah ‘gajah’ yang berkelahi. Mak sekeluarga berada di dalam situasi di mana mereka tidak tahu siapa yang bisa dipercaya. Di hutan sana ada seorang pria Pemburu yang berkeliaran. Ada pula seorang dukun perempuan (dipanggil Tok) yang senantiasa muncul memberikan peringatan-peringatan. Siapa mereka? Apa hubungan mereka dengan si anak misterius?

Siapa impostor di hutan ini??

 

Cerita dan penceritaan film Roh berangkat dari pengetahuan Islam bahwa syaiton eksis di dunia dengan tujuan untuk menyesatkan umat manusia. Jadi bukan tanpa alasan kalimat penggalan ayat tentang hal tersebut dipajang sebagai pembukaan. Karena memang itulah fondasi bangunan cerita dan pegangan yang jadi kunci untuk kita semua supaya dapat menikmati filmnya secara utuh. Kita akan benar-benar di tempatkan seolah di dalam sarung si Mak dan si kedua anak. Kita turut buta. Turut menerka-nerka. Ada bahaya apa di balik pepohonan lebat itu. Siapa yang mengintai dan berkata jujur, kita – seperti halnya Mak – tak pernah tahu, hingga sudah terlambat nantinya.

Semua elemen penceritaan dikerahkan oleh sang sutradara untuk menutupi kebenaran itu. Menciptakan sensasi kungkungan, menimbulkan intensitas horor dan rasa bahaya di balik setiap keputusan yang dipilih oleh para karakter. Informasi dan eksposisi dibeberkan dengan sedemikian rupa guna mempengaruhi penilaian kita terhadap tokoh. Editing pun bergerak mengikuti, dalam rangka memperkuat, katakanlah, ilusi yang hadir lewat dialog-dialog. Sehingga ketika kita mendengar dongeng tentang pemburu hantu yang berbahaya, seketika kita curiga kepada si Pria Pemburu yang ditampilkan bersisian dengan dialog dongeng tersebut. Namun bahkan dongeng itu sendiri tidak bisa dijadikan pegangan. Segala peringatan yang kita dengar melalui para karakter, bisa jadi hanya tahayul kosong, dan kebenaran justru pada sisi yang lain. Ditambah pula adegan-adegan sureal yang bisa jadi hanya mimpi atau berada dalam kepala tokoh tertentu. Begitulah sebagian besar durasi film ini terisi. Semuanya penuh deceit. Oleh muslihat. Film ini terasa seperti whodunit, yang esktra creepy karena seluruh tokohnya benar-benar tidak ada yang bisa dipegang. Pada akhirnya, kita justru akan merasa lebih tak-berdaya dan lebih sendirian ketimbang si Mak.

Ezwan tidak membuat cerita ini menjadi lebih mudah untuk dicerna. Tapi tentu, dia ingin kita tetap tinggal. Menyaksikan hingga akhir karena di ujung itulah penjelasan – meski tetap samar – dihadirkan. Usaha Ezwan di sinilah yang perlu kita apresiasi. Ruang gerak itu tidak tak-terbatas bagi Ezwan. Kita dapat melihat film ini tidak memiliki budget yang wah. Namun Ezwan berusaha menjadikan hal itu sebagai nilai positif bagi filmnya. Tidak banyak polesan cahaya diharapkan membuat film ini tampak natural. Artistik yang ala kadar diharapkan membuat kita semakin percaya bahwa protagonis benar-benar terpisah dari dunia luar. Dan bahkan properti-properti yang tampak janggal di hutan itu diharapkan semakin memperkuat kesan semua peristiwa ganjil yang mereka alami adalah ‘kerjaan’ seseorang – sesuatu kekuatan yang kontras dengan kodrat alam. Dua unsur yang ditonjolkan sebagai daya tarik visual adalah tanah dan api. Clearly, Ezwan meniatkan supaya penonton langsung menarik perhatian ke sana, karena sesuai dengan kepercayaan Islam bahwa manusia terbuat dari tanah sedangkan setan diciptakan dari api. Dua makhluk yang jadi sentral cerita. Dua dinamika inilah yang sedang diperlihatkan oleh Ezwan.

Kita sedang dalam peperangan. Melawan musuh yang tidak kelihatan. Kecemburuan. Ketakutan. Prasangka. Hal yang membuat kita terpecah belah, menimbulkan keraguan. Dan dari situlah bisikan-bisikan itu datang. For it is our strongest enemy. Maka kita harus menguatkan iman. Di dalam hati masing-masing kita sebenarnya tahu di dunia yang tak bisa dipercaya, cuma ada satu yang bisa. Roh benar-benar menunjukkan dinamika rimba kehidupan kita. Di tengah kebingungan, kita gampang tersesat oleh bisikan-bisikan.

 

Apa kita harus bertanya kepada Gisel yang bergoy.. eh maksudnya pada rumput yang bergoyang?

 

 

Pun, Roh bukan tontonan yang mudah untuk disaksikan. Untuk beberapa penonton, film ini bisa tergolong sadis. Menampilkan kekerasan yang bersarang pada anak-anak ataupun pada hewan. Memang, kamera selalu mengcut tepat di saat-saat paling sadis, namun tetap adegannya tidak meninggalkan ruang yang banyak untuk gambaran lain dalam kepala penonton. It is still clear dalam benak bahwa ada anak yang digorok dan semacamnya. Melihat tampilan horor berdarahnya ini membuat kita sedikit teringat dengan gaya-gaya horor dari tanah Asia lain seperti Jepang atau Thailand.

Representasi kelokalan memang penting. Terlebih untuk film yang diniatkan ke Oscar, karena memang Oscar sedari awal tahun sudah menyebarkan poin-poin yang mereka cari di dalam suatu film. Ezwan dalam karya debutnya ini sepertinya paham dan melihat hal sebagai gelas yang setengah penuh. Dalam artian dia melihat dengan optimis dan menjadikan poin tersebut sebagai ruang untuk menggeliatkan kreativitas. Film Roh tidak malu untuk menampilkan ajaran agama. Film Roh tidak latah untuk merasa diri progresif jika dirinya meng-subvert sesuatu. Dalam film ini diperlihatkan unsur Islam yang menjadi agama mayoritas di Malaysia, secara subtil film memberitahu bahwa jawaban bagi Mak sebenarnya sudah ada. Yaitu bersujud, meminta kepada-Nya. Namun manusia-manusia itu begitu tersesat sehingga cerita ini berubah menjadi cerita kegagalan. Untuk narasi kekiniannya, Ezwan menyelipkan lapisan narasi tambahan. Ada satu peraturan tak-tertulis lagi di bawah atap rumah Mak. Yakni jangan menyebutkan soal ayah. Mak seperti ke-trigger setiap kali anak-anaknya mempertanyakan soal ayah. Kita bisa menarik pemahaman perihal absennya sosok kepala keluarga di rumah mereka sebagai akar dari karakter Mak. Soal ayah/suami/pria ini lantas dijalin ke dalam konflik utama; ia menjadi ‘minyak’ yang menyebabkan si Mak lebih susah untuk percaya kepada perkataan si Pria Pemburu.

 

 

Malaysia tampaknya memberikan kontender yang cukup kuat di ajang Oscar. Horor filmnya ini tampil tidak ke arah genre-is, melainkan ke arah ‘drama berat’ yang lebih menghujam dan berbobot. Penceritaan yang dipilihnya untuk mengangkut gagasan sebenarnya bukan tanpa cela. Buatku sendiri, sebenarnya cenderung lemah dan masih bisa diperkuat lagi. Yang kerasa jelas tentu saja adalah perspektif atau tokoh utamanya siapa. Film ini tidak pernah benar-benar klir soal itu. Membuat kita bingung dan semakin susah mengikuti cerita. Kebanyakan bakal terjebak dalam tebak-menebak yang tak bakal pernah terpuaskan. Menonton ini dapat jadi melelahkan, dan akhirnya tidak lagi menarik bagi penonton. Tapinya lagi, memang justru hal tersebut yang diincar oleh film ini, yang merupakan sebuah dongeng mengerikan tentang muslihat dan tipu daya yang menyerang manusia.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ROH.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian merasa film ini punya identitas yang kuat sebagai film dari Malaysia? Apakah kalian menemukan perbedaan representasi antara film ini dengan horor-horor lokal modern selain dari bahasa dan gaya arthousenya? Bagaimana seharusnya supaya film memiliki ruh yang kuat menurut kalian?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

HIS HOUSE Review

03 Tuesday Nov 2020

Posted by arya in Movies

≈ 14 Comments

Tags

2020, drama, family, horror, love, mystery, netflix, review, spoiler, supernatural, thought, thriller

“Home is not where you are from, it is where you belong”

 

 

 

 

Horor tak biasa itu ternyata datang dari sutradara baru asal Inggris, Remi Weekes. His House garapannya yang tayang di Netflix, jika dibaca sekilas sinopsisnya, akan terdengar seperti teror rumah hantu yang belakangan ini menjamur. Suami-istri pengungsi imigrasi dari Sudan ditempatkan ke sebuah rumah di kawasan kota tak bernama. Mereka harus menetap di rumah tersebut sebagai percobaan dari kebebasan bersyarat yang mereka dapatkan. Syarat yang kayak cukup gampang tapi prakteknya ternyata susah. Sebab pada malam hari, mereka diteror oleh sejumlah hantu-hantu yang muncul dari dalam dinding, dari sudut-sudut gelap di rumah. Hal uniknya adalah; hantu dan mayat-mayat orang tenggelam itu bukan berasal dari rumah baru itu. Melainkan justru berasal dari suami dan istri itu sendiri.

Karena sesungguhnya pusat horor cerita ini ada pada pasangan suami istri tersebut. Bol dan Rial. Kehidupan rumah tangga mereka dihantui oleh trauma atas kejadian yang mereka alami bersama di masa lalu. Penceritaan film didesain supaya kita mengikuti keadaan mereka yang sekarang, supaya kita bisa menumbuhkan empati karena turut merasakan susahnya settle in di tempat dan lingkungan yang baru. Khususnya lingkungan yang jelas-jelas bukan tempat untuk mereka. Cerita perlahan membuka, membawa kita menyelam lebih dalam lagi ke latar Bol dan Rial – menyaksikan trauma tersebut bertransformasi secara berbeda terhadap mereka berdua, sehingga rasa emosional itu semakin menyayat. Menonton His House ini ngerinya seperti kita menemukan ada luka menganga di tubuh kita, dan feelnya seperti ketika kita disuruh untuk mengiris ke dalam luka tersebut. Ini adalah horor yang akan membekas, berkat penulisan karakter yang hidup lewat trauma yang membayangi mereka dan berkat penceritaan yang mempersiapkan kejutan di setiap penghujung babaknya.

Mau pindah ke manapun juga, hantunya bakal ngikut

 

 

Film ini tidak berlama-lama membiarkan kita berada dalam kegelapan. Misteri keberadaan hantu-hantu itu dengan lugas dijawab; mereka bukan sekadar mimpi atau hanya ada di dalam kepala Bol ataupun Rial. Kedua karakter ini diperlihatkan melihat penampakan yang serupa. Hantu-hantu itu nyata, setidaknya bagi mereka. Film justru ingin memusatkan perhatian kita kepada perbedaan interaksi ataupun perbedaan reaksi Bol dan Rial terhadap hantu-hantu tersebut. Karena itulah gagasan yang diusung oleh film; memperlihatkan bagaimana pasangan suami istri yang share a trauma, namun dealing with it dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah gangguan domestik – diperseram karena berwujud hantu-hantu. Sesungguhnya ini adalah cerita soal Bol dan Rial, suami dan istri, harus kompak dan berjalan bersisian menghadapi apapun masalah pernikahan dan rumah tangga.

Bol dan Rial memang begitu terguncang karena peristiwa masa lalu itu. Peristiwa yang merenggut nyawa Nyagak, putri mereka. Kita melihat peristiwa mengenaskan tersebut di opening film, saat Bol memimpikannya. Dan kemudian berbohong ketika ia ditanya oleh Rial tentang mimpinya. Sedari menit awal, film sudah terarah untuk menunjukkan dua hal penting pada dua tokoh sentral ini; mereka kehilangan anak, dan punya cara berbeda menyingkapinya. Inciting incident yakni mereka diberi kesempatan untuk hidup di sebuah rumah, tak pelak menjadi ujian. Bisakah mereka hidup normal meski membawa trauma.

Bagi Bol, ini seperti kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Dia ingin rumah. Dia benar-benar ingin membuat rumah pemberian itu sebagai rumahnya yang tak boleh sampai gagal ia dapatkan, untuk memulai kehidupan yang baru. Sopi Dirisu memainkan tokoh ini dengan gestur optimis yang intens. Dia begitu berdeterminasi untuk menjadikan tempat itu rumah sehingga tidak melihat isu-isu beneran di sekitarnya. Tatkala belanja baju di pertokoan, Bol gak ngeh dirinya diikuti oleh satpam rasis yang curigaan. Dan ketika hantu anaknya, dan hantu-hantu lain itu muncul, ia melawan. Ada aksi ada reaksi, perlawanannya tersebut – keinginan Bol untuk move on dan melupakan anaknya – justru membuat dirinya semakin terganggu oleh trauma. Buktinya hanya dia yang dihantui mimpi-mimpi dan adegan sureal yang membawanya kembali ke laut tempat anaknya tenggelam. Sedangkan Rial seperti tidak mau melupakan trauma tersebut. Nyagak dan hantu-hantu itu hadir kepadanya dalam beragam bentuk komunikasi. Kita gak pernah ngeliat Rial diteror sebagaimana Bol digangguin hantu. Instead, kita melihat horor itu bermanifestasi ke dunia luar bagi Rial. Perjalanan mencari alamat saja sudah demikian sureal baginya. Rial lebih nyaman untuk kembali daripada bertempat tinggal di sana. Konflik dengan trauma tersebut memang lebih kompleks pada diri Rial, dan Wunmi Mosaku memainkannya dengan nyaris tanpa cela. Tidak seperti suaminya, Rial tidak melawan keberadaan hantu, ia justru lebih takut terhadap suaminya karena sang suami memang ingin membawa mereka tinggal di luar dari trauma mereka, so to speak. Rial tidak menolak keberadaan hantu-hantu. Ketika pengawas mereka datang menginspeksi rumah dan menemukan tembok dalam keadaan bolong-bolong dihajar oleh Bol dalam usahanya melawan hantu tadi malam, Rial menceritakan peristiwa dan gangguan hantu-hantu yang mereka alami apa adanya kepada si petugas. Tidak seperti Bol yang berdalih dia mengusir tikus besar yang jadi hama di rumah itu.

Memahami itu semua, maka kita akan dapat melihat bahwa ending film ini sungguh menyatakan sesuatu yang kuat sehubungan dengan pembelajaran yang udah dialami oleh baik Bol maupun Rial. Ending film ini bukan memperlihatkan mereka pasrah tinggal diikuti oleh hantu-hantu karena mereka sadar mereka bersalah. Melainkan memperlihatkan bahwa kini Bol dan Rial sudah satu paham, mereka sudah berpegangan tangan. Mereka sudah menemukan rumah – menemukan tempat mereka. Yakni di tengah-tengah duka dan trauma.

Satu-satunya cara mereka bisa menata hidup baru dengan bahagia adalah bukan dengan melupakan trauma, bukan pula berkabung di dalamnya, melainkan hidup bersama mereka. Bol dan Rail toh punya masing-masing untuk saling menguatkan. Ke mana pun mereka ditempatkan, asal bersama, itulah rumah mereka.

 

Things get real with Rial!

 

 

Cerita film ini sudah demikian powerful dan mudah untuk relate kepada kita; masalah kehilangan anak dan merasa bersalah karena gagal melindungi si anak jelas bukan perkara ‘sedih’ semata. Begitu pun dengan pengalaman susahnya menata hidup di tempat baru. Menemukan ‘rumah’ adalah masalah yang dialami oleh hampir semua orang. Terutama oleh imigran yang harus berjuang dengan apa adanya di tanah perantauan. Maka, at first, aku merasa sebuah pengungkapan yang menjadi twist di babak ketiga cerita ini tuh overkill banget. Aku mempertanyakan apakah perlu untuk membuat kita memandang tokoh cerita ini dalam cahaya yang berbeda dari sebelumnya, setelah semua pembelajaran dan empati yang ia peroleh. Tapi kemudian aku sadar sebenarnya yang diincar film ini bukan twistnya. Cerita perlu untuk membuat kita memandang si karakter seperti begitu karena merupakan bagian penting dari bangunan traumanya. Film sepertinya juga ingin menguatkan ‘konten lokal’. Ada dongeng dari kampung Sudan yang diceritakan oleh Rial mengenai Night Witch; sosok yang menghantui seorang pria yang merampok demi membangun  rumah sendiri. Dongeng tersebut paralel dengan keadaan Bol – dari masa lalu yang kupikir overkill tadi – dan jika dongeng itu memang dongeng-budaya beneran, maka itu hanya akan menambah kekuatan identitas film ini.

Visual horor film ini pun sangat aku apresiasi. Weekes menggunakan imaji-imaji sureal dengan cut mulus yang memindahkan Bol begitu saja dari ruang keluarga yang berantakan ke tengah laut. Penampakan hantu kayak zombie yang muncul saat lampu mati pun serem punya, dan tampak khas. Cuma jumpscare-nya saja yang not so much kuapreasiasi. Walaupun teknik jumpscarenya enggak murahan – enggak sekadar untuk memancing jantung kita copot – dan tidak dijadikan andalan, tapi tetap buatku film ini masih bisa bekerja maksimal tanpa harus ada elemen ngagetin. Seperti twist yang sanggup untuk mereka perhalus keberadaannya sehingga tidak menjadikan film ini mencuat sebagai film ‘oh ternyata’, seharusnya adegan menakuti dengan hantu bisa digarap dengan lebih elegan lagi.

 

 

 

Karakter Bol dalam film ini berulang kali meyakinkan orang – dan dirinya sendiri – bahwa ia dan istrinya bakal sukses hidup di kota itu. Despite sikap rasis lingkungan sosial di sekitarnya, dan gangguan setan di malam hari, Bol yakin mereka akan bertahan, karena – berulang kali ia berkata – bahwa mereka adalah “one of the good ones”. Dan meskipun boleh jadi hingga setelah cerita berakhir, Bol dan Rial masih harus membuktikan kalimat tersebut, film ini sendiri sudah bisa kita pastikan benar sebagai “one of the good ones” dari film-film horor yang muncul di tahun horor ini. Cerita dan karakternya punya layer yang semakin disingkap membuat cerita menjadi semakin membekas. Digarap dengan kompeten dan visi bercerita yang punya kekhasan. Isu yang dibahas sebenarnya akrab, menjadikan house sebuah home; isu yang biasanya ada di drama keluarga diucapkan sebagai suara horor oleh film ini. Menyinggung perihal perlakuan terhadap imigran dengan subtil di balik trauma keluarga. Ia juga mempersembahkan diri sebagai tayangan yang gak berat-berat amat, dengan turut catering to taktik horor mainstream sebagai penyeimbang cerita yang berbobot.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for HIS HOUSE

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apa yang kalian pelajari dari lingkungan sekitar tempat tinggal Bol dan Rial? Menurut kalian, apa sih makna rumah?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE CRAFT: LEGACY Review

01 Sunday Nov 2020

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2020, action, comparison, drama, family, fantasy, friendship, magic, mystery, review, sequel, spoiler, supernatural, teenager, thought

“They (women) want power over themselves”

 

 

 

Berhubung masih dalam suasana dongkol abis ngereview Rebecca (2020) ngobrolin seputar remake yang justru jadi lebih jelek dari versi aslinya, ini ada film yang bilangnya merupakan sekuel dari film yang keluar tahun 1996, tapi yang actually mereka bikin ternyata adalah semacam soft remake atau soft reboot menilik arahan film ini yang seperti mengincar ke sekuel berikutnya. The Craft: Legacy karya sutradara – yang sendirinya juga seorang aktor – Zoe Lister-Jones basically menceritakan ulang kisah pada film The Craft (1996), dengan tokoh-tokoh baru, dan tentu saja agenda woke kekinian yang dijejelin begitu saja ke dalam cerita tersebut.

Ada anak baru di kota. Lily namanya. Dia dan ibunya pindah ke sana, untuk tinggal bersama keluarga baru; ayah tiri dan tiga orang saudara laki-laki. Di sekolah, Lily mendapat teman baru berupa tiga orang cewek yang punya kekuatan sihir. Lily diajak gabung karena melengkapi formasi sihir (utara, timur, selatan, barat) sehingga kekuatan mereka semua kini sempurna. Mereka kini bisa banyak hal, termasuk menyihir seorang cowok bully di sekolah. Lily menjadikan si bully itu seorang yang lebih ramah dan gak kasar ke semua orang, terutama kepada dirinya. Di bawah pengaruh si cowok jadi berani untuk jujur kepada mereka berempat, perasaannya ditumpahkan. Rahasia dibeberkan. Namun kemudian si cowok ditemukan tidak bernyawa. Ada seseorang di kota yang gak suka saat cowok menjadi ‘lemah’. Ada seseorang yang memaksakan maskulinitas sebagai sebuah kekuatan untuk memerintah. Lily dan teman-teman superhero, eh maksudnya, teman-teman penyihir dengan kekuatan elemen harus menghentikan orang ini dengan segera.

 

Mereka avatar deng. Avatar pengendali CGI burik

 

Permasalahan tentang toxic masculinity itu sebenarnya enggak jadi masalah. Justru bagus, film ini punya ide tersendiri yang coba disampaikan lewat lingkungan sihir-sihiran yang selama ini dianggap sebagai dunia eskapis bagi wanita. Konon sejak dulu kala, penyihir wanita ditakuti di negara sana. Mereka diasingkan, dipenjara. Dibakar. Cerita penyihir wanita itu sebenarnya adalah simbolik bagi diskriminasinya sikap pria. Wanita gak boleh pinter-pinter, harus nurut, untuk voting aja mereka harus diperjuangkan. Nah, ketika film ini mengusung bentrokan antara dua kubu tersebut – cewek yang beneran penyihir dengan pria yang percaya kekuatan adalah milik mereka, dengan si cowok bully itu jadi berada di tengah-tengah mereka; sebenarnya film ini punya hal menarik untuk dibahas. Namun entah bagaimana – aku merasa jahat kalo menyebut pembuatnya gak capable – film ini menceritakan hal tersebut dengan seadanya. Film memasukkan konflik sekenanya. Sesimpel kayak mereka tinggal nambahin bagian-bagian itu ke dalam cerita film yang lama.

Film ini enggak peduli sama karakter-karakter. Oh, Lily punya tiga saudara tiri yang dibesarkan di lingkungan maskulin? Nope, film tidak pernah membahas mereka sebagai suatu karakter khusus. They are just there. Salah satu aspek yang membuat The Craft original begitu populer sehingga menyandang status cult 90an adalah karena film tersebut menggelora oleh personalitas. Setting dan karakter dan stylenya begitu membekas. Keempat penyihir di film itu semuanya diberikan backstory dan karakter. Ada yang tinggal di rumah yang abusive, ada yang dibully oleh teman yang rasis, ada yang sekujur tubuhnya luka bakar sehingga ia menderita setiap kali pengobatan, tokoh utama cerita itu sendiri harus berjuang mengarungi hidup di tempat baru, dengan dealing with kehilangan ibu dan segala macam. Maka mereka berempat punya alasan untuk beralih atau percaya kepada sihir. Mereka bonding over this, mereka belajar menggunakan kekuatan sihir, ada semacam mentor dan tokoh sihir yang mereka kunjungi, dan nantinya sihir itu akan mempengaruhi pribadi mereka dengan cara yang berbeda-beda. Tidak ada hal tersebut dalam film The Craft: Legacy. Tokoh-tokohnya tidak diberikan cerita latar ataupun kehidupan. Sihir di film ini tidak memiliki bobot apa-apa kepada para karakter. Hanya suatu hal spesial yang mampu mereka lakukan. Dan mereka seketika jago gitu aja, hanya lewat sekali montase. Kita tidak tahu siapa teman-teman baru Lily. Hanya Lily (yang diperankan dengan natural oleh Cailee Spaeny) seorang yang diberikan cukup banyak hal untuk kita pegang. Namun bahkan Lily itu tidak punya sesuatu yang paling penting yang harus dimiliki oleh tokoh utama.

Motivasi.

Untuk dua babak penuh, kita tidak tahu Lily ini maunya apa. Dia hanya bersekolah, unjuk kekuatan sihir dengan teman-teman, dan malam hari di rumah mendengar/mengalami hal-hal ganjil. Film ini sendiri tidak berniat untuk menggagas apa-apa selain pertarungan cewek melawan cowok (karena yang jahat harus cowok) yang ditambahkan begitu saja di babak akhir. Ya, kalo empat sentral aja gak ada development dan karakter, gimana tokoh jahatnya bisa dapat kesempatan untuk ditulis lebih baik. Satu-satunya pertanyaan yang disematkan oleh film – dan tampaknya jadi penggerak cerita karena cuma ini yang jadi bahasan di akhir – adalah soal hubungan Lily dengan tokoh-tokoh di film yang pertama. Keseluruhan film seperti bergerak dengan motivasi untuk memberikan kita jawaban terhadap hal tersebut. Dan meskipun mungkin memang itulah hal yang paling penting dari eksistensi film ini; jawaban yang mereka sediakan juga tidak memuaskan. Tokoh lama yang muncul sebagai koneksi terhadap Lily hanya diperlihatkan beberapa detik, dengan hanya sepenggal dialog. Seakan ingin ngehook kita supaya meminta sekuel. Pede sekali, memang.

Kebanyakan pria menginginkan kekuatan supaya bisa memegang kendali atas hal lain. Power for order, kata tokoh jahat di film ini. Namun wanita-wanita seperti Lily, ingin untuk jadi kuat tapi tidak pernah menginginkan kekuatan tersebut demi berkuasa atas orang lain. Mereka justru ingin kuat supaya bisa memegang kendali atas diri mereka sendiri. Power yang seperti inilah yang memang harus diperjuangkan.

 

CGI di momen revealing begitu jelek, bagusan CGI di film lamanya malah

 

Dengan karakter dull, ditambah efek-efek yang sekelas efek film televisi, film ini jadinya memang boring sekali. Sekali lagi coba kita bandingkan dengan The Craft yang lama. Dunia cerita tersebut menarik dan hidup. Bukan sekolah biasa yang jadi panggung cerita, melainkan sekolah katolik. Ini menciptakan kontras luar biasa menarik untuk digali; karena tokoh utama kita berpraktek sihir di lingkungan keagamaan tersebut. Film pertama kuat oleh penanda zaman, setting katolik dan tema penyihir itu dimanfaatkan untuk menampilkan aksesoris dan fashion-fashion gothic yang membuat gaya film ini 90an banget. Referensi ke tahun itu enggak dijejelin masuk, melainkan natural mendarah daging di cerita. Pada The Craft: Legacy, bahkan visual dan tempatnya juga hampa. Bincang-bincang soal sihir terasa datar karena lingkungannya tak beridentitas. Fashion dan penanda tahun generasi Z mereka tak tampak unik, malah cenderung maksa. Empat penyihir ini udah kayak power rangers, pake pakaian dengan corak warna yang sesuai dengan warna aura mereka. Tidak menarik, warna-warni itu justru hampa dan gak vibrant jika dibandingkan dengan hitam-putih yang dikenakan The Craft yang lama.

The Craft yang pertama juga jatoh saat babak ketiga yang konfliknya seperti hadir terlalu mendadak. Seolah film itu butuh durasi lebih banyak supaya development bisa lebih enak. Namun jatohnya film itu bukan apa-apa dibanding begonya film The Craft: Legacy yang datar ini pada babak ketiga. Terutama menjelang ending; itu penulisannya bukan cuma kurang cakap, tapi juga luar biasa males. Setelah konfrontasi yang melibatkan tokoh dengan peran gede meninggal, adegan berikutnya dibuat begitu normal – dengan para karakter lain ngebecandain keadaan tersebut. Seolah kejadian yang mereka alami sebelumnya bukan apa-apa. Gak ada efek terhadap mereka semua. Tidak ada aftermath, tidak ada apapun, karena film ingin buru-buru menjawab pertanyaan penting mereka; Lily anak siapa??

 

 

 

 

Film ini sukses, dalam membuat sihir menjadi seboring ini. Mereka punya agenda sebagai bumbu untuk cerita lama yang mereka perbarui, tapi tidak punya keahlian dalam crafting agenda tersebut ke dalam cerita yang benar-benar utuh, dan enak untuk diikuti. Kekuatan sihir bagi film ini sama aja kayak kekuatan superhero; orang yang jarinya bisa berapi, orang yang bisa mengendalikan elemen. Horor bagi film ini cuma adegan-adegan mimpi di malam hari, adegan misterius bagi film ini adalah momen-momen yang kelupaan dibahas seperti ketika saudara tiri Lily diceritakan hobi jalan dalam tidur, tanpa dijelaskan kenapa maupun pengaruhnya ke cerita. Karakter bagi film ini, ya, sekadar tokoh-tokoh pengisi dialog aja tanpa ada pengembangan atau penokohan yang membuat mereka manusiawi. Mereka pikir bisa menarik sekuel dari cerita lama seperti menarik kelinci dari topi, but really they should have about how to craft first.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for THE CRAFT: LEGACY

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Berhubung masih suasana Halloween, apa film tentang penyihir yang paling berkesan bagi kalian – selain Harry Potter loh ya hihi.. Kenapa menurut kalian kita begitu fascinated terhadap sihir?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

NOCTURNE Review

20 Tuesday Oct 2020

Posted by arya in Movies

≈ 10 Comments

Tags

2020, drama, family, horror, love, Music, mystery, psychological, review, sibling, sisterhood, spoiler, supernatural, thought, twins

“No one remembers who came in second.”

 

 

 

Enggak ada yang bakal ingat sama pemenang kedua. Saat juara pertama dielukan, dikenang sebagai hero dan pemenang sejati, si rangking dua hanya akan dipandang sebagai lawan yang dikalahkan. Rintangan yang berhasil dilewati. Bagaimana pun juga yang ada di urutan kedua tetaplah akan berada di dalam bayang-bayang urutan kesatu. Berapa banyak yang bicarain Neil Amstrong dan berapa banyak yang ingat duluan sama Buzz Aldrin ketika membicarakan manusia yang menjejakkan kaki di bulan. Pokoknya jadi yang kedua itu gak enak deh. Plek. Bagi kalian yang merasa seperti demikian, yang setuju tidak ada yang peduli sama si nomor dua, yang mengkhawatirkan diri sendiri karena berada di posisi tersebut, maka horor karya Zu Quirke akan lebih beresonansi dan powerful. Karena film ini bercerita tentang si Nomor Dua yang sudah muak berada di bawah bayang-bayang keberhasilan, yang sudah eneg dibandingkan. Yang memutuskan untuk keluar mencuatkan diri karena dia merasa mampu dan bosan mengalah.

Juliet (menakjubkan range negatif dan melankolis yang mampu ditunjukkan oleh Sidney Sweeney) terlahir dua menit lebih lama dari saudara kembarnya, Vivian. Posisi yang kemudian dia sesali ini tampak sudah digariskan kepadanya sejak di dalam kandungan. Juliet selalu menjadi nomor dua terhadap apapun yang dilakukan Vivian (Madison Iseman dengan klop memainkan kontras bagi karakter Juliet). Kedua saudari ‘wombmate’ ini sama-sama kepincut piano saat masih balita. Keduanya terus berlatih sehingga menjadi jago. Namun hanya Vivian yang mendapat ‘hadiah’. Vivian dapat undangan masuk universitas musik ternama. Vivian dapat pacar. Vivian digembleng guru terbaik (dan termirip Chef Juna). Vivian dapat kepercayaan ditunjuk sebagai pianist utama dalam konser musik klasik yang udah jadi tradisi kelulusan di sekolah musik mereka. Sementara Juliet dapet apa? Nihil. Selain perasaan tertinggal, kurang percaya diri, dan iri terhadap Vivian. Juliet bahkan tidak punya teman karena sibuk menutup diri. Menempa diri supaya bisa keluar dari bayang Vivian, supaya bakatnya direcognize oleh orang. Belakangan, Juliet mendapatkan sesuatu yang bahkan tidak dipunya oleh Vivian. Sebuah buku memo musik berwarna hitam, dengan simbol matahari dan gambar-gambar seram di dalamnya. Buku tersebut memberikan ‘semangat’ baru bagi Juliet. Yang menjadi nekat untuk terang-terangan berkompetisi dengan Vivian, meskipun gambar-gambar seram di buku itu mulai terwujud satu per satu ke kehidupan Juliet dan sekitarnya.

Bukunya mirip Death Note, cuma ini notenya not balok.

 

 

Nocturne mengeksplorasi gagasan horornya tentang berada di posisi kedua tersebut ke dalam nada-nada suram. Membuat ceritanya terasa efektif sebagai horor yang manusiawi, meskipun ada unsur supernatural di dalam. Efektif, dan juga cerdas. Supernatural tersebut dimainkan sedemikian rupa sehingga membuat kita penasaran. Tidak pernah dijelaskan terlalu gamblang; film tidak menghamparkan semua jawaban. Aku senang sekali film ini berhasil mengelak dari trope ‘research misteri supernatural’ seperti yang biasa dilakukan oleh film-film horor. Kita tidak melihat ada karakter yang meriset lewat google ataupun paranormal sebagai device gampang ketika naskah butuh untuk memaparkan informasi atau ‘aturan dunia’. Karena memang film ini bijak sekali, dia tahu dia tidak perlu memaparkan berlebihan. Justru film menguatkan psikologi karakter, sehingga mental dan supernatural itu secara alami bakal beririsan. Eventually membuka ruang bagi kita para penonton untuk memikirkan misterinya.

Kompetisi dan kecemburuan antarsaudara digambarkan oleh film ini jauh dari gaya-gaya mainstream. Interaksi antara Juliet dan Vivien berkembang, mulai dari akrab saling membutuhkan hingga apart saat mereka mulai jujur terhadap ‘uneg’ masing-masing. Film tidak berlebihan menggambarkan konfrontasi mereka. Sudut pandang Juliet tetap nomor satu di sini (yea, meskipun tokohnya adalah si nomor dua – loser dari saudaranya). Bahasa visual film tergambar kuat. Sekali lihat saja kita bisa tahu bahwa saudari kembar ini begitu berbeda, yang satu tertutup, kurang gaul, sedangkan yang satunya lagi bagai matahari dalam lingkungan pergaulannya. Dan seketika itu juga kita ditarik ke pertanyaaan kenapa mereka begitu berbeda dan bagaimana masing-masing memaknai perbedaan mereka tersebut. Di sinilah elemen horor menjalankan fungsi. Sebagai kepingan jawaban dari pertanyaan tadi. Kepingan yang kita susun lewat adegan demi adegan surealis. Menyaksikan film ini persis seperti menonton seorang penari yang melenggak lenggok mistis, mengundang kita untuk menyelami makna tariannya.

Sebagai sebuah cerita horor dalam kehidupan pemusik, maka sudah barang tentu musik itu sendiri berperan besar di dalam penceritaan. Sebagai ‘teman’ dari visual ngeri, dengan cahaya-cahaya menyilaukan, menjembatani persepsi kita soal mana yang nyata mana yang bukan, dihadirkanlah musik yang benar-benar unik. Menjadi nyawa bagi film ini. Kepentingan musik latar itu semakin menjadi-jadi tatkala film menyelaraskannya dengan editing. Dengan sesekali membentrokkan musik dengan peristiwa yang sedang kita lihat. Ini merupakan teknik membangun ekspektasi. Ketika kita secara natural mengharapkan adegan tertentu bakal diisi oleh musik klasik seperti yang sebelumnya dilakukan oleh film, mendadak film tidak melakukannya. Melainkan dengan musik lain, yang lebih ngetekno. Menciptakan sensasi gak-cocok yang creepy, yang secara konteks cocok sekali dengan perasaan yang ingin dihantarkan oleh adegan tersebut. Dan meski bersandar pada kekuatan ‘magis’ musik, film ini tidak sekalipun menggunakan jumpscare. Padahal ada banyak adegan yang nature-nya adalah untuk bikin kaget. Seperti pundak yang dicolek dari belakang dan ternyata yang nyolek itu temannya, atau adegan horor beneran ketika wajah menyeramkan mendadak muncul di cermin. Film ini imannya kuat. Dia tidak menyerah pada napsu mainstream untuk bermain kaget-kagetan. Musiknya dibiarkan mengalun minimalis. Menjaga kita tetap dalam posisi siaga, tanpa ampun, karena tidak memberikan outlet untuk melepaskan himpunan kengerian tersebut lewat teriakan kaget yang singkat.

Posisi dua sebenarnya tidak buruk, melainkan sebuah posisi mulia. Sebuah tempat yang seringkali menjadi rumah untuk sebuah pengorbanan. Jika saja Juliet mengingat pepatah bahwa mengalah bukan berarti kalah, maka tentulah ia tidak akan jadi secemburu itu. Mengalah bukan berarti tidak mampu. Namun memang benar adanya bahwa tidak semua orang mampu untuk tetap positif berada di posisi itu.

 

Malah ada studi yang mengungkap, orang-orang justru lebih bahagia berada di posisi tiga dibanding posisi dua.

 

 

Pembahasan tentang ‘nomor-dua’ di film dilakukan dengan subtil dan juga tidak pernah berlebihan. Naskah juga memparalelkannya dengan dunia musika yang jadi panggung cerita. Yang nyatanya adalah sikap sang pembuat terhadap masalah dalam menjadi nomor dua tersebut. Sikap dan gagasan ini dapat kita simak saat adegan jamuan ulang tahun si Kembar. Pada adegan tersebut, para karakter berdiskusi soal musik klasik yang kini telah kalah populer dengan musik elektronik, atau rap, atau apapun yang diimplikasikan oleh salah satu karakter. Jawaban karakter satunya mengenai keadaan tersebut – musik klasik adalah nomor dua dalam hal ini – menjadi pernyataan yang layak kita semua renungkan. Karena bagaimanapun juga, purpose sesuatu di dunia ini bukanlah mutlak untuk menjadi yang ter-nomor satu, entah itu terbaik, terpopuler atau apalah. Seringnya berbagai hal menempati posisi tertentu sebagai suatu bagian dari desain yang lebih besar, dan enggak semua hal berhak untuk berada di posisi tersebut. Karena posisi tidak selamanya mencerminkan kita medioker atau bukan. Adegan obrolan ini punya bobot yang besar, diceritakan dengan subtil pula. Tak lain, ini membuktikan kehandalan sutradara dan penulis dalam bercerita.

Perjuangan Juliet akan begitu menghantui. Kelam dan lantang oleh ‘bisikan-bisikan’ yang bikin kita merinding juga menontonnya. Dengan pacing yang sebenarnya cukup terjaga, ada beberapa momen di film yang sekiranya bisa dibuat lebih dinamis lagi. Bayangkan Suspiria (1977) dan Black Swan (2010), film ini nuansa creepynya persis kayak gabungan dua film itu. Maka ia bisa menjadi sedikit terlalu banyak untuk penonton. Film mestinya bisa lebih go easy sedikit, kita perlu lebih banyak melihat interaksi Juliet dan Vivian, terutama saat mereka masih akrab – atau setidaknya Juliet masih mampu menahan kecemburuannya. Dan kupikir kita memang perlu melihat lebih banyak lagi mereka akrab karena percakapan terakhir mereka seharusnya merupakan kebalikan penuh dari dinamika mereka di awal cerita. Plot/perkembangan mereka harusnya ‘berakhir tengkar namun Juliet memahami kesalahannya’ dari yang tadinya ‘akrab tapi Juliet masih diliputi kecemburuan’. Pada bagian awal, film lebih dari cukup dalam menampilkan Juliet masih diliputi kecemburuan. Hanya soal ‘akrab’nya saja yang tak benar-benar kelihatan karena cerita dimulai saat Juliet sudah krisis diri seperti yang kita saksikan. Jadi, buatku plot cerita ini mestinya bisa lebih melingkar lagi.

 

 

 

Dari empat film yang dikeluarkan Blumhouse sebagai kwartet di Halloween tahun ini (tayang di Amazon) aku baru nonton dua film. Dan setelah kecewa berat sama The Lie (2020), semangatku untuk meneruskan nonton kwarter ini menggebu lagi begitu kisah Juliet dan Vivian ini beres aku saksikan. Film ini jauh lebih baik daripada The Lie. Horornya benar-benar terasa, menghantui psikologis kita yang merasa tidak dihargai ataupun merasa kecil karena harus mengalah di dalam bayang-bayang si nomor satu. Film ini bermain dengan pribadi manusia lewat audio dan visual yang sama-sama creepy. Lebih dari satu kali, aku senang film ini memilih opsi yang membuat dirinya tidak terjauh ke jurang horor-mainstream dengan jumpscare ataupun suara jeger-jeger ataupun twist murahan. Film ini punya irama horor sejati, yang bisa jadi sudah dinomorduakan oleh industri sinema horor, tapi film ini tetap mempertahankannya. And I like it!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NOCTURNE

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Setujukah kalian dengan studi yang mengungkap orang-orang cenderung lebih senang di peringkat ketika dibandingkan kedua. Mengapa kira-kira bisa seperti itu?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

HUBIE HALLOWEEN Review

09 Friday Oct 2020

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2020, comedy, family, friendship, funny, halloween, horror, life, love, mystery, netflix, review, spoiler, supernatural, thought

“Putting people down does not make you a powerful and strong person”

 

 

 

Gaung Uncut Gems (2020) yang menghadirkan penampilan paling manusiawi dari Adam Sandler belum lagi hilang – well, setidaknya di blog ini, karena masih masuk pada Rapor Film Cawu I – tapi aktor komedi itu tampaknya sudah rindu konyol-konyolan yang sudah menjadi cap dagangnya di dunia perfilman. Either that, atau Sandler sedang mewujudkan ikrarnya. Ingat saat Sandler berkelakar jika perannya di Uncut Gems gak dapet Oscar maka dia berjanji akan menyiksa kita semua dengan membuat ‘komedi terburuk yang pernah diciptakan Netflix’? Nah mari kita cari tahu apakah Hubie Halloween ini benar merupakan balas dendam yang Sandler janjikan tersebut.

Di sini Sandler mengajak rekan-rekannya yang biasa untuk membuat horor komedi bertema Halloween. Dia mendaulat dirinya sendiri sebagai Hubie, seorang pria yang bermental kalah jauh dari lama dirinya hidup di muka bumi. Tepatnya di kota Salem, kota yang terkenal dengan urban legend penyihir dan mistis. Tinggal bersama ibunya, Hubie sebenarnya punya misi yang mulia. Setiap tahun dia mendedikasikan diri untuk menjadi penjaga-halloween. Menegakkan ketertiban dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada malam halloween ke kepolisian setempat. Masalahnya adalah, nyaris seluruh warga kota itu menyepelekan Hubie. Mereka tidak melewatkan kesempatan untuk menakut-nakuti Hubie. Melempari Hubie dengan beragam benda, mulai dari tisu toilet hingga kapak! ketika pria malang itu lewat dengan sepeda dan termos multifungsinya. Hubie adalah laughing stock, outcast, bahan bully penduduk kota. Padahal malam halloween kali ini jadi malam penting bagi Hubie. Karena bukan saja dia disuruh ibunya untuk mulai belajar berani membela diri (Hubie juga mencerna ini sebagai nasihat untuk berani bilang suka sama wanita yang sudah ia taksir sejak SD), tapi juga karena Salem beneran dalam bahaya. Jika film ini adalah game Among Us, maka Salem malam ini kedatangan setidaknya tiga impostor; seorang napi asylum yang kabur, seora–ehm seekor manusia serigala yang lepas, dan satu penculik bertopeng misterius yang berkeliaran menangkapi warga satu demi satu.

Tapi jika Hubie main Among Us, niscaya dia yang jadi crewmate sendirian dan dibully oleh banyak impostor lol

 

 

Sekali lihat saja kita sudah tahu bahwa ini bakal jadi cerita klasik ala komedi Adam Sandler. Cerita tentang seorang ‘idiot’ yang pada akhirnya akan jadi pahlawan, dielu-elukan semua orang, dan tentu saja mendapatkan cewek. Formula cerita seperti demikian sebenarnya tidak pernah sebuah masalah yang besar. Maksudnya; sah dan boleh-boleh saja. Apalagi cerita underdog seperti demikian memang lebih mudah untuk dinikmati, dan bahkan direlasikan. Masalah justru terletak pada bagaimana menceritakan formula tersebut. Kita perlu plot, karakter, dan juga candaan yang diceritakan dengan fresh. Hubie Halloween berdurasi sembilan-puluh menit. Dan bukan saja berceritanya penuh dengan trope-trope ‘sinematik Sandler’, candaan dan punchline yang menyertai pun seringkali berulang-ulang.

Film ini kalo jujur maka judulnya menjadi berbunyi ‘Seribu Ekspresi Ketakutan Adam Sandler sebagai Pria Kekanakan’. Karena memang itulah senjata komedi yang jadi ujung tombak film ini. Hubie dikagetin oleh topeng domba di etalase tokonya. Hubie terkejut oleh mobil yang disetir seseorang tanpa kepala. Hubie menjerit melihat dekorasi halloween yang ia sangka hantu beneran. Satu-satunya build up yang dipunya oleh film ini – dalam lingkup komedi – adalah build up untuk merekam ekspresi kaget Adam Sandler di depan kamera. Selebihnya, komedi dalam film ini dihadirkan lewat kekonyolan kejadian yang terlahir dari karakter-karakter yang ditulis secara absurd pula. Kekonyolan tersebut terjadi begitu saja. Tidak ada ritme, set up, atau sekadar sedikit lebih banyak thought di balik setiap punchlinenya. Soal delivery, semua pemain sebagian besar adalah aktor komedian yang sudah sering kerja bareng. Sehingga mereka benar-benar tampak fun dan mampu memancing gelak tawa hanya dengan ‘menjadi mereka seperti biasa’. Seberhasil-berhasilnya komedi Hubie Halloween adalah karena pengetahuan atau kefamiliaran kita kepada skit-skit dan gaya para pemeran, bukan karena penulisan komedi. Ketika kita melihat Steve Buscemi menjadi possible-werewolf, kita tertarik karena ini seperti perannya di animasi komedi mereka. Komedi dalam film ini mengandalkan ‘outside knowledge’ seperti demikian.

Ini disayangkan karena cerita Hubie ini punya potensi. Untuk beberapa menit pertama aku punya ketertarikan besar untuk mengikuti cerita meski sudah banyak lelucon lebay yang dihadirkan. Satu yang buatku genuine lucu dan dialognya bener ada set up komedi adalah percakapan antara Hubie dengan ibu soal ayah. Namun kemudian seiring bergulirnya cerita, tokoh-tokoh pendukung yang diperankan oleh pemeran yang udah gak asing hadir di film Adam Sandler bermunculan satu per satu tanpa kematangan penulisan karakternya, semakin jelas bahwa film tidak mau repot menulis untuk komedinya. Setting cerita juga sebenarnya sudah bagus. Merekam kejadian horor dalam rentang waktu tertentu – seluruh kejadian film ini berlangsung satu hari, dan dengan fokus di malam halloween – membuat cerita nyaris otomatis terkesan urgen. Ide ceritanya yang membaurkan tiga ‘impostor’ juga menarik. Karena memberikan misteri beneran untuk dipecahkan oleh Hubie. Si tokoh utama ini pun ditulis punya obstacle yang bisa kita pedulikan. Berkaitan dengan pesan bullying yang dilantunkan oleh cerita.

Setiap orang punya kelemahan, punya kecemasan, punya sesuatu yang ditakuti. Dan terkadang ada beberapa orang yang merasa bahwa kelemahan tersebut membuat mereka jadi punya kebutuhan untuk membully orang lain yang lebih lemah. Supaya mereka bisa merasa lebih baik terhadap diri mereka sendiri.

 

Di-bully seumur hidupnya, tidak menjadikan Hubie tumbuh menjadi pria pendendam. Dan ini disalahartikan orang; mereka menganggap Hubie penakut. Well, Hubie yang kagetan mungkin memang penakut sama setan, tapi dia tidak pernah penakut seperti yang disangka oleh penduduk kota. Hubie tidak melawan atau membalas perlakuan bukan karena dia takut. Melainkan karena dialah the better man di kota itu. Dia selalu mementingkan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Hubie punya banyak kelemahan, tapi dia tidak sekalipun berniat untuk menutupi kelemahannya dengan menimpakan kepada orang lain – dengan membuat orang tampak lebih lemah daripada dirinya. Sikap inilah yang membedakan Hubie dengan warga lain. Film ini mengenakan pesan tersebut seperti Hubie mengenakan selempang halloween-protectornya;  mencolok dan too-obvious. Tidak disematkan dengan subtil. Pesan-pesan itu dicuapkan langsung lewat dialog. Diejakan seolah kita enggak kalah terbelakangnya dengan anak-anak kecil yang membully Hubie.

Ada yang jual gak sih termos kayak punya Hubie?

 

 

Penanganannya terhadap gagasan baik tersebut membuat film jadi tampak semakin malas dan tampil secukupnya aja. Untuk memenuhi keinginan bermain-main saja. Secara plot dan perkembangan karakter, gagasan yang dihadirkan gitu aja itu membuat Hubie menjadi tokoh utama yang gak punya perkembangan. Pembelajaran yang ia lakukan hanya memberanikan diri untuk ngobrol hati ke hati kepada cengcemannya. Instead, justru tokoh pendukunglah yang dibebankan untuk berubah. Penduduk Salem lah yang harus belajar untuk menerima dan menjadikan Hubie sebagai teladan. Tokoh utama kita imperfect, tapi dia tidak salah di sini.  Hal ini berpengaruh kepada penulisan aneh yang dilakukan oleh film. Tokoh-tokoh pendukung yang banyak itu diberikan penulisan seadanya karena mereka bakal mengungkap ‘siapa’ mereka di akhir. Jadi dengan kontruksi bercerita seperti begini; membuat tokoh utamanya tidak dikenai perkembangan, melainkan tokoh-tokoh pendukungnya yang mendapat pembelajaran, kita harus ‘menderita’ menikmati komedi konyol yang datang tanpa pace dan ritme dan set up. Semua tokoh yang belajar itu difungsikan sebagai pion saja. Bahkan tokoh love interest Hubie pun tak banyak mendapat karakterisasi karena film juga meniatkan dia sebagai salah satu tersangka utama.

 

 

 

 

Untuk menjawab pertanyaan di atas soal apakah film ini adalah balas dendam yang dijanjikan Adam Sandler; tidak. Film ini masih punya nilai dan gagasan dan tidak terlihat seperti karya dari seseorang yang berniat menghasilkan sesuatu yang terburuk untuk ditonton banyak orang. Film ini menurutku lebih seperti proyek cominghome kecil-kecilan aja. Seperti Sandler ingin berkata walaupun dia sukses menjajal drama serius, hati dan passionnya masih pada komedi konyol seperti ini. Dan dia memperlihatkan bahwa dia tidak akan dibully karenanya. Pada akhirnya film ini tetaplah bisa dijadikan hiburan pengisi halloween, horor menyenangkan yang membuat kita lupa sama horor di luar jendela masing-masing selama sembilan-puluh menit.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for HUBIE HALLOWEEN.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Pernahkah kalian membully seseorang dan kini menyesalinya? Jika bisa mundur ke belakang, apa yang ingin kalian katakan kepada orang yang kalian bully?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

VAMPIRES VS. THE BRONX Review

06 Tuesday Oct 2020

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2020, adventure, comedy, drama, family, friendship, funny, horror, kids, life, netflix, review, spoiler, supernatural, thought

“Capital is dead labour, that, vampire-like, only lives by sucking living labour, and lives the more, the more labour it sucks”

 

 

 

Ketika Miguel bilang Murnau Properties mengunyah kota mereka, yang dimaksud Miguel adalah perusahaan konglomerat kulit-putih tersebut membeli bangunan-bangunan di kota Bronx – mengimingi pemilik bangunan dengan uang yang banyak supaya mau pindah. Bahkan toko favorit Miguel dijadikan sasaran dan terancam untuk berubah menjadi sesuatu yang asing; mungkin jadi kafe milennial atau semacamnya, yang orang-orang tidak mengerti yang bakal dijual itu apa. Miguel sendiri, saat mengatakan itu, belum sadar bahwa pernyataannya tadi juga bermakna literal. Karena perusahaan Murnau diam-diam – di malam hari!- memang beneran menguyah para pemilik bangunan yang mereka beli. Bisnis properti dan real estate Murnau cuma kedok. Murnau Properties nyatanya adalah perusahaan vampir pemangsa manusia yang bermaksud menjadikan kota Bronx sebagai sarang mereka yang baru!

Memang, sudah lama perilaku kapitalisme diibaratkan sebagai tindakan orang kaya menghisap darah rakyat jelata. Penggalan kalimat yang kujadikan penghantar ulasan ini kukutip dari tulisan Karl Marx perihal kapitalisme. Kita tidak perlu repot jauh-jauh membayangkan bagaimana perusahaan bisa menyedot habis pekerjanya. Karena keadaan di negara kita sekarang sudah mendekati, dengan disahkannya RUU Cipta Kerja oleh pemerintah. Ini jadi salah satu contohnya karena menurut RUU tersebut para karyawan dan buruh tidak akan lagi mendapat upah minimal, tidak lagi diberi pesangon saat pensiun ataupun di-PHK, tidak dikasih cuti berbayar untuk pekerja yang hamil, dan kebijakan lain-lain lagi yang lebih menguntungkan pihak bisnismen.

 

Metafora klasik vampir-kapitalis inilah yang digunakan sutradara Osmany Rodriguez sebagai landasan untuk membangun cerita horor komedi. Rodriguez juga ingin menyentil permasalahan kekuasaan kapitalis, dan dia tahu cara nyentil yang terbaik adalah dengan komedi. Yang diangkatnya di sini adalah permasalahan perombakan sebuah daerah lokal menjadi kawasan real estate lewat taktik pengenyahan warga. Mereka dibeli propertinya, yang kemudian properti tersebut diubah menjadi tempat usaha, dan seringkali kita dapati bentuk miris dari kejadian tersebut yaitu si pemilik asli justru nanti akan jadi karyawan di tempat usaha kapitalis yang membeli propertinya. Oleh Rodriguez, pihak perusahaan tamak seperti itu digambarkan sebagai vampir beneran. Orang-orang yang mereka hisap dibuat menghilang begitu saja – walaupun mungkin lebih pas kalo diubah menjadi vampir juga, tapi dapat dimengerti mati menghasilkan misteri yang lebih urgen. Karena film juga ingin menekankan satu hal; bahwa tidak ada yang peduli sama mereka, karena Bronx juga adalah tempat yang nyaris demikian marjinal sehingga ada karakter yang lugas menyebutkan tidak ada yang akan peduli sama penduduk di sini. Rodriguez menambahkan lapisan untuk membuat permasalahan itu semakin kompleks lagi. Lapisan berupa ras. Penduduk Bronx adalah mayoritas kulit hitam, yang enggak jauh dari tempat tumbuhnya para ‘gangster’. Pihak pendatang – para vampir itu – adalah kulit putih. Dulunya bangsawan dengan gaya hidup yang tentu saja jauh berbeda dengan kehidupan ‘hood’ di Bronx. Jadi film ini juga bercerita tentang mempertahankan tradisi atau gaya hidup di suatu tempat.

Cerita yang cukup gendut untuk horor-ko…. Hmmm… gendut.. seperti nadi di lehermu…. WAAARRRGGH!! *terkam*

 

 

Membuat anak-anak sebagai tokoh cerita adalah langkah yang tepat. Miguel dan teman-temannya membuat film ini jadi punya vibe petualangan horor yang sama dengan cerita-cerita seperti Stranger Things ataupun It yang sudah terbukti ngehits. Nontonin mereka terasa seru dan mengasikkan. Miguel dan teman-temannya juga memberikan ruang bagi film untuk mengeksporasi gagasannya dengan lebih leluasa. Komentar-komentar tentang kapitalisme itu jadi tidak lagi seperti beban yang harus diucapkan ketika meluncur keluar lewat sudut pandang anak-anak yang hanya ingin menyelamatkan toko tempat mereka bisa bebas bermain game dan menonton horor-horor rated R. Film ini sepertinya paling dekat dengan Attack the Block (2011); sekelompok anak muda yang mempertahankan neighborhood mereka dari serangan alien. Kedua film ini sama-sama mencuatkan semangat persatuan mempertahankan daerah. Semangat yang mungkin saja memang paling kuat dirasakan oleh anak/remaja karena merekalah yang paling merasakan keterkaitan dengan lingkungan tempat tinggal.

Vampires vs. The Bronx memang memusatkan persoalan tersebut sebagai plot utama. Hanya saja, film malah menempatkan itu kepada salah satu sahabat Miguel. Bukan kepada Miguelnya sendiri sebagai tokoh utama. Dan ini membuat Miguel kalah menarik. Miguel tidak mengalami banyak perkembangan sepanjang cerita. Stake yang ia rasakan juga kalah kuat dibandingkan tokoh lain, karena Miguel tidak berkenaan langsung dengan masalah properti itu sedari awal. Sebagai pelindung kota, dia juga tidak tampak punya kedekatan khusus karena kita diperkenalkan kepada Miguel saat dia semacam dibully oleh seisi kota; cewek-cewek menertawakannya, ibu memarahinya – di depan cewek-cewek, gangsta tak tertarik kepadanya. Justru yang paling punya ikatan dengan kota adalah si teman Miguel yang bernama Bobby. Dia punya plot yang personal; dia ingin bergabung dengan gangsta tapi berkonflik dengan masa lalu ayahnya yang kini diceritakan sudah tiada. Bobby jualah yang punya momen emosional terkait hal tersebut dengan familiar suruhan para Vampir. Secara karakter, Miguel kalah menarik dan kalah ‘penting’ dibandingkan Bobby. Miguel hanyalah karakter trope; anak kecil yang tidak dipercaya orang lain padahal apa yang ia katakan benar.

Miguel bersepeda keliling kota, bertemu dengan tetangga-tetangganya, memungkinkan kita untuk mendapat gambaran tentang kehidupan di Bronx. Kota itu sendiri memang penting untuk ditampilkan karena kita tidak bisa bicara tentang kapitalis yang mengubah satu kota jika tidak memperlihatkan seperti apa kota tersebut; seperti apa kekeluargaan dan kebiasaan di sana. Karena ini komedi, Rodriguez memberikan kita karakter-karakter yang kocak sebagai napas kota Bronx sebagai tokoh tersendiri. Mulai dari Pastor yang jengkel sama anak-anak nakal hingga ke abang-abang yang nongkrong di jalanan, semua tokoh pendukung di film ini diset untuk memancing komedi. They just do funny things, dan memang sebagian besar dari mereka tidak diberikan fungsi apa-apa lagi. Misalnya seperti tokoh anak cewek yang ngevlog; tadinya kupikir tokoh ini akan masuk ke geng Miguel dan ikut bertualang melawan Vampir. Tapi ternyata tidak, dia hanya dimunculkan saat-saat film butuh untuk nyerocosin beberapa eksposisi dan untuk nampilin informasi yang dibutuhkan oleh Miguel dalam mengungkap Vampir.

Ketika seluruh kota menerapkan mosi tidak percaya kepada dirimu

 

 

Mitologi Vampir itu sendiri digambarkan sangat lengkap. Dan dipikirkan matang-matang penempatannya. Aku suka karena beberapa hal terangkai dengan mulus. Kita mungkin sempat bertanya kenapa Vampir ingin menguasai real estate dan membeli semua bangunan di kota itu. Film ini punya jawaban yang simpel nan masuk akal untuk pertanyaan tersebut. Jawabannya karena menurut mitologi, Vampir gak bisa masuk ke suatu tempat tanpa diundang. Maka, supaya bisa memangsa sesuka hati, para Vampir itu tentu saja perlu untuk memiliki rumah dan toko-toko di situ – mereka gak perlu minta izin dulu untuk bisa masuk.

Aku mau melihat film ini melewati efek visualnya, karena meskipun memang terlihat ‘murah’ tapi masih konsisten dengan nada konyol yang ditampilkan film sebagai komedi. Nyawa film ini justru di pembangunan dunianya. Begitu film mengimplementasikan mitos-mitos kayak gini ke dalam gerak plot, di situlah ketika film ini hidup. Membuatnya cerdas. Namun sayangya, film ini katakanlah sebagai makhluk hidup yang bernapas; ia tidak benar-benar satu spesies yang unik. Vampires vs. The Bronx lebih seperti seorang Frankenstein. Makhluk yang tersusun atas bagian-bagian makhluk lain. Karena alih-alih membangun dari sesuatu yang benar-benar baru, film ini terlalu mengandalkan mitos dan hal-hal lumrah, dan juga referensi, yang kita ketahui tentang Vampir dari film-film lain. Menebak hal-hal yang kita kenali saat menyaksikan suatu film memang mampu menghasilkan kesenangan tersendiri. Nama Murnau yang mengacu pada sutradara Nosferatu; yang kalo aku gak salah adalah film pertama tentang vampir, teknik montase cepat-cepat yang mengingatkan kepada teknik khas sutradara Shaun of the Dead; yang arguably film mayat hidup terkocak dekade modern ini, dan bahkan nunjukin dengan terang-terangan perihal film Blade yang menginspirasi karakter anak di film ini (ras kulit hitam yang keren dalam memburu Vampir). Terasa sekali kekurangorisinilan yang membayangi film ini

 

 

 

Memang, minimnya penggalian dan elemen baru tersebut tidak bakal menyurutkan unsur fun dan keseruan kita dalam menonton film ini. Hanya saja, secara eksistensi, film ini sesungguhnya mampu menjadi sesuatu yang spesial. Pun hadir dengan level kerelevanan yang tinggi. Sayangnya, setelah menonton, ia cuma terasa sebagai ‘just another horror-comedy’. Terlalu banyak kesamaan dan pengingat kita terhadap film-film lain. Tokoh utamanya pun tidak begitu membantu karena juga kalah spesial dengan tokoh pendukungnya. Aku suka implementasi gagasan ke mitologi Vampir yang dilakukan oleh film ini. Harusnya film ini lebih berani lagi untuk keluar dari bayang-bayang genrenya. Supaya efek cerita dan keberadaan film ini jadi semakin terasa lagi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for VAMPIRES VS. THE BRONX

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Setujukah kalian dengan kapitalis sebagai setan penghisap darah? Bagaimana pendapat kalian tentang Omnibus Law yang baru disahkan tersebut?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

EXTRA ORDINARY Review

26 Saturday Sep 2020

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2019, 2020, comedy, drama, fantasy, funny, horror, love, mature, mystery, relationship, review, spoiler, supernatural, thought

“A life spent making mistakes is not only more honorable, but more useful than a life spent doing nothing.”

 

 

 

Extra Ordinary sungguhlah berada di luar kebiasaan horor-horor komedi yang lumrah kita temukan. Karena dunia cerita yang absurd itu alih-alih dibalut oleh kekonyolan lebay dari karakter-karakter yang berurusan dengan setan, malah dibalut oleh hati yang cukup hangat sehingga menonton ini bukan saja kita lepas tertawa. Melainkan juga kita seperti telah melepaskan beban yang menggelayut, yang membuat selama ini kita belum menjalani hidup yang sebenar-benar hidup.

Tokoh utama film ini aja sudah begitu unik. Cewek jomblo. Seorang instruktur latihan nyetir mobil. Rose namanya (Maeve Higgins memerankan sekaligus turut ambil bagian dalam menulis skenario). Dia berusaha keras membuat hidupnya tampak biasa-biasa saja. Lambaian ranting pohon dan anggukan steker toaster di pinggir jalan itu, dia cuekin. Hantu-hantu di jalanan itu, dia pura-pura tak lihat. Pesan-pesan yang masuk di hp-nya, yang pada minta tolong diusirin hantu itu, dia tak gubris. Jika setiap orang dilahirkan punya bakat, maka bakat (bukan terpendam, melainkan dipendam) Rose adalah bisa bicara dengan hantu. Bakat yang tak pelak menurun dari sang ayah; paranormal lokal yang videonya menyambut kita di adegan pembuka. Ayahnya itulah yang menjadi penyebab kenapa Rose kini tidak mau lagi menggunakan bakatnya untuk membantu orang. Sampai wanita ini bertemu dengan Martin (Barry Ward bakal nunjukin kefleksibelan aktingnya di sini), duda yang masih hidup bersama hantu istrinya. Rose tak punya jalan lain, selain bekerja sama dengan Martin berkeliling kota mengumpulkan ectoplasma hantu. Untuk menyelamatkan gadis remaja Martin yang dikutuk menjadi tumbal ritual setan oleh seorang rocker yang ingin kembali terkenal. Di balik absurdnya petualangan mereka, resiko besar membayangi Rose. Salah-salah, dia bisa kembali kehilangan orang terkasih karena bakatnya sendiri.

Beginilah cara menggarap horor komedi eksorsis dengan tokoh utama cewek!

 

 

Horor komedi memanglah genre yang gampang-gampang susah untuk digarap. Pesona dari genre ini tentulah berasal dari sesuatu yang menakutkan dipandang sebagai hal yang mengundang tawa. Dilihat dari situ, fungsi genre ini jadi seperti untuk menenangkan ketakutan kita itu sendiri. Dengan menertawakannya. Prinsipnya tak jauh dari komedi secara umum, yakni adalah jika kita sudah legowo untuk menganggap lucu sebuah kejadian atau tragedi atau diri kita sendiri, berarti kita sudah siap untuk menghadapi kejadian itu. Dalam ranah horor komedi, tentu saja ‘kejadian’ itu adalah sesuatu yang kita takuti. Dan sutradara Mike Ahern dan Enda Loughman paham; yang kita takuti itu enggak mesti hantu ataupun setan. Film ini berani untuk menarik lebih ke belakang lagi, ke sumber ketakutan di balik hantu dan setan tersebut.

Komedi yang dicuatkan di film ini bukan datang dari reaksi orang-orang yang ketakutan. Tidak akan kita jumpai adegan jumpscare konyol di sini. Tidak ada adegan orang kaget terus latah dan bilang “Wah elo ngagetin aja!”, “Kok elo? Gue nih yang kaget!!” ataupun adegan seperti karakter sompral padahal di belakangnya ada setan, dan lantas si karakter berbalik dan kaget sekonyol-konyolnya ngeliat ada setan di sana. Justru sebaliknya. Extra Ordinary ngebanyol dengan reaksi karakter-karakter seperti Rose dan Martin yang menganggap hantu itu biasa-biasa saja. Para hantu yang malah digambarkan konyol, namun tidak pernah terkesan lebay berkat timing komedi dari penulisan, arahan, dan editing film. Interaksi Martin dengan hantu istrinya merupakan salah satu yang paling sering bikin aku ngakak. Dalam salah satu adegan terlucu lain diperlihatkan saking biasanya ngeliat makhluk gaib, Rose jadi salah mengira nenek-nenek sebagai hantu, dan minta maaf kepada si nenek. Extra Ordinary juga tak berpaling dari humor-humor vulgar ataupun humor ‘sadis’. Ketika tiba giliran memperlihatkan kelakuan antagonis, lelucon film bisa berubah menjadi dark comedy. Dengan percikan darah. Film punya cara tersendiri dalam menampilkan kejahatan manusia. Diperlihatkan kepada kita range kejahatan itu, mulai dari pelet dan jampi-jampi ala voodoo, hingga ke tindakan sesederhana memanipulasi food online supaya dapat makanan gratis. Masing-masing ‘trik dan komedi’ film ini berhasil untuk membuat kita tersenyum geli.

Tidak ada yang hantu di kota ini… kan?

 

 

Dramatic premise cerita film ini sebenarnya enggak unik-unik amat. Kita sudah cukup sering menemukan cerita tentang seorang berbakat atau punya kekuatan yang enggan menggunakan bakat atau kekuatannya tersebut. Yang solusinya tentu saja si tokoh harus belajar berdamai dengan penyebab keengganan tersebut alias berdamai dengan dirinya sendiri terlebih dahulu. Dunia horor yang lantas jadi humor, serta pendekatan romance yang tak-biasanya lah yang membuat film ini luar biasa. Adegan-adegan pengusiran setan selalu dilakukan dengan berlapis gagasan mengenai cinta dan berdamai ama masa lalu sebagai bentuk melawan ‘demon’ diri sendiri. Konflik personal Rose dibeberkan lewat alur bolak-balik dengan dibingkai ke dalam video lama acara milik sang ayah sehingga eksposisi atau bahkan malah ejaan gagasan yang dilakukan oleh film tidak kentara. Kita tidak merasa diceramahi ketika membaca ‘Apakah Hantu Punya Perasaan?” yang terpampang di layar. Tapi kita bisa menangkap kepentingan dari judul video tersebut, dan hubungannya dengan perkembangan karakter Rose itu sendiri. Dan pada akhirnya Rose harus menerima ke-extraordinary-annya. Bukan hanya soal Talent, melainkan juga soal cara dia menjalani hidupnya.

Entah sudah berapa kali mungkin kita mendengar bahwa hidup normal itu membosankan. Anjuran untuk mengisi hidup yang biasa-biasa saja dengan hal-hal yang luar biasa. Yang penuh petualangan. Yang, kalo perlu, melanggar batas. Film ini pun berkata demikian. Malah lebih lanjut, film ini memberi sugesti kepada kita untuk tidak perlu takut kehilangan atau bikin kesalahan. Karena darisanalah kita belajar. Hidup demikian lebih baik ketimbang hidup tanpa melakukan atau mencoba apa-apa.

 

Penyelesaian film ini juga meng-subvert pakem genre horror, mirip seperti yang dilakukan oleh The Babysitter: Killer Queen (2020). Hebatnya, Extra Ordinary jadi lebih beralasan untuk membuat solusi yang seperti itu karena sesuai dengan gagasan yang diusungnya, yakni perihal menjalani hidup dengan lebih ‘luarbiasa’. Gagasannya adalah Rose selama ini hidup biasa-biasa aja dan katakanlah, membosankan. Rose benar-benar menjauhi semua yang luar biasa. Film menyimbolkan hal tersebut dengan keperawanan. Menarik bagaimana horor modern tidak lagi memandang keperawanan sebagai suatu kemurnian yang harus dijaga. Yang kini ditampilkan adalah keperawanan itu justru jadi inceran setan, dan orang-orang yang masih murni seperti Rose dianggap menjalani hidup yang membosankan.

 

 

Penggemar British-Komedi niscaya tidak akan melewatkan film ini. Kekuatan utamanya terletak pada cara bercerita dan dalam mengolah hal-hal lumrah menjadi sesuatu yang entah itu menantang atau membuat kita tergelak lalu memikirkan candaan tersebut. Dunianya sendiri terbangun dengan begitu kuat, dengan karakter-karakter yang menarik. Menampilkan tokoh antagonis kadang terasa seperti pilihan yang dilakukan hanya untuk membuat film ini lebih konyol lagi, sesuai dengan genrenya. Sebab film ini sudah luar biasa menarik hanya dengan menampilkan drama romance unik antara Rose dengan Martin yang masih belum bisa move on dari mendiang istrinya. Film memilih untuk menampilkan banyak, dan tetap tidak terbata dalam merangkum semuanya. Ia menunjukkan bahwa sajian receh pun masih bisa jadi enak untuk diikuti dengan tetap hormat pada penulisan dan karakter.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for EXTRA ORDINARY

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian setuju bahwa hidup harus dijalani dengan ‘luar biasa’?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

HOST Review

30 Sunday Aug 2020

Posted by arya in Movies

≈ 2 Comments

Tags

2020, drama, festival, friendship, horror, internet, life, quarantine, review, spoiler, supernatural, thought, violence

“A guest is really good or bad because of the host…”

 

 

 

Demi mengisi waktu luang di kala pandemi, Haley dan teman-teman segengnya setuju untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Obrolan Zoom mereka kali ini akan terasa lebih menantang. Karena Haley menyewa seorang cenayang untuk membimbing mereka berenam melakukan seance atau semacam ritual memanggil roh secara online. Mungkin karena sudah bosan di rumah, atau memang pada dasarnya mereka adalah anak-anak muda yang senang bercanda, ritual online mereka mulai ngarah ke hal-hal yang gak serius. Meskipun Haley sudah mengingatkan teman-temannya untuk menjaga kesopanan, beberapa dari mereka tetep membuat ulah. Dan seperti yang sudah kita semua duga – karena ini adalah film horor – Haley dan teman-temannya mulai mendapat gangguan aneh. Teror yang semakin lama semakin berbahaya. Ternyata hantu juga tidak senang dibecandain!

Kamu dan sahabatmu yang hobi ghibah online gak bakal jadi sekeren geng Haley yang manggil hantu pakek telepati elektronik

 

Host mengusung premis tentang Zoom meeting yang diganggu hantu tak pelak memang terasa ‘begitu dekat dan begitu nyata’ dengan keadaan kita sekarang. Berkat pandemi, kehidupan sosial kita semua harus pindah total ke dunia maya, dan pretty much semua penonton film ini sudah pernah sekali dua kali nongkrong bersama temen masing-masing di Zoom. Host mencoba mengangkat horor dari interaksi sosial kita yang menggunakan Zoom. Dalam film ini diperlihatkan sikap Haley dan teman-temannya berbeda saat berada di belakang dengan saat berada di depan si cenayang. Saat ‘peserta’ meeting masih mereka-mereka saja, mereka tampak lebih akrab – mereka lebih terbuka mengenai ritual yang akan mereka lakukan; sikap skeptis dan mengolok mereka ekspresikan dengan lugas. Namun ketika si cenayang sudah masuk, mereka ‘berakting’ seolah percaya dan benar-benar tertarik dengan istilah ‘astral plane’. Interaksi seperti ini tampak seperti nge-suggest bahwa meskipun komunikasi sudah dibawa ke depan kamera semua, kita masih menemukan celah untuk saling ngomongin di belakang. Walau dalam film ini tidak pernah benar-benar ditetapkan si cenayang found out lalu mungkin marah dan sengaja mengirim kutukan kepada mereka, yang kita tahu pasti adalah hantu atau roh jahat yang datang mengganggu mereka berasal sebagai akibat dari perbuatan salah satu teman Haley yang menganggap semua hanya becandaan.

Menjadi host yang baik, menjadi penentu tamu-tamu seperti apa yang datang kepada kita. Kita tidak bisa mengundang orang, tapi membuat hal menjadi susah bagi mereka. Adalah kewajiban dari tuan rumah untuk menegakkan aturan dan menjaga kesopanan. Adalah tuan rumah yang menentukan apakah menjadi tamu di situ adalah perkara tugas yang sulit atau bukan.

 

Gimmick Zoom dieksplorasi dengan maksimal oleh sang sutradara. Dalam debut feature-nya ini, Rob Savage benar-benar menciptakan dunia dari layar Zoom. Semua yang kita lihat adalah jendela-jendela platform tersebut. Dan Savage tau persis di mana-mana saja ia harus meletakkan elemen horor untuk membuat kita ‘melek’ ke sana tanpa disuruh. Paling serem itu waktu fitur background Zoom dijadikan bagian dari ‘kejutan’. Dengan durasi yang sangat singkat, Host memang bergerak efektif. Dengan segera kita melihat ke sudut-sudut gelap di belakang para tokoh, menunggu sesuatu untuk terjadi, atau menunggu suatu penampakan muncul. Yang jelas film ini paham dan sudah terkonek dengan penonton sejak awal. Semua trik yang pernah kita lihat pada horor genre found-footage seperti ini, ada. Kursi yang bergerak sendiri, gelas yang pecah tanpa sebab, orang yang tiba-tiba ditarik oleh tangan tak-kelihatan – bahkan kejutan seperti telapak kaki di lantai atau selimut/kain yang dilempar dan ternyata ‘nyantol’ di tengah-tengah udara. Jumpscare-jumpscare yang kita antisipasi pun hadir dalam film ini. Rahasianya adalah dalam cara mengolah, dan Host is great dalam menampilkannya; dalam membuat perasaan takut kita terbendung ke sana.

Praktikal efek dan permainan akting dijadikan senjata utama. Karena Host adalah jenis cerita yang menekankan kepada situasi yang natural. Dan semua pemain memang berhasil tampil tak dibuat-buat. Semua itu berhasil dicapai karena memang para tokohnya hadir nyaris tanpa karakter. Para pemain memerankan tokoh yang bahkan bernama sama dengan nama asli mereka. Jadi seperti mereka semua disuruh untuk memainkan keseharian saja. Tapi bukan berarti tanpa tantangan; saat ketakutan dan panik, mereka benar-benar seperti ketakutan. Dan panik. Sementara itu, efek yang digunakan juga seru. Sandungan yang terasa pada film ini sebagian besar berasal dari staging adegan. Maksudnya, dengan gimmick setiap kejadian lewat lensa kamera laptop atau hape, maka beberapa adegan terasa sekali ‘diatur’ supaya tokohnya entah itu membawa laptop sambil berjalan-jalan, atau dengan sengaja memasang tongsis supaya bisa naik tangga sambil merekam, padahal jelas sekali perbuatan tersebut tidak convenient untuk dilakukan.

 

Atau apa mungkin sudah jadi new normal kita ke mana-mana selalu on kamera laptop kalo di rumah?

 

 

Durasi 56 menit secara teknis memang termasuk ke dalam kategori film-panjang, jika mengacu kepada peraturan Academy Award. Batas yang Oscar nilai sebagai feature-length adalah di atas 40 menit. With that being said, sejujurnya aku harap Host ini dijadikan film pendek saja. Karena dengan begitu, film ini akan lepas dari aturan-aturan film yang banyak jadi sandungan baginya. Sebagai film pendek, Host tidak perlu memperhatikan plot/development karakter, tidak perlu memikirkan babak, mereka bisa seru-seruan aja dengan jumpscare dan kejadian-kejadian. Tapi nyatanya, sebagai film-panjang, Host jatohnya seperti film yang keasyikan bermain gimmick dan lupa menghadirkan cerita dan karakterisasi yang kohesif.

Siapa ‘host’ di film ini, gak pernah dijelaskan. Gimmicknya adalah kita menonton di layar sehingga kita adalah salah satu dari participant meeting, atau kita cuma lagi nontonin rekaman meeting mereka. Enggak seperti Unfriended (2015), yang punya tokoh utama yang jelas – lengkap dengan tragedi masa lalu dan benang merah antara teror dengan karakter mereka kuat mengingkat, Host tidak terlalu memikirkan ini semua. Kita gak yakin siapa tokoh utama di film ini. Bisa saja Haley, karena dia yang paling ‘baik’, tapi dia adalah tokoh yang dapat bagian paling sedikit. Ketika hantu mulai menakuti mereka satu-persatu, Haley somehow gak kebagian aksi. Tokoh ini justru mengundang kecurigaan. Aku sebenarnya cukup terinvest terhadap apa yang sebenarnya terjadi pada mereka, kepada siapa atau darimana asal hantunya; pada mitologi di balik itu semua. Tapi Host tidak punya semua itu. Film ini tidak menggali hubungan antarkejadian. Si hantu dan segalanya itu ya, memang random. Ada hantu yang kebetulan menjawab undangan mereka. That’s it. Gak ada motif walaupun di awal ada setup tentang backstory masing-masing tokoh, like, mereka punya seseorang yang sudah meninggal – mereka punya target untuk dipanggil. It would be much nicer story kalo ceritanya beneran punya sesuatu untuk diikuti dan dikuak, daripada hanya sekadar memperlihatkan kita adegan trik-trik horor dan jumpscare kodian.

 

 

 

Seperti sepenggal bagian dari sebuah horor kontemporer yang menarik; begitulah kalimatku kalo disuruh mendeskripsikan film ini. Arahannya mampu mengolah trope/trik lama menjadi segar – ya, bahkan jumpscarenya efektif – Arahannya mampu ‘memanggil’ penampilan akting yang meyakinkan. Menonton ini sangat menghibur, terutama sangat relevan karena benar-benar memotret sosial di era pandemi. Kita melihat tokoh memakai masker dan menyebut karantina segala macem. Hanya saja, ada banyak yang mesti dibenahi kalo cerita ini mau dianggap sebagai sebuah film. Karena, bagiku, ia masih belum terlihat seperti film. Melainkan sebuah cerita pendek yang sedikit kelewat panjang yang seru dan menghibur tentang hantu Zoom.
The Palace of Wisdom gives 2.5 out of 10 gold stars for HOST.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Pernahkah kalian mengalami kejadian horor atau misterius saat ber-Zoom ria?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

RELIC Review

12 Sunday Jul 2020

Posted by arya in Movies

≈ 9 Comments

Tags

2020, death, drama, family, festival, horror, life, metaphor, mother, review, spoiler, supernatural, thought

“We remember their love when they can no longer remember”

 

 

 

Mengurusi sejak bayi, mulai dari menyuapi makan hingga memandikan, hanyalah sudah hakikatnya bagi kita untuk membalas perbuatan kasih sayang orangtua tersebut kelak ketika mereka sudah renta. Namun terkadang kita lupa. Kita terlalu sibuk. Atau malah, kita sekadar males untuk direpotkan. Seperti Homer Simpsons yang lebih memilih untuk ‘membuang’ ayahnya ke panti jompo. Padahal justru saat mereka tua itulah kesempatan yang berharga untuk bisa berada di dekat mereka. Karena saat kita masih bisa memilih untuk melupa, orangtua kita bisa jadi tidak punya pilihan. Selain membiarkan satu persatu kenangannya sirna, oleh demensia. Mereka hanya punya kita untuk mengingat mereka. Bisakah kita ada di sana saat mereka membutuhkannya?

Kay (Emily Mortimer jadi ibu yang distant dengan anggota keluarganya) sudah beberapa minggu ini enggak berkomunikasi dengan ibunya. Dia kaget begitu diberitahu oleh polisi bahwa Edna (ibunya, yang diperankan dengan luar biasa meyakinkan oleh Robyn Nevin) menghilang dari kediamannya. Kay lantas khawatir. Ia tahu ibunya tinggal seorang diri dan punya masalah sama ‘kepikunan’ karena penyakit yang diderita. Maka ia mengajak anaknya, Sam (untuk beberapa detik aku mengira yang di poster itu bukan Bella Heathcote tapi Lucy Hale) untuk pulang mencari Edna di rumah masa kecilnya. Ketika setelah beberapa hari Edna pulang sendiri, Kay baru sadar bahwa kondisi ibunya bertambah parah. Edna tidak ingat ke mana dia pergi belakangan ini. Edna sering melupakan hal-hal simpel yang ia lakukan kepada Kay dan Sam. Yang bikin semakin ngeri adalah Edna bertindak aneh seolah ada orang lain yang ada di rumah mereka yang penuh oleh tumpukan barang-barang (ah, katakanlah, relik) dan tempelan kertas berisi memo pengingat yang membacanya bikin bulu kuduk merinding.

Yang berhantu adalah rumah, tapi sejauh mata makna rumah tersebut terapply di sini?

 

 

Ini adalah kali kedua debut sutradara di film horor Australia yang berhasil membuatku terkesima. Pertama di tahun 2014 ada Jennifer Kent dengan The Babadook. Dan sekarang kita dapat Natalie Erika James dengan Relic yang bukan hanya seram tapi juga sarat oleh makna. Seperti layaknya horor-horor yang bagus, Natalie paham untuk membangun kengerian enggak butuh jump scare atau musik ngagetin atau hantu seram yang menyemburkan muntah-muntah sambil merangkak di dinding. Horor itu berasal dari dalam. Maka sudah sepantasnya kengerian itu dibangun berdasarkan karakterisasi dari para tokoh. Kay, Sam, dan tentu saja Edna jadi pusat dari cerita; naskah memberikan kesempatan kepada kita untuk menyelami para tokoh. Kita dibuat peduli kepada mereka, sehingga horor itu akan terasa semakin mengerikan. Kita bukan saja akan penasaran ke mana Edna pergi, ataupun bertanya-tanya ada apa sebenarnya di rumah mereka, namun juga kita mengkhawatirkan hubungan ketiga tokoh ini. Kita ingin mereka bersatu tapi kita juga paham ada sesuatu yang tidak bisa dihentikan atau dihindari di sini. Sesuatu itu adalah Kematian. Dan yang bikin Relic ini berbeda – dia punya level kengerian yang unik – adalah Kematian itu tidak sebatas menjadi ‘musuh’, melainkan juga jadi sesuatu yang harus diterima dan diembrace oleh tokoh-tokohnya.

Cerita Relic adalah metafora dari perilaku demensia yang menjangkiti pengidap Alzheimer. Seluruh kejadian dalam film ini adalah perumpaman dari dampak demensia tersebut kepada orang-orang, bukan saja pasien, tapi juga sekaligus keluarganya. Kita melihat wanita tua ini, Si Edna yang pada satu waktu tampak normal, dan di waktu yang lain dia ‘gak beres’. Salut buat permainan akting Robyn Nevin, efek demensia dan kengerian yang dibawanya berhasil tersampaikan dengan kuat kepada kita. Dia bertanya dengan ketakutan “ke mana semua orang?” menghasilkan efek yang berlapis-lapis karena selagi kita tahu penyakitnya sedang dalam mode: on, kita juga ngeri karena boleh jadi ia mempertanyakan sesuatu yang lebih literal. Akan ada waktu-waktu saat Edna seperti tak mengenal Kay dan Sam. Yang juga ‘dibalas’ oleh Kay dan Sam yang takut setengah mati kepada ibu dan nenek mereka ini, seolah beliau adalah orang lain. That’s exactly what dementia does to people. Membuat si malang menjadi semakin merasa sendirian karena they just forget about things. Teror yang dialami Edna dalam film ini semuanya dapat kita terjemahkan sebagai ciri-ciri demensia. Yang membuat kita jadi merasakan simpati kepadanya. Edna, seperti orang-orang lansia pada umumnya, tidak didengarkan, diabaikan, bahkan ditakuti oleh keluarganya. Jamur atau noda hitam di pintu rumah, serta kelupasan hitam pada tubuh Edna, kedua-duanya terus menjalar. Membesar seiring cerita berjalan. Melambangkan deterioration – kemerosotan personal seorang pengidap karena dementia hari demi hari akan membuat mereka menjadi bukan lagi diri mereka. Mereka enggak tahu lagi diri mereka siapa.

Dari sisi keluarga, pengalaman memiliki anggota yang demensia juga sama mengerikan dan emosionalnya. Dan lagi-lagi, film ini berhasil mengumpamakannya dengan sangat baik melalu pengalaman horor yang dirasakan oleh Kay dan Sam di rumah itu. Sam, misalnya, yang mencoba melakukan hal yang benar. Dengan ikhlas mengurus neneknya, bahkan sampai pengen pindah tinggal di sana – yang mendapat delikan keras tanda tidak setuju dari ibunya. Namun Sam justru yang pertama kali merasakan kengerian paripurna dari interaksinya dengan sang nenek. Sam yang duluan merasakan bahwa neneknya itu bukan lagi neneknya yang dulu. Menyaksikan orang yang kita cintai berubah seperti demikian – menjadi sesuatu yang tidak lagi dikenal – sungguhlah pengalaman menakutkan. Kita ingin menolong, tapi bagaimana cara menahan sesuatu yang tidak bisa dihentikan? Yang bisa kita lakukan hanyalah memberikan lebih banyak perhatian dan cinta kepada mereka. Seperti yang akhirnya dengan berani dilakukan oleh Kay pada akhir cerita film ini. Relic menutup ceritanya dengan sekuen adegan yang begitu indah, namun dalam artian yang sekaligus mengerikan. Untuk tidak membicarakan terlalu banyak sehingga menjadi spoiler, aku hanya akan mengutarakan yang kurasakan dan terpikir olehku ketika menonton adegan luar biasa tersebut.

Bahwa semua itu adalah soal menatap kematian tepat pada matanya. Untuk tidak lagi berpaling dari kejelekan, kengerian yang dibawa oleh kematian. Karena cepat atau lambat kita akan mengalaminya. Dan perjalanan itu tidak harus dihadapi sendiri. Kita punya pilihan untuk menemani orang tersayang pergi dengan cinta. Membantu mereka melewati semuanya. Beri mereka kedamaian, pergi dengan perasaan cinta.

 

Yang mengerikan itu bukan kematian, tapi menghadapinya sendirian.

 

 

Ada masa ketika kita bingung untuk merasakan apa ketika nonton Relic. Kita tahu dia sakit, tapi kita mengkhawatirkan bagaimana jika Edna benar. Ada sesuatu di rumah itu. Bagaimana jika bayangan-bayangan yang bergerak di latar belakang adalah beneran hantu. Dan Kay juga Sam dalam bahaya karena tidak menyadari. Ini juga jadi salah satu kekuatan Relic sebagai film horor. Untuk waktu yang lama, kita dibiarkan menyusur jalan ceritanya sendirian. Tidak tahu pasti apa yang terjadi. Hal ini tentu saja dapat tertranslasi sebagai ‘cerita-yang-lambat’ oleh beberapa penonton, dan eventually menjadi turn-off. Buatku ini simply adalah bukti bahwa Relic berhasil menyimpan dan memainkan misterinya. Rumah itu beneran berhantu, demikian juga dengan tokoh-tokohnya. Mereka dihantui oleh penyesalan, oleh duka. Mereka dihantui oleh kejadian di masa lalu – permasalahan keluarga yang membuat Kay dan Edna renggang hadir dengan sangat subtil sebagai akar dari emosional backstory.

Dan menjadikan rumah itu beneran berhantu adalah resiko kreatif yang diambil oleh film ini. Hantu di rumah tersebut – yang membuat kita dapat babak ketiga yang superseru dan menarik saat cerita menjadi petualangan kabur dari kejadian surealis-tapi-nyata – dibiarkan menjadi entitas tak terjelaskan. Karena sebenarnya berfungsi sebagai kiasan bahwa demensia juga mempengaruhi orang-orang terdekat. Keluarga yang mungkin merasa terjebak alias harus terseret dalam masalah yang ditimbulkan oleh pengidap. Yang pada akhirnya berkembang menjadi pilihan, kabur atau tinggal. Jadi rumah itu memang perlu dibuat beneran berhantu – beneran punya lorong rahasia yang seperti hidup – supaya ceritanya bisa meluas menjadi dari dua perspektif.

 

 

 

Bertindak sangat kuat sebagai sebuah kiasan demensia dan menghadapi kematian, film ini adalah sebenarnya horor yang bicara tentang karakter yang berkeluarga, dengan masalah yang real – yang dapat terjadi pada kita di dunia nyata. Sehingga film ini jadi jauh lebih menyeramkan dibandingkan film-film yang menjual jumpscare dan hantu berbagai rupa. Film ini diberkahi oleh tiga penampilan akting memukau, yang berpuncak pada ending yang aku yakin akan jadi perbincangan untuk waktu yang cukup lama di kalangan penggemar horor-beneran.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for RELIC.

 

 

 

That’s all we have for now.

Mengapa kita takut tua, kita takut mati, walaupun mati dan tua itu adalah suatu hal yang pasti terjadi?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Recent Posts

  • AFFLICTION Review
  • PIECES OF A WOMAN Review
  • ONE NIGHT IN MIAMI Review
  • NOMADLAND Review
  • MINARI Review
  • PROMISING YOUNG WOMAN Review
  • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
  • TARUNG SARUNG Review
  • SHADOW IN THE CLOUD Review
  • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought thriller

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • The second time you make it, it’s no longer a mistake. AFFLICTION, my review: mydirtsheet.com/2021/01/23/aff… #affliction 14 hours ago
  • Wait what... Cora Jade baru 19 tahun??? Maaaakkkk aku tuaaa 1 day ago
  • Lanjut nonton 205 karena penasaran sama Priscilla Kelly (ganti nama jadi Gigi Dolin) dan Cora Jade. And there they… twitter.com/i/web/status/1… 1 day ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Create a free website or blog at WordPress.com.

Cancel
loading Cancel
Post was not sent - check your email addresses!
Email check failed, please try again
Sorry, your blog cannot share posts by email.
Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
%d bloggers like this: