NGERI-NGERI SEDAP Review

 

“Any problem, big or small, within a family, always seems to start with bad communication. Someone isn’t listening.”

 

 

Ditelepon orangtua, dan disuruh pulang. Maaan, entah udah berapa kali aku ngalamin itu sejak tinggal di Bandung. Apalagi kalo lagi musim liburan. Beruntung, dua tahun kemaren ada pandemi (dasar anak durhaka, pandemi dibilang untung!), Aku gak perlu repot lagi ngarang-ngarang alasan kenapa tidak bisa pulang. Bukannya gak kangen sama keluarga, tapi ada ‘something’ dari pulang itu yang malesin. ‘Something’ yang ternyata juga dialami oleh anak-anak muda lain. Kok tau banyak yang ngalamin? Buktinya, karakter-karakter yang diangkat Bene Dion Rajagukguk dalam drama terbarunya mengalami persis sama. Cerita di tanah Batak ini menggambarkan bagaimana komunikasi di dalam ruang keluarga yang orangtuanya masih memegang teguh aturan atau adat dengan anak-anak yang berpendidikan lebih tinggi dari orangtuanya itu seringkali tidak terjembatani dengan baik. Mengusung tema itu, Ngeri-Ngeri Sedap memang hadir dengan nada drama yang tinggi. Tapi bukan tanpa hiburan, karena film yang dibuat kental oleh latar ini juga bakal bikin kita senyam-senyum oleh tingkah polah yang relate, hingga premis jenaka berupa tindakan yang dilakukan oleh karakter orangtua untuk membuat anak-anak mereka mau pulang ke rumah!

Pak Domu meminta istrinya untuk pura-pura minta cerai. Mereka pura-pura berantem, hingga empat orang anaknya (termasuk tiga putra yang merantau) akhirnya terpaksa pulang untuk mendamaikan. Paruh pertama dari nyaris dua jam durasi membahas kelucuan yang datang dari Pak Domu menyusun strategi dan mengarahkan istrinya perihal apa yang harus dilakukan untuk membuat anak-anak mereka percaya mereka beneran lagi marahan hebat. Sekaligus juga menanamkan bibit-bibit dramatis lewat motivasi masing-masing karakter dalam rumah tangga ini. Like, kita bisa melihat bahwa sang istri sebenarnya kesel beneran (she still do the charade karena memang rindu sama anak-anaknya), atau bahwa anak-anak Pak Domu yang punya kerjaan dan hidup masing-masing sesungguhnya mengorbankan banyak untuk datang ke rumah. Namun Pak Domu gak sadar itu semua. Baginya, dia mau anaknya pulang supaya bisa menghadiri acara ibunya, serta untuk mengkonfrontasi putra-putranya perihal pilihan hidup mereka yang menurut Pak Domu telah melawan adat. Telah melawan dirinya. Anak pertamanya bakal menikahi perempuan Sunda yang tentu saja gak tahu menahu soal adat Batak. Putra ketiganya jadi artis lawak di acara televisi, alih-alih jadi jaksa sesuai kuliahnya. Dan putra bungsu yang harusnya sesuai adat tinggal bersama orangtua di  rumah yang pasti diwariskan untuknya, memilih untuk tinggal di rumah seorang bapak tua di pulau Jawa.

Melihat dari strateginya, Pak Domu ini pasti jago main catur

 

Di paruh kedualah, tepatnya menjelang masuk babak ketiga, semua planting dari benturan keinginan, kerjaan, hingga rasa cinta ibu terhadap keluarganya tadi mulai berbuah jadi adegan-adegan yang superemosional. Baca ini sebagai peringatan bahwa film Ngeri-Ngeri Sedap: will make you cry. Keberhasilan film ini menjadikan babak terakhir itu sebagai pamungkas dramatis terutama terletak pada penulisan naskah yang benar-benar sistematis dalam mengembangkan permasalahan di balik keluarga Domu ini. Permasalahan yang memang juga dengan gampang relate kepada keluarga-keluarga yang menonton filmnya. You know, belakangan kita dapat banyak film luar yang mengangkat persoalan turun temurun dalam keluarga Asia matrialkal, seperti Turning Red (2022), Umma (2022), ataupun Everything Everywhere All at Once (2022) — bahwa tuntutan ibu kepada putrinya bakal membekas dan membuat hidup jadi ‘horor’ bagi semuanya. Well, Ngeri-Ngeri Sedap menawarkan sudut pandang lokal terhadap cerita itu, sekaligus juga mengintipnya dari jendela keluarga yang didominasi ayah sebagai kepala keluarga. Seperti keluarga Batak Pak Domu. Cerita ini pada akhirnya berkembang bukan saja tentang ayah dengan putra-putranya; bagaimana didikan ayah mempengaruhi perkembangan dan pribadi putranya, melainkan juga tentang hubungan ayah sebagai kepala keluarga itu sendiri – bagi istrinya, bagi putrinya, dan juga bagi orangtuanya – serta juga tentang relasi para anak sebagai saudara kandung. Gimana dalam satu keluarga besar, biasanya ada satu anak yang ‘mengalah’. Diam di rumah untuk mengurus orangtua yang sudah tua, ninggalin mimpi-mimpinya. Bagaimana perasaan si anak itu sebenarnya, dan bagaimana itu mempengaruhi hubungannya dengan saudara lain. Naskah dengan jeli menangkap begitu banyak persoalan keluarga lokal yang bisa relate, dan meramunya ke dalam jalinan penceritaan yang bukan saja menarik untuk disimak, tapi juga bikin kita ikut merasa ngeri-ngeri sedap.

Kita semua tahu gak gampang bicarain hal yang kita rasakan kepada orang-orang yang paling kita sayangi, yakni orangtua. Kita tahu gimana beratnya. Kayak, alasan gak mau pulang tadi itu. Lebih gampang untuk gak pulang daripada harus duduk di ruang keluarga dan ditanyain ini itu tentang kerjaan yang sekarang dan kenapa kita gak mau jadi apa yang diminta oleh orangtua. Film ini kayaknya tau persis perasaan tersebut dan seperti yang kubilang entah udah berapa kali ini, berhasil menuangkannya ke dalam suara yang seimbang. Serius tapi gak depresif, dikemas ringan tapi gak receh, Berpihak tapi enggak ngejudge. Film melangkah di antara adat, aturan, hingga pikiran yang lebih terbuka, dan melakukan semuanya dengan respek. Gak lantas bilang adat sudah kuno dan semacamnya, melainkan diceritakan dengan pendekatan yang matang. Film ini terasa dibuat dengan sangat personal. Lihat bagaimana treatment yang dilakukan ketika adegan klimaks anggota keluarga Domu menumpahkan isi hati masing-masing. Kamera yang seperti one take, bergerak di antara para karakter, seolah mengikuti kemana gelombang emosi itu berada. Dan puncaknya memang di mana-mana, dan kita merasakannya. Dari gerakan tersebut kita tahu semua orang merasa bersalah. Semua orang merasa terluka. Semua kecamuk perasaan cinta dan emosi itu berhasil digambarkan bukan hanya dari dialog tapi juga dari bagaimana dia terpancar dari yang merasakannya.

Komunikasi memang salah satu obat atau healing yang mujarab. Tapi tentu saja susah untuk merasa ‘sembuh’ jika dalam komunikasi itu ada satu pihak yang merasa paling benar. Inilah yang seringkali terjadi di dalam ruang keluarga. Ada satu yang tidak mendengar. Yang menganggap semuanya hanya argumen alih-alih diskusi yang benar-benar mencari jalan keluar untuk satu masalah. Dalam Ngeri-Ngeri Sedap kita melihat karakter ayah yang seperti demikian. Yang ingin mengonfrontasi anak-anaknya, bukan untuk mendengarkan, melainkan untuk menyalahkan.

 

Waktu ngereview Srimulat Hil yang Mustahal – Babak Pertama (2022) kemaren aku bilang yang paling menyegarkan dari film itu adalah melihat aktor-aktor muda yang biasa bermain dalam cerita-cerita drama, bermain dalam ruang yang menggali sisi komedi mereka. Jadi benar-benar terasa ada yang baru, gak stuck melihat akting-akting template. Di film Ngeri-Ngeri Sedap sekarang, kita mendapat kesegaran serupa. Kebalikan dari Srimulat, di sini kita melihat pemain-pemain yang biasanya jadi karakter komedi, yang biasanya memainkan peran-peran kecil sebagai pemantik komedi, memainkan karakter yang muatan drama dan sisi emosional yang gede banget. Boris Bokir harus menggali sisi karakter yang berusaha lebih dewasa, misalnya. LoloxIndra Jegel, dan Githa Bhebhita juga bikin aku cukup kaget juga bisa bermain sebagai karakter yang serius dari biasanya. Ataupun Tika Panggabean yang harus memunculkan simpati kepada karakternya sebagai seorang ibu – yang gak segampang itu dilakukan karena di sini perasaan yang dialami karakternya sangat kompleks sebagai accomplish-setengah-hati dari sang suami. Memang gak sepenuhnya berjalan mulus, masih ada beberapa yang kayak terbata ataupun kurang nyampe dan terlihat benar lebih nyaman ketika sisi komedi dalam narasi mencuat, tapi secara keseluruhan masih bekerja ke dalam konteks. Anak-anak Pak Domu memang awkward satu sama lain, apalagi sama bapaknya. Dan istri Pak Domu ceritanya lagi berusaha ‘akting’ di depan anak-anaknya. Ultimately,  it’s actually amazing melihat aktor yang sudah malang melintang main sebagai pendukung di banyak film akhirnya mendapat kesempatan untuk unjuk kebolehan secara maksimal. I might be wrong, tapi kayaknya baru kali ini aku menonton Arswendy Beningswara sebagai pemain utama. Dan penampilan aktingnya memang tampak sangat matang. Jika mata adalah jendela jiwa, maka Pak Domu yang kalo ditagih ngobrol sama anaknya suka kabur ke tongkrongan kayak Homer Simpsons kabur ke bar Moe, matanya akan bicara banyak mengenai apa yang dirasakan di dalam hatinya.  Ngomong-ngomong soal bicara, tentu saja aku (yang hanya dengar bahasa logat Batak dari teman-teman di sekolah dulu – dan dari nonton channel Warintil) tidak akan mempermasalahkan. Karena dari namanya, clearly para aktor tahu lebih banyak soal bahasa daerah asal mereka ini.

Usulan judul internasional: The Parent’s Trap

 

However, naskah agak sedikit terasa kurang tight ketika sampai di bagian resolusi akhir yang dilakukan Pak Domu. Sebelum sampai ke sini, penceritaan film memang sesekali menggunakan gaya tertentu. Seperti pengadeganan yang kayak one-take tadi. Ataupun ketika melakukan intersplice dialog-dialog saat Domu dan adik-adiknya bicara terpisah dengan ibu dan ayah secara bergantian. Kita bisa mengerti kenapa gaya bercerita seperti itu yang dipakai. Supaya dialognya terasa ataupun supaya gak ada pengulangan. Gaya itu membuat delivery adegan semakin tight. Ada satu gaya lagi yang dipakai, saat di bagian resolusi. Sebenarnya aku gak yakin juga apakah memang di skripnya posisinya seperti itu, atau saat visi sutradara yang mengubahnya jadi bergaya begitu. Tapi yang jelas, memang akibatnya terasa seperti naskahlah yang agak bolak-balik oleh gaya penceritaan yang kita lihat. Jadi menjelang akhir, Pak Domu tau-tau datang ke kerjaan/kehidupan anak-anaknya di perantauan. Konklusi Pak Domu sebelum mencapai itu terasa agak terlalu cepat, dan itu ternyata karena yang menjadi trigger Pak Domu disembunyikan untuk sementara. Disimpan untuk baru dimunculkan ‘apa yang sebenarnya terjadi’ tadi setelah Pak Domu ‘berubah’ menjadi better person. Aku ngerti secara fungsi, ini dilakukan supaya penonton ikut merasa surprise, sehingga kemunculan Pak Domu di tempat anak-anaknya bakal terasa lebih dramatis. Akan tetapi ini sedikit bikin jarak pada perjalanan karakternya.

But it is a choice, really. Jika dilakukan linear – konklusi Pak Domu bisa dilakukan dan terasa lebih earned. Tapi dengan sedikit mengacak susunan yang ditampilkan kepada penonton, kejadian-kejadiannya bisa muncul lebih dramatis dan surprise. Walau buatku pribadi, gak perlu dijadiin surprise karena Pak Domu punya 3 anak, yang artinya surprise yang dilakukan tiga kali gak akan jadi dramatis lagi buat kita. Aku prefer linear dan kita benar-benar dikasih lihat Pak Domu secara utuh reconcile dengan masing-masing putranya, enggak sekadar seperti rangkaian adegan atau seperti montase.

 

 

 

Maan, belakangan ini film Indonesia surely lagi berapi-api. Dari yang shitty, yang funny, yang ngeri. Bene Dion Rajagukguk mengapitalisasi itu semua dengan cerita yang agak ‘ngeri’, cukup lucu, but certainly it is not shitty. Melainkan sebuah drama yang berhasil meraih nada yang tinggi. Film ini menghadirkan konflik keluarga yang relate sehingga bisa jadi sedemikian mengguncang hati. Antara kejadian yang lucu (lucu karena beneran dekat dan terjadi kepada kita-kita!) dan elemen dramatis disampaikan dengan berimbang. Karakter-karakternya terasa real, terasa beneran manusia dengan problem yang juga real-life problem. Membalutnya dengan identitas lokal yang kuat dan gak sekadar jadi latar. Gak jadi stereotipe. Dan akhirnya diceritakan dengan mantap dan tampak personal. Salah satu drama komedi yang decent yang dipunya oleh perfilman kita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NGERI-NGERI SEDAP

 



That’s all we have for now.

Jadiiii, pernahkah kalian merasakan males pulang? Apa sih alasan sebenarnya kalian malas pulang?

Care to share  with us in the comments?

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 


Comments

  1. Avant Garde says:

    Maaak… 7,5 bah, ngeri kali :p Pernah mengalami malas pulang karena tiket mahal kalo pulkam (2x pesawat) wkwkw.. ngga sih, males karena ditanya ini itu…

    Temanya malas pulang jadi ingat film toba dreams (vino g. bastian sama mathias muchus).. Penasaran pengen nonton deh bang.. Liat ini kayaknya tika panggabean jadi anak abg di sweet 20, eh sekarang udah jadi mak2 aja….

    • Arya says:

      Hahaha tiket mahal itu enak banget buat dijadiin alasan. Paling kenal omel dikit, disuruh nabung lebih rajin, tapi setelah itu aman tidak disuruh-suruh pulang lagi untuk beberapa bulan ke depan xD

      Wah, iya Toba Dreams bagus tuh, 7.5 juga kukasih kalo gak salah. Cuma sayang postingannya masuk ke postingan yang kena eror pas pindah host blog. Belum ada di platform ya? Mestinya phnya gercep selamatkan ke platform nih, sayang film bagus begitu tidak dilestarikan

  2. Deddy says:

    Bangga ama ketua Bene film yang di direct bisa dapat skor lumayan tinggi dari mas Arya..
    Semoga jadi awal yang bagus buat Bene Dion di dunia per sutradaraan

    • Arya says:

      Seneng liat film yang dibuat karena pembuatnya beneran punya hal yang ingin diceritakan, beneran pengen bercerita. Keliatan lah film-film seperti Ngeri-Ngeri Sedap, level terkoneksinya beda aja gitu. Penggarapannya juga, terasa lebih dekat dan ‘real’. Mereka ambil resiko dan terbayar dengan memuaskan, ph gede mana ada yang berani narok komik2/komedian sebagai lakon sentral, di narasi yang dramatis pula.

      Benar-benar angin segar yang dibutuhkan perfilman kita.

      • Irfan Satya Aji says:

        Aku seneng sm kalimat “beneran punya hal yang ingin diceritakan”, sesuatu yg sepertinya tidak dimiliki oleh pembuat film laris 9 juta+ di sebelah sono hehe

        Apa mungkin pembuat film baru selalu lebih termotivasi ya mas? Motivasinya selalu semaksimal mungkin dalam membuat film tanpa berharap terlalu tinggi untuk jumlah penonton.

        Apresiasi setinggi-tingginya untuk film ini, 7.5 dari mas arya sudah sangat mewakilkan kualitasnya

        • Arya says:

          Yang di sebelah itu sih pengen ‘bikin film dari yang viral’ aja hahaha. Memang, siapa sih yang gak pengen karya yang ia buat dinikmati segitu banyak orang, tapi ada perbedaan antara karya yang dibuat karena mau menyampaikan sesuatu dengan karya yang dibuat dengan purpose utama ngejual sesuatu.

          Pembuat film baru biasanya masih ‘idealis’. Untuk banyak orang yang pengen jadi filmmaker, yang terpenting itu kayaknya selalu gimana cerita yang mereka punya bisa terfilmkan, gimana kesempatan emas untuk bikin film itu harus dimanfaatkan. Untuk banyak orang, yang paling penting itu pokoknya punya satu film dulu aja. Do or die, jika kita dapat kesempatan ‘sekali seumur hidup’ maka kita akan berusaha bikin yang maksimal. Aku yakin kebanyakan orang berawal dari sini. Jadi seperti apa ke depannya, itu tergantung masing-masing hahaha

  3. Fia says:

    Seneng deh ada komen yg menyampaikan kritik saran dengan baik jadi yg baca ngerti ohh emang ada kekurangannya tanpa perlu sakit hati atau salah paham.. Jujur aku belum nonton sih tapi suka banget sama alur cerita yg dibuat sama bang Bene, aku tau karena aku ngikutin mereka promosi film ini dari kanal² youtube.. Semangat terus kak review-nya

    • Arya says:

      Wah ayo segera nontooon, ceritanya dijamin ngena deh. Memang rapi alurnya, sudut pandangnya juga gak kemana-mana, padahal ada lima karakter pusat tapi semuanya berhasil diceritakan dengan baik.
      Amiin, terima kasih sudah mampir bacaaa

  4. Albert says:

    Bagus banget filmnya ya mas. Aku nontonnya melepas The Doll karena review film ini bagus2, dan takut ga sempet nonton lagi karena minggu depan ada Jurrasic World sama Gatotkaca. Kelebihan utamanya dramanya nyatu mulus sama komedinya. Paling suka Tika Panggabean, ya lucu pas pura2 sekaligus sedih juga karena seperti yang dia bilang ada kebenaran juga di antara lucu pura2nya itu. Berarti anak ceweknya lawan langsung nasibnya sama saudara2nya ya, 3 masalah saudaranya kayak dia tanggung tapi dengan cara patuh ortu.

    Cuma endingnya memang kurang dramatis atau gimana ya. Apa karena 3 tempat berturut2 jadi kurang dapat? Sebetulnya dari 3 anak cowok menurutku alasan yang bungsu yang kurang kuat. Menemani cowok tua yang ga punya siapa2 sedangkan ortunya sendiri butuh dia. Agak nyesek sih kalau bayangin dia dari awal mau nemenin kan kakak ceweknya bisa kejar cita2. Lebih bagus ini sih daripada gara2 warisan. Yang warisan masih agak pisah bagian komedi sama dramanya. ya bener Mas Arya komedinya ya pelawak termasuk Lolok yang main di sini, dramanya ya pemain drama termasuk Indah Permatasari. Cuma ending warisan aku sih lebih seneng, karena di 1 tempat jadi lebih dramatis.

    • Arya says:

      Apalagi sebelumnya ada adegan abangnya (sok) ngasih nasehat supaya dia tidak terlalu memikirkan orang lain, eh ternyata selama ini justrunya adiknya itu menanggung semua yang mereka bertiga tinggalkan demi menggapai mimpi. Pedih sih memang.

      Iya juga sih ya, si bungsu itu kurang terjelaskan kenapa dia lebih memilih tinggal di rumah orang, nemenin orangtua lain. Apa karena dia merasa lebih dihormati di sana atau apa. Makanya menurutku juga bagian rekonsiliasi si bapak ama anak-anaknya ini kurang. Cuma sama si Lolox yang udah lumayan earned terasa, sementara dua anak lainnya belum tegas. Mungkin kurang dramatis it datang dari sana. Bagian bapaknya jemput itu terlalu singkat, dimainkan lebih sebagai surprise ‘tau-tau bapak datang ke 3 anaknya’ ketimbang benar-benar perjalanan bapak doing the right thing.

      Oo Gara-Gara Warisan masih terkotak-kotak gitu porsi komedi-drama pemainnya ya. Memang sih, sebenarnya yang dilakukan Ngeri-Ngeri Sedap ataupun Srimulat itu tuh termasuk taking risk. Komedian disuruh main drama, atau sebaliknya, belum tentu aktingnya bisa bagus atau setidaknya bisa diterima penonton. Tapi sekalinya bagus, pasti langsung berkesan. Maka ph gede biasanya memang lebih suka mengotak-kotakan peran sesuai identitas-kemampuan aktornya aja, lebih ‘less-work’-lah kasarnya. Main aman aja, walaupun jadi biasa-biasa aja.

      • Albert says:

        Enggak surprise sih buat aku, Udah kelihatan pas ibunya ga mau diajak pulang, pasti minta dijemput anaknya. Jadi aku udah yakin bakal dijemput. DI depan ya udah ada omongan ibunya suruh bapaknya aja jemput, jadi ya kira2 endingnya dijemput. Tapi cuma Lolox yang kelihatan dijemput sih.

        Gara2 warisan sih ada 4 orang komedian yang khusus melucu Aci Resti, Lolox, Ence Bagus, yang satu ga tau namanya. Yang ada adegan mereka berempat, kadang ya lucunya interaksi juga sama yang drama. Kan 3 anaknya gantian jaga hotelnya jadi interaksi sama mereka. Hmm si bungsu Ge Pamungkas juga komedian sebetulnya. Srimulat aku kok ga banyak ketawa ya, mungkin beda selera ya, temenku bisa ketawa terpingkal-pingkal. Cuma kagum aja aktor drama bisa mainin srimulat persis gayanya kayak pemain aslinya, Apalagi mereka termasuk terkenal juga ya tapi mau main lawak gitu.

        • Arya says:

          Ya tentu saja jelas arahnya ke mana, makanya naskahnya bagus. Plotnya terpetakan jelas. Di awal udah set up info dalam adat Batak, suami yang mau menjemput istri pulang harus menjemput dengan keluarga. Di belakang, si bapak jemputnya sama keluarga besar dirinya (ibu, boru, dll). Ini kan masuk titik ‘resolusi salah’, maka plot lanjut ke Bapak melakukan hal yang benar. Tapi yang juga matter adalah bagaimana plotnya diceritakan. Di titik itu, film milih untuk membuatnya sebagai penceritaan yang bergaya surprise. Sudut pandang kita disejajarkan sama Lolox, calon istri Domu, si Bapak Jawa, dan si Ibu – mereka yang surprise melihat kedatangan si bapak.

          Sebagai alternatif, diceritakan dengan normal, berarti linear dan yang bakal kita lihat adalah berurut Bapak dikasih tau Ibu dia pengennya dijemput sama keluarga mereka (bareng anak-anak), terus mungkin bagaimana si bapak akhirnya menemukan anaknya, bagaimana berdamai dengan masing-masing.

          Dari dua pilihan bercerita di titik tadi itu, memang yang dipilih film lebih cepat dramatis secara emosional. Tapi resolusinya juga jadi lebih singkat. Kalo anak yang dijemput cuma satu, aku juga bakal milih dilakukan seperti yang film lakukan. Cuma karena tiga, berarti banyak yang harus diresolve, mending sekalian dipanjangin aja. Toh dibikin surprise gitu yang ampuh bekerja pasti yang adegan pertama (si Lolox), ke belakangnya tinggal nunggu giliran.

          Ence Bagus langganan banget perannya gitu doang hahaha, sama kayak Asri Welas. Srimulat tu terlalu banyak ‘trivia’ sih komedinya. Yang penonton harus tahu dulu Srimulat tu gayanya seperti apa. Sebelum nonton pun kukira, memperkenalkan gaya Srimulat bisa jadi seperti itulah yang jadi tujuan film ini. Tapi ternyata enggak. Istilahnya, film ini kayak asik bercanda sesama kenangan dan fans-fans saja. Penonton yang baru, ikutan menikmati dari akting aja.

          • Albert says:

            Cinecrib tadi kutonton malah anggap resolusi yang sama Lolox itu kekurangan Mas. Katanya harusnya seperti yang lain bapaknya dibuat sadar pilihan Lolox bener gitu, jadi dari orang lain yang bilang kalau Lolox lucu menyenangkan banyak orang dsb. Apa lebih bagus begitu mas?

          • Arya says:

            Kalo menurutku sih bukan soal benar-salah yang ingin dikedepankan film. Kalo bapak dibuat mengakui jadi pelawak lebih baik dari jadi hakim/jaksa maka itu berarti bapak membuang kepercayaan yang ia pegang. Maka itu berarti dia akan setuju juga jika Domu menikah pakai adat selain Batak. Yang berarti soal adat jadi throw away aja dengan gampang. Namun karena respek ke adat itu tadi, maka film memilih apa yang kita tonton. Basically bapak dan anak-anaknya ini kan soal ikut adat atau tidak. Film menurutku dengan respek mengambil jalan tengah, bahwa yang terpenting adalah kebahagiaan.

            Bapak di akhir itu masih tidak suka dengan pilihan Lolox, tapi sekarang dia bisa melihat kebahagiaan Lolox-lah yang lebih penting dibandingkan kepuasan dia melihat Lolox menjadi apa yang ia mau. Karena yang ia mau dari tuntutan harus jadi hakim/jaksa itu sebenarnya pengen melihat anaknya bahagia, kan. Kalo anaknya sudah bahagia menjalani hidupnya, ya buat apa harus seperti yang bapak mau.

            Kembali ke adat tadi, adat kan dibuat supaya masyarakat teratur dan sejahtera dan sebagainya. Jadi ya jangan sampai justru karena memaksakan itu, masyakarat jadi tak teratur dan tak sejahtera.

            ‘Kesalahan’ bapak di cerita ini menurutku bukan karena dia selalu menganggap diri benar dan orang lain salah sehingga dia harus menyadari bahwa dia selama ini salah dan orang lain benar. Melainkan pembelajaran bagi si bapak adalah bahwa dunia ini tidak sesimpel siapa yang salah dan siapa yang benar. I mean, like, apakah si adik salah karena gak ngejar mimpinya, apakah abang-abangnya benar dengan ninggalin rumah. Adegan nangis-nangis yang emosional itu justru nunjukin semua bisa merasa benar, semua bisa merasa salah.
            Puncak pembelajaran si bapak kan terjadi pas dia curhat ke ibu bahwa dia telah gagal membesarkan anak, yang ditepis oleh ibunya dengan bilang anak-anaknya justru bisa jadi sukses dan punya pandangan hebat itu karena hasil didikan dan usaha dirinya. Di saat itulah si bapak sadar bahwa yang menurutnya salah ternyata bisa berarti sesuatu yang hebat bagi anaknya. Di saat itulah si bapak sadar salah dan benar bagi dirinya bukan lantas berarti kebahagiaan atau tidak bagi orang lain. Bahwa semua orang bisa punya versi salah dan benar sendiri, dan bahagia itu terletak dari kompromi masing-masing atas salah dan benar di dunia. Di saat itulah si Bapak baru terbuka untuk mau melihat sudut pandang orang lain. Makanya saat nanti diminta istrinya menjemput anak, yang si Bapak lakukan duluan adalah ke orang-orang yang berhubungan dengan si anak, supaya dia bisa melihat sudut pandang si anak terhadap pilihan mereka. Melihat apa yang membahagiakan bagi anak-anaknya dari hal yang mereka pilih, meskipun pilihan si anak itu berbeda dari ia mau.

          • Albert says:

            Ya sepertinya betul begitu mas. Intinya bapaknya sadar saja, rasanya endingnya juga ga dijelasin akhirnya anak2nya nurut atau tetap di jalannya, cuma pulang jemput mama aja. Walaupun kita kira2 sendiri ya kayaknya yang sulung dan Lolox udah direstui. Yang dari calon si sulung dan bapak yang di jogja juga muji2 anaknya tanda didikan bapaknya betul ya.

            Kasihan juga sih orangtua kalau semua bahagia anaknya itu ga sesuai kemauan mereka ya. Mungkin iya ada 1 yang ngalah harusnya, jadi si anak cewek ini. Aneh juga tapi PNSnya dilepas, udah teranjur juga lho mending masih ada kerja. Hehehe.

          • Arya says:

            Hahaha iya kayak gak ada beban gitu dia gak lanjut kerja pns, mungkin memang ‘seterpaksa itu’ kerja di sana.

            Iya sih, memang kompleks masalah keinginan orang tua dan anak itu. Film ini masih nunjukin kiranya seperti apa pada contoh kasus yang anak-anaknya kebetulan jadi orang sukses semua di jalan yang mereka pilih. Belum kalo ada yang udahlah gak ngikut orangtua, gak sukses-sukses pula, tapi tetep bahagia (?) Bakal lebih ngeri-ngeri sedap lagi pembahasannya kayaknya hahaha

          • Albert says:

            Btw aku kayaknya ga nonton the doll. Tolong spoilerin dong kali ini twistnya apa mas. Sayang sih pengen nonton bonekanya. Tapi ada jurassic sama gatotkaca nih hehehe.

          • Arya says:

            Twist kali ini: cowoknya ternyata orang yang nabrak keluarganya pas opening, jadi di akhir si boneka bukan cuma ‘cemburu’ sama si cowok melainkan juga dendam kesumat

          • Albert says:

            Oh ya mirip2lah twistnya ya. Pasti cowoknya yang jadi penjahatnya. Sebetulnya pengen nonton sih bonekanya yang mirip Chucky. Sayang 2x libur terhalang nonton pas bisa nonton pilih Srimulat sama Ngeri2 Sedap ini hehehe.

          • Albert says:

            Udah sejuta nih mas Ngeri2 Sedap. Mantaplah kupikir 500 aja udah mentok. Film Indonesia terbagus tahun ini hahaha.

  5. sarah says:

    Setelah kecewa nonton jurrasic lari ke film ini jd agak terhibur .. btw td nonton satu studio fulll penuh bngt isinya sama orang orang batak jd ramai pas adegan lucunya btw soundtrack film ini bagus bngt plus pemandangan danau tobany mantaf

    • Arya says:

      Wah ternyata ada juga yang kecewa nonton Jurassic hahaha.. aku beres nonton nih, nanti segera direview deh.
      Keren ya, kayaknya sekalian promosi wisata Danau Toba, sedap memang pemandangannya

  6. Anthony says:

    Barusan nonton di bioskop, sejam pertama baru mulai nyadar bahwa lucunya itu lucu miris.
    Si bapak hobi kasih beban ke mamak-putri-putra2nya. Guilty trip for each chara yg dikasih beban.

    Mana klimaksnya bikin mewek. Endingnya bikin hati hangat / heartwarming.

    • Arya says:

      Haha iya ya, bener juga, si bapak pasti ngasih guilt trip setiap kali istri atau anaknya mau mendebat ide atau keputusannya. Waktu dijemput ke tongkrongan aja, dia malah balik nyalahin “malu diliatin”

  7. Avant Garde says:

    Akhirnya aku nonton juga minggu lalu bang, ketawa-ketawa tipis, lalu mewek… Btw aku baca chat komen bang Arya dan Albert, mantap ulasannya!

    memang ada bbrp scene yg bikin bertanya-tanya sih, itu kenapa mak domu begadang smp pagi terus meriang? oh, maksudnya biar diperhatiin anaknya dan anaknya gak jadi pulang… ini bukan sekedar film komedi dibungkus drama mellow, tp bener2 sebuah film parenting yg lengkap, meliput hubungan anak-ortu, suami-istri, ortu-nenek, sampai antara keluarga inti dan keluarga besar, dengar2 di siantar inang-inang batak pada nonton jam 8 pagi karena bioskop terdekat dr tanah batak di siantar 😀

    • Arya says:

      Wah keren ya, udah nyampai taraf fenomenal seperti itu filmnya. Terbukti banget dia benar-benar punya concern sehingga konek genuine banget ke masyarakat. Mana pernah inang-inang mau bela-belain ke bioskop kayak gitu hahaha.. Kuda hitam film indonesia tahun ini!

Leave a Reply