THE NUN II Review

 

“Seeing a miracle will inspire you, but knowing you are a miracle will change you”

 

 

Adalah fenomena ajaib, saat sebuah sekuel tampil lebih baik dari film pertamanya. Ajaib dalam artian, agak jarang terjadi. Lantaran sekuel biasanya dibikin karena studio berusaha mengulangi kesuksesan sebuah film, maka kualitas sudah bukan perkara utama lagi. Dari sudut pembuat, pembuatan sebuah sekuel itu stake-nya lebih kecil, less riskier, ketimbang cerita baru. Usaha mereka bisa diperkecil saat ada jaminan penonton bakal datang menonton lanjutan dari sesuatu yang sudah terbukti sukses sebelumnya. Kejadian langka sekuel lebih bagus dari pendahulunya maka wajib kita rayakan, karena itu berarti film tersebut bukan semata pengen memerah kesuksesan, tapi juga melakukan perbaikan-perbaikan. The Nun II, kukatakan saja, tampil lebih baik dari film pertamanya yang sangat uninspiring dan tak memorable. Namun karena The Nun pertama separah itu pulalah, maka kiprah sekuel horor karya Michael Chaves ini tak menjadi seajaib itu. The bar was just too low. Dan The Nun II berhasil tampil lebih baik meskipun usaha perbaikannya sendiri sebenarnya amat sangat minim.

Mengambil latar waktu beberapa tahun setelah battle antara Suster Irene dengan Valak, The Nun II dibuka oleh kematian mengenaskan seorang pastor. Tubuhnya terangkat ke udara, lalu terbakar seketika. Kematian misterius pemuka gereja tersebut ternyata hanyalah satu dari banyak lagi kasus lainnya di berbagai belahan dunia. Sebagai penyintas, Suster Irene yang melanjutkan hidup sebagai suster normal di biara normal, ditugasi kembali oleh Gereja untuk mengusut kasus ini. Karena there’s no doubt, si suster iblis Valak, berada di balik semuanya. Bersama kolega baru, Suster Irene harus melacak relikui kuno. Serta mencari keberadaan si Valak, yang kini bersemayam di sebuah boarding school untuk anak-anak perempuan.

The Nun II yang dinanti-nanti oleh… NO ONE

 

Cerita kali ini memang punya bobot emosi. Karena si Valak actually bersemayam masih di dalam tubuh Frenchie alias Maurice, seperti yang kita lihat di akhir film pertama. Sehingga koneksi personal antara Irene dengan Maurice akan jadi hook dramatis saat kekuatan baik dan jahat itu akhirnya nanti bertempur sekali lagi. Selain itu, pemuda baik hati yang kerja jadi tukang kebun tersebut juga diperlihatkan punya hubungan yang dekat dengan salah satu guru di boarding school (disebutnya Ibu oleh anak-anak murid) dan dengan salah satu anak murid yang bernama Sophie. Malahan, ini juga lantas jadi kekurangan film The Nun II buatku. Bobot emosi cerita ini lebih banyak dan lebih mudah tersampaikan ketika dipantik dari karakter lain, bukan dari karakter utama. Film ini kena ‘penyakit’ karakter utamanya kalah menarik dengan karakter lain. I would prefer cerita fokus di Sophie saja. Fokus di kehidupan di boarding school saja. Simpati kita sebenarnya memang lebih banyak tercurah kepada si kecil Sophie. Yang dibully oleh teman sekelas, dikatain pacaran sama om-om (alias Maurice). Setting asrama katolik tempat mereka bersekolah juga lebih banyak menawarkan elemen-elemen horor. Misalnya ketika teman-teman Sophie mengajaknya ke chapel terbengkalai untuk main challenge yang berbau mistis.

Sedangkan Suster Irene, maan, aku suka Taissa Farmiga di serial American Horror Story, tapi di sini karakter dia boring. Bosenin bukan karena dia gak lakuin apa-apa, loh. Suster Irene ini ‘kerjaan’nya banyak banget; traveling, investigasi, dan nanti harus ‘duel’ lagi dengan Valak. Cuma ya, terlalu banyak sehingga momen-momen untuk development karakternya jadi minim. Ada sedikit soal dia teringat akan mendiang ibunya, tapi itu pun tidak berbuah sesuatu yang membuat kita melihat dia sebagai karakter yang genuine. Setidaknya tidak seperti kita melihat Sophie, atau malah kolega barunya, si Suster Debra (diperankan oleh Storm Reid) Karakter Suster Irene punya sedikit sekali inner journey atau pembelajaran diri yang dramatis. Karakternya cuma belajar tentang identitas dirinya ternyata keturunan siapa. Dramatisnya Irene cuma datang dari ‘ternyata’. Sementara Sophie, kita melihat dia dari seorang korban bully menjadi gadis cilik yang berani. Lalu Suster Debra, punya arc dari seseorang yang ragu akan ‘kerjaan’ mereka – katakanlah dia suster yang imannya kurang – menjadi percaya akan mukjizat. Kepercayaan yang kuat sehingga mendorong Suster Irene untuk semakin ‘pede’ ngalahin Valak.

Sebagai horor gotik yang kental dengan nuansa religi, The Nun II memang banyak bicara soal mukjizat dan kepercayaan. Pembahasan soal anggur adalah darah Yesus adalah pembicaraan soal menumbuhkan iman. Bahwa dengan iman yang kuat maka kebenaran akan terwujud. Bahwa akan selalu ada mukjizat di sekeliling, bagi orang-orang yang percaya. Dan seperti yang dialami Suster Irene, terkadang mukjizat itu ada pada diri kita sendiri.

 

Alih-alih mengembangkan Irene sebagai karakter, film ini tampak lebih tertarik menggarap Irene sebagai karakter dengan casting meta. Film lebih tertarik membangun benang merah antara Irene yang diperankan oleh Taissa Farmiga, dengan Lorraine Warren di timeline The Conjuring yang diperankan oleh kakak Taissa, Vera Farmiga. Dalam salah satu sekuen ‘penglihatan’ Irene terhadap masa lalunya, sekilas ada Lorraine, sehingga mengindikasikan dua karakter ini mungkin memang berada dalam satu garis keturunan yang sama. Lore cerita seperti ini memang menarik, tapi menurutku hal-hal trivia seperti begini masih bisa dilakukan sambil tetap membangun personality karakter secara khusus dengan lebih genuine. Jadi film ini sebenarnya lebih tepat jika difungsikan sebagai horor tertutup di setingan sekolah asrama, dengan karakter-karakter yang hidup di sana sebagai perspektifnya. Tapi karena perspektif utamanya Irene, maka cerita akan sering berpindah-pindah ke bagian ‘investigasi’ yang menurutku membuat kita seringkali lepas dari denyut cerita yang bikin film ini hidup.

Ciee Valak masuk halaman Mode hahaha

 

Sepulang nonton, aku ngecek trivia IMDB film ini, dan di sana disebutkan total screen time Valak si suster iblis cuma dua menit lima-tujuh detik. The Nun II sesungguhnya merupakan film yang benar mengandalkan atmosfer horor ketimbang menjadikan sosok demonnya banci kamera. Oh, jumpscare tetap ada. Banyak. Sebagian besar ngeselin, terutama yang muncul di awal-awal. Tapi secara garis besar, film ini mengerti membangun momen-momen seram tersebut. Valak sebenarnya sering muncul, lore nya juga mengalami pengembangan, tapi dia ditampilkan dari balik bayang-bayang. Tidak pernah lebih lama dari seharusnya, sampai-sampai membuat kita bosan melihatnya. Atau malah film bermain-main dengan imaji-imaji yang menyerupai Valak. Momen paling kreatif film ini adalah saat memunculkan ‘Valak’ lewat halaman-halaman majalah di sebuah stand atau kios. Halaman yang berisi gambar-gambar itu membentuk kolase yang serupa dengan penampakan Valak. Dan ini cara film menampilkannya benar-benar intens, like antisipasi kita terhadap kemunculan real Valak tetap dijaga tinggi. Film ini ngerti the art of bikin penonton menahan napas dalam ketakutan. Setiap entrance Valak, entah itu beneran dia atau bukan, benar-benar terasa fresh dan jadi momen horor yang jempolan. Dan bukan hanya Valak, melainkan ada satu makhluk horor lagi yang ditampilkan dalam film ini. Makhluk yang menurutku bisa saja mereka bikinkan film tersendiri, saking efektifnya cara film memperkenalkan.

Karena itu jugalah aku jadi merasa kesal dengan editing film ini. Sebenarnya aku gak yakin juga apakah hal itu memang dari sononya karena ngincar rating umur tertentu atau ‘ulah’ sensor kita, tapi yang jelas treatment cut-cut film ini dalam menampilkan adegan-adegan horor terasa agak off. Ketika kamera sudah menangkap misteriusnya dengan ciamik, tensi sudah terbangun, exit adegan atau punchline horornya seringkali terasa terlalu cepat. Sehingga momen-momen seram tersebut jadi terasa kurang nendang. Flow horor film pun jadi terasa enggak benar-benar sempurna. Nonton film ini tu jadi kayak kerasa ‘kentang’ gitu loh. Udah capek-capek membuild suspens, tapi puncak pelampiasannya gak ada memuaskan semua. Kayak Valak lagi membunuh salah satu korban misalnya, momen dia ‘nakut-nakutin’nya udah dapat, tapi saat dia went for the kill, tiba-tiba berlangsungnya cepat.

 




Sense horor film ini sebenarnya ada pada tempat yang tepat. Gambar-gambar dan build upnya keren semua untuk standar skena horor. Kalo ternyata bukan salah ‘sensor’, film ini adalah horor dengan timing paling gak-precise yang aku tonton beberapa tahun belakangan. Gak puas aja nontonnya. Ceritanya pun begitu. Padahal dibandingkan film pertamanya, film kali ini punya bobot dramatis. Punya karakter yang cerita mereka mampu membuat kita peduli. Punya development juga. Sayangnya semua itu ada pada karakter yang gak tepat. Dalam artian, bukan pada karakter utama. Heroine utama film ini toh memang tetap dibuat cukup badass dan segala macem, tapi dia ini cuma punya ‘kejadian’. Irene ini bentukan karakternya tu kayak tipikal hero dalam film action. Development dia nyaris tidak ada, melainkan cuma ‘ternyata’. Dan karena cerita harus ngikut perspektif si karakter utama, maka cerita yang mestinya kuat di kejadian sekolah asrama, jadi sering berpindah. So yea, film ini adalah peningkatan dari film pertama, tapi itupun lebih karena film pertama yang memang set standar terlalu ke bawah.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE NUN II

 




That’s all we have for now.

Dunia cerita Conjuring dan The Nun sepertinya sudah diset untuk segera bertemu kembali. Apa hubungan Lorraine dengan Irene menurut kalian?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PUSPA INDAH TAMAN HATI Review

 

 

“An original is worth more than a copy”

 

 

Perkara remake/adaptasi modern dari cerita remaja 80an ternyata masih belum usai. Boy yang sementara waktu bertengger di puncak, mendapat tantangan dari Galih dengan cerita keduanya. Puspa Indah Taman Hati, sekuel dari Gita Cinta dari SMA (2023), hadir dengan suguhan cerita yang lebih sebagai sebuah drama personal dari para karakter sentral. Dunianya memang masih tetap nolstalgia 80an, dengan musik-musik jadul yang diarahkan untuk lebih merasuk ke dalam ruh penceritaan. Namun karya Monty Tiwa kali ini mengusung gagasan yang lebih modern sebagai penyelesaian ‘baru’ dalam konflik ceritanya. Puspa Indah yang memang sudah revolusionary pada zamannya, jadi semakin remaja saja. Bahasan yang boleh dikatakan lebih kompleks tersebut, juga lantas membuat karakter-karakternya terasa lebih real. Menariknya, jika dibandingkan dengan Catatan si Boy yang tayang hanya beberapa minggu sebelumnya, dua film ini terasa seperti agak mirip; karakter utamanya dihadapkan pada pilihan yang sama, dan pilihan mereka masing-masinglah yang jadi penentu. Pembeda yang menunjukkan betapa cerita-cerita ini punya identitas karakter dan gagasan yang kuat. Dan yang paling penting, jika disandingkan dengan Gita Cinta, Puspa Indah sendiri benar-benar jadi sebuah konklusi yang inspirasional bagi perjalanan hidup (bukan hanya cinta) seperti Galih.

Galih dalam Puspa Indah adalah mahasiswa seni yang mencoba membantu menghidupi keluarganya dengan jadi penyanyi. Galih dan ibunya kini tinggal ngontrak di Jakarta. Karir musiknya dapat titik terang tatkala Galih ditawari album solo oleh produser, tapi lagu yang dia nyanyikan bukan lagi lagu karangan sendiri. Melainkan ‘cover’ dari lagu-lagu pop milik penyanyi lain. Lagu-lagu yang bahkan bukan genre yang biasa ia bawakan. Sejalan dengan itu, di kampus, Galih bertemu perempuan bernama Marlina, yang ternyata juga kesengsem sama Galih. Mereka berdua memang jadi pacaran. Tapi tidak tanpa konflik. Karena Galih yang punya pengalaman pahit dalam urusan asmara terkait kelas sosialnya (Galih trauma berat ditolak oleh Bapak Ratna di film pertama), mulai merasa insecure yang berdampak pada karya dan sikap kesehariannya. Marlina pun mengalami gejolak bimbang yang sama karena dia akhirnya mengetahui bahwa wajahnya miriiiiip banget sama Ratna.

Prilly jadi dua, Prilly La-two-consina.

 

Kalo disederhanakan sih, ceritanya memang relate banget. Galih ketemu perempuan yang mirip mantannya. Bukankah memang banyak kejadian seperti itu; kita ketemu orang baru yang ada sesuatu dari dirinya yang membuat kita teringat sama mantan. Atau malah sering juga kan, kita ngerasa kita punya tipe-tipe tertentu, bahwa orang-orang yang pernah kita taksir somehow punya wajah yang mirip. Film ini hanya meng-exaggerate keadaan itu dengan membuat Marlina dan Ratna, both dimainkan oleh Prilly Latuconsina. Aku sendiri juga pernah ngerasain, baru-baru ini malah. Kak Arla yang main juga di Gita Cinta dari SMA mirip banget sama seorang cewek who broke my heart. Maka, selain jadi ngefans sama Arla, aku sebagai cowok Cancer – zodiak yang terkenal susah move on – lantas relapse parah. Aku nyoba ngontak lagi si cewek yang aku tau gak bakal sudi balas messages atau WA ku lagi haha.. Itulah, film Puspa Indah yang bersetting 80an ini sebenarnya sedekat itu. Arahannya pun sebenarnya gak ribet-ribet amat. Film tetap mencoba ‘memancing’ kita ke pilihan Tim Marlina atau Tim Ratna. Naskah Alim Sudio-lah yang menjaga film untuk tetap menghasilkan bahasan yang berbobot.

Marlina dan Ratna bisa kita lihat sebagai Masa Sekarang/Masa Depan dan Masa Lalu bagi Galih. Dan kita tahu bahwa masa lalu, bagaimana juga, penting bagi setiap orang, karena masa lalu-lah yang membentuk jadi seperti apa kita sekarang. Sebagian besar orang (termasuk aku) bahkan menganggap masa lalu akan selalu menang. Tapi Galih adalah seorang karakter tersendiri. Dia boleh saja naksir sama Marlina, karena wajah Marlina mirip sama cinta pertamanya, tapi siapa yang akhirnya dipilih oleh Galih sudah seharusnya diputuskan lewat journey personal Galih. Naskah paham hal ini, karena itulah film menghadirkan kembali Ratna di dalam cerita Galih.  Karena itulah film ini juga tidak ketinggalan mengangkat soal kerjaan Galih sebagai penyanyi. Tema yang mengikat kemelut Galih dengan kerjaannya dan Marlina dengan keinsecure-annya dimiripin sama Ratna,  hingga akhirnya menjadi keputusan Galih memilih siapa di antara dua perempuan itu, adalah soal menjadi diri sendiri.

Statement film dari journey Galih tersebut, menariknya, juga bertindak sebagai gagasan meta. Mengingat film ini sendirinya juga cerita dari masa lalu. Katakanlah, sebuah kopian, seperti lagu-lagu dalam album pop sukses yang dinyanyikan Galih yang bukan original karyanya sendiri. Marlina dan Ratna adalah pembuka mata, bahwa kemiripan mereka bukan lantas berarti Marlina adalah kopian dari Ratna, hanya karena Galih lebih duluan kenal sama Ratna. Bahwa meskipun dari luar ada kemiripan – atau malah disuruh untuk mirip, siapa sebenarnya diri kita, itulah yang membuat kita original. Siapa sebenarnya diri kita, itulah yang harus kita tonjolkan, yang harus tetap dipegang. Maka akhirnya yang dipilih Galih adalah yang membuat dirinya tetap jadi diri sendiri.

 

Cerita yang fokus pada pilihan yang harus dibuat karakter membuat film ini jadi lebih enak untuk diikuti. Karena perubahan pada karakter-karakternya itu lebih mudah terlihat. Yang tentu saja juga berimbas kepada lebih terbukanya ruang untuk para pemain mengeksplorasi akting mereka. Yesaya Abraham, misalnya, di film ini Galih bukan lagi karakter yang lebih banyak diam dan tertekan. Galih di film ini tampak lebih optimis dan berdeterminasi. Flaw karakternya juga lebih kerasa. Kita merasakan dramatic irony pada Galih saat karirnya sukses, tapi membuatnya jadi sedikit songong. Di titik itu kita mengerti Galih yang sukses bisa jadi begitu besar kepala, karena dia punya ‘trauma’ di masa lalu terkait derajat sosialnya. Lucunya, film meng-acknowledge ‘trauma’ Galih tersebut lewat nada yang cukup playful. Seperti ngebecandain Galih. Secara penampilan adegan musik, Yesaya memang selalu tampak tidak-terlalu nyaman disuruh akting bernyanyi. Tapi kini kecanggungannya itu – yang bahkan bertambah karena Galih harus berjoget ala Chrisye – tampak make sense secara inner karakter. Dua karakter yang kepribadiannya bertolak belakang, jelas juga bukan tantangan peran yang enteng bagi Prilly Latuconsina. Marlina dan Ratna berhasil dia hadirkan dengan kekuatan dan kelemahan pribadi masing-masing. Sehingga kita yang menonton pun sering juga terbawa perasaan, kadang kasian ama Marlina dan mendukung Ratna, kadang kasian ama Ratna dan annoyed sama Marlina yang meski lebih terbuka tapi insecure-nya juga gak kelar-kelar

Ternyata bukan Marlina doang, ada lagi yang wajahnya mirip Ratna hahaha

 

Di sinilah menurutku arahan kurang tegas. Secara naskah sebenarnya sudah cukup bagus. Porsi sudut pandang yang balance memang harus dan menjadikan cerita lebih menarik, tetapi semestinya juga tidak mengurangi momen dramatis ketika karakter utama membuat pilihan. Puspa Indah terasa kurang stay di Galih dan agak sedikit terlalu lama mengulik di perasaan Marlina. Karena dari naturenya sebagai film kelanjutan dari Gita Cinta, Puspa Indah adalah soal Galih. Soal perjalanan Galih menentukan pilihan, baik itu karirnya, maupun asmara. Bukan soal Marlina yang bersaing cinta dengan Ratna, atau sebaliknya. Momen pembelajaran Galih memilih apa, atau siapa, dalam film ini tidak diperlihatkan terlalu dramatis. Oleh editing dan cara bercerita film pun, kepentingan perspektif Galih tersebut malah jadi terasa nomordua setelah Marlina dan Ratna ‘meluruskan masalah’ di antara mereka. Film ini banyak membentuk momen-momen tersebut dengan desain untuk menghasilkan ‘ternyata’ alih-alih progres dramatis dari sebuah pembelajaran yang dialami oleh karakter, terutama Galih. Beberapa adegan juga terasa kurang sekuat yang seharusnya, lantaran kadang exit adegannya kelamaan. Misalnya ketika adegan Marlina curhat kepada Ibu Galih; Marlina khawatir jangan-jangan Galih suka dia hanya karena dia mirip Ratna. Momen curhat tersebut terasa agak panjang dan kurang berakhir tegas karena film memilih untuk mengakhiri adegan dengan membahas masalah lain, yakni soal Ibu Galih kangen Bandung.

Film ini juga basically tidak berbuat banyak untuk memperbaiki kekurangan yang kita temukan pada film pertama. Yakni kesan artifisial. Bahasa baku dan lagu jadul, konsep yang dalam dua film ini punya sumber masalah yang sama. Para pemain yang merasa asing dengan konsep tersebut. Karakter-karakter Puspa Indah, secara umum, punya penulisan yang lebih baik. Fungsi dan relasi mereka juga hadir dengan lebih natural. Lebih lancar. Delivery-nya saja yang seringkali masih terasa agak lucu. Adegan-adegan musik juga dilakukan, secara teknis, dengan lebih baik dan tampak lebih meriah masuk ke dalam cerita. Film ini di awal udah kayak mau full-blown musical, dengan nyaris setiap adegan ada nyanyi-nyanyinya. Adegan-adegan nyanyi nya cakep, hanya kesan polesan studio saja yang masih terasa. Like, enggak semua adegan nyanyi perlu polesan, beberapa seperti momen musikal yang sureal, ataupun Galih rekaman dan syuting video klip memang tidak mengapa jika dilakukan dengan polesan. Tapi ada juga adegan-adegan seperti ada Marlina nyanyi di Restoran, yang mestinya lebih kena jika ditampilkan senaturalnya seseorang yang bernyanyi sehari-hari.

 

 




Cerita jaman dulu enak ya, konklusinya tu ada, gitu. Meskipun bersambung, tapi dua filmnya terasa seperti cerita yang berdiri sendiri. Film kali ini, melanjutkan Gita Cinta dari SMA, dengan sebuah perjalanan karakter yang menutup dengan memuaskan. Karena pilihan si karakter itu benar-benar jadi akhir perkembangan dirinya. Sendirinya, film ini hadir dengan statement atau gagasan, yang membuat dirinya tidak sekadar sebuah buatan-ulang. Film ini pun berjuang jadi diri sendiri, seperti karakter-karakternya. Kalo mau dibandingkan lebih lanjut, film ini terasa lebih kompleks dibandingkan Gita Cinta. Karakter-karakternya terasa lebih real. Dunianya yang penuh musik itu pun terasa lebih believable, walau kesan artifisial itu acapkali masih terasa.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for PUSPA INDAH TAMAN HATI

 




That’s all we have for now.

Galih dan Marlina pacaran main skate bareng teman-teman. Apakah date ala 80an impian kalian?

Share cerita kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian jadi pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SUZZANNA: MALAM JUMAT KLIWON Review

 

“How truly hard it was, really, to see someone you love change right before your very eyes” 

 

 

Cinta sejati itu kayak hantu. Banyak yang ngomongin, tapi cuma sedikit yang beneran melihatnya.  Merasakannya. Telah membuktikannya sendiri. Saking susahnya memperjuangkan cinta. Selalu ada saja halangannya. Makanya greatest love story seringkali justru merupakan sebuah kisah yang tragis. Gimana perasaan kita gak teraduk melihat karakter berusaha memperjuangkan perasaan yang tak semua orang bisa melihatnya ada tersebut. Guntur Soerharjanto berusaha mengaduk perasaan kita lewat film kedua Luna Maya sebagai Suzzanna. Adaptasi atau remake bebas dari horor klasik si Ratu Horor ini coba dikuatkan oleh Guntur perihal kisah cinta kedua karakternya. Membuat cinta dan hantu literally jadi satu frame. Di balik horor balas dendam, at heart film ini adalah kisah cinta yang terhalang oleh kematian. Sebagaimana halnya pada film  pertamanya tahun 2018 yang lalu. Bedanya, film Suzzanna: Bernapas dalam Kubur itu berhasil mengaduk perasaan kita, cerita dan arahannya berhasil menggali sudut pandang perempuan yang berkonflik personal; Suzzanna yang telah jadi hantu ingin membalas dendam atas kematiannya, tapi dia gak mau harus berpisah dengan suami, sehingga dia berpura-pura masih manusia. Film Suzzanna: Malam Jumat Kliwon bahkan gak punya sudut pandang kuat untuk menyampaikan konflik cinta tragis di antara kedua karakternya.

Dalam usaha untuk lebih memperkaya suasana dan dunia cerita, Malam Jumat Kliwon jadi lebih banyak mengambil sudut galian. Di satu sisi memang ini bikin cerita di Jawa tahun 1986 itu terasa lebih imersif. Babak pertama film terasa solid oleh build up dan terjaga dengan tempo yang cukup cepat. Kita melihat Suzzanna, kali ini seorang gadis desa yang dipinang oleh Raden Aryo yang ingin punya keturunan. Kita melihat Surya, kekasih Suzzanna, yang mencari tambahan nafkah dengan menjadi petarung. Kita juga melihat istri tua Raden Aryo punya peran di dalam cerita, karena kecemburuannya. So many motivasi yang saling beradu. Di babak ini cerita lebih bertapak pada Suzzanna, yang setelah hamil mulai merasa dirinya gak aman di rumah Raden. Dia disantet, dan hal menjadi total nightmare bagi Suzzanna saat proses melahirkan. Suzzanna meninggal dengan cara mengerikan, cerita masuk babak kedua, dan naskah hingga arahan mulai keteteran. Cerita ‘berpindah’ jadi tentang Surya yang ingin melihat Suzzanna untuk terakhir kalinya, only ended up mengadakan perjanjian dengan iblis untuk menghidupkan Suzzanna. Perempuan itu memang terbangun, tapi sebagai Sundel Bolong yang ingin menuntut balas dan mencari bayinya.

Dan pengen mamam seratus mangkok bakso

 

Narasi menjadi terlalu besar untuk dihandle. Aku merasa film ini seperti orang yang sudah tahu tujuan mau ke mana, tapi di tengah jalan jatuh terpuruk karena gak sanggup untuk actually mencapai tujuan tersebut. Cerita seperti Suzzanna: Malam Jumat Kliwon memang harus sebesar itu. Empat karakter sentral perlu dibahas supaya penonton dapat melihat dinamika gender di tahun segitu (dan maybe masih diteruskan hingga sekarang). Gimana Suzzanna bisa berada di posisi sulit karena lelaki yang suka seenak jidatnya, mentang-mentang berkuasa. Bahkan yang simpatik seperti Surya pun sama saja begitu dengan aksinya yang tidak membiarkan Suzzanna istirahat dengan tenang. Sebuah aksi yang bisa dibilang egois karena dia mengambil keputusan atas hidup perempuan. Film ini mengatakan semua horor itu ya simply disetir oleh kehendak lelaki., tapi juga masih memperlihatkan ada kalanya perempuan ‘berontak’ atau somehow memegang kendali aksi. Paralel Suzzanna – si istri tua – bahkan rela ke dukun, membayar ‘harga’ apapun supaya dia kembali jadi ‘yang disayang’ oleh suami. Suzzanna sendiri gak pernah digambarkan hanya pasrah, tapi disebutkan bahwa dia rela dinikahi demi keluarga. Dia di beberapa kesempatan juga beraksi dengan mempertimbangkan keselamatan nyawa Surya. Bahkan saat jadi Sundel Bolong, ada kala Suzzanna tidak mengikuti ‘perintah’ Surya untuk tidak membunuh.

Karena subteks pada karakter itulah, aspek body horor yang ditampilkan film ini jadi mencuat. Adegan menyeramkan saat persalinan itu menyimbolkan kengerian ketika tubuh penuh jejak yang tak diundang, yang tak diinginkan, yang dipaksakan kepada perempuan. Kita tahu secara narasi itu adalah efek santet, tapi kejadiannya seolah tubuh Suzzanna menolak buah dari paksaan. Harusnya sih adegan ini bisa ikonik. Bayi Suzzanna pindah ke punggung, lalu meledak membunuhnya seketika. The horror inducing nightmare includes: suara teriakan minta tolong Suzzanna kepada bidan dan pelayannya dan shot ada bayi yang bergerak-gerak di dalam lubang punggungnya. Aku gak tahu apakah film Malam Jumat Kliwon yang asli adegannya persis seperti ini, tapi memang adegan persalinan horor tersebut seperti dicomot dari era 80an. Over-the-top, gross, dan fun! Kita harus melihat ke belakang dan realized, bahwa vibe horor 80an itulah yang ingin direcreate juga oleh film ini. 80an adalah era horor praktikal yang cerita dan kejadiannya over-the-top hingga konyol, tapi jadi hiburan tersendiri. Elm Street, Friday the 13th, Evil Dead, sadis tapi menghibur. Film horor Suzzanna sendiri juga seperti itu, malah seringkali ditambah oleh reaksi-reaksi kocak dari karakter pendukung. Film karya Guntur ini punya vibe itu. Ada banyak juga adegan menakut-nakuti yang lucu, banyak reaksi dan dialog karakter yang konyol. Sally Marcelina yang jadi istri tua adalah yang paling ‘semangat’ ngasih vibe over-the-top ini.

Bicara tentang horor Suzzanna, tentu kita gak bisa lepas dari sosok Suzzanna itu sendiri. Kayaknya, industri sekarang ini gak ada yang membangun citra aktornya seperti Suzzanna lagi. Yang aura dan kemisteriusannya dipush terus hingga di balik layar. The fact that reboot-an film-filmnya ini bukan biopik tapi sangat mengutamakan perubahan wajah Luna Maya menjadi semirip mungkin dengan Suzzanna benar-benar menunjukkan bahwa legacy Suzzanna sebagai sosok dan aktor itulah yang dilestarikan. Film mengambil banyak resiko untuk menyulap Luna Maya menjadi Suzzanna. Saat jadi Sundel Bolong, ilusi tersebut lebih mudah untuk dipertahankan. Gestur berkacak pinggang lalu berbalik memamerkan lubang di punggung, serta suara cekikikan seram Luna Maya sanggup memberikan sensasi merinding, Hanya saat karakternya masih manusia, dan banyak bermain di nada drama, plus pencahayaan yang ‘normal’ usaha film memiripkan wajah itu seringkali tampak artifisial, hingga agak ‘mengganggu’ karena wajahnya seperti tempelan. Unnatural.

Sekilas jadi kayak gaya animasi wajah karakter di game Forbidden Siren

 

Suasana desa setelah kebangkitan Suzzanna sebagai Sundel Bolong juga memang harus diperlihatkan. Interaksi Suzzanna dengan warga bakal jadi hiburan horor tersendiri. Istilahnya, ngeri-ngeri sedap hahaha… mungkin Bene Dion terinspirasi judul film drama komedinya ini dari saat ikut menulis naskah Suzzanna: Bernapas dalam Kubur. I wish kualitas naskah film kali ini masih sama dengan film pertamanya tahun 2018 itu. Naskah kali ini ditangani Sunil Soraya dan Ferry Lesmana bersama Tumpal Tampubolon. Fun dan horornya masih ada, tapi dramanya lepas. Malahan, banyak elemen-elemen drama yang sempat disebut namun tidak pernah dibahas lanjut. Ada satu dialog menarik yang paling aku kecewa karena gak ada follow upnya, yakni ketika Raden ditanyai oleh istrinya apakah dia telah jadi jatuh cinta kepada Suzzanna. Kupikir developmentnya bakal menarik ketika pihak yang toxic ternyata jadi beneran cinta sama korbannya. Tapi film gak bahas lagi dan dialog itu semacam punchline angin lalu. Pokoknya, begitu masuk babak kedua, cerita benar-benar keteteran. Dialog dan kejadian jadi konyol tak terkendali. Begitu banyak hal yang bikin kita mengernyitkan kening, mulai dari kenapa kuburan Suzzanna yang mestinya dirahasiakan dari banyak orang malah dikasih nisan bertuliskan nama, hingga ke Surya yang saking rindunya tidur dengan meluk mayat? C’mon! Surya sebagai sudut pandang utama saat Suzzanna sudah tiada, tidak pernah didevelop dengan layak.

Melihat orang yang kita cintai berubah menjadi seseorang yang berbeda. Tema ini yang sebenarnya disimbolkan jadi horor dalam film Suzzanna: Malam Jumat Kliwon.  Dalam kasus Surya, dia menyaksikan kekasihnya melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan karena balas dendam. Goal cerita sebenarnya adalah membuat kisah cinta begitu tragis sehingga menjadi sebuah horor, kisah cinta ketika seseorang harus melepaskan kekasih yang sudah bukan lagi manusia, ketika seseorang harus mencintai kekasihnya dengan cara yang melukai mereka.

 

Tapi penceritaan film enggak mampu mencapai goal tersebut. Tidak mampu mendramatisasi keadaan di luar menjadikannya humor sajaFilm terdistraksi oleh banyaknya elemen yang harusnya ia arahkan ke goal tersebut. Film bahkan gak mampu untuk sepenuhnya membangun rule atau mitologi Sundel Bolongnya. Karena sekarang, dia bukan lagi hantu, melainkan iblis. Padahal Suzzanna yang jadi hantu tidak bisa langsung menyakiti manusia sehingga serangan yang ia lancarkan untuk balas dendam adalah serangan psikologis yang membuat korbannnya mati karena ulah sendiri, adalah aspek yang membuat film pertamanya sangat menarik. Film kali ini sepertinya tidak mau repot dengan konsep semacam itu, dan membuat Suzzanna bisa menyakiti secara fisik karena dia adalah iblis. Dia tidak lagi unik. Aksinya dengan cepat jadi membosankan karena kita basically ngelihat hal yang sama terkait aksi dia terhadap korbannya. Di akhir film coba ngasih tantangan, yaitu ada beberapa senjata dukun yang bisa melukai Suzzanna. Ini yang mestinya dibanyakin oleh film. Buat Suzzanna vulnerable. Bikin stake ada. Bikin jadi ironi ketika Surya tak ingin Suzzanna kalah dan lenyap, tapi morally dia gak mau Suzzanna membunuh lagi. Tapi yang lebih banyak kita dapatkan malah humor dari dua hansip. Mereka kocak, bisa actually nangkep Sundel Bolong, tapi ya gak perlu sampai mau dikasih arc mereka pengen jadi pahlawan segala kalo memang ini bukan cerita mereka.

 




Buatku kerasa sih, nelangsanya ketika yang kita suka berubah menjadi something different. Aku suka film pertama Suzzanna. Dramanya bisa dalem, dan horornya tetap fun. Sedangkan film kedua ini, cuma punya fun. Dramanya banyak yang lepas, yang tidak digarap dengan manusiawi. Padahal muatan drama yang dimiliki itupun sesungguhnya tidak banyak berbeda dari film pertama. Lebih kepada, beda sudut pandang utama saja. Film kali ini sebenarnya lebih tentang Surya, laki-laki yang ditinggalkan Suzzanna, yang menghidupkannya kembali, yang ingin bersamanya sampai akhir hayat, namun perlahan menyadari apa yang sebenarnya ia butuhkan. Film enggak mampu mencapai goal dramatis ini karena sudut pandang yang tidak tegas dan naskah yang tidak bisa menghandle narasi yang besar. Bahkan untuk jadi romance horor saja masih kurang terasa. Kalo nanti ada film Suzzanna berikutnya, aku harap mereka kembali menapakkan dramanya, dan mungkin bisa dicoba untuk tone down mirip-miripan aktornya dengan Suzzanna supaya akting dan ekspresinya bisa maksimal.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SUZZANNA: MALAM JUMAT KLIWON

 

Tulisan ini diterbitkan juga dalam Zine BREAK FROM CINEMA 
Volume 01/Agustus 2023

 




That’s all we have for now.

Kalo dibalik, menurut kalian apakah kita sebaiknya harus mau berubah demi pasangan kita?

Share pendapat kalian di comments yaa

Hijack, serial thriller bagus tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ sudah sampai ke episode finale. Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



INSIDIOUS: THE RED DOOR Review

 

“Painting is good for the soul”

 

 

Insidious original membuka pintu baru dalam sinema horor ala wahana rumah hantu. Perjalanan masuk ke dalam dunia lain. Wuih, pokoknya sejak Insidious booming, gak terhitung deh ada berapa film horor Indonesia yang terinspirasi konsep menjelajah ke other side lewat proyeksi astral seperti yang dipunya oleh film yang ditelurkan oleh James Wan, back at 2010 itu. Dunia gaib dan rulenya memang berbeda-beda, tapi dari gaya dan vibenya kita dengan segera bisa langsung pinpoint yang sedang ‘ditiru’ itu adalah konsep The Further yang ada pada Insidious. Jika sudah seinfluential begitu, maka sudah hampir bisa dipastikan juga Insidious bakal diperah menjadi franchise. And it did. Right now, kita sedang mantengin halaman review untuk seri kelima dari franchise Insidious. Sama seperti kebanyakan franchise horor, laku bukan berarti jaminan mutu. Antara ditinggal James Wan setelah seri kedua dengan konsep yang sudah sebegitu banyak yang meniru, Insidious mulai terasa jadi biasa-biasa saja, Maka dari itulah, menggarap seri kelima ini jadi tantangan yang nyata bagi Patrick Wilson; yang dari pemain filmnya, dia debut jadi sutradara.

Patrick mengembalikan Insidious: The Red Door kepada cerita keluarga Josh Lambert.  Terakhir kali kita melihat mereka di Insidious Chapter 2(2013), keluarga itu memutuskan untuk melakukan terapi hipnotis untuk melupakan teror di masa lalu, supaya tak lagi dihantui. Supaya anak-anaknya gak trauma dulu ayah mereka pernah berusaha membunuh mereka karena dirasuki setan. Ingatan itu dikubur dalam-dalam supaya keluarga ini bisa move on dan hidup normal serta bahagia. Well, fast forward sepuluh tahun kemudian, kita melihat hidup mereka memang cukup normal, tapi mereka gak exactly terlihat seperti keluarga bahagia. Malahan, mereka sudah bukan keluarga utuh. Josh sudah cerai dengan istrinya. Dan, hubungan Josh dengan anak-anaknya – terutama dengan si sulung Dalton yang sudah hendak kuliah – tidak baik-baik saja. Renggang. Baik Josh maupun Dalton seperti disibukkan dengan pikiran sendiri, bahwa ada masa-masa yang tidak bisa mereka ingat, dan ini mengganggu mereka.  Sementara Josh berusaha mencari kesembuhan yang lebih ilmiah, Dalton di asrama mulai dihantui kejadian misterius, saat di kelas tiba-tiba dia melukis sebuah pintu merah.

Pintu itu melarangmu masuk, atau melarangmu keluar, tanya dosen yang melihat lukisannya.

 

Ah, pintu yang harus ditutup alias tak boleh dibuka. Saat menonton, aku memang lantas teringat sama anime fantasy Suzume (2023) yang bicara hal serupa. Yang juga menyimbolkan ingatan traumatis dengan pintu yang tertutup. Sesuai genrenya, Insidious membicarakan persoalan itu dalam nada yang lebih kelam. Jika Suzume harus menutup pintu untuk mengalahkan cacing raksasa, dengan vibe petualangan dan bumbu romansa. Insidious mengharuskan karakternya berkonfrontasi dengan setan mengerikan, tanpa ada rule ataupun senjata yang jelas untuk mengalahkan sang momok. Pintu itu harus dibuka. Dan ‘perjalanan personal’ kedua karakter – Josh dan putranya, Dalton – untuk menemukan cara menemukan kembali ingatan mereka, dalam artian membuka pintu itu, adalah perjalanan masing-masing. Secara sendiri-sendiri (this is a broken father-son relationship, after all). Penuh oleh kejadian mengerikan yang tersampaikan kepada kita dalam bentuk jumpscare selantang-lantangnya.

Walau karakter utamanya tetap Josh Lambert, tapi film membagi dua perspektif ceritanya. Kita akan secara bergantian ngikutin Josh dan Dalton. Akibat yang paling jelas dari cara bercerita seperti ini adalah tempo yang jadi benar-benar kerasa gak balance. Sering berpindah-pindah karakter menghasilkan kesan film ini lebih panjang daripada durasi sebenarnya. Kesan ini timbul karena film otomatis punya lebih banyak kejadian. Kejadian dari sisi Josh, Dan kejadian dari sisi Dalton. Dua kejadian ini tentu saja akan ‘bersaing’ satu sama lain; kita akan merasa ada satu yang lebih seru ketimbang yang lain. Jadi kita bakal menunggu kejadian yang seru itu saja. Dalam kasus film ini, kejadian yang dialami Dalton di lingkungan kampus seni memang lebih menarik daripada yang dilewati ayahnya yang cuma di rumah. Untuk menyeimbangkan keduanya, film butuh arahan yang solid serta penulisan yang cerdik. Film ini toh tampak benar-benar berjuang untuk mencapai itu. Patrick Wilson memasukkan banyak experience baru ke dalam bagian Josh. Kayak, horor di dalam mesin scan otak, ataupun permainan memori yang dibikin sendiri oleh Josh di rumah demi melatih ingatannya. Tapi tetap saja bagian Josh ini terasa lebih generik, apalagi bandingannya adalah karakter Dalton yang berada dalam situasi baru, less drama, dan terbantu oleh karakter pendukung yang gampang disukai oleh penonton.

Dalton dipasangkan dengan Chris (cewek, bukan cowok) yang sifatnya dibikin bertolak belakang dengan Dalton. Sehingga interaksi mereka jadi seger banget, persahabatan mereka jadi kayak natural. Ty Sympkins mainin karakter pendiam dan banyak masalah, sementara Sinclair Daniel jadi orang yang cablak, nekat, dan punya selera humor. Relasi ini jelas dianggap lebih menghibur, ketimbang persoalan Josh yang lebih banyak ‘drama’ soal takut pikun dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan clue-clue dari misteri masa lalu yang gak benar-benar bisa kita ikuti. Persoalan misteri untuk bagian Dalton lebih engaging dan lebih mudah konek kepada penonton karena banyak menyangkut ke adegan-adegan film Insidious saat dia masih kecil. Aku sendiri, lebih tertarik oleh gimana film membuat melukis sebagai cara Dalton teringat kembali kepada hal yang seharusnya sudah dikubur dalam-dalam oleh terapinya dulu. Jadi sebagai mahasiswa seni lukis, Dalton diajarkan untuk menggambar berdasarkan apa yang ia rasakan. Dalton diajar untuk membuka pintu di dalam dirinya. Ajaran itu accidentally membuat Dalton bersentuhan dengan ingatan terkuburnya. Membuat Dalton jadi kembali bisa nyebrang ke The Further (istilah film ini untuk dunia lain), meskipun di titik itu dia belum lagi ingat atau mengerti apa yang sebenarnya dia lakukan. Dan tebak ngapain dia dengan pengalaman mistis ‘barunya’ tersebut? Sama seperti anak muda pada umumnya, dia gunakan The Further untuk menggoda temannya. Menggoda si Chris hahaha

Ada yang ngitung berapa banyak objek warna merah yang muncul sepanjang film?

 

Konsep melukis dengan membuka pintu dalam diri ini mengingatkanku sama dulu waktu belajar nulis. Aku juga diajarkan untuk membuka pintu-pintu di dalam diri terlebih dahulu – diajarkan untuk mengenali diri sendiri terlebih dahulu supaya tulisan bisa punya rasa dan ada jiwanya. Melukis ternyata juga seperti itu. Enggak bisa asal mirip dengan ‘foto’ maka disebut bagus. Melainkan harus ada rasa dan jiwa pembuatnya. Makanya lukisan A.I. mau sebagus apapun juga masih kalah sama buatan seniman manusia. Di film ini bahkan diperlihatkan bahwa lukisan yang prosesnya dibuat dengan jiwa, juga berfungsi sebaliknya, yakni dapat menyembuhkan jiwa itu sendiri.

 

Sebagai yang bermula sebagai aktor komersil, Patrick Wilson sekiranya sudah belajar satu-dua hal cara ngebuild up momen horor yang menjual banget. Momen-momen seperti bayangan yang mengendap-ngendap dari balik kaca belakang mobil ataupun saat Josh merasa dirinya tak lagi sendirian di dalam mesin scan merupakan momen-momen yang pantas jadi highlight karena sukses bikin penonton satu studioku menghela napas dan menjerit-jerit. Momen ketika Dalton harus ‘balapan’ dengan entitas yang mau mengacau dunia nyata saat dia di dalam The Further juga ngasih reaksi super pada penonton. Patrick Wilson hanya perlu belajar lebih banyak untuk menjadikan momen-momen itu sebagai kesatuan cerita yang koheren. Karena babak ketiga film ini, babak ketika cerita Josh dan cerita Dalton mulai melebur jadi satu kesatuan konfrontasi horor atas nama perjuangan keluarga mereka, di situlah film ini terasa lemah. Kejadian just sort of happen. Rule soal The Further jika dimasuki makin jauh, makin berbahaya, sama sekali tak terasa ngefek karena Josh actually jalan di dalam sana dari rumah istrinya ke kampus Dalton – jarak yang jauh apalagi ditempuh hanya dengan kaki. Soal rule, ngomong-ngomong, memang tak pernah dijabarkan film dengan legit. Jika Dalton butuh lukisan dan teknik melukis yang ia pelajari sebagai jalan masuk, maka film tidak benar-benar memasukakalkan kenapa Josh yang ‘penyakit lupa’nya lebih parah juga jadi bisa ingat.

Yang benar-benar terlepas dari penulisan film ini akibat cara bercerita dua perspektif adalah tidak bisa fokus ke persoalan koneksi ayah dan anak yang renggang. Karakter ini terbatas pada perjalanan masing-masing meng-confront horor dengan cara yang berbeda. Sementara usaha ayah koneksi ke anak, drama mereka, tidak dilakukan maksimal. Pendekatan antara mereka berdua hanya dilakukan lewat percakapan whatsapp yang juga tampak generik lewat tampilan chat di layar dan sebagainya. Interaksi yang minim, effort yang kayak terpisah, tapi di akhir film mendadak mereka berjuang bersama. Feeling yang dihasilkan jadi tak terasa kuat, film ini hanya kejadian-kejadian yang tau-tau comes together di akhir. Momen ayah akhirnya pelukan dengan anak cowoknya harusnya jadi momen manusiawi yang grounded, yang powerful, yang mungkin relate bagi banyak penonton. Akan tetapi sepanjang perjalanannya, film tidak membuild up koneksi ini dengan benar, sehingga ya hanya jadi adegan saja.

 




Setelah sempat pindah fokus karakter pada dua film terakhirnya, aku sebenarnya seneng film ini kembali kepada keluarga Josh Lambert. Senang karena muatan drama bisa mengalir lebih genuine jika horor digali dalam lingkungan keluarga yang punya arc alias episode cerita. Film ini berusaha menggali kelanjutan cerita, sambil tetap menapak pada kejadian sebelumnya; berusaha memberikan development yang natural untuk karakter-karakter, namun sayangnya film ini not really good at doing it. Keputusan bercerita membagi dua perspektif adalah keputusan beresiko untuk ditempuh, apalagi saat film tidak dikawangi oleh sutradara yang sudah lebih mahir. Patrick Wilson cukup lumayan menghasilkan adegan-adegan horor, dia cuma butuh bercerita dengan lebih koheren. Yang lebih enak dalam penggabungan dua perspektifnya. Film ini pada jantungnya bicara tentang hubungan ayah dan anak, failednya komunikasi yang terjadi secara turun temurun, tapi proses pembelajaran karakter ke sana tidak terjabarkan dengan baik, melainkan hanya muncul sebagai solusi, tanpa ada proses yang benar-benar dramatis. Aku ragu ini bakal jadi film terakhir, tapi di samping kelemahan-kelemahan penceritaan tadi, aku rasa aku bisa nerima kalo film ini dijadikan penutup dari cerita keluarga yang sudah kita ikuti lebih dari sepuluh tahun yang lalu
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INSIDIOUS: THE RED DOOR

 




 

That’s all we have for now.

Di film ini banyak lukisan-lukisan seram. Ngomong-ngomong, kenapa ya ada lukisan yang bisa tampak seram banget? Apakah kalian punya cerita tentang takut sama suatu lukisan atau semacamnya?

Share cerita kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari mobil jip ke pesawat. Alias di Apple TV+ ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SCREAM VI Review

 

“A franchise is a family”

 

 

Rule number uno dari franchise adalah membuat setiap rilisannya terus membesar. Tapi aturan seperti itu juga ada pada bola salju yang melongsor. Membesar dan terus membesar sampai hancur berkeping-keping. Maka supaya franchise tidak sekadar jadi seperti bola salju, filmmaker dan studio perlu  ngisi film-film itu dengan sesuatu yang ‘lebih’. Scream, by now, telah menjadi franchise horor thriller yang dinanti bukan saja karena elemen whodunit yang exciting, tapi juga karena selalu punya komentar terhadap trope ataupun perkembangan genrenya sendiri. Warisan Wes Craven ini memang tampak ‘aman’ di tangan duo Matt Bettinelli-Olpin – Tyler Gillett yang tahun lalu membuktikan mereka sanggup menyenggol requel, horor modern yang ‘nyeni’, serta toxic fandom sekaligus di balik episode baru teror Ghostface di Woodsboro. Scream lima, despite judulnya yang membingungkan karena gak pake angka, terasa seperti kelanjutan yang ‘benar’ – yang respek, sembari terasa berani mengguncang fondasi pendahulunya. Memberikan franchise ini arahan baru yang pantas kita tunggu, Ketika mereka kembali dengan Scream VI, mereka memang memantapkan arahan tersebut. Membuat Scream menjadi semakin besar sebagai franchise, sekaligus berusaha menyentil franchise modern itu sendiri.

Jadi juga Scream waving ke Samara Weaving

 

Beberapa bulan setelah kejadian Scream lima, Sam dan adiknya, Tara, pindah ke New York, Tara udah kuliah, dan Sam ada di sana untuk menjaga adiknya. Like, menjaga yang bener-bener jaga kayak helikopter parent, gitu. Pergaulan mereka dikontrol ketat. In fact, sahabat mereka, si kembar Mindy dan Chad yang juga survivor serangan Ghostface di film sebelumnya itu, juga ikut pindah ke sana. Diminta Sam bantu menjaga Tara. Keempat orang yang menamai diri Core Four ini memang saling menjaga apapun di antara mereka. Berhati-hati dengan teman baru, dan sebagainya. Hal ini actually membuat Tara gerah. Menimbulkan sedikit friksi antara dia dengan kakaknya. Sementara itu ada Ghostface baru di luar sana yang mengincar mereka. Ghostface kali ini sangat berbeda. Lebih brutal, lebih nekat, Ghostface yang mereka hadapi sekarang gak akan malu-malu menyerang di tempat terbuka. Melukai siapapun. Worst of all, Ghostface yang satu ini bahkan bukan penggemar film ataupun horor. Sehingga tidak ada ‘rule’ yang bisa dipegang oleh Sam, Tara, dan teman-teman yang lain untuk memprediksi serangannya!

Jerat-jerat pemikat telah disebar Scream VI semenjak opening sequence. And I’m not just talking about Samara Weaving haha.. Yang mau kubilang adalah soal Scream VI yang tau-tau ngasih lihat wajah di balik topeng Ghostface di adegan pembuka! Wah, pas nonton aku langsung melongo. Belum pernah loh, Scream melakukan hal kayak gini sebelumnya. Aku sempat mikir wah ini keren juga kalo kita udah tau duluan siapa pelakunya. Elemen Whodunit mungkin jadi melemah, tapi bayangkan dramatic irony yang kita rasakan kalo kita melihat Sam atau Tara terjebak mempercayai pelaku. Tapi ternyata, ada Ghostface satu lagi yang di momen pembuka itu membunuhi geng Ghostface yang pertama, Ah, kepalaku memang ternyata langsung melangkah jauh saking ‘baru’nya langkah yang diambil Scream VI, namun aku tak merasa kecewa. Development bahwa ternyata ada Ghostface lain yang membunuhi Ghostface satunya, masih tetap merupakan langkah baru yang dilakukan pada franchise Scream, dan opening itu sukses membuatku bertanya-tanya apa lagi yang bakal dilakukan oleh sutradara untuk membuat film ini mengejutkan. Sepanjang durasi, seorang fans Scream sepertiku, niscaya bakal jerit-jerit demi ngeliat apa-apa yang dimunculkan, dan dibawa kembali oleh film ini. Kirby’s return, Gale mendapat telefon dari Ghostface untuk pertama kalinya sejak film pertama, Stu Macher ditease mungkin masih hidup (!) dan banyak lagi easter eggs lain apalagi karena investigasi Ghostface kali ini melibatkan banyak topeng dan memorabilia dari film-film Scream (alias Stab dalam dunia cerita mereka) sebelumnya. Nostalgia makin tak tertahankan karena film ini mencerminkan dirinya pada Scream 2.

Seperti sekuel original tersebut, Scream VI membawa action keluar dari Woodsboro. Hanya saja Scream VI mengambil langkah esktra. As in, pembunuhan sekarang bisa terjadi pada siapa saja, termasuk orang-orang di mini market yang bahkan gak ada sangkut pautnya sama Sam dan Tara. Ini menciptakan stake yang semakin besar. Belum lagi, narasi juga mengestablish soal rule franchise yakni semua karakter expendable. Artinya, semua karakter bisa mati. Semua karakter mungkin untuk jadi pelaku. Bahkan karakter original seperti Gale. Semua karakter dalam franchise jadi ‘kalah penting’ dari IP yang dibangun. Dengan itu, Scream VI cuek saja bikin lokasi dan adegan pembunuhan di tempat-tempat terbuka yang rame oleh orang-orang. Seolah kota New York itu sama jahatnya dengan Ghostface. Kita dan geng protagonis gak tahu siapa atau di mana yang aman. Arahan duo sutradara kita yang memang energik dalam bermain kucing-kucingan yang brutal, bikin film Scream kali ini makin terasa ekstrim. Untuk mendaratkan cerita, film memberi lumayan banyak fokus pada persoalan kakak-adik Sam dan Tara. Dua karakter ini jadi hati cerita. Karena ini bukan saja tentang kakak yang mencemaskan adiknya, ini juga adalah tentang dua survivor yang memiliki cara berbeda dealing with trauma. Permasalahan Sam yang masih dirundung bayangan ayahnya yang serial killer, juga terus dieksplorasi naskah. Scream VI menjadikan itu sebagai corong untuk berkomentar soal gimana di dunia sosial kita sekarang, seorang korban bisa balik diantagoniskan.

Malah di kita, korban yang udah tewas aja bisa dijadikan pelaku

 

Victim-blaming, sindiran buat franchise, kisah trauma shared by sisters, elemen-elemen cerita pada film ini sayangnya tidak benar-benar terikat dengan memuaskan. Franchise modern Scream di luar Wes Craven mulai kick-off, tapi langsung tersandung karena Matt dan Tyler seperti masih berkutat untuk keluar dari trope-trope franchise yang mestinya mereka examine. Melissa Barrera dan Jenna Ortega seharusnya sudah bisa lepas mewujudkan karakter mereka – and they did, mereka punya lebih banyak ruang kali ini karena ini pure cerita dari perspektif mereka – tapi dalam naskah, Tara dan Sam masih belum sepenuhnya ‘bebas’. Matt dan Tyler yang pada Scream lima membunuh Dewey, karakter original, kali ini seperti ragu-ragu dalam memperlakukan Gale, Kirby, dan yang lain. The elephant in the room adalah Sidney. Protagonis utama lima Scream sebelumnya, the face of Scream, tidak lagi muncul di film. Backstage, karena Neve Campbell tidak setuju dengan bayaran yang ditawarkan. Kita gak akan bahas gosip di luar film itu di sini, namun naskah Scream VI mau tidak mau harus nge-write off karakternya. Sidney memang ditulis ‘keluar’ dengan penuh hormat, disebut oleh karakter lain mengejar happy endingnya sendiri. Namun momen itu hanya terasa seperti throw-away, cari aman, di saat Mindy dalam monolog flm-nerdnya menyebut contoh-contoh karakter utama (di antaranya ada Luke Skywalker,  Laurie Strode di sekuel-sekuel original, Ripley di Aliens, dll) yang dibunuh demi jadi pijakan buat franchise bisa berkembang. Scream VI menyindir pembunuhan karakter tersebut dengan melakukan ‘pembunuhan karakter’ lewat aksi-aksi yang kurang konklusif, yang kurang impactful. Aku lebih suka gimana mereka nekat membunuh Dewey sebagai hook drama, ketimbang membuat para karakter legacy itu muncul untuk beraksi ala kadarnya. Kayak kalo di WWE, ada pegulat legend dibook cuma buat nongol di ring, dan menang atas superstar baru. Akan lebih impactful kalo legend itu dibuat kalah, karena dia bakal ngeboost status superstar muda yang mengalahkannya.

Tau gak kenapa film whodunit biasanya castnya bertabur bintang? Itu sebenarnya buat nutupin hal yang disebut dengan ‘hukum ekonomi karakter’. Karakter atau tokoh yang penting dalam sebuah film, pasti akan dimainkan oleh aktor yang lebih ‘bernama’. Jadi sebenarnya dari cast aja kita bisa tahu siapa yang jadi pelaku. Untuk menyamarkan itulah maka film-film whodunit sekalian aja makai cast yang ternama semua. Scream pushed this even further dengan membuat opening sequence sebagai kebiasaan naruh cameo-cameo bintang terkenal. Supaya surprise dan impact itu bisa tetap sekalian terjaga. Scream VI, dengan segala returning cast, anak baru, dan geng Core Four seperti tidak benar-benar berusaha. Bukan soal gampang ketebak atau apa, Scream lima masih Ghostface yang paling gampang tertebak buatku, tapi ini adalah soal gak ada impactnya. Pelaku di sini, meskipun masih punya kejutan, tapi basic banget. Motif pelaku yang kali ini tidak lagi peduli sama film-film, melainkan karena pure balas dendam juga membuat Scream VI nyaris balik ke thriller generik.

Dalam urusan sindiran meta, Scream VI unfortunately terasa tidak seimpactful pendahulunya. Bahasan ‘franchise’ memang dibreakdown rule-rulenya, tema ‘franchise adalah urusan keluarga’ juga memang mendarah daging sebagai konflik yang paralel antara protagonis kakak-beradik dengan antagonis, namun tidak terasa klik jadi statement yang wah dan memorable. Buatku, sindiran paling telak yang dipunya film ini lewat Ghostface yang sekarang tidak lagi peduli pada film dan rule-rule horor, adalah bahwa franchise modern juga seperti itu; not really care ama filmnya sendiri. Menurutku, film ini harusnya lebih mempertajam sindiran tersebut.

 

 




Aksi-aksi pembunuhannya memang lebih beringas. Ghostfacenya memang lebih nekat. Film kali ini definitely lebih ‘besar’. Tapi secara efek, terasa lebih jinak. Komentar meta yang jadi ciri khas film-film sebelumnya, terasa kurang nendang. Kurang dikejar oleh naskah. Cerita yang mau grounded dan mengarah ke bentukan elevated horror (horor modern yang mulai berisi seperti yang disinggung film pendahulunya) pun kurang nyampe karena film ini sendiri masih berkutat dengan nostalgia. Dalam proses itu, film ini jadi kehilangan taringnya. Statement soal franchise yang dimiliki film terasa kurang kuat karena film hanya seperti menghindar, tapi tanpa ngasih bentukan baru. Aku bisa suka dan menerima arahan baru yang ditawarkan, tapi dengan kecepatan dan bentuk seperti ini, bisa-bisa franchise thriller horor whodunit kesukaanku ini jadi bola salju beneran, Warnanya saja yang ntar berubah jadi merah darah. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SCREAM VI

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang perkembangan franchise film di negara kita?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



JOHN WICK: CHAPTER 4 Review

 

“Where there is no mutual respect, there’s trouble”

 

 

Tantangan utama dalam menggarap seri action segede John Wick adalah kita harus senantiasa membuat the next action set-piece yang lebih wah daripada sebelumnya. Enggak bisa hanya dengan menampilkan adegan berantem yang serupa terus-terusan. Semuanya harus digedein. Dicari sesuatu yang baru untuk mendesak protagonis utama cerita. Untuk alasan itulah, aku kagum sama ‘aksi’ penyutradaraan Chad Stahelski. Aku kagum sama cara dia ‘membesarkan’ John Wick dalam span empat film. Karena di setiap film ini, Chad sukses mengungguli dirinya sendiri. Dari cerita saja misalnya, bermula dari pria yang mengejar perusak mobil dan pembunuh anjingnya, hingga menjadi buron satu dunia! Dunia John Wick juga dibuat semakin meluas – ‘mitos’ siapa sebenarnya John Wick serta organisasi di belakangnya terus digali, dan semua itu berujung jadi bahkan lebih luar biasa lagi di chapter terakhir John Wick ini. Di film keempat ini stake couldn’t go any higher (walau di titik ini aku percaya Chad masih bakal menemukan cara liar lagi untuk somehow membuat jadi lebih gede lagi kalo dia bikin film kelima) karena cerita menjadi semakin personal bagi John Wick. Orang ini dihadapkan pada teman-teman lamanya sendiri, selagi dia bergerak dari satu negara ke negara lain. Tempat-tempat dan ‘musuh-musuh’ berbeda itu jadi semacam stage bagi petualangan epic John Wick membersihkan nama dan mencari kedamaian. Thus, membuat film ini jadi semacam one hell of a video game!!

John Wick yang sudah jadi excommunicado  itu ceritanya nyari refugee ke teman lama, tapi The High Table yang kini menyerahkan kepada seseorang borjuis keji bernama Marquis, memilih untuk jor-joran menghalau dia untuk keluar dari persembunyian. Semua yang pernah berhubungan dengan John Wick diperiksa. Dilenyapkan, jika tak mau bekerja sama. Salah satu bestie dari masa lalu John bahkan disewa (atau lebih tepatnya diblackmail) untuk memburu dirinya. Inilah yang jadi nilai personal pada cerita kali ini. Karena bagi John, ini jadi eye opener bahwa dia juga membahayakan teman-temannya, baik itu yang mau membantu, ataupun yang terpaksa tak bisa membantu. Untuk menyetop semua itu, ada satu cara yang bisa ditempuh oleh John, yakni menantang Marquis duel satu-lawan-satu di bawah peraturan The High Table. Hanya saja, ada syaratnya. John harus menjadi bagian dari satu keluarga. Serta tentu saja ada tantangan lain, berupa Marquis yang licik itu punya rencana lain untuk membuat John bahkan tidak bisa berdiri untuk bisa menuntaskan syarat-syaratnya.

I actually screamed, kupikir mereka mau duel Yugioh

 

Gimana gak kayak video game, coba. John Wick constantly diserang dan harus bertarung menyelamatkan diri ke manapun dia pergi, dan basically ada tiga ‘stage’ utama yang dia datangi. Hotel di Jepang, Kelab di Berlin, dan beberapa tempat di kota Paris. Tiga kota yang dihadirkan sebagai set-piece yang berbeda, menawarkan tantangan berbeda buat John – masing-masing tempat malah punya ‘boss’ sendiri – sehingga juga jadi suguhan dan pengalaman aksi berbeda buat kita yang menyaksikan.  Nonton ini pas bulan puasa dijamin enak banget, waktu nyaris tiga jam akan kelewat dengan tak terasa. Salah satu pesona aksi yang dimiliki John Wick, yang membuatnya berbeda dengan film laga lain adalah, aksi-aksi di John Wick – termasuk film keempat ini – lebih berfokus kepada aksi berantem ala kung-fu. Dengan memanfaatkan keadaan sekitar sebagai senjata ataupun koreo laganya. Inilah yang bikin kerasa intens. Apalagi aksi-aksi yang direkam in the moment ngikutin John Wick bergerak itu tampak plausible, dan Keanu Reeves selalu total melakukan semuanya. Yang bikin unik dan jadi ciri khas John Wick adalah pilihan senjata; pistol. Sekali lagi, art of Gun Fu (kung fu pake pistol) jadi sajian menghibur oleh film ini. Ngeliat John melakukan combat closed range dan menggunakan pistol sebagai finisher – menembak kepala lawan lewat celah di helm atau sebagainya – selalu terasa memuaskan. Dan seringkali juga kocak. Kayak, one time ada sekuen John harus berantem sambil menaiki 200 steps/tangga, dalam keadaan buru-buru mengejar waktu. Kebayang dong, beratnya gimana. Sekali ketendang, dia bisa menggelinding kembali ke bawah. Penonton sestudio heboh geregetan nih pas di adegan ini!

Makanya saat nonton aku ngerasa John Wick 4 ini bakal seru kalo dibikin game bergenre beat ’em up dicampur sama run ‘n gun. Bayangkan River City Girls atau Double Dragon, digabung dengan Contra. Cepat, energik, dan stylish. Persis Itulah vibe John Wick. Bahkan ada satu sekuen aksi yang treatmentnya udah video game banget; kamera dari langit-langit, melihat ke bawah memperlihatkan John merangsek masuk ke gedung sambil menembaki musuh, pake peluru yang dimodif jadi berapi upon contact. Aksi favoritku, however, adalah pas berantem di jalanan kota Paris. John dikejar, menghajar musuh, sambil berusaha nyebrang di jalan yang rame. Mobil berseliweran di sekitar mereka. Para musuh, dan John sendiri, tak ayal sering kena tabrak. Serunya jadi naik berkali lipat, apalagi ketika John mulai mencoba memanfaatkan traffic itu untuk menghajar lawan-lawannya. Wuih, kupikir ini sama sekali belum pernah kulihat sebelumnya. Set action yang bervariasi itu membuat film terus-terusan menghibur. Puncak dari semuanya adalah duel pistol klasik, ala koboy. Siapa yang lebih duluan draw pistol dan menembak (dengan tepat sasaran, tentunya) bakal menang. Film ini gak mau finale mereka berakhir sesimpel itu. Konteks adegan – dari relasi antarkarakter  membuat kita gak mau ngedip di adegan terakhir ini. Ketegangan benar-benar merasuk, karena kita tahu apa yang dipertaruhkan, kita penasaran bagaimana itu semua berakhir, resolusinya apa, apakah si Marquis yang curang itu bakal dapat ganjaran setimpal. Turns out, adegan itu bakal jadi sangat emosional sekaligus memuaskan. Aku bisa mendengar para penonton yang lain terkesiap dan nyeletuk lirih hal yang dilakukan oleh John sebagai jalan keluar. Rasanya pengen banget ngerewind klimaks dari adegan tersebut, berulang-ulang, saking memuaskannya.

Tentu saja film bisa mencapai momen sebegitu kerasa itu karena di balik aksi-aksi panjang dan seru itu, film ini masih punya cerita yang cukup mengakar. Memang gak dalam eksplorasinya, tapi cukup untuk melandaskan momen-momen dramatis. Dinamika antara teman dan lawan dijadikan benang merah bahasan cerita. Bahwa ini sebenarnya menggambarkan tentang mutual respect. John Wick enggak pernah protes saat teman lamanya datang pengen membunuhnya karena telah dibayar oleh High Table. Karena John Wick respek dengan sobatnya itu, John memahami posisi mereka. Begitu juga sebaliknya, kita merasakan bahwa bagi si teman, kerjaannya ini juga berat – dia sebenarnya gak ingin melakukannya, tapi gak punya pilihan, maka dia tetap melakukannya tapi tanpa membuang respeknya terhadap John sebagai teman.

Relasi mereka jadi hati pada narasi, dan dikontraskan dengan si penjahat Marquis yang tak pernah memandang orang lain – lawan ataupun bawahan – dengan respek. Selain soal itu, aku juga suka sama cara film mengakhiri saga John Wick ini. Cara film memberikan apa yang John mau, tapi di saat bersamaan memberikannya penyadaran akan hal yang harus ia terima sebagai wujud dari damai yang ia cari. Kupikir film telah berakhir mendapatkan cara yang benar-benar respek terhadap karakter dan emosional bagi kita untuk menyudahi franchise yang telah mengguncang skena sinema laga ini.

The JW that we can trust!

 

In a true video game fashion, John juga lantas tertampil kayak protagonis di video game. Dia making choices, beraksi dan segala macam tapi dia terasa sedikit lebih stoic dibanding karakter lain. Kayak di game, protagonis biasanya dialog dan emosinya lebih sedikit dibanding karakter lain, karena pemain yang supposedly jadi karakter utama. Di film ini, John secara mendalam tidak banyak dibahas karena film berasumsi bahwa kita udah tahu dan kenal betul sama karakter ini. Dia bisa kita pedulikan secara otomatis, seolah kita semua adalah John Wick itu sendiri. Ini kekurangan kecil aja sih, apalagi kalo membandingkan gimana John Wick dihadirkan di film-film sebelumnya, khususnya di film pertama. ‘Mitos’ tentang dirinya dulu benar-benar dibuild up lewat reaksi para penjahat yang mendengar namanya, info yang terasa kontras bagi kita yang melihat betapa ‘vulnerable’nya ini orang. Menurutku, John Wick itu sendiri sebenarnya sudah habis digali, sehingga sekarang karakter-karakter baru easily mencuri spotlight dari dirinya.

Dan oh boy, betapa karakter baru di film ini semuanya punya pesona dan menambah banyak untuk cerita film. Biar gak spoiler-spoiler amat, aku di sini hanya akan membahas tiga karakter saja. Pertama, si Marquis yang udah kurang lebih terbahas di atas. Ngecast Bill Skarsgard tampak seperti keputusan tepat berikutnya oleh film. Kedua, si sahabat yang sekarang dibayar untuk membunuh John. Assassin hebat ini actually buta, tapi personalitynya menarik sekali. Donnie Yen benar-benar ekstra mainin karakter Caine ini. Semua yang dia lakukan itu menarik, misalnya, dia menebak posisi lawan pake sensor bell kayak yang biasa dipasang orang di pintu. Alat-alat itu ia tempel di sekitar, dan nanti dia berantem berdasarkan petunjuk dari suara-suara alarm itu. Momen dia adu jurus lawan John, atau bahkan dia bekerja sama dengan John selalu menarik, karena kita bisa melihat alasan dari karakter ini melakukan itu. Ketiga, adalah karakter tak-bernama yang diperankan oleh Shamier Anderson. Seorang pemburu uang reward dari membunuh John. Yang unik dari karakter ini sebenarnya banyak banget. Dia gak beneran punya beef dengan John, melainkan cuma pengen duit imbalan saja. Tapi dia yang sniper handal ini gak mau buru-buru membunuh John karena pengen nunggu bounty/rewardnya naik, jadi sebagian besar waktu dia justru nolongin John supaya bisa terus hidup dan harganya naik. Relasi mereka jadi unik juga berkat ini. Apalagi, si nobody ini beraksi dengan anjing kesayangan yang galak banget. Tau sendiri, semua ini bermula dari anjing John dibunuh oleh orang. Film telah mempersiapkan momen khusus yang menautkan mereka nantinya.

 




So yea, memang agak aneh banyak ngomongin video game saat membahas film yang bahkan bukan dari video game. Tapi itulah bukti film ini memang seunik itu. Adegan aksinya memang sevariatif, seseru, sestylish, dan seenergik itu. Not to mention sinematografi yang ngeri. Film ini bisa jadi film laga yang tervisually mencengangkan buatku. Lokasinya dipilih yang kinclong semua. Bahkan adegan aksi yang direkam di tempat-tempat gelap pun tampak cemerlang. Sebagai kisah penutup, ceritanya juga digarap dengan memuaskan. Enggak dalem-dalem banget, tapi berhasil mengcover momen-momen yang bakal jadi hati dan emosional juga. Buatku, film ini tuh kayak apa yang aku minta dari film ketiganya empat tahun lalu itu. Sehingga aku ngerasa benar-benar terpuaskan, walaupun sebenarnya film ini memang terlalu extend cerita. Terbukti dari si karakter utamanya sendiri sebenarnya sudah habis penggalian. Karakter-karakter baru jadi terasa lebih menarik, seenggaknya sampai momen sebelum ending..
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JOHN WICK: CHAPTER 4

 




 

Ohiya, ngomong-ngomong soal video game, akhir Maret ini di Apple TV+ bakal tayang film tentang video game legendaris; Tetris! https://apple.co/3nhEOdf Hahaha penasaran gak sih gimana game nyusun balok itu bisa jadi materi untuk film? Langganan Apple TV+ aja nih klik di link, biar pas filmnya tayang bisa langsung nontoon!!

Get it on Apple TV

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



SHAZAM! FURY OF THE GODS Review

 

“… the champions are never afraid of losing”

 

 

Salah satu alasan kenapa ada batasan umur yang mengatur hal seperti anak-anak belum boleh punya SIM, belum boleh ikut Pemilu, belum boleh beli rumah, belum legal untuk memberikan consent, adalah karena anak-anak yang itungannya belum dewasa itu masih dalam perkembangan fisik dan mental sehingga dianggap belum bisa bertanggungjawab sepenuhnya. Nah sekarang coba bayangkan ketika anak remaja yang bahkan belum bisa beli bir sendiri, memikul tanggung jawab melindungi bumi dari kriminal biasa hingga marabahaya seperti serangan monster, alien, atau bahkan amukan dewa. Virgo and the Sparklings (2023) sekilas sudah menyinggung soal remaja menjadikan kerjaan superhero sebagai hak mereka, Spider-Man versi Tom Holland telah membahas sudut pandang dramatis dari beban menjadi superhero remaja. Shazam! (2019) garapan David F. Sandberg lah yang pushed soal gimana jadinya jika remaja yang masih immature bertindak sebagai penyelamat kota lebih grounded dan berfokus dalam nada yang lebih kocak. Pesona Shazam! itulah yang membuat film ini jadi entry superhero DC yang jauh lebih ringan dan loveable, easily dianggap bisa head to head dengan colorfulnya superhero sebelah. Sekuel Shazam! kali ini pun dibuat dengan hati yang sama. Menjamin dua-jam durasi itu jadi pengalaman yang seru, lucu, dan juga nostalgic mengingat kita semua waktu kecil pasti pernah bermimpi jadi superhero yang menyelamatkan dunia sekenanya, just to impress teman-teman yang lain.

Semenjak membagikan kekuatan Shazam! kepada saudara-saudari keluarga angkatnya, Billy Batson bertindak sebagai leader dari kelompok superhero mereka. Tapi karena abandonment issue yang dia punya – seperti yang dibahas pada film pertama, Billy berpindah-pindah keluarga – Billy jadi pemimpin yang agak terlalu strict dan clingy. Dia agak ngerasa gimana gitu, saat Freddy, Mary, dan saudara yang lain punya agenda masing-masing dan not really do things his way. Sementara itu, masalah yang lebih besar muncul dalam bentuk keluarga yang lain. Keluarga dewa, tepatnya. Putri-Putri Atlas yang telah terbebas mencuri tongkat Shazam, dan mereka bermaksud untuk membalas dendam kepada Wizard dan para Champion. Kota Philadelphia lantas jadi bagai pelanduk di tengah-tengah seteru keluarga. Keluarga superhero immature yang malah lebih sering rusakin kota, dan keluarga dewa yang juga gak begitu akur satu sama lain.

Me, pitching supaya Wonder (kepala) Wizard jadi karakter secret di semua game DC

 

Alih-alih dielukan sebagai pahlawan lokal, Billy dan saudara-saudarinya sebenarnya justru dianggap warga malu-maluin dan nyusahin. Grup mereka disebut sebagai Philadelphia Fiasco. Pecundang Philadelphia. Karena Billy dan saudara-saudarinya memang sembrono. Wujudnya saja yang dewasa, kekar, dan tangguh. Di balik itu sesungguhnya mereka masih amat muda. Itulah aspek yang paling charming dari film ini. Enggak pernah lupa kalo karakter-karakternya masih belum berpengalaman, masih immature. Masih bergulat dengan ego masing-masing. Sifat ‘kekanakan’ mereka diperlihatkan terus, mulai dari bagaimana mereka berinteraksi hingga ke gimana mereka beraksi. Sekuen mereka bantuin jembatan kota runtuh benar-benar memperlihatkan gimana para superhero ingusan kita memilih aksi dan prioritas. Adegan runtuhnya jembatan itu sebenarnya gak kalah seram dengan yang di Final Destination 5, tapi karena aksi ngasal para Shazam! semua jadi kocak. Ngeliat sikap kekanakan begitu muncul lewat sosok dewasa, menghasilkan kontras yang jadi sumber kelucuan adegan-adegan film ini. Adegan mereka nego dengan para dewa, really killed me. Waktu nulis suratnya juga. Film ini did a great job dalam nulisin humor dari identitas karakter,

Arahan David F. Sandberg juga terasa kuat. Di balik hingar bingar lelucon dan aksi (dan oh boy, betapa Sandberg dikasih begitu banyak hal untuk dimainkan), kita bisa merasakan arahan yang grounded. Yang menarik kita lewat perspektif. Action di Shazam! Dua ini terasa significantly lebih besar dibanding film pertama, dan setiap momen-momen aksi itu terasa berbeda. Dan yang aku suka adalah, nuansa horor yang kental terasa di balik aksi-aksinya. Tahu dong, kalo si Sandberg ini memang karya horornya lah yang put him on the map in the first place. Dia ngegarap film pendek Lights Out, yang lantas dijadikan film panjang yang ngehits. Sutradara Swedia ini juga lantas menyumbang entry paling bagus dari franchise Annabelle, lewat Annabelle: Creation (2017)  Nah, vibe horornya itu seringkali keliatan di adegan-adegan Shazam! Dua ini. Adegan jembatan yang kubilang tadi, misalnya. Terus juga desain karakter-karakter monster yang nanti bakal muncul. Momen bareng naga di dalam kegelapan. Dan tentu saja adegan di museum, saat salah satu dewa membuat ruangan tertutup debu lalu semua orang membatu. Chilling banget! Semua itu kerasa horor salah satunya akibat dari kuatnya build up lewat perspektif. Ada beberapa kali Sandberg menempatkan kita pada perspektif korban saat kejadian bencana itu. Kita dibuat ngelihat monster muncul dari dalam kayu, kita ngerasain berada di dalam mobil yang mau jatuh dari jembatan, like, kita benar-benar dibuat merasakan perspektif orang di jalanan yang ngalamin peristiwa itu.

Shazam! Dua berhasil menyelipkan momen-momen itu ke dalam tone film yang ringan dan kocak. Nonton ini memang sepenuhnya jadi seru. Meski belum sukses penuh untuk membuat kita tidak merasakan kekurangan di balik narasi. That gaping hole yang terasa olehku adalah kesan dramatis dari cerita. Dari journey Billy Batson. Kita ambil saja Peter Parkernya Tom Holland sebagai perbandingan. Peter dan Billy sama-sama superhero remaja, yang belum benar-benar matang dan dewasa pemikirannya. Maka gol dari journey kedua karakter ini basically sama. Mereka akan jadi semakin matang, they will get there through some hardships. Peter diberikan banyak momen dramatis; mentornya tewas, bibinya tewas karena kesembronoan aksinya, pacarnya pun jadi dalam bahaya. Semua itu membentuknya untuk jadi sadar, pun berubahnya tidak langsung saja, melainkan dia melewati fase broken down dulu. Dia perlu mendapatkan keberanian dan confidentnya lagi. Billy Batson dalam film ini tidak melewati sesuatu yang mirip seperti itu. Saudara-saudarinya kehilangan kekuatan adalah hal mengerikan yang terjadi padanya. Dan itupun efeknya tidak permanen, mereka bisa dikasih kekuatan lagi dengan tongkat yang ada di tangan penjahat. Momen broken downnya datang begitu saja, dan selesai bukan exactly dari pembelajarannya sendiri, melainkan didorong oleh pembelajaran yang dialami Wizard. Yang mengakui dia salah meragukan pilihannya memilih Billy sebagai juara, dan bahwa Billy punya something yang gak dipunya orang. Billy bangkit setelah mendengar ini. Buatku ini terasa sebagai resolusi journey yang lemah karena tempaan ke Billy kurang kuat.

Juara tidak ditempa oleh kekuatan fisik semata. Melainkan ditempa oleh hati yang tegar. Itulah kenapa perbedaan mendasar antara juara yang sebenarnya dengan orang biasa adalah para juara sejati tidak takut untuk kalah. Mereka tidak takut kehilangan, karena mereka percaya mereka bisa merebutnya kembali. Bagi Billy, ini berarti banyak. Karena dia juga melihatnya sebagai berani melepaskan keluarga. Itulah yang akhirnya membuat Billy jadi benar-benar jawara Wizard yang asli

 

Permasalahan Billy juga sebenarnya berakar dari hubungan dengan orangtua angkatnya, terutama si Ibu. Hanya saja naskah menggali ini bahkan lebih sedikit lagi ketimbang Suzume (2023) membahas Suzume dengan Bibinya. Interaksi antara Billy dengan si Ibu palingan bisa diitung dengan jari. Membuat momen mereka akhirnya resolve drama mereka, jadi tidak terasa kuat. Padahal mestinya permasalahan Billy ini bisa dibuat paralel dengan masalah Billy dengan ketiga Putri Atlas – yang semuanya adalah older lady; mereka bisa banget jadi cerminan sosok yang ‘membantu’ Billy melihat something dari masalah dia dengan ibu asuhnya. Naskah malah membuat Freddy yang punya hubungan khusus dengan grup antagonis. Ngomong-ngomong soal itu, peran Freddy di film kedua ini memang terasa lebih besar daripada Billy. Bestie Billy yang pake tongkat itu ngelaluin hardship yang lebih banyak ketimbang Billy, punya relasi yang lebih banyak dan lebih terflesh out, dan bahkan punya romance yang gak sekadar lucu-lucuan. Aku malah nyangkanya film bakal mengganti Billy dengan Freddy, saking menonjolnya Freddy di cerita ini.

Intonasi dan pembawaan si Jack Dylan Grazer sebagai Freddy kayaknya cocok juga jadi live-action Morty hihihi

 

Intrik di dalam keluarga Atlas sendiri sebenarnya juga menarik. Tiga orang putri berbeda usia, berbeda kekuatan, dan diam-diam juga berbeda motivasi. Cerita tiga bersaudari ini sayangnya juga kurang tereksplorasi. Melainkan cuma dibikin sebagai lembaran turn demi turn. Dan karena hubungan mereka dengan si Billy Batson juga kurang tergali, jadinya perkembangan karakter mereka juga tak terasa dramatis.  Padahal ketiganya adalah karakter original, loh. Karakter yang enggak ada di komik. Jadi, kemungkinannya ada dua. Either film ini enggak mampu menuliskan karakter original dengan matang. Atau ya karena gak ada di komiklah, makanya mereka gak diberikan eksplorasi yang lebih dalam.

Ngomong-ngomong soal Sisters, kemaren aku nonton serial thriller komedi di Apple TV+ tentang lima bersaudari yang jadi tersangka setelah suami salah satu dari mereka ditemukan tewas. Kalo pada pengen nonton juga silakan klik https://apple.co/3JLLAAz dan subscribe mumpung masih ada free trial!

Get it on Apple TV

 




Zachary Levi tampak sudah semakin settle mainin superhero komedi versi dirinya sendiri; superhero yang kayak kena ‘penyakit’ man-child akut. Tapi memang di situlah pesona karakternya. Film ini toh dihuni oleh banyak karakter likeable, yang juga diperankan dengan sama-sama menyenangkannya. Interaksi mereka yang seringkali kocak, tingkah yang absurd, serta aksi seru yang tak kalah lucu – sekaligus ada tone horor merayap di baliknya – bikin keseluruhan film jadi pengalaman super fun. Ceritanya juga dengan klop masuk sebagai sambungan film pertama. Surprise di momen akhir sukses bikin satu studio tepuk tangan sambil ngakak. Hanya saja naskah kali ini belum sukses terasa solid.  Narasinya seperti kelupaan elemen dramatis, sebelum seluruh kota diserang dan ada yang harus mengorbankan dirinya. Journey karakternya juga begitu, tidak benar-benar dieksplor, sebelum akhirnya dimunculkan saat cerita sudah di titik hendak berakhir. Menurutku, harusnya ini bisa dilakukan dengan lebih baik lagi sehingga Billy Batson dan journey karakternya bisa lebih mencuat dan jadi lurus sebagai pondasi utama.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SHAZAM! FURY OF THE GODS

 




That’s all we have for now.

Kalo anak/remaja disepakati belum matang sehingga belum bisa dipercaya memikul tanggungjawab, kenapa tiap daerah/negara punya batasan umur-dewasa yang berbeda? Apa yang menyebabkan anak di satu daerah bisa dinilai lebih cepat dewasa ketimbang daerah lain?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MISSING Review

 

“Parents make mistakes not because they don’t care, but because they care so deeply”

 

 

Ada yang hilang pada modern thriller, yang kebanyakan menjodohkan protagonis dengan antagonis yang didesain saklek sebagai perwujudan rintangan atau pembelajaran. Suspens dari kehilangan kendali atas hal yang familiar – atas hal keseharian. Ketegangan ketika tokoh utama bahkan tidak yakin pada apa yang sebenarnya terjadi. Saat ketidaktahuan jadi lawan terberat, sehingga membuatnya lantas berpikir ‘mungkin aku yang jahat’. Duo sutradara Nicholas D. Johnson dan Will Merrick menemukan ‘missing ingredient‘ tersebut, dan memasukkannya semaksimal mungkin dalam sekuel-lepas dari Searching (2018) yang mereka garap. Missing  di tangan mereka masih dalam formula yang sama dengan Searching, masih seputar mencari keluarga yang hilang lewat penyelidikian melalui dunia maya, tapi drama kehilangan tersebut terasa lebih ngena. Misterinya terasa lebih grounded, terutama buat anak muda yang menonton. Karena sekarang perilaku di internet dan hubungan dengan orangtua langsung dijadikan sebagai perspektif utama.

Yea, tentu saja seperti film pendahulunya, Missing juga merupakan thriller dengan gimmick. That’s the identity. Ciri khas yang dipertahankan. Film ini sepenuhnya bercerita lewat layar komputer atau gadget. Semua interaksi karakter kita lihat dari chat, rekaman video, video call, dan sebagainya yang terhampar di layar. Tapi baik Missing, ataupun Searching, punya drama yang kuat untuk ngeback up gimmick yang mereka pakai. Drama keluarga yang juga membuat misteri dalam cerita jadi berbobot dan kita pedulikan. Dalam Missing yang jadi sorotan adalah hubungan cewek remaja – yang sudah mau delapan-belas tahun – dengan ibu yang membesarkan dirinya seorang diri sejak ayah gak ada. Si June ini (Storm Reid on her star-making performance) bakal ditinggal beberapa hari di rumah, ibunya pergi liburan ke Kolombia bareng Kevin, pria yang jadi pacar baru ibunya. Di Kolombia itulah si ibu dan Kevin menghilang. Keberadaan mereka berdua seperti hilang begitu saja. Tinggal June yang mati-matian mencari ibu lewat jejak-jejak digital selama liburan. June go deep, meretas akun, menyewa jasa online, dan sebagainya sampai-sampai dia menemukan kenyataan bahwa, bukan hanya Kevin – tapi juga ibunya sendiri – punya rahasia kelam di masa lalu mereka. Rahasia yang besar kemungkinan jadi kunci misteri menyedihkan ini.

Cewek kalo udah jadi detektif online, memang seng ada lawan!

 

Naskah juga menelisik sama dalamnya dengan usaha June mencari keberadaan sang ibu. Peristiwa ibu hilang itu baru kejadian sebagai plot poin pertama, yang artinya film meluangkan waktu sekitar setengah jam untuk melandaskan dulu bagaimana hubungan June dengan ibunya. Akar yang kuat itulah yang nanti membuat misteri ini jadi terasa nyesek, lebih dari twist-twist yang terjadi. Itu jugalah yang membuat June dan ibunya jadi terasa seperti orang beneran; problem mereka kita mengerti, relationship mereka terasa real, membuat masalah keluarga mereka jadi penting untuk disimak. Karena mungkin kita juga ngalamin problem yang sama. Anak yang tak dekat dengan ibunya, anak yang merasa ibu tidak berduka seperti dirinya berduka terhadap sosok ayah. See, June diceritakan memang masih kangen berat sama ayahnya. Video masa kecil yang diputar sebagai adegan pembuka itu benar-benar efektif ngeset begitu banyak hal penting dalam narasi dan karakterisasi para lakon. Sehingga kita maklum kenapa June jadi sinis sama ibunya yang malah punya pacar baru. Kalo cuma dibaca dari sini, memang kesannya kayak set up biasa. Itulah sebabnya kenapa kita enggak baca review dulu sebelum nonton, karena bagi yang udah nonton, pasti langsung kebayang betapa amazingnya film ini menceritakan itu semua. Gimmick layar laptop atau komputer menciptakan semacam keterbatasan ruang gerak bagi karakter, tapi film ini selalu menemukan cara untuk menambah layer percakapan atau interaksi karakter lewat bagaimana sosmed dan interaksi digital bekerja.

Momen-momen seperti June pura-pura ngetik pesan ibunya (padahal dia cuma ngasal aja ngetik huruf – malah sempat ngumpat pake ‘stfu’ segala), June ngechat teman diam-diam sambil ngobrol, atau ketika June cuma balas ‘I love you’ dari ibunya dengan acungan like; momen-momen tersebut berhasil bicara banyak tentang karakter dan hubungan mereka – sama efektifnya dengan kalo film melakukannya dengan dialog seperti biasa. Itu semua belum apa-apa, dibanding ketika nanti sudah sampai pada bagian pemecahan misteri. Usaha yang dilakukan June lewat komunikasi yang terbatas pada apa yang bisa dilakukan teknologi (yang ternyata bisa mengungkap banyak hal jika kita ‘bijak’ menggunakan internet!) terasa banget seperti step-step natural pengembangan naskah. Sementara juga stay relate karena kita bisa melihat kita bakal melakukan hal yang sama dengan June yang gak langsung bisa. Yang ragu-ragu. Yang salah ngetik dan nebak password. Naskah benar-benar firing all cylinders. Stake terus dinaikin dari mepetnya waktu, terbatasnya bahasa, terbatasnya duit. Misteri pun semakin membesar karena si June bukannya dapat jawaban, tapi justru semakin dia mengungkap hal semakin banyak pula pertanyaan baru yang menghadang. Hebatnya film gak kehilangan pegangan. Tema dan perspektif karakter tetap dikobarkan. Kita akan melihat dalam pencariannya, June jadi berteman dengan beberapa orang, yang actually penting untuk pembelajaran karakternya.

Sebagai anak, kita seringkali merasa dipaksa menelan anggapan bahwa orangtua selalu benar. Bahwa orangtua always knows best. Sehingga meskipun kita tau itu tidak benar, tapi toh kepercayaan bahwa orangtua bakal selalu ada – bakal selalu got our back – tetap terpatri di dalam diri. Inilah yang dijadikan konflik oleh film ketika June mulai dihantui ‘gagasan’ bahwa bisa jadi orangtuanya melakukan sesuatu yang bukan untuk dirinya. Dan bahwa sikap dirinya yang jadi penyebab ibunya pergi. Ketika seorang anak, dirundung oleh berbagai emosi yang bersumber dari mereka menyadari tidak cukup mengappreciate orangtuanya, di situlah cerita film ini bersinar.  

 

Film seperti ngetackle dua permasalahan sekaligus. Masalah anak dan ibu tadi. Serta masalah yang lebih universal, seperti gimana dalam suatu kasus yang telah jadi viral, kita seringkali lupa akan masalah awal. Gimana biasanya publik malah menyorot perempuan, lebih banyak ketimbang laki-laki. Bahkan bisa sampai jadi pihak perempuan yang sebenarnya korban lah yang lebih diantagoniskan. Sama seperti ketika membahas anak-dan-orangtua, ketika membahas internet, film ini juga berimbang. Dia memperlihatkan bukan saja internet bisa berdampak buruk, tapi juga memperlihatkan bahwa internet jadi cara June untuk menyelesaikan masalah. Semua kembali kepada pemakai, bagaimana mereka menggunakan teknologi tersebut.

Next film bisa dikasih judul ‘Stalking’, isinya liatin layar laptop orang refresh-refresh instagram mantannya seharian

 

Mengawal gimmick yang secara natural membatasi (salah-salah film kayak gini malah cuma bikin kita full bacain chat WA di layar doang) untuk bisa mampu membahas banyak dan menghantarkan karakterisasi, sementara juga memuat misteri yang semakin menarik dan membesar, kita memang harus angkat topi sama pembuatnya. Enggak gampang bercerita dengan desain seperti ini. Sama para pemain juga, supaya emosinya nyampe, mereka dituntut permainan ekspresi yang benar-benar harus maksimal. Teknis dan desain produksi itu mengangkat film ini. Walaupun Missing, seperti Searching, memang tidak total hadir natural. Like, percakapan atau hal penting di layar komputer itu kerap di-zoom supaya kita tahu ke mana harus melihat alih-alih membiarkan kita melihat sendiri yang terjadi. Itu, dan film seperti struggling harus nampilin layar komputer sehingga beberapa adegan kehilangan perspektif (like why tau-tau kita nontonin cctv tempat publik) actually adalah kritikanku waktu review film Searching. Film Missing, however, walau masih begitu tapi seenggaknya kali ini layar komputer itu lebih dimasukkan ke dalam bangunan narasi dan misteri. Kita melihat banyak aplikasi, dari layar,  dan sekarang ‘dari layar siapa itu semua dilihat’ benar-benar jadi penentu dalam narasi. Kayak di awal, rekaman yang ternyata kita lihat dari layar ibunya – bukan dari layar June – menambah banyak untuk pemahaman dan karakterisasi. Dengan kata lain, dalam Missing, layar-layar itu bukan saja untuk meihat ‘apa yang terjadi’ saja, tapi juga soal siapa yang sebenarnya sedang melihat itu. Ini bikin film ini jadi lebih intens, dan bahkan punya replay/rewatch value yang lebih gede lagi.

Keterbatasan gimmick yang masih belum bisa sepenuhnya dihindari adalah soal timing. Soal pace. Kaitannya dengan lingering emotion. Missing yang semua adegannya adalah tampilan dari desktop komputer atau layar gadget tentu saja tidak bisa menampilkan momen-momen karakter di luar komputer mereka. Jadi momen-momen ketika karakter matiin layar, untuk menghayati perasaan emosional yang menggelayuti mereka, kita gak dapat turut merasakan itu dengan maksimal.  Kita hanya ‘on’ saat investigasi dan aksi-aksi memecahkan misteri, karena saat itulah mereka juga online. Jadi yang full kita rasakan justru momen-momen shocking revealing demi revealing, yang bikin film jadi seru in the moment itu saja. Babak ketiga yang paling terasa film membesar nyaris liar. Tidak banyak waktu bagi kita untuk meresapi ada apa sebenarnya, meresapi karakter yang tau-tau ada. Tidak banyak waktu untuk kita second guessing plot, padahal ada satu-dua hal bagiku yang masih agak ‘aneh’. Kayak kenapa cuma nama ibunya yang diubah oleh program perlindungan, kenapa nama June yang masih kecil itu tetap. Apa tidak berbahaya. Buatku di babak ketiga film hampir jadi terasa generik dan mulai sembrono. Tapi tak bisa dipungkiri, agak terselamatkan, oleh babak set up yang memang telah membangun pondasi untuk ke sana dengan nicely. Sehingga kalo mau melingkar, ya, memang harus begitu. Meskipun membuat film jadi lebih ke arah untuk shocking saja.

 




Aku aslinya kurang suka nutup tulisan dengan ‘Tapi overall…”, tapi kayaknya ku sudah kehabisan napas untuk berkata-kata. Jadi yah, tapi overall, aku lebih suka film kedua ini ketimbang yang pertama. Walaupun secara bobot kedua film ini sama kuat membahas masalah kerenggangan hubungan orangtua dan anak di era modern dibungkus dalam bingkisan misteri. Keduanya sama-sama jago dalam membangun suspens, membuat hal menjadi lebih besar dan terus membesar dengan cara bercerita atau pengungkapan yang menarik.  Napasnya juga sebenarnya mirip. Cuma yang bikin aku sedikit lebih suka adalah; film yang kedua ini terasa lebih matang aja dalam menghandle gimmick layar komputernya. Sehingga di film ini perspektif karakter terasa lebih matang juga. Kita gak hanya ikut melihat apa yang terjadi. Tapi ada layer yang intens dari ‘siapa yang sedang melihat’. Replay value film ini pun jadi tinggi banget. Duality pada judul pun jadi terasa semakin ‘nyata’. Kehilangan seseorang bisa jadi rindu, juga bisa jadi sesuatu yang bermakna lebih mengerikan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MISSING

 

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian internet bisa digunakan oleh setiap orang untuk melacak hidup seseorang itu adalah hal yang mengerikan? atau sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MANGKUJIWO 2 Review

 

“The sins of parents bleed further in the children”

 

 

Moral kebanyakan cerita horor adalah soal manusia ternyata lebih seram, lebih jahat, daripada hantu. Mangkujiwo karya Azhar Kinoi Lubis menekankan ‘moral’ tersebut dengan lebih jelas lagi, karena yang ia bikin di sini sebenarnya lebih sebagai sebuah thriller sadis perebutan kekuasaan supernatural. Thriller tentang manusia-manusia yang saling serang dengan ilmu hitam, saling memanipulasi untuk tujuan duniawi, dan para makhluk gaib tak lebih dari senjata yang diperebutkan. Dan manusia yang lebih lemah, jadi budak yang diperalat. Bagai pion yang digerakkan ke sana kemari. Or worst, jadi tumbal. Eksistensi film ini sebenarnya menarik, dan patut disyukuri. Karena ngasih warna berbeda pada genre horor lokal, memusatkan pada galian yang identitas klenik yang benar-benar lokal. Tapi film pertamanya tahun 2020 lalu itu, aku kurang suka. Mainly, karena kurang baiknya penggarapan naskah. Mangkujiwo pertama kayak orang yang mumbling nonsense. Begitu sibuk berkutat pada lore, istilah-istilah, dan eksposisi pembangunan dunia. Jadi aku tahu perbaikan apa yang kuharapkan pada sekuelnya kali ini. Satu hal yang pasti, Mangkujiwo 2 berpegang erat pada elemen-elemen yang diapresiasi penonton pada film pertamanya. Desain produksi dan artistik.  Yang paling kuingat di film pertamanya itu memang adalah penggunaan binatang-binatang horor (alias jijik) yang kayak asli. Nasi dicampur isi perut tikus, wheew masih kebayang ampe sekarang. Dan di film kedua ini, tikus-tikusnya memang dihadirkan lebih banyak lagi!!

As far as the opening goes, aku suka sama film kedua ini. Di pembuka itu kita ditempatkan di dalam studio bioskop. Lagi ada pemutaran film. Lalu kita melihat Uma, gadis yang bisa memanggil Kunti setiap kali dia terluka tak sadarkan diri, nonton di tengah-tengah barisan. Di belakang Romo-nya dan orang-orang penting lain. Bagi Uma, something feels off. Awalnya kupikir dia diserang gelombang panik. Mendadak dia melihat penonton lain di sekelilingnya dibantai oleh gerombolan orang yang datang entah dari mana. Uma berlarian, nangis kejer kalo istilah sekarang. Belakangan, kita tahu yang dilihat Uma roh-roh orang yang dulu memang pernah dibantai di situ. Ini opening yang decent banget, gak sih, buat cerita horor. Perfectly ngeset up tone keseluruhan, sekaligus ngasih tau permasalahan apa yang bakal menghantui karakternya.  Tapi kemudian film sampai pada bagian dialog-dialog karakter, dan it was still a meh. Mangkujiwo 2 masih tetap terbebani oleh segala macam eksposisi. Barulah ketika penjelasan dan intrik-intrik cerita sudah out-of-the-way, ceritanya kembali jadi sedikit lebih enak untuk dinikmati.

Jadi kenapa karakter Sujiwo Tejo ini bersikeras nyuruh orang memanggil dia Romo?

 

Masih ingat kemaren kita membahas film Autobiography yang serasa film horor meski tanpa setan? Nah, Mangkujiwo 2 ini kayak Autobiography jika film itu beneran film horor, dan agak sedikit lebih susah dalam berbicara. Permasalahannya mirip.  Mangkujiwo 2 juga punya latar politik yang seperti gambaran dari rezim-horor kita. Tapi di sini diceritakan ada higher power dari politik itu. Ada mastermind yang mengatur semua. Orang itu adalah Romo Brontosaurus. Eh salah, Romo Brotoseno. Bayangkan pemain catur, itulah posisi si Romo. Bidak-bidaknya adalah Jenderal, orang-orang gede lain, dan rakyat tak berdosa, seperti Uma, dan karakter fotografer yang diperankan oleh Marthino Lio, bernama Rimba. Rimba ini anak seorang aktivis yang dibunuh oleh Jenderal. Ya, sekarang bidak-bidak lama dan baru itu sedang diadu oleh Romo. Film mulai kerasa ‘enak’ ketika konflik seputar Rimba mulai dikembangkan. Pada review Mangkujiwo pertama aku menyebut film tersebut  tidak meninggalkan kesan apa-apa. Melainkan hanya nonsense dan kekerasan (pada perempuan pula!) Film itu tidak punya genuine feeling di baliknya. Film itu tidak punya cinta. Aku bukannya ge-er bilang film ini mendengarkanku atau apa, cuma yang jelas step up yang dilakukan film kedua ini adalah mereka actually memasukkan cinta ke dalam narasi. Ada suntikan feeling yang bisa kita rasakan, bisa kita ikuti di balik sadis dan jijiknya tikus-tikus itu sekarang. Cinta itu salah satunya datang dari hubungan antara Rimba dengan Uma. Dunia Mangkujiwo terasa jadi sedikit lebih hidup karena sekarang ada karakter dengan perasaan yang bisa kita relasikan, enggak melulu soal rebutan kekuatan dan kekuasaan. Anyway, jadi nanti Rimba ceritanya mulai sadar dan mengajak Uma untuk basically wake up.  Untuk melihat bahwa si Brotoseno bisa jadi bukan Romo, bukan ayah, sebaik yang Uma sangka. Anak muda seperti mereka harus melek, harus mengenali siapa, darimana; sejarah mereka. Jika tidak, mereka akan mengulangi ‘dosa’ negara, orang-orang sebelum mereka. Karena Romo sedang membuat mereka berjalan di siklus horor rezim dendam antar-generasi.

Perihal sejarah kelam akan terus berulang dijadikan film sebagai latar dari dunia horor cerita. Bahwa dosa orangtua, dosa generasi sebelumnya, akan diteruskan. Akan terpetakan pada generasi muda sesudahnya. Dan itu terjadi karena ada satu orang yang mengendalikan semuanya. Ada satu  pihak, dalam hal ini si Romo, yang seolah gak ikut campur dan kayak orang baik, tapi ternyata mengatur dan menghendaki itu semua demi kepentingannya sendiri. Jadi sebenarnya menarik juga untuk menelisik, di mana film ini meletakkan garis antara fiksi dan gambaran nyatanya?  Apakah film ini suggest ada higher power, ada sosok ‘Romo’ di balik kemelutnya negeri kita?

 

Seharusnya film menjadikan kisah Rimba dan Uma sebagai fokus. Paruh akhir ketika kita sudah bisa ‘melihat’ jelas karakter-karakter ini adalah bagian terbaik dari Mangkujiwo 2. Sayangnya, bagian ini seperti joke “kamu itu punya inner beauty, tapi terlalu dalam, gak keliatan”. Secara keseluruhan film masih sumpek oleh tetek-bengek istilah dan segala macamnya. Cerita dengan dunia dan logika sendiri memang selalu punya tantangan besar untuk membangun dunia itu. Terlalu banyak eksposisi, penonton bingung sama ‘aturan’ dunianya, memang jadi sandungan yang lumrah. Beberapa film toh mampu untuk melakukannya tanpa terlalu banyak merusak narasi dan tempo. Avatar pertama misalnya, aku kagum gimana dengan cepat dan efektif film itu menghamparkan sains teknologi avatar dan soal bulan Pandora. Ketika bicara Avatar, kita selalu kepikiran soal visual dan teknisnya, sehingga lupa kunci rahasia dari pencapaian film itu adalah naskah yang efektif. Penempatan dan pemampatan eksposisi yang terukur dan tepat-guna, karena film punya alur yang jelas. Sebaliknya, ini jugalah kenapa dua film Mangkujiwo seperti kesusahan dalam bertutur.

Film ini tidak punya plot yang jelas. Film ini cuma punya kejadian demi kejadian demi kejadian yang diungkap oleh ternyata, ternyata, dan ternyata. Plot yang dimaksud di sini adalah alur dari karakter, perspektifnya apa, maunya apa, journey-nya apa. Film ini bahkan gak punya bangunan yang jelas merujuk karakter utamanya. Dari opening, sepertinya Uma yang diperankan Yasamin Jasem adalah karakter utama. Tapi bukan, Uma terlalu pasif untuk jadi protagonis utama. Peran karakternya di sini ya cuma untuk manggil si Kunti. Uma repetitif banget. Ngelihat bayangan pembantaian – dirinya dipukulin beneran – pingsan – nyanyi Lingsir Wengi – lalu muntah setelah Kunti beraksi. Yang benar-benar aktif sebagai hero dan punya motivasi adalah Rimba. He’s the perfect choice untuk bawa plot yang jelas, tapi dia treatment-nya layaknya karakter pendukung saja. Karena sebenarnya film sudah mengeset Romo sebagai karakter utama. Ya, sama seperti pada film pertama, Mangkujiwo 2 juga sebenarnya adalah cerita tentang villain. It’s okay sebenarnya buat film menjadikan not-good person sebagai karakter utama. Malah bisa jadi menarik, kan, kita langsung melihat dari perspektif penjahat kayak di film Henry: Portrait of a Serial Killer. Hanya saja, sudah melakukan dua kali, tapi film ini tetap belum benar-benar total merangkai ceritanya ke dalam perspektif jahat si Romo. Karakternya gak punya journey, gak ada stake kuat, dan dia selalu ‘benar’. Film ini sempat juga mencoba untuk membuatnya menghibur kayak Jigsaw, yang sekilas John Kramer kayak kalah, tapi semua terkuak ternyata berjalan sesuai perhitungannya. Romo juga ada bagian kayak dia ‘kalah’, tapi enggak. Dan di momen itu, yang diinginkan film belum nyampe karena karakter Romo belum ada di level simpatik ataupun kita pedulikan seperti itu.  Film ini pengen kompleks dan different, tapi sendirinya belum mampu merangkai yang diincar dengan lancar.

Who lets the rats out? Who, who, who

 

Ambisius, sepertinya memang begitu. Walaupun karakter-karakternya banyak yang dihidupkan agak over-the-top, tapi film ini punya dialog yang cukup bermakna. Bukan dialog receh. Film ini cukup serius. Apalagi ketika menggarap horor dan adegan sadisnya, kita bisa lihat film ini gak main-main. Meski memang gak semua usahanya work out. Yang berhasil, kayaknya ya tikus-tikus itu. Aku nonton ini sampai – maaf – angkat kaki ke kursi, karena takut kalo-kalo ada tikus beneran di bawah tempat duduk hahaha.. Penempatan tikus untuk horor, fungsinya dalam narasi, berhasil dimasukkan. Adegan pembunuhan sadisnya, juga cukup oke. Cuma yang aneh adalah sosok kuntilanaknya. Asmara Abigail tidak reprising her role sebagai Kanti di sini, dan sebagai gantinya kita dapat kuntilanak merah yang generik banget. Cuma melayang di sana sebelum menyerang. Sama seperti Uma, Kuntinya repetitif dan gak berkesan. Atau mungkin kita yang sudah terlalu capek untuk terkesan. Capek sama mumbo-jumbo dan kerumitan bercerita. Terakhir, yang enggak banget, yaitu kekerasan pada perempuannya. Elemen ini dipertahankan oleh film. Aku ngerti, bukan ini saja horor yang ‘nyerang’ cewek. Bahwa ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh horor saat menjadikan karakter perempuan berjuang hidup-mati. Di sini, mungkin untuk menyimbolkan patriarkal, kepemimpinan laki-laki, tapi yang film ini lakukan untuk itu kadang ‘maksa’. Jatuhnya ya jadi kayak eksploitatif. Salah satu yang paling ‘maksa’ itu adalah saat adegan yang goalnya adalah mempertemukan Rimba dengan Kunti. Gak natural banget kelihatannya Rimba bisa gak sengaja mukul Uma, sampai berdarah dan pingsan.  Bukan hanya ditonjok ampe berdarah-darah, adegan kekerasan film ini malah ada yang gross banget melibatkan Romo dan Uma; yang meskipun off-cam, tapi tetep hard-to-watch.

 

 




Sempat terpikir olehku, bahwa mungkin film ini sebenarnya gak jelek. Film ini membuatku teringat sama dialognya Joker, soal ‘ahead of the curve’. Film ini adalah monster di luar horor normal. Yang kita semua belum siap untuk menerimanya. Horor yang basically membahas mastermind, dalang, dari kekacauan di kehidupan. Yang berangkat dari perebutan kekuatan mistis. Bahkan pembuatnya sendiri belum siap untuk horor ‘sebesar’ ini. Ya, mungkin itulah sebabnya kenapa film ini masih tampak begitu mentah. Olahan ceritanya masih sumpek, tidak ada alur yang jelas, karakter yang belum efektif dan berfungsi sebagaimana mestinya. Aku gak tahu mereka nyiapin berapa judul lagi, tapi paling enggak di film keduanya ini sudah ada sedikit perbaikan. Mungkin, sepertinya lebih pada sebuah harapan, saat film terakhirnya tayang kita semua lebih siap untuk menerima, dan mereka pun lebih siap untuk membuat dengan sebenar-benarnya potensi yang dipunya cerita.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MANGKUJIWO 2

 

 




That’s all we have for now.

Jadi, menurut kalian apa yang sebenarnya ingin dikatakan film ini dengan memperlihatkan bahwa ada kuasa yang lebih tinggi di atas Jenderal, kuasa di luar tatanan yang resmi?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



GLASS ONION: A KNIVES OUT MYSTERY Review

 

“Rippling water shows lack of depth”

 

 

Orang kaya kalo gak jahat, ya pembual. Banyak film telah mengestablish soal karakter tersebut, tapi Rian Johnson dalam Glass Onion membawa soal tersebut lebih tegas lagi. Bertindak sebagai kasus berikutnya dalam petualangan detektif Benoit Blanc, Glass Onion didesain oleh Johnson sebagai sindiran untuk milyuner-milyuner banci-tampil yang kita kenal di era teknologi canggih sekarang ini. Gimana kalo mereka sebenarnya gak sepintar image yang mereka tampilin? Gimana kalo sebenarnya mereka cuma bayar ide milik orang lain? Gimana kalo sebenarnya, mereka gak punya bakat apa-apa selain ya, bakat ‘jual-obat’; omong gede dan tampilan meyakinkan? Makanya film ini juga serta merta lucu ketika membahas karakter tersebut dan orang-orang yang nempel kepadanya. Yang enjoyable pada sekuel Knives Out (2019) ini bukan lagi misteri pembunuhannya. Honestly, buatku kasus dan si detektif itu sendiri adalah titik lemah dalam penulisan film kali ini. Melainkan, yang menyenangkan dari film ini adalah saat melihat jaring-jaring pertemanan mereka yang tampak erat itu mengelupas sendiri dan menampilkan sesuatu yang ternyata begitu rapuh. Persis seperti glass onion itu sendiri.

Set up-nya sih memang murder mystery banget. Sekelompok orang diundang oleh milyuner ke villa keren di sebuah pulau. Surat Undangannya gak tanggung-tanggung; kotak gede berisi rangkaian puzzle. Yang kalo berhasil dipecahin, maka di dalamnya ada undangan personal. Keren banget kan. Makin kagumlah orang-orang ini dengan si milyuner (eventho emak-emak saja bisa mecahin puzzle-puzzle tersebut) Tapi yah, karena actually mereka semua adalah teman segeng, teman lama yang sama-sama bikin bar sebelum masing-masing berhasil jadi orang gede, mereka tetap datang. Termasuk Andi, yang sudah keluar dari grup lantaran ada cekcok di masa lalu. Yang jelas. pusat kelompok mereka memang adalah si milyuner tech tersebut. Miles, yang sukses berat dengan perusahaan Alpha hingga sekarang dia ‘membantu’ teman-temannya dalam berbagai rupa. Miles telah merancang game misteri-pembunuhan sebagai hiburan di pulau. Tapi ternyata, terjadi pembunuhan-beneran. Salah seorang terbunuh, diduga keracunan. Untungnya bersama mereka hadir detektif Benoit Blanc – meskipun Miles sendiri mengaku tidak mengundang. Blanc harus menguak hubungan antara masing-masing mereka untuk mengetahui bukan hanya siapa pelaku, tapi juga apa sebenarnya kasus ini.

Puzzle-puzzle itu bikin aku teringat belum purchase game Mystery Case Files edisi tahun ini

 

Tapi Rian Johnson seperti tidak mau terjebak di penggarapan murder mystery yang itu-itu melulu. Whodunit yang sekadar mengungkap siapa pelakunya. Terutama, dia tidak mau film kali ini terasa seperti replika dari film yang pertama. Sure, ada beberapa ‘resep’ yang dipakai kembali. Kayak, jejeran cast yang ‘rame’. Selain Daniel Craig yang kembali untuk memerankan detektif yang dandy dan punya aksen tersendiri, Glass Onion punya segudang aktor lagi yang total meranin karakter dengan tipe dan kekhasan masing-masing. Batista di sini jadi tipe nerd unik yang got big, dia kayak golongan yang gak percaya covid dan percayanya pada hak megang pistol. You know, karena film ini nyindir orang kaya, maka otomatis juga berarti film ini membidik kelas sosial atas lainnya, seperti politisi. Karakter Kathryn Hahn literally senator cewek yang tampaknya cuma punya kepedulian terhadap citra dan elektabilitasnya untuk pemilu. Selain mereka juga ada scientist yang diperankan Leslie Odom Jr., dia ini kayak manut aja sama Miles. Kate Hudson malah meranin model, yang pikirannya zonk banget ampe bisa-bisanya ngira sweatshop itu pabrik tempat bikin sweat pants. Ada banyak lagi karakter yang tak kalah unik dan cameo yang tak kalah bikin kita excited. Malah ada juga satu karakter yang cuma numpang tinggal di tempat itu dan sesekali muncul di background untuk komedi singkat. Sampai sekarang aku masih bingung kenapa ada karakter itu, kepentingannya apa. Cuma, ya, maklum sih untuk bikin lucu aja haha..

Vibe dan tone pun masih basically mirip film pertama. Hanya tentu saja, yang namanya sekuel tentu pengen tampil lebih besar daripada film pertama. Apalagi cerita kali ini konteksnya tentang orang yang beriak tapi tak dalam. Maka panggung cerita dibikin lebih mentereng. Bangunan tempat mereka tinggal sangat mewah. Mulai dari mobil kinclong, glass onion raksasa, sampai lukisan Mona Lisa asli, dipajang oleh Miles. Kesan dilebih-lebihkan ini membuat film terasa semakin kocak. Dan menonton semua itu sambil menunggu kasus apa yang bakal terjadi, rasanya cukup fresh. Film ini masih belum bikin kita bosan meskipun tahun ini ada Bodies Bodies Bodies  (2022) yang juga cerita misteri pembunuhan dengan sindiran kelas sosial yang actually lebih solid dalam bercerita. Film Glass Onion begitu khawatir mengulangi rutintas cerita yang sama. Hal tersebut seems like a big no buat Johnson, sehingga dia mati-matian berusaha mencari cara yang unik untuk menampung misteri pembunuhan dan terutama sindiran kelas sosial. Johnson enggak sadar, dengan begitu dia justru terjebak dan sendirinya membuat sesuatu yang juga seperti glass onion yang ia simbolkan.

Indonesia mengenal pepatah air beriak tanda tak dalam untuk mengumpamakan orang yang gede omong doang tapi isi otaknya kosong. Orang barat gak kenal pepatah tersebut. Makanya film ini menggunakan simbol glass onion, ornamen mentereng dari kaca yang tampak begitu kompleks, namun semua orang yang melihat sebenarnya tahu benda itu kosong. Begitulah film ini mendeskripsikan milyuner teknologi seperti Miles. Bahwa semua kemewahan dan kecanggihan itu hanya ilusi, dan itu tidak terbatas kepada barang-barang. Karena film juga memperdengarkan itu lewat dialog. Miles menggunakan istilah-istilah ‘keren’ dalam speech-nya, padahal penggunaannya tidak tepat. Ironi lantas didatangkan dari dia yang merasa hebat sebagai disruptor, ternyata sendirinya segampang itu dihancurkan karena deep inside, dia gak punya pondasi apa-apa.

 

Glass Onion tidak bercerita dengan struktur tiga-babak tradisional. Pembunuhannya baru terjadi di mid-point cerita – seperti Death on the Nile (2022) – tapi Johnson tidak lantas melanjutkan ke sekuen tiga-babak berikutnya. Karena di ceritanya ini mid-point bukanlah point-of-no-return seperti pada struktur biasa. Melainkan, justru dijadikan point saat cerita mulai bergerak return ke awal. Sekuen ‘taktik baru’ film ini literally perspektif baru yang kita lihat pada Detektif Blanc, sebab di titik itu kita dibawa kembali saat dia masih di rumah, menerima undangan, dan ternyata dia sudah punya rencana tersendiri. Ternyata dia datang ke pulau itu tidak se-‘orang baru’ yang kita dan karakter lain sangka. Glass Onion seperti terbagi atas dua bagian. Sejam pertama kita masuk ke circle Miles bareng-bareng Blanc, kita sama-sama dengannya berusaha menyimak siapa orang-orang di sana. Lalu sejam kedua, kita hanya menonton Blanc, kita terlepas karena ternyata dia juga punya rahasia. Cerita Blanc kali ini bahkan bukan tentang dia mecahin kasus pembunuhan. Aku malah mendapat kesan Blanc ada di sana hanya untuk mencari bukti bahwa Miles memang salah dan dia memang pelaku pada malam itu. No aku salah. bahkan bukan Blanc yang menemukan buktinya. Dia cuma di sana untuk mengulur waktu dan karena dia dituliskan cerdas, saat mengulur waktu tersebut dia menemukan jawaban atas misteri pembunuhan.

Blanc doing nothing kayak impostor di game Among Us yang ia mainkan di awal

 

Aku mulai merasa aneh saat Blanc mengenyahkan gitu saja pertanyaan soal kenapa karakter korban itu mati, dengan jawaban untuk tahu itu harus diotopsi dulu. Like, maan, aneh banget seorang detektif tapi kayak gak mikirin lebih lanjut ketika ada orang yang mati kayak kecekek setelah minum, di antara kelompok orang yang ia tahu punya motif untuk saling menyakiti. Ini kalo cerita Detektif Conan, si Conan pasti langsung ngendus-ngendus korban, gelas; meriksa apapun yang bisa jadi identifikasi untuk racun. Nyelediki di mana, dari mana, dan kapan naro racunnya. Soalnya kan bahaya kalo itu memang racun dan korbannya salah-incar. Apalagi kalo ternyata itu racun yang belum ia tahu. Fokusnya pasti mencari tahu senjata pembunuhannya apa, Tapi Benoit Blanc gak peduli semua itu. Naskah memang punya alasan untuk membuat Blanc tidak ‘tertarik’ soal tersebut, namun itu juga lantas membuat Blanc terlihat seperti detektif yang kurang cakap. Kalo dia langsung nyeledikin, pastilah senjata pembunuh yang ternyata sepele itu langsung ketahuan dan pembunuhan lain dan kejadian-kejadian berikutnya tidak perlu terjadi. Film bisa langsung masuk ke babak tiga, dan tamat. Maka dari itulah, aku nyadar; bukan Blanc-nya yang gak cakap. Blanc jadi tampil sembrono kayak gitu karena naskahnya lah yang masih anak bawang dalam menggarap misteri sekaligus sindiran. Naskah yang tidak lagi benar-benar peduli sama misteri, melainkan cuma pengen masukin sindiran ke milyuner saja.

Struktur berlapis kayak bawang yang dilakukan Johnson tadi sebenarnya dilakukan untuk menutupi kelemahan cerita pembunuhan. Like I said, kalo dalam situasi normal, detektif seperti Blanc akan bisa menebak apa yang terjadi di ruang TKP itu. Cerita ini tidak punya puncak dalam misteri pembunuhannya. Konflik dan misterinya justru pada siapa sebenarnya si Andi. Itulah yang diusahakan untuk terceritakan secara dramatis oleh struktur cerita film ini. Apakah dia berhasil untuk itu? Aku bilang, untuk ngasih kejutan-kejutan dan bikin kita tetap melek; ya berhasil. Tapi struktur begini tidak ngasih apa-apa untuk development karakter. Blanc tidak mengalami pembelajaran apa-apa (bandingkan dengan Poirot di Death on the Nile yang sambil mecahin kasus, dia juga makin mengerti bahwa cinta membuat orang rela melakukan apa saja). Blanc mengaku dia payah dalam ‘dumb game’, dan sampai akhir dia tetap payah, karena tidak memecahkan kasus sedari pertama. Yang dilakukan Blanc di sini seperti kebalikan dari detektif lain. Blanc menebak cara membunuhnya, dari pelaku yang sudah ia curigai sebelumnya. Bukan dari menyelidiki kasus lalu menyimpulkan pelaku.  Miles juga tidak kelihatan sadar kesalahan. Karakter lain tetap seperti mereka di awal, begitu tidak bisa berlindung di balik orang, mereka ninggalin orang itu. Dan Andi, well, she’s got her revenge. That’s all. Jadi ya, setelah layer-layer dan gaya bercerita wah-wah dan sindiran untuk milyuner tersebut, film ini benar-benar kosong juga ternyata di tengahnya bagi para karakter.

 

 




Bukti satu lagi film ini tidak care sama misterinya adalah kita juga dibuat bisa langsung tahu kalo pelakunya adalah Miles. Film dengan berani memperlihatkan momen-momen penting pembunuhan. Penonton yang terbiasa menatap layar dengan total, gak perlu jeli-jeli amat, akan langsung bisa melihat keterangan Miles itu gak sesuai kenyataan. Terlebih film ini tayangnya bukan di bioskop, jadi adegan-adegan tersebut langsung bisa dikonfirmasi ulang. So in the end, jika misteri tersebut sedari awal tidak pernah diniatkan sebagai misteri, yang ditonton pada film ini sebenarnya cuma sindiran buat orang-orang kayak Miles saja. Sindiran yang dilakukan cuma dengan gaya. Tanpa development karakter manapun – sebanyak itu karakternya padahal. Detektifnya aja tak lagi tampak demikian hebat selesai film ini. Tampaknya film ini melakukan itu awalnya karena tidak mau misteri pembunuhan yang itu-itu melulu. Tapi mereka tidak memperhitungkan, bahwa film tentang sindiran kelas sosial pun sudah banyak yang melakukan. Like, Triangle of Sadness (2022) melakukan sindiran kepada orang kaya lebih baik dan kocak karena ada development dan meskipun tajam tapi gak lupa untuk diseimbangkan. Bodies Bodies Bodies melakukan gubahan misteri dengan lebih solid, juga dengan pesan sosial yang tak kalah kocaknya. So yea, film ini meluangkan banyak untuk gaya, mengorbankan karakter dan bahkan genre awalnya sendiri. tapi gak benar-benar mencapai hal baru. Just another smart-entertainment selama dua jam saja.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GLASS ONION: A KNIVES OUT MYSTERY

 

 




That’s all we have for now.

Kenapa sih orang kayak Miles terbukti bisa lebih sukses daripada yang beneran punya keahlian? Apakah dunia memang lebih menghargai penampil daripada pemikir?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA