TWISTERS Review

 

“Don’t let your pain destroy you”

 

 

Waktu kuliah Geologi dulu, aku sempat tertarik sama mata kuliah Mitigasi Bencana. I thought it’s really cool menganalisa dan menyiapkan sesuatu yang preventif demi kepentingan masyarakat. Tapi di saat itu juga aku sadar tanggung jawabnya besar. Gimana kalo aku yang bego ini salah baca data, salah langkah. Wuih bisa fatal, Jangan-jangan ntar bukannya bertahan, masyarakat malah jadi kocar-kacir padahal gak ada apa-apa. Apalagi, dan ternyata benar menurut film disaster karya Lee Isaac Chung ini, bidang mitigasi memang luar biasa penting. Bukan hanya gak boleh ngasal dan bertanggung jawab dalam mengoperasikan atau mengolah data, melainkan juga butuh keberanian dan kesiapan diri yang sama besarnya. Karena kalo ada satu hal lagi yang aku sadari berkat film ini bahwa mungkin keputusanku benar gak lanjut ambil mata kuliah itu. maka itu adalah kita gak bakal bisa ready untuk nolongin orang, kalo sendirinya belum ready – belum kokoh – menghadapi terjangan tornado masalah dalam diri pribadi.

Memang, diceritakan berat bagi Kate Cooper untuk kembali menekuni passionnya dari kecil sebagai tornado-chaser. Perempuan brilian itu kini ngantor sebagai meteorologist, enggan untuk kembali ke lapangan, tempat dia meninggalkan proyek mulia yang tadinya ia kembangkan di bangku kuliah untuk ‘menjinakkan’ angin topan. Karena kejadian yang kita lihat di opening film sangat membekas. Alih-alih nolong masyarakat, Kate dan projek ciptaannya malah membuat teman-teman dan kekasihnya celaka. Tapi toh yang namanya passion, tak akan pernah padam. Musim tornado di Oklahoma semakin mengganas. Kate yang punya keahlian khusus menganalisa munculnya tornado akhirnya bersedia untuk gabung bersama tim Javi, teman sesama penyintas kejadian di opening itu, dengan alat-alat mutakhir untuk menge-scan dan menangkap data tornado. Di padang rumput luas yang cerah namun seketika dapat berubah menjadi berbahaya itu, tim Kate amprokan dengan tim Tyler, YouTuber/influencer pemburu-topan yang sekilas tampak mengganggu dan hanya ingin bersenang-senang di atas bencana.

Tunggu sampai semuanya kena F-5, dari Brock Lesnar!!

 

Meskipun katanya film ini adalah sekuel, namun kita bisa menangkap banyak banget ruh dari film Twister (1996) yang menghidupkan aspek-aspek kecil film ini. Salah-salah, aku bisa nyangka ini remake haha.. Ceritanya sendiri memang tidak berkelanjutan, tidak ada karakter film yang lama muncul kembali. Penghubung antara kedua film ini justru teknologinya. Alat penangkap data tornado yang dinamai Dorothy (reference ke film klasik The Wizard of Oz yang ceritanya tentang gadis bernama Dorothy kehisap tornado hingga sampai ke magical land) kini sudah sampai ke tahap yang lebih mutakhir. Referensi tersebut bahkan dilanjutkan; nama-nama tim Javi dinamai dari geng Dorothy di film itu. Sedangkan Kate, sebagai tokoh utama, buatku terasa seperti gabungan dari Jo dan Bill. Atau tepatnya, buatku terasa seperti Kate seperti versi koreksi film ini terhadap karakter Jo yang berbagi porsi dengan Bill. Kate di film ini benar-benar capable dan mandiri di bidangnya. Dia bisa teknik membaca ‘kode alam’ seperti yang dilakukan Bill, serta jago mengoperasikan alat seperti Jo. In fact, konsep penjinak tornado solely adalah buah pikirannya. Penampilan Daisy Edgar-Jones saja dibuat mirip banget dengan Jo; rambut pirang dikuncir, tank top putih, dan semacamnya. Supaya gak jadi terlalu sempurna, film memfokuskan kepada konflik yang dipantik dari trauma Kate. Trauma personalnya inilah yang jadi flaw, yang dikembangkan jadi drama yang menghidupkan cerita, sebab Kate jadi meragukan diri, setengah-setengah mengejar tornado, sehingga menghambat misi timnya.

Makanya Tyler Owens si YouTuber jadi karakter pendukung yang tepat untuk Kate. Bukan semata karena Glen Powell jago banget mainin karakter songong namun kharismatik. Melainkan karena Tyler yang dengan mobil merahnya (again, nod to film original) mengejar tornado cuma buat menembakkan kembang api ke dalamnya, perlahan membimbing Kate keluar dari pusaran ketakutan. Tyler membuat Kate kembali berani, bukan hanya menaklukkan ketakutannya, melainkan juga menunggangi rasa takut. Dalam arti, membuat ketakutannya sebagai pijakan untuk menjadi orang yang lebih baik. Dan aku menemukan diriku lebih mudah konek kepada permasalahan Kate, dan dukungan Tyler, karena terasa personal, ketimbang persoalan menemukan kembali cinta di balik urusan pasangan yang mau cerai pada film originalnya. Imbasnya, relationship yang terjalin antara Kate dan Tyler juga lebih mudah aku ikuti, dan aku mengerti, dan aku peduli. Dari yang tadinya semacam rival karena merasa beda cause, mereka jadi saling tertarik, lebih dari ketertarikan fisik, melainkan mereka menemukan kesamaan deep inside dan tujuan. Dan cara film mendekatkan mereka bukan kayak receh ala FTV yang tadinya berantem jadi pacaran, tapi lebih humanis. Serta tentu saja lebih exciting, karena tetap saja film ini pada dasarnya adalah tentang bencana alam, jadi di lapisan luar ada pusaran angin ribut yang eventually, literally, dibikin membara.

Dari Tyler, Kate (dan kite-kite semuanye) belajar bahwa rating bencana alam seperti puting beliung diukur justru dari efek kerusakan yang ditimbulkan. Yang berarti, kita sendirilah yang menentukan seberapa besar tragedi menghancurkan diri kita. Kita  yang memutuskan berapa lama bencana itu menerjang sebelum akhirnya reda. Maka, bangkitlah segera. Selamatkan dirimu, lalu selamatkan orang lain.

 

Momen-momen action survival dan kejar-kejaran ‘menangkap’ tornadonya dibuat seru. Karena bukan hanya teknologi Dorothy yang semakin maju, teknologi bikin film pun juga. Maka Twisters bisa lebih mengeksplorasi secara visual baik itu dari tornado terbentuk hingga menyerang kota yang tadinya lagi ada acara rodeo. Film benar-benar jago dalam mengontraskan, baik itu warna maupun skala. In case belum pada nyadar dari judulnya, twisternya sekarang ada yang dua. Kembar. Tapi film ini berhasil membuatnya tidak tampak cheesy kayak misalnya kalo ada film hiu, lalu kali ini ceritanya ada hiu kedua atau hiunya mutant, atau gimana. Film tetap mempertahankan tone ringan tapi serius. Ringan, karena film ini nyadar, gimana pun juga, ya sebenarnya lawak cerita seputar meredakan tornado. But at least, mereka membuatnya grounded dengan hati. Dan film ini bikin, setiap kemunculan angin tersebut, kita melihat aksi yang berbeda. Para karakter kita dengan ilmu dan alat-alat canggihnya, mereka gak lantas berhasil. Mereka gagal. Mereka belajar. Mereka berlari menyelamatkan diri. Film ini punya build up yang cukup sehingga adegan-adegan tersebut terasa intens. Satu lagi yang juga berhasil dipotret adalah kepanikan saat bencana datang. Gak salah disematkan sebagai genre thriller. Kepanikan yang membuat manusia lupa, sehingga salah langkah, tidak mendengar instruksi karena panik, dan whoosssh mereka terbang. Dalam menyorot suka-duka mitigasi bencana, film ini berhasil ngasih lihat sehingga kita melek, bidang ini memang penting!

Mana sinefil banget pula, tempat berlindung terakhir mereka di dalam teater cinema hhehe

 

Aku sempat mengira “wah ada pergeseran nilai nih” ketika melihat di awal Kate masuk ke dalam tim corporate, dan dia sebel melihat timTyler yang datang-datang bawa penggemar, yang begitu ‘colorful’ sehingga seolah angin tornado bagi mereka bukan bencana melainkan tontonan dan show semata. Soalnya di film terdahulu, protagonis kita berada di tim yang mandiri, dan ‘bad guy’nya adalah tim corporate – dengan seragam dan segala formalitas lainnya. Nah, ‘nilai’ ini yang aku sangka sudah berubah di jaman sekarang, karena film bikin protagonis utama di tim korporat. Mungkin, aku kira, film ini juga ingin menyinggung soal kultur ‘ngonten’. Aku tertarik karena ingin melihat alasan film untuk mengatakan tim korporat lah tim yang baik. Tapi ternyata jaman belum begitu berubah. Sekali lagi, film ini kayak bermain-main dengan ruh film pertamanya. Perlahan, Kate menyadari dia ada di tim yang salah. Ini tentu jadi journey yang menarik, yang menambah kepada perkembangan Kate sebagai karakter. Prejudice yang dia bawa mengenai orang-orang ‘free-spirited’ yang ada di tim Tyler tentu akan terbawa juga kepada kita. Dan di balik mentereng dan profesionalitasnya – it seems – korporat tetaplah pihak yang culas, yang dengan no problem nyari cuan di atas penderitaan rakyat. Bagaimana pendapat kalian tentang gambaran dua tim dalam film ini? Silahkan share di komen yaa

 




Kalo ditanya suka yang mana, aku lebih cocok dengan sekuel ini. Meskipun memang, kalo ditanya lebih jauh, aku merasa film ini lebih mirip sebagai spiritual remake dari film pertamanya. Alasan suka karena film yang ini terasa lebih mudah relate (tapi itu mungkin karena aku nonton film pertama di masa-masa belum ngerti soal pasangan yang mau cerai haha) But, I do think karakter dalam film ini terasa kuat juga humanity-nya. Mereka punya layer, terutama karakter seperti Tyler. Untuk Kate sendiri, kita dibuat paham sama flaw-nya. Film fokus kepada flawnya, dan ini penting, karena tanpa ketakutan alias trauma dari survivor guilt-nya tersebut, Kate hanya akan jadi karakter utama yang terlalu sempurna. Dia tidak akan menarik. Tapi film berhasil membuat setiap pertemuan dia dengan tornado itu punya arti, punya makna kepada pembelajarannya sebagai manusia. Sambil juga film ini tetap menjalankan fungsinya sebagai disaster-flick yang seru, intens, kadang lucu-kadang konyol.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TWISTERS

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



ETERNALS Review

“Love is the capacity to take care, to protect, to nourish.”

 

Bayangkan awal tahun bikin film yang menang Oscar, lalu di penghujung tahun yang sama bikin superhero yang paling membosankan se-cosmic raya, lol that’s some range. Eternals adalah jawaban kenapa Taika Waititi bisa demikian sukses saat menggarap superhero dewa dalam balutan full-komedi receh. Karena cerita tentang ultimate being yang mendalami makna menjadi manusia memang harus mendaratkan karakter-karakternya menjadi pada level yang sama dengan penonton. Membuat mereka berlaku komedi adalah salah satu caranya. Dengan begitu kita akan lebih mudah melihat mereka sebagai bagian dari kita. Sehingga kita jadi peduli menyelami kompleksnya konflik dan karakter mereka. Eternals yang menunjuk Chloe Zhao sebagai sutradaranya, however, pengen tampil sebagai cerita pahlawan dengan muatan filosofis. Eksistensi dan kemanusiaan. Dengan bahasan yang ‘berat’ dan karakter yang ditampilkan sebagai dewa di atas kita, Zhao berusaha mendaratkan Eternals dengan tema cinta. Tapinya lagi menonjolkan cinta-cinta sementara pada sepuluh karakter kompleks itu ada bahasan menarik yang dibahas harus sekilas karena bakal ‘ketinggian’, hanya berujung membuat film ini jatuh sebagai drama bucin antara karakter-karakter kaku yang ingin mencegah kiamat terjadi di dunia.

Jadi jauh sebelum Avengers terbentuk, jauuuh sebelum peradaban manusia terbentuk, bumi kedatangan sepuluh makhluk abadi buatan Celestial. Makhluk-makhluk ini dikirim untuk melindungi bumi dari makhluk monster bernama Deviant yang memangsa manusia. Sersi adalah salah satu dari makhluk pelindung bumi itu, dan dialah karakter utama kita. Sersi instantly jatuh cinta sama planet dan kehidupan di dalamnya. Dan setelah sekian lama hidup di bumi, Sersi dan teman-teman memang ngajarin manusia dan punya pengaruh besar dalam peradaban (sebagian mereka kayfabe-nya jadi origin kisah dewa-dewi), meskipun mereka punya aturan enggak boleh mencampuri urusan ‘pribadi’ makhluk bumi. Mereka hidup bersama di antara manusia, sehingga jadi tumbuh rasa peduli. Kepedulian ini lantas jadi konflik personal, berbenturan dengan purpose yang dirancangkan buat mereka. Maka perpecahan pun terjadi. Sersi dan teman-teman berpisah dan hidup masing-masing. Namun sekarang, Deviant yang lebih kuat dan mampu menyerap kemampuan Eternals. Membunuh pemimpin Sersi. Para Eternals harus berkumpul kembali untuk melenyapkan ancaman ini, hanya untuk mengetahui bahwa ancaman sebenarnya justru adalah diri mereka sendiri. Karena kenyataan pahit terkuak untuk Sersi; Eternals sebenarnya dikirim ke Bumi untuk memastikan kehancuran planet tersebut sesuai pada waktunya.

eternals1593996-9-fakta-tentang-sosok-sersi-di-eternals
Sersi sampai di kita jadinya Dewi Padi

 

Yea, sepuluh karakter diperkenalkan sekaligus dalam satu movie memang udah red flag. Sudah begitu banyak contoh cerita ‘team’ yang gugur dan berakhir sebagai nilai merah karena gagal mengeksplorasi karakter tersebut dengan berimbang. Baru-baru ini ada satu yang berhasil, James Gunn, tapi itupun lagi-lagi karena penggunaan komedi untuk mendaratkan. But hey, Eternals hadir dengan durasi yang jauh lebih panjang dari cerita ‘team’ sebelum ini. Dua jam setengah durasi seharusnya bisa menghimpun perspektif, development, dan range masing-masing karakter. Seharusnya…

Buatku yang menarik adalah karakter Kingo, Phastos, dan Druig. Kingo ‘menyamar’ hidup sebagai legenda Bollywood, dia punya kecintaan sama film, dan for some reason Kingo sepertinya adalah superhero pertama yang menolak muncul dalam final battle. Kumail Nanjiani udah jadi berotot gitu tapi karakternya malah gak mau bertarung di akhir, it is really weird. Phastos really conflicted saat manusia mulai berperang antarsesama, karena dia merasa bertanggungjawab; dialah yang membantu manusia menciptakan alat-alat sederhana. Sementara Druig, benar-benar benci melihat manusia berperang. Druig yang bisa mengendalikan pikiran straight up melanggar aturan, membentuk komunitas masyarakat sendiri sesuai kehendaknya. Tiga karakter menarik ini nyatanya dipinggirkan karena tokoh utama kita adalah Sersi. Yang konflik utamanya adalah cinta. Sersi jatuh cinta sama manusia. Sersi dicintai sama Ikarus, Eternal yang bisa terbang. Sementara Ikarus dicintai sama Sprite, Eternal yang gak bisa gede. Mereka juga punya teman Eternal yang sering menggila, dan Eternal yang bersedia selalu melindunginya karena cinta. Film Eternals menonjolkan segala drama kebucinan ini, sebagai usaha untuk membuat para karakternya ‘manusia’

Chloe Zhao ingin mengeksplorasi gagasan soal melindungi hal yang kita cinta. To protect; itulah yang membuat manusia, manusia. Para karakter Eternal menyadari mereka ingin melindungi karena mereka punya rasa cinta, dan itu membuat mereka menjadi manusia yang sama dengan yang mereka lindungi. Itu memberikan tujuan yang sebenarnya bagi eksistensi mereka yang menyedihkan. Furthermore, Chloe memastikan para karakter benar-benar diverse. Sehingga aksi saling melindungi, saling cinta itu semakin bermakna karena melalui berbagai perbedaan dan menyatukannya.

 

Dengan pesan kemanusiaan di balik narasi klise kehancuran bumi, Eternals sesungguhnya cerita yang punya bobot dan penting untuk kita tonton. Bukan sekadar aksi-aksi flashy superhero. Hanya saja Zhao tidak benar-benar memanfaatkan karakternya selain sebagai boneka penyambung pesan. Dia tidak berhasil membuat karakter tersebut hidup. Harusnya Zhao menonton serial kartun Steven Universe. Serius. Eternals ini sama persis plotnya dengan kartun anak-anak tersebut. Baru tahun kemaren aku melahap kelima season Steven Universe, aku juga bikin playthrough lengkap video gamenya di channel Youtube. Sehingga plotnya masih segar teringat, dan saat nonton Eternals, aku merasakan deja vu. Para Eternal adalah Crystal Gem di kartun Steven. Pasukan yang dikirim ke bumi untuk mengalahkan monster, tapi kemudian merasa betah dan tertarik hidup bersama manusia bumi. Celestial adalah Diamond, higher entity yang mengirim mereka. Bahkan senjata/kekuatan mereka pun mirip sama Crystal Gem. Long story short, Crystal Gem ini juga akhirnya mengetahui rencana penghancuran bumi, dan seperti Eternal mereka juga harus melawan sesuatu yang bakal bangkit dari dalam inti bumi. Druig adalah Steven, yang punya kemampuan pikiran untuk melakukan sesuatu terhadap makhluk yang bakal bangkit tersebut. Tema di balik plot itupun sama. Tentang cinta yang dirasakan. Eksplorasi eksistensi diri, melindungi yang dicintai, kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Steven Universe bahkan memuat tema LGBT dengan lebih mendalam daripada Eternal yang hanya sekadar menyebut dan nunjukin ciuman. Kartun tersebut menyimbolkannya sebagai kekuatan (fusion).

Inilah yang kumaksud ketika Zhao harusnya nonton serial ini terlebih dahulu. Karakterisasi dan penyampaian tema dilakukan oleh serial tersebut lebih mendetil dan dalam dan menyentuh ketimbang yang ia lakukan pada Eternal. Karakter-karakter seharusnya tidak didefinisikan oleh aksi bucin mereka saja. Mereka harus hidup. Sersi menjadi boring karena teman-temannya yang lain memasak, main film, jadi orangtua. Sersi sibuk tenggelam sendiri. Film fokusnya malah ke karakter-karakter seperti Sersi ini. Namun bahkan karakter yang menarik pun kalo udah ngumpul bareng mereka cuma berbaris, menatap sok keren ke satu titik. Dalam cerita soal merayakan emosi dan vulnerability manusia, para karakternya gak pernah sepenuhnya tergambar seperti manusia.

eternals-richard-madden-gemma-chan-2
To be fair, Steven Universe punya lima season untuk ngembangin karakter. Maka film Eternals ini cocoknya jadi serial juga.

 

Walau durasi sudah ekstrapanjangpun, film ini tetap terasa sesak dan penuh berjejelan oleh informasi dan eksposisi. Timeline dalam narasi actually melintang sepanjang sejak awal waktu. Kejadian mereka tersebar dalam periode-periode peradaban manusia. Film ini menggunakan alur bolak-balik antara kejadian di masa sekarang untuk memajukan plot, dengan kejadian di masa lalu untuk mendalami backstory kejadian (mereka pisahnya gimana, mereka ada masalah apa, dsb) Dengan cara memuat seperti begitu, praktisnya tidak ada lagi tempat untuk benar-benar mengembangkan kehidupan karakter. Akibatnya lagi, karakter ‘setua’ itu kayak sama aja mau itu kita melihat mereka di periode tahun berapapun. Yang paling gak bertumbuh itu adalah karakter Makari. Ini sayang sekali. Superhero deaf pertama MCU, berkekuatan bisa lari secepat kilat, tidak diberikan apa-apa oleh film. Dia hanya nunggu di ‘pesawat’. Hanya dimunculkan di menjelang akhir. Dia di masa lalu ama yang sekarang benar-benar gak ada bedanya. Kalo anak sekarang bilangnya ‘nolep banget’

Film ini tenggelam dalam filosofis dan pembicaraannya sendiri sehingga gagal melihat hal-hal menarik yang bisa diangkat dari karakter. Mereka punya Angelina Jolie sebagai Goddess of War – Angelina-frickin’-Jolie!! Dan hal menarik bagi film ini buat karakternya cuma namanya Thena, bukan Athena. Nama itu terus diulang-ulang. Film tidak tertarik menggali personal karakter ini – fungsi dia sebagai wakil karakter mental illness sudah dipenuhi dengan just exist there. Film tidak tertarik ngasih adegan aksi yang memfokuskan Jolie kembali beraksi. Film tidak tertarik ngasih adegan aksi. Period. Kenapa aku bilang begitu? Karena adegan-adegan berantem film ini basic banget. Gak ada yang wah. Sepuluh kekuatan special itu gak pernah jadi terasa seperti experience berantem yang out-of-the-world, yang seru. Zhao kayak sebodo amat ama template aksi superhero yang udah disiapkan studio. Hanya ada satu kayaknya, satu adegan berantem yang memperlihatkan kerja sama efektif, like, combo kekuatan super karakter mengalahkan lawan. Padahal mereka ini digambarkan gak benar-benar kuat on their own. Mereka harus bekerja sama. Ini seharusnya kesempatan ngerancang kombo-kombo spektakuler. Tapi film ini cuma kayak ‘hmm meh..!”

Satu-satunya hal menarik di film ini adalah bagaimana sepertinya Marvel telah membuka ‘pintu terlarang’. Seperti WWE yang tau-tau ngajak superstar dari perusahaan gulat sebelah (Impact) untuk tanding di acara mereka, Eternals tau-tau menyebut Batman dan Superman – dua karakter superhero dari studio sebelah – di dalam narasi. Nyebut nama-nama Avengers kan udah biasa tuh, film-film Marvel selalu ‘ngiklanin’ mereka, terutama kalo si film ini gak langsung bersangkut paut banget dengan kejadian Avengers. Nah menariknya kali ini, Batman dan Superman juga disebut dengan gamblang. Marvel mengacknowledge keberadaan superhero lain di dunia mereka. Apakah ini mengisyaratkan Marvel sudah open untuk crossover yang lebih menggemparkan? Bagaimana menurut kalian? Share pendapat kalian di komen yaa

 

 

Seharusnya dengan adanya sepuluh karakter superhero dewa berarti ada sepuluh kali kesempatan lebih banyak bagi film ini untuk menghasilkan sajian yang sepuluh kali lebih dahsyat daripada biasanya. Tapi nyatanya, film ini jadi kayak sepuluh kali lebih membosankan. Karakter-karakternya cuma baris berpose sok keren. Karakter utamanya bucin, maka melodrama cinta-cintaan itulah yang jadi fokus utama.Total bleergh buatku adalah adegan Ikarus dibikin memenuhi takdir namanya, dengan konteks dia malu udah berbuat jahat dan gak dicintai lagi sama kekasihnya. Hal-hal semacam ini yang mengesampingkan hal-hal menarik yang actually dipunya oleh beberapa karakter lain. Udah dikasih durasi panjang, tapi tetap saja film ini tidak terisi dengan efektif. Film bahkan lupa punya monster antagonis yang bisa meniru kemampuan dan berkembang jadi lebih kuat dan manusiawi. Karakter itu lenyapnya dengan gampang aja. Dikembangkan dengan tidak imbang. Ini superhero yang gak tertarik sama aksi, melainkan lebih kepada filosofi eksistensi. Mending nonton kartun Steven Universe aja deh. 
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ETERNALS

 

 

 

 

That’s all we have for now

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

FREE GUY Review

“You just can’t let life happen to you, you have to make life happen”

 

Video game merupakan eskapis yang seru. Karena di dunia jutaan pixel tersebut, permasalahan hidup kita disederhanakan menjadi misi-misi seperti menyelamatkan putri raja, mengalahkan naga raksasa, dan mencari harta karun. Di sana, apapun yang kita lakukan, kita tetap adalah jagoan. Makanya video game itu bisa jadi sarana pelampiasan stres yang mujarab. Semuanya ada dalam kendali kita. Gagal dalam permainan video game, kita tinggal mengulang dari titik terakhir kita nge-save atau menyimpan game. Kita bisa melakukan apapun yang kita mau, practically tanpa konsekuensi. Dalam game seperti GTA, kita bahkan bisa menabrak dan menghajar karakter-karakter NPC.  Baik untuk kepuasan batin, maupun untuk reward yang memang justru diberikan jika kita melakukan hal tersebut. Semua terasa bekerja untuk membantu kita. NPC-NPC itu, para karakter yang diprogram untuk berdiri atau mondar-mandir dengan dialog yang paling cuma tiga kalimat, didesain sebagai pemberi informasi atau clue, atau malah sebagai penghias semata. Tapi bagaimana jika ada NPC yang bisa berpikir sendiri? Yang bisa naikin level sendiri. Yang actually lebih jago dari kita dalam permainan video game – dan bahkan lebih jago dalam kehidupan nyata??    

Free-Guy-Trailer-1280x720
Kecuali Megaman, tetep adalah game yang bikin hidupmu makin stress!

 

Itulah premis sci-fi lucu dari film karya Shawn Levy ini. Seorang NPC yang bikin gempar dunia pervideogamean lantaran mendadak muncul, berinteraksi dengan para pemain, melesat ke puncak rank dengan naik level melakukan misi-misi, sehingga sempat disangka sebagai ulah hacker. Tapi si Blue Shirt Guy itu bukanlah hacker di balik Skin, bukan pula anak 14 tahun yang menghabiskan kredit di kartu orangtuanya untuk beli fitur-fitur canggih. Blue Shirt Guy adalah NPC tulen. Dia hidup di dunia game Free City (game online dengan style ala Grand Theft Auto). Bekerja sebagai pegawai bank. Dia rukun dengan sesama NPC lain yang diprogram jadi penghuni kota. Masalahnya adalah gak ada satupun dari mereka yang sadar bahwa mereka cuma karakter penghias dalam sebuah video game. Blue Shirt Guy-lah yang pertama menemukan ada ‘sesuatu’ pada kota mereka yang kerap didatangi orang-orang keren berkacamatahitam untuk berbuat berbagai kerusuhan. Blue Shirt Guy actually jatuh cinta sama seorang cewek berkacamatahitam. Jadi dia melakukan apapun, termasuk melanggar aturan mengambil dan mengenakan kacamata hitam milik seseorang, supaya bisa dekat dengan si cewek. Saat memakai kacamata itulah, akhirnya Guy melihat bahwa dunia tempat tinggalnya ternyata penuh misi-misi, item-item, dan dia menyangka dia sendiri adalah pemain dari game tersembunyi itu.

Seperti Jim Carrey di The Truman Show (1998), Ryan Reynolds dalam Free Guy juga memainkan karakter berkepribadian positif, yang tampak sangat menikmati hidup, tapi gak sadar bahwa hidup yang ia jalani adalah sebuah kepalsuan. Hidup Truman hanyalah episode tayangan televisi, sementara Blue Shirt Guy cuma permainan video game. Dia bahkan bukan orang beneran. Melainkan hanya algoritma. Hanya data dalam sebuah server. Dalam sense ini, Blue Shirt Guy memang lebih naas daripada Truman. Namun itu tidak lantas berarti film Free Guy ini lebih depresif. Film ini gak kalah lucu. Dari segi penampilan komedi, Ryan Reynolds berhasil menanamkan pesonanya. Dia memang tidak seekspresif Carrey yang harus menyeimbangkan komedi fisikal dengan drama. Senjata Reynolds ada pada delivery dialog-dialog naif, dan kontras antara dialog tersebut dengan yang beneran terjadi atau dirasakannya. Reaksi pada momen tersebut, itulah kekuatan komedi Reynolds. Di Free Guy, dia juga dituntut harus seimbang antara komedi, drama, dan tentu saja aksi.

Karena setting Free Guy adalah video game, maka film ini lebih chaos jika kita membandingkannya dengan The Truman Show tadi. Elemen-elemen seperti pada video game akan banyak sekali menghiasi cerita. In fact, aksi-aksi itulah yang jadi napas utama film ini. Aksi-aksi, dengan nuansa komedi yang precise dimainkan oleh Reynolds dan para aktor lain, menjadi sajian hiburan yang kuat. Culture video game banyak ditampilkan. Meme-meme dalam dunia video game juga banyak disuguhkan. Aku ngakak ketika melihat ada karakter yang jalannya nubruk-nubruk tembok. That was me when playing video game lol. Detil game dalam film ini keren sekali.

Jika kalian bukan penggemar video game, jangan khawatir. Buat aku aja, game modern sejenis dalam cerita film ini sebenarnya aku gak relate. Aku bahkan juga gak kenal sama gamer-gamer atau streamer-streamer yang ditampilkan sebagai reference atau cameo di dalam cerita. Film ini dialog dan aksinya didesain begitu baik, sehingga kita tetap bisa menikmati. Soal referensi, memang film ini tidak bisa menghindari itu. Walaupun ini adalah cerita original yang tidak musti mirip ama satu game tertentu, tapi kebutuhan untuk menampilkan elemen-elemen video game tetap ada. Penggemar game akan bisa menebak semua, mulai dari buster MegaMan hingga ke logo Far Cry. Untungnya, video game adalah jagat yang luas. Dan ngehasilin duit. Banyak video game things yang sudah disadur ke film dan pop-culture lain. Sehingga referensi game yang muncul di film ini masih terasa universal. Ada this particular shield, ataupun pedang-laser tertentu yang semua orang kurasa bakal mengenali.

freeXkEyXkFqcGdeQXZ3ZXNsZXk@._V1_
Heronya baik karena judul filmnya Free Guy. Coba kalo Guy-nya diganti Man. Pasti jadi preman.

 

Hebatnya, referensi-referensi tersebut tidak merenggut kita dari esensi cerita. Mereka ditampilkan secukupnya, dan di samping itu, film ini memang sudah menyiapkan bukan satu, melainkan dua tema yang dieksloprasi konsisten demi mendaratkan ceritanya. Tentang cinta dan tentang kendali seseorang terhadap hidupnya sendiri. Cerita Free Guy sebenarnya bukan cuma tentang Guy seorang. Supaya bisa make sense kenapa NPC bisa jadi punya kehendak sendiri, maka film sudah menyiapkan sebab yang jadi cerita tersendiri. Di dunia nyata dalam cerita, ada dua orang kreator game; Millie dan Keys yang sobatan, yang bekerja sama mengembangkan sebuah game. Tapi perusahaan game milik Antwan (namanya Soonami, ha!) malah membuat game tembak-tembakan yang dicurigai berdasarkan kode game yang tengah mereka kembangkan. Game Antwan sukses, Free City sampai-sampai bakal ada sekuelnya, sementara game simulasi Millie dan Keys lenyap. Kedua orang ini jadi berpisah. Millie masih terus berusaha mencari game itu dengan bermain Free City, sementara Keys bekerja sebagai pegawai Antwan. Cerita Millie dan Keys, dirajut dengan baik ke dalam cerita Guy. Dua cerita inilah yang membentuk narasi utuh film Free Guy. Memuat tema dan memberi hati pada sajian hiburan yang kita saksikan.

Dalam video game, we control the live, the action of our characters. Tapi di real life, apakah kita tetap masih memegang kendali atas kehidupan sendiri? Apakah kita diprogram kepada satu tujuan tertentu? Apakah ada yang mengendalikan kita? Tentu kita lebih suka untuk berpikir bahwa kita makhluk bebas. Selain Tuhan yang menggariskan hidup, kita merasa memegang kendali penuh atas pilihan dan ragam tindakan kita. Benarkah demikian? Benarkah pilihan kita masih murni dari keinginan dan tidak ada yang mempengaruhi? Bisa juga tidak, karena saat ini dunia jadi begitu bersifat komersil. Semua yang kita lakukan seperti dimonitor untuk kepentingan perusahaan seperti Soonami berjualan. I mean, sekarang aja untuk bisa kemana-mana kita harus install satu app tertentu.

 

Muatan dua cerita tersebut kadang bikin narasi film jadi sedikit clunky. Pergantian dari Guy di video game ke dunia nyata kadang membuat ritme penceritaan harus ngerem dulu. Sutradara berusaha untuk meminimalisir ini, misalnya dengan menggunakan montase Guy naikin level dirinya sebagai jembatan, usaha yang patut untuk diapresiasi karena kita bisa melihat penempatan dan editing yang dilakukan juga sangat precise. Namun karena dunia nyata dan dunia game yang kontras, baik itu dari segi visual maupun dari segi kejadian, perasaan bahwa narasi atau ritmenya mengalami reset ke awal setiap kali pergantian tetap muncul.

Selain itu, sense siapa karakter utama juga tidak kuat. Guy tidak berikan antagonis, kecuali satu hambatan besar di penghujung cerita. Antagonis cerita ini adanya pada dunia nyata, si Antwan, yang diperankan sangat komikal oleh Taika Waititi. Karakter Antwan ini kurang lebih kayak Gavin Belson di serial Silicon Valley. Tech jenius yang juga bisnisman ‘jenius’. Maunya cuan melulu. Dia tidak peduli soal Guy yang merupakan keajaiban artificial intelligent, melainkan hanya peduli soal I.P dan Brand. Dia hanya peduli Guy selama karakter itu menguntungkan bagi gamenya. Naturally, ini selalu adalah karakter yang menarik. Sayangnya Taika Waititi memilih memainkan Antwan dengan sangat over the top. Sebenarnya ini tidak begitu masalah kalo cerita hanya di dunia nyata. Tapi karena kita juga melihat dunia video game, yang dibuat serupa dunia nyata (dengan para NPC-nya bisa berkehendak dan emotionally able), Antwan malah tampak lebih artifisial dibandingkan karakter NPCnya. Mungkin karakternya sengaja dibikin seperti itu supaya ‘menjangkau’ dua protagonis sekaligus, tapi itu pun terasa flat karena Antwan tidak pernah benar-benar berkomunikasi dengan Guy.

Ini juga jadi membuat Free Guy jadi sedikit berbeda dari Truman Show. Truman ingin keluar dari dunia reality show. Dia konfrontasi dengan ‘tuhan’ dunia tersebut. Bagi Guy, ini bukan sebatas keluar video game. There’s no way dia keluar dari video game. Dia menyebrang laut adalah untuk pindah ke dunia video game lain. Tempat di mana dia dan para karakter bisa bebas melakukan apapun yang mereka mau. Bebas menentukan jalan sendiri. Tempat yaitu game, yang memang diprogram supaya NPC bisa berkembang. Dan Guy berteman dengan ‘tuhan’ alias pencipta seisi game tersebut, termasuk dirinya. I don’t know, tapi kurasa film ini juga ternyata bermuatan spiritual. Bukan saja tentang kita-lah pemain dalam hidup sendiri, tapi ceritanya juga menunjukkan kita untuk tidak membiarkan ada orang lain yang mengatur, selain ‘program’ yang sudah diciptakan sebagai landasan untuk kita hidup. Kayak Guy, yang diprogram untuk jadi orang baik, dan tetap memilih melaksanakan tindakan baik meskipun untuk cepat naik level dia harusnya ngerampok bank dan menabrak orang-orang.

 

 

I wish film ini lebih original, karena aku sebenarnya gak segan untuk ngasih skor tinggi buat film ini. Cerita tentang video game, dengan muatan berbobot alih-alih sekadar aksi seru-seruan? Sebagai penggemar film dan video game, jelas ini adalah film impian buatku. Tapi ya, sepertinya memang susah membuat cerita tenang video game yang benar-benar lepas dari referensi video game itu sendiri. But at least, film ini tidak melakukannya dengan berlebihan. Meskipun memang referensinya ternyata luas sekali. Ceritanya aja udah kayak gabungan Truman Show, Lego Movie, Ready Player One. Tapi untungnya, film ini punya karakter yang unik dan memorable. Dengan permasalahan yang juga dekat. Tidak perlu jadi penggemar game untuk bisa menikmati sajian yang memang menghibur ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FREE GUY.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Jadi, apakah kalian masih yakin sedang memainkan sendiri game berjudul Kehidupan sebagai player one? Atau apakah sebenarnya kita semua sedang dalam proses jadi NPC?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

GODZILLA: KING OF THE MONSTERS Review

“History shows again and again how nature points out the folly of man”

 

 

Bencana alam terjadi, dan orang-orang relijius akan menyebutnya sebagai peringatan Tuhan kepada umat manusia. Bahwa tsunami, gempa, gunung meletus adalah murka Yang Maha Kuasa atas perilaku manusia yang sudah menyimpang. Bahwa kita sudah mengecewakan alam semesta. Orang Jepang sependapat, meskipun kepercayaan mereka sedikit berbeda. Alih-alih ‘cuma’ God, di Tokyo sana yang murka adalah “Gojira”, monster besar yang menghancurkan kota, terbangun oleh ujicoba senjata nuklir. Bencana adalah tindakan Godzilla yang ingin mengembalikan lagi keseimbangan alam yang terganggu akibat ulah dan kerakusan manusia. Keseluruhan mitologi Godzilla, yang ditelurkan banyak film – baik itu animasi ataupun live-action, produksi Jepang maupun Amerika – selalu berpusat terhadap tema tersebut. Selalu menantang kita dengan pertanyaan mungkin saja manusialah monster yang sesungguhnya terhadap alam.

Godzilla: King of the Monsters (untuk selanjutnya akan aku sebut Godzilla 2 saja) garapan Michael Dougherty melanjutkan cerita dari entry pertama MonsterVerse tahun 2014 yang lalu; film-film MonsterVerse memberitahu kepada kita bahwa Godzilla bukan satu-satunya ‘senjata alam’ yang bersemayam tempat-tempat di dunia. Dan pada Godzilla 2 kita berkenalan dengan banyak lagi – sedikitnya ada 17 Titan yang siap turun tangan kalo-kalo manusia sudah sebegitu semena-menanya ngurusin alam. Dan yang namanya manusia – makhluk rakus, angkuh, namun bego – mana bisa menahan diri melihat segitu banyaknya hewan besar yang bisa mereka jadikan senjata nuklir berjalan. Dalam film ini kita akan melihat manusia terbagi menjadi dua golongan; satu yang ingin hidup bersisian dengan Godzilla dan rekan-rekan Titan, dan yang ingin mengendalikan para Titan untuk menghapus sebagian besar populasi demi memulai kembali hidup yang bersih. Dua golongan manusia ini rebutan alat yang memungkinkan mereka ‘berkomunikasi’ dengan Titan-Titan, tapi masalahnya adalah di antara Titan-Titan yang mereka usik dari tidurnya tersebut, ada satu yang bukan berasal dari planet ini. Ada satu yang bahkan tidak tunduk sama Godzilla. Bumi dalam Godzilla 2 tak pelak menjadi medan pertempuran para Titan tersebut. Manusia dengan segala kerakusannya, jadi pelanduk yang siap-siap mati di tengah-tengah mereka.

Sesungguhnya kebegoan dan kesombongan yang lagi dan lagi dilakukan oleh manusia, seperti yang disuggest oleh lagu Godzilla dan film Godzilla 2 ini, adalah manusia suka bermain sebagai Tuhan. Kita pikir kita bisa dan berhak untuk mengontrol alam. 

dan semua hiruk pikuk fim ini berakar dari seorang ibu yang kehilangan anaknya

 

Sejujurnya, aku setuju sama motivasi golongan jahat film ini; untuk membangunkan semua Titan yang tertidur di balik kerak bumi. I mean, duh, ini film monster maka kita butuh sebanyak-banyaknya adegan monster raksasa mengamuk di kota, adegan monster raksasa saling berantem. Film ini punya banyak monster-monster beken yang bakal bikin penggemar Godzilla meraung-raung senang. Di antaranya ada Mothra, Rodan, dan tentu saja si naga berkepala tiga Blue Eyes Ultimate Dragon.. eh salah, maksudnya Ghidorah! Para Titan ini dihidupkan dengan teramat sangar dan begitu menawan. Efek-efek mereka cukup keren, meskipun menurutku seharusnya film bisa memikirkan cara yang lebih kreatif, yang lebih impresif, untuk memainkan raksasa-raksasa ini. Tarok mereka di lingkungan yang lebih terang, mungkin. Karena bagian terbaik dari menyaksikan film ini adalah menyaksikan mereka bertarung. Atau malah setiap kali mereka muncul di layar. Ngeliat ujung capit monster aja rasanya udah puas banget mengingat sewaktu kecil kerjaanku kayak orang idiot menubruk-nubrukkan dua mainan monster. Dari membayangkan kelahi monster mainan yang kaku, dan sekarang melihat para monster beneran ‘hidup’ berkelahi tembak-tembakan sinar dan api dari mulut, film ini adalah impian jadi nyata untuk setiap anak kecil. Godzilla 2, dari segi penampilan monster, memang jauh lebih memuaskan dibandingkan Godzilla tahun 2014 yang irit banget nampilin Godzilla.

Sayangnya kelebihan yang dipunya tersebut langsung ketutupan oleh kekurangan raksasa pada aspek paling mendasar dalam sebuah film; cerita dan penokohan.

Cerita Godzilla 2 berpusat pada keluarga Millie Bobby Brown yang orangtuanya sudah bercerai semenjak kehilangan anak bungsu pada insiden Godzilla tahun 2014 silam. Ibu Millie, Vera Farmiga, berbeda pandangan dengan ayah. Ayah Millie, Kyle Chandler lebih memilih untuk membenci Godzilla seumur hidup, menjauh dari ibu yang terus melakukan eksperimen pengembangan alat-alat untuk berinteraksi dengan para Titan. As the story goes, tokohnya si Millie ini akan semakin terombang-ambing karena kedua orangtuanya literally jadi oposisi, mereka berada di pihak yang berbeda keyakinan. Konflik sentral keluarga ini tidak pernah dieksplorasi lebih dalam karena film hanya berfokus kepada perkelahian monster. Dan kalo boleh jujur, melihat apa yang film ini lakukan pada tokoh-tokoh manusia, aku meragukan penulis ceritanya bisa membuat percakapan dramatis yang bukan berupa raungan dan teriakan.

Aku bahkan gak yakin nama tokoh-tokoh sentral itu ada disebutin semua di dalam filmnya

 

Sungguh menyia-menyiakan sumber daya alam yakni deretan aktor-aktor yang kompeten yang berdedikasi untuk menyuguhkan penampilan yang terbaik. Tapi apalah artinya dedikasi jika dihadapkan pada naskah yang buruk? Tokoh-tokoh manusia dalam film ini membuka mulut untuk meneriakkan kata-kata ke layar monitor di depan mereka. Dan di sela-sela mereka cukup tenang, mereka akan melontarkan dialog-dialog eksposisi. Di mana lokasi para Titan. Apa nama Titannya. Bagaimana device Orca bekerja. Apa cerita legenda jaman dahulu kala. Yang mereka suarakan hanyalah baris demi baris informasi yang sungguh-sungguh membosankan. Tidak ada satu kalipun interaksi antarmanusia yang terasa genuine. Dikasih informasi-informasi tadi, tokoh film ini akan bereaksi dalam rentang tiga pilihan berikut ini; Sok dramatis, Sok ngelawak, atau juga Sok bijak. Makanya film ini terasa sangat membosankan begitu Godzilla dan rekan-rekan raksasanya absen di layar. Ketika ada tokoh manusia yang mati, kita tidak peduli, karena film tidak pernah memerintahkan tokoh-tokoh lain untuk mempedulikan hal tersebut. Mereka hanya dipersiapkan untuk eksposisi, teriak, nyeletuk, lagi dan lagi, tanpa ada sense.

Ini adalah ketidakmampuan film untuk menyeimbangkan antara tokoh manusia dengan tokoh monsternya. Jangankan kita yang nonton, yang nulisnya saja seperti tidak peduli sama tokohnya. Hampir seperti film ini ya tujuannya pengen nunjukin monster-monster kelahi saja. Bandingkan dengan original Jurassic Park (1993) yang punya tokoh seperti Grant, Malcolm, Hammond yang kita pahami pilihan, sudut pandang, dan motivasinya – sementara tetap bikin kita greget oleh penampilan T-Rex dan Raptor. Motivasi tokoh manusia pada Godzilla 2 seperti ditulis seadanya, padahal mereka punya lima tahun dari film pertama untuk mengembangkan cerita. Kenapa untuk menggapai hasil seperti Thanos mereka perlu banget untuk membangunkan seluruh monster yang ada? Kenapa orang yang kehilangan anak oleh monster malah jadi berbalik membenci manusia? Dan kenapa di tengah cerita si orang tersebut pikirannya mendadak jadi ‘bener’ lagi? Ini lebih parah dibandingkan John Wick di John Wick Chapter 3: Parabellum (2019) yang rela dipotong jadinya untuk ikut clause High Table, hanya untuk mengubah pandangannya gitu aja ketika sudah berada di Hotel, karena John Wick memberikan kita tiga film untuk peduli dan dia punya aksi yang badass. Sedangkan tokoh-tokoh Godzilla 2, mereka cuma punya dialog yang ditulis dengan sangat membosankan dan personality yang begitu dibuat-buat. They do nothing to earn our sympathy.

 

 

 

 

Walaupun dihiasi oleh banyak adegan-adegan spektakuler berupa aksi-aksi para monster raksasa, film ini jatohnya seperti film-film bencana alam atau monster yang generic. Karena tidak punya kepentingan cerita dan karakter yang menjulang. Monster-monster yang keseringan muncul toh pada akhirnya bakal menumpulkan excitement kita juga. Cerita yang kebanyakan eksposisi itu juga tentu tidak membantu film keluar dari lembah membosankan. MonsterVerse sejauh ini buatku tampak medioker; setelah entry pertama yang bikin penasaran (lantaran Godzilla ditampilkan terbatas), Kong: Skull Island (2017) dan film ini sangat mengecewakan karena sudah tiga film dan mereka masih belum bisa mendapatkan formula yang seimbang antara monster dengan manusia. Ada banyak pemain yang kompeten dalam jejeran cast film ini, namun mereka semua tersia-siakan karena tak satupun yang tampil seperti ‘manusia’. Film ini sama seperti dunia; hancur di tangan manusia-manusianya.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for GODZILLA: KING OF THE MONSTERS. 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan pernyataan bahwa manusia adalah perusak alam? Apakah kalian melihat bencana alam sebagai cobaan, teguran, atau malah anugerah?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.