KISAH TANAH JAWA: POCONG GUNDUL Review

 

“Study the past if you would define the future”

 

 

Kisah-kisah dari tanah Nusantara memang tak ada habisnya. Keragaman suku, adat istiadat, hingga kepercayaan beragama membuat Indonesia bagai sebuah sumur minyak ide cerita yang senantiasa mengalir. Problemnya memang  soal pengisah cerita harus tahu di mana harus menggali. Lalu bagaimana mengolahnya. Ide membuat kisah horor berkelanjutan dari mitologi khas Jawa memang menarik. Dengan pengalamannya menggarap horor terlaris serta horor dengan makhluk khusus, Awi Suryadi di posisi sutradara tampak seperti tawaran yang cukup menjanjikan. Like, aku tertarik untuk melihat gimana dia bakal menghidupkan sosok-sosok horor dalam legenda. Tapi balik ke problem ‘gali sumur minyak’ tadi. Arahan horor Awi hanya bisa terlaksana maksimal jika dibarengi oleh naskah yang tahu di mana harus menggali dan mengolah kisah-kisah adaptasi ini. Dulu pernah jadi serial, kini Kisah Tanah Jawa tampak memulai proyek pertama dari universe kisah horor ini dengan Pocong Gundul, namun sedari film krusial ini kelemahan penulisan sudah amat kentara.

Konsep baru dari dunia parapsikologi diperkenalkan oleh film ini. Konsep retrokognisi. Basically, itu adalah istilah untuk kemampuan paranormal bisa melihat masa lalu. Dalam film ini, retrokognisi bahkan bisa melakukan perjalanan ke masa lalu. Hao yang mewarisi kemampuan itu dari sang Eyang, tinggal memegang benda milik seseorang lalu dia bisa melihat apa yang terjadi pada empunya barang tersebut di masa lalu. Tadinya kemampuan ini Hao gunakan untuk kepentingan mengungkap sejarah. Tapi sepasang suami istri yang hadir di seminar Hao meminta pertolongan untuk mencari anak gadis mereka yang hilang. Dengan kemampuan retrokognisi, Hao mencoba menemukan siswi yang hilang di sekolah. Aksi Hao tersebutlah yang membuat Pocong Gundul, hantu produk ilmu hitam yang menculik si siswi, jadi turut mengincar nyawanya.

Kenapa mantra-mantra bahasa Jawa terdengar lebih mengerikan?

 

Penggambaran horor yang dilakukan film terhadap konsep paranormal tersebut cukup kreatif dan menyenangkan. Karena yang sebenarnya ‘pergi’ ke masa lalu dalam retrokognisi film ini adalah ‘qorin’ dari Hao yang melihat semua peristiwa sebagai empunya barang yang dijadikan medium, maka yang kita lihat adalah Deva Mahenra duduk di sana tapi dari pantulan cermin-cermin yang ada kita dapat melihat sosok ‘aslinya’, yaitu Sari si siswi yang hilang. Untungnya film punya efek dan teknis yang mumpuni untuk menjelajahi ‘lapangan bermain’ yang unik dari elemen horornya tersebut. Kita juga enggak susah menyejajarkan diri dengan karakter, lantaran Hao di sana juga sama dengan kita, mengalami ketakutan yang dirasakan Sari saat kejadian. Jadi jumpscarenya akan efektif, permainan kameranya akan benar-benar terasa membangun ke antisipasi kita untuk kejadian horor. Bukan hanya itu, film ini juga berhasil memvisualkan ketakutan psikologis Sari dan Hao, di antaranya lewat estetik kain kafan dan tanah kuburan, serta – ini yang menarik dan menurutku kurang banyak dieksplorasi; elemen body horror.

Apalah horor berkearifan lokal tanpa ilmu hitam. Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul juga mengeksplorasi soal klenik, menyandingkannya dengan pseudo-science. Ritual santet hingga kekuatan si Pocong yang melahap sukma manusia lewat ujung jari, semua itu mengarah kepada adegan-adegan ‘gangguan’ pada anggota tubuh manusia. Kita melihat karakter menjerit histeris saat tubuh mereka melakukan hal di luar normal; bola mata yang membesar hingga pop out dari lubangnya, misalnya. Hanya saja, adegan-adegan horor yang kuat ini tidak ditimpakan kepada karakter utama. Deva Mahenra tampak sudah siap untuk tampil total, tetapi karakternya tidak banyak mengalami development. Secara scare pun, karakter Sari yang diperankan natural oleh aktor remaja Nayla D. Purnama, terasa dapat adegan yang jauh lebih mencekam.

Padahal kalo dilihat-lihat, desain journey Hao sebenarnya mirip dengan Qodrat (2022). Film ini ngeset up cerita yang membuka untuk petualangan-petualangan Hao selanjutnya sebagai pembasmi hantu pengganggu manusia. Tapi tidak seperti Ustadz Qodrat, Hao tidak terasa seperti earned petualangan tersebut. Karena Hao masih minim penggalian karakternya. Dia ‘cuma’ berubah dari orang yang menggunakan ilmunya sebagai bahan seminar, menjadi seorang ‘pahlawan’. Perubahannya tersebut minim inner journey, melainkan cuma karena si Pocong Gundul juga sekarang mengincar dirinya. Hubungan Hao dengan karakter lain juga tidak ter-flesh out. Persoalan yang  dibuka di bagian awal, tentang dia yang masih kecil dengan kejadian yang menimpa eyangnya, tidak pernah dijadikan hook dramatis oleh cerita. Sehingga plot film ini kerasa hampa. Ini jadi keputusan yang aneh karena set upnya itu sendiri dimainkan dengan dramatis, seolah bakal berpengaruh kepada Hao saat dewasa. Eyang meminta Hao kecil untuk stay selama eyang retrokognisi ke masa lalu, tapi Hao malah pergi main ke luar rumah bersama Rida, sahabatnya. Like, aku nungguin sepanjang durasi kapan Hao dewasa merasa bersalah atau terguncang oleh peristiwa kematian eyangnya. Tapi hook dramatis yang penting sebagai bangunan karakternya itu tidak ada. Karakter Hao berjalan lempeng aja. Sehingga ketika dia diganggu hantu pun, gangguannya tidak benar-benar terasa ngaruh ke emosi kita. Stake dia ngelakuin retrokognisi juga tidak dibangun, ya aturannya, pantangannya, atau semacamnya, padahal sudah dilandaskan bahwa kemampuan tersebut berbahaya.

Biasanya, kisah tentang orang yang bisa ke masa lalu, akan berkaitan dengan bahasan entah itu dia memperbaiki satu hal kecil, atau konfrontasi dengan hal di masa lalu, atau yang lainnya seputar gimana masa lalu itu jadi pembelajaran baginya untuk menangani masalah di masa sekarang. Film ini melibatkan karakter yang ke masa lampau katakanlah untuk mencari info ngalahin setan, tapi secara keseluruhan film ini terasa kosong karena gak actually punya sesuatu di balik ‘perjalanan’ itu terhadap perkembangan karakter utamanya. 

 

Penceritaan tidak terbantu oleh tone yang terasa ke mana-mana. Film ini seperti mengincar horor yang serius menakutkan, namun itu tidak pernah tercapai karena seringkali film malah jatohnya lucu. Della Dartyan berperan sebagai Rida, sahabat yang menjaga Hao saat melakukan perjalanan mistis, lucunya dia berakting seperti sedang dalam sebuah film komedi. Tau gak gimana superhero Marvel seringkali nyeletuk konyol saat bertarung melawan supervillain, di tengah bahaya mengancam dunia? Nah, Rida-nya Della seringkali nge-Marvel-in kisah horor ini. Buatku yang ingin ngerasain feeling horor, ini annoying. Tapi toh penonton lain pada ketawa. Jadi mungkin baiknya memang film ini dijadikan horor komedi saja. Lagipula lihat saja desain makhluk Pocongnya. Aku gak tau di mana letak seramnya pocong yang gundul, atau bahkan apakah hantu yang kepalanya gundul masih layak disebut pocong karena kalo kita bisa melihat palanya gundul berarti dia sudah bukan hantu yang terbungkus kafan lagi…. Jujur saja, penampakan hantu itu saat bersosok Iwa K. justru jauh lebih creepy dan disturbing. Saat full make up pocong gundul, kesan seramnya hilang. Tinggal ngagetin doang. Ditambah pula si Rida dengan cueknya memanggil-manggil dia dengan sebutan ‘Gundul’. Aspek paling seram dari si Pocong Gundul adalah fakta bahwa senjata andalannya adalah ludah asam! Kupikir, damn, mungkin dia semasa hidup suka main sebagai Reptile di Mortal Kombat

Bikin martabat pocong terjun bebas aja!

 

Sekiranya kita enggak tahu film ini diadaptasi dari buku cerita, penonton film yang sudah fasih sama bentuk penceritaan film pasti akan bisa menebak kalo cerita film ini aslinya adalah dari buku. Darimana bisa ketebak? Dari penceritaan yang terlalu bergantung kepada eksposisi lewat narasi. Lewat info yang ‘diceritakan’ oleh karakter. Naskah film ini masih belum luwes dalam mengadaptasi penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan, misalnya soal retrokognisi itu apa, pocong gundul itu aslinya dari siapa, dan sebagainya; penjelasan-penjelasan itu masih dituturkan begitu saja oleh karakter. Mereka mendiktekan penjelasan itu, hampir seperti aktornya tinggal membacakan teks saja. Seharusnya naskah yang baik bisa menerjemahkan itu ke dalam bentuk penceritaan yang lebih kreatif. Membuat adegan penjelasan yang lebih mengalir dan tidak seperti kita mendengar orang membaca bahasa tulisan. Karena produk naskah kan sebuah film, tayangan audio visual yang harusnya lebih sebagai sebuah memperlihatkan, daripada hanya memperdengarkan.

Saking banyaknya eksposisi,  nonton film ini hampir seperti kayak dengerin mumbo jumbo omong kosong doang. Masih mending nonton Tenet, yang walaupun dialognya juga penuh penjelasan teori fisika kuantum or whatever that is, tapi setidaknya itu adalah pengetahuan yang ada bobot kebenarannya. Sedangkan pada Pocong Gundul ini, semuanya terasa tanpa bobot. Tau dong pepatah ‘air beriak tanda tak dalam’? Nah, film Pocong Gundul yang ceriwis ini juga seringkali malah jatoh bego oleh dialog ngasal dan lemah logika yang mereka punya. Salah satu yang menurutku fatal karena merusak penerimaannku terhadap logika-cerita mereka adalah soal siswa yang hilang di sekolah, yang kata gurunya sudah dicari-cari ke hutan belakang tidak ketemu, padahal siswa itu ada di dalam sumur yang ada di sana. Masa iya saat pencarian gak ada yang mencari ke dalam sumur – yang bahkan lokasi sumurnya sama sekali tidak tersembunyi ataupun sulit dijangkau. Apalagi peristiwa kehilangan tersebut bukan yang pertama kali, melainkan sudah ada dua kejadian sebelumnya. Buatku ini adalah gejala sebuah penulisan yang malas. Peristiwa seputar misteri hilangnya siswa tersebut mestinya bisa ditulis dengan lebih baik lagi.

 

 




The actual horrifying truth adalah mereka akan terus membuat horor berkualitas subpar seperti ini. Tidak peduli sekeras apapun kita mengkritik. Tetap tidak akan ada perbaikan. Karena film-film seperti ini akan terus laku. Palingan tampilannya saja yang seiring berjalan teknologi akan semakin cakep, dan mulus, dan teknisnya makin bagus. Adegannya semakin sadis. Sementara ceritanya, sebaiknya kita melihat ke belakang dan tidak berekspektasi banyak. Ragam budaya dan seni dan nilai lokal tanah air akan terus dieksploitasi sebagai cerita horor ala kadar, yang bahkan untuk memenuhi fungsi sebagai melestarikan budaya/seni itu saja belum bisa. Mereka hanya akan jadi latar untuk horor-horor seperti ini. Konsep unik yang ditawarkan akan lenyap di tengah-tengah cerita, seperti hantu yang dibacain Ayat Kursi. The new low buat horor lokal adalah saat hendak menontonnya kita memang tidak mengharapkan yang muluk-muluk, tapi somehow begitu filmnya usai kita tetap merasa kecewa. Aku merasakan itu di film ini.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for KISAH TANAH JAWA: POCONG GUNDUL

 

 




That’s all we have for now.

Kalo buatku, bahasa Jawa itu terdengar lebih mengerikan ketika dijadikan mantra atau tembang horor. Apakah ada yang sependapat? Atau ada yang ngerasa lebih seram daerah lain? Kenapa ya setiap orang bisa berbeda gitu?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE NUN II Review

 

“Seeing a miracle will inspire you, but knowing you are a miracle will change you”

 

 

Adalah fenomena ajaib, saat sebuah sekuel tampil lebih baik dari film pertamanya. Ajaib dalam artian, agak jarang terjadi. Lantaran sekuel biasanya dibikin karena studio berusaha mengulangi kesuksesan sebuah film, maka kualitas sudah bukan perkara utama lagi. Dari sudut pembuat, pembuatan sebuah sekuel itu stake-nya lebih kecil, less riskier, ketimbang cerita baru. Usaha mereka bisa diperkecil saat ada jaminan penonton bakal datang menonton lanjutan dari sesuatu yang sudah terbukti sukses sebelumnya. Kejadian langka sekuel lebih bagus dari pendahulunya maka wajib kita rayakan, karena itu berarti film tersebut bukan semata pengen memerah kesuksesan, tapi juga melakukan perbaikan-perbaikan. The Nun II, kukatakan saja, tampil lebih baik dari film pertamanya yang sangat uninspiring dan tak memorable. Namun karena The Nun pertama separah itu pulalah, maka kiprah sekuel horor karya Michael Chaves ini tak menjadi seajaib itu. The bar was just too low. Dan The Nun II berhasil tampil lebih baik meskipun usaha perbaikannya sendiri sebenarnya amat sangat minim.

Mengambil latar waktu beberapa tahun setelah battle antara Suster Irene dengan Valak, The Nun II dibuka oleh kematian mengenaskan seorang pastor. Tubuhnya terangkat ke udara, lalu terbakar seketika. Kematian misterius pemuka gereja tersebut ternyata hanyalah satu dari banyak lagi kasus lainnya di berbagai belahan dunia. Sebagai penyintas, Suster Irene yang melanjutkan hidup sebagai suster normal di biara normal, ditugasi kembali oleh Gereja untuk mengusut kasus ini. Karena there’s no doubt, si suster iblis Valak, berada di balik semuanya. Bersama kolega baru, Suster Irene harus melacak relikui kuno. Serta mencari keberadaan si Valak, yang kini bersemayam di sebuah boarding school untuk anak-anak perempuan.

The Nun II yang dinanti-nanti oleh… NO ONE

 

Cerita kali ini memang punya bobot emosi. Karena si Valak actually bersemayam masih di dalam tubuh Frenchie alias Maurice, seperti yang kita lihat di akhir film pertama. Sehingga koneksi personal antara Irene dengan Maurice akan jadi hook dramatis saat kekuatan baik dan jahat itu akhirnya nanti bertempur sekali lagi. Selain itu, pemuda baik hati yang kerja jadi tukang kebun tersebut juga diperlihatkan punya hubungan yang dekat dengan salah satu guru di boarding school (disebutnya Ibu oleh anak-anak murid) dan dengan salah satu anak murid yang bernama Sophie. Malahan, ini juga lantas jadi kekurangan film The Nun II buatku. Bobot emosi cerita ini lebih banyak dan lebih mudah tersampaikan ketika dipantik dari karakter lain, bukan dari karakter utama. Film ini kena ‘penyakit’ karakter utamanya kalah menarik dengan karakter lain. I would prefer cerita fokus di Sophie saja. Fokus di kehidupan di boarding school saja. Simpati kita sebenarnya memang lebih banyak tercurah kepada si kecil Sophie. Yang dibully oleh teman sekelas, dikatain pacaran sama om-om (alias Maurice). Setting asrama katolik tempat mereka bersekolah juga lebih banyak menawarkan elemen-elemen horor. Misalnya ketika teman-teman Sophie mengajaknya ke chapel terbengkalai untuk main challenge yang berbau mistis.

Sedangkan Suster Irene, maan, aku suka Taissa Farmiga di serial American Horror Story, tapi di sini karakter dia boring. Bosenin bukan karena dia gak lakuin apa-apa, loh. Suster Irene ini ‘kerjaan’nya banyak banget; traveling, investigasi, dan nanti harus ‘duel’ lagi dengan Valak. Cuma ya, terlalu banyak sehingga momen-momen untuk development karakternya jadi minim. Ada sedikit soal dia teringat akan mendiang ibunya, tapi itu pun tidak berbuah sesuatu yang membuat kita melihat dia sebagai karakter yang genuine. Setidaknya tidak seperti kita melihat Sophie, atau malah kolega barunya, si Suster Debra (diperankan oleh Storm Reid) Karakter Suster Irene punya sedikit sekali inner journey atau pembelajaran diri yang dramatis. Karakternya cuma belajar tentang identitas dirinya ternyata keturunan siapa. Dramatisnya Irene cuma datang dari ‘ternyata’. Sementara Sophie, kita melihat dia dari seorang korban bully menjadi gadis cilik yang berani. Lalu Suster Debra, punya arc dari seseorang yang ragu akan ‘kerjaan’ mereka – katakanlah dia suster yang imannya kurang – menjadi percaya akan mukjizat. Kepercayaan yang kuat sehingga mendorong Suster Irene untuk semakin ‘pede’ ngalahin Valak.

Sebagai horor gotik yang kental dengan nuansa religi, The Nun II memang banyak bicara soal mukjizat dan kepercayaan. Pembahasan soal anggur adalah darah Yesus adalah pembicaraan soal menumbuhkan iman. Bahwa dengan iman yang kuat maka kebenaran akan terwujud. Bahwa akan selalu ada mukjizat di sekeliling, bagi orang-orang yang percaya. Dan seperti yang dialami Suster Irene, terkadang mukjizat itu ada pada diri kita sendiri.

 

Alih-alih mengembangkan Irene sebagai karakter, film ini tampak lebih tertarik menggarap Irene sebagai karakter dengan casting meta. Film lebih tertarik membangun benang merah antara Irene yang diperankan oleh Taissa Farmiga, dengan Lorraine Warren di timeline The Conjuring yang diperankan oleh kakak Taissa, Vera Farmiga. Dalam salah satu sekuen ‘penglihatan’ Irene terhadap masa lalunya, sekilas ada Lorraine, sehingga mengindikasikan dua karakter ini mungkin memang berada dalam satu garis keturunan yang sama. Lore cerita seperti ini memang menarik, tapi menurutku hal-hal trivia seperti begini masih bisa dilakukan sambil tetap membangun personality karakter secara khusus dengan lebih genuine. Jadi film ini sebenarnya lebih tepat jika difungsikan sebagai horor tertutup di setingan sekolah asrama, dengan karakter-karakter yang hidup di sana sebagai perspektifnya. Tapi karena perspektif utamanya Irene, maka cerita akan sering berpindah-pindah ke bagian ‘investigasi’ yang menurutku membuat kita seringkali lepas dari denyut cerita yang bikin film ini hidup.

Ciee Valak masuk halaman Mode hahaha

 

Sepulang nonton, aku ngecek trivia IMDB film ini, dan di sana disebutkan total screen time Valak si suster iblis cuma dua menit lima-tujuh detik. The Nun II sesungguhnya merupakan film yang benar mengandalkan atmosfer horor ketimbang menjadikan sosok demonnya banci kamera. Oh, jumpscare tetap ada. Banyak. Sebagian besar ngeselin, terutama yang muncul di awal-awal. Tapi secara garis besar, film ini mengerti membangun momen-momen seram tersebut. Valak sebenarnya sering muncul, lore nya juga mengalami pengembangan, tapi dia ditampilkan dari balik bayang-bayang. Tidak pernah lebih lama dari seharusnya, sampai-sampai membuat kita bosan melihatnya. Atau malah film bermain-main dengan imaji-imaji yang menyerupai Valak. Momen paling kreatif film ini adalah saat memunculkan ‘Valak’ lewat halaman-halaman majalah di sebuah stand atau kios. Halaman yang berisi gambar-gambar itu membentuk kolase yang serupa dengan penampakan Valak. Dan ini cara film menampilkannya benar-benar intens, like antisipasi kita terhadap kemunculan real Valak tetap dijaga tinggi. Film ini ngerti the art of bikin penonton menahan napas dalam ketakutan. Setiap entrance Valak, entah itu beneran dia atau bukan, benar-benar terasa fresh dan jadi momen horor yang jempolan. Dan bukan hanya Valak, melainkan ada satu makhluk horor lagi yang ditampilkan dalam film ini. Makhluk yang menurutku bisa saja mereka bikinkan film tersendiri, saking efektifnya cara film memperkenalkan.

Karena itu jugalah aku jadi merasa kesal dengan editing film ini. Sebenarnya aku gak yakin juga apakah hal itu memang dari sononya karena ngincar rating umur tertentu atau ‘ulah’ sensor kita, tapi yang jelas treatment cut-cut film ini dalam menampilkan adegan-adegan horor terasa agak off. Ketika kamera sudah menangkap misteriusnya dengan ciamik, tensi sudah terbangun, exit adegan atau punchline horornya seringkali terasa terlalu cepat. Sehingga momen-momen seram tersebut jadi terasa kurang nendang. Flow horor film pun jadi terasa enggak benar-benar sempurna. Nonton film ini tu jadi kayak kerasa ‘kentang’ gitu loh. Udah capek-capek membuild suspens, tapi puncak pelampiasannya gak ada memuaskan semua. Kayak Valak lagi membunuh salah satu korban misalnya, momen dia ‘nakut-nakutin’nya udah dapat, tapi saat dia went for the kill, tiba-tiba berlangsungnya cepat.

 




Sense horor film ini sebenarnya ada pada tempat yang tepat. Gambar-gambar dan build upnya keren semua untuk standar skena horor. Kalo ternyata bukan salah ‘sensor’, film ini adalah horor dengan timing paling gak-precise yang aku tonton beberapa tahun belakangan. Gak puas aja nontonnya. Ceritanya pun begitu. Padahal dibandingkan film pertamanya, film kali ini punya bobot dramatis. Punya karakter yang cerita mereka mampu membuat kita peduli. Punya development juga. Sayangnya semua itu ada pada karakter yang gak tepat. Dalam artian, bukan pada karakter utama. Heroine utama film ini toh memang tetap dibuat cukup badass dan segala macem, tapi dia ini cuma punya ‘kejadian’. Irene ini bentukan karakternya tu kayak tipikal hero dalam film action. Development dia nyaris tidak ada, melainkan cuma ‘ternyata’. Dan karena cerita harus ngikut perspektif si karakter utama, maka cerita yang mestinya kuat di kejadian sekolah asrama, jadi sering berpindah. So yea, film ini adalah peningkatan dari film pertama, tapi itupun lebih karena film pertama yang memang set standar terlalu ke bawah.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE NUN II

 




That’s all we have for now.

Dunia cerita Conjuring dan The Nun sepertinya sudah diset untuk segera bertemu kembali. Apa hubungan Lorraine dengan Irene menurut kalian?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SLEEP CALL Review

 

“Nobody is coming to save you”

 

 

Telponan sama gebetan sampai pagi ternyata ada istilahnya. Sleep call. Romantis sih memang, kita yang lelah dan sumpek setelah beraktivitas seharian kini ada di kamar, curhat bertukar cerita, mendengarkan suara orang yang bikin kita nyaman, sampai akhirnya kita ketiduran. At least ku dulu gitu sih, terakhir kali ngerasain ‘sleep call’ itu pas jaman BB. Telponan sampai pagi, karena dulu video belum lancar kayak sekarang hahaha. Tapi film Sleep Call buatan Fajar Nugros ternyata bukan film romantis. Melainkan sebuah thriller psikologis. Genre yang masih langka banget di perfilman Indonesia, tapi juga merupakan genre favoritku. Muholland Drive (2001) karya David Lynch-lah yang membuatku jadi tertarik sama film, membuatku mulai nonton film katakanlah religiously. Dan dalam film Sleep Call ini, aku merasakan ruh dan bentukan cerita psikologis serupa film itu. Jika perjalanan Diane dalam Mulholland Drive sesungguhnya adalah gambaran yang menyingkap true nightmare di balik gemerlap Hollywood, maka Sleep Call sesungguhnya adalah wake-up call bagi orang kecil seperti Dina bahwa no matter what, Jakarta itu keras!

Dua film itu sama-sama tegas dan lugas. Blak-blakan memperlihatkan Jakarta, seperti Hollywood, merupakan tempat mengais kehidupan penuh oleh kesempatan, tapi juga tanpa ampun. They could make us jika kita mau put on an act, atau tempat itu will definitely break us. Dina terlilit utang. Untuk bisa melunasi pinjaman onlinenya, dia terpaksa harus kerja jadi karyawan pinjol. Such an irony. Dina harus bermanis-manis supaya orang mau minjem ke perusahaannya, dan pada gilirannya, dia juga harus galak supaya peminjam takut dan mau membayar hutang mereka. Inilah yang Dina gak bisa. Dia gak bisa marah sama pengutang, karena dia berada di posisi yang sama. Performa kerja yang buruk, relasi dengan sahabat dan sesama karyawan lain yang hambar, dan kebutuhan hidup yang terus menekan, satu-satunya tempat tenang bagi Dina adalah ‘tempat’ yang ia kunjungi setiap jam 10 malam. ‘Tempat’ di mana dia bercengkerama dengan seorang cowok bernama Rama. Dina percaya Rama dan dunia ‘maya’ itulah yang bakal menyelamatkan dirinya. Tapi keadaan semakin buruk, nyawa-nyawa mulai melayang, saat realita menghantam sampai ke dunia aman Dina tersebut.

Dan pada akhirnya, senyum-lah yang justru paling susah dilakukan oleh orang-orang kecil seperti kita dan Dina

 

Seperti yang dilakukannya di film Inang (2022), Fajar Nugros kembali bermain-main dengan peran meta. Bermain dengan ekspektasi dan pengetahuan penonton akan cast yang ia pilih untuk memerankan karakter-karakter. Laura Basuki jadi meta saat memerankan Dina karena di mata penonton Laura Basuki punya image yang kuat sebagai perempuan yang innocent. I mean, di film ini kita nanti akan melihat makhluk Tuhan selembut Laura Basuki harus marah-marahin orang. Dia meletakkan simbol polos di tengah dunia yang keras sehingga bagi penonton, terasa ada lapisan ekstra, misalnya, ketika karakter Dina yang tadinya merasa kesulitan akhirnya bisa meledak marahin orang. ‘Anjing-anjingin’ orang. Efek sebuah kota begitu keras sampai-sampai ‘menghancurkan’ karakternya yang terus ditekan jadi lebih mudah terdeliver kepada kita. Selain Laura dan Dina, film ini juga menyiapkan satu karakter meta lagi, tapi lebih berfungsi untuk komedi. Yang komedi tersebut juga berjalan dua lapis. Pertama dari image aktornya tadi, dan kedua dari eksistensi karakter religius ini dalam dunia pinjol yang keras tersebut.

Inilah yang akhirnya membedakan Sleep Call dengan Mulholland Drive yang menggambarkan ‘politik belakang layar’ Hollywood dan kebimbangan (and later, kejatuhan) karakternya lewat adegan-adegan yang semuanya dream-like dan surealis . Fajar Nugros memilih untuk memotret kerasnya ibukota terhadap jelata dengan lebih gamblang. Seringkali juga menyentil lewat komedi. Polosnya Dina saat menagih utang ke rumah duka.  Celetukan sesama karyawan pinjol – dengan latar beragam – dalam ‘membenarkan’ kerjaan mereka. Komedi-komedi ini membangun ke momen-momen yang lebih kelam, seiring berlanjutnya cerita. Puncaknya, ya adegan-adegan thriller. Sleep Call memotret dengan intens, dan seperti yang diperlihatkan langsung di pembuka (as a stolen prologue), film ini gak ragu untuk jadi berdarah-darah demi memvisualkan efek dramatis dari tema gimana kerasnya kehidupan membuat seseorang jadi ‘edan’. Bahkan adegan yang lebih metafora seperti cerita Ramayana (dengan karakter yang jadi garisbawah karakter-karakter dalam Sleep Call) yang didengar oleh Dina juga tidak dibuat surealis seperti Klub Silencio di Hollywood versi Mulholland Drive. Momen surealis film Sleep Call justru hadir ketika menggambarkan Dina di ruang-ruang amannya bersama Rama. Film mengontraskan dunia ini dengan dunia nyata lewat antara pencahayaan, yang jadi ungu-ungu neon, ataupun dari ruang dan setting yang lebih ‘terbuka’. Film tidak benar-benar menuntun kita, sometimes cerita akan berjalan dengan abrupt, tapi tanda-tanda visual yang dilakukan film tersebut menjadi pegangan yang cukup untuk membuat kita bisa mengerti.

Menjaga hal untuk tetap tampak real dan dekat membuat film ini tentu saja lebih accessible bagi penonton. Sementara latar soal fenomena dating online mampu mengangkat concern yang aktual tentang resiko dan bahayanya dunia maya, latar tentang pinjol-lah yang mampu membuat film ini unik, merakyat, dan terasa urgent. Bahwa, ngerinya, cerita seperti di Jakarta Dina ini, mungkin sedang terjadi di luar sana, yang bahkan tidak terbatas pada Jakarta, atau bahkan pada orang kecil saja. Senyum – marah. Nyata – maya. Kaya – miskin. Duality-duality yang menghiasi cerita seperti membangun kepada komentar sosial yang ingin disampaikan oleh film ini.  Dan karenanya, sesekali kita juga bisa merasakan ada vibe-vibe seperti film Parasite (2019) atau malah Hunger Games merayapi film ini. Ada satu adegan yang benar-benar memperlihatkan jurang antara dua kelas sosial tersebut. Yang memperlihatkan saat si Kaya hanya menganggap si Miskin sebagai hiburan.

Orang-orang miskin harus saling bunuh demi bisa survive. Orang-orang kaya mempekerjakan mereka untuk saling bunuh tersebut. Dan di dunia yang begitu keras membagi manusia ke dalam dualitas ini, kita tidak bisa mengharapkan ada penyelamat yang datang. Pada akhirnya, seperti Dina, kita harus menyelamatkan diri sendiri.

 

Pandangan tersebut saat dibawa oleh film ke dalam perspektif karakternya, membuat cerita menjadi kisah personal seorang perempuan, bukan saja semata soal miskin dan kaya. Duality bertambah satu. Gender. Cerita Ramayana tadi seketika jadi epos usang, yang oleh karakter utama cerita hanya jadi harapan kosong. Film menuai bobot dramatis lebih lanjut dari sini. Semuanya bakal terhimpun menjadi satu penyadaran dan akhir yang dramatis  dari perjalanan karakternya. Sehingga film ini terangkat, bukan hanya sekadar soal ‘ternyata’

WAKE UP!!

 

Karena memang, lubang betmen pada genre psychological thriller ini adalah cerita jadi cuma tentang ternyata si karakternya adalah apa. Lupa memuat journey dan pengembangan inner dari si karakter. Kembali kita ambil contoh Mulholland Drive; film tersebut memang bergerak dalam bangunan untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, siapa sebenarnya Betty dan Diane, dan Rita dan Camilla, dan banyak lagi. Tapi melalui proses pengungkapan dan visualisasi dunia surealis tersebut kita bisa melihat journey satu orang sebagai perspektif utama cerita. Ketika dia menyadari dia sebenarnya ‘apa’, kita memahami kenapa dia bisa menjadi seperti itu. Kita tahu journey naas yang ia alami. Hollywood failed her. Sleep Call, seperti sudah kusebut di awal, punya dasar bentukan cerita yang sama. Di akhir cerita kita sadar – just as Dina sendiri sadar – ‘apa’ sebenarnya Dina. Tapi film tidak stop di sekadar dia ternyata ‘apa’, karena kita di akhir cerita paham journey yang membuat Dina sampai ke titik itu. Kita paham Jakarta, nyata dan maya, broke her. Perubahan karakternya yang kita antisipasi – dari polos jadi beradaptasi dengan kerasnya dunia – jadi punya dramatic irony setelah kita melihat apa yang dia lakukan di akhir.

However, karena itulah aku merasa film ini agak overkill saat membentuk backstory dari journey Dina. Harusnya ada batasan jelas kapan Dina, biar gak spoiler amat katakanlah, ‘rusak’. Membuatnya ternyata sudah mulai ‘rusak’ sedari awal, seperti yang dilakukan oleh film ini, malah mengaburkan journey yang ia alami dalam frame waktu cerita film ini berlangsung. Mengurangi efek dramatis soal tidak ada tempat untuk dia menaruh harapan, karena sekarang kita jadi ragu apakah hubungan dengan Rama selama sleep call itu ada simply karena Dina sudah ‘rusak’ atau itu adalah bentukan yang kompleks dari proyeksi dirinya yang berjuang mengarungi dunia nyata yang keras dan kejam – which is I believed yang inilah yang sebenarnya diniatkan oleh film. Tapi ya, film ini sendirinya jadi agak sedikit terlalu terlena dengan elemen thriller dari karakter utamanya.

 

 




Film ini adalah apa yang terjadi ketika filmmaker yang tahu persis apa yang mau dibicarakan, yang sudah mulai punya bentuk khasnya, tapi tetap membuka diri untuk tantangan baru. Tahun lalu Inang dibuatnya sebagai sebuah elevated horor, tapi agak kurang pada galian psikologisnya. Film kali ini, bukan saja beneran sebuah psychological thriller, tapi menurutku film ini punya keunikan untuk bisa menantang Mulholland Drive. Keputusan untuk membuat momen-momen paling naas karakter lebih gamblang alih-alih surealis mampu membuat film terasa urgent dan lebih mudah konek pada penonton kita. Beat-beat cerita dan journey karakternya berhasil terasa dramatis dan intens. Film ini juga menggunakan komedi dengan baik untuk memperkuat delivery temanya. Genre ini naturally punya lubang jebakan, dan film ini berhasil melangkahi itu karena ini bukan sekadar cerita ‘ternyata’. But I did feel film ini agak overkill dengan backstory sehingga mengurangi efek dramatis dari journey psikologis karakternya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SLEEP CALL

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah penceritaan psikologis seperti yang dilakukan oleh film ini mudah untuk diikuti, atau sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



PUSPA INDAH TAMAN HATI Review

 

 

“An original is worth more than a copy”

 

 

Perkara remake/adaptasi modern dari cerita remaja 80an ternyata masih belum usai. Boy yang sementara waktu bertengger di puncak, mendapat tantangan dari Galih dengan cerita keduanya. Puspa Indah Taman Hati, sekuel dari Gita Cinta dari SMA (2023), hadir dengan suguhan cerita yang lebih sebagai sebuah drama personal dari para karakter sentral. Dunianya memang masih tetap nolstalgia 80an, dengan musik-musik jadul yang diarahkan untuk lebih merasuk ke dalam ruh penceritaan. Namun karya Monty Tiwa kali ini mengusung gagasan yang lebih modern sebagai penyelesaian ‘baru’ dalam konflik ceritanya. Puspa Indah yang memang sudah revolusionary pada zamannya, jadi semakin remaja saja. Bahasan yang boleh dikatakan lebih kompleks tersebut, juga lantas membuat karakter-karakternya terasa lebih real. Menariknya, jika dibandingkan dengan Catatan si Boy yang tayang hanya beberapa minggu sebelumnya, dua film ini terasa seperti agak mirip; karakter utamanya dihadapkan pada pilihan yang sama, dan pilihan mereka masing-masinglah yang jadi penentu. Pembeda yang menunjukkan betapa cerita-cerita ini punya identitas karakter dan gagasan yang kuat. Dan yang paling penting, jika disandingkan dengan Gita Cinta, Puspa Indah sendiri benar-benar jadi sebuah konklusi yang inspirasional bagi perjalanan hidup (bukan hanya cinta) seperti Galih.

Galih dalam Puspa Indah adalah mahasiswa seni yang mencoba membantu menghidupi keluarganya dengan jadi penyanyi. Galih dan ibunya kini tinggal ngontrak di Jakarta. Karir musiknya dapat titik terang tatkala Galih ditawari album solo oleh produser, tapi lagu yang dia nyanyikan bukan lagi lagu karangan sendiri. Melainkan ‘cover’ dari lagu-lagu pop milik penyanyi lain. Lagu-lagu yang bahkan bukan genre yang biasa ia bawakan. Sejalan dengan itu, di kampus, Galih bertemu perempuan bernama Marlina, yang ternyata juga kesengsem sama Galih. Mereka berdua memang jadi pacaran. Tapi tidak tanpa konflik. Karena Galih yang punya pengalaman pahit dalam urusan asmara terkait kelas sosialnya (Galih trauma berat ditolak oleh Bapak Ratna di film pertama), mulai merasa insecure yang berdampak pada karya dan sikap kesehariannya. Marlina pun mengalami gejolak bimbang yang sama karena dia akhirnya mengetahui bahwa wajahnya miriiiiip banget sama Ratna.

Prilly jadi dua, Prilly La-two-consina.

 

Kalo disederhanakan sih, ceritanya memang relate banget. Galih ketemu perempuan yang mirip mantannya. Bukankah memang banyak kejadian seperti itu; kita ketemu orang baru yang ada sesuatu dari dirinya yang membuat kita teringat sama mantan. Atau malah sering juga kan, kita ngerasa kita punya tipe-tipe tertentu, bahwa orang-orang yang pernah kita taksir somehow punya wajah yang mirip. Film ini hanya meng-exaggerate keadaan itu dengan membuat Marlina dan Ratna, both dimainkan oleh Prilly Latuconsina. Aku sendiri juga pernah ngerasain, baru-baru ini malah. Kak Arla yang main juga di Gita Cinta dari SMA mirip banget sama seorang cewek who broke my heart. Maka, selain jadi ngefans sama Arla, aku sebagai cowok Cancer – zodiak yang terkenal susah move on – lantas relapse parah. Aku nyoba ngontak lagi si cewek yang aku tau gak bakal sudi balas messages atau WA ku lagi haha.. Itulah, film Puspa Indah yang bersetting 80an ini sebenarnya sedekat itu. Arahannya pun sebenarnya gak ribet-ribet amat. Film tetap mencoba ‘memancing’ kita ke pilihan Tim Marlina atau Tim Ratna. Naskah Alim Sudio-lah yang menjaga film untuk tetap menghasilkan bahasan yang berbobot.

Marlina dan Ratna bisa kita lihat sebagai Masa Sekarang/Masa Depan dan Masa Lalu bagi Galih. Dan kita tahu bahwa masa lalu, bagaimana juga, penting bagi setiap orang, karena masa lalu-lah yang membentuk jadi seperti apa kita sekarang. Sebagian besar orang (termasuk aku) bahkan menganggap masa lalu akan selalu menang. Tapi Galih adalah seorang karakter tersendiri. Dia boleh saja naksir sama Marlina, karena wajah Marlina mirip sama cinta pertamanya, tapi siapa yang akhirnya dipilih oleh Galih sudah seharusnya diputuskan lewat journey personal Galih. Naskah paham hal ini, karena itulah film menghadirkan kembali Ratna di dalam cerita Galih.  Karena itulah film ini juga tidak ketinggalan mengangkat soal kerjaan Galih sebagai penyanyi. Tema yang mengikat kemelut Galih dengan kerjaannya dan Marlina dengan keinsecure-annya dimiripin sama Ratna,  hingga akhirnya menjadi keputusan Galih memilih siapa di antara dua perempuan itu, adalah soal menjadi diri sendiri.

Statement film dari journey Galih tersebut, menariknya, juga bertindak sebagai gagasan meta. Mengingat film ini sendirinya juga cerita dari masa lalu. Katakanlah, sebuah kopian, seperti lagu-lagu dalam album pop sukses yang dinyanyikan Galih yang bukan original karyanya sendiri. Marlina dan Ratna adalah pembuka mata, bahwa kemiripan mereka bukan lantas berarti Marlina adalah kopian dari Ratna, hanya karena Galih lebih duluan kenal sama Ratna. Bahwa meskipun dari luar ada kemiripan – atau malah disuruh untuk mirip, siapa sebenarnya diri kita, itulah yang membuat kita original. Siapa sebenarnya diri kita, itulah yang harus kita tonjolkan, yang harus tetap dipegang. Maka akhirnya yang dipilih Galih adalah yang membuat dirinya tetap jadi diri sendiri.

 

Cerita yang fokus pada pilihan yang harus dibuat karakter membuat film ini jadi lebih enak untuk diikuti. Karena perubahan pada karakter-karakternya itu lebih mudah terlihat. Yang tentu saja juga berimbas kepada lebih terbukanya ruang untuk para pemain mengeksplorasi akting mereka. Yesaya Abraham, misalnya, di film ini Galih bukan lagi karakter yang lebih banyak diam dan tertekan. Galih di film ini tampak lebih optimis dan berdeterminasi. Flaw karakternya juga lebih kerasa. Kita merasakan dramatic irony pada Galih saat karirnya sukses, tapi membuatnya jadi sedikit songong. Di titik itu kita mengerti Galih yang sukses bisa jadi begitu besar kepala, karena dia punya ‘trauma’ di masa lalu terkait derajat sosialnya. Lucunya, film meng-acknowledge ‘trauma’ Galih tersebut lewat nada yang cukup playful. Seperti ngebecandain Galih. Secara penampilan adegan musik, Yesaya memang selalu tampak tidak-terlalu nyaman disuruh akting bernyanyi. Tapi kini kecanggungannya itu – yang bahkan bertambah karena Galih harus berjoget ala Chrisye – tampak make sense secara inner karakter. Dua karakter yang kepribadiannya bertolak belakang, jelas juga bukan tantangan peran yang enteng bagi Prilly Latuconsina. Marlina dan Ratna berhasil dia hadirkan dengan kekuatan dan kelemahan pribadi masing-masing. Sehingga kita yang menonton pun sering juga terbawa perasaan, kadang kasian ama Marlina dan mendukung Ratna, kadang kasian ama Ratna dan annoyed sama Marlina yang meski lebih terbuka tapi insecure-nya juga gak kelar-kelar

Ternyata bukan Marlina doang, ada lagi yang wajahnya mirip Ratna hahaha

 

Di sinilah menurutku arahan kurang tegas. Secara naskah sebenarnya sudah cukup bagus. Porsi sudut pandang yang balance memang harus dan menjadikan cerita lebih menarik, tetapi semestinya juga tidak mengurangi momen dramatis ketika karakter utama membuat pilihan. Puspa Indah terasa kurang stay di Galih dan agak sedikit terlalu lama mengulik di perasaan Marlina. Karena dari naturenya sebagai film kelanjutan dari Gita Cinta, Puspa Indah adalah soal Galih. Soal perjalanan Galih menentukan pilihan, baik itu karirnya, maupun asmara. Bukan soal Marlina yang bersaing cinta dengan Ratna, atau sebaliknya. Momen pembelajaran Galih memilih apa, atau siapa, dalam film ini tidak diperlihatkan terlalu dramatis. Oleh editing dan cara bercerita film pun, kepentingan perspektif Galih tersebut malah jadi terasa nomordua setelah Marlina dan Ratna ‘meluruskan masalah’ di antara mereka. Film ini banyak membentuk momen-momen tersebut dengan desain untuk menghasilkan ‘ternyata’ alih-alih progres dramatis dari sebuah pembelajaran yang dialami oleh karakter, terutama Galih. Beberapa adegan juga terasa kurang sekuat yang seharusnya, lantaran kadang exit adegannya kelamaan. Misalnya ketika adegan Marlina curhat kepada Ibu Galih; Marlina khawatir jangan-jangan Galih suka dia hanya karena dia mirip Ratna. Momen curhat tersebut terasa agak panjang dan kurang berakhir tegas karena film memilih untuk mengakhiri adegan dengan membahas masalah lain, yakni soal Ibu Galih kangen Bandung.

Film ini juga basically tidak berbuat banyak untuk memperbaiki kekurangan yang kita temukan pada film pertama. Yakni kesan artifisial. Bahasa baku dan lagu jadul, konsep yang dalam dua film ini punya sumber masalah yang sama. Para pemain yang merasa asing dengan konsep tersebut. Karakter-karakter Puspa Indah, secara umum, punya penulisan yang lebih baik. Fungsi dan relasi mereka juga hadir dengan lebih natural. Lebih lancar. Delivery-nya saja yang seringkali masih terasa agak lucu. Adegan-adegan musik juga dilakukan, secara teknis, dengan lebih baik dan tampak lebih meriah masuk ke dalam cerita. Film ini di awal udah kayak mau full-blown musical, dengan nyaris setiap adegan ada nyanyi-nyanyinya. Adegan-adegan nyanyi nya cakep, hanya kesan polesan studio saja yang masih terasa. Like, enggak semua adegan nyanyi perlu polesan, beberapa seperti momen musikal yang sureal, ataupun Galih rekaman dan syuting video klip memang tidak mengapa jika dilakukan dengan polesan. Tapi ada juga adegan-adegan seperti ada Marlina nyanyi di Restoran, yang mestinya lebih kena jika ditampilkan senaturalnya seseorang yang bernyanyi sehari-hari.

 

 




Cerita jaman dulu enak ya, konklusinya tu ada, gitu. Meskipun bersambung, tapi dua filmnya terasa seperti cerita yang berdiri sendiri. Film kali ini, melanjutkan Gita Cinta dari SMA, dengan sebuah perjalanan karakter yang menutup dengan memuaskan. Karena pilihan si karakter itu benar-benar jadi akhir perkembangan dirinya. Sendirinya, film ini hadir dengan statement atau gagasan, yang membuat dirinya tidak sekadar sebuah buatan-ulang. Film ini pun berjuang jadi diri sendiri, seperti karakter-karakternya. Kalo mau dibandingkan lebih lanjut, film ini terasa lebih kompleks dibandingkan Gita Cinta. Karakter-karakternya terasa lebih real. Dunianya yang penuh musik itu pun terasa lebih believable, walau kesan artifisial itu acapkali masih terasa.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for PUSPA INDAH TAMAN HATI

 




That’s all we have for now.

Galih dan Marlina pacaran main skate bareng teman-teman. Apakah date ala 80an impian kalian?

Share cerita kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian jadi pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



CATATAN SI BOY Review

 

“There are things worth fighting for”

 

 

Kalo kita remaja di 80-90an, maka kita enggak akan kehabisan sosok idola untuk dijadikan panutan. Buat yang rebel, si Roy. Untuk yang puitis ada Galih. Yang lebih merakyat punya Lupus. Dan buat remaja kelas elit, anak-anak gaul ‘jaksel’, ada Boy. Mereka semua populer, baik itu bukunya, filmnya, bahkan keduanya. Saking populernya, kita yang di tahun 2023 pun bisa berkesempatan untuk berkenalan dengan mereka. Balada si Roy, Gita Cinta dari SMA, dan kini Catatan si Boy diremake sebagai film bioskop. Namun berbeda dengan yang lain, Hanung Bramantyo tidak membawa kita ke era karakternya. Melainkan justru Boy dan kawan-kawan yang ditempatkan di kehidupan modern. Karakter-karakter ikonik itu diremajakan. Referensi budaya popnya diperbarui. Ceritanya dipoles sedikit supaya lebih sesuai. Langkah yang beresiko, tapi tak pelak menarik. Karena let’s be honest, Roy dan Galih tidak mencapai kepopuleran yang setara saat tampil di 2023. Catatan si Boy modern hadir dengan strategi yang tidak sepenuhnya mengandalkan nostalgia, meski tetap memegang kuat ruh dan identitas karakter dan ceritanya.

Sosok Boy digambarkan sebagai sosok pemuda yang sangat ideal. Kaya, tampan, jagoan, baik hati, dan tak ketinggalan ibadahnya. Sosok itu kini didapukkan kepada Angga YunandaSuch a big shoes to fill bagi Angga karena Boy sudah demikian ikonik dimainkan oleh Onky Alexander. Tapi buatku, dan kurasa juga bagi penonton first-timer lain, Angga paling tidak berhasil membuat Boy berbeda dari karakter remaja populer lain. Boy dimainkan oleh Angga, penuh oleh gestur confident. Gestur mantap dan percaya diri yang hanya bisa muncul ketika kita tahu kita punya semua, kita bisa semua. Si Boy ini bahkan bisa membuat dosen menunda tes demi dirinya. Karakter serbamampu yang disukai semua orang, karakter yang sesempurna dan seideal ini tentu berpotensi jadi masalah pada cerita. Everything will be easy for him. Tapi sebagai jualan, apa boleh buat, mimpi selalu laku untuk dijual. Di samping itu, naskah juga sudah menyiapkan masalah universal untuk dihadapi oleh Boy. Masalah yang semua orang, pasti bisa relate. Masalah cinta. Boy punya pacar bernama Nuke, dan dia gak mau kehilangan Nuke. But reality nukes his hope. Ayah Nuke yang pejabat gak setuju anak gadisnya bergaul dengan anak bisnisman, sehingga Nuke lantas dikirim kuliah ke luar negeri. Tinggallah si Boy, setelah dighosting dia mencoba move on dengan asmara baru dengan Vera si ‘bule pengkolan’ (yang modusnya mobil mogok melulu hihihi). Boy, yang harus belajar bukan hanya untuk memperjuangkan sesuatu yang penting dalam hidupnya, tapi juga belajar mengenali apa tepatnya hal penting tersebut.

Saking confident-nya pembawaan, kadang aku ngeliat Angga di sini kayak lagi meranin Kotaro Minami

 

Cerita Catatan si Boy terasa luas. Babak satunya aja udah kayak keseluruhan cerita Gita Cinta dari SMA. Orang pacaran, ditentang orangtua, lalu berdamai dengan perpisahan. Di babak ini Hanung dan naskah Upi juga menanamkan bibit untuk babak penyelesaian nanti, yang tidak dipunya oleh film originalnya. Pembahasan Boy memperjuangkan nama baik keluarganya. Itu jadi kelebihan film ini, secara objektif punya penyelesaian yang melingkar, dibandingkan dengan film originalnya yang enggak membahas lagi tudingan ayah Nuke yang membuat Boy dan Nuke harus pisah di awal. Film jadi agak differ dari original karena ingin punya ruang untuk memberikan development, journey, kepada karakter Boy yang sempurna. Sentuhan baru yang diberikan itu cukup manis dan kekinian, membuat judul film ini punya terjemahan baru. Gak lagi sekadar nulis diari, karena toh nulis diari sudah jarang dilakukan oleh anak muda masa kini.

Asmara Boy dengan Vera penting untuk terjadi, karena dari situlah Boy belajar soal perjuangan dan cinta.  Bahwa ada hal yang pantas diperjuangkan, tapi ada juga yang tidak. Sehingga Boy juga harus belajar melepaskan. Orang bilang jika mencintai sesuatu, lepaskanlah, maka ia akan kembali. Itulah yang terjadi. Boy telah mengalami kehilangan. Lalu belajar untuk melepaskan, melihat hal yang lebih tepat untuk diperjuangkan. 

 

Yang seru ya babak keduanya. Romansa baru dan tantangan baru dalam kehidupan Boy membuka kesempatan bagi cerita untuk mengeksplorasi dunia. Catatan si Boy versi modern melakukan hal yang tidak berhasil dilakukan dengan baik oleh Gita Cinta maupun Balada si Roy. Mengembangkan dunia cerita. Kehidupan di rumah, aktivitas di kampus, hingga gemerlapnya kehidupan malam jetset, semuanya mengalir tanpa membuat cerita kehilangan tempo. Hubungan Boy dengan adiknya di rumah, Ina (diperankan energik oleh Rebecca Klopper), buatku terasa fresh di masa sekarang karena sudah jarang ada cerita dengan karakter seperti Lupus dan Lulu, cerita yang membuat abang dan adek ceweknya jadi sahabat. Kayaknya modelan keluarga dengan anak sepasang ini memang bentukan dari era 80-90an yang lagi ‘tren-trennya’ KB ya gak sih? Yang jelas, Ina dan Boy sudah seperti sahabat, Boy banyak terbantu oleh Ina soal pacar, sehingga kadang terasa sahabat-sahabat Boy jadi kurang diperlukan; jadi kurang berperan.

Tentu, bukan Angga Yunanda saja yang sebenarnya harus mengisi ‘sepatu’ yang cukup besar. Karakter-karakter dalam cerita Catatan si Boy yang lain juga sama ikoniknya. Ada Andi, sobat deket sekaligus teman sparringnya dalam bertinju. Ada Emon, yang dulu sudah membekas banget dimainkan oleh alm. Didi Petet. Lalu tentu saja Vera, yang bakal menjungkirbalikkan kehidupan asmara Boy dengan gaya hidup dan masa lalunya. Bintang-bintang muda yang memerankan mereka kali ini – Michael James, Elmand, Alyssa Daguise – aku yakin mencoba sebaik kemampuan mereka untuk menghidupkan karakter-karakter ini. Naskah kali ini toh punya lebih waktu untuk mengeksplorasi mereka, ngasih screen time lebih. Pergaulan Boy dengan mereka-mereka ini sebenarnya asyik. Di kampus, misalnya, film memperlihatkan adegan-adegan ospek yang ngasih waktu para aktor ini bersinar dengan karakter versi mereka. Misalnya, ada satu adegan yang personally aku seneng banget, yaitu battle dance antara senior dan junior, yang melibatkan dua juara Gadis Sampul!! Carmela dan Diandra Agatha, ya bahkan karakter pendukung lain pun juga diberikan kesempatan to do something more. Film ini bahkan memasang dua pemain film original, ke dalam peran yang mestinya bisa ‘fun’ seperti Dede Yusuf yang dulunya Andi kini jadi ayah Boy, ataupun Meriam Bellina yang dulu jadi Vera dan kini jadi mamanya Vera.   Dunia Boy hidup, dipenuhi oleh karakter-karakter yang fun dan ngasih momen-momen komedi. Walaupun memang fungsi mereka sebagai pendukung seharusnya bisa dipertegas lagi.

Andi, misalnya, di film jadulnya, Andi jadi the go-to-guy bagi Boy. Ada masalah, ngadunya ke Andi. Andi tahu busuk-busuknya Boy. Sedangkan pada film kali ini, Boy lebih sering ke Ina, dan meskipun memang mereka diperlihatkan selalu saling dukung, Andi lebih terkesan seperti teman nongkrong saja. Makanya momen ketika Andi walau telah dilarang Boy tapi tetap ngumpulin ‘pasukan’ untuk membalas perlakuan mantan pacar Vera kepada Boy, terasa agak ‘berlebihan’. Tidak segenuine film aslinya. Emon, di film ini seperti kehilangan fungsinya sebagai orang yang ngasih tau cewek itu seperti apa kepada “Mas Boy”nya, dan sekarang hanya kayak pure comedic relief. Itupun dialog-dialognya ganjil karena Emon selalu menutup omongannya dengan ‘alias’; dengan menjelaskan maksud dari kata-kata yang ia ucapkan. It was just unnecessary, seperti kalo kita ngejoke, terus ngejelasin joke kita maksudnya apa. Kalo Vera, jatohnya flat. Karakter ini aslinya adalah abu-abu – dia sebenarnya baik, cuma beberapa nilai yang ia percaya gak cocok dengan Boy, maka jadilah konflik dan ke dia sendiri juga ngefek. Di film versi ini, emosi Vera seperti belum sampai ke sana. Dia justru terlihat seperti cewek yang nyusahin dan tidak bisa ditebak maunya. Lebih susah untuk kita bersimpati kepada Vera yang sekarang. Yang dapat momen emosional lebih banyak bahkan daripada film pertamanya justru Syifa Hadju yang berperan sebagai Nuke. Kemunculannya enggak banyak, tapi film memadatkan karakternya.

Ternyata zodiakku sama ama Boy, cuma beda nasib aja. Ama tampang.

 

Karena sesama Cancer itulah aku ngerti betapa berat bagi Boy untuk menghapus fotonya bersama Nuke di Instagram. Bagi Cancer, hapus memori itu hal yang paling susah untuk dilakuin. Apalagi Boy putus ama Nuke itu baru satu tahun, belum apa-apa itu bagi kaum zodiak paling susah move on sedunia akhirat. Cancer loves to hold on some memories. Dan karena mengerti sikap dan perasaan itulah, aku jadi melihat bahwa Angga belum jor-joran menampilkan ekspresi terdalam Boy. Sebagian besar waktu, Angga hanya bermain di fisik. Gestur confident, senyum-senyum sendiri, lalu kekhawatiran saat dighosting, pembawaan yang me’loyo’ saat dikeroyok, kita mengerti itu. Naskah mencoba menceritakan Boy sedang ‘jatuh’, tapi film seperti enggan untuk memperlihatkan karakternya itu dalam titik terendah. Boy yang bertanding tinju saat hatinya ada kemelut, tidak lantas diperlihatkan kalah. Boy tetap menang. Boy yang dikeroyok sebagai puncak dari sekuen dia sedang down dan banyak masalah, tapi film tidak memperlihatkan momen kalah yang dramatis itu. Momen ketika Boy ‘kalah’ terluka secara emosional dan fisik, tidak ada di film ini. Aku gak tahu kenapa film melewatkan momen-momen tersebut, padahal ini kesempatan bagi Angga untuk menunjukkan permainan range-nya.

Maka dari itulah, penonton tetap melihat Boy sebagai sosok yang sempurna. Gak ada salah. Gak ada lemah. Ini yang membuat penonton masa kini yang lebih kritis dan kurang mempan dikasih jualan mimpi, kurang konek ke Boy. Padahal kalo kita tilik naskahnya, development atau journey itu sebenarnya ada. Tapi film ini sendirinya seperti berjuang dengan itu. Struggle untuk ngasih ending yang proper, tapi juga yang dinilai memuaskan. Padahal ada kalanya yang benar dan yang memuaskan itu tidak beriringan. Ending film ini menurutku agak belibet, dibandingkan dengan penulisan di bagian lain. Hampir seperti, naskah ingin berakhir di A, ingin membuat Boy memperjuangkan yang lain, tapi gak boleh karena Boy dan Nuke harus tetap jadian dan perjuangan itu harus ada. You know what I mean? Saat menontonnya aku mendapat kesan naskah dan arahan mengalah, walaupun jadinya development Boy yang tak mencuat, dan Boy sekilas tampak tak mengalami pembelajaran.

 




Membawa karakter-karakter ikonik ke zaman modern ternyata membuat mereka jadi lebih fresh. Dibandingkan dengan yang sejenis dari pop-culture Indonesia 80an, aku pikir film ini yang paling berhasil. Dunia yang dibangun lebih hidup, walau settingannya agak ‘ekslusif’. Naskahnya juga sedikit peningkatan dari yang dulu, karena sekarang penyelesaiannya berusaha dibuat ngelingker ke pokok masalah di awal. Masalahnya cuma kesan bahwa film ini tidak mau untuk jadi dramatis, karena seperti ada sesuatu yang diprotek. Protagonisnya sengaja dicut dari momen dramatis. Sehingga yang bikin intens jadi cuma sebatas adegan-adegan berantem saja. Terlalu fisik. Film ini kurang balance karena kurang nyorot sisi emosional. Karakter pendukung dapat kesempatan lebih hidup, tapi fungsi mereka seperti berkurang karena pengen gak jauh melenceng dari originalnya. Film ini gak jelek, hanya belum maksimal. Mungkin pencapaian film ini bisa dijadikan catatan buat film-film lain yang ingin remake sesuatu dari 80an.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for CATATAN SI BOY

 

 




That’s all we have for now.

Sekelas si Boy aja bisa kena ghosting. Menurut kalian, apa sih yang membuat orang pantas untuk kena ghosting?

Share pendapat kalian di comments yaa

Boy punya jetski dan pesawat jet pribadi. Ngomong-ngomong soal pesawat, aku jadi teringat serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SUZZANNA: MALAM JUMAT KLIWON Review

 

“How truly hard it was, really, to see someone you love change right before your very eyes” 

 

 

Cinta sejati itu kayak hantu. Banyak yang ngomongin, tapi cuma sedikit yang beneran melihatnya.  Merasakannya. Telah membuktikannya sendiri. Saking susahnya memperjuangkan cinta. Selalu ada saja halangannya. Makanya greatest love story seringkali justru merupakan sebuah kisah yang tragis. Gimana perasaan kita gak teraduk melihat karakter berusaha memperjuangkan perasaan yang tak semua orang bisa melihatnya ada tersebut. Guntur Soerharjanto berusaha mengaduk perasaan kita lewat film kedua Luna Maya sebagai Suzzanna. Adaptasi atau remake bebas dari horor klasik si Ratu Horor ini coba dikuatkan oleh Guntur perihal kisah cinta kedua karakternya. Membuat cinta dan hantu literally jadi satu frame. Di balik horor balas dendam, at heart film ini adalah kisah cinta yang terhalang oleh kematian. Sebagaimana halnya pada film  pertamanya tahun 2018 yang lalu. Bedanya, film Suzzanna: Bernapas dalam Kubur itu berhasil mengaduk perasaan kita, cerita dan arahannya berhasil menggali sudut pandang perempuan yang berkonflik personal; Suzzanna yang telah jadi hantu ingin membalas dendam atas kematiannya, tapi dia gak mau harus berpisah dengan suami, sehingga dia berpura-pura masih manusia. Film Suzzanna: Malam Jumat Kliwon bahkan gak punya sudut pandang kuat untuk menyampaikan konflik cinta tragis di antara kedua karakternya.

Dalam usaha untuk lebih memperkaya suasana dan dunia cerita, Malam Jumat Kliwon jadi lebih banyak mengambil sudut galian. Di satu sisi memang ini bikin cerita di Jawa tahun 1986 itu terasa lebih imersif. Babak pertama film terasa solid oleh build up dan terjaga dengan tempo yang cukup cepat. Kita melihat Suzzanna, kali ini seorang gadis desa yang dipinang oleh Raden Aryo yang ingin punya keturunan. Kita melihat Surya, kekasih Suzzanna, yang mencari tambahan nafkah dengan menjadi petarung. Kita juga melihat istri tua Raden Aryo punya peran di dalam cerita, karena kecemburuannya. So many motivasi yang saling beradu. Di babak ini cerita lebih bertapak pada Suzzanna, yang setelah hamil mulai merasa dirinya gak aman di rumah Raden. Dia disantet, dan hal menjadi total nightmare bagi Suzzanna saat proses melahirkan. Suzzanna meninggal dengan cara mengerikan, cerita masuk babak kedua, dan naskah hingga arahan mulai keteteran. Cerita ‘berpindah’ jadi tentang Surya yang ingin melihat Suzzanna untuk terakhir kalinya, only ended up mengadakan perjanjian dengan iblis untuk menghidupkan Suzzanna. Perempuan itu memang terbangun, tapi sebagai Sundel Bolong yang ingin menuntut balas dan mencari bayinya.

Dan pengen mamam seratus mangkok bakso

 

Narasi menjadi terlalu besar untuk dihandle. Aku merasa film ini seperti orang yang sudah tahu tujuan mau ke mana, tapi di tengah jalan jatuh terpuruk karena gak sanggup untuk actually mencapai tujuan tersebut. Cerita seperti Suzzanna: Malam Jumat Kliwon memang harus sebesar itu. Empat karakter sentral perlu dibahas supaya penonton dapat melihat dinamika gender di tahun segitu (dan maybe masih diteruskan hingga sekarang). Gimana Suzzanna bisa berada di posisi sulit karena lelaki yang suka seenak jidatnya, mentang-mentang berkuasa. Bahkan yang simpatik seperti Surya pun sama saja begitu dengan aksinya yang tidak membiarkan Suzzanna istirahat dengan tenang. Sebuah aksi yang bisa dibilang egois karena dia mengambil keputusan atas hidup perempuan. Film ini mengatakan semua horor itu ya simply disetir oleh kehendak lelaki., tapi juga masih memperlihatkan ada kalanya perempuan ‘berontak’ atau somehow memegang kendali aksi. Paralel Suzzanna – si istri tua – bahkan rela ke dukun, membayar ‘harga’ apapun supaya dia kembali jadi ‘yang disayang’ oleh suami. Suzzanna sendiri gak pernah digambarkan hanya pasrah, tapi disebutkan bahwa dia rela dinikahi demi keluarga. Dia di beberapa kesempatan juga beraksi dengan mempertimbangkan keselamatan nyawa Surya. Bahkan saat jadi Sundel Bolong, ada kala Suzzanna tidak mengikuti ‘perintah’ Surya untuk tidak membunuh.

Karena subteks pada karakter itulah, aspek body horor yang ditampilkan film ini jadi mencuat. Adegan menyeramkan saat persalinan itu menyimbolkan kengerian ketika tubuh penuh jejak yang tak diundang, yang tak diinginkan, yang dipaksakan kepada perempuan. Kita tahu secara narasi itu adalah efek santet, tapi kejadiannya seolah tubuh Suzzanna menolak buah dari paksaan. Harusnya sih adegan ini bisa ikonik. Bayi Suzzanna pindah ke punggung, lalu meledak membunuhnya seketika. The horror inducing nightmare includes: suara teriakan minta tolong Suzzanna kepada bidan dan pelayannya dan shot ada bayi yang bergerak-gerak di dalam lubang punggungnya. Aku gak tahu apakah film Malam Jumat Kliwon yang asli adegannya persis seperti ini, tapi memang adegan persalinan horor tersebut seperti dicomot dari era 80an. Over-the-top, gross, dan fun! Kita harus melihat ke belakang dan realized, bahwa vibe horor 80an itulah yang ingin direcreate juga oleh film ini. 80an adalah era horor praktikal yang cerita dan kejadiannya over-the-top hingga konyol, tapi jadi hiburan tersendiri. Elm Street, Friday the 13th, Evil Dead, sadis tapi menghibur. Film horor Suzzanna sendiri juga seperti itu, malah seringkali ditambah oleh reaksi-reaksi kocak dari karakter pendukung. Film karya Guntur ini punya vibe itu. Ada banyak juga adegan menakut-nakuti yang lucu, banyak reaksi dan dialog karakter yang konyol. Sally Marcelina yang jadi istri tua adalah yang paling ‘semangat’ ngasih vibe over-the-top ini.

Bicara tentang horor Suzzanna, tentu kita gak bisa lepas dari sosok Suzzanna itu sendiri. Kayaknya, industri sekarang ini gak ada yang membangun citra aktornya seperti Suzzanna lagi. Yang aura dan kemisteriusannya dipush terus hingga di balik layar. The fact that reboot-an film-filmnya ini bukan biopik tapi sangat mengutamakan perubahan wajah Luna Maya menjadi semirip mungkin dengan Suzzanna benar-benar menunjukkan bahwa legacy Suzzanna sebagai sosok dan aktor itulah yang dilestarikan. Film mengambil banyak resiko untuk menyulap Luna Maya menjadi Suzzanna. Saat jadi Sundel Bolong, ilusi tersebut lebih mudah untuk dipertahankan. Gestur berkacak pinggang lalu berbalik memamerkan lubang di punggung, serta suara cekikikan seram Luna Maya sanggup memberikan sensasi merinding, Hanya saat karakternya masih manusia, dan banyak bermain di nada drama, plus pencahayaan yang ‘normal’ usaha film memiripkan wajah itu seringkali tampak artifisial, hingga agak ‘mengganggu’ karena wajahnya seperti tempelan. Unnatural.

Sekilas jadi kayak gaya animasi wajah karakter di game Forbidden Siren

 

Suasana desa setelah kebangkitan Suzzanna sebagai Sundel Bolong juga memang harus diperlihatkan. Interaksi Suzzanna dengan warga bakal jadi hiburan horor tersendiri. Istilahnya, ngeri-ngeri sedap hahaha… mungkin Bene Dion terinspirasi judul film drama komedinya ini dari saat ikut menulis naskah Suzzanna: Bernapas dalam Kubur. I wish kualitas naskah film kali ini masih sama dengan film pertamanya tahun 2018 itu. Naskah kali ini ditangani Sunil Soraya dan Ferry Lesmana bersama Tumpal Tampubolon. Fun dan horornya masih ada, tapi dramanya lepas. Malahan, banyak elemen-elemen drama yang sempat disebut namun tidak pernah dibahas lanjut. Ada satu dialog menarik yang paling aku kecewa karena gak ada follow upnya, yakni ketika Raden ditanyai oleh istrinya apakah dia telah jadi jatuh cinta kepada Suzzanna. Kupikir developmentnya bakal menarik ketika pihak yang toxic ternyata jadi beneran cinta sama korbannya. Tapi film gak bahas lagi dan dialog itu semacam punchline angin lalu. Pokoknya, begitu masuk babak kedua, cerita benar-benar keteteran. Dialog dan kejadian jadi konyol tak terkendali. Begitu banyak hal yang bikin kita mengernyitkan kening, mulai dari kenapa kuburan Suzzanna yang mestinya dirahasiakan dari banyak orang malah dikasih nisan bertuliskan nama, hingga ke Surya yang saking rindunya tidur dengan meluk mayat? C’mon! Surya sebagai sudut pandang utama saat Suzzanna sudah tiada, tidak pernah didevelop dengan layak.

Melihat orang yang kita cintai berubah menjadi seseorang yang berbeda. Tema ini yang sebenarnya disimbolkan jadi horor dalam film Suzzanna: Malam Jumat Kliwon.  Dalam kasus Surya, dia menyaksikan kekasihnya melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan karena balas dendam. Goal cerita sebenarnya adalah membuat kisah cinta begitu tragis sehingga menjadi sebuah horor, kisah cinta ketika seseorang harus melepaskan kekasih yang sudah bukan lagi manusia, ketika seseorang harus mencintai kekasihnya dengan cara yang melukai mereka.

 

Tapi penceritaan film enggak mampu mencapai goal tersebut. Tidak mampu mendramatisasi keadaan di luar menjadikannya humor sajaFilm terdistraksi oleh banyaknya elemen yang harusnya ia arahkan ke goal tersebut. Film bahkan gak mampu untuk sepenuhnya membangun rule atau mitologi Sundel Bolongnya. Karena sekarang, dia bukan lagi hantu, melainkan iblis. Padahal Suzzanna yang jadi hantu tidak bisa langsung menyakiti manusia sehingga serangan yang ia lancarkan untuk balas dendam adalah serangan psikologis yang membuat korbannnya mati karena ulah sendiri, adalah aspek yang membuat film pertamanya sangat menarik. Film kali ini sepertinya tidak mau repot dengan konsep semacam itu, dan membuat Suzzanna bisa menyakiti secara fisik karena dia adalah iblis. Dia tidak lagi unik. Aksinya dengan cepat jadi membosankan karena kita basically ngelihat hal yang sama terkait aksi dia terhadap korbannya. Di akhir film coba ngasih tantangan, yaitu ada beberapa senjata dukun yang bisa melukai Suzzanna. Ini yang mestinya dibanyakin oleh film. Buat Suzzanna vulnerable. Bikin stake ada. Bikin jadi ironi ketika Surya tak ingin Suzzanna kalah dan lenyap, tapi morally dia gak mau Suzzanna membunuh lagi. Tapi yang lebih banyak kita dapatkan malah humor dari dua hansip. Mereka kocak, bisa actually nangkep Sundel Bolong, tapi ya gak perlu sampai mau dikasih arc mereka pengen jadi pahlawan segala kalo memang ini bukan cerita mereka.

 




Buatku kerasa sih, nelangsanya ketika yang kita suka berubah menjadi something different. Aku suka film pertama Suzzanna. Dramanya bisa dalem, dan horornya tetap fun. Sedangkan film kedua ini, cuma punya fun. Dramanya banyak yang lepas, yang tidak digarap dengan manusiawi. Padahal muatan drama yang dimiliki itupun sesungguhnya tidak banyak berbeda dari film pertama. Lebih kepada, beda sudut pandang utama saja. Film kali ini sebenarnya lebih tentang Surya, laki-laki yang ditinggalkan Suzzanna, yang menghidupkannya kembali, yang ingin bersamanya sampai akhir hayat, namun perlahan menyadari apa yang sebenarnya ia butuhkan. Film enggak mampu mencapai goal dramatis ini karena sudut pandang yang tidak tegas dan naskah yang tidak bisa menghandle narasi yang besar. Bahkan untuk jadi romance horor saja masih kurang terasa. Kalo nanti ada film Suzzanna berikutnya, aku harap mereka kembali menapakkan dramanya, dan mungkin bisa dicoba untuk tone down mirip-miripan aktornya dengan Suzzanna supaya akting dan ekspresinya bisa maksimal.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SUZZANNA: MALAM JUMAT KLIWON

 

Tulisan ini diterbitkan juga dalam Zine BREAK FROM CINEMA 
Volume 01/Agustus 2023

 




That’s all we have for now.

Kalo dibalik, menurut kalian apakah kita sebaiknya harus mau berubah demi pasangan kita?

Share pendapat kalian di comments yaa

Hijack, serial thriller bagus tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ sudah sampai ke episode finale. Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



OPPENHEIMER Review

 

“You can’t blame science for being used for evil purposes.”

 

 

Kita baru saja ‘survive’ dari ledakan-bioskop yang bernama Barbenheimer. Sementara fenomena dua film ‘IP gede’ ini memang pantas dirayakan (diversity keduanya memberikan pengalaman dan suasana menonton yang luar biasa luar-dalam bioskop), kedua film itu sendiri – Barbie karya Greta Gerwig dan Oppenheimer buatan Christopher Nolan – sebenarnya sama-sama punya something untuk kita bawa pulang. Sesuatu untuk dipikirkan. Barbie gak sekadar fun dan colorful. Oppenheimer gak cuma ledakan bombastis dan adegan hitam putih yang gritty. Keduanya sama-sama punya bobot dan menghantarkan emosi. Bahkan, kedua film ini membicarakan hal yang serupa. Yakni tentang gimana suatu gagasan atau ide terwujud menjadi sesuatu yang ternyata tak lagi bisa dikendalikan. Jika Barbie berkutat dengan eksistensnya sebagai boneka yang dibuat sebagai gagasan, ikon feminisme namun ternyata malah membawa hidup ke hal yang toxic, Oppenheimer menyelami titular karakternya. Yang dihantui dilema moral dan rasa bersalah, karena dia, sang Bapak Bom Atom, telah menciptakan senjata yang dipakai untuk berperang. Teori dan gagasan-gagasan cemerlangnya mengenai atom/nuklir justru membuatnya merasa dirinya telah menjadi ikon dari “Death, the destroyer of worlds”

Pusing pala Berbi

 

Nolan menggarap film ini sebagai biopik, tapi bukan sembarang biopik. Enggak sekadar menceritakan kisah hidup J. Robert Oppenheimer dari muda sampai sukses menciptakan bom atom. Bukan, ini bukan biopik keberhasilan yang menginspirasi. Nolan sudah barang tentu paham sekali bahwa ‘keberhasilan’ Oppenheimer sejatinya adalah keadaan dilema moral manusia yang sangat pelik. Sekalipun si pembuat film punya sikap, dan mungkin keberpihakan misalnya dengan sains yang enggak salah atau semacamnya, Nolan dengan bijak mengajak kita semua menyelami Oppenheimer secara personal terlebih dahulu. Dengan bijak mempertimbangkan bahwa dengan dua ratus ribu lebih jiwa korban Hiroshima dan Nagasaki, bagi beberapa jelas tidak mudah memaafkan ataupun menganggap Oppenheimer menjadi pahlawan sains dengan begitu saja. Maka Nolan membuat biopik ini dengan sama rumitnya dengan yang dirasakan oleh si karakter. Development Oppenheimer sebagai karakter mungkin sudah jelas; seseorang yang bangga dengan yang ia kerjakan, namun perlahan menjadi merasa bersalah hingga mengecam dirinya sendiri, tapi bahkan Nolan tidak membiarkan Oppenheimer mengalami journey yang terlihat gampang. Nolan justru membolak-balik urutan cerita, dia suguhkan kejadian dengan tidak linear supaya Oppenheimer semakin jumpalitan pada journey-nya itu – dan kita duduk di sana merasakan langsung semuanya.

Ya, ini penceritaan-rumit khas Nolan. Bentukan dasar penceritaan Oppenheimer sebenarnya adalah drama interogasi. Oppie (panggilannya oleh kolega) di ‘present time’ film lagi duduk ditanyai oleh pihak pemerintah. Oppie dicurigai sebagai orang yang gak nasionalis – mata-mata komunis, on top of perubahan sikapnya terhadap senjata nuklir dan pengembangan bom hidrogen. Kejadian film akan bergulir sesuai dengan jawaban Oppie mengenang hal yang ditanyakan kepadanya. Kehidupan Oppie, mulai dari dia berusaha meracuni dosennya saat kuliah hingga mengembangkan teori kuantum (Oppie disebut kuat teori tapi canggung saat praktek) hingga melakukan Trinity Test, dari pacaran dengan Jane, menikah dengan Kitty, dan menyesali kematian-kematian akibat perbuatannya, serta sepanjang karir kedekatannya dengan orang-orang sayap kiri, semua akan terangkum dengan relatif acak, tergantung apa yang ia ceritakan kepada para penanya. Bentuk seperti ini membuat film ini jadi punya vibe dokumenter. Apalagi karena Nolan memang memperlakukan karakter-karakter ceritanya sebagai, kayak tokoh beneran (and they are). Mereka dilepaskan dari nama-nama besar aktor yang memerankan mereka. Para aktor justru dibiarkan melebur menjadi yang mereka perankan. Sekelas Emily Blunt aja dibiarkan jadi sosok blur di latar belakang saat Oppie diwawancara. Rami Malek paling cuma muncul sekelebat. Film lain mungkin akan membuat si A meranin tokoh B sebagai sebuah big deal, tapi pada Oppenheimer, mereka tidak akan ‘berperan’ sampai tokoh mereka beneran dibutuhkan oleh Oppie. Nolan ingin kita melihat mereka sebagai tokoh-tokoh sejarah itu. Florence Pugh literally ditelanjangi, karena memang di situlah kepentingannya. Sebagai tokoh Jane, orang yang bersamanya Oppie merasa paling aman membuka diri. Pengenalan tokoh yang paling playful dibuat film ini, menurutku, adalah Albert Einstein di pinggir kolam (diperankan oleh aktor Skotlandia Tom Conti). See, dialog Oppie dengan Einstein di pinggir kolam itu sebenarnya yang mereka bicarakan adalah punchline penting, yang secara kronologis juga terjadi di kemudian hari. Tapi oleh film dimunculkan di awal-awal, sehingga ini jadi hook yang membuat penceritaan jadi asik untuk diikuti, dan akhirnya membungkus film dengan nicely saat cerita circle back ke dialog ini.

Treatment Nolan terhadap tokoh-tokoh cerita enggak menyetop para aktor untuk memberikan penampilan paling serius mereka. Saat nonton aku gagal menemukan Devon Bostick karena dia begitu menjelma jadi salah satu fisikawan Manhattan Project. Tentu, ngomongin menjelma, kita gak bisa tidak mengapresiasi Cillian Murphy yang jadi Oppie. Penampilan kurus Oppie dijadikan penanda visual betapa rasa bersalah itu menghantui dirinya, Murphy sangat komit di sini. Aktingnya melingkup fisik dan mental. Ekspresi. Semua total. Mungkin dari semua tokoh, yang masih kelihatan aura aktor di baliknya itu cuma Lewis Strauss, yang dimainkan oleh Robert Downey Jr. dengan vibe cocky-nya yang seperti biasa. Strauss si Bisnisman actually punya peran besar di dalam cerita, karena dia bertindak sebagai ‘perspektif yang satu lagi’. Ya, membuat cerita tidak linear ternyata belum cukup. Penonton masih perlu menyelami lebih banyak, melihat gambar yang lebih besar. Jadi, dengan resiko membuat film menjadi lebih rumit, Nolan memasukkan dua sudut pandang dengan treatment yang juga berbeda. Ketika memperlihatkan sisi Oppie, kita akan diberikan adegan yang berwarna. Kita dimaksudkan melihat apa yang dirasakan oleh Oppie. Namun ketika film ingin kita melihat lebih objektif, dari gimana pihak luar melihat Oppie, film menjadi hitam-putih dan perspektif akan diwakilkan oleh Lewis Strauss, yang sedikit banyak punya peran dalam proses ‘kejatuhan’ Oppie.

Kalo Indonesia, Slamet Rahardjo kayaknya cocok jadi Einstein

 

Aku bego fisika. Aku gak tertarik bom dan persenjataan. Aku juga kurang open sama sejarah dan politik. Hebatnya film ini tetap beresonansi.  Karena perasaan bersalah Oppie itu bakal relate banget. Film ini menggambarkan ketakutan dan resah Oppenheimer dengan benar-benar manusiawi. Aku dulu suka baca Animorphs dan ada satu karakternya yang kupikir terinspirasi dari Oppenheimer atau Prometheus. Karakter di buku itu bernama Seerow, ilmuwan bangsa Andalite yang memberikan icip-icip teknologi kepada bangsa Yeerk, parasit tanpa panca-indera. Namun justru karena kebaikan Seerow itulah perbudakan galaksi terjadi. Bangsa Yeerk menggunakan teknologi untuk mencari host dan memperbudak bangsa planet lain. Seerow akhirnya dikucilkan oleh bangsanya sendiri. Seerow adalah Oppenheimer, dan Oppenheimer adalah kita semua yang takut kebaikan kita disalahgunakan. Like, mau ngasih sumbangan buat anak-anak jalanan aja kita takut, siapa tau nanti duitnya dipakai beli rokok, atau diambil tukang palak. Perasaan inilah yang relate, dan Nolan mencengkeram perasaan itu dan menghadirkannya lekat-lekat. Momen terbaik film ini buatku adalah ketika Nolan memvisualkan perasaan Oppenheimer, begitu kuat sehingga nyaris seperti adegan film horor.

Gambar-gambar yang dihadirkan pun jadi seperti sureal. Ketika Oppie menatap riak air di kolam, dia seperti melihat gambaran daerah yang bergetar kejatuhan bom. Ketika Oppie pidato di depan penduduk Amerika, seharusnya menyuarakan kesuksesan pengiriman bom ke Hiroshima, tapi dia kebayang apa yang terjadi di Jepang sana. Gimana efek bom ciptaannya terhadap manusia. Audiens yang sedang bertepuk tangan kini dilihat Oppie sebagai korban bom yang menjerit kesakitan dengan wajah mengelupas (tak sekalipun Nolan menggambarkan secara langsung Jepang kena bom, sebagai bentuk respeknya terhadap para korban). Ketika Oppie duduk di sana didesak oleh pewawancara untuk mengakui perbuatannya. Di film ini Nolan menciptakan adegan ledakan beneran, tanpa CGI. Adegan yang luar biasa, indah dan menakutkan bersamaan. Tapi momen-momen psikologis Oppie tadi, buatku terasa jauh lebih memekakkan hati. Nolan berhasil membuat visual yang kuat. Sejujurnya, aku ngarep kalo film ini bisa dipersingkat, dan fokus di visual. Tapi pada kenyataannya, Oppenheimer memang banyak dialog. Dialognya dilontarkan cepat-cepat, adegan pun bergulir cepat, karakter muncul silih berganti, seolah Nolan treats dialog-dialog itu sebagai adegan action. Dan unfortunately for me, kalo urusan dialog aku lebih suka kepada adegan yang ngasih dialog tersebut jeda, supaya kita bisa punya waktu mencerna feel yang dirasain karakternya. Lebih lama merasakan impactnya. Apalagi kalo dialognya itu bukan dialog komedi seperti film komedi.

Penceritaannya yang menyeluruh, dengan dua perspektif,  memperlihatkan di satu sisi penciptaan bom atom memang sebuah pencapaian umat manusia, di sisi lain juga memperlihatkan manusia juga bisa berbuat salah. Film juga mengingatkan bahwa ada permainan politik yang menggerakkan itu semua. Film ini tidak memaksa penonton untuk memaafkan Oppenheimer. Si Oppenheimer sendiri bahkan belum bisa memaafkan dirinya hingga akhir hayat, karena telah membuat perang semakin mutakhir. Dan mungkin inilah yang sebenarnya diinginkan film, supaya tak ada lagi Oppie-Oppie berikutnya. Karena seperti yang disebutkan film, maaf yang tersisa seharusnya adalah maaf untuk diri sendiri. Penyesalan dan memaafkan itulah yang sejatinya memisahkan kita dari ‘jahat’ yang sebenarnya.

 




‘Musik’ yang bisa kita rasakan di film ini adalah musik keresahan dari orang yang merasa telah menarik pelatuk kehancuran dunia. Menurutku cukup itu saja yang benar-benar harus kita coba mengerti pada film ini. Sementara Nolan, memang dia telah membuat sesuatu yang besar di sini, dia meluluhlantakkan semua. Biopik yang ia buat meledak oleh tsunami fakta mengenai kejadian dan karakter di balik pengeboman Jepang pada Perang Dunia Kedua. Nolan memeriksa kejadian tersebut dengan detil dan berimbang, dan tidak seperti film terakhirnya, kali ini yang ia ciptakan tidak void dari emosi. Tokohnya beneran dimanusiakan. Dan dia berani untuk tidak membuatnya gampang. Kejadiannya dibuat non linear supaya makin mengaduk-aduk perasaan karakter. Visualnya mencengangkan. No CGI? Well, damn!  Kalo anak jaman sekarang bilangnya; “Emangnya boleh seepik ini?”
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for OPPENHEIMER

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian Bang Oppie bersalah? Apakah kalian memaafkannya?

Share pendapat kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 



INSIDIOUS: THE RED DOOR Review

 

“Painting is good for the soul”

 

 

Insidious original membuka pintu baru dalam sinema horor ala wahana rumah hantu. Perjalanan masuk ke dalam dunia lain. Wuih, pokoknya sejak Insidious booming, gak terhitung deh ada berapa film horor Indonesia yang terinspirasi konsep menjelajah ke other side lewat proyeksi astral seperti yang dipunya oleh film yang ditelurkan oleh James Wan, back at 2010 itu. Dunia gaib dan rulenya memang berbeda-beda, tapi dari gaya dan vibenya kita dengan segera bisa langsung pinpoint yang sedang ‘ditiru’ itu adalah konsep The Further yang ada pada Insidious. Jika sudah seinfluential begitu, maka sudah hampir bisa dipastikan juga Insidious bakal diperah menjadi franchise. And it did. Right now, kita sedang mantengin halaman review untuk seri kelima dari franchise Insidious. Sama seperti kebanyakan franchise horor, laku bukan berarti jaminan mutu. Antara ditinggal James Wan setelah seri kedua dengan konsep yang sudah sebegitu banyak yang meniru, Insidious mulai terasa jadi biasa-biasa saja, Maka dari itulah, menggarap seri kelima ini jadi tantangan yang nyata bagi Patrick Wilson; yang dari pemain filmnya, dia debut jadi sutradara.

Patrick mengembalikan Insidious: The Red Door kepada cerita keluarga Josh Lambert.  Terakhir kali kita melihat mereka di Insidious Chapter 2(2013), keluarga itu memutuskan untuk melakukan terapi hipnotis untuk melupakan teror di masa lalu, supaya tak lagi dihantui. Supaya anak-anaknya gak trauma dulu ayah mereka pernah berusaha membunuh mereka karena dirasuki setan. Ingatan itu dikubur dalam-dalam supaya keluarga ini bisa move on dan hidup normal serta bahagia. Well, fast forward sepuluh tahun kemudian, kita melihat hidup mereka memang cukup normal, tapi mereka gak exactly terlihat seperti keluarga bahagia. Malahan, mereka sudah bukan keluarga utuh. Josh sudah cerai dengan istrinya. Dan, hubungan Josh dengan anak-anaknya – terutama dengan si sulung Dalton yang sudah hendak kuliah – tidak baik-baik saja. Renggang. Baik Josh maupun Dalton seperti disibukkan dengan pikiran sendiri, bahwa ada masa-masa yang tidak bisa mereka ingat, dan ini mengganggu mereka.  Sementara Josh berusaha mencari kesembuhan yang lebih ilmiah, Dalton di asrama mulai dihantui kejadian misterius, saat di kelas tiba-tiba dia melukis sebuah pintu merah.

Pintu itu melarangmu masuk, atau melarangmu keluar, tanya dosen yang melihat lukisannya.

 

Ah, pintu yang harus ditutup alias tak boleh dibuka. Saat menonton, aku memang lantas teringat sama anime fantasy Suzume (2023) yang bicara hal serupa. Yang juga menyimbolkan ingatan traumatis dengan pintu yang tertutup. Sesuai genrenya, Insidious membicarakan persoalan itu dalam nada yang lebih kelam. Jika Suzume harus menutup pintu untuk mengalahkan cacing raksasa, dengan vibe petualangan dan bumbu romansa. Insidious mengharuskan karakternya berkonfrontasi dengan setan mengerikan, tanpa ada rule ataupun senjata yang jelas untuk mengalahkan sang momok. Pintu itu harus dibuka. Dan ‘perjalanan personal’ kedua karakter – Josh dan putranya, Dalton – untuk menemukan cara menemukan kembali ingatan mereka, dalam artian membuka pintu itu, adalah perjalanan masing-masing. Secara sendiri-sendiri (this is a broken father-son relationship, after all). Penuh oleh kejadian mengerikan yang tersampaikan kepada kita dalam bentuk jumpscare selantang-lantangnya.

Walau karakter utamanya tetap Josh Lambert, tapi film membagi dua perspektif ceritanya. Kita akan secara bergantian ngikutin Josh dan Dalton. Akibat yang paling jelas dari cara bercerita seperti ini adalah tempo yang jadi benar-benar kerasa gak balance. Sering berpindah-pindah karakter menghasilkan kesan film ini lebih panjang daripada durasi sebenarnya. Kesan ini timbul karena film otomatis punya lebih banyak kejadian. Kejadian dari sisi Josh, Dan kejadian dari sisi Dalton. Dua kejadian ini tentu saja akan ‘bersaing’ satu sama lain; kita akan merasa ada satu yang lebih seru ketimbang yang lain. Jadi kita bakal menunggu kejadian yang seru itu saja. Dalam kasus film ini, kejadian yang dialami Dalton di lingkungan kampus seni memang lebih menarik daripada yang dilewati ayahnya yang cuma di rumah. Untuk menyeimbangkan keduanya, film butuh arahan yang solid serta penulisan yang cerdik. Film ini toh tampak benar-benar berjuang untuk mencapai itu. Patrick Wilson memasukkan banyak experience baru ke dalam bagian Josh. Kayak, horor di dalam mesin scan otak, ataupun permainan memori yang dibikin sendiri oleh Josh di rumah demi melatih ingatannya. Tapi tetap saja bagian Josh ini terasa lebih generik, apalagi bandingannya adalah karakter Dalton yang berada dalam situasi baru, less drama, dan terbantu oleh karakter pendukung yang gampang disukai oleh penonton.

Dalton dipasangkan dengan Chris (cewek, bukan cowok) yang sifatnya dibikin bertolak belakang dengan Dalton. Sehingga interaksi mereka jadi seger banget, persahabatan mereka jadi kayak natural. Ty Sympkins mainin karakter pendiam dan banyak masalah, sementara Sinclair Daniel jadi orang yang cablak, nekat, dan punya selera humor. Relasi ini jelas dianggap lebih menghibur, ketimbang persoalan Josh yang lebih banyak ‘drama’ soal takut pikun dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan clue-clue dari misteri masa lalu yang gak benar-benar bisa kita ikuti. Persoalan misteri untuk bagian Dalton lebih engaging dan lebih mudah konek kepada penonton karena banyak menyangkut ke adegan-adegan film Insidious saat dia masih kecil. Aku sendiri, lebih tertarik oleh gimana film membuat melukis sebagai cara Dalton teringat kembali kepada hal yang seharusnya sudah dikubur dalam-dalam oleh terapinya dulu. Jadi sebagai mahasiswa seni lukis, Dalton diajarkan untuk menggambar berdasarkan apa yang ia rasakan. Dalton diajar untuk membuka pintu di dalam dirinya. Ajaran itu accidentally membuat Dalton bersentuhan dengan ingatan terkuburnya. Membuat Dalton jadi kembali bisa nyebrang ke The Further (istilah film ini untuk dunia lain), meskipun di titik itu dia belum lagi ingat atau mengerti apa yang sebenarnya dia lakukan. Dan tebak ngapain dia dengan pengalaman mistis ‘barunya’ tersebut? Sama seperti anak muda pada umumnya, dia gunakan The Further untuk menggoda temannya. Menggoda si Chris hahaha

Ada yang ngitung berapa banyak objek warna merah yang muncul sepanjang film?

 

Konsep melukis dengan membuka pintu dalam diri ini mengingatkanku sama dulu waktu belajar nulis. Aku juga diajarkan untuk membuka pintu-pintu di dalam diri terlebih dahulu – diajarkan untuk mengenali diri sendiri terlebih dahulu supaya tulisan bisa punya rasa dan ada jiwanya. Melukis ternyata juga seperti itu. Enggak bisa asal mirip dengan ‘foto’ maka disebut bagus. Melainkan harus ada rasa dan jiwa pembuatnya. Makanya lukisan A.I. mau sebagus apapun juga masih kalah sama buatan seniman manusia. Di film ini bahkan diperlihatkan bahwa lukisan yang prosesnya dibuat dengan jiwa, juga berfungsi sebaliknya, yakni dapat menyembuhkan jiwa itu sendiri.

 

Sebagai yang bermula sebagai aktor komersil, Patrick Wilson sekiranya sudah belajar satu-dua hal cara ngebuild up momen horor yang menjual banget. Momen-momen seperti bayangan yang mengendap-ngendap dari balik kaca belakang mobil ataupun saat Josh merasa dirinya tak lagi sendirian di dalam mesin scan merupakan momen-momen yang pantas jadi highlight karena sukses bikin penonton satu studioku menghela napas dan menjerit-jerit. Momen ketika Dalton harus ‘balapan’ dengan entitas yang mau mengacau dunia nyata saat dia di dalam The Further juga ngasih reaksi super pada penonton. Patrick Wilson hanya perlu belajar lebih banyak untuk menjadikan momen-momen itu sebagai kesatuan cerita yang koheren. Karena babak ketiga film ini, babak ketika cerita Josh dan cerita Dalton mulai melebur jadi satu kesatuan konfrontasi horor atas nama perjuangan keluarga mereka, di situlah film ini terasa lemah. Kejadian just sort of happen. Rule soal The Further jika dimasuki makin jauh, makin berbahaya, sama sekali tak terasa ngefek karena Josh actually jalan di dalam sana dari rumah istrinya ke kampus Dalton – jarak yang jauh apalagi ditempuh hanya dengan kaki. Soal rule, ngomong-ngomong, memang tak pernah dijabarkan film dengan legit. Jika Dalton butuh lukisan dan teknik melukis yang ia pelajari sebagai jalan masuk, maka film tidak benar-benar memasukakalkan kenapa Josh yang ‘penyakit lupa’nya lebih parah juga jadi bisa ingat.

Yang benar-benar terlepas dari penulisan film ini akibat cara bercerita dua perspektif adalah tidak bisa fokus ke persoalan koneksi ayah dan anak yang renggang. Karakter ini terbatas pada perjalanan masing-masing meng-confront horor dengan cara yang berbeda. Sementara usaha ayah koneksi ke anak, drama mereka, tidak dilakukan maksimal. Pendekatan antara mereka berdua hanya dilakukan lewat percakapan whatsapp yang juga tampak generik lewat tampilan chat di layar dan sebagainya. Interaksi yang minim, effort yang kayak terpisah, tapi di akhir film mendadak mereka berjuang bersama. Feeling yang dihasilkan jadi tak terasa kuat, film ini hanya kejadian-kejadian yang tau-tau comes together di akhir. Momen ayah akhirnya pelukan dengan anak cowoknya harusnya jadi momen manusiawi yang grounded, yang powerful, yang mungkin relate bagi banyak penonton. Akan tetapi sepanjang perjalanannya, film tidak membuild up koneksi ini dengan benar, sehingga ya hanya jadi adegan saja.

 




Setelah sempat pindah fokus karakter pada dua film terakhirnya, aku sebenarnya seneng film ini kembali kepada keluarga Josh Lambert. Senang karena muatan drama bisa mengalir lebih genuine jika horor digali dalam lingkungan keluarga yang punya arc alias episode cerita. Film ini berusaha menggali kelanjutan cerita, sambil tetap menapak pada kejadian sebelumnya; berusaha memberikan development yang natural untuk karakter-karakter, namun sayangnya film ini not really good at doing it. Keputusan bercerita membagi dua perspektif adalah keputusan beresiko untuk ditempuh, apalagi saat film tidak dikawangi oleh sutradara yang sudah lebih mahir. Patrick Wilson cukup lumayan menghasilkan adegan-adegan horor, dia cuma butuh bercerita dengan lebih koheren. Yang lebih enak dalam penggabungan dua perspektifnya. Film ini pada jantungnya bicara tentang hubungan ayah dan anak, failednya komunikasi yang terjadi secara turun temurun, tapi proses pembelajaran karakter ke sana tidak terjabarkan dengan baik, melainkan hanya muncul sebagai solusi, tanpa ada proses yang benar-benar dramatis. Aku ragu ini bakal jadi film terakhir, tapi di samping kelemahan-kelemahan penceritaan tadi, aku rasa aku bisa nerima kalo film ini dijadikan penutup dari cerita keluarga yang sudah kita ikuti lebih dari sepuluh tahun yang lalu
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INSIDIOUS: THE RED DOOR

 




 

That’s all we have for now.

Di film ini banyak lukisan-lukisan seram. Ngomong-ngomong, kenapa ya ada lukisan yang bisa tampak seram banget? Apakah kalian punya cerita tentang takut sama suatu lukisan atau semacamnya?

Share cerita kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari mobil jip ke pesawat. Alias di Apple TV+ ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ONDE MANDE! Review

 

“The ends justify the means”

 

 

Kita semua pasti datang dari suatu tempat, namun belum tentu semua orang mau melihat ke belakang, ke tempat yang mungkin telah ia tinggalkan. Karena seperti halnya setiap tempat atau daerah, masing-masing kita pasti punya cerita. Makanya, ketika ada seseorang yang berani kembali, mengingat, dan mengangkat kisah akar rumputnya tersebut, ketahuilah bahwa itu merupakan salah satu bentuk cinta terbesar.  Siapa yang tahu perjalanan self-discovery seperti apa yang Paul Agusta lakukan sebelum akhirnya menceritakan kisah Onde Mande!, film drama komedi yang bersinar justru pada momen-momen personal dari karakter yang mengunjungi tempat asalnya. Momen-momen personal yang ditarik dari hubungan seorang anak dengan sosok ayahnya.  Momen-momen personal, yang sayangnya, bersemayam dalam naskah yang belum sepenuhnya mampu menghandle konsep cerita komedi persekongkolan satu kampung. Karakter-karakter dalam Onde Mande! sendiri justru tersaji tanpa mengalami pembelajaran personal, melainkan konflik mereka beres hanya sebatas “oh, ternyata”. Sampai-sampai – dan ini yang paling lucu dari film ini buatku – pandangan karakter di kampung Sigiran yang berbohong demi kemajuan dan gak benar-benar menghadapi konsekuensi (karena terselamatkan oleh “oh, ternyata”) itu membuatku jadi teringat sama slogan Nazi.

Cerita Onde Mande! menyangkut satu kampung. Jadi, di kampung Sigiran hiduplah seorang bapak yang dipanggil Angku Wan. Bapak yang hidup sebatang kara itu dikenal keras kepala tapi peduli sama kampung. Si bapak berencana kalo menang kuis berhadiah 2 milyar di televisi, duitnya akan dia pakai untuk membangun kampung. Niat yang mulia, tapi Tuhan bekerja dalam cara yang misterius. Angku Wan memang menang, tapi belum sempat hadiahnya diterima, beliau wafat. Merasa sayang kesempatan emas untuk kehidupan warga itu hilang, maka Da Am dan istrinya sepakat untuk dirinya berpura-pura menjadi Angku Wan supaya bisa menerima hadiah tersebut. Hal jadi rumit, tatkala gak semua warga setuju, dan pihak pemberi hadiah pun mengirimkan seseorang ke kampung Sigiran untuk memverifikasi sebelum hadiah diberikan secara langsung.

Sala lauak, confirmed!!

 

Naskah Onde Mande! sebenarnya lebih berani dan lebih luas. Paul Agusta melakukan satu hal yang tampaknya ragu-ragu dilakukan oleh Bene Dion Rajagukguk tahun lalu, yakni menggunakan dialog yang nyaris sepenuhnya berbahasa daerah. Dalam film ini, bahasa Minang. Dialog-dialog Minang yang dilakukan film ini pun bukan sekadar mengganti kosa kata, kayak kalo di subtitlenya ada “Jangan panik” film ini tidak cuma mengucapkannya sebagai jangan bahasa Minangnya apa, panik bahasa Minangnya apa. Melainkan menggunakan kosa kata yang lebih spesifik lagi. Yang lebih sesuai dengan identitas budaya Minang yang memang bicara dengan perumpamaan dan kiasan. Cuma, aku gak tahu apakah disengaja atau tidak, tapi cerita Onde Mande! ini konsepnya seperti terlalu dimiripin sama Ngeri-Ngeri Sedap, Ada persekongkolan, dari sudut pandang bapak di kampung. Ah, kalo saja yang ditiru Onde Mande! bukan itunya doang. Tapi juga naskahnya, yang ditulis dengan benar.

Namanya film yang mengangkat daerah, ya berarti harus ada identitas atau sudut pandang daerah itu yang dicuatkan. Yang dikomentari sebagai masalah. Ya, tahun lalu, Bene Dion Rajagukguk menggarap komedi drama keluarga yang bagus banget, mengangkat perspektif kepala keluarga Batak dibenturkan dengan keadaan modern. Yakni ketika anak-anaknya memilih karir dan hidup yang menurut si bapak, menentang adat. Sehingga si bapak kompakan dengan ibu untuk berpura-pura cerai supaya anak-anaknya pulang untuk ia nasehati. Dengan bahasan dan perspektif tersebut, film Ngeri-Ngeri Sedap berhasil konek sembari memberikan tontonan yang segar bagi penonton secara umum.  Yang diangkat Bene di situ kan sebenarnya soal sistem kekerabatan adat Batak terkait bapak dengan anak laki-lakinya. Film itu berusaha mengulik ‘kekakuan’ yang timbul. Anak yang harus ikut maunya bapak, kasarnya. Gak sekadar memotret, Bene paham karakter film harus punya pembelajaran. Sehingga sekalipun dia tidak ‘lancang’ menyalahkan bapak, atau malah membuat bapak selalu benar, Bene membuat karakternya mengalami pembelajaran di akhir bahwa at least si bapak bisa belajar untuk turut bahagia atas hidup pilihan anaknya. Onde Mande! gak punya momen pembelajaran seperti ini. Padahal didengar dari narator (ya, didengar karena banyak penceritaan film ini yang dilakukan by telling, not showing) gagasan cerita seperti menyasar kepada stigma negatif soal orang Minang cenderung terlihat culas/licik, terutama urusan duit. Tapi sampai akhir film tidak menggali ini. Pertentangan yang hadir dari warga yang gak setuju gak pernah benar-benar digali sebagai kontra-statement. Dan ngomong-ngomong ‘warga yang gak setuju’, jumlahnya bisa diitung jari. Cuma Pak Haji dan putri dari Da Am sendiri, si Mar (Shenina Cinnamon tiok main pilem kok tampangnya bantuak risau taruih se, yo?) Alih-alih, film hanya membiarkan saja. Seolah membenarkan prinsip yang dipercaya Da Am tersebut. Konsekuensi tidak ada lantaran yang mereka tipu adalah orang yang ternyata punya hubungan keluarga dengan warga mereka. Alhamdulillah! 

Makanya aku jadi teringat slogan Nazi. The ends justify the means. Wong dari yang terjadi pada Da Am dan kampung Sigiran diperlihatkan tidaklah mengapa menipu asalkan tujuannya mulia. Sifat licik/culas? Ya memang begitu, karena orang Minang peduli sama keluarga mereka. Kan jadinya aneh, sebab penyelesaian dari perbuatan karakter cerita hanya datang karena Anwar sebagai yang outsider kebetulan ternyata sebenarnya adalah bagian dari mereka. 

 

Di pertengahan, film pindah membawa kita lebih dekat ke Anwar, orang dari PT Sabun yang disuruh ke sana untuk verifikasi, dan kita gak actually dikasih tahu lagi strategi Da Am dan istrinya. Cerita berjalan sekenanya sutradara saja, tidak lagi ikut logika karakter. Misalnya nih, ntar Mar dan Anwar disuruh ke rumah saudara jauh karena di situlah duit akan dibagikan, tapi entah kenapa Da Am juga nyuruh adik Mar ‘ngerjain’ mobil Anwar sehingga Mar dan Anwar harus naik perahu dulu lewat danau. Ini kan kontra-produktif dengan rencana supaya mereka cepat dapat duit. Turns out, sutradara butuh karakter ada di danau supaya mereka bisa dapat sinyal, dan momen revealing dari Jakarta bisa terjadi. Kan aneh. Cerita tidak lagi berjalan genuine. Revealing ini memang membawa cerita ke adegan emosional (yang jadi refleksi momen personal pembuat). Tapi itu pun hanya sekadar momen emosional. Karena ditempatkan sebagai penyelesaian oleh naskah membuat pembelajaran karakter-karakter jadi tidak ada. Revealing itu harusnya ada di tengah atau plot point kedua, supaya masih ada waktu untuk Anwar melewati proses mengenali keluarga yang tak pernah ia kenal. Da Am dan warga pun punya kesempatan dulu berusaha memperkenalkan Anwar kepada budaya yang tak pernah langsung ia rasakan. Kalo perlu tegaskan mereka gagal dapat duit, tapi jadi punya kerabat baru. Visi film pun bakal bisa tercapai dengan lebih baik. Inilah yang kumaksud ketika menulis review Elemental kemaren. Bahwa film kita suka banget ngasih reward, ngasih apa yang diinginkan karakter sebagai penyelesaian cerita. Padahal pembelajaran yang bikin penonton konek pada journey karakter justru datang ketika karakter gagal mendapat yang mereka mau, tapi jadi sadar pada apa yang mereka butuhkan. Penyadaran itulah yang menutup journey.

Sejujurnya sedari sepuluh menit awal aku sudah merasa ada yang aneh pada naskah.   Apa yang semestinya luas, tidak pernah digambarkan begitu. Cerita seperti pada kelompok Da Am saja, padahal mestinya ini adalah kejadian yang berefek ke satu kampung. Bukannya ngesetup keadaan dan masalah di kampung dan gimana pedulinya Angku Wan terhadap sekitar, kita hanya diperlihatkan Angku Wan sendirian. Okelah mungkin film ingin fokus ke kedekatannya dengan Da Am saja. Namun seperti telah dijelaskan tadi, perspektif utama bahkan tidak stay di Da Am. Tapi itupun kita tidak pernah benar-benar melihat keadaan kampung yang lagi dalam masalah itu seperti apa. Perspektif warga lain seperti apa. Hidup di situ sebenarnya sedang punya masalah apa. Hanya disebut kampung sangat menggantungkan hidup pada danau. Dan danau mulai riskan untuk diharapkan

Yang kita benar-benar lihat cuma danau itu vital sebagai tempat nyari sinyal

 

Nulis komedi itu susah. Aku tahun 2014, sempat belajar nulis komedi sama Trio Lupus (rest in peace mas Hilman dan mas Gusur) selama satu tahun, dan sampai sekarang, aku masih belum lucu-lucu. Susah, kalo memang gak bakat kayaknya gak bakalan bisa. Tapi kalo ada satu yang kupelajari dari mereka, maka itu adalah kata mas Hilman kita boleh menggunakan joke kodian untuk membantu supaya lucu. Asalkan joke yang sudah umum diketahui orang tersebut kita berikan spin subjektif tersendiri, termasuk cara bercerita dan identitas lokal masing-masing. Film Onde Mande! butuh untuk menerapkan ini, karena komedinya sangat kurang. Bahkan untuk cerita yang mengandalkan situasi ajaib seperti ini. Candaan bisa datang dari bahasa dan sebagainya, seperti yang ditunjukkan film pada adegan ‘ado da dodi, ndak, da?’. Itu unik dan khas, dan mestinya film ini menyelam lebih dalam lagi ke archive joke-joke khas Minang seperti begitu. Kepekaan pembuat terhadap budaya inilah yang harus dipertajam.

Aku bukan orang Minang, tapi aku tinggal di Riau dan gede di antara orang-orang Minang, jadi secara sosial aku cukup relate dengan karakter di film ini. Kecuali di bagian ada karakter dari Sigiran yang mesan es teh manis di warteg di Jakarta. Ini contoh joke kodian yang mestinya bisa digunakan film sebagai crutch buat komedi. Orang Sumatera jarang banget nyebut ‘es teh manis’. Karena di sana, cukup es teh saja. Defaultnya di sana, semua teh sudah pakai gula. Orang Minang bahkan lebih sering menyebutnya dengan ‘teh es’ – dengan h silent, karena logat membuat mereka lebih mudah mengucapkan seperti demikian.  Sehingga adegan di warteg itu bisa dijadikan komedi saat si karakter mesan teh es, tapi pas diminum ternyata tidak manis. Itu contoh sederhana saja soal joke kodian. Ngomong-ngomong soal teh, aku jadi teringat ada satu lagi momen tandatanya buatku di film ini. Yaitu ada dua kali adegan ngobrol tiba-tiba dicut oleh shot masukin gula/telur ke dalam gelas, lalu cut balik lagi ke adegan ngobrol. Like, kalo mau ngelihatin teh telur khas daerah sana, mestinya gak usah malu-malu begitu, langsung aja bikin adegan memperlihatkan proses teh itu dibuat.

 

 

Itulah, kupikir film ini sebenarnya diniatkan sebagai cerita personal – punya momen-momen personal, tapi juga cukup ambisius dengan konsep persekongkolan satu kampung. Penceritaannya belum mampu mengimbangi. Naskahnya masih banyak yang kurang. Terlalu telling instead of showing. Perspektif yang enggak kuat. Pembelajaran yang tidak ada. Film hanya sebatas kejadian ‘oh ternyata’. Arahan yang masih perlu dipertajam di sana-sini. Karena kampung di film ini tidak terlihat hidup. Cerita seperti bergulir di satu kelompok saja. Komedinya pun tak ada di level yang membuat film ini menyenangkan. Karakter dan dialog mereka sebenarnya lumayan. Fresh juga. Tapi tanpa arahan dan penulisan mumpuni yang glued them together, film jadinya ya masih terbata-bata. Tidak sepenuhnya hidup melainkan ya seperti sebuah big charade aja.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ONDE MANDE!

 

 

 

That’s all we have for now.

Orang Minang terkenal pelit dan agak culas kalo soal duit, menurut kalian ini masih relevan gak sih? Kayaknya semua orang kalo urusan duit seperti film ini juga bakal bertindak sama deh?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THE FLASH Review

 

“We are products of our past, but we don’t have to be prisoners of it.”

 

 

Flash akhirnya punya film-panjang setelah sekian lama ikut ‘bantu-bantu’ di Justice League, dan padahal punya serial sendiri. Dan keberadaannya ini bukan tanpa diwarnai masalah. Superhero dengan kekuatan supercepat ini hadir saat DC mau merombak ulang keseluruhan sinematik universe mereka, yang entah bagaimana sepertinya selalu kurang memuaskan. Aktor yang meranin si Flash, Ezra Miller, pun sedang dalam belitan kasus. Mungkin karena filmnya berada di posisi demikianlah, maka sutradara Andy Muschietti menggodok cerita yang membahas tentang menyikapi kesalahan di masa lalu. Ironisnya, bahasan ‘harus move on’ tersebut harus ia bicarakan di balik konsep multiverse penuh nostalgia yang sepertinya sudah jadi senjata utama produser film superhero untuk menggaet penonton. Sehingga, dengan konteks demikian, di balik petualangan lintas-waktunya The Flash memang lantas jadi punya inner journey yang tuntas dan kuat. Tapi film ini serta merta memberikanku sesuatu untuk dipikirkan ulang.  Karena selama ini, aku selalu berpikir bahwa yang terpenting dari sebuah film adalah inner journey karakternya. Dan sepertinya itu membuatku jadi punya kesalahan di masalalu; kesalahan dalam menilai film. Sebab film The Flash, dengan kelemahan-kelemahan outer journeynya, justru membuktikan bahwa kulit luar cerita ternyata juga sama pentingnya.

Si Supercepat yang suka telat

 

Jangan menoleh ke belakang. Jangan pertanyakan kenapa hal bisa salah. Jangan menyesali kesalahan lalu lantas terus-terusan meratapi sampai lupa untuk meneruskan hidup. Karena tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain belajar dari kesalahan tersebut. Menerima bagaimana kesalahan itu membentuk kita dan jadikan itu pengalaman berharga. Sebenarnya, ini adalah tema yang cocok sekali sebagai konflik untuk seorang superhero yang bisa berlari begitu cepat sampai-sampai bisa menembus waktu. Karena kita selalu bilang, andai kita bisa balik ke masa lalu, maka kita akan memperbaiki kesalahan. Well, guess what, Flash bisa ke masa lalu, dan di film ini dia akan belajar bahwa walaupun kita bisa ke balik, kita tetap tidak bisa memperbaiki kesalahan itu.

 

Ada banyak sekali yang ingin diperbaiki oleh Barry Allen di dalam hidupnya. Dia ingin ayahnya melihat ke kamera cctv supermarket supaya bisa jadi bukti ayahnya tak-bersalah atas kematian ibunya. Dia ingin ibunya tidak lupa membeli sup tomat yang jadi sumber masalah itu. Dia ingin bisa melindungi keluarganya. Sekarang, seusai another mission ngeberesin kerjaan Batman, kita melihat Flash menemukan fungsi baru dari kecepatan supernya. Yakni dia bisa travel back in time. Barry merasa inilah kesempatan baginya memperbaiki hidupnya. Tapi dia salah. Kedatangannya ke masa lalu memang menyelamatkan ibunya dari maut, namun efek dari perbuatan itu ternyata jauh lebih parah. Tindakan Barry Allen jadi membuat timeline dunia yang baru. Dunia tanpa Justice League. Dunia yang Batman dan Superman nya sangat berbeda dari yang ia kenal. Ketika General Zod datang ke Bumi, Barry Allen harus membentuk tim superhero di dunia tersebut, dan salah satunya dia harus melatih versi remaja dari dirinya di dunia itu untuk menjadi Flash yang baik dan benar.

Film ini ngasih sudut yang unik dari cerita origin superhero. Berbeda dari kebanyakan origin yang mengawali bahasan dari bagaimana si karakter punya kekuatan superhero, kita telah mengenal dan tahu kekuatan Flash saat cerita film ini dimulai. Yang belum kita kenal betul adalah siapa sosok Flash di balik topeng; sosok Barry Allen yang sebenarnya. Dukanya apa. Konflik personalnya apa. Sehingga walaupun sebagai Flash dia sudah kuat, tapi pembelajaran karakter ini terus bergulir. Lapisan inner journey inilah yang buatku cukup berhasil dipersembahkan oleh film. Bersama dirinya kita ditarik mundur melihat backstory Barry Allen sebagai seorang anak muda, serta juga origin dari kekuatannya ternyata seperti apa. Penceritaan dengan time travel ke masa muda karakter utama membuat kita melihat sang superhero dari sisi yang lebih berlayer. Dengan kelemahan personalnya sebagai human being yang jadi fokus utama dan terus digali. Ini mendaratkan karakternya. Hubungan Barry dengan ibunya, bagaimana perasaannya terhadap sang ibu, di situlah lajur film ini menyentuh hati para penonton.

Musuh yang harus dihadapi Barry sebenarnya memang bukan General Zod, melainkan dirinya sendiri. Film memang menyimbolkan ini dengan menghadirkan surprise villain yaitu si Dark Flash. Makhluk paradoks produk dari pilihan Flash untuk pergi ke masa lalu in the first place. Secara konteks, masuk akal kalo Flash harus mengalahkan Dark Flash karena menyimbolkan dia yang sekarang sadar untuk move on dan belajar dari kesalahan, harus mengalahkan dirinya yang masih ingin memperbaiki masa lalu. Namun anehnya, film tidak benar-benar membuat Barry Allen ‘kita’ menghadapi Barry Allen dunia lain itu. Film malah membuat Barry muda-lah yang ‘mengalahkannya’. Menurutku, film sebenarnya gak perlu membuat sampai ada tiga Barry Allen. Dua saja cukup. Supaya ‘pertarungan’ inner Barry itu terasa benar terefleksi pada pertarungan outernya. As in, biarkan Flash mendapat momen mengalahkan ‘antagonisnya’.  Film ini anehnya gak punya momen yang penting tersebut. Keseluruhan babak dua adalah tentang Barry Allen berusaha membentuk tim superhero (sekaligus mendapatkan kembali kekuatan supernya), konsep multiverse kicks in, kita melihat Batman-nya Michael Keaton, Superm..ehm, Supergirl-nya Sasha Calle, Kita melihat interaksi Barry berusaha menjalin persahabatan dengan mereka. Kita juga of course melihat interaksi Barry dengan dirinya versi lebih muda, yang sangat kocak. But there’s nothing beyond those characters dan keseruan melihat merkea, karena bisa diibaratkan kejadian di dunia mereka itu adalah kejadian Alice di Wonderland – kejadian untuk membuat Barry Allen ‘kita’ mempelajari kesalahannya. Hanya saja di film The Flash ini, Barry Allen sadar di tengah-tengah, dan tidak lagi bertarung mengalahkan siapa-siapa. I mean, bahkan Alice saja harus mengalahkan Queen of Hearts, Dorothy harus mengalahkan The Wicked Witch. Di film ini, final battle si Flash ada pada ketika Barry berdialog dengan ibunya. Yang sebenarnya memang menyentuh dan bagus, tapi meninggalkan kesan datar bagi penonton tatkala pertarungan dengan Zod dan Dark Flash sudah dibuild. Momen ‘kemenangan’ itu tidak terasa bagi penonton. 

Kayaknya ini film superhero pertama yang ada adegan hujan bayi ya?

 

Jadi aku sadar di situlah pentingnya outer journey. Inner dan outer harus dikembangkan berimbang karena jika hanya outernya saja, film akan jadi hiburan kosong. Dan sebaliknya, jika hanya innernya saja, maka seperti yang kita rasakan saat beres nonton film ini, kesannya jadi datar. Semua petualangan itu kesannya jadi buang-buang waktu. Setelah semua interaksi lucu Barry dengan dirinya versi muda, tanpa ada tensi yang dicuatkan, kita hanya melihat karakter itu sebagai tontonan si Barry. Koneksinya dengan Batman Keaton dan Supergirl juga kayak throw-away moment saja. Momen outer yang dikembangkan balance dengan inner journey cuma ada pada penutup, saat kemunculan satu karakter membuat Barry menyadari bahwa dia masih belum berada di dunia yang benar. Menurutku ini ending yang tepat sekali sebagai cara film ini mengomunikasikan bahwa semesta DC memang sudah sekacau itu. Bahwa there’s no going back. Melainkan mereka hanya bisa move on bikin ulang yang baru.

Dan ngomong-ngomong soal outer, ada satu yang paling terluar yang tak-bisa tak kita perhatikan dan mempengaruhi pertimbangan kita suka film ini atau tidak. Visual. CGI yang digunakan. Banyak dari adegan aksi di film ini, tampak kasar dan konyol. Raut wajah karakternya. Jurus-jurus berantemnya. Bayi-bayi itu! See, aku sebenarnya gak peduli sama efek realistis atau enggak. I mean, kita yang nonton film Indonesia biasanya udah maklum soal efek visual. Asalkan menghibur dan konsisten, tak jadi soal. Tapi jangan bilang kalo bad CGI itu adalah pilihan kreatif, semacam visual style ala Spider-Verse misalnya. Dan itulah yang menurutku terjadi di film ini. Mereka sebenarnya ingin membuat efek yang konyol untuk adegan-adegan kekuatan Flash saat sekitarnya jadi seperti melambat. Bad CGI itu pada akhirnya hanya alasan karena film gak mampu untuk bikin efek yang diniatkan dengan meyakinkan. Like, kalo memang mau cartoonish, maka tone film secara keseluruhan harus dibikin lebih selaras lagi untuk membangun efek tersebut. Pada film ini, konsep dan eksekusinya terasa belum klop. Sebagian besar film terasa seperti serius, maka pada adegan-adegan yang visualnya mestinya ‘bermain’ jatohnya tetap tampak sebagai CGI yang jelek.

 

Dinamika Flash dan Batman ngingetin ama Spider-Man dan Iron Man. Flash yang masih muda dan kocak memang sering dianggap padanan Spidey dari Marvel. Personally, Tom Holland menurutku lebih lucu sih daripada Ezra. Buat penggemar Tom Holland, di Apple TV+ ada serial baru yang ia bintangi loh. Judulnya The Crowded Room. Thriller psikologis, gitu. Yang pengen nonton bisa subscribe langsung dari link ini  https://apple.co/3NgkhiF

Get it on Apple TV

 

 




Di balik visualnya yang bisa bikin orang males nonton, sebenarnya film ini cukup unik, ngasih origin story dalam bentuk berbeda, dan punya muatan drama keluarga yang manis dan menyentuh – mengalir kuat di balik cerita multiversenya. Dari bingkisan luarnya, film ini memang parade nostalgia dan reference dan petualangan yang didesain untuk menghibur. Tapi kulit luarnya ini punya kelemahan pada bagian penyelesaian, yaitu tidak dibikin seimbang dengan isi di dalamnya. Sehingga kesannya jadi datar, dan seperti menghabis-habiskan waktu karena solusinya sebenarnya tidak perlu pakai petualangan sepanjang itu jika petualangan dan musuhnya yang sudah dibuild tidak lagi jadi penting di akhir. Tapinya lagi, jika film ini benar adalah terakhir dari DC sebelum dirombak ulang, kupikir film ini berhasil menyampaikan itu lewat ending yang cukup bergaya. Terlihat gak tuntas, tapi sebenarnya sudah menutup rapat-rapat.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE FLASH

 




That’s all we have for now.

Jika kita dibentuk oleh masa lalu dan kita berkembang dengan belajar darinya, apakah itu berarti kita yang sekarang pasti hanya akan dianggap jadi ‘kesalahan’ bagi kita di masa depan?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA