LONGLEGS Review

 

“Birthdays as reminders of unspoken pains”

 

 

Hari ulangtahun normalnya disongsong dengan gembira. Apalagi waktu kecil dulu. Wuih, hari-hari menjelang ultah itu rasanya berdebar-debar. Kepikiran pestanya semeriah apa. Kuenya segede apa. Kadonya sebanyak apa. Tapi makin dewasa, rasanya kegembiraan menyambut hari lahir itu berkurang. Rasanya kok tidak seantusias dulu. Bahkan, kita sering lupa sama ulangtahun sendiri. Kita jadi lebih suka merayakannya ‘diam-diam’. Alasannya bisa banyak, bisa karena sibuk, bisa karena udah pada jauh dari teman-teman, atau mungkin hari ulangtahun justru jadi pengingat kenangan buruk atas hidup yang belum terpenuhi? Longlegs, horor garapan Oz Perkins, seperti berangkat dari aspek ini. Ketika momen-momen menuju hari yang biasanya dirayakan, justru jadi momen-momen menakutkan. Ketika mengingat hari kelahiran, berbalik menjadi menyambut hari kematian. As for me, dengan bahasannya yang nyinggung-nyinggung hari ultah tersebut, Longlegs udah paling tepat dianggap jadi kado paling… horor!

Agen Lee Harker punya firasat. Yang tentu saja sangat berguna dalam investigasi kasus. Apalagi FBI memang lagi mumet ama satu kasus sulit yang terus berlangsung sedari puluhan tahun lalu. Kasus pembunuhan keluarga, yang sepertinya dilakukan oleh para ayah yang lantas bunuh diri setelah menghabisi keluarganya. Kesamaan kasus-kasus itu yaitu keluarga-keluarga yang jadi korban itu selalu punya anak perempuan yang lahir pada tanggal 14. Surely ini kerjaan serial killer, dan memang di TKP ditemukan pesan kriptik dengan simbol-simbol aneh. Tugas Lee adalah memecahkan semua misteri tersebut. Namun firasatnya yang udah kayak setengah-paranormal itu berkata lain. Bahwa pesan-pesan aneh itu mengarah kepada sosok pria misterius, yang waktu kecil dia kenal sebagai Longlegs. Dan bahwa pesan-pesan itu seperti ditujukan langsung untuknya. Ya, semua kasus ini mungkin bermula dari masa kecil dirinya sendiri  di rumah pedesaan bersama ibu.

Potong ‘palanya, potong ‘palanya sekarang juga~

 

Membungkus diri sebagai investigasi crime, film ini mengajak kita masuk ke dalam misteri ceritanya. Membuat kita jadi ikutan telaten memperhatikan clue-clue. Seperti Lee, berharap dapat menguak maksud dari teka-teki si Longlegs. Algoritma Setan, begitulah Lee menyebutnya. Karena memang crime yang ditangani Lee muatan supernaturalnya begitu gede. Sosok Longlegs terbuild up dengan sangat baik sebagai momok yang menakutkan, bikin gak nyaman, sekaligus bikin penasaran. Cara film membuat Lee ‘tertarik’ kepadanya Longlegs juga sangat menarik. Lewat kengerian intens, yang konstan terpasang pada raut Maika Monroe. Kontras sekali dengan Longlegs yang dimainkan dengan chaos, penuh histeria, serta hal-hal ganjil oleh Nicolas Cage. Makanya banyak yang membandingkan film ini dengan The Silence of the Lambs (1991), thriller investigasi dengan interaksi antara agen Clarice Starling dengan serial killer Hannibal Lecter sebagai pusatnya. Longlegs dianggap sebagai versi horor full madness dari film tersebut.

Karena memang film ini, alih-alih penuh oleh dialog tentang psikologis dan mindgames seorang killer yang berusaha ‘melahap’ kepala agen wanita lawan bicaranya, berisi racauan riddle yang seperti dilontarkan oleh si Setan itu sendiri. Dari dialog saja, nuansa creepy dan tak nyaman sudah menguar. Tempo yang sengaja lambat pun terasa semakin menyandera kita ke dalam misteri, sama seperti rasio kotak yang membingkai adegan-adegan masa lalu/masa kecil – seolah membuat Lee terpenjara dalam ingatan kabur yang bahkan struggle untuk dia ingat. Tema biblical jadi warna pada narasi. Mulai dari kutipan ayat hingga simbol-simbol yang diamini sebagai simbol setan, dijahit mulus sebagai bagian dari cerita- dari misteri. ‘Kurang ajar’nya nih film, dia tahu kita sudah tertarik masuk, menatap ceritanya lekat-lekat, tapi indera kita ‘dipekakkan’ oleh desain suara, ‘dikaburkan’ oleh transisi visual, yang sama-sama mengerikannya. Bukan dalam artian jelek, melainkan benar-benar membangkitkan perasaan horor dan gak nyaman itu sendiri.

Malahan, sebenarnya aspek horor film ini memang bersandar kepada treatment terhadap teknis-teknisnya tersebut. I mean, Longlegs-nya Nicolas Cage bakal cuma jadi karakter over-the-top ala akting histerical Cage yang biasa jika tidak punya editing secrisp yang dilakukan oleh film ini. Lihat saja adegan di opening saat Longlegs pertama kali muncul; gimana suara mendadak menyertai kemunculannya, terus posisinya di kamera yang kita cuma ngeliat sosoknya sampe sebatas bibir alias sejajar mata anak kecil, lalu gerakan dan cut mendadak yang bikin jantungan itu. Mungkin inilah yang namanya elevated jumpscare hahaha.. Yang jelas, bahkan kredit pembuka dan penutup film ini masih bergerak dalam satu kesatuan konsep untuk bikin suasana ganjil. Film ini is at its best ketika menyuarakan misterinya. Semua aspeknya kayak dikerahkan untuk bikin kita takut. Semuanya seperti punya layer alias lapisan. Ambil contoh si Longlegs itu lagi. Sengaja banget tentang dia dibikin minim. Kita memang bakalan tahu dia basically agen setan, dan dia kerjaannya sebagai pembuat boneka, tapi kenapa dandanannya begitu – baju gombrangberlapis-lapis, muka dirias putih – surely itu semua bukan hanya supaya gak keliatan Cage-nya kan? Melainkan ini adalah lapisan dari misteri siapa karakter ini. Apakah dia laki-laki yang berusaha dandan jadi perempuan? Atau apakah ceritanya dia ini pengen jadi badut? Or, he is just a glam rock fan yang dandan ala band T.Rex dan film mau gambarin setan itu nyantol di atribut-atribut mulai dari gaya rock hingga ke fashion suster gereja? Kemisteriusan desain yang sengaja tak dijawab ini menambah kepada misteri pada narasi film ini

Atau mungkinkah dia sosok ayah bagi Lee?

 

Dialognya juga begitu, nada-nada dan kata-kata yang dipilih bukan sekadar untuk bikin kita ngernyit, melainkan juga menambah kepada layer karakter. Sayangnya soal dialog ini bisa mudah missed, karena translasi. Aku menemukan satu yang menurutku kelalaian terjemahan bahasa kita – at least pada bioskop yang aku tonton. Yaitu saat Lee di kamar putri bosnya. Istri si bos datang dan menyuruh putrinya tidur. Basically dia bilang “Ayo Ruby, kamu tidur, sekarang sudah…” lalu terpotong karena dia melirik arloji dan lanjut bilang “Ah, now is tomorrow“. “Sekarang (ternyata) sudah besok” – sedangkan pada subtitlenya hanya diartikan “besok saja”. Kalimat now is tomorrow itu penting karena konteks sepanjang cerita ini adalah Lee terusik oleh tanggal ulangtahun. Firasatnya mengatakan kejadian buruk akan terjadi pada hari ulangtahun tanggal 14. Dia gelisah menuju tanggal tersebut – entah itu ulangtahun Ruby maupun ulangtahun dirinya sendiri. Now is tomorrow menjadi sinyal bahwa yang ia takuti semakin dekat. Ketakutan Lee pada saat itu jadi lost in translation karena efeknya terdownplay oleh subtitle yang mengartikan “besok saja”. Hal-hal kecil seperti demikian menunjukkan sebenarnya film ini punya rancangan yang berlapis untuk karakter dan gimmick-gimmick horornya. Film ini memukau saat rancangan tersebut berjalan sebagaimana mestinya. Kita gak perlu lagi melihat gore yang exactly on frame untuk merasakan kengerian. Film ini justru jadi bisa hadir ‘elegan’ dengan elemen sadis yang bisa dimainkan variatif sebagai icing on the cake dari nuansa creepy yang sudah kuat terbangun.

Ternyata semuanya memang berawal dari ulangtahun Lee yang kesembilan. Terjadi sesuatu antara dirinya, ibu, dan pria yang memperkenalkan diri sebagai Longlegs. Sesuatu yang mengerikan sehingga Lee tidak ingat lagi. Mungkin itulah kiasan yang hendak diutarakan oleh film ini. Bahwa hari ulangtahun bukan hanya untuk hura-hura dan bersenang-senang. Bahwa mengingat hari kita lahir juga berarti mengingat hal-hal buruk yang pernah kita hadapi, atau yang coba kita tinggalkan.

 

Oleh karena kuatnya bangunan misteri dan lapisan yang diperlihatkan pada dua babak sebelumnya itulah, maka ketika film Longlegs sampai di babak ketiga dan memutuskan untuk membeberkan jawabannya dengan eksposisi yang gamblang,  aku yakin penonton akan jadi terbagi. Akan ada yang jadi gak puas karena investigasi half-psychic tersebut ternyata jadi beneran supernatural. Lapisan yang terbangun atas misteri terutama soal masa kecil terlupakan terkait hubungan Lee dengan ibunya pun jadinya kayak untuk twist semata. Film memang masih menyiapkan ending yang ambigu terkait penyelesaian antara ‘kutukan’ Longlegs dengan Lee, tapi penjelasan film tadi telah sukses membuat misteri film jadi seperti menguap dan penonton kehilangan hal yang lebih seru untuk dibawa pulang dan didiskusikan. Aku sendiri, ada di pihak yang kurang puas. Rasanya aneh aja gitu, film yang udah sukses bikin bangunan misteri – bayangkan sebuah balon yang udah menggelembung besar siap untuk terbang, tapi lalu kemudian memutuskan untuk meletuskan balon tersebut dengan memberikan semua jawabannya. Sayang aja rasanya. Apalagi dilakukan lewat narasi eksposisi pula – sesimpel ibu bercerita pada anaknya. Menurutku akan lebih menarik jika cerita ibu ini dibuat gak eksak jawaban, melainkan hal yang ambigu kebenarannya, sehingga juga bisa menambah kepada hubungan ibu dan anak yang sepertinya juga diincar oleh film ini.

 




Sebagai horor investigasi kriminal, film ini sebenarnya berhasil ngasih lebih dari apa yang bisa ditawarkan oleh genrenya. Suasana yang konstan creepy dan terus merongrong penonton sebagai hasil dari bangunan misteri berlapis yang terus mendera karakter. Desain suara dan crisp editingnya jadi ‘kurang ajar’ begitu bergabung dengan akting hyper Nicolas Cage. Secara arahan horor, this is a very good movie. Kentara sutradaranya peka dan punya passion terhadap misteri alias suka nakut-nakutin orang. Hanya pilihan dan caranya dalam menjelaskan semua di akhirlah, yang bakal membagi penonton. Film ini jadi terlalu sensasional, tapi juga terlalu ‘beres’, untuk bisa kita bawa pulang. Tapinya lagi, penampilan akting dan ‘elevated jumpscare’nya sendiri sudah cukup untuk jadi ikonik sehingga tetap membuatnya dibicarakan banyak orang, untuk waktu yang cukup panjang.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for LONGLEGS.

 

 




That’s all we have for now.

Basically kado ultah Lee adalah dikasih tahu bahwa ibunya collab ama setan haha.. bener-bener worst birthday ever. Kalo kalian gimana, apakah kalian punya cerita tentang pengalaman hari ultah terburuk?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



Comments

  1. Rian GePe says:

    sama bang kurang puas juga.. kirain bakal se-memorable hereditary filmnya huhu

    pilihan film buat jd completely supernatural sama ngasih eksposisi emg ngecewain bgt sih..

    tapi tadinya kupikir bang Arya bakal ngasih 7 atau 7,5 lho, unexpected jg trnyata cuma 6,5 xD

    • Arya says:

      Tadinya mempertimbangkan 7, tapi akhirnya 6.5 setelah dibanding2kan dengan film lain, kok rasanya pilihan ngasih jawaban eksposisi terus jadi tuntas gak ada bahasan lagi itu bikin film ini jadi kayak biasa aja. Malah kalo bikin daftar Top Kekecewaan Bioskop lagi, film ini bakal kumasukin kayaknya walaupun aku suka bagian investigasi horornya haha

  2. Raja Lubis says:

    Wah, apakah beda bioskop beda translasi ya. Aku lupa persisnya seperti apa translasi ‘now in tomorrow’ itu seperti apa. Tapi pas adegan itu langsung paham, bahwa ultah si Lee semakin dekat (sudah tiba waktunya), sekaligus petunjuk bahwa anak si agen FBI cowok itu korban selanjutnya.

    • Arya says:

      Gatau sistem subtitle ini gimana, apa gak langsung dari filmnya, atau diserahkan kepada pihak ketiga apa gimana.. Tapi memang aku sering nemuin terjemahan yang aneh2/gak cocok. Waktu nonton Black Jaguar, sulur pohon yang kayak buat berayun Tarzan itu diartiinnya anggur haha

      • Chris says:

        Mumpung ada pembahasan soal terjemahan ini, mau ikut nimbrung (walaupun tentu saja, untuk film horror masih gak nonton), tapi intinya perihal takarir (subtitle) ini adalah hal yang meresahkan kalo terjadi kesalahan gini terlebih untuk kami yang bekerja di bidang penerjemahan…

        Setahuku, pangsa takarir di kita itu dikerjakan sama pihak ketiga yang sepertinya juga di luar distributor film. Pihak ketiga ini most likely independen dan lepas dari rumah studio produksi film (kecuali company production besar kayak 20th Century Fox atau Marvel yang bahkan punya kanal YouTube Indonesia, dengan takarir versi Indonesia mereka sendiri) soalnya…

        …kalo dilihat credit film sampai habis di akhir, biasanya ada nih nama orang yang ngerjain subtitlenya, entah “Penyelaras Bahasa” atau “Diterjemahkan oleh” dan kalimat serupa lainnya. Nama orang ini entah fiktif atau bukan, soalnya pernah ada 1 nama yang legenda sekali dan ga tergantikan, namanya Nazaret Setiabudi. Bertahun-tahun dan ratusan film dia semua namanya. Banyak yang berasumsi kalo nama ini bukan nama 1 orang, tapi semacam grup atau kelompok penerjemah sendiri karena dicari secara online juga ga ada.

        Tapi entah kenapa, somehow si pihak ketiga ini juga jadinya ngerjain takarir film dari company production besar macam 20th Century Fox dan Marvel yang kusebut tadi. Dari gaya bahasa, bisa kelihatan film Marvel yang tayang di bioskop sama trailernya berbeda. (Yang trailer lebih mending)

        Jadi, si pihak ketiga ini kemungkinan besar “langganan” dari distributor film besar yang ada di Indonesia dan entah terafiliasi juga sama XXI ato enggak (kenapa XXI, karena chain bioskopnya paling besar). Sementara itu, kalo lihat film yang ada di CGV dengan distributor berbeda (misalnya film anime, film Asia yang ga ada di XXI) itu pun sepertinya beda kelompok lagi, karena kadang mereka handle 2 bahasa (kalo bahasa Jepang, ada sub Inggris sama Indonesia). But then, keduanya juga secara kualitas menurut pendapat pribadi agak kurang… Masalahnya, kalo mereka ini “langganan” maka akan sulit menggantinya karena semacam ada monopoli di sini. Beginilah nasib per-takarir-an di indonesia.

        Hal ini pernah ada yang bahas juga di sini:
        https://barisan.co/bertangkap-lepas-dengan-kualitas-subtitle-indonesia/
        dan nasib pekerja takarir juga ga jauh beda dengan guru honorer: kurang diapresiasi.

        • Arya says:

          Oh berarti memang sekarang seringnya subtitle itu urusan distributor dengan pihak yang ‘menang tender’ merekalah istilahnya ya Mas?
          Kalo film besar kayak Disney juga gitukah, kayak Inside Out 2 kemaren, nama-nama Emotion juga diindonesiakan, tapi menurutku agak kaku – gak seluwes kalo dulu di komik donal bebek atau komik smurf atau asterix yang nama-namanya jadi indonesia tapi tetap ‘masuk’.

          Memang kalo dari pengalaman aku nonton belakangan, sub indonesia biasanya tuh antara terbaca terlalu formal sehingga gak kerasa karakter yang sedang ngomong, atau kalo misalnya bajakan nih, textnya terlalu panjang-lebar atau terjemahannya langsung menyimpulkan maksud dialog. Sehingga nonton, ya jadi lebih suka pakai sub inggris aja. Malahan, kemaren aku nonton serial netflixnya Jokan, sub eng aku aktifin. Lebih enak ‘baca’ dari sana hahaha

          Mas Chris posisi masih di Bandung-kah?

          • Chris says:

            Iya, kemungkinan besar itu mereka (dan monopoli juga kayaknya), tapi itu untuk film yang beredar di bioskop, mungkin kalo OTT beda lagi, Netflix gitu ada kemajuan walopun agak maksa kadang…

            Hahaha, iya tuh, kemarin lihat juga ada, Riang, Sedih, Kecemasan… mungkin karena Semua Umur dan ada target anak-anak jadinya dibuat begitu, tapi kerasa kaku juga. Cuma ya, kebijakan si mereka-mereka ini apa kurang tau juga, mungkin ada standar aturan yang harus mereka ikuti atau mereka dikasi aturan khusus sama pihak distributor, bisa jadi antara kedua itu. (Misalnya, film SU atau Disney, minta terjemahin semuanya tanpa kecuali, kayak Inside Out ini, tapi itu asumsi aja).

            Kalo untuk series di Netflix aku kurang tau juga (nyaris ga pernah nonton), tapi aku masih suka lihat anime di sana dengan sub Indonesia, dengan tujuan untuk cari referensi plus udah sampe gimana kualitasnya… ada kemajuan walopun agak maksa. Pernah ada “Meneketehe” di anime dan kayaknya itu 90an banget gak sih? Penerjemahnya antara gen millenial ato boomer. Intinya, Netflix mending daripada bioskop, tapi tetap keduanya debatable. Nonton pake sub indo kadang for the sake of hiburan aja hahaha

            Tapi ya, kalo memungkinkan nih, coba tanya ke orang Starvision (pak siapa itu namanya lupa?) perihal takarir ini gimana sih di bioskop, karena takarir mereka di bioskop sama di ott kayak netflix pasti beda. (Aku pernah bandingkan Milly & Mamet waktu rilis di bioskop sama netflix) dan gimana serta siapa.

            Aku (masih) di jogja hehehe, mungkin masih 1-2 tahun lagi di sini, sesekali pulang kalo lagi ada kegiatan aja, kayak premiere film kalo sempet

          • Arya says:

            Haha iya kan ya, masa nama Kecemasan.. paling enggak kayak terjemahan komik Smurf jadul ditambah ‘si’ kayak Si Gembul etc
            Kayaknya kalo anime mungkin lebih ‘bener’ karena dari bahasa Jepang ke Indo, dan itu takarirnya beda, jadi yang takarir khusus bahasa jepang lebih ‘jago’ ahahaha

            Wah menarik juga, kalo beda takarir berarti ada tambahan biaya dong mestinya ya ke ph nya.. ntar kalo ketemu coba kusampaikan tanya ke Pak Parwez deh gimana soal subtitle ini.
            Seru sebenarnya kalo kita bikin bincang2 soal ini mas, kalo sesekali ada main ke Bandung kabarin mas, kita let’s go podcast di utub XD

          • Chris says:

            Ah ga juga, yang dari jepang ke indonesia juga ga selamanya bagus xD

            Nah, kebetulan 17 Agustus mau pulang, mungkin 19 baru balik, tanggal 18 kan hari minggu tuh, bisa kalo mau 😀 bisa kontak ke nomor WA biasa aja, kemarin sempet bermasalah lagi makannya otomatis keluar semua grup, ato DM twitter juga bisa

          • Arya says:

            Hahaha ngerasain ‘aneh’nya subtitle itu, jadi penasaran juga. Takarir proses kerjanya itu sambil nonton (ada proses nonton), atau dikasih file dialog, terus terjemahin.

            Wah, siap Mas. Bisa tuh tanggal 18, nanti aku berkabar aja ya, dekat-dekat tanggal itu

  3. iksan says:

    waktu boneka di tembak itu kenapa si Lee nya pingsan, ada yg bisa jawab gak konteksnya gmn? apa mngkin malah dia terlepas dari sihirnya Longlegs ya

    • Arya says:

      Iya, ibunya nembak boneka itu buat hancurin bola, membebaskan Lee dari ikatan dengan setan. Pingsannya adalah efek dari ‘terbebas’ tersebut, karena setelah itu kita lihat Lee jadi bisa mengingat kenyataan.

  4. Albert says:

    Bagusnya gimana cara jelasin twist yang eksposisi itu mas? Endingnya juga gantung ya antara Lee terhipnotis juga atau beneran menang.

    • Arya says:

      Mungkin bisa dengan lewat investigasi juga, atau sekuen dia ingat lagi itu dibikin lebih vague. Atau konfrontasi langsung dengan ibu, biar paling enggak bisa ada dramanya, soalnya kalo yang sekarang kan basically cuma ‘flashback’ dengar cerita ibu.

      Kalo ending, kayaknya memang “Hail, Satan!” alias setannya menang

  5. Fufu says:

    Sehabis nonton film ini, temanku bilang, ini adalah film yang Joko Anwar pengen buat tapi gak bisa, hehehe, ada benarnya juga sih. Film ini slow burnt banget, tapi tertolong dengan tone nya yang cakep, musik yang creepy dan akting yang keren. Aku takut nonton nya di sepanjang film, seakan-akan akan ada surprise yang bikin aku gak siap nonton nya. Soal narasi itu lebih baik ketimbang penonton tahu semuanya karena lewat mimpi si karakter utama, seperti kebanyakan film horor misteri. Overall aku suka banget sama filmnya.

    • Arya says:

      Wahahaha bahkan ‘cara promo’nya mirip ya.. Semoga bisa belajar dari film ini, terutama soal bangun nuansa horornya, ‘bermain-main’ di sana. Kalo naskahnya masih imbang-imbang sih memang haha, apa bedanya eksposisi di Longlegs ini sama flashback informasi dari hantu di Perempuan Tanah Jahanam, kan, sama-sama ngambil kemudahan bercerita.
      Mimpi, supaya paling enggak informasi itu masih ambigu kebenarannya/diserahkan kepada penonton, aku bisa setuju

Leave a Reply