THE KILLER Review

 

“It’s what you do that defines you”

 

 

Walaupun seringnya kita ngeluh ‘bosan’ dengan rutinitas, that every each one of us hate our jobs, tapi nyatanya kita akan tetap berusaha ngasih yang terbaik pada apa yang kita lakukan. Kita akan mencoba melakukan pekerjaan sebaik-baiknya. Karena siapa kita itu tercermin dari apa yang kita lakukan. Seorang dokter mengobati. Seorang koki memasak, Seorang penulis menulis. Seorang pembunuh, membunuh. Dalam The Killer, David Fincher benar-benar menunjukkan kepada kita bagaimana sebagai seorang filmmaker, dia berani membuat film yang dengan sengaja mengambil banyak resiko. The Killer diceritakan dengan kontradiksi sebagai fondasi. Karakternya ironically tidak sehebat ‘omongannya’ dalam kerjaannya. Aku malah melihat film ini hampir seperti parodi dari genre revenge dan film pembunuh bayaran yang biasanya selalu tergambarkan cool dan disenangi penonton. Film ini karakternya cool tapi in sense yang tidak memancing simpati, membuat keputusan aneh. Gaya dan penceritaan masterclass Fincher-lah yang turn things around dan membuat film ini worked out sebagai hiburan sekaligus telisik karakter yang berbobot.

Aku memang gak tau graphic novel materi aslinya, tapi aku pikir studio mungkin pengen bikin action assassin saingan John Wick. Hanya saja David Fincher simply pengen sesuatu yang berbeda. Maka kita dapatlah karakter pembunuh yang lain dari yang lain. Karakter yang diperankan Michael Fassbender ini – sama seperti karakter lain di dalam cerita – tidak punya nama. Mereka ‘dikenal’ berdasarkan dari apa yang mereka lakukan. The Killer. The Brute. The Client. The Lawyer. The Expert. Penamaan tersebut sesuai dengan tema ‘what we do is what we are’, sekaligus juga klop ke dalam mindframe si karakter utama. Yakni untuk tidak terattach dengan orang lain. Supaya tidak timbul empati. Karena, menurut si Killer, empati itu adalah kelemahan. ‘Mantra’ itu terus berulang-ulang dia ucapkan, di dalam hati. Kita akan banyak mendengar obrolannya dengan diri sendiri, yang dijadikan voice over oleh film, sebagai main dialogue dari si protagonis. Kita pertama kali berkenalan dengan dia lewat voice over ini.

Dari gedung kosong dia menunggu dan mengintai targetnya. Orang penting di Perancis. Selagi menunggu kita melihat kebiasaannya yang precise, kita mendengar kata hatinya soal kerjaannya. He seems begitu fokus dan paham betul seluk beluk kerjaan pembunuh bayaran ini. Dia punya metode tersendiri. Di awal itu seperti sudah dibangun betapa jagonya dia. Tapi lantas dia gagal. Tembakannya meleset. The Killer kabur ke negara tempatnya bersembunyi. Tapi kerja untuk ‘dunia hitam’ ada konsekuensinya. Orang tersayangnya harus membayar kesalahannya. Di titik ini aku merasa film jadi kayak cerita revenge biasa. Killer berniat balas menghabisi pembunuh bayaran dan bosnya. Aku honestly mengira cerita bakal jadi boring, karena sudah banyak sekali cerita balas dendam seperti demikian. Tapi kemudian kegagalan-kegagalan Killer terus terjadi. Gimana ternyata aksinya enggak sekeren narasi voice overnya. Dia salah menghitung waktu kematian setelah jantung ditembus paku, misalnya. Atau gimana dia selalu pakai identitas palsu, tapi nama-nama yang dia pakai adalah nama yang dia ambil dari karakter film – which is bukan penyamaran yang sempurna karena orang bisa langsung tahu itu nama palsu. Ketertarikanku naik kembali begitu menyadari pria ini bukan John Wick, dia lebih mirip seperti kita yang struggling untuk menuntaskan kerjaan dengan semampunya.

Dari jam di tangannya kita tahu kalo dia orangnya juga agak panikan

 

Arahan jagoan dari David Fincher sangat mendukung untuk terbangunnya ‘ilusi’ kekerenan protagonis tersebut. Shot-shotnya bonafid semua. Kita dibuat ikut mengintip lewat lensa sniper. Kita ikut dibuat melihat dengan dingin lewat warna-warna ‘elegan’ yang juga seolah mencerminkan keunikan sudut pandang si Killer terhadap dunia. Perspektif itu dengan mulus dimainkan oleh film, terkadang kita dibuat melihat si Killer dari luar, dan terkadang kita melihat sejalan dengan perspektifnya. Hint untuk perspektif tersebut diberikan oleh film lewat musik. Bukan sekadar buat gaya-gayaan soundtrack, musik itu dimainkan oleh film kadang seperti kita mencuri dengar musik dari earphone orang, kadang musik itu full yang berarti kita mendengarnya bareng dengan perspektif Killer. Selain dengan perspektif dan musik seolah ini film action yang pop, film ini juga benar-benar mengbuild up adegan-adegan aksi kriminal just like adegan film action yang stylish. Membendung antisipasi kita, kemudian banting stir dan memperlihatkan kesalahan ‘kecil’ yang dibuat oleh si Killer sehingga rencananya meskipun tidak sepenuhnya berhasil, tapi kita tidak langsung menganggap dia inkompeten. Killer tetap akan menyelesaikan ‘misinya’ tapi dengan tidak ‘sekeren’ karakter-karakter action. Mana ada jagoan yang kabur ngap-ngapan dikejar anjing.

Gak banyak filmmaker yang berani ambil resiko, tapi di film ini David Fincher dengan cueknya mengambil resiko. Dia malah menjadikan resiko itu sebagai fondasi film. Killer yang terus mengingatkan dirinya; seorang pembunuh bayaran maka dia tidak boleh merasa empati, tidak boleh merasa kasihan sama orang. Kawan maupun lawan. Karena dia juga berprinsip bahwa tidak ada orang yang bisa dipercaya. Tapi aksi balas dendam yang nekat ia lakukan, tentu saja terjadi karena dia sangat sayang dan peduli banget sama pacarnya. Yang berarti hatinya tidak sedingin itu. Yang berarti dia mungkin bukan pembunuh yang handal karena melanggar ‘kode etik’ pembunuh itu sendiri. Yang lantas membuatnya sebagai orang yang tak sesuai hati dengan aksi. Dan ini bukan trait yang ingin kita lihat ada pada karakter utama, karena dia jadi karakter yang unreliable. Film juga dengan sengaja tidak menampakkan dulu seperti apa hubungan dia dengan korban yang bikin dia pengen balas dendam, sebagai penonton kita gak dikasih gambaran sepenting apa orang ini di hidup Killer. Kita hanya berpatokan kepada reaksi dan aksi yang dipilih oleh si Killer. Ditambah pula ternyata aksinya yang gak sejago kesannya tadi. It is hard enough bersimpati kepada tokoh anti-hero – kita memang bisa menganggap si Killer sebagai antihero karena saat membunuh dia memang sangat dingin dan gak ragu untuk membunuh targetnya gitu aja – apalagi jika dia ini gak bisa dipegang dan suka membuat keputusan yang aneh.

Pembunuh bayaran ternyata sama ama emak-emak; kalo gak ada kerjaan, bawaannya risau dan capek

 

Pilihannya di babak akhir adalah yang paling aneh. Yang aku rasa mungkin jadi turn off alias paling membagongkan bagi sebagian besar penonton. Kenapa yang di akhir ini malah gak dibunuh. Kenapa si Killer tidak menuntaskan pekerjaannya.  Di sinilah film meletakkan perkembangan atau development si Killer sebagai seorang karakter utama. Kunci untuk kita bisa memahami journey karakternya itu adalah dialog soal pemburu dan beruang yang dilontarkan oleh karakter Tilda Swinton (yang kata salah satu karakter mirip korek kuping hihihi) Dialog itu perlahan menyadarkan dirinya. Konfrontasinya dengan ‘bos’ di akhir, seal the deal. Killer menyadari ‘kerjaannya’ adalah ya kerjaan. Dia tidak lagi menganggap dirinya spesial, ” a few” dia menyebut dirinya di awal. Di akhir, dia mengganti sebutannya dengan “the many” Bahwa ada orang lain yang juga bekerja seperti ini, dan mereka juga menerapkan ‘mantra’ yang sama. Karena sama seperti dirinya, orang lain juga berusaha sebaik mungkin dalam kerjaan mereka.

Si Pemburu dan Beruang adalah anekdot tentang gimana manusia menikmati pekerjaan mereka. Berburu-lah yang dinikmati oleh pemburu, bukan saat membunuh buruan. Sehingga betapapun lemah, atau malah kejam dan kurang ajarnya beruang, jika itu adalah beruang terakhir, maka pemburu akan enggan membunuhnya. Karena jobnya akan berakhir. Keadaan ekstrim yang dipancing oleh dialog Tilda tersebut adalah bukan saja soal si Killer enggak akan membunuh bos yang terakhir karena dia butuh ‘kerjaan’. Melainkan juga si Killer boleh jadi secara naluri sengaja meleset dan gagal supaya dia bisa membunuh lebih banyak.

 




Inilah juga yang menyebabkan aku sadar as much as I like film ini kalo dia jadi kisah yang menyelami dalam-dalam psikologis pembunuh kayak The House That Jack Built (2018), ataupun Henry: Portrait of a Serial Killer (1986), aku salah menempatkan ekspektasi. Karena nanti bakal sama boringnya dengan kalo si Killernya dibuat sejago John Wick. The Killer memang membahas psikologi karakter, tapi bukan sebagai pembunuh, melainkan sebagai manusia biasa yang punya kerjaan. Kebetulan kerjaannya menghilangkan nyawa manusia. Film ini justru mengambil approach karakter yang ‘manusia sehari-hari’ tapi pengen sebaik mungkin dalam kerjaannya. Sehingga dia yang tertutup kerap menunjukkan sikap disiplin dan mengulang ‘mantra’ yang merupakan bentuk dari gimana pembunuh bayaran yang sukses. Masalahnya, kegagalan bakal eksis apapun kerjaan kita. Pada intinya, film tentang pembunuh bayaran yang membalas dendam ini ternyata adalah cerita tentang orang yang berusaha sukses dalam karirnya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE KILLER

 




That’s all we have for now.

Jadi, sebesar apakah cinta kalian terhadap kerjaan? Apakah kerjaan kalian memang mendefinisikan siapa sebenarnya diri kalian?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru bisa coba serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PAMALI: DUSUN POCONG Review

 

“When in Rome, do as the Romans do”

 

 

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kita harus ngikutin atau menghormati aturan di mana pun kita berada, dan satu lagi peribahasa yang perlu diingat adalah; lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Setiap tempat atau daerah punya aturan, adat istiadat, kebiasaan yang berbeda-beda. Punya pamali yang berbeda-beda.

Seri film horor Pamali garapan Bobby Prasetyo, dibuat berdasarkan video game dari delevoper asal Bandung, secara khusus mengangkat persoalan pamali sebagai konsep horornya. Di film pertama, pamali gak boleh gunting rambut malam-malam dikembangkan menjadi cerita seorang yang kembali ke rumah masa kecilnya, lalu berkonfrontasi dengan tragedi keluarga yang menghantui rumah tersebut. Pada film kedua ini, sejumlah pamali seperti gak boleh bersiul di malam hari, digodok masuk ke dalam horor survival sekelompok orang di dusun yang terkena wabah. Yang bikin menarik adalah, pelanggaran pamali tersebut dihadirkan dengan ‘twist’. Karakter-karakter di sini aware sama pamali, sama pantangan, mereka gak sompral, tapi mereka tetap diteror pocong-pocong!

Film Pamali pertama punya satu kekurangan mendasar, yaitu terlalu ngikut game, padahal gamenya sendiri bukan tipe video game yang sinematik seperti Resident Evil atau Fatal Frame. Game Pamali konsepnya kita memainkan seorang karakter yang mengurusin satu tempat, pilihan yang kita lakukan saat berinteraksi dengan keadaan sekitar, akan menghantarkan kita kepada pengalaman horor yang berbeda-beda. Pada game pertama, kita jadi orang yang bersihin rumah sebelum dijual. Film Pamali pertama beneran ngikut, protagonisnya beneran cuma bersih-bersih rumah selama tiga hari sembari bertemu banyak kejadian mengerikan. Film itu jadi agak monoton. Kekurangan tersebut berusaha diperbaiki pada film kedua, yang diangkat dari panggung kedua game Pamali yang pemain menjadi seorang tukang gali kubur yang menghabiskan hari ngurusin tetek bengek areal pemakaman. Film kali ini actually mengembangkan situasi tersebut. Mengadaptasi ke situasi yang lebih cocok sebagai penceritaan film. Dusun terpencil. Masalah baru ditambahkan. Karakter-karakter ditambahkan. Sehingga film kedua ini selain terasa bigger, juga terasa lebih ‘sinematik’. Tanpa meninggalkan ruh gamenya. Para penggemar gamenya akan ‘dihibur’ oleh banyaknya referensi atau easter egg yang dihadirkan film yang mengacu kepada momen atau detil-detil kecil pada game.

Naik perahu dulu, baru jalan kaki susur hutan selama kurang lebih tiga jam. Sejauh itulah lokasi dusun tempat tiga orang nakes dan dua penggali kubur, karakter-karakter cerita, ditempatkan. Tempat terisolasi yang perfect banget buat panggung cerita horor. Terinspirasi mungkin oleh pandemi COVID kemaren yang banyak orang meninggal dan mayatnya diperlakukan khusus karena takut menular, dusun di sini juga bergelimpangan oleh mayat. Warganya kena wabah misterius yang menyebabkan kulit mereka bernanah-nanah. Para karakter kita tadinya dipanggil untuk membantu merawat warga yang sakit, serta menguburkan yang wafat. Dengan rate kematian yang tinggi dan obat-obatan yang minim, mereka pikir bahaya di sana cuma ikutan tertular. But soon enough, mereka menyadari ada yang gak beres di dusun itu. Pada warga dan kebiasaan mereka. Salah satunya, warga suka bersiul di malam buta. Teror pocong yang mengancam nyawapun tak terelakkan tatkala para karakter tanpa sadar melanggar pantangan di sana.

Disiulin tapi bukan cat-call

 

Dengan set up dan setting yang lebih klop buat horor survival yang lebih punya ruang untuk kreativitas, film Pamali kedua ini ternyata masih belum terasa benar-benar sempurna, Karena sekarang kurangnya malah pada plot. Cerita kali ini lebih kepada meletakkan karakter di suatu keadaan, dan reaksi dari mereka-lah yang membentuk jalan cerita. Alih-alih sebuah cerita yang tersusun oleh motivasi dan journey karakter utama. Tidak ada karakter yang punya kaitan personal dengan dusun atau wabah, like, tidak ada yang tadinya berasal dari dusun itu lalu kembali ke sana, atau semacamnya. Tidak ada yang punya motivasi khusus, goal pribadi yang ingin dicapai. Para nakes, Mila (Yasamin Jasem), Gendis (Dea Panendra), dan Puput (Arla Ailani) cuma ingin membantu warga, sesuai tugas mereka. Para penggali kubur, Cecep (Fajar Nugra) dan Deden (Bukie B. Mansyur) bertugas menguburkan jenazah. Mereka hanya kebetulan ditempatkan di sana. Protagonis utamanya pun sebenarnya kurang jelas.

Dilihat dari gamenya sih, yang jadi tokoh utama adalah Cecep. Di film ini sepertinya juga Cecep-lah yang paling dekat sebagai sosok tokoh utama, karena memang aksi darinya lah yang memantik konflik dan nanti penyelesaian masalah juga datang darinya. Ada momen yang kamera dari pov Cecep juga, sebagai momen reference film kepada game Pamali yang memang pakai sudut pandang orang pertama (alias karakternya gak kelihatan) Tapi yah, karakter Cecep di sini bentukannya jauh dari gambaran seorang hero pada umumnya. Jangan bayangkan dia kayak Undertaker di WWE. Cecep ini undertaker yang sangat merakyat. Nyunda. So laid back. Yang lucunya lagi adalah Cecep juga ada di film pertama, yang meranin juga Fajar Nugra. Ku gak yakin apakah memang dua Cecep itu adalah karakter yang sama, apakah ini universe yang sama, tapi yang jelas Cecep bisa kita sebut sebagai ‘maskot’ buat film Pamali. Film kali ini jadi ‘hidup’ berkat Cecep, suasana antarkarakter jadi cair berkat Cecep. Dari Cecep, cerita akan bergulir kepada sudut karakter-karakter lain. Mungkin inilah cara film menutupi kekurangan pada plot. Karena paling enggak, sekarang penonton jadi tertarik ngikutin naksir-naksiran antara Cecep dengan Mila.

Ju-On (horor populer dari Jepang) dan sekuel-sekuelnya, menggunakan banyak perspektif karakter untuk menutupi cerita yang minim plot. Film Ju-On sebenarnya hanya bercerita tentang misteri kenapa rumah itu berhantu, kenapa Sadako dan anaknya jadi hantu. Tapi itu diceritakannya lewat berbagai karakter yang pernah menghuni atau bersinggungan dengan rumah tersebut. Jadi filmnya itu kayak dibagi per cerita-cerita pendek yang urutan waktunya random. Keasyikan menontonnya datang dari kita berusaha menyusun cerita-cerita itu serupa menyusun puzzle dan menguak misteri. Pamali: Dusun Pocong juga berkembang dengan mempelihatkan berbagai karakter di dusun tersebut, bedanya film ini tidak memainnkannya ke dalam struktur tersendiri seperti segmen-segmen ala Ju-On. Selain relasi cute antara Cecep dan Mila, kita juga akan melihat peristiwa dari Deden yang tertular penyakit warga dusun, dari Puput yang merasa yakin ada yang masih hidup di antara tumpukan mayat yang belum terkubur (aku paling histeris di bagian ini), dari Gendis yang merasa bertanggungjawab tapi juga kewalahan. Film juga mengangkat sudut dari warga dusun. Dari seorang anak kecil yang ibunya sakit, dan dia juga punya sahabat sepermainan yang telah meninggal. Cerita si anak akan berhubungan dengan subplot Mila yang actually adalah tentang dia ingin menolong anak ini, tapi dilarang oleh Gendis.

Disiulin tapi bukan Hunger Games

 

Cara bercerita Pamali: Dusun Pocong ini ternyata cukup berhasil sebagai tayangan hiburan. Penonton jadi heboh mengikuti, film jadi seru, dan surprisingly jadi cukup kocak. Adegan horornya, however, bukan bahan becandaan. Pocong-pocong  itu terlihat menakutkan. Mereka bikin kita takut sekaligus jijik. Penempatan mereka juga kreatif sekali. Gamenya sendiri memang game horor yang mengandalkan jumpscare, film berhasil mengadaptasi vibe ini. Bermain-main dengan kemunculan pocong. Kadang mereka berdiri begitu saja di latar, bikin jantung kita melengos saat sosoknya terlirik. Kadang mereka muncul dengan suara ketukan, dan mata kita akan menatap layar dengan liar berusaha mencari dan menebak di mana pocong itu muncul. Pamungkasnya ya, jumpscare. Timingnya tepat, dan build up tensinya efektif. Meskipun pocong-pocong ini keluarnya malem, tapi pencahayaan film terukur sehingga kita tidak akan kesulitan melihat apa yang terjadi di layar. Bayang-bayang justru jadi instrumen dalam permainan jumpscare film. Musik yang disuguhkan pun cukup unik. Ricky Lionardi bermain dengan lantunan harmonika, menghasilkan kesan serene, tapi juga mistis. Yang cocok sekali dengan atmosfer dusun yang berduka oleh tragedi tapi juga horor oleh misteri.

Still, naskah yang minimalis left things out too much untuk bisa membuat keseluruhan film jadi benar-benar berbobot. Bahasan kerjaan para nakes tidak banyak dieksplorasi. Bahkan soal keamanan atau precaution untuk gak tertular saja kurang konsisten. Mereka hanya sebatas kewalahan merawat, tapi gak pernah berusaha menjawab apa penyakit ini, enggak concern sepenuhnya pada apa yang menyebabkan penyakit ini dan cara menularnya. Padahal elemen pencarian sebab wabah bakal bisa ngasih stake tambahan, yang makin membatasi gerak karakter. Sehingga nontonnya jadi lebih seru. Misalnya, mereka curiga sama air yang gak bersih, sehingga kini opsi air mereka terbatas. Fokus mereka oleh film hanya ke soal kenapa pocong menyerang mereka. Penyelesaiannya pun sederhana. Persoalan wabah yang tak terjawab membuat wabah ini seperti hanya dijadikan red herring untuk nutupi ‘twist’ bahasan pamali di setiap daerah yang disimpan film sebagai penyadaran terakhir para karakter.

 




Dibandingkan dengan film pertamanya, film kedua ini adalah peningkatan dari sisi hiburan. Horornya lebih seru, survivalnya lebih kerasa, setting dan dunianya juga lebih sinematik, tidak lagi terlalu ikut gamenya yang memang terkonsep horor pada hal-hal rutin. Toh ruh gamenya tetap terdeliver dengan jumpscare dan vibe horor, serta tentu saja lewat cara film mengangkat soal pamali. Kali ini terasa lebih kreatif, karena biasanya horor itu adalah tentang anak kota yang sampai ke desa dan mereka cuek sama pantangan. Di film ini karakternya aware sama pamali, dan berusaha mematuhi sedari awal. Kekurangan film kali ini adalah dari sisi plot. Ceritanya minim, melainkan tentang karakter yang terjebak di suatu situasi sehingga mereka harus bereaksi. Bukan tentang development karakternya itu sendiri. Ini sebenarnya masih bisa ditutupi dengan membuat bentuk tersendiri, seperti horor Jepang Ju-On dengan bentuk puzzle perspektifnya. Film ini hanya kurang bereksperimen saja pada bentuk-bentuk seperti demikian.
Kuberikan 7 out of 10 for PAMALI: DUSUN POCONG

 




 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah daerah kalian punya pantangan yang aneh sendiri dibandingkan daerah lain?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



DI AMBANG KEMATIAN Review

 

“A home renovation can help you make your dreams a reality”

 

 

Di Jawa ada yang namanya pesugihan Kandang Bubrah. Pesugihan yang melibatkan syarat harus merenovasi rumah terus menerus. Bongkar pasang ubin. Bangun-rubuhkan ruangan baru. Pesugihan yang benar-benar ngasih meaning literal bagi kiasan ‘renovasi rumah dapat membantu mewujudkan impian’. Karena kalo orang normal memperbaiki dan menata ulang rumah itu dilakukan supaya menghasilkan kesan fresh, selain juga sebagai perlambangan bagaimana menata kehidupan sejatinya membutuhkan perjuangan. Sedangkan di ritual ini, ya bikin rumah senantiasa berantakan kayak kandang benar-benar harus dilakukan kalo mau kaya mendadak. Siapa coba yang gak punya mimpi jadi orang kaya. Horor karya Azhar Kinoi Lubis yang diangkat dari thread viral ini secara khusus memotret keluarga yang bapak-ibunya pengen kaya sehingga rela melakukan pesugihan Kandang Bubrah. ‘Potret’ yang bisa ditebak bakal merah oleh darah. Tapi yang membedakan film ini dengan horor-horor ritual yang banyak beredar di kita – yang membuat film ini one of the better Indonesian horrors out there – adalah film ini benar-benar menggali drama tragis dari keadaan keluarga yang terjebak hal horor tersebut. Lebih kayak drama tentang keluarga tragis, dengan tema horor. Dare I say, film ini ada di kotak  yang serupa dengan Hereditary (2018) meski memang penggarapannya belum sebagus itu.

Rumah dibangun dari bata, balok kayu, dan material lain. Sementara rumah tangga harusnya dibangun dari rasa cinta dan kasih sayang. Kadang kita lupa, kebahagiaan dan kesejahteraan di dalam rumah tangga bukan terutama didapat dari harta dan materi.

 

“Nurut sama bapak, kalo mau hidup kalian selamat” pesan terakhir ibu yang selalu diingat oleh Nadia. Malam tahun baru 2002, Nadia yang saat itu masih kecil menyaksikan sendiri kematian mengenaskan dari ibunya yang sudah lama sakit. Apakah ibu gak nurut sama bapak sehingga berakhir naas begitu? Nadia gak ngerti juga. Yang jelas kini dia dan Yoga, kakaknya, tinggal bertiga saja dengan bapak di rumah mereka yang selalu ramai oleh tukang yang bekerja. Meski Nadia ingin menaati nasihat ibu, tapi nurutin perintah bapak seringkali jadi hal yang susah untuk dilakukan. Karena perintah bapak itu aneh-aneh. Jangan bersihin rumah. Jangan masuk ke ruang kerja bapak.  Jangan tanya-tanya kenapa bapak sering bawa kambing ke kantor! Yoga sering dimarahi bapak karena gak mau nurut. Saat remaja, Nadia dan Yoga akhirnya tahu rahasia pesugihan bapak. Pesugihan itulah yang ternyata mengambil nyawa ibu, dan akan menagih kembali nyawa mereka satu per satu setiap sepuluh tahun sekali!

Kamarku juga suka berantakan sampai-sampai dikira lagi pesugihan

 

Yang paling sering jadi keluhanku saat nonton horor lokal kontemporer adalah terlalu bergantung sama plot twist. Seolah cerita tu gak seru kalo enggak dikasih kejutan, entah itu siapa sebenarnya yang jahat, atau apa yang sebenarnya terjadi. Padahal sebenarnya ide atau materi cerita horor kita banyak yang menarik. Tapi bahasannya jadi dangkal, karena filmnya hanya jadi sebatas kejadian ‘ternyata’. Bahasannya sengaja disimpan sebagai plot twist. Yang bahkan enggak ‘cerdas’ karena penonton seringnya bisa menebak duluan. Langkah bijak pertama yang membuat Di Ambang Kematian berada di posisi bercerita yang lebih baik daripada kebanyakan horor adalah, film ini gak peduli sama membuat plot twist. Perkara bapak ternyata melakukan pesugihan tidak disimpan sebagai revealing mengejutkan di akhir. Pun si bapak tidak lantas diungkap sebagai orang yang ternyata ‘jahat’.

Cerita Di Ambang Kematian berjalan linear, dalam span dua puluh tahun. Kita akan ngikutin Nadia dari kecil hingga dewasa. Sehingga journey karakternya itu beneran kerasa. Bapak ternyata melakukan pesugihan sudah diungkap, bukan sebagai kejutan melainkan sebagai plot poin untuk cerita masuk ke babak berikutnya. Ke lapisan berikutnya. Karena di cerita ini, melakukan perjanjian dengan iblis tidak lantas dicap sebagai perbuatan dari seorang yang jahat. Film ini menjadikan hal tersebut sebagai bahasan yang worth untuk di-examine. Keluarga yang pengen berkecukupan, tapi lantas bablas dan harus menanggung akibatnya. Film berusaha membuat kita simpati kepada karakter, despite flaw mereka. Meskipun kita tahu tindak pesugihan bukanlah perbuatan yang benar. Aku surprise banget sama depth yang berusaha digapai cerita tatkala Nadia yang sudah jadi Taskya Namya memilih untuk membantu bapaknya menyiapkan ritual potong kambing. Dia nurut bapak, bukan karena pengen kaya, tapi itulah satu-satunya cara keluarga mereka bisa terbebas dari tuntutan si setan kambing. Layer seperti ini kan jarang banget di film horor kita yang kebanyakan menempatkan protagonis sebagai seorang yang terjebak di kejadian horor dan cuma harus survive. Di film ini kita melihat seorang bapak yang sebenarnya sangat menyesal tapi tidak punya pilihan lain, seorang anak yang tetap ingin berbakti walaupun kondisi mereka bisa dibilang sebuah mimpi buruk. Momen langka buatku di film horor ada adegan anak ngelawan orangtua, tapi kemudian menyadari keadaan. Film ini tidak membenarkan pesugihan, tapi membuat kita merasakan dramatic irony karena in the end kita tahu mereka sekarang cuma ingin selamat hidup-hidup sebagai keluarga yang ‘utuh’

Penulisan karakter dan departemen akting keep story afloat. Para pemain menghidupkan drama tragis dan teror menakutkan yang menimpa keluarga mereka. Kesan traumatis, kesan telah melalui banyak juga tergambar lewat progres seiring dengan periode cerita berjalan. Cerita yang waktunya melompat-lompat itupun tidak jadi terasa terputus-putus. Karakter mereka kontinu. Nadia dan Yoga Kecil juga sudah diberikan karakterisasi. Karena cerita yang berjalan linear, porsi mereka saat masih kecil jadi bagian yang penting sebagai fondasi karakter mereka nanti saat sudah dewasa.  Mereka tidak sekadar jadi ‘korban’ gangguan setan, tidak sekadar disuruh teriak-teriak saat melihat ibu mencemplungkan wajah ke air panas. Sehingga film ini sama sekali tidak terasa seperti eksploitasi karakter anak di dalam genre horor. Meskipun memang horor yang ditampilkan termasuk cukup grotesque. Like, orangtua yang nekat bawa anak kecil masuk dijamin bakal nyesel udah melanggar penerapan batas umur. Tujuh belas plus itu sudah tepat. Gimana enggak, di film ini adegan pembunuhan dari iblisnya pasti bakal membekas karena digambarkan sadis, bayangkan gimana gak trauma anak saat melihat kekerasan berdarah-darah itu menimpa karakter yang seorang ibu, kakak, anggota keluarga yang relate banget dengan kehidupan sehari-hari.

Jangan genrenya yang dijadiin kambing hitam

 

Sedari menit awal, film sudah ngasih aba-aba teror seperti apa yang bakal dihadirkan. Sesuram dan disturbing apa tone yang bakal digambarkan. Film dimulai dan kita disambut suara lalat di suatu tempat di rumah mereka, buatku ini jadi ‘warning’ yang fun. Secara desain, hantu-hantunya (si hantu tinggi itu!) dan makhluk kambing menyerupai iblis Baphomet yang meneror para karakter memang terlihat mengerikan. Film bermain-main dengan gerak kamera dan editing, menghasilkan kesan kengerian mental yang juga merasuk ke benak kita. Karena hantu dan monster itu muncul sekelebatan, dan film tega untuk menjadikan jumspcare. Terkadang para aktor memainkan versi kesurupan dari karakter mereka, dan itu penggambarannya cukup gila. Bit terakhir dengan Teuku Rifnu Wikana bahkan nails vibe surealis dan teror psikis dengan ‘manis’.  Film juga merambah body horror untuk adegan-adegan kematian dijemput si iblis. Momen-momen horor di sini intens. Cuma salahnya, pencahayaannya agak sedikit terlalu gelap untuk bisa sepenuhnya dinikmati oleh kita. Acapkali rasa takut itu datang ‘telat’ karena aku harus sibuk dulu menyipitkan mata berusaha mencerna hantu seperti apa yang ada di layar, atau just mencerna apa yang sedang terjadi sama karakter di tengah malam listrik mati tersebut.

Selain momen terlalu gelap itu, aku juga terlepas dari mood yang dibangun saat film mulai mengeluarkan dialog-dialog yang dramatisasinya agak sinetron-ish. “Tampar saja, Pak!” Menurutku film ini lebih kuat saat langsung memperlihatkan tindakan karakter, misalnya ketika Yoga yang awalnya ogah nurut Bapak akhirnya ikut membantu Nadia mencangkul kubur untuk kambing selesai disembelih saat ritual. Narasi voice over Nadia yang mengisahkan kejadian hidupnya juga terkadang agak redundant. It works ketika voice over itu dilakukan untuk menjembatani gap antara periode waktu-cerita. Tapi terasa kurang diperlukan ketika hanya menarasikan kejadian yang secara bersamaan kita lihat di layar. Bapak tampak menguatkan diri demi menolongnya, buatku sudah cukup terdeliver dari akting dan kejadian di layar saja. Tapi mungkin voice over itu diperlukan demi mencuatkan thread horor yang jadi materi asli cerita. Supaya penonton ‘gak lupa’ kalo film ini diangkat dari kata-kata yang ada di thread tersebut. Sebab tentu bagi penonton yang ngikutin sedari threadnya, aspek-aspek yang mereferensikan hal tersebut bakal membuat film lebih menimbulkan kesan.

Kayak karakter Bastala, yang diperankan oleh Giulio Parengkuan. Teman SMA Nadia yang concern sama apa yang terjadi pada cewek itu, dan menyarankannya untuk menuliskan pengalamannya. Karakternya kan sebenarnya gak esensial, secara cerita, Bastala juga gak actually punya arc atau something yang benar-benar paralel untuk development Nadia. Karakter ini bisa saja di-write off, tapi ya itu tadi, aku paham kepentingannya harus ada. Karena mungkin dialah sosok di balik thread, orang yang mengumpulkan kisah yang dialami Nadia. Menurutku film harusnya took more liberty, secara kreatif, untuk penempatan karakter ini. Memilih, either mau dihilangkan, atau lebih dibuat berperan secara langsung, supaya bentuk penceritaan filmnya terasa lebih enak.

 

 




Horor memang bukan cuma soal hantu-hantuan, bunuh-bunuhan. Ada cerita manusia di dalamnya. Manusia yang terjerumus masuk ke jalan yang salah, misalnya. Film ini paham bahwa horor pertama-tama haruslah berangkat dari tragisnya manusia, kemudian baru menjadikannya sajian horor yang sadis dan teror yang menakutkan (kalo buat genre horor, ini disebutnya ‘sajian yang menyenangkan’) Cerita keluarga yang jadi pusatnya, membuat film ini sebuah pengalaman emosional yang menarik untuk diikuti. Membuat film jadi punya nilai lebih, enggak sekadar jumpscare-jumpscarean. Toh di bidang itu, film juga tidak kalah asyik. Naskah sudah runut dan gak terjebak ngasih plot twist yang gak perlu. Hanya arahan saja yang agak kurang kuat, karena film ini ada di posisi sebagai adaptasi dari thread. Posisi yang membuatnya harus ‘ngikut’ materi walau masih cukup banyak yang perlu diluruskan agar lebih enak sebagai penceritaan film.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DI AMBANG KEMATIAN.

 




That’s all we have for now.

Kandang Bubrah hanyalah satu dari banyak lagi ritual pesugihan yang berkembang di masyarakat. Apakah kalian tahu yang lainnya?

Share di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KISAH TANAH JAWA: POCONG GUNDUL Review

 

“Study the past if you would define the future”

 

 

Kisah-kisah dari tanah Nusantara memang tak ada habisnya. Keragaman suku, adat istiadat, hingga kepercayaan beragama membuat Indonesia bagai sebuah sumur minyak ide cerita yang senantiasa mengalir. Problemnya memang  soal pengisah cerita harus tahu di mana harus menggali. Lalu bagaimana mengolahnya. Ide membuat kisah horor berkelanjutan dari mitologi khas Jawa memang menarik. Dengan pengalamannya menggarap horor terlaris serta horor dengan makhluk khusus, Awi Suryadi di posisi sutradara tampak seperti tawaran yang cukup menjanjikan. Like, aku tertarik untuk melihat gimana dia bakal menghidupkan sosok-sosok horor dalam legenda. Tapi balik ke problem ‘gali sumur minyak’ tadi. Arahan horor Awi hanya bisa terlaksana maksimal jika dibarengi oleh naskah yang tahu di mana harus menggali dan mengolah kisah-kisah adaptasi ini. Dulu pernah jadi serial, kini Kisah Tanah Jawa tampak memulai proyek pertama dari universe kisah horor ini dengan Pocong Gundul, namun sedari film krusial ini kelemahan penulisan sudah amat kentara.

Konsep baru dari dunia parapsikologi diperkenalkan oleh film ini. Konsep retrokognisi. Basically, itu adalah istilah untuk kemampuan paranormal bisa melihat masa lalu. Dalam film ini, retrokognisi bahkan bisa melakukan perjalanan ke masa lalu. Hao yang mewarisi kemampuan itu dari sang Eyang, tinggal memegang benda milik seseorang lalu dia bisa melihat apa yang terjadi pada empunya barang tersebut di masa lalu. Tadinya kemampuan ini Hao gunakan untuk kepentingan mengungkap sejarah. Tapi sepasang suami istri yang hadir di seminar Hao meminta pertolongan untuk mencari anak gadis mereka yang hilang. Dengan kemampuan retrokognisi, Hao mencoba menemukan siswi yang hilang di sekolah. Aksi Hao tersebutlah yang membuat Pocong Gundul, hantu produk ilmu hitam yang menculik si siswi, jadi turut mengincar nyawanya.

Kenapa mantra-mantra bahasa Jawa terdengar lebih mengerikan?

 

Penggambaran horor yang dilakukan film terhadap konsep paranormal tersebut cukup kreatif dan menyenangkan. Karena yang sebenarnya ‘pergi’ ke masa lalu dalam retrokognisi film ini adalah ‘qorin’ dari Hao yang melihat semua peristiwa sebagai empunya barang yang dijadikan medium, maka yang kita lihat adalah Deva Mahenra duduk di sana tapi dari pantulan cermin-cermin yang ada kita dapat melihat sosok ‘aslinya’, yaitu Sari si siswi yang hilang. Untungnya film punya efek dan teknis yang mumpuni untuk menjelajahi ‘lapangan bermain’ yang unik dari elemen horornya tersebut. Kita juga enggak susah menyejajarkan diri dengan karakter, lantaran Hao di sana juga sama dengan kita, mengalami ketakutan yang dirasakan Sari saat kejadian. Jadi jumpscarenya akan efektif, permainan kameranya akan benar-benar terasa membangun ke antisipasi kita untuk kejadian horor. Bukan hanya itu, film ini juga berhasil memvisualkan ketakutan psikologis Sari dan Hao, di antaranya lewat estetik kain kafan dan tanah kuburan, serta – ini yang menarik dan menurutku kurang banyak dieksplorasi; elemen body horror.

Apalah horor berkearifan lokal tanpa ilmu hitam. Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul juga mengeksplorasi soal klenik, menyandingkannya dengan pseudo-science. Ritual santet hingga kekuatan si Pocong yang melahap sukma manusia lewat ujung jari, semua itu mengarah kepada adegan-adegan ‘gangguan’ pada anggota tubuh manusia. Kita melihat karakter menjerit histeris saat tubuh mereka melakukan hal di luar normal; bola mata yang membesar hingga pop out dari lubangnya, misalnya. Hanya saja, adegan-adegan horor yang kuat ini tidak ditimpakan kepada karakter utama. Deva Mahenra tampak sudah siap untuk tampil total, tetapi karakternya tidak banyak mengalami development. Secara scare pun, karakter Sari yang diperankan natural oleh aktor remaja Nayla D. Purnama, terasa dapat adegan yang jauh lebih mencekam.

Padahal kalo dilihat-lihat, desain journey Hao sebenarnya mirip dengan Qodrat (2022). Film ini ngeset up cerita yang membuka untuk petualangan-petualangan Hao selanjutnya sebagai pembasmi hantu pengganggu manusia. Tapi tidak seperti Ustadz Qodrat, Hao tidak terasa seperti earned petualangan tersebut. Karena Hao masih minim penggalian karakternya. Dia ‘cuma’ berubah dari orang yang menggunakan ilmunya sebagai bahan seminar, menjadi seorang ‘pahlawan’. Perubahannya tersebut minim inner journey, melainkan cuma karena si Pocong Gundul juga sekarang mengincar dirinya. Hubungan Hao dengan karakter lain juga tidak ter-flesh out. Persoalan yang  dibuka di bagian awal, tentang dia yang masih kecil dengan kejadian yang menimpa eyangnya, tidak pernah dijadikan hook dramatis oleh cerita. Sehingga plot film ini kerasa hampa. Ini jadi keputusan yang aneh karena set upnya itu sendiri dimainkan dengan dramatis, seolah bakal berpengaruh kepada Hao saat dewasa. Eyang meminta Hao kecil untuk stay selama eyang retrokognisi ke masa lalu, tapi Hao malah pergi main ke luar rumah bersama Rida, sahabatnya. Like, aku nungguin sepanjang durasi kapan Hao dewasa merasa bersalah atau terguncang oleh peristiwa kematian eyangnya. Tapi hook dramatis yang penting sebagai bangunan karakternya itu tidak ada. Karakter Hao berjalan lempeng aja. Sehingga ketika dia diganggu hantu pun, gangguannya tidak benar-benar terasa ngaruh ke emosi kita. Stake dia ngelakuin retrokognisi juga tidak dibangun, ya aturannya, pantangannya, atau semacamnya, padahal sudah dilandaskan bahwa kemampuan tersebut berbahaya.

Biasanya, kisah tentang orang yang bisa ke masa lalu, akan berkaitan dengan bahasan entah itu dia memperbaiki satu hal kecil, atau konfrontasi dengan hal di masa lalu, atau yang lainnya seputar gimana masa lalu itu jadi pembelajaran baginya untuk menangani masalah di masa sekarang. Film ini melibatkan karakter yang ke masa lampau katakanlah untuk mencari info ngalahin setan, tapi secara keseluruhan film ini terasa kosong karena gak actually punya sesuatu di balik ‘perjalanan’ itu terhadap perkembangan karakter utamanya. 

 

Penceritaan tidak terbantu oleh tone yang terasa ke mana-mana. Film ini seperti mengincar horor yang serius menakutkan, namun itu tidak pernah tercapai karena seringkali film malah jatohnya lucu. Della Dartyan berperan sebagai Rida, sahabat yang menjaga Hao saat melakukan perjalanan mistis, lucunya dia berakting seperti sedang dalam sebuah film komedi. Tau gak gimana superhero Marvel seringkali nyeletuk konyol saat bertarung melawan supervillain, di tengah bahaya mengancam dunia? Nah, Rida-nya Della seringkali nge-Marvel-in kisah horor ini. Buatku yang ingin ngerasain feeling horor, ini annoying. Tapi toh penonton lain pada ketawa. Jadi mungkin baiknya memang film ini dijadikan horor komedi saja. Lagipula lihat saja desain makhluk Pocongnya. Aku gak tau di mana letak seramnya pocong yang gundul, atau bahkan apakah hantu yang kepalanya gundul masih layak disebut pocong karena kalo kita bisa melihat palanya gundul berarti dia sudah bukan hantu yang terbungkus kafan lagi…. Jujur saja, penampakan hantu itu saat bersosok Iwa K. justru jauh lebih creepy dan disturbing. Saat full make up pocong gundul, kesan seramnya hilang. Tinggal ngagetin doang. Ditambah pula si Rida dengan cueknya memanggil-manggil dia dengan sebutan ‘Gundul’. Aspek paling seram dari si Pocong Gundul adalah fakta bahwa senjata andalannya adalah ludah asam! Kupikir, damn, mungkin dia semasa hidup suka main sebagai Reptile di Mortal Kombat

Bikin martabat pocong terjun bebas aja!

 

Sekiranya kita enggak tahu film ini diadaptasi dari buku cerita, penonton film yang sudah fasih sama bentuk penceritaan film pasti akan bisa menebak kalo cerita film ini aslinya adalah dari buku. Darimana bisa ketebak? Dari penceritaan yang terlalu bergantung kepada eksposisi lewat narasi. Lewat info yang ‘diceritakan’ oleh karakter. Naskah film ini masih belum luwes dalam mengadaptasi penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan, misalnya soal retrokognisi itu apa, pocong gundul itu aslinya dari siapa, dan sebagainya; penjelasan-penjelasan itu masih dituturkan begitu saja oleh karakter. Mereka mendiktekan penjelasan itu, hampir seperti aktornya tinggal membacakan teks saja. Seharusnya naskah yang baik bisa menerjemahkan itu ke dalam bentuk penceritaan yang lebih kreatif. Membuat adegan penjelasan yang lebih mengalir dan tidak seperti kita mendengar orang membaca bahasa tulisan. Karena produk naskah kan sebuah film, tayangan audio visual yang harusnya lebih sebagai sebuah memperlihatkan, daripada hanya memperdengarkan.

Saking banyaknya eksposisi,  nonton film ini hampir seperti kayak dengerin mumbo jumbo omong kosong doang. Masih mending nonton Tenet, yang walaupun dialognya juga penuh penjelasan teori fisika kuantum or whatever that is, tapi setidaknya itu adalah pengetahuan yang ada bobot kebenarannya. Sedangkan pada Pocong Gundul ini, semuanya terasa tanpa bobot. Tau dong pepatah ‘air beriak tanda tak dalam’? Nah, film Pocong Gundul yang ceriwis ini juga seringkali malah jatoh bego oleh dialog ngasal dan lemah logika yang mereka punya. Salah satu yang menurutku fatal karena merusak penerimaannku terhadap logika-cerita mereka adalah soal siswa yang hilang di sekolah, yang kata gurunya sudah dicari-cari ke hutan belakang tidak ketemu, padahal siswa itu ada di dalam sumur yang ada di sana. Masa iya saat pencarian gak ada yang mencari ke dalam sumur – yang bahkan lokasi sumurnya sama sekali tidak tersembunyi ataupun sulit dijangkau. Apalagi peristiwa kehilangan tersebut bukan yang pertama kali, melainkan sudah ada dua kejadian sebelumnya. Buatku ini adalah gejala sebuah penulisan yang malas. Peristiwa seputar misteri hilangnya siswa tersebut mestinya bisa ditulis dengan lebih baik lagi.

 

 




The actual horrifying truth adalah mereka akan terus membuat horor berkualitas subpar seperti ini. Tidak peduli sekeras apapun kita mengkritik. Tetap tidak akan ada perbaikan. Karena film-film seperti ini akan terus laku. Palingan tampilannya saja yang seiring berjalan teknologi akan semakin cakep, dan mulus, dan teknisnya makin bagus. Adegannya semakin sadis. Sementara ceritanya, sebaiknya kita melihat ke belakang dan tidak berekspektasi banyak. Ragam budaya dan seni dan nilai lokal tanah air akan terus dieksploitasi sebagai cerita horor ala kadar, yang bahkan untuk memenuhi fungsi sebagai melestarikan budaya/seni itu saja belum bisa. Mereka hanya akan jadi latar untuk horor-horor seperti ini. Konsep unik yang ditawarkan akan lenyap di tengah-tengah cerita, seperti hantu yang dibacain Ayat Kursi. The new low buat horor lokal adalah saat hendak menontonnya kita memang tidak mengharapkan yang muluk-muluk, tapi somehow begitu filmnya usai kita tetap merasa kecewa. Aku merasakan itu di film ini.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for KISAH TANAH JAWA: POCONG GUNDUL

 

 




That’s all we have for now.

Kalo buatku, bahasa Jawa itu terdengar lebih mengerikan ketika dijadikan mantra atau tembang horor. Apakah ada yang sependapat? Atau ada yang ngerasa lebih seram daerah lain? Kenapa ya setiap orang bisa berbeda gitu?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE BOOGEYMAN Review

 

“Now you will know why you are afraid of the dark…”

 

 

Monster di dalam lemari. Meskipun bentuknya berbeda-beda tergantung kepercayaan dan lingkungan masing-masing, toh ternyata anak-anak di seluruh belahan dunia punya ketakutan yang sama. Kita semua takut sama sesuatu yang mengintai dari balik kegelapan. Yang membuat kita lebih suka tidur dengan lampu menyala, dan will never ever  in million years mengintip kolong tempat tidur. Kita percaya ada sesuatu di dalam hitam pekat itu, ada apapun momok yang kita takuti. Menurut kepercayaan rakyat kita, ada yang namanya wewe gombel, misalnya. Hantu perempuan yang suka menculik anak kecil yang ‘nyasar’ ke tempat gelap. Jangankan anak biasa seperti kita, anak-anak penyihir aja takut Boogeyman, kok. Buktinya di Harry Potter, J.K. Rowling menulis yang namanya Boggart; makhluk yang suka ngumpet di dalam benda-benda seperti lemari dan menjelma menjadi hal yang paling ditakuti oleh orang yang melihatnya. Lain lagi menurut penulis horor nomor satu, Stephen King, Di dalam benaknya, Boogeyman atau momok punya akar yang lebih personal. Ketakutan turun-temurun terhadap kegelapan dimainkannya di ranah psikologis saat dia menulis cerita The Boogeyman. Kisah seorang ayah yang ke terapi, mengaku tiga anaknya dibunuh oleh ‘monster dari dalam lemari’. Penulisan King yang begitu detil, tapi juga begitu misterius, mengangkat kesan mendua –  bahwa mungkin si ayah itulah pelaku sebenarnya. Bahwasanya Boogeyman bisa jadi hanyalah produk dari kepala yang penuh stress dan jiwa yang tertekan. Kisah tersebut kita dapatkan muncul dalam adegan film The Boogeyman yang diadaptasi oleh sutradara Rob Savage. Tapi alih-alih fokus menggali itu, Rob mencari lubang galian yang baru. Lubang tempat dia bisa menonjolkan momok itu lebih sebagai makhluk fisik di atas cerita psikologis tentang kehilangan.

Dengan kata lain, The Boogeyman yang kita saksikan merupakan adaptasi yang bisa dibilang sangat lepas. Rob membuat karakter baru, menciptakan persona baru dari karakter yang sudah ada. Salah-salah, yang dia buat ini bisa jatoh sebagai fan-fiction, alih-alih adaptasi. But hey, aku gak bilang film ini jadi jelek hanya karena gak memfilmkan actual story dari Stephen King. Afterall, dari keberadaan Boogeyman itu sendiri kita tahu bahwa kita semua punya ketakutan yang sama, hanya bentuk atau perwujudannya saja yang berbeda. Jadi yah, kalo mungkin menurut pembuat film ini, bentuk yang lebih beresonansi buat penonton kekinian adalah yang lebih genjar-genjer dan physically seperti ini, ya mari kita nilai film ini sesuai bentuk itu sendiri.

Momok monster di dalam lemari juga bisa jadi cerita lucu, misalnya yang dibuat oleh Pixar

 

Dosa film ini sebenarnya ‘cuma’ jadi generik. Secara cerita, The Boogeyman gak benar-benar groundbreaking. Kayak udah banyak cerita kehilangan yang seperti ini. Jadi, therapist yang ada di cerita pendek aslinya, di sini dikembangkan punya keluarga. Dua orang anak perempuan, yang satu masih kecil, yang satu lagi sudah SMA. Keluarga ini kehilangan sosok ibu yang tewas kecelakaan. Kehilangan tersebut lantas membekas pada anak-anaknya, terutama pada tokoh utama cerita, si cewek remaja, Sadie. Yang di adegan pembuka kita lihat nekat ke sekolah pakai baju milik sang ibu. Perfectly ngeset gimana dia menolak untuk melupakan sosok tersayangnya itu. Namun itulah yang justru jadi jalan masuk bagi Boogeyman ke rumah mereka. Dibawa oleh Lester Billings dalam adegan yang diangkat dari cerita aslinya, si Boogeyman yang merasakan grief yang besar di rumah Sadie, jadi kerasan. Tiap malam Boogeyman datang dari sudut-sudut gelap, mengganggu Sadie dan adiknya. Menggunakan rasa kehilangan mereka untuk meneror. Udah kayak kucing aja, si Boogeyman ini senang bermain-main dengan mangsa sebelum melahap mereka.

Teror yang dihadirkan dari si momok ini sebenarnya cukup seru. Apalagi di awal-awal, saat film belum serta merta menunjukkan sosoknya. Melainkan hanya lewat suara. Si Boogeyman bisa meniru suara orang, dan sebagian besar adegan seram didatangkan dari gimana satu karakter ‘dikecoh’ oleh suara yang ia sangka suara keluarganya. Si Sadie dengan suara ibunya, misalnya. Film The Boogeyman masih seram, saat bermain dengan konsep begini. Ketika hanya suara, dan sosok monsternya masih tak jelas terlihat oleh kita. Yang paling sering dapat adegan seram sih sebenarnya adik si Sadie, si Sawyer (diperankan oleh aktor cilik Vivien Lyra Blair dengan – intentional or not – cukup kocak). Ada sekuen dia harus keluar dari kamar dengan penerangan hanya dari lampu bulan kesayangannya. Atau ketika adegan dia harus terapi untuk menghilangkan ketakutannya akan gelap. Saat adegan-adegan tersebut, kita hanya diperlihatkan sekelebat dari si monster, sehingga ruang kita berimajinasi masih ada. Misterinya jadi kerasa mengerikan. Sayangnya, film ini bertujuan bikin si Boogeyman literally jadi monster yang harus dikalahkan kayak di film-film horor creature. Sehingga film butuh untuk mereveal wujudnya, dan hilanglah sudah semua kemisteriusan yang jadi sumber keseraman itu. Desain si Boogeyman agak kurang menyeramkan bagi kita, yang lebih takut ke hantu-hantuan. Tapinya lagi, aku bisa membayangkan makhluk hitam berkaki banyak seperti itu sangatlah mengerikan bagi anak-anak barat yang memang di sana, ketakutan pada laba-laba jadi ketakutan yang umum.

Saking sering lucu, aku malah ngira si adek nangis karena kakaknya salah cabut gigi yang sakit

 

Padahal monster Boogeyman di dalam film ini sebenarnya masih mengandung makna penyimbolan. ‘Dosa’ film sebagai sajian generik monster mengerikan sebenarnya gak harus jadi ‘big deal’ jika film mampu menguatkan penyimbolan tersebut. Atau seenggaknya gak membuat perhatian kita melulu tertuju pada makhluk yang gak lagi universally mengerikan. Keadaan si Sadie, ‘drama’ dia harusnya tetap jadi poin vokal. Keberadaan si monster sebenarnya berkaitan erat dengan yang dirasakan oleh Sadie.  Kita bisa lihat Sophie Thatcher memainkan karakter itu sebagai orang yang penuh duka. Dia sampai berusaha memanggil arwah ibunya. Maka, monster itu sebenarnya adalah duka yang tak tersalurkan dengan baik. Dia tidak bisa membicarakan masalahnya dengan ayah – yang memilih untuk tampak tegar karena sebagai therapist dia tidak boleh terlihat rapuh oleh orang lain. Secara metafora, Sadie lebih memilih berada dalam kegelapan duka, daripada melupakan sang ibu. Keluarga Sadie memilih untuk menyimpan masalah itu di dalam ‘lemari hati’ masing-masing. Pembelajaran Sadie adalah untuk meluapkan dan melupakan, supaya bisa move on. Yang diparalelkan oleh film dengan cahaya atau api sebagai cara mengalahkan Boogeyman. Sadie harus membakar si monster, yang berujung dia juga membakar habis benda-benda yang mengingatkannya kepada ibu.

Jadi itulah kenapa kita takut gelap. Gelap merepresentasikan hal-hal yang tidak kita ketahui, ataupun sesuatu yang berusaha kita sembunyikan, dan kita terlalu takut untuk melangkah ke dalamnya, meskipun jika melangkah itu dilakukan untuk menyalakan lampu. Film ini suggests cara untuk berani dengan kegelapan bukanlah dengan melatih diri di dalam kegelapan itu, melainkan berani untuk menyalakan api. Melawannya.

 

Harusnya film ini lebih banyak bermain di ranah horor yang lebih grounded tersebut. Mengangkat hal-hal seram dari gimana Sadie yang memilih untuk berkubang dalam kenangan kepada ibu, menjalani harinya. Adegan-adegan dia di sekolah, membuat keputusan yang salah saat berinteraksi dengan temannya – sadar atau tidak; harusnya adegan itu yang jadi pilar karena di situlah dampak dari sikapnya terwujud. Bahwa Boogeyman bagi Sadie bisa muncul di mana saja sudut-sudut gelap dia berada, karena figuratively, Sadie membawa kegelapan itu bersamanya. Di hatinya. Serta gimana hal tersebut berdampak bagi orang sekitarnya. Pada adik dan ayahnya misalnya. Horor yang seperti itu akan lebih gampang relate kepada kita daripada horor yang berubah jadi semacam mencari tahu cara mengalahkan monster laba-laba. Beberapa adegan di babak akhir film ini memang jadi lebih mirip action dalam film monster ketimbang horor. Jauh dari ruh materi aslinya. Sejujurnya, satu-satunya yang membuat film ini masih terasa kayak cerita Stephen King adalah film cukup bijak untuk membuat beberapa adegan dari reference cerita asli. Selebihnya, ya film ini terasa kayak usaha orang yang mencoba mengekspansi cerita King, tapi dengan kemampuan ala kadar. Like, there’s no way Stephen King bikin cerita dengan teman-teman sekolah tapi hanya digunakan untuk drama pembullyan tanpa bahasan hubungan yang lebih padat. Film ini mestinya lebih memperdalam lagi bahasan yang ia tambahkan, dan gak cepat settle ke masalah mengalahkan monster.

 




Sebagai adaptasi, film ini bergerak dengan bebas dan eventually menceritakan kisah di luar materi aslinya. Menambahkan karakter dan memindahkan pusat eksplorasi cerita. Walau melakukan itu dengan tetap respek dan banyak callback ke cerita asli, tapi film ini memang jauh dari ruh aslinya. Horornya dibuat jadi semacam mengalahkan monster; sebenarnya masih oke karena tetap didesain sebagai simbol grief dari yang dirasakan karakter. Akan tetapi bahasannya kurang mendalam karena film sengaja mengambil bentuk yang lebih generik. Kepentingannya berubah menjadi ‘apa makhluk ini sebenarnya’. Jawabannya memang punya layer simbolik, tapi film sekali lagi berusaha mengalihkan kita dari itu ke ya literal monsternya. Yang bahkan gak tampak seseram itu. Karena sebenarnya yang seram kan justru di makna keberadaannya. Film kurang dalam menggali ini.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE BOOGEYMAN

Kalo mau bias dan tetap kecewa karena gak sesuai cerita aslinya sih, aku menganggap film ini adaptasi yang cukup lucu. Karena film ini gak mau ‘sedalam’ aslinya, maka ceritanya diringankan. Tapi juga gak mau terlalu ringan, maka dielevated dikit. Kenapa ribet muter-muter seperti itu hahaha

 




That’s all we have for now.

Baru SMP, aku berani tidur di kamar sendirian dengan lampu dimatikan. Aku jadi sangat penakut saat itu terutama karena film The Sixth Sense. Boogeyman ku adalah kalo-kalo ada hantu muntah di balik selimut hahaha… Bagaimana dengan kalian? Apakah dulu kalian juga takut gelap? What is your Boogeyman back then?

Share  di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



HATI SUHITA Review

 

“True love is about growing as a couple”

 

 

Barangkali inilah pentingnya cinta. Jika rumah tangga adalah kebun bunga, maka cinta adalah airnya. Tanpa ada air, bunga-bunga itu akan layu. Kasihannya, masih sering didapati rumah tangga yang dimulai bukan atas saling cinta. Melainkan sebuah perjanjian. Atau biar terdengar agak romantis, istilahnya disebut perjodohan. Rumah tangga Alina dalam Hati Suhita yang diadaptasi Archie Hekagery dari novel, contohnya. Hati Suhita diarahkan oleh Archie untuk memperlihatkan perjuangan Alina menyirami rumah tangganya yang kering kerontang. Supaya ibu-ibu yang nonton bisa bergemes-gemes ria, memilih ship favorit mereka dari segi tiga yang terlibat di dalam cerita. Tapi di sisi lain, Archie sendiri jadi tidak sempat menyiram pokok permasalahan sebenarnya. Soal perjanjian yang berakar dari perjodohan, yang berkaitan erat dengan hal yang membuat kisah ini jadi novel yang spesial; identitas karakternya.

Alina Suhita adalah anak pesantren. Sejak kecil dia sudah dijodohkan sama anak pemilik pesantren besar tempatnya menimba ilmu. Alina dan Gus Birru, sudah dipupuk untuk menjadi pasangan penerus Pondok Pesantren Al-Anwar tersebut. Keduanya memang lantas tumbuh jadi orang-orang hebat. Cerdas, karismatik, taat beragama. Amanah untuk jadi pemimpin pesantren sepertinya gampang saja mereka emban. Tapi tidak demikian dengan amanah yang satunya; jadi pasangan. Alina dan Gus Birru toh memang kemudian dinikahkan. Tapi walaupun Alina tampak berusaha menjadi istri yang baik, Gus Birru tidak mau membuka hatinya karena cowok ini cinta sama cewek terpelajar lain. Rengganis. Sehingga Alina dan Gus Birru akhirnya membuat perjanjian untuk berpura-pura jadi suami istri yang harmonis, padahal aslinya tidur seranjang pun Gus Birru ogah.

Wife without benefits

 

Hati Hati Suhita ada pada tempat yang tepat. Film ini menggali dari sisi manusia para karakternya. Menggali hubungan mereka. Bukan hanya Alina yang permasalahannya dieksplorasi oleh film, meski memang film ini paham betul betapa pedihnya keadaan tersebut bagi Alina, sehingga menggali di sini, Dan terutama berusaha nge-cash in dari sini, Memancing emosi penonton dari pengembangan yang detil (tapi gak lebay) dari gimana sih ketika seorang perempuan yang ingin jadi istri soleha bagi keluarga besar dan suami, tapi tujuannya tersebut ternyata sekaligus jadi antagonis baginya. Mulai dari mencoba merayu, ngebaik-ngebaikin, ngerawat saat sakit, hingga balas cuek, semua aksi Alina  sukses membuat berbagai kelompok ibu-ibu yang nonton satu studio denganku bereaksi, bersorak-sorai riuh rendah. Malah ada yang sempat menghunus hapenya, siap untuk merekam layar bioskop (sebelum akhirnya dilarang oleh temannya sendiri).

Opening kredit film ini bekerja efektif dalam mempersiapkan kita kepada konflik setiap karakter sentral, serta dilakukan dengan ekstra dramatis. Baru ini kayaknya film yang menggunakan shot drone dengan begitu menyeluruh. Kemegahan pesantrennya tertangkap.  Konflik dua, eh tiga! karakter sentralnya  juga sekaligus berhasil terlandaskan dengan kuat. See, keadaan mereka sangat kompleks. Yang terluka bukan hanya Alina. Gus Birru yang selama ini aktivis yang memperjuangkan kebebasan juga merasa terkekang karena perjodohan. Rengganis, pacar Gus Birru juga manusia yang punya perasaan – yang juga hancur karena cintanya tiba-tiba kandas begitu saja. Film mencoba menggali mereka dengan adil, tidak ada yang dibikin totally jahat banget, ataupun dibikin pasrah-pasrah aja. Di balik Gus Birru yang dingin kepada Alina (karakter ini harus dibikin supercuek dulu supaya nanti bisa dilihat developmentnya), kita juga dikasih lihat gimana dekatnya dia dengan Rengganis. Bahwa keduanya itu share mutual interest, dan connected oleh ide. Aku bisa mengerti gimana dua orang ini bisa saling cinta. Kepada Alina, film juga memperlihatkan di balik sikap dinginnya yang menyangka Alina mau dijodohkan demi posisi di Pesantren, Gus Birru toh kecantol juga melihat kepintaran Alina dan terutama saat mendengar suara merdu Alina membaca Al-Qur’an. Hal tersebut didesain memang supaya penonton makin penasaran ke mana akhirnya cinta itu berlabuh. Banyak momen didedikasikan film ini untuk bikin penonton geregetan, misalnya kayak membuat ketiga karakter seolah akan bersirobok di sebuah kafe buku. Ditambah pula dengan kehadiran karakter pendukung, seperti ‘comebacknya’ Desy Ratnasari yang jadi mertua Alina, yang terus mendorong Alina supaya makin mesra pada Gus Birru, film semakin memanjakan rasa gemes-gemes penasaran penonton.

Namun bahkan di gurung pasir pun bisa tumbuh bunga. Yang berarti, cinta masih tetap hadir di tempat kering sekalipun. Persoalan kehadiran cinta dan mengenalinya untuk bisa tumbuh bersama itulah yang sebenarnya dibahas oleh cerita Hati Suhita. Berbagai karakter itu punya cinta dan cara tersendiri, ini adalah soal saling mengenali dan memahami sehingga akhirnya bisa tumbuh bersama. Itulah cinta sejati.

 

Film ini ngebuild ‘nikah-tapi-gak-dijamah’ sebagai sesuatu yang menyakitkan, membangun usaha Alina untuk menunjukkan cintanya kepada Gus Birru sebagai sesuatu yang pedih karena tak-berbalas, dan juga menampilkan relasi karakter lain untuk menambah serunya masalah hati mereka. Di menjelang akhir malah ada sekuen yang clearly mengajak bermain-main ekspektasi penonton terhadap siapa jadian dengan siapa. Itu semua memang bikin penonton menggelinjang, tapi film ini seperti meninggalkan banyak konteks yang menyertai karakter-karakternya tersebut. Yang kubicarakan di sini adalah konteks pesantrennya. Latar yang membentuk siapa mereka-mereka ini tidak benar-benar dibahas, melainkan ya sebagai ‘kostum’ saja. Film Hati Suhita kebanyakan hanya berkutat di efek perjodohan terhadap tiga karakter sentral, tapi tidak pernah benar-benar mengembalikan bahasan kepada perjodohan tersebut. Padahal ini penting, kenapa? Karena ini berkaitan dengan konteks ‘dari mana mereka berasal’, yang berarti karakter mereka baru bisa kita selami sepenuhnya ketika konteks ini dihadirkan. Tanpa konteks pesantren, film ini tak ubahnya seperti cerita perjodohan random. Like, diganti jadi bertempat di perusahaan besar pun bisa. Mari kita buktikan dengan mengganti istilah pesantren dengan ‘perusahaan’ pada sinopsis di atas:

‘Alina Suhita adalah karyawan perusahaan. Sejak kecil dia sudah dijodohkan sama anak pemilik perusahaan besar tempatnya bekerja. Alina dan Gus Birru, sudah dipupuk untuk menjadi pasangan penerus Perusahaan Al-Anwar tersebut. Keduanya memang lantas tumbuh jadi orang-orang hebat. Cerdas, karismatik, taat beragama. Amanah untuk jadi pemimpin perusahaan sepertinya gampang saja mereka emban. Tapi tidak demikian dengan amanah yang satunya; jadi pasangan. Alina dan Gus Birru toh memang kemudian dinikahkan. Tapi walaupun Alina tampak berusaha menjadi istri yang baik, Gus Birru tidak mau membuka hatinya karena cowok ini cinta sama cewek terpelajar lain. Rengganis. Sehingga Alina dan Gus Birru akhirnya membuat perjanjian untuk berpura-pura jadi suami istri yang harmonis, padahal aslinya tidur seranjang pun Gus Birru ogah.’

Kan, ceritanya jadi generik karena konteks pesantren sama sekali tidak dibawa. Konteks yang kumaksud adalah dasar pemikiran karakternya.  Bahwa perjodohan adalah perintah orangtua, yang mereka anggap sebagai amanah. Bagaimana di mata Alina menjadi istri yang baik adalah istri yang taat suami. Sementara di mata Gus Birru yang taat agama menghormati perempuan adalah dengan tidak menodainya. Yang kumaksud adalah cerita Hati Suhita yang bersetting di pesantren itu harusnya bisa lebih kompleks lagi ketimbang yang actually kita tonton (tentang berusaha bikin orang yang gak cinta, menjadi cinta). Jika konteks agama atau pesantren itu digali lebih dalam, masalah Alina bakal lebih rumit bukan lagi sekadar belum pernah disentuh, tetapi bagaimana dia merasakan mengikuti perintah agamanya (dengan ngurus keluarga dan nurutin kata suami) ternyata belum cukup baginya. Masalah Gus Birru terhadap perjodohan bakal lebih berlapis karena ini juga menyangkut perintah orang tua dan bagaimana dia selama ini gak cocok dengan ayahnya, dan bagaimana dia yang menolak menggauli istri yang bukan pilihannya itu bisa jadi bukan karena dia tidak cinta melainkan perlawanan terhadap ayah. Dan si Rengganis, maaan, mestinya dia yang paling pedih karena bentuk cinta yang ia harus jalani adalah mengikhlaskan. Perjalanannya sebenarnya lebih dramatis jika konteks identitas mereka diperkuat. Lingkungan pesantren itu sendiri juga harusnya bisa jadi ‘gudang contoh kasus’ tempat mereka belajar penyadaran masing-masing, bukan lagi sekadar tempat karakternya berkarya dan nunjukin kehidupan profesional.

Paling males kalo ibu udah pake jurus “Semalam ibu mimpi…”

 

Aku pikir itulah  juga kenapa delivery para karakter sentral tidak terasa sekonsisten karakter pendukung. Nadya Arina, Omar Daniel, dan juga Anggika Bolsterli memainkan karakter mereka dengan emosi ataupun intonasi yang sering kurang terasa kontinu. Atau mungkin, tidak kena pada sasaran, seolah mereka sendiri juga ragu dengan apa yang dirasakan karakter. Misalnya ketika dialog di kafe soal menghamili supaya ‘sandiwara’ mereka tetap terjaga dan permintaan Abah dan Ummi terpenuhi, dari nadanya aku pikir Alina setuju (walau dengan sarkas) tapi ternyata pada adegan berikutnya, dia menolak mentah-mentah. Atau ketika Alina dan Rengganis ngobrol di dapur; ku gak yakin mereka memang saling ngasih semangat atau nebar kode buat saingan. Bahkan hingga cerita berakhir, aku masih meragukan Alina dan Gus Birru sudah beneran saling cinta, bukan masih karena amanah dan mikirin Ummi dan Abah.

Konteks yang disisakan film salah satunya hanyalah soal karakter yang suka berkunjung ke makam Sunan/Wali untuk menenangkan diri. Which is great, budaya masyarakat mengalir kuat dari sini. Menambah sesuatu yang baru, yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Tapi efeknya juga akhirnya tidak besar. Aku lebih memilih mereka benar-benar memperlihatkan Gus Birru mengaku kepada orangtuanya, misalnya. Di film ini, adegan itu diperlihatkan cuma sebatas adegan tanpa dialog, slow-motion diiringi lagu. Padahal itu momen penting bagi Gus Birru yang telah menyadari kesalahannya. Itu juga momen akhirnya dia berkonfrontasi dengan ayahnya. Film ini lebih butuh momen-momen besar seperti itu ketimbang momen ngeswerve kita soal siapa ternyata mencintai siapa. It gets really draggy sekitar dua-puluh menit terakhir karena film berusaha bikin kita naik turun dengan ngasih red herring soal siapa yang dipilih si karakter untuk jadi pasangannya. Yang menurutku sebenarnya gak perlu, lebih baik waktunya dipakai untuk adegan pembelajaran yang personal seperti Gus Birru dengan ayahnya. Pacing film juga jadi aneh karena ini. Film yang di awal-awal sering terasa kayak terlalu cepat exit adegan, pas di belakang tau-tau jadi melambat. Dan akhirnya jadi kayak kehilangan momentum karakternya balikan, karena terlalu lama pada sekuen swerve. Lucunya memang film ini tuh kayak puncak dramatisnya tu ada di adegan pembuka tadi. Epik sekali. Sementara ke belakangnya enggak ada lagi adegan seperti demikian. Selebihnya film tidak pernah lagi ‘ekstra’ seperti itu. Padahal mestinya adegan opening itu cuma semacam ‘teaser’ untuk apa yang akan ada di akhir.

Sebenarnya, ada sih satu momen yang buatku cukup surprise. Kayak out of left field, gitu. Unexpected. Yaitu ketika Gus Birru menyadari dia sesuatu dari menonton film dokumenter buatan salah satu karakter. Ini ngingetin aku sama The Fabelmans (2022), yang memang film itu ingin memperlihatkan kekuatan dari filmmaking.  Adegan di Hati Suhita ngingetin, tapi tak sekuat itu karena di adegan itu Gus Birru sadar lewat dialog yang ia dengar, bukan dari gimana adegan film yang ia tonton bercerita.

 

 




Untuk mengincar cerita yang bisa digemes-gemesin oleh penonton, film ini berhasil mendaratkan tujuannya. Arahan film memang sepertinya total untuk ke sana dan dilakukan dengan elegan pula. Permasalahan perjodohan, orang ketiga, suami yang tak-cinta diceritakan dengan enggak lebay dan menarik. Bahasan karakternya juga berimbang, sehingga jadi cukup dramatis. Tapi sepertinya ada konteks yang hilang. Film dengan latar yang kuat itu harusnya tidak jadi segenerik seperti yang kita tonton ini. Pilihan dan journey karakter yang kita lihat seperti kurang konsisten, karena ada konteks dari mereka yang mungkin sengaja tidak dibahas mendalam. Jadinya seperti bermain di kulit luar saja. Film jadi seperti terlalu jinak dan menghindari banyak potensi bahasan yang menantang. Karena bagaimana pun juga ini kan adalah cerita perjodohan pada karakter dalam ruang agama. Ketika persoalan amanah dan hati diadu.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HATI SUHITA

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang sikap Gus Birru dalam film ini? Apakah menurut kalian dia cinta kepada Alina?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



THE SUPER MARIO BROS. MOVIE Review

 

“Physical bravery attracts most attention. But courage takes many forms”

 

 

Sega punya Sonic, Nintendo punya Mario. Sebagai anak 90an, itu perang-base pertama yang aku ikuti. Perang konsol video game rumahan, dengan maskot game masing-masing. I’m more of a Nintendo boy, tho. Aku lebih suka main Mario – yang menurutku lebih simpel dan lucu ketimbang Sonic. Gamenya juga kulebih menikmati buatan Nintendo (seenggaknya, sampai Sony PlayStation dengan Crash Bandicoot datang haha) Di ranah game-yang-jadi-film, however, kesuksesan Sega mengadaptasi Sonic sehingga dibikin sekuelnya, tampak bikin Nintendo gak mau kalah dan akhirnya mengeluarkan kembali IP game kesayangan mereka ini ke layar lebar!  Yup,  Mario Bros, memang dilindungi banget oleh Nintendo. Setelah live-action yang really cringe tahun 90an dulu itu, Mario hening. Gamenya aja yang terus keluar dengan berbagai variasi, tapi itu pun ekslusif untuk konsol Nintendo. Mulai dari side-scrolling, RPG, 3D Adventure, Balap, Berantem-berantem, bahkan random Sports. Aaron Horvath dan Michael Jelenic punya kesempatan emas dan lapangan bermain yang luas buat bikin film full CGI tukang ledeng bersaudara yang benar-benar compelling, melihat dari ragam dan gedenya IP ini. Jangan mau kalah dong ama Sonic. Tapi nyatanya, duo sutradara kita memang menebar banyak referensi dan merangkai cerita dari sana. Membuat film Mario Bros ini fun bagi kita yang mengenalnya, tapi hati film ini ada di ‘kastil’ yang lain.

Belajar dari kesalahan film live-actionnya dulu – serta kesalahan adaptasi game ataupun animasi yang suka tau-tau masukin karakter manusia yang gak ada di materi aslinya – film Mario Bros. sebenarnya memulai dengan langkah yang lebih mantap. Setidaknya, film tahu sisi unggul Mario Bros. Karakter manusia di tengah Mushroom Kingdom. Dan mereka membuatnya ya animasi semua. Didesain semirip mungkin dengan gamenya. Secara cerita, kubilang, film ini merangkai set up yang cukup bisa mendaratkan karakter. Mario dan Luigi hidup di ‘dunia nyata’, mereka bekerja sebagai tukang ledeng, dan mereka ini diledek oleh keluarga karenanya. Mario dan Luigi di film ini diceritakan sebagai dua orang dewasa yang diremehkan karena mereka kecil, dan kerjaan mereka juga dianggap sepele. Relasi antara Mario dan Luigi juga dibangun. Mario lebih berani dan jago, sementara Luigi orangnya agak penakut dan khawatiran. Sebagai animasi yang persis game, meski karakter mereka manusiawi, toh kita tetap melihat mereka melakukan kerjaan tukang ledeng dengan cara yang cartoonish, sehingga film tetap berjalan lucu dan menghibur. Saat ingin membantu beresin masalah banjir di kota Brooklyn, dua bersaudara ini tersedot pipa aneh yang membuat mereka terpisah. Mario sampai di Mushroom Kingdom, Luigi mendarat di wilayah Koopa yang dipimpin oleh Bowser, yang lagi dalam misi memperluas kekuasaan. Mario nanti akan bekerja sama dengan Princess Peach untuk mengalahkan Bowser, dan menyelamatkan Luigi

Ini bukan tentang Mario mukulin Bowser sampai pingsan, terus direkam, karena disuruh sama Peach loh ya

 

Yup, film ini memang punya kreasi tersendiri sebagai bentuk adaptasi yang mereka lakukan. Karakter Peach disesuaikan dengan masa sekarang, saat cewek gak lagi melulu diselamatkan. Peach di sini, digali sebagai Princess yang punya sisi petualang, yang lincah dan jagoan. Karakter-karakter lain seperti Donkey Kong, dan bahkan si Bowser sendiri juga diperlihatkan dari sisi yang berbeda, tapi kita masih tetap mengenali mereka sebagai karakter yang sudah kita kenal. Soal sedikit perbedaan ini, Mario sendiri juga disorot bahkan sebelum film ini tayang. Yakni soal aksen dan suara Mario yang terdengar berbeda dari versi video game. Chris Pratt yang nyuarain Mario sempat dirujak netijen karena suaranya beda, tapi ternyata film ini punya alasan untuk membuat Mario terdengar seperti ‘normal’. Karena ternyata aksen italia Mario dan Luigi itu, diceritakan sebagai gimmick mereka untuk iklan doang. Aksen itu cuma untuk menarik perhatian. Sehingga, sekarang kita bisa mewajarkan kenapa Mario suaranya seperti Chris Pratt bicara normal – karena Mario supposed to be orang biasa juga, yang masuk ke dunia ajaib di ujung pipa.

Bicara soal pengisi suara, menurutku Pratt menghidupkan Mario dengan baik, suaranya terdengar antusias, bingung, atau lainnya pada momen-momen yang tepat. Terkadang Mario akan bersorak ala game, dan Pratt tidak terdengar maksa ngucapinnya. Voice akting yang menonjol adalah si Jack Black sebagai Bowser. Aku hampir-hampir tidak menangkap itu suara Jack Black saat mendengar suara serak menggemuruh Bowser. Baru saat dia ada adegan menyanyi-lah, ciri khas Jack Black terdengar. Dan itu momen yang tepat, karena kita melihat Bowser dari sisi lain – sisi yang less barbaric. Salut buat Jack Black. Enggak kayak Seth Rogen yang suaranya gitu-gitu melulu. Begitu Donkey Kong ngomong, kita pasti langsung tau pengisi suaranya siapa haha. Seth mainin karakter ini standar. Anya Taylor-Joy juga di sini terdengar kurang nendang sebagai suara Peach. Tidak sememorable Bowser, atau juga Luigi. Charlie Day di sini memang juga cukup surprised buatku; Kupikir bakal annoying tapi Luiginya ternyata terdengar genuine, suaranya cocok sama dinamika karakter Luigi.

Karakter dalam Mario Bros. memakai berbagai item yang dikenal sebagai power ups untuk menjadi kuat. Ada bunga yang membuat mereka bisa menembakkan bola api. Ada kostum kucing yang membuat mereka jadi punya ‘jurus’ kucing. Dan ada jamur yang literally membuat mereka bertambah besar. Mario di sini gak suka jamur, tapi dia lebih gak suka lagi dikatain kecil. Jadi power ups benar-benar membantu. Tapi bukan power ups yang bikin Mario berani. Mario berani, karena dia gak ragu mengakui kelemahan dan memakai power ups. Mario berani, karena dia gak menyerah dan mencoba menyelesaikan tantangan platform terus menerus sampai berhasil.

 

Kreasi seperti pada set up karakter sayangnya tidak dilakukan utuh untuk menggarap cerita. Begitu sampai di Mushroom Kingdom, dan Mario, Peach, dan – di tempat terpisah – Luigi, harus bertualang, film mengganti kreasinya menjadi kreasi memunculkan referensi saja. Alur dan development, journey inner karakter, dijadikan minimal. Film cuma jadi serentetan adegan-adegan yang merujuk pada video game. Belum pernah aku merasa pengen balik buat main game, saat sedang nonton di bioskop, Mario Bros. memang senostalgia itu! Begitu banyak karakter (hampir semua musuh di game Mario hadir!), tempat, platform, dan bahkan musik yang bikin aku teringat sama sensasi main video gamenya. Tapi ini sudah bukan lagi jadi pujian. Karena di balik itu semua, petualangan Mario di Mushroom Kingdom, melawan Bowser, terasa kosong. Efek Mario pisah dengan Luigi sama sekali tidak digali. Pas battle terakhir mereka ketemu, dan penyadaran Mario datang begitu saja. Mario cuma ngikut ke mana karakter-karakter lain membawanya, ke mana naskah mengarahkannya, dia tidak benar-benar ‘memainkan’ petualangan itu. Like, masalah banjir di kota saja terlupakan karena Mario masuk ke Mushroom Kingdom. Dan kesempatan Mario balik ke kota dan menyelamatkan kota datang dari pertarungan dia dengan Bowser. Di tengah-tengah itu, Mario never reflect tentang kegagalan dia di awal atau semacamnya. Dia jadi hero dan diaccept keluarga dengan otomatis, petualangannya tidak terasa earned. Melainkan cuma kayak rentetan kejadian seru seperti pada video game. Film ini cuma punya hal-hal yang pernah kita lihat, dan kita lakukan di dalam video game. Tanpa ada konteks yang kuat – or rather, dengan konteks yang dibangun tapi dilupakan – menyaksikan itu semua ya jadinya kayak ngeliat iklan video game terbaru Mario saja ketimbang melihat film yang menceritakan soal Mario dan teman-teman.

Game- eh film Mario baru, with better graphics!

 

Seolah puluhan referensi game Mario belum cukup, film lantas masukin nostalgia 80an secara umum. Membuat film menjadi semakin tampak seperti cuma bergantung kepada nostalgia. Yang paling mengganggu buatku adalah lagu-lagu populer 80annya. Like, why. Aku sumringah setiap kali nada-nada dari game terdengar, mewarnai adegan sebagai background. Sebaliknya, aku mengernyit kenapa lagu Take On Me yang dimainkan saat mereka masuk ke wilayah Donkey Kong, bukannya muterin lagu theme game Donkey Kong. Apa hubungannya lagu-lagu populer itu dengan film dari game, toh gamenya tidak pakai lagu-lagu tersebut. Dari situ saja kita bisa menyimpulkan bahwa film ini ya benar-benar menyasar gelombang nostalgia semata. Enggak benar-benar punya cerita untuk disajikan. Bekerja terbalik alih-alih membangun cerita dan menghiasnya dengan referensi dan nostalgia, film ini justru ngumpulin referensi dan lantas menghubungkan semua itu dengan apa yang akhirnya mereka sebut sebagai cerita. Gak heran film ini jadi terasa tipis, bahkan kosong seperti tak-berhati.

Sebelum ini, aku nonton satu lagi film yang diangkat dari game populer di Nintendo, yang tokohnya juga pria berkumis (tapi bukan tukang ledeng). Tetris. Cerita pembuatan game itu ternyata udah kayak film aksi mata-mata! Kalian bisa baca reviewnya di sini. Dan yang pengen menontonnya, Tetris tersedia di Apple TV+, kalian bisa mulai berlangganan di https://apple.co/3nhEOdf
Get it on Apple TV

 




Urusan game, aku memang lebih suka Nintendo dengan game-game seperti Mario, Donkey Kong, Metroid, Kirby, dan lain-lain. Tapi untuk urusan game yang diadaptasi jadi film, Sega – saingan Nintendo sejak lama – ternyata masih unggul. Sonic satu. Mario nol. Film ini void, terasa kayak gak ada cerita. Padahal berangkat dari set up yang lumayan bikin film kerasa punya kreasi sendiri sebagai adaptasi. Tapi begitu petualangannya masuk, film ini tancap gas dan hanya berubah menjadi suguhan adegan-adegan seperti game. Dan lagu-lagu populer era lawas. Kalo dibilang menghibur dan menyenangkan, ya memang menghibur dan menyenangkan. Tapi bukan lantas berarti sinema, seperti kata Luigi. Iklan sirup aja bisa menghibur kok. Dan memang baru seperti itulah level film ini. Baru seperti iklan.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE SUPER MARIO BROS. MOVIE

 




That’s all we have for now.

Pernah dong main game Mario? Power up favorit kalian dalam seantero game Mario apa sih?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



GITA CINTA DARI SMA Review

 

“True love doesn’t have a happy ending, because true love never ends.”

 

 

Waktu telah membuktikan kisah cinta Galih dan Ratna, pasangan dalam cerita karangan bapak Eddy D. Iskandar tahun 70an,  benar-benar adalah sebuah kisah cinta yang legendaris di Indonesia. Kisah mereka menginspirasi begitu banyak cerita cinta remaja yang muncul sesudahnya. Jika kita nemuin cerita yang cowoknya pendiam, atau puitis, atau kisah cinta yang terhalang status sosial, besar kemungkinan jika ditelusuri, cerita tersebut dapat pengaruh dari kisah Galih dan Ratna. Bahkan Ada Apa dengan Cinta? katanya juga terinspirasi – film itu berakhir dengan perpisahan di bandara, seperti Galih dan Ratna yang berpisah di kereta api. Sendirinya, Galih dan Ratna dalam Gita Cinta dari SMA telah difilmkan dalam dua periode waktu berbeda. Film originalnya tahun 79, juga lantas sukses mengorbitkan Rano Karno dan Yessy Gusman. Sementara adaptasi versi modernnya di tahun 2017, gak kalah berhasil bikin musik jadi trend romantis pada generasi muda. Kali ini, Gita Cinta dari SMA kembali diadaptasi, dihadirkan oleh Monty Tiwa dengan emphasis ke tahun 80an. Mengembalikan Galih dan Ratna ke dunia mereka yang colorful, penuh musik, dan puitis, dan membawa serta para penonton untuk nostalgia ke jaman SMA. Ah ya, cinta dan nostalgia memang pasangan serasi. Seperti Galih dan Ratna!

Cowok yang bersepeda ke sekolah dari rumahnya di pasar buku bekas. Cewek yang ke sekolah diantar ayahnya pake mobil sedan. Dari situlah kisah kali ini dimulai.  Cewek itu, Ratna, anak baru.  Tapi begitu dia sampai di sekolah, digodain sama cowok-cowok yang gak bisa lihat ‘barang’ baru – bening, pula!Ratna malah notice cowok bersepeda tadi. Cowok yang tampak cuek tapi dikagumi orang. Galih.  Ya, seketika Ratna jadi suka sama Galih, dan cewek itu gak begitu malu-malu untuk menunjukkan ketertarikannya. Tinggal Galih yang sok play it cool sendiri. Interaksi ‘iya-enggak’ mereka di awal-awal itu sudah barang tentu bakal bikin penonton sekalian jerit-jerit gemas di tempat duduk masing-masing. Dan setelah puas ‘mainin’ perasaan kita seperti demikian, film memang lantas membuat Galih dan Ratna jadian. Tapi semua kemanisan romansa itu ternyata tidak seabadi janjinya. Karena di antara Galih dan Ratna berdiri Ayah Ratna. Sosok pemberang yang seratus persen menolak hubungan mereka. Sosok, yang terus mengingatkan Galih akan jurang status sosial yang memisahkan dirinya dengan Ratna.

Gak heran banyak penonton yang nantangin Dwi Sasono berantem begitu keluar dari bioskop hihihi

 

Walau endingnya nyelekit, tapi Gita Cinta dari SMA secara overall terasa punya after-taste yang menyenangkan. Sepertinya karena dunianya. Bahasa bakunya. Musiknya. Warnanya. Nuansa 80an memang punya peran besar bagi kita untuk dapat lebih menikmati cerita ini. Bahkan ketika kita bukan yang pernah ngerasain hidup di masa itu. Kayak aku. Nuansa artifisial yang dikeluarkan dengan kuat oleh film ini menjadi semacam lullaby, nina-bobo, bagiku. Dengan gampang membujukku untuk mematikan alarm ‘wah, ini mah standar teen love story antara dua karakter cakep tanpa alasan lebih jauh kenapa mereka harus jadi pasangan’ dan just nikmatin simpelnya dunia like it used to be.  Kupikir, itulah pesona terkuat yang dimiliki oleh Gita Cinta dari SMA.  Dunia yang sederhana nan puitis sebagai panggung dari permasalahan cinta anak muda yang tentu saja masih relevan hingga sekarang. Sehingga keluarnya jadi menyenangkan. Momen-momen kecil seperti ge-er karena dapat puisi berjudul sama dengan inisial nama, dilarang pacaran atau main ke luar rumah oleh ortu, rekam kaset untuk dikasih ke gebetan jadi terangkat lebih manis karena sekarang ada layer nostalgia di baliknya.

Ketika pesona dunia dan karakternya telah terestablish, film lantas mulai memperkuat konflik. Kalo ada satu kata untuk menggambarkan apa yang mencuat dari Gita Cinta dari SMA versi Monty Tiwa, maka itu adalah dramatis. For better and worse, karena memang dramatis di sini ada yang membuat film ini jadi bagusan, dan tak sedikit juga yang membuatnya terasa… over-the-top. Dan seperti guru di sekolah dulu biasanya suka memuji dahulu sebelum menasehati (“cerita karangan kamu sudah bagus, tapi alangkah baiknya kalo tulisannya jangan kayak cakar ayam!”), baiknya kita ngomongin dramatis yang bagus-bagus dulu dari film ini. Dari penulisan cerita, film ini banyak ngasih hal baru yang berujung pada dramatisasi yang diperlukan supaya film lebih menggigit. Pertama adalah pemisah antara Galih dan Ratna. Dibandingkan dengan film jadulnya, film ini lebih tegas dan keras nyebut bahwa ini adalah soal Galih yang anak jelata gak bakal pernah good enough bagi ayah Ratna yang orang kaya dan ningrat Yogyakarta, Klasik si kaya dan si miskin. Konflik ini membuka ruang bagi film untuk semakin melibatkan keluarga dari dua karakter sentral. Sementara juga tentu saja membuild up karakter Galih, yang harusnya karismatik tapi semakin terasa minderan sepanjang durasi berjalan. Karena halangan tersebut really gets to him, melukainya, sebagai seorang manusia laki-laki. Untuk menyeimbangkan perspektif, film mengembangkan konflik ini kepada Ratna sebagai persoalan tentang perempuan dan kebebasan untuk memilih. Ratna menyamakan posisinya dengan Roro Mendut, dari novel yang ia baca. Perempuan yang tidak bisa bersama lelaki yang ia pilih. Dan dari perspektif itu muncul hal terbaik kedua yang dipunya oleh film. Mbak Ayu yang diperankan oleh Putri Ayudya.

Mengutip obrolan dengan Putri Ayudya saat interview “Setiap keluarga pasti punya satu orang, tante atau om, yang mendukung kita” Memang begitulah Mbak Ayu. Dia mendukung Ratna untuk pacaran sama Galih. Dia bahkan membantu Ratna ngeles dari ayah dengan ide-ide seru. Actually peran Mbak Ayu di versi ini memang dibuat lebih besar, apalagi sekarang kita diperlihatkan lebih dalam backstory dari karakter ini. Bagaimana dia juga ngalamin ‘nasib’ serupa Ratna.  She goes way back dengan ayah Ratna yang merupakan saudaranya, Permasalahan perempuan mandiri atas pilihannya jadi semakin kuat, dan relationship Ratna dan Mbak Ayu jadi salah satu hati pada film ini. Mbak Ayu actually membuat film ini berisi. Jika tidak ada dia, film ini bakal kosong. Ya, karena somehow, film tidak lagi full di kehidupan sekolah Galih Ratna (meski teman-teman mereka kayak Erlin, Anton, Mimi tetap ada), sehingga di sini Galih dan Ratna not really do anything selain bereaksi saat hubungan mereka dilarang. Mereka – khususnya Ratna – bahkan tidak diperlihatkan banyak mengalami pembelajaran. Dan masalah tersebut menurutku berakar pada directing yang kurang kuat. Directing yang hanya mengincar dramatisasi.

Oh, Galih. Oh, Arla… eh salah. Oh, Ratna, cintamu abadiiiii~

 

Aku notice directingnya agak kurang total itu dari nuansa yang terasa lebih seperti artifisial ketimbang genuine. Walau memang, perasaan menyenangkannya nyampe karena nostalgia dan karakter. Elemen-elemennya buatku, yang terasa setengah-setengah. Kayak, musical numbers. Film ini banyak menggunakan lagu, bukan hanya sebagai latar tapi juga penggerak cerita. Bahkan juga ada tarian. Tapi ya, pengadeganannya terasa… gitu aja. Hanya pasang kamera, drone, nari-nari di jalan. Dengan musik dan lagu sebanyak itu, aku heran kenapa tidak sekalian aja dibikin musikal. Kenyataannya film ini sama kayak film jadul, tapi dengan adegan nyanyi yang teatrikal, tapi gak jor-joran. Terus soal Yesaya Abraham sebagai Galih. Aku paham bahwa aktor gak harus bisa nyanyi beneran untuk mainin karakter yang bernyanyi. Tapi kupikir keputusan film ini  tidak membentuk dulu paling enggak Yesaya beneran genjreng-genjreng dikit dengan gitar, adalah keputusan yang bisa jadi momok buat mereka ke depan. Karena gimana pun juga kedengarannya aneh saat semua adegan nyanyi di film ini terdengar seperti olahan studio. Bahkan adegan Galih latihan dengan gitar sendirian. Film harusnya lebih memperlihatkan perbedaan antara adegan nyanyi di panggung, adegan nyanyi sendirian, dan adegan nyanyi dalam bayangan Ratna – salah satunya dari suara nyanyian itu sendiri.

Beberapa adegan diarahkan supaya amat dramatis, sometimes it works, sometimes feels over. Yang berhasil itu kayak adegan lempar batu di danau, yang bahkan lebih emosional daripada film jadulnya. Ada satu adegan dramatis yang baru, yang emosinya juga dapet banget berkat penampilan akting para pemain. Prilly Latuconsina yang jago ngasih emosi di kalimat-kalimat panjang, Unique Priscilla dengan permainan emosi tertahan, Putri Ayudya dan Dwi Sasono yang luar biasa penekanan dan ekspresinya; mereka membuat adegan tersebut berhasil, meskipun cara ngesyutnya sangat datar, pengadeganannya hanya kayak mereka lagi baris-berbaris. Nunggu giliran buat ngomong. Aku menyebutnya sebagai drama smackdown; karena begitulah drama backstage di acara smekdon direkam. Superstar/talentnya baris berjajar di depan kamera, lalu marah-marah bergantian. Bicara soal posisi pemain, aku juga ngerasa ada sedikit aneh dari gimana mereka menempatkan Yesaya dan Prilly dalam satu adegan. Ratna dan Galih sejajar tu cuma saat mereka duduk di batang pohon, membahas surat putus dan masa depan mereka. Perbedaan tinggi badan keduanya, kupikir digunakan film untuk mempertegas perbedaan sosial yang jadi tema cerita. Tapi aku gak yakin. Karena lucunya, saat adegan Ratna mengusap pipi Galih pakai saputangan, dua-duanya berdiri, dan magically keduanya kayak sama tinggi! Nah ini contoh momen dramatis yang agak over, menurutku. Selain itu ada juga Ratna pake acara pingsan. Ataupun treatment Ratna bawain minyak angin dari pov Galih yang abis kena mental demi ngeliat Ratna dibonceng orang.

Tapi gak ada yang lebih over-the-top dibandingkan endingnya. Pilihan film ini dengan menaikkan kembali konflik di momen akhir (Ayah Ratna kembali muncul bahkan sampai main fisik segala) terasa aneh sekali. Tidak seperti pada film jadul yang memberikan Galih dan Ratna momen personal, menerima kenyataan mereka harus berpisah, dan saling menguatkan diri (di film itu mereka ngobrol sampai subuh!), yang berarti mereka berdua mengalami pembelajaran dan tuntas (meski ‘kalah’), film versi baru ini tidak punya momen-momen itu. Karakter Galih dan Ratna di film kali ini belum terasa tuntas. Mereka masih kayak di akhir babak pertama, yang mendapat tantangan dari ayah yang melarang, sementara pembelajarannya nanti ada di film kedua. Film ini atas keinginannya untuk jadi superdramatis, luput untuk melihat bahwa yang diperlukan bukan adegan ayah ngamuk sekali lagi, melainkan Galih dan Ratna yang harus belajar menerima bahwa mereka tidak bisa bersama. Setidaknya, untuk sekarang. Mungkin, untuk sekarang.

Cinta sejati adalah cinta yang abadi. Kita biarkan orang yang kita cintai pergi, karena hati kita tahu cinta kita kepadanya tak akan berubah. Cinta sejati tidak peduli memiliki atau tidak. Makanya, keadaan Galih dan Ratna ini tepat sekali dengan gambaran cinta sejati pada kutipan terkenal. Bahwa cinta sejati tidak punya happy ending, karena cinta sejati abadi tidak pernah berakhir.

 




Beruntung yang jadi tulang punggung film adalah skenario. Bukan arahan. Karena film ini punya materi dan penambahan konflik atau karakter yang baru, yang efektif dan emosional, tapi tidak dibarengi dengan bentuk yang benar-benar saklek dan terarah. Terutama bergantung kepada nostalgia dan dramatisasi, yang artifisial. Penampilan akting dari para pemain pun jadi sesuatu yang disyukuri di sini, karena mereka membuat semuanya work out nicely. Film ini secara objektif masih belum sempurna, filmnya masih terasa minimal dan agak kosong – melainkan hanya berisi momen dramatis, tapi toh berhasil menyentuh saraf-saraf emosi. I can’t help but jadi peduli sama Galih, Ratna, Mbak Ayu, dan karakter-karakter lainnya. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GITA CINTA DARI SMA

 




That’s all we have for now.

Jadi menurut kalian kenapa Galih dan Ratna bisa menjadi pasangan yang begitu fenomenal?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



BALADA SI ROY Review

 

“It’s good for young people to be angry about something”

 

 

Tayang berbarengan, Balada si Roy dan Autobiography ternyata memang punya banyak kesamaan. Keduanya adalah film yang cowok banget. Dan selain karena sama-sama ada Arswendy, kedua film ini basically bercerita tentang anak muda yang berusaha membebaskan diri dari rezim atau tatanan lama yang berkembang di masyarakat. Tapi tentu saja keduanya bercerita dan diceritakan dengan begitu berbeda. Balada si Roy membawa persoalannya ke dalam nada yang benar-benar menggebrak. Dengan mengusung semangat novel source materinya, Fajar Nugros meletakkan protagonis mudanya di tengah-tengah tatanan kuasa pada tahun 80an, dan berusaha memantik api inspirasi dari perjuangan kritis sang protagonis. Film ini seolah bilang ke anak muda jaman sekarang supaya jangan cuma taunya paham ‘woke’ dari luar, tapi juga harus benar-benar melek sejarah sendiri di dalam. Melek, dan lawan!

Aku sendirinya sebenarnya gak kenal ama Roy. As in, aku belum pernah baca novelnya dan gak juga nontonin versi sinetronnya. Sehingga, referensiku nonton ini paling cuma dari novel-novel atau film remaja yang sepertinya sejenis, kayak Dilan, dan yang paling dekat sepertinya Lupus. Dan aku memang benar-benar melihat kesamaan antara Roy dan Lupus. Mungkin karena ‘lahir’ di waktu yang berdekatan. Lupus nongol pertama kali tahun 86, dan Roy tahun 88. Lahir saat tren yang serupa, yang juga sangat berbeda dengan tren cerita remaja jaman sekarang. Perbedaan inilah yang bikin cerita Roy – dan tentu saja film Balada si Roy ini, terasa fresh.  Seperti Lupus, Roy enggak exactly tentang remaja pacaran. Mereka memang dikasih love interest, tapi keseluruhan ceritanya lebih fokus kepada kehidupan anak muda itu sendiri. Kepada si titular karakter. Kehidupannya. Seluk beluk sikapnya. Pandangannya.  Lupus sudah punya pacar bernama Poppy, tapi masih tetep suka godain cewek-cewek lain. Begitupun si Roy. Hatinya tertambat kepada Ani, tapi cerita akan memperlihatkan Roy juga menjalin pertemanan dekat dengan beberapa karakter cewek lain. Ya, begitulah anak muda. Masih bebas, ogah terikat. Bolos sekolah, berbuat nakal, berantem, protes kepada aturan adalah pemandangan biasa pada potret anak muda seperti mereka. Anak muda yang masih mencari jati diri itulah yang jadi gambaran pokok pada cerita 80an. Pada Balada si Roy ini. Bedanya dengan Lupus, Balada si Roy tidak menggambarkan itu dalam nada komedi. Bahkan bisa dibilang, Roy adalah versi dark dari Lupus.

Kalo lebih pedas lagi, mungkin judulnya udah ganti jadi “Balado si Roy”

 

Di hari pertamanya di sekolah baru, Roy udah bersinggungan dengan masalah. Roy yang bersepeda dan nekat membawa anjing kesayangannya, seketika jadi perhatian. Malah, sukses merebut perhatian seniornya yang bernama Ani. Sialnya, si Ani ini udah ada yang suka. Dullah, anak yang punya kota Serang. Sikap si Dullah yang sok kuasa sebelas dua belas dengan gimana sang ayah memimpin di kota. Tentu saja, Roy yang kritis dan keras – teman-teman menyebutnya ‘Kepala Batu’ – gak tinggal diam. Roy gak segan-segan untuk menantang Dullah dan menuliskan buah pikirannya tentang kota mereka di koran. Perlawanan Roy berhasil mempengaruhi anak-anak lain yang selama ini ditindas. Tapi peliknya, Roy tidak begitu saja dianggap pahlawan. Dia malah dicap sebagai biang onar. Dengan ‘musuh’ kuat, teman yang semakin lama semakin berkurang, dan nilai rapor yang kian menurun, hari-hari si Roy menjadi semakin berat. Film Balada si Roy menggambarkan naik turunnya kehidupan Roy.

Anak-anak muda harusnya kritis seperti Roy. Apalagi dengan api dan gejolak meledak-ledak yang dimiliki saat usia dan pikiran remaja, wuih gak heran anak-anak muda disebut sebagai agen perubahan.  Masalahnya ya cuma satu, penyaluran yang tidak tepat. Bahkan, Roy, masih sering menemukan dirinya menyalurkan emosi dengan cara yang kurang pada tempatnya. Karakter Roy memang bukan poster yang sempurna, tapi itulah yang membuat dia dapat jadi inspirasi yang nyata. His strength, keberaniannya, kemauannya belajar (termasuk belajar sejarah), sikap setia kawannya, bisa jadi panutan sembari kita belajar dari kesalahan-kesalahan yang ia buat.

 

Honestly, awal-awal, kalo di bioskop boleh loncat-loncat, aku udah jungkir balik saking senengnya. Aku merasa mendapat film yang hebat. Film remaja yang benar-benar menggali being a teenager, di lingkungan yang juga benar-benar dibuat hidup. Penuh layer. Sepuluh, tidak, lima-belas menit pertama Balada si Roy terlihat begitu perfect. Sekuen di sekolah, begitu hidup. Foreground, background semuanya gerak! Semua yang di layar beneran seperti punya kehidupan di situ. Desain produksinya juga keren. 80an terpancar dari penampilan para karakter. Daerahnya tercermin dari bahasa dan gaya hidup karakter. Roy sendiri langsung mencuat, bukan saja karena naik sepeda dengan anjing berlarian ngikutin dirinya, tapi ada aura berbeda dari cowok tinggi, berambut panjang, berjaket jeans ini. Di menit-menit awal ini, film melandaskan dunianya dengan efektif. Karakter-karakternya terasa menarik. Bahkan si Dullah, digambarkan berbeda dari anak-jahat lainnya. Dia diperlihatkan grogi juga ke cewek. Dia diperlihatkan vulnerable secara emosi (Bio One paling bagus jadi Dullah pas di momen-momen vulnerable yang berusaha ia sembunyikan tersebut). Hook emosional buat Roy, yang ‘dihadiahkan’ oleh Dullah juga intens abis! Kurasa gak harus jadi penyayang binatang, untuk kita merasakan luka si Roy. Semuanya seperti dibangun untuk transformasi  dramatis dari Roy yang di awal memang kelihatan agak terlalu ‘baik’. But then, it’s all downhill from there. Aku duduk di sana, terus berharap film merapikan dirinya, dan bercerita dengan keren lagi. Tapi itu tidak pernah terjadi.

Kayaknya bukan pada arahannya. Fajar Nugros benar-benar menyulap dunia dan para karakter itu menjadi hidup. Sama kayak yang dia lakukan pada grup Srimulat di Srimulat: Hil yang Mustahal Babak Pertama (2022). Abidzar Al Ghifari aja sukses didirectnya jadi karakter ‘bandel’. Yang Nugros lakukan pada Abidzar sebagai Roy di sini mirip kayak yang sukses ia lakukan pada Naysila Mirdad di Inang (2022); bermain-main dengan pengetahuan meta kita terhadap aktornya. Yang punya image anak baek-baek, diambil, dan direshape di sini menjadi karakter yang jauh berbeda dari image meta tersebut. Pengadeganannya pun, seperti yang sudah kucontohkan pada adegan awal di sekolah, digarap dengan benar-benar fluid. Tidak ada adegan yang pemainnya kayak baris-berbaris nunggu giliran dialog. Dimensi dan ruang adegan terus dimainkan. Adegan action, kayak berantem ataupun kebut-kebutan, dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga adegannya tetap grounded. Gak over-stylized. Kamera memastikan kita melihat apa yang dirasakan karakter. Tantangan  bikin dunia 80an, tidak membatasi kelincahan Nugros untuk mempersembahkan cerita. Di sekolah, di pasar, di jalan; seperti Roy itu sendiri, film ini going so many places. Satu-satunya yang bikin aku kadang lupa bahwa ini cerita di tahun 80an adalah, kinclongnya gambar. Walau dandanan dan propertinya dipastikan 80an semua, tapi warna pada layar itu masih terkesan modern. Untuk soal bahasa, aku gak tahu juga 80an di Serang bahasa pergaulan daerahnya gimana, jadi ya selama terdengar kayak percakapan natural, buatku tak masalah.

Nice touch, main catur tapi satu bidaknya ilang dan diganti ama gulungan benang!

 

Tadinya aku mau bilang kalo film ini oke di penyutradaan namun lemah di penulisan. Tapi setelah melihat nama penulisnya, aku jadi bingung. Penulisnya ternyata Salman Aristo. Menulis banyak skenario keren sebelumnya. Adaptasi novel bukan barang baru baginya. Waktu aku belajar teori nulis skenario, modul-modul belajarku banyak yang fotokopian dari kelas asuhannya. I was like, apa yang terjadi sama film ini? Kok bisa jadi begitu saat ditonton? ‘

‘Begitu’ yang kumaksud adalah film ini ceritanya gak ngalir kayak bentuk skenario film. Ceritanya masih kayak bentuk chapter-chapter pada novel. Atau mungkin malah kayak cerita-cerita pendek digabungin jadi satu. You know, kayak episode. Roy dengan anjingnya. Roy tarung adat dengan Dullah. Roy kena santet (beneran, film ini bakal ada momen horor juga!), Roy dan usahanya ngapel Ani (harus ngalahin bokap Ani main catur dulu). Setiap episode punya konflik, penyelesaian, dan bahkan karakter pendukung spesial tersendiri. Selain dengan ibunya, Ani, dan teman-teman di sekolah, Roy juga berinteraksi dengan karakter-karakter lain nanti. Sepanjang nonton ini aku berasa jadi kayak meme Leonardo DiCaprio yang lagi nunjuk itu, karena bakal banyak sekali aktor-aktor yang ‘tau-tau’ muncul. Jadi sosok yang bakal ngajarin Roy sesuatu tentang hidup. Tapi semuanya tidak mengalir kayak struktur film, yang konfliknya ada di sekuen berapa dan penyelesaian nanti di sekuen berapa. Nonton film ini capek, kerasa panjang banget, karena formula yang sama terus diulang. Berkali-kali. Kita akan melihat Roy baik, terjemurus, berhasil, dan baik lagi, berulang kali. Tentu, semua itu ada garis besarnya; soal si Roy yang ingin mengubah tatanan sosial kota karena gak nyaman dan pengen menemukan rumah, jadi overarching plot. Bahasan satu orang versus satu kota itu memang keren. Juga bagus film memuat banyak. Tapi dengan struktur yang masih kayak novel ini, film terasa sepertl melompat-lompat di sekitar gagasan besarnya alih-alih berjalan mantap sebagai satu kesatuan. Development karakter Roy jadi gak terasa, karena setiap kali dia sudah berubah, dia kembali melakukan hal yang sama pada kesempatan berikutnya. Kita tidak tahu journey ini kapan mulai dan berakhirnya. Tau-tau Roy jadi anak motor, aja. Tapi lantas film berakhir dengan dia mengembara, tanpa kendaraan.

Cocoknya, cerita kayak gini memang dibikin sebagai slice of life. Yang fokus kepada karakter Roy. Pemikirannya. Pandangannya. Dia mengarungi hidup sehari-hari digambarkan dengan jelas dan runut. Interaksi dia dengan karakter lain, bertemunya dibuat lebih natural. Enggak seperti tau-tau ketemu, dan berfungsi hanya di satu ‘episode’ saja. Ada bagian ketika tau-tau ada cewek yang juga anak baru, Roy kenalan. Mereka jadi temen akrab, namun begitu ‘episode’ ini selesai, si anak baru pindah lagi dan gak muncul lagi hingga cerita beres. Mestinya kemunculan dan exit karakter ini bisa dipercantik lagi, dibuat lebih natural. Toh ketika sudah jadi film, naskah tidak harus sama persis dengan yang digariskan pada novel. Tergantung adaptasi kreatif mengolah novel menjadi sesuai bentuk naskah. Roy sebenarnya bisa menjadi slice of life, yang benar-benar menyentuh. Seperti pada menggarap bagian cinta, film paham untuk membuatnya tentang personal sebagai remaja itu sendiri. Harusnya ini dipertahankan supaya jadi slice of life. Tapi film jadi ambisius, sehingga fokusnya malah jadi kayak kompetisi antarlaki-laki. Bertarung. Main catur. Hingga balap motor. Aku gak yakin setelah kredit bergulir, penonton akan melihat  (dan mengingat) Roy sebagai sosok, sebagai pikiran dan perjuangannya, bukan sebagai aksi jagoan yang ia lakukan.

 




Sudah senyaris itu kita dapat film remaja yang berbobot, dengan penceritaan yang gak FTV alias receh menye-menye. Karena Roy memang berbeda dari tokoh cerita remaja kekinian. Roy mengajarkan pemikiran dan karakter yang tangguh, berani. Kisah Roy seharusnya menginspirasi untuk itu. Secara arahan karakter, dan produksinya sebenarnya sudah unik dan segar. Menit-menit awalnya aku suka banget. Semuanya seperti mengarah kepada development karakter dan alur yang tegas. Tapi ternyata enggak. Film ini malah merosot. Problem film ini adalah bentuk yang masih terlalu ‘novel’. Cerita yang tidak mengalir. Dan malah cenderung memfokuskan kepada adegan-adegan aksi/kompetisi, dan hal-hal ajaib lain yang tau-tau ada di cerita. Penonton akan bingung film ini sesungguhnya mau apa. Apalagi tidak ada romance yang biasanya mereka suka pegang. Aku kurang suka ama remake. Tapi kalo ada film yang aku ingin ada remakenya, maka film ini mecahin rekor karena baru saja tayang tapi aku berharap film ini diremake lagi (dengan struktur skenario yang gak usah ikut-ikut novelnya). Saking bagus gagasan namun kecewa eksekusinya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BALADA SI ROY

 




That’s all we have for now.

Kira-kira mengapa cerita remaja sekarang sudah tidak lagi atau jarang yang membahas pemikiran karakter – apalagi berbingkai nasionalisme seperti Roy dan remaja 80an?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



SRI ASIH Review

 

“The best fighter is never angry”

 

 

Waktu mewawancarai Sri Asih tempo hari (videonya bisa ditonton di sini), aku bertanya kenapa penting bagi film-film jaman sekarang untuk menampilkan karakter perempuan yang badass. Pevita Pearce dan Jefri Nichol kompak menjawab bahwa karena sudah bosan melihat pria-pria terus yang berantem dan jadi jagoan. Aku setuju dengan jawaban mereka. Perempuan bisa kok jadi jagoan. Setelah sekian lama selalu ditampilkan sebagai ‘dayang-dayang’ yang fungsinya untuk diselamatkan oleh pahlawan cowok, sekarang sudah waktunya untuk menampilkan keberdayaan perempuan. Film, khususnya genre superhero, harus aware karena inilah medium yang tepat untuk menyimbolkan hal tersebut. Like, tahun ini saja Marvel sudah membuat terobosan dengan mulai memperkenalkan ‘versi cewek’ dari  masing-masing karakter superhero laki-laki yang mereka punya. Perempuan mampu membela diri, menghajar orang jahat dan menyelamatkan dunia. Ini haruslah diperlihatkan dalam konten yang lebih daripada sekadar memperlihatkan perempuan bisa lebih jago daripada lelaki.

Dalam soal itulah aku agak kurang setuju dengan bagaimana Sri Asih garapan Upi menampilkan dan mengembangkan sosok karakter superhero perempuannya. Where do I start?

Alana punya origin story yang bisa dibilang paling aneh di antara superhero-superhero lain yang aku tahu, lokal maupun mancanegara. Alana tidak ditempa oleh tragedi. Dia seperti dilahirkan dengan kekuatan karena ibunya actually ngidam melihat gunungapi saat mengandung baby Alana. Seperti ada koneksi antara kekuatan api dengan dirinya semenjak masih bayi. Gunung Merapi seperti tahu kehadiran Alana yang keturunan Sri Asih, sehingga memuntahkan asap panas, Kedua orangtua Alana lantas meninggal dunia dalam peristiwa naas setelah mereka kabur dari letusan gunung. Alana jadi dibesarkan di panti asuhan, dan sejak kecil dia mimpi didatangi oleh Dian Sastro.. eh, Dewi Api! Mengenai kekuatannya, kita tidak diperlihatkan gimana Alana bisa mengendalikan atau dia sendiri tahu persisnya gimana. Karena sejak kecil dia sudah cakap berantem. Dia menghajar tukang bully di panti. Alana kecil lantas diadopsi oleh ibu-ibu yang ternyata adalah agen profesional underground fighter. Kali berikutnya kita melihat Alana, dia udah gede dan jadi fighter yang menghajar lawan-lawan cowok. See, jadi Alana ini adalah tipe karakter chosen one, tapi kita tidak pernah diperlihatkan dia belajar atau berjuang untuk menggunakan kekuatannya. Alana ini kayak Mulan yang versi live-action; yang sudah jago. Dan kesamaan itu otomatis jadi red flag.

Padahal Sri Asih mestinya bawa red selendang hihihi

 

Kenapa red flag, karena kalo sudah jago begitu, maka apa dong yang harus dipelajari oleh si protagonis? Journey apa yang harus ditempuh oleh karakter utama sebagai plot yang bisa kita simak. Mulan live-action adalah bukti kegagalan naskah mengeksplorasi cerita keberdayaan perempuan, dengan membuat karakternya sudah hebat dan gak punya pembelajaran. Beda dengan cerita film animasinya. film versi modern itu hanya seperti memperlihatkan si Mulan lebih jago dari siapapun, terutama laki-laki. Sri Asih sebenarnya masih punya ruang untuk menggali, film ini tidak sepenuhnya ngesok membuat Alana jagoan seperti yang dilakukan film Mulan kepada karakter pahlawan legendanya. Film Sri Asih sebenarnya masih membuka ruang untuk pengembangan dengan membuat Alana harus belajar mengendalikan amarahnya. Diceritakan meskipun Alana adalah keturunan Sri Asih, tapi jika dia membiarkan diri terbakar oleh rasa marah, maka kekuatan pengrusak dari Dewi Api – musuh dari Sri Asih – yang akan menguasainya. Jadi Alana, dengan bantuan teman-temannya, berusaha mengendalikan amarah.

Marah memang sebaiknya tidak ditahan-tahan. Marah jika disalurkan dengan baik, maka juga bisa jadi kekuatan – dan justru menyehatkan. Lihat saja Gohan di Dragon Ball. Kuncinya adalah di penyaluran. Alana harusnya membaca bukunya Lao Tzu. Karena founder Taoisme itu mengajarkan seorang pejuang haruslah tidak mempertontonkan amarah. Karena seorang pejuang bisa menang jika berpikir dengan tenang, membuat keputusan dengan melihat semua dengan jelas. Semua itu hanya bisa dilakukan ketika hati dan kepala tidak sedang terbakar oleh emosi.

 

Naskah harusnya berkutat di sini. Di pergulatan personal Alana dengan dirinya. Dengan amarahnya. Masalah pada naskah Sri Asih adalah it gets too ambitious. Durasi dua jam jika memang fokus kepada karakter Alana, luar – dalam, bukan soal dia mengalahkan lawan dalam caged fight saja, tentulah akan menghasilkan cerita yang lebih grounded. Cerita superhero yang lebih menginspirasi buat penonton, karena bagaimanapun juga manusia menonton film hakikatnya adalah untuk menyimak perjalanan seseorang dalam usaha menjadi orang yang lebih baik. Wonder Woman pertama (2017), misalnya. No wonder film itu jadi salah satu cerita superhero buku-komik terbaik – superhero wanita pula! sebab mengeksplorasi kenaifan Diana Prince yang menganggap manusia itu innocent. Film itu tahu sisi vulnerable Diana, dan sepanjang durasi dimanfaatkan untuk menggali hal tersebut. Diana ditempatkan di zona perang, dan sebagainya. Bagi Alana, sisi vulnerable itu adalah rage. Rasa marah. Formulanya sebenarnya bisa sama dengan Wonder Woman. Namun, naskah ambisius film ini membuat pembahasan soal itu melompat-lompat. Karena ada banyak lagi hal-hal di luar personal Alana yang hendak dibahas.

Kita bahkan gak pernah yakin si Alana ini jadi gampang marah karena apa. Masa iya karena sering mimpi api? Dari sebelumnya dia menang telak di dalam arena, kita lantas melihat Alana tanding gak stabil karena guncangan amarah. Tau-tau dia jadi disebut punya masalah kontrol emosi saja. Pengembangan soal Alana ini jadi semakin terasa choppy karena naskah tampak lebih tertarik nunjukin elemen cerita yang lebih berbau politik dengan segala kekelamannya. Orang kaya yang memandang rendah orang miskin. Polisi yang tidak memihak rakyat. Dan tentu mereka-mereka adalah cowok yang sebagian besar brengsek. Ada lebih banyak durasi yang digunakan untuk dengan gamblang menyebut cowok lawan cewek, ketimbang durasi yang disediakan untuk Alana confront emosinya. Like, kupikir dia bakal susah menjelma sebagai Sri Asih karena begitu banyak amarah. Tapi ternyata persoalan itu selesai dengan gampang. Alana tinggal menari tradisional dalam sebuah ritual untuk menerima/membangkitkan kekuatan Sri Asih. Enggak tau juga kapan dia belajar tariannya. Persoalan kostum juga sama sekelebatnya. Sudah tersediakan!

“Darimana mereka bisa tahu ukuran gue…?!” cue musik DHUAR DHUAR!!!

 

Sama halnya dengan Gundala (2019), film pertama dari Bumi Langit Universe, naskah Sri Asih dengan cepat membesar dari yang tadinya serius dalam ranah personal, menjadi seperti serius tapi semakin mendekati konyol. Serum amoral kini digantikan posisinya oleh tumbal mistis 1000 jiwa, dengan rakyat penghuni rusun miskin jadi calon korbannya. Buatku lucu sekali si tumbal mistis ini begitu spesifik sehingga kentara banget maksanya. Seribu jiwa harus dibunuh bersamaan. Like, emangnya siapa yang ngitung. Kalo kurang atau lebih satu, apakah si penjahat harus ngulang lagi ngumpulin seribu jiwa yang lain. Dan itu keadaannya jelas kurang satu, karena Tangguh – teman dari masa kecil Alana – sebagai salah satu penghuni rusun sudah tidak ikut terjebak karena ada di markas bareng Alana. Motif penjahat serta karakter jahatnya sendiri juga jadi tidak terestablish dengan baik, saking banyaknya yang mau diceritakan. Berpindah dari yang tadinya cowok kaya yang asshole abis ke sosok mistis dari mitologi ke seorang yang diniatkan sebagai revealing yang mengejutkan. Alias twist. Dan twist ini, sodara-sodara, justru bikin satu-satunya perspektif menarik yang digali oleh cerita, jadi kayak terbuang gitu aja. Karena tidak lagi berarti, toh ternyata si karakternya beneran jahat!

So yea, Sri Asih adalah tipikal film yang menganggap dirinya sangat serius sehingga semua dialognya jadi intense. Karakter yang ngucapinnya juga, kayak orang paling misterius dan serius-you-don’t-wanna-mess-with-me semua. Kalo butuh sedikit mencairkan suasana, film akan membuat Alana dan Tangguh ‘berubah’ jadi karakter dengan dialog ala Marvel sebentar. Tapi sebagian besar waktu, film ini punya dialog-dialog superintens, yang bahkan lebih intens daripada sekuen berantem superheronya.  Kalo mau diurutin bagian intensnya, nomor satu adalah dialog-dialog, kedua adalah berantem martial arts di arena fight, dan ketiga berantem superhero. Yang aku suka adalah berantem martial arts ala UFC yang grounded.  Tapi itu juga mungkin karena pengaruh Pevitanya, karena kita tahu dia menjalani ‘transformasi’ untuk peran ini – peran yang bisa dibilang di luar kebiasaannya, jadi kinda like melihat Pevita yang berantem. Kita jadi ada ketegangan ekstra, karena ada sedikit believe ni si Pevita yang jadi Alana bisa kalah. Camera worknya juga dibuat dramatis di adegan berantem yang ini. Beda dengan ketika sudah jadi full superhero. Karena sudah jagoan banget, kita udah ngerasa kayak mustahil Sri Asih kalah melawan gerombolan penjahat cecunguk yang senjatanya cuma pistol. Shot-shotnya pun sudah mulai pakai efek komputer kayak Sri Asih atau musuhnya beterbangan. Kesannya tidak sereal dan grounded lagi. Sehingga ya jadi kurang seru, gak peduli semirip apapun genjreng-genjreng musiknya dengan tema Wonder Woman.

 




Si Sri Asih memang ‘badass’. Aku setuju kita juga gak boleh ketinggalan menampilkan cerita dengan superhero perempuan, yang punya daya, bisa menyelamatkan dunia, dan bisa mengalahkan kelemahannya sendiri. Sosok Alana juga berhasil dihjdupkan dengan cukup ikonik oleh Pevita – yang aku yakin ke depan akan terus dipanggil orang sebagai Sri Asih berkat perannya di sini. Hanya saja, sebagai cerita, film ini sesuatu yang masih berantakan. Alurnya jadi lebih peduli sama hal yang lebih ambisius, alih-alih journey personal karakter perempuannya. Plot si protagonis jadi kayak lompat-lompat perkembangannya. It was just ‘bad’. Karakternya jadi kayak sudah jago aja. Dia kayak benar sedari awal. Makanya filmnya jadi kayak soal cewek bisa lebih jago daripada cowok saja.  Namun sukurnya, film ini masih menyisakan ruang untuk Alana sedikit belajar (meskipun tidak digarap maksimal oleh naskah) sehingga, yah lumayan lah,  tidak sampai segagal Mulan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SRI ASIH

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian siapa yang menang duel antara Sri Asih lawan Wonder Woman?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA