I SAW THE TV GLOW Review

 

“Nothing is really real unless it happens on television”

 

 

Sebelum ada internet, anak-anak muda lari dari dunia nyata, ya ke televisi. Yang semakin terasa spesial karena tidak seperti sekarang yang kita bisa setel apapun kapanpun yang kita mau, dulu program-program televisi kebanyakan hanya ditayangkan seminggu sekali. Tanyakan saja, at least, kepada kakak-kakak generasi 90an yang ngerasain betapa serunya duduk manis di depan layar kaca kotak itu setiap hari minggu. Setelah enam hari sumpek oleh tugas-tugas sekolah, akhirnya mereka bisa meleburkan diri ke dalam fantasi – petualangan, horor, atau apapun itu – meski untuk beberapa jam saja. Kesempatan untuk melarikan diri sebentar, tahu selalu akan datang waktunya untuk ‘healing’ merilekskan diri supaya siap lagi menghadapi dunia nyata, membuat TV jadi begitu berharga. Sutradara Jane Schoenburn kayaknya juga anak 90an. Sebab dari film horor-psikologis-surealisnya ini dia nunjukin kepahaman, bahwa TV bagi anak muda adalah tempat pelarian, tapi juga lebih jauh daripada itu. Jane paham, bagi anak-anak muda yang begitu bersemangat nonton acara kesukaan mereka itu, acara TV tersebut bukanlah semata hiburan. Bahwa so many young people terpengaruh oleh apa yang mereka tonton. Mereka mungkin atau tidak mungkin membentuk jati diri dari sana. Dari pemahamannya terhadap hal tersebutlah, Jane membalikkan kasus. Jika selama ini TV dengan acara-acara yang diciptakan untuk entertainment pelepas lelah dikenal sebagai pelarian, maka bagaimana jika justru acara-acara di dalam situlah yang real?

“Aku merasa yang kita tonton ini nyata”, kata Maddy kepada Owen selesai mereka menyaksikan salah satu episode serial kesukaan mereka, The Pink Opaque. Owen tidak langsung menjawab, ketakjuban atas apa yang baru saja ia saksikan masih belum hilang dari sinar matanya. Kita tahu dia diam-diam mengiyakan, karena kita melihat langsung betapa tertariknya Owen terhadap serial horor remaja tersebut (bayangkan kalo Are You Afraid of the Dark dan Buffy the Vampire Slayer digabung, begitu kira-kira Pink Opaque). Padahal anak yang sering sesak napas ini dilarang nonton tayangan itu oleh ayahnya. Pertama, karena acara itu ditayangkan lewat dari jam tidur Owen. Dan kedua, ayahnya bilang itu tontonan cewek. Maka Owen pun, setiap minggu berbohong kepada orangtuanya, supaya dia bisa nginap di rumah Maddy, kakak kelas berjarak dua tahun darinya, untuk menonton bersama-sama. Owen dan Maddy bonded over this show. Dua abg yang sama-sama ‘kurang gaul’, sama-sama bermasalah dengan ayah. Sama-sama merasa gak fit in di dunia mereka. Sampai suatu ketika saat mereka dewasa dan acara tersebut secara misterius dicancel, Maddy muncul dan ngajak Owen kabur. Ke dunia Pink Opaque untuk melanjutkan cerita. Sepertinya mustahil dan tentu saja harus menempuh cara yang mempertaruhkan nyawa. Owen harus memilih, percaya pada Maddy dan ikut pergi ke sana betapapun anehnya, atau tetap tinggal di dunia yang bikin asmanya tambah parah.

Kenapa kita gak ke dunia Dragon Ball aja sih?

 

Dari nostalgia kultur televisi, Jane lantas menjadikan ceritanya sebuah kisah psikologis yang haunting terhadap identitas diri. Jane mengambil fakta bahwa anak muda suka menjadikan apa yang ditonton sebagai identitas – hal yang selama ini sering dikonotasikan negatif oleh kalimat larangan jangan meniru apa yang kita tonton di televisi, ataupun bagaimana tayangan televisi dianggap membawa pengaruh buruk bagi anak, dan membalikkannya. Jane membuat quote kelakar yang menyindir orang yang percaya apapun di tv adalah real (yang kutulis sebagai pembuka di atas), menjadi kehilangan kekuatan sindirannya.

Mungkin tontonan televisi bukan hanya membantu anak menemukan hobi mereka, kesukaan mereka, melainkan juga membuat menemukan identitas. Not in a way, kita abis nonton Dragon Ball lalu merasa diri kita orang Saiya, tapi identitas yang ‘loh, gue kayak dia loh’. ‘Oh, ada juga cowok yang hobi merias’, misalnya. Atau “Tuh, di tv ternyata ada cewek yang jadi pegulat’

 

Serunya, pemikiran Jane tersebut tertranslasikan ke dalam sebuah horor psikologi yang benar-benar surealis. Mainan utamanya adalah ambigu. Bagi Owen, dan kita, gak jelas apakah dunia yang ia tinggali itu real dan The Pink Opaque hanya tontonan, atau memang seperti kata Maddy; Pink Opaque adalah dunia asli mereka dan mereka dibuang ke dunia tempat tinggal mereka oleh Mr. Melancholy, musuh yang dihadapi oleh dua cewek jagoan di serial tersebut – dan bahwa sebenarnya Owen dan Maddy adalah Isabel dan Tara di dalam serial. Cara Jane membuat semuanya ambigu itulah yang menjadi kekuatan utama film ini. Penceritaannya dilakukan betul-betul lewat bahasa visual, dan karena muatannya mental dan kejiwaan yang personal, maka penceritaan itupun terasa sangat mencekam. Baik itu dunia tempat tinggal Owen, maupun klip dari serial Pink Opaque yang ditonton, hingga ke nanti imaji-imaji yang sepertinya terbentuk dari bagaimana Owen memandang ataupun mengingat hal, semuanya terhampar sama-sama kayak sebuah imajinasi. Semuanya kayak dream-like, hanya saja dream nya nightmare.

TV glow atau TV bersinar merupakan kalimat simbol bahwa ada kalanya anak muda menemukan tayangan yang sangat relate di televisi sehingga mereka jadi tertarik kepada tayangan tersebut; mereka akan duduk mantengin dengan wajah bercahaya terkena cahaya televisi. Oleh film, pengadeganan Owen nonton itu dibuat literal tapi kesannya sangat eerie, berkat penggunaan pendar neon ungu. Dan bukan hanya adegan nonton tv saja, banyak adegan yang memperlihatkan Owen terpana oleh cahaya yang dibuat seperti neon – entah itu dari percikan kabel listrik ataupun biasan lampu akuarium. Owen dan Maddy sebagai sentral akan lebih banyak ‘bicara’ lewat tatapan mereka menatap cahaya-cahaya seperti itu. Film ini bukannya minim dialog, cuma dialog-dialog itu ditempatkan dengan sangat efektif. Film tetap berpegang pada vibe surealis. Dialog akan terputus oleh pause panjang di antara dua karakter. Kalopun ada eksposisi, hal itu dilakukan lewat delivery akting monolog yang creepy. Justice Smith sebagai Owen dewasa, Ian Foreman sebagai Owen muda, Brigette Lundy-Paine both sebagai Maddy dewasa dan muda, mereka paham tugas masing-masing, paham karakter dan derita personal mereka, sehingga jeda-jeda, ataupun tatapan-tatapan mereka semuanya bicara. Semuanya terasa seram. Potongan klip tayangan Pink Opaque semuanya kayak klip short horror 90an yang disturbing lewat praktikal, low-budget like, efek. Satu lagi yang aku suka, adegan-adegan musikal dengan lirik aneh dan pembawaan yang menyeramkan!

Entah itu Owen beneran Isabel, atau Owen ‘hanya’ merasa relate dan membayangkan dirinya Isabel, yang jelas ini adalah cerita tentang Owen yang gak bisa mengekspresikan dirinya dengan nyaman. Tuntutan dari ayah, dan sosial, membuatnya sesak (asmanya melambangkan sesak ini). Yang membuatnya bahkan berpikir dua kali untuk ngikutin Maddy. Like, ditanya Maddy apakah dia suka cewek atau cowok aja, Owen gak bisa terbuka dan malah bilang dia sukanya sama serial televisi. Kalo ini Inside Out 2, maka kita akan melihat Fear dan Anxiety kompakan berdua saja memegang kendali di dalam benak Owen. Makanya, meskipun memang di sini karakternya queer, tapi I Saw the TV Glow tetaplah sebuah cerita yang mampu relate buat banyak orang. Karena – selain hampir setiap orang punya nostalgia terhadap tontonan di masa muda – hampir setiap orang juga menjadi dewasa dengan perasaan fear dan anxiety. Merasa gak fit in dengan sekitar. Merasakan ter-repress dalam satu atau berbagai bentuk yang lain. Akan ada tuntutan orang yang dengan berat harus dipenuhi, meskipun tidak sesuai dengan diri sendiri. Film ini menggambarkan betapa seramnya ketika kita harus memilih antara menjadi diri sendiri atau ikut apa kata orang, sebab kita gak tahu mana yang benar.

Fred Durst masuk-masuk aja kok main di film horor artsy hahaha

 

Ambigu film ini bertahan sampai ending. I Saw the TV Glow uniknya, merupakan film yang endingnya bisa terasa sebagai happy ending atau depressed ending, tergantung dari masing-masing kita penontonnya. Film ini bisa tampak seperti harapan masih ada waktu untuk Owen menjadi dirinya sendiri – bahwa dia minta maaf di akhir itu adalah dia telah sadar. Atau bisa terlihat sebagai akhir miris dari orang yang masih takut dan sesak hingga penghujung hayatnya. Buatku, aku merasa film ini berakhir sedih. Aku lebih suka memandang cerita ini dari skenario bahwa Maddy benar. Bahwa Pink Opaque adalah dunia mereka yang asli. Bahwa simbolik maupun literal, Owen sebenarnya Isabel. Aku sebenarnya gak setuju istilahnya karena berlawanan dengan teori biologis, tapi aku mengerti bahwa film pengen bilang Owen adalah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki – makanya dia sering flashback mengenakan pakaian perempuan. Dan dia punya satu kesempatan untuk kembali jadi Isabel, tapi karena begitu lama di society yang menuntut dia bertindak seperti pria ‘normal’ dan gak tahu mana yang benar, dia takut. False resolution ketika kita melihat Owen dewasa bilang dia udah move on; sekarang punya tv layar datar, berkeluarga, dan ngerasa Pink Opaque yang kini bisa maraton ditontonnya di platform streaming sudah cheesy dan gak sekeren yang dia ingat, buatku hanya alasan yang dibuat-buat karena kita tidak benar-benar melihat keluarganya. Serial yang ditontonnya pun beda, karena tidak ada Isabel – yang berarti dia deny himself (atau mungkin tepatnya, herself). Dan itulah sebabnya kenapa ada adegan ‘tv di dalam dada’. Journey Owen ditutup dengan dirinya menyadari dan mengakui siapa dirinya, but once again, dia tidak berani membawa dirinya itu ke permukaan.

 

 




Tragis. Tapi siapa yang mau disalahkan? Televisi, yang mempengaruhi anak muda sehingga berpikir yang tidak-tidak terhadap dirinya? Atau televisi-lah yang justru menyadarkan mereka dan membuka wawasan. Tapinya lagi juga sebaliknya, toh televisi juga yang mempropagandakan standar-standar sosial yang diterima masyarakat sebagai kebenaran atau kenormalan. Yang jelas film ini merupakan paket lengkap studi terhadap kultur televisi, sekaligus juga psikologis coming-of-age (dan self) yang haunting. Keren sekali gimana film ini sebenarnya juga have fun dengan nostalgia terhadap era televisi (terbukti dari treatment visual, hingga cameo-cameo artis TV 90an) tapi tetap tidak lepas dari arahan personal dan surealisnya sebagai bahasan horor eksistensial yang konsepnya bermain-main dengan ambiguitas. Subjeknya boleh saja queer, tapi sejatinya permasalahannya mampu untuk terasa relate bagi banyak orang. Karena yang namanya represi kayaknya bisa terjadi di luar gender. Aku setuju sama salah satu kutipan media yang dipajang di poster film ini. “A One-of-a-kind Masterpiece.”
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for I SAW THE TV GLOW

 

 




That’s all we have for now.

Ngomongin tayangan televisi, acara tv apa sih yang buat kalian paling ‘glow’ waktu growing up dulu?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE ZONE OF INTEREST Review

 

“When we ignore the world outside the walls, we suffer – as does it”

 

 

The Zone of Interest currently – menurut istilahku – ada di posisi tier 0 dalam kompetisi Piala Oscar tahun ini. Karya Jonathan Glazer ini sukses mengantongi empat nominasi utama; Skenario, Naskah, Film Internasional, dan Film Terbaik,  yang artinya film ini berpotensi sapu bersih nominasi-nominasi utama tersebut. So pasti interestku buat The Zone of Interest melambung tinggi, dengan skeptis dan perasaan tertantang membayangi di baliknya. Apa beneran sebagus itu. Kejadian berikutnya udah kayak iklan before after. Sebelum nonton aku tersenyum membayangkan sajian menantang seperti apa yang bakal disantap oleh mata dan pikiran. Dan setelah menonton, rasanya kayak kesan yang hadir saat melihat poster di atas. Hitam, hollow. Rasanya seperti kena tonjok tepat di nurani dan urat kemanusiaan. Telingaku rasanya berdenging sebuah dengkingan panjang yang kering. Itu semua bukan karena filmnya buruk atau mengecewakan. Film ini justru depicts so much truth, soal betapa canggihnya kemampuan manusia untuk nyuekin kekejian di sekitar, bahkan ketika semua itu mulai ada dampaknya bagi jiwa kita.

Target Pak Sutradara kentara untuk menghasilkan kesan realisme. Kita dapat menangkap ini dari gimana kamera film yang dibuat statis mungkin. Tidak ada zoom, tidak ada gerakan sensional, tidak ada drone shot fantastis. Kita dibuat seperti beneran di sana menyaksikan sendiri dari jarak yang cukup dekat kehidupan sehari-hari keluarga Komandan Rudolf Hoss di rumah mereka yang nyaman. Rumah itu cukup besar tapi tidak sedemikian mewah. Ruangannya kayak rumah dinas biasa, dipenuhi oleh sejumlah pelayan yang sibuk. Punya halaman hijau yang cukup luas. Ada kolam renang kecil. Ada kebun bunga dan sayur yang diurus oleh Hedwig, istri Hoss. Tidak jauh dari rumah ada sungai tempat Hoss dan anak-anaknya berenang. Nyobain sampan baru hadiah dari istrinya. Hoss dan istrinya cinta tempat itu, bahkan ketika disuruh pindah karena tugas pun, sang istri minta bertahan dan Hoss merelakan mereka harus ‘LDR’ sementara. Semua kenyamanan hidup tak terkira itu tentu saja demi anak-anak mereka. Komandan Hoss tampak relate dengan kita yang pengen keluarganya untuk bahagia sejahtera. Cumaa, Rudolf Hoss ini actually adalah komandan Nazi. Dan, ssstt, cobalah dengar suara-suara di luar rumah mereka. Ya, rumah impian keluarga tersebut tetanggaan sama concentration camp tempat Hoss bekerja. Camp Auschwitz, salah satu camp nazi yang paling dikenal karena tindakan kejam pembunuhan dan pembakaran terhadap orang-orang Yahudi di sana udah kayak rutinitas sehari-hari.

review the zone of interest
Yup, keluarga makmur yang hidup sehari-harinya gak beda jauh dari kita itu ternyata evil Nazi!

 

Pilihan film ini sekilas memang tampak ganjil, Kenapa tokoh utamanya adalah Nazi dan dimanusiakan sedemikian rupa kayak kepala keluarga biasa. Jangan keburu menjudgenya sebagai tontonan yang tidak berpihak kepada korban. ‘Nazi is evil’ tetap jadi headline utama. Hanya penggambarannya yang dilakukan dengan unik, dan terbukti menghasilkan kesan yang powerful, oleh film ini. Kekerasan, kejahatan, derita dan trauma tidak melulu harus digambarkan lewat visual. Lagipula, film adaptasi novel berdasarkan historical person dan event ini tentu saja tidak butuh lagi untuk memperlihatkan langsung gimana kejinya perlakuan Nazi, mempertontonkan hal itu hanya akan membuat film ini jadi eksploitasi. Jadi yang dilakukan film untuk mencuatkan kekejian mereka yang punya ideologi mereka manusia yang paling layak dibanding Yahudi adalah dengan mengontraskan kehidupan sehari-hari mereka sebagai manusia, dengan keadaan di luar rumah. Kontras yang memperlihatkan mereka bisa hidup biasa aja padahal di luar pagar mereka terjadi pembantaian dan penembakan.

Suara-suara tembakan, suara teriakan, suara perintah galak – yang kadang teredam oleh suara mesin motor ataupun kereta api – secara konstan terdengar memenuhi udara halaman mereka. Merayap di balik percakapan ringan ibu-ibu rumah tangga. Aku bahkan gaingat apakah film ini ada pakai skor musik atau enggak, karena suara-suara kejadian penyiksaan dan pembunuhan itu yang paling bergaung. Ngasih sensasi disturbing luar biasa karena di layar kita melihat orang-orang yang menjalani hidup seperti biasa. Film sudah ngasih kita peringatan untuk awas terhadap suara sejak dari momen pembuka yang cuma layar hitam dengan suara kayak mesin yang bikin feeling uneasy. Selain desain suara yang jelas-jelas jadi kekuatan khusus film ini, juga memperlihatkan kepada kita clue-clue visual. Pesawat pengebom yang ‘tersibak’ di langit di antara kain-kain putih yang dijemur. Asap yang muncul menghiasi background, menandakan lagi ada yang dapat giliran dibakar hidup-hidup di gedung sebelah. Air cucian sepatu boot Hoss yang berwarna merah, menandakan dia baru saja dari medan ‘pembunuhan’. Badan anak-anak Hoss yang penuh pasir saat dimandikan sepulang berenang di sungai, menandakan mereka baru saja berenang di air yang mengalirkan sisa pembakaran tadi. This is actually horrifying gimana keluarga ini menjalankan hidup normal padahal di sekitarnya orang-orang sedang dibantai. Gimana mereka memilih bertahan di sana dengan anak-anak mereka.

Itulah kejahatan manusiawi yang ingin ditonjolkan oleh film. Alih-alih membuat mereka berlaku kasar dan biadap seperti biasanya film-film menunjukkan kekejaman Nazi, film ingin memperlihatkan mereka jahat karena mereka tega-teganya hidup seperti itu. Dan pada gilirannya, kita juga kena sentil, karena walau mungkin dalam hati kita bilang gak akan pernah sejahat Nazi, tapi nyatanya film bisa menarik garis relate dari kita yang berusaha hidup tentram sekeluarga, sementara mungkin tetangga ada yang sedang kesusahan. Ketika kita membaca berita perang di timeline, menonton berita tragedi di tv atau di internet, posisi kita sudah seperti keluarga Hoss. Kita ‘mendengar’ jeritan itu. Namun seberapa besar tragedi itu mempengaruhi kita. Ending film ini mendorong gagasan itu lebih dekat lagi dengan actually memperlihatkan masa sekarang. Saat ‘hasil kerja’ Hoss dan gengnya nampang di museum. Memorabilia kejahatan itu dijaga, dipajang. Buat apa? Pengunjung museum datang melihat dan belajar sejarah, tapi nyatanya sejarah itu bakal terulang. Karena perang masih ada. Sedang berlangsung.

How do we all sleep at night? Nyenyakkah tidur kita di balik ‘pagar’ masing-masing, meskipun ‘mendengar’ masih banyak kekejian di luar sana?

Pertanyaan tersebut tidak dibiarkan terbuka oleh film ini.  Inilah yang actually bikin film lebih kuat. Karena dia bukan sekadar gambaran realis yang puitis dan menohok. Film punya jawaban dan itu bukan menuding kita semua sama jahatnya ama keluarga Hoss. Film ini justru memperlihatkan bagaimanapun Hoss dan keluarganya berusaha cuek, tapi deep inside mereka terpengaruh juga. Bahwa sebagai manusia, kita tidak akan pernah bisa untuk benar-benar tidak peduli. Dan sebenarnya manusia bakal sama-sama menderita atas kejahatan yang dilakukan kepada manusia lain.

Bukan suara dengung nyamuk yang mengusik saat duduk di taman ini

 

Film ini ingin menggugah kita. Makanya film yang mengincar realisme ini lantas gak ragu untuk di beberapa tempat menjadi sangat jarring. Tiba-tiba menggunakan transisi warna merah tok, misalnya. Film benar-benar ingin memastikan apa yang kita menonton, terasa mengganggu bagi kita. Satu adegan paling tak biasa yang dilakukan oleh film ini adalah adegan di malam hari dengan menggunakan kamera thermal. Kita melihat sesosok perempuan remaja, meletakkan buah-buahan di hutan dan di tempat-tempat yang sepertinya bakal dilewati oleh tahanan di camp. Dia melakukan itu saat hari sudah benar-benar gelap, dan film ini karena mengincar realisme tadi, tidak menggunakan lighting buatan. Melainkan pakai kamera yang memotret suhu tubuh. Alhasil nonton adegan tersebut bergidiknya bukan main. Sosok perempuan itu berpendar putih sementara latarnya gelap. Buatku adegan itu kesannya gadis itu kayak secercah harapan, sekaligus juga nunjukin manusia itu di dalamnya ya ‘putih’.  Baek. Tapi kita semakin jarang punya kesempatan atau keberanian untuk nunjukin itu.

Karakter nenek yang menginap, diceritakan akhirnya pulang diam-diam, karena nuraninya gak kuat mendengar jeritan yang semakin jelas di malam hari yang senyap. Dia gak bisa tidur. Anak-anak Hoss, ada yang diam-diam mengoleksi gigi korban dan merenunginya. Ada juga anak yang mendengar suara orang ditembak dan bergidik sebelum akhirnya kembali main tentara-tentaraan.  Gak ada yang sebenarnya bisa benar-benar hidup nyaman dalam kondisi berperang seperti begitu. Bahkan Hoss pun mendapat pengaruh secara psikologis. Ini jadi cara film untuk mendesain inner journey dari karakter utama. Untuk membuat dia bisa mendapat sedikit simpati, sekalipun aksi nyatanya membuat dia seorang protagonis yang selamanya tidak akan pernah kita jadikan hero ataupun layak mendapat simpati itu. Hoss yang kerjaannya bikin gas chamber, sedang pesta,  semacam dia naik pangkat. Tapi di akhir itu kita melihat dia curhat kepada istrinya lewat telefon, bahwa dia anehnya merasa pengen ngegas orang-orang Nazi di pesta itu. Ini hampir seperti nurani-nya yang bicara. Yang menyeruak keluar. Terbangkitkan karena selama ini dia tinggal begitu dekat dengan para korban. Perjuangan terakhir Hoss sebelum kita melihatnya menghilang ke dalam kegelapan saat turun tangga, adalah pergulatan batin nurani lawan ideologi. Hoss muntah tapi tidak ada yang keluar. This is as good as we can get dari journey dari karakter seperti Hoss, meski kita tahu siapa dari yang menang dari pergulatan personal tersebut.

 




Kupikir, begitu rasa penasaranku dari capaian nominasi film ini terpenuhi, alias sudah nonton, aku bisa tidur nyenyak. Ternyata enggak. Film ini berhasil bikin mikir sampai gak bisa tidur. Desain penceritaannya luar biasa. Menunjukkan betapa ngerinya manusia bukan dari kekejaman fisik, bukan dari eksploitasi kesadisan, ataupun menjual trauma, tapi dari mengontraskan situasi. Dari gimana satu keluarga berusaha hidup nyaman, dengan nyuekin hal di sekitar mereka. Naskah juga enggak puas dengan hanya menjadi gambaran itu. Inner journey karakter, juga tetap digali seperti relationship mereka turut dibahas. Dan film berhasil melakukan itu tanpa merusak gagasan yang diusung. Membuat kita simpati tapi tidak sampai membuat karakternya jadi hero ataupun pantas untuk simpati itu. Siap-siap saja kalau mau menonton ini, karena film ini boleh jadi adalah film paling menakutkan tahun ini. 
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE ZONE OF INTEREST.

 




That’s all we have for now.

Pernahkah kalian melakukan sesuatu yang membuat kalian tidur tidak nyenyak di malam hari? 

Jika berkenan, silakan share ceritanya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



BODIES BODIES BODIES Review

 

“Sometimes your dearest friend whom you reveal most of your secrets to becomes so deadly and unfriendly…”

 

 

Bersahabat berarti kita tahu baik-dan-boroknya perangai sobat-sobat sekalian. Tolerate them, just like they tolerate us – at some degree. Nah, batasan degree inilah yang menarik. Berbagai cerita telah mengeksplor apa yang terjadi kepada satu grup pertemanan saat dark secret masing-masing dibongkar, dihamparkan keluar. Udah jadi kayak trope tersendiri. The ‘revealed secrets’ trope. Serial sitcom Community, misalnya, punya tiga episode dengan trope ini. Karena memang menarik mengulik karakter melalui rahasia terdalam mereka, dan tentunya juga membuat relationship mereka jadi semakin berwarna. Namun, belum banyak yang menggali trope ini lewat lensa horor atau thriller. Itulah hal fresh yang dibawa oleh Bodies Bodies Bodies garapan Halina Raijn. Yang dalam prosesnya, juga balik menyajikan sesuatu yang baru terhadap perspektif dan juga trope lain, yakni, whodunit itu sendiri.

Kata Bodies Bodies Bodies merujuk kepada permainan yang dilakukan oleh geng karakter di film ini. Mereka berkumpul di rumah gede, merayakan kembalinya Sophie dari rehab. Di luar lagi badai, jadi mereka mengisi waktu dengan permainan yang mirip kayak Werewolf atau Among Us. Mereka akan berusaha menebak satu ‘killer’. Dan saat itulah tuduh-tuduhan itu semakin menjadi. Dari dialog-dialog kita bisa mendengar bahwa ada rekah-rekah kecil – tapi serius – di balik keakraban mereka. Kehadiran orang baru seperti Bee, pacar baru Sophie, juga tidak banyak membantu. Ketegangan menjadi benar-benar memuncak menjadi horor saat salah satu dari mereka ditemukan tewas dengan luka sabetan pada leher. Ada ‘killer beneran’ yang menginginkan mereka semua mati satu persatu. Kita lantas melihat geng ini semakin hancur as semua mulai saling serang dengan fakta-fakta kelam demi mencari siapa pembunuh di antara mereka.

Anak Borat main film thriller!!

 

Yang nonton film ini mengharapkan whodunit standar, bakal either surprise berat atau malah kecewa parah. Dan itu bukan salah penonton, melainkan karena memang itulah resiko yang diambil oleh film ini. Misteri siapa pelakunya, apakah pelakunya ada di antara mereka atau ada orang lain (ada satu anggota geng yang menghilang sedari awal cerita dimulai) memang dibangun penuh tensi dan misteri. Namun di balik tensi dan mayat-mayat bersimbah darahnya, Bodies Bodies Bodies sebenarnya terutama diniatkan sebagai satir. Sindiran buat perilaku komunikasi sosial seperti yang diperlihatkan oleh karakter-karakternya. Sophie dan gengnya adalah anak-anak orang kaya, trendi, mereka ini istilahnya anak gaul banget. Bahkan karakter utama kita, Bee, walaupun berasal dari luar circle, dia foreigner di antara yang lain, gak share lifestyle yang sama, tapi tetap punya ‘gaya’ sosial yang serupa. Salah satu dialog yang jadi diulang saat Sophie muncul bersama Bee di rumah itu adalah persoalan anak-anak yang lain surprise melihat Sophie beneran dateng karena selama rehab Sophie tidak pernah membalas grup chat di Whatsapp. Ya, karakter-karakter di cerita ini merepresentasikan Generasi Z. Anak-anak muda yang secara konstan bergaul di internet, sosial media. Karakter-karakter di sini punya podcast, bicara dengan kamus ala anak-anak woke di Twitter, dan cari pacar di dating app. Furthermore, film ngasih lihat sedikit perbandingan antara generasi mereka dengan generasi yang sedikit lebih tua lewat karakter Greg. Outsider seperti Bee, karena adalah pacar tinder si Alice, salah satu teman geng Sophie.

Rahasia buruk mereka semua berkenaan dengan betapa fake-nya mereka terhadap masing-masing. Satu adegan menunjukkan mereka nari TikTok bareng, lalu ada juga adegan lain yang nunjukin mereka berargumen soal apakah satu orang karakter beneran suka sama podcast karakter yang satunya. See, dari karakter-karakternya saja film ini sudah divisive. Sebagian penonton akan merasa relate sama permasalahan sosial ‘kekinian’, sebagian penonton lagi akan jengkel. Aku termasuk yang sebagian kedua. Buatku mereka semua annoying,  candaan mereka gak masuk ke aku, aku tahu kalo aku seatap dengan circle seperti mereka itu aku pasti sudah cabut daritadi. Aku hanya bisa relate sama game bodies bodies bodies mereka karena.. well, karena game. Selebihnya aku hanya seperti benar-benar menonton saja. Nah, ketika seorang yang gak care dan gak relate bisa betah menonton, itu sebenarnya sudah ‘prestasi’. Bahwa di balik itu, film ini punya ‘sesuatu’. Dan ‘sesuatu’ itu bukan hanya soal misteri whodunit atau misteri bunuh-bunuhannya saja, melainkan juga pesan di dalamnya. Relate atau tidak, suka atau tidak dengan revealing di endingnya (mungkin lebih tepatnya, merasa ‘tertipu’ atau tidak) gagasan film ini adalah sesuatu yang beresonansi dengan kita yang hidup di masa sekarang. Film hanya membungkusnya dengan rapi ke dalam misteri whodunit dan karakter-karakter annoying.

Memikirkan tujuannya sebagai satir untuk pergaulan Gen Z, film ini sebenarnya cukup ‘keras’. Banyak dialog yang benar-benar menyindir tajam betapa insignifikan hal yang merasa jadi masalah buat mereka. Gen Z yang nonton kayaknya bakal tersentil. Like, sebegitu pentingnyakah orang harus balas chat Whatsapp sehingga dia datang saja dianggap ‘tiba-tiba’ dan dianggap sombong sama teman satu geng. Atau soal podcast, segitu pentingnyakah kita harus suka sama konten yang dibuat teman kita untuk populer di sosmed. Ini kayak gue like punya lu, lu like punya gue, karena harus saling menghargai usaha bikin konten. Atau juga soal bahasan toxic, dan istilah-istilah itu. Film dengan blatant menyebut anak jaman sekarang menggunakan istilah-istilah trending just because it is trend, dan padahal sebenarnya mereka tidak punya pendapat personal soal permasalahan yang bersangkutan. Bagian-bagian mencekam ketika lampu mati dan mereka harus berjalan dalam gelap hanya dengan bantuan cahaya dari layar hp seperti menguatkan gagasan film soal betapa anak muda sudah merasa gede dan ‘aman’ hanya dengan melihat lewat gadget. Ultimately, ending filmlah yang ngasih toyoran paling kuat. Film rela whodunitnya jadi ‘agak laen’ supaya gagasan dan sindiran tersebut benar-benar nonjok.

Yang film ini ingin tunjukkan adalah betapa lemahnya pertemanan dan bahkan relationship yang didasari oleh bagaimana orang bertindak di internet. Yea, sesama teman mungkin bisa khilaf dan keeping secret lalu membocorkan rahasia, tapi dengan perilaku bersosial media sekarang, semua itu terasa lebih rapuh. People will have no idea how to act genuinely ketika berhadapan langsung, dan bakal ended up hurting each other more. Yang baru saja kita lihat adalah kisah bagaimana sekelompok Gen Z menghancurkan koneksi, menghancurkan diri mereka sendiri karena ketika bertemu, mereka tidak bisa bonding secara natural melainkan jadi merasa saling ekspos satu sama lain

Mungkin karena settingnya seringkali gelap, tapi si Emma ini sekilas-kilas tampak mirip Mawar de Jongh

 

Horor atau thriller biasanya suka membunuh karakter yang paling likeable atau simpatik, you know, untuk menaikkan tensi dramatis. Untuk karakter utama, kematian karakter likeable ini biasanya diset sebagai pukulan berat. Malangnya bagiku, karakterBodies, Bodies, Bodies yang likeable – yang mikir pakai logika dan gak berdialog pake istilah-istilah kekinian –  juga dibuat mati, yang berarti aku ditinggal bersama karakter-karakter annoying, dengan situasi kematiannya yang juga sama-sama annoying. Karena dari adegan kematiannya itulah aku sadar bahwa karakter utama film ini juga tidak akan diniatkan untuk belajar inline dengan penonton. Bahwa karakter utamanya juga bergerak dalam design tipikal karakter Gen Z. Itulah yang jadi bahan koreksi untukku pada film horor keluaran A24 ini. Karakter utamanya, si Bee, tidak benar-benar punya pembelajaran yang kuat, melainkan hanya dijadikan sadar, dan dia itu tetap adalah bagian dari kerapuhan relasi.

Maria Bakalova sebenarnya memerankan Bee dengan sesuai. Dia mengerti kebutuhan naskah, paham kapan harus mengundang simpati, kapan harus bertingkah sus, kapan harus cerdik, dan mainly itu dilakukannya dengan ekspresi. Sama seperti si Amanda Stenberg yang jadi Sophie, jago dan ngertinya juga dalam memainkan ekspresi. Design karakter mereka saja yang ngambil resiko. Kayak si Bee,  momen dia membunuh karakter likeable satu-satunya, adalah momen kita meragukan dirinya sebagai tokoh utama. Momen ketika tokoh utama tidak bertindak seperti penonton jika mereka ada di posisi yang sama. Karena kita tidak bisa melihat alasan dia harus membunuh. Bee hanya berubah dari yang tadinya cinta, overly kalo boleh disimpulkan sesuai aksinya, ke jadi takut sama pacarnya. Ini bukan plot yang kuat untuk karakter utama. Sehingga karakternya malah jadi kurang kuat punya alasan untuk ada di sana, melainkan hanya sebagai pasangan dari karakter lain. Film tidak mengeksplorasi banyak siapa dirinya. Aku malah mikir, kalo karakter Bee gak ada, ceritanya jadi hanya tentang Sophie yang balik dari rehab untuk menjalin pertemanan lagi dengan teman-teman gengnya – film ini masih bisa jalan. Gagasan dan sindiriannya masih bisa juga tersampaikan tanpa harus lewat sudut pandang Bee. So yea, Maria Bakalova memainkan Bee dengan hebat, hanya saja Bee ini kurang kuat sebagai karakter. Hampir seperti dia ada karena film butuh romance, dan butuh dua orang untuk moment final.

 

 




Aku gak nyangka bisa betah juga nonton film yang karakternya benar-benar annoying semua dan gak relate. Mungkin itulah kekuatan dari cerita. Kekuatan dari naskah. Film ini benar-benar punya sesuatu untuk dikatakan, dan mendesign ceritanya untuk memenuhi itu. Menempuh banyak resiko, di antaranya membuat bangunan misteri whodunit jadi punya ‘surprise’ yang might not working well buat penonton. Untukku, endingnya worked great, design atau konsepnya bisa dimaklumi karena film ini mengincar ini sebagai satir. Yang kurang hanya pembangunan karakter utamanya, yang gak benar-benar dieksplor. Cerita dan fungsi film menurutku masih bisa jalan tanpa dia
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BODIES BODIES BODIES

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian society generasi kekinian memang akan menghancurkan dirinya sendiri?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



EVERYTHING EVERYWHERE ALL AT ONCE Review

 

“Nobody exists on purpose. Nobody belongs anywhere. Everyone’s gonna die. Come watch TV?”

 

 

Malu aku kalo jadi Marvel (or any other Blockbusters), melihat film Everything Everywhere All at Once. Karena garapan Dan Kwan dan Daniel Scheinert ini dengan telak menendang bokong alesan-alesan yang bilang film menghibur itu harus ringan-ringan aja. Duo sutradara ini mengambil yang terbaik dari Shang-Chi – yakni adegan-adegan aksi yang bikin kung-fu kayak jadi kekuatan superhero dan menempatkannya ke dalam setting multiverse. Dan oh boy, multiverse yang mereka bangun, bukan sekadar dunia luas untuk memunculkan cameo-cameo dan memperbesar franchise. Melainkan multiverse yang benar-benar diintegralkan ke dalam plot. Bagaimana orangtua bisa ngertiin anak mereka? Everything Everywhere All at Once menilik problem keluarga ‘Asia’ serupa Turning Red (2022) dari sudut pandang ibu, dalam tone penuh kegilaan lintas-semesta serupa serial kartun Rick and Morty!

Sehabis nonton, aku masih gak percaya kalo film ini bukan live-action dari kartun tersebut. Bukan hanya karakternya mirip, tapi karakternya juga membicarakan masalah yang sama. Tapi tentu saja yang terpenting adalah perspektif. Dan dengan puas aku mengatakan bahwa Everything Everywhere All at Once ini terasa spesial berkat fokus dan dalamnya penggalian perspektif di balik hingar bingar multiverse dan kekocakan adegan-adegan yang menyertainya.

Yang jadi tokoh utama adalah Evelyn (Michelle Yeoh mainin ‘Beth Smith’ versi lebih stress). Hari itu sibuk banget bagi Evelyn. Usaha laundrynya sehectic yang biasa, pun begitu dia masih harus mempersiapkan makan malam tahunbaruan bersama ayah yang standarnya tinggi. Ugh, tunggu sampai putrinya, Joy, yang memilih untuk jadi lesbi itu sampai ke rumah. Belum apa-apa pikiran Evelyn udah penuh sesak aja. Dia masih harus pergi berurusan dengan auditor usaha laundry, sembari sudah menunggu untuk diurus; perkara perceraian yang suratnya kini ada di dalam tas pinggang sang suami. Yang paling ditunggu Evelyn adalah soal cerai itu. Dia udah gak tahan sama urusan suaminya yang kayak Jerry di Rick and Morty. But hey, mendadak Waymond si suami bersikap aneh. Bawa-bawa alat aneh. Ngakunya sih, Waymond yang ada di tubuh suaminya ini berasal dari universe lain. Semesta canggih di mana Evelyn dan keluarga menemukan alat yang memungkinkan mereka ‘menjenguk’ versi diri mereka di berbagai semesta. Tapi bencana datang dari sana. Ada makhluk bernama Jobu Tupaki yang jadi liar, berpindah semesta sesuka hati, dan dia membawa kehancuran pada setiap semesta yang ia datangi. Evelyn diharapkan jadi penyelamat. Bukan saja karena Jobu Tupperware (nama karakter ini memang dijadikan running joke oleh film lol) mengincar dirinya untuk dimasukkan ke dalam bagel alias donat raksasa. Melainkan juga karena si Jobu Tutupodol ini actually adalah anak Evelyn dari versi semesta yang lain!

Would love to see Evelyn dan Waymond met Beth and Jerry in some crazy-bat shit-adventure together XD

 

 

Di sinilah letak jeniusnya penulisan film ini. Bahkan saat disandingkan mirip dengan karakter Rick and Morty pun, Kwan dan Scheinert melakukan penulisan karakternya lebih kompleks dan lebih fokus. Karakter Rick Sanchez seolah mereka bagi dua dan dimasukkan menjadi karakterisasi Joy dan Gong Gong; ayah dari Evelyn. Ini otomatis menjadikan konflik Evelyn lebih complicated dibandingkan Beth. Evelyn adalah seorang ibu yang berusaha mengerti sikap anaknya, sekaligus mencoba memuaskan ayahnya. Sekali lagi siklus ‘keluarga-Asia’ yang turun temurun penuh harapan yang mengukung tampil di layar lebar.  Dan untuk kali, kita dibuat benar-benar merasakan kecamuk dan hiruk pikuk itu semua.

Untuk beberapa menit pertama, film memang terasa hingar bingar sekali. Begitu banyak karakter berseliweran, begitu banyak permasalahan yang harus mereka urus. Lalu datanglah elemen multiverse yang membuat semuanya semakin terasa terus membesar. Tapi konflik utama dalam Everything Everytime All at Once sesungguhnya begitu grounded. Multiversenya hadir dengan infinite possibilities, yang actually tetap dikembalikan kepada si karakter. Ya kita akan melihat Evelyn melihat berbagai versi dirinya (dan karakter lain) di berbagai versi alam semesta. Dari luar, semesta-semesta itu seperti dirancang untuk memancing tertawa, karena kita lihat di antaranya ada dunia yang semua manusia berjari sosis, ada dunia yang seperti live-action dari suatu film animasi. Apalagi di sini ada konsep berupa para penyebrang universe bisa mendownload keahlian mereka dari universe lain, menjadikan keahlian tersebut kekuatan untuk berkelahi. Dan untuk membuka keahlian itu, mereka harus melakukan hal-hal super random! Adegan-adegan aksi datang dari sini. Kreativitas film ini gila dan kocak menampilkan semuanya. Favoritku adalah ketika melihat Jamie Lee Curtis ngedropkick ahli kung-fu hahaha. Namun ada sesuatu yang lebih dalam di balik itu semua. Gak cuman bak-bik-buk yang hahahihi. Bagi Evelyn, universe-universe tersebut adalah kemungkinan-kemungkinan pilihan hidupnya. Bagaimana hidupnya jika dia tidak pergi dari rumah dan pergi ke Amerika semasa remaja. Bagaimana hidupnya jika dia menolak cinta Waymond. Bagaimana hidupnya jika dia fokus pada hobinya menyanyi. Di Rick and Morty ada juga episode Beth melihat berbagai versi hidupnya jika dia menolak Jerry. Tapi jika Beth di episode Rick and Morty tenggelam dalam memelototi pilihan-pilihan yang ia lewatkan, Evelyn menggali ini semua dengan lebih aktif. Universe itu di paruh kedua film dia pandang sebagai ‘bagaimana jika ayahnya tidak membiarkan dirinya pergi’. Semua universe yang kita lihat reflected kepada perjalanan karakter Evelyn yang mencoba mengenali kembali rasa cintanya. Cinta yang terkubur cukup dalam oleh rutinitas dan kesibukan, dan juga oleh tuntutan dari keluarga itu sendiri.

Sebagai kontras dari Evelyn yang mencoba ‘merapikan’ pilihan hidup manusia yang naturally begitu beragam kita gak akan sanggup untuk menangisi dan menyesali semuanya, film bicara tentang nihilism. Membuat mencapai-kenihilan sebagai motif dari versi Joy yang jadi jahat. Bagel/donat yang jadi monumen alias simbol dirinya sejatinya adalah figur 0, sesuai dengan yang ia yakini. Dan film memasukkan banyak visual soal 0 tersebut sepanjang durasi. Inilah yang membuat karakternya kusebut sama ama Rick Sanchez. Rick dan Jobu Tobacco sama-sama bisa pindah universe sesuka hati, mereka telah melihat banyak, mengalami lebih banyak, namun mereka percaya semua itu tidak berarti. Saking infinitenya semesta, semua hal jadi tidak spesial. Mereka jadi berpandangan seperti itu karena sama-sama terluka sebagai seorang person. Bedanya, Rick jadi nihilist karena trauma kehilangan. Sementara Joy jadi Jobu TobatMak! karena ekspektasi orangtua. Generation gap dan banyak faktor luar lainnya (ingat mereka keluarga Asia, tapi Joy besar sebagai orang Amerika) membuat apapun yang dilakukan Joy tidak disetujui oleh ibunya. Dari sinilah awal mula Joy mulai capek dan memandang semuanya sebagai sia-sia. See, film merangkai motivasi dan konflik para karakter dengan begitu detil ke dalam elemen multiverse. Menjadikan bukan saja karakter-karakternya yang tereksplorasi dengan baik, tapi juga multiverse itu sendiri. Ini bukan sekadar cerita dengan multiverse. Melainkan cerita tentang multiverse sebagai akibat/perwujudan dari konflik karakter.

Argumen nihilism di antara begitu banyak kemungkinan pilihan hidup jadi pusat cerita, yang membuat film ini seru untuk terus diperbincangkan. Film tidak melempar jawaban mana yang lebih benar atau mana yang salah dengan gamblang. Melainkan dengan bijak dan seksama memperlihatkan perjuangan karakter orangtua dan anak, dan istri dan suami, menemukan  penyelesaian dari konflik perasaan mereka. Multiverse dijadikan sarana visual untuk memperkuat psikologis dari berbagai ‘what if’ yang bersarang di hati masing-masing. Argumen love yang akhirnya dijadikan titik tengah pun tidak hadir dengan preachy. Film tetap berpegang pada penceritaan yang seperti absurd tapi di baliknya penuh filosofi. Nonton film ini jangan heran jika saat sedang asik-asik tertawa, air mata haru tau-tau turun membasahi pipi.

Isi adalah kosong, kosong adalah isi

 

 

Elemen teknologi multiversenya mungkin memang bisa sedikit bikin terlalu padat, tapi itu semua intentional. Dan cocok bekerja ke dalam sensasi chaos dan hectic yang ingin dikuarkan oleh cerita. Film ingin kita mengalami kehebohan yang dirasakan Evelyn. Segala tetek bengek alat dan teknis pindah universe itu dijadikan salah satu dari kehebohan tersebut. Ngomongin soal teknis, well aku yakin film ini bakal membuat Marvel dan film-film Blockbuster lebih malu lagi. Kenapa? Coba deh tonton lagi film ini dan tebak. Tebak dari efek dan visual yang trippy dan penuh dunia-dunia aneh dan editing-editing tegas, berapa budget film ini. Dibandingkan film Marvel dan tipikal Blockbuster, budget Everything Everywhere All at Once ini tergolong minim. Aku kaget saat beres nonton baca-baca tentang produksinya, dan menemukan bahwa budgetnya ‘cuma’ dua-puluh-lima million dollars. Belum juga kelar kagumnya, aku udah takjub lagi demi membaca tim visual effect film ini terdiri dari… eng ing eng lima orang kru saja! Saat menonton it was certainly enggak terlihat ‘sesederhana’ itu. Saat menonton, film ini terasa kayak film dengan efek mahal. Ternyata mereka mencapai gambar-gambar menakjubkan (adegan tersedot ke ruang janitor dan montase multiverse berulang kali itu) mainly dengan ‘sulap’ alat dan kamera. Groundednya cerita ternyata saling dukung dengan groundednya pembuatan film. Dan memang beberapa adegan film ini (khususnya setiap adegan berantem yang seru dan lucunya kung-fu abis itu) tampak hanya bisa jadi maksimal dengan tidak diovertouch.

Misalnya soal mata ketiga yang di dahi Evelyn saat dia sudah belajar membuka hatinya untuk cinta, seperti yang selama ini dilakukan oleh suaminya. Kalo pake efek komputer, mata tiga itu bisa aja bakal lebih jelek daripada efek mata ketiganya Doctor Strange di Multiverse of Madness (2022). Alih-alih itu, film membuat mata tiga dari mainan mata-mataan. Yang tentu saja tetap tampak konyol jika dihadirkan gitu aja. Maka film pun benar-benar merancang supaya mata tiga mainan itu punya makna yang mendalam. Build up mereka lakukan dengan nicely. Kita malah bisa bilang mata yang tengahnya gak bolong itu adalah kontras dari bagel yang bolong di tengah. Poinku adalah, film ini hadir tidak bergantung budget. Melainkan justru semakin kreatif dengan apa yang mereka punya. Dan hasil dari itu semua ternyata tidak kalah dari film mahal. Pembuatan film seperti inilah yang buatku benar-benar, dan lebih, menginspirasi. Mereka jor-joran di bagian yang tepat. Di manakah itu? Ya di pembuatan filmnya. Pengadeganannya. Di penceritaannya. Bukan pada hype atau semacamnya. Kelihatan bahwa pembuatnya benar-benar peduli sama film. Apalagi terlihat jelas film ini punya banyak sekali sisipan referensi buat film-film populer lain.

 

 




Jika Evelyn menemukan lagi cintanya kepada keluarganya, nonton film ini bakal membuat kita menemukan lagi cinta kepada sinema. Banyak sekali aspek dalam film ini yang pantas untuk kita sambut penuh suka cita. Teknisnya, yang benar-benar menjadikan film tampak meyakinkan. Kreasi dan craft filmmaking yang menginspirasi. Komedi yang disampaikan dengan witty sereceh atau seabsurd apapun jokesnya. Konsep atau gimmick penceritaan (dalam hal ini multiverse) yang  ternyata diolah lebih dalam dan kompleks sehingga menjadi bagian penting dari perjalanan karakter. Dan tentu saja karakter dan permasalahan mereka yang dibahas mendalam tapi gak pernah jadi membosankan dan menggurui. Tak ketinggalan, permainan akting yang juga sama emosional dan grounded di balik kelebayan yang tampak di luar. Film ini tahu mereka punya semua itu, mereka did hell of a job menceritakan semua itu, mengembangkan perspektif yang kuat sehingga referensi dan kemiripan dengan film atau materi lain bisa dimasukkan tanpa mengurangi nilai orisinal diri sendiri. I tell you, ini adalah film yang supermenghibur sekaligus thoughtful dan penuh emosional berkat konflik yang dekat dan dibahas mendalam. All. At, Once!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for EVERYTHING EVERYWHERE ALL AT ONCE.

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang paham nihilism – paham yang menganggap eksistensi segalanya tidak berarti apa-apa?

Bagaimana kalian memandang kehidupan dalam luasnya semesta dengan jutaan kemungkinan hingga tak berhingga?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



X Review

 

“The old often envy the young”

 

 

 

Horor mirip ama bokep. Keduanya adalah genre yang ditonton orang-orang bukan untuk plot. Penonton memilih film horor supaya bisa melihat karakter-karakter mati mengenaskan. Nilai plus bagi penonton kalo si karakter itu sempat telanjang dulu sebelum dibunuh ajal (which is why paduan horor-bokep easily jadi yang paling laris). Sementara bokep sendiri, jelas,  penonton cuma mau melihat orang gak pakai baju, dalam apapun situasi fantasi mereka. Keduanya adalah eksploitasi,  dan yang terburuk dari mereka adalah bahwa keduanya penuh oleh male-gaze. Tentu saja gak semuanya begitu, ada juga pembuat-pembuat yang mencoba membuat horor, maupun porn, sebagai sebuah seni. Dalam horor, lahir istilah elevated-horor. Horor yang artsy banget, sampai-sampai susah untuk dimengerti. Dalam bokep, I don’t know honestly, tapi dalam film X yang merupakan comeback horor sutradara Ti West ada karakter filmmaker bokep yang berusaha membuat tontonan yang benar-benar nyeni dan cinematik. Memang, fenomena horor dan porn yang saling bersilangan ini jadi circle back together di bawah X (come to think of it, aku jadi gak yakin judul film ini dibacanya memang “ex”, atau “cross”) yang merupakan produksi studio A24. Studio yang khusus bikin apa yang disuka oleh orang banyak dengan gaya yang super duper nyeni.

Yang Ti West bikin kali ini memang film yang ada unsur horor dan bokepnya. Tapi bukan dalam sense ‘horor-bokep’ seperti yang dulu sempat hits banget di negara kita. West membuat sebuah sajian horor yang seperti ditarik langsung dari jaman puncak kebangkitan mainstream genre ini (akhir 70-an) dengan cerita tentang sekelompok kecil pembuat film dewasa.  Mereka menyewa kabin di daerah pedesaan Texas, tapi enggak bilang kepada pasangan tua yang punya kabin tersebut kalo bangunan dan lokasi sekitarnya itu akan dijadikan lokasi suting film bokep. Siang harinya memang suting mereka berjalan lancar (yang berarti peringatan kepada kalian untuk tidak menonton film ini saat sedang berpuasa). Pas malam tiba, baru semua rusuh. Nenek tua yang sedari siang ngintipin mereka mulai kumat dan membunuh semua tamunya satu persatu.

Jenna Ortega sekali lagi bermain di film yang bicara tentang elevated horror.

 

 

Biasanya film-film A24 memang cukup angker bagi penonton mainstream. Karena memang biasanya nyeni dalam kamus mereka berarti film yang bercerita dengan pace lambat, minim dialog, dan secara general sukar untuk langsung dimengerti. Film X ini tidak dibuat dengan seperti itu. X ini benar-benar dibuat mainstream. Dibuat untuk bikin penonton merasakan sensasi sama dengan saat menyaksikan horor, atau bokep. Seperti yang kubilang, jangan nonton ini pas puasa karena adegan-adegan filmmaking mereka meskipun dibuat dengan sinematik tapi tetap straightforward. Kalian bahkan perlu buat ngecilin suara untuk beberapa adegan tertentu. Elemen horornya pun dibuat sedekat mungkin dengan horor ‘fun’ yang biasa kita cari kalo lagi kepengen nonton sambil santai. Lokasi terpencil. Orangtua aneh dan menyeramkan. Pembunuhan sadis berdarah-darah. Ke-overthetop-an kejadian sebagai kontras efek low budget yang jadi pesona khas horor jadul juga ada. Bahkan hewan buas juga jadi aspek horor di sini. Era 79 yang dijadikan latar waktu cerita memang terasa sangat hidup. Kamera, audio, desain produksi. Semuanya membuat film ini kayak beneran dibikin di tahun segitu. Dengar saja dialognya yang kayak percakapan jadul. Kurang lebih pencapaiannya mirip ama Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) yang berhasil melukiskan era action 80-an. Film X ini vibenya mirip banget sama The Texas Chain Saw Massacre original (1974). Bahkan set up cerita yang mereka semua datang dengan mobil van, terus lokasi dan rumahnya yang bakal jadi TKP-nya pun pasti bakal ngingetin fans horor kepada film si Leather Face. Yang selalu paling kuapresiasi tentu saja adalah gak ada jumpscare suara-suara pencopot jantung sama sekali. Adegan yang mengagetkan buat karakter dalam cerita sih ada, tapi tidak pernah disertai dengan treatment yang memaksa kita untuk melompat dari kursi.

Di situlah letak seninya. West benar-benar menguatkan pada kreasi. Dia memilih setting dan estetik 70-80an bukan tanpa alasan. Bukan sekadar throwback nostalgia. Tema yang disilangkannya di sini adalah soal tua dan muda. Secara visual dan penampakan luar, film ini membawa kita ke horor jadul, tapi dia menambahkan unsur-unsur kebaruan – unsur yang mendobrak – merayap di balik itu semua. Pertama kamera, West menggunakan kamera melayang di atas pada beberapa adegan yang bikin kita menahan napas, seperti pada adegan di danau (dengan buaya gede!) dan adegan di ranjang (protagonis kita ngumpet di bawah kolong). Kamera itu ngeshot dari atas langsung ke bawah, kayak lagi tengkurap di langit. Menghasilkan pandangan wide yang kerasa benar-benar horor dan mencekat yang ada di bawah. Penggunaan kamera demikian seperti benar-benar menempatkan film di batas antara film lama dengan film baru. Terasa modern dengan semacam drone, tapi juga closed dan feel traditional dengan scare yang dihasilkan. Ada satu lagi teknik aneh yang dipakai oleh West, yaitu editing transisi pada beberapa adegan. Meski gak berhubungan dengan old-and-new, tapi editing ini in-theme dengan gambaran atau simbol X yang diangkat. Karena West memang menyambungkan dua adegan berbeda seperti saling silang. Agak sulit digambarkan dengan kata-kata, tapi kalo dari urutan editing tersebut bekerja begini: Adegan B akan masuk gitu aja saat Adegan A masih berlangsung, selama beberapa detik lalu balik lagi ke Adegan A, lalu baru benar-benar tiba di Adegan B. Tadinya kupikir ini kesalahan editing, karena tau-tau ada adegan sapi saat mereka ngobrol di dalam mobil. Tapi ternyata editing masuk bersilangan itu muncul sekitar dua-tiga kali lagi sepanjang durasi.

Secara kronologi adegan juga film ini bergaya. Cerita actually dimulai dengan polisi menyelidiki rumah dan menemukan banyak korban. Lalu kita dibawa mundur dan melihat kejadian apa yang terjadi di sana sebelumnya; kejadian itulah yang jadi menu utama film. Sekilas memang ini struktur kronologi yang sudah lumrah digunakan oleh film-film. Tapi sesungguhnya di film ini, struktur tersebut punya fungsi yang lebih signifikan ke dalam tema besar narasi. Dengan menjadikannya berjalan seperti demikian, West membuat cerita film ini menjadi melingkar. Namun dengan karakter reveal yang jadi saling bersilang. Penting bagi kita untuk mendengar ‘pengajian’ gereja di televisi itu duluan karena itu bagian dari development karakter utama, yang nanti bakal ngecircled back berkat struktur melingkar, menandakan pembelajaran karakter yang jika dilakukan dengan linear maka hanya akan terasa ambigu.

Pelototkan mata untuk berbagai adegan yang ‘meramalkan’ kematian karakter-karakter

 

 

Bagian terbaik yang dilakukan film ini terkait tema old-new tersebut adalah karakterisasi tokoh-tokohnya. Seperti halnya horor jadul, karakter yang hadir di X pun sering melakukan pilihan bego. Keputusan mereka sering bikin kita ketawa. Kayak karakter si Jenna Ortega yang setelah diselamatkan, tau-tau malah marah dan pergi gitu aja. Hebatnya, mereka gak hanya tampil bego untuk mati. Mereka gak otomatis annoying, karena film sesungguhnya mendekonstruksi stereotipikal karakter mereka. Dalam horor jadul, yang mati duluan adalah karakter yang ‘nakal’, yang biasanya adalah cewek pirang yang isi otaknya cuma berduaan sama pacarnya, si atlet yang pikirannya ngeres. Final Girl (protagonis/heroine) film jadul selalu adalah cewek baek-baek, yang erat ditandai oleh si karakter masih perawan. Film X merombak ulang semuanya. Yang mati duluan di sini adalah karakter yang tidak have sex, at least tidak di depan kamera. Cewek pirang di sini otaknya berisi pemikiran progresif tentang peran wanita dan kemandirian. Protagonis alias Final Girl cerita adalah Maxine (diperankan oleh Mia Goth yang setengah wajahnya dikasih freckles), salah satu bintang film bokep yang mereka bikin. Arc Maxine benar-benar kebalikan dari sosok Final Girl tradisional.

Konstruksi karakter tersebut membuat film dengan vibe 70an ini jadi relevan. Dengan Final Girl yang bukan lagi ‘orang suci’, film X ingin mengangkat diskusi soal pandangan lama yang sepertinya sudah kadaluarsa di masa modern. Pandangan soal otonomi perempuan dalam hidup atau karirnya. Pembicaraan karakter film ini seputar menjadi seorang bintang bokep (atau soal membuat film porno sebagai sebuah pekerjaan, yang juga bagian dari seni) mirip dengan persoalan di dunia kita mengenai pelacur yang statusnya dinilai lebih terhormat. Tentunya ‘antagonis’ yang tepat untuk perspektif ini adalah agama. Old couple yang jadi pembunuh dalam cerita berasal dari keluarga yang taat beragama, mereka mendengarkan dakwah degradasi moral anak muda. Di tangan yang salah, bidak-bidak ini akan berkembang menjadi cerita yang bakal ofensif dan one-sided. Memojokkan agama. X di tangan West tidak pernah menjadi seperti itu. Bahasan agama ia handle dengan hati-hati. Dikembalikan kepada karakter itu sendiri. Perhatikan perbedaan intonasi dan pilihan kata Maxine saat menyebut dirinya adalah simbol seks di depan cermin pada beberapa adegan. Those would reveal banyak hal, mulai dari development karakter (realisasi dianggap objek hingga menjadi subjek) hingga sedikit backstory karakter itu.  See, dalam menganani bahasannya, film ini jadi sangat ber-layered, akan mudah melihat film menjadi ambigu jika kita ketinggalan satu lapisan. Yang ultimately membuat X jadi punya rewatch value tersendiri.

Tema old-new tadi digunakan untuk memperhalus lagi bahasan sensitif  tersebut. Film tidak sekasar itu menyebut pasangan tua itu jadi sadis karena maniak agama. Film membawa bahasannya ke arah mereka sudah tua, sudah terlalu lama menahan diri. Terlalu lama mengejar bahagia di hari nanti. Kenapa tidak bahagia di masa muda? Konflik film ini sebenarnya bisa disederhanakan sebagai sebuah rasa penyesalan di usia tua. Maka dari itulah West ngasih Mia Goth dua peran. West membuat si Nenek Tua diperankan juga oleh Mia sehingga adegan-adegan antara Maxine dengan si Nenek punya bobot yang lebih besar – kita jadi mengerti si Nenek bisa melihat Maxine sebagai dirinya di masa muda, sebagaimana juga kita melihat Maxine gak mau menjadi seperti Nenek nanti saat tua. Again, karakter mereka juga jadi simbol seperti X yang saling bersilangan.

Alasan Nenek Tua membunuh semua orang (bukan hanya geng Maxine saja, tapi sepertinya beliau sudah sering melakukan ini sebelumnya) bukan semata karena sange. Si Nenekiri dengan anak muda yang masih bisa mengejar segalanya, Iri sama anak muda yang berani memilih untuk bahagia atas kemauan dan sebagai dirinya sendiri. Orang tua memang selalu cemburu kepada anak muda. Karena anak muda punya kekuatan untuk memilih.

 

 

 

Ini boleh jadi adalah horor favoritku tahun ini (belum bisa mutusin, karena baru bulan Apriilll!!). But for sure, film ini beneran keren dan dibuat dengan penuh kreasi dan pemikiran. Film ini membuktikan kalo sajian horor artsy gak harus selalu berat. Sekaligus membuktikan horor mainstream yang fun dan ‘genre’ abis, serta bahkan yang tampak eksploitatif sekalipun, bisa sarat oleh muatan dan memantik diskusi. Horor yang fun gak musti total bego di atas sadis dan seram. Setiap film, apapun genrenya, dapat menjadi tontonan yang menarik dengan naskah cemerlang, gaya yang asik, dan sutradara yang benar-benar peduli sama craft dan punya visi. Film ini punya semua itu. Ada banyak lapisan untuk dibincangkan. Tak lupa sebagai horor, dia mengerikan – punya antagonis creepy, pembunuhan sadis, setting terkurung, dengan stake hidup atau mati. Paduan atau persilangan yang benar-benar seimbang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for X.

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menjadi bintang bokep lebih mulia daripada maniak agama?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA