WWE Hell in a Cell 2022 Review

 

 

 

Bicara soal hell, WWE sedang dalam keadaan semacam hell of a trouble. WWE punya dua flagship brand yang bisa dibilang sebagai pondasi, tapi sekarang satu kaki pondasi tersebut literally enggak sekuat kaki lainnya. Mulai dari ada yang cedera, ada yang minta cuti bentar, hingga yang bermasalah sehingga mengeluarkan diri sendiri, brand Smackdown kini tampak tak sesolid yang biasanya. Ketimpangan ini terasa menjelang live premium event Hell in a Cell yang akhirnya didominasi oleh partai-partai dari brand Raw. Dengan turut absennya superstar paling hot – si Undisputed Champion Roman Reigns – WWE berusaha menjadikan acara ini sebagai kesempatan untuk mendorong wajah-wajah yang lebih fresh. Terutama, WWE ingin memaksimalkan push untuk superstar yang baru saja kembali ke perusahaan ini (sejak setelah enam tahun bergulat untuk perusahaan rival). Cody Rhodes diset bukan saja sebagai bintang-sampul pada poster, melainkan juga dijadikan vocal point dari Hell in a Cell. Spot main event sudah disediakan untuknya. Namun mimpi buruk memang baru saja dimulai bagi WWE. Menjelang jam tayang, Cody Rhodes dikabarkan mengalami cedera saat latihan. The show must go on, WWE berusaha menyulap cedera tersebut menjadi storyline – menaikkan stake untuk storyline Cody Rhodes – kita masuk menonton ini enggak tahu seberapa parah atau apa yang bakal dilakukan oleh WWE. Dan setelah beres nonton tiga jam lebih acara ini, aku cuma bisa bilang: That was one hell of a show!

Di titik ini, aku merasa udah kayak kaset rusak. Entah sudah berapa kali rasanya aku menuliskan soal ragu mau nonton karena WWE tidak demikian berhasil membuild up acara secara keseluruhan, tapi setelah beres kok ternyata memuaskan juga. It’s the superstars. Para pegulat WWE sepertinya memang selalu berusaha menampilkan yang terbaik meskipun ‘lapangan bermain’ mereka enggak sebebas yang diharapkan. Sikap positif dan profesional seperti inilah yang harusnya dijaga. Kita tiru dan kita dukung untuk terus dipertahankan. Seberapapun kesal dan gak suka sama kantor – manajemen, aturan, atau apapun neraka yang tercipta dari lingkungannya- pada akhirnya semua kembali kepada team work, dan yang paling penting adalah mendorong diri untuk menjadi yang terbaik apapun tantangannya. Pertandingan-pertandingan di Hell in a Cell kali ini, kalo dibaca sekilas, jujur aku tak terhype sedikit pun. Tapi nama-nama yang tertera di sana, baik yang sudah terestablish maupun yang baru mencuat, sama-sama berjuang untuk memberikan yang maksimal. Dan effort kolektif mereka itulah yang mengangkat acara ini.

Ini tentang berjuang menaklukkan neraka

 

 

Tengok Kevin Owens dan Ezekiel (alias Elias). Mereka terlibat dalam salah satu storyline terbego yang pernah dipikirkan oleh tim kreatif WWE. Storyline tentang Elias yang comeback dengan tanpa-jenggot dan pakaian berbeda, mengaku bernama Ezekiel, dan memperkenalkan diri sebagai adik dari Elias, dan Kevin Owens – being a sane person he is – enggak percaya. Sinetron Indonesia yang hobi bikin plot orang-kembaran aja kalah dungu sama cerita ini! Tapi kedua superstar ini membuat storyline tersebut super menghibur. Mereka membuat role yang unik. Mereka berhasil membuat kita bersimpati dan mendukung Ezekiel meski kita sama-sama tahu Owens jelas-jelas benar, Dan match mereka di acara ini lebih dari sekadar match komedi. Malahan, match ini malah tampak lebih serius dari yang diniatkan. Itu karena kita sudah demikian terinvest oleh karakter-karakter mereka. Sama halnya dengan Madcap Moss dan Happy Corbin. Berawal dari a rather comedic pairing, Moss dan Corbin (satu-satunya partai dari brand Smackdown yang ngisi acara ini) sukses membawa storyline mereka ke dalam salah satu match yang paling ‘hardcore’ di sini. Transformasi karakter Moss dimainkan dengan meyakinkan dan dia membuktikan dirinya sudah bisa ‘lepas’ dari Corbin, baik secara storyline maupun secara real-sebagai-performer. Moss kini tampak credible sebagai superstar solo, dan aku penasaran apa yang bakal dikasih WWE untuk dirinya ke depan.

Sebaliknya, Omos si raksasa dari Raw yang mau dipush gede-gedean itu masih tampak biasa-biasa saja. Perkembangannya agak sedikit lebih lambat. Bahkan ceritanya kini tampak mulai bergeser ke arah konflik antara Hurt Business ketimbang tentang ngepush dirinya. Beruntung Omos bekerja satu storyline dengan orang-orang yang profesional. Handicap match antara Omos dan MVP melawan Lashley memang masih terasa seperti di level show mingguan, tapi paling enggak aksi-aksinya tampak legit. Semua yang terlibat memainkan peran dan fungsinya dengan baik. And I’m still hype untuk ngeliat Lashley kembali memburu sabuk kejuaraan!

Ngomong-ngomong soal kejuaraan, Hell in a Cell 2022 cuma punya dua championship match. Yang kedua-duanya tampak menjanjikan sebagai proyek masa depan. Pertama, kejuaraan Women brand Raw. Triple threat antara tiga fan favorite; Becky Lynch, Asuka yang baru returned, dan Bianca Belair yang makin ke sini makin nunjukin bahwa dia memang pantas disebut superstar, Partai mereka ini pas banget ditempatkan sebagai pembuka. Aksinya intens, storytelling dan psikologinya dapet, begitu juga range sekuen yang mereka bertiga lakukan. Match kejuaraan jenis ramean seperti triple threat biasanya digunakan WWE untuk memperpanjang napas feud, sekaligus melindungi superstar. Entah itu dari terlalu banyak bergerak (berkaitan dengan protek perihal cedera), maupun dari menelan kekalahan yang bakal merusak momentum. Partai perempuan ini memang agak sedikit terlalu jelas dilakukan untuk memenuhi fungsi tersebut, but it doesn’t stop the superstars to make it very entertaining. Aku suka akhiran match yang semacam membuat Becky dan Bianca seperti circled back ke masing-masing. Kedua,  United States Championship antara Theory melawan Mustafa Ali. Inilah dua bintang muda yang lagi digadangkan WWE, khususnya si Theory. Match mereka di acara ini enerjik, penuh aksi-aksi dengan gerakan yang easily jadi (dan juga reference ke) move favorit. Keliatan keduanya lapar untuk membuktikan diri. Sepertinya yang menahan lajunya match ini adalah Ali yang masih dalam proses ‘hukuman’ oleh WWE.  Ali dulu sempat vokal menyuarakan protes, menuntut untuk dapat spot televisi, dengan nada yang ‘kalo gak mau pake gue mending pecat gue aja’. Kita gak tau di belakang panggung seperti apa; apakah Ali dipush asal harus dihukum dulu apa gimana, yang jelas match yang berlangsung di hometownnya ini adalah kesempatan bagi Ali untuk ngasih yang terbaik, dan dia tahu itu.

Tapi dedikasi yang paling nekat memanglah milik Cody Rhodes. Yang walaupun diberitakan cedera, tetap muncul dan bertanding. Awalnya, demi melihat Cody muncul kayak sehat-sehat aja, kupikir berita cedera itu cuma bo’ongan. Like, storyline yang berusaha dipantik WWE di menit-menit terakhir karena acara mereka kurang hype dan stake. Lalu Cody yang sudah di atas ring, sudah di dalam kandang merah, membuka jaket American Nightmare-nya. Aku terdiam. Komentator terdiam. Semua penonton di arena terdiam. Bahkan tukang sol sepatu yang tadinya ribut di luar rumah juga ikut terdiam (mungkin dia kebetulan keselek hihihi). Dada sebelah kanan Cody merah menghitam. Lebam yang menunjukkan pendarahan di dalam sebab otot yang terlepas. This man memilih tetap bertanding dengan kondisi seperti itu.

Adrenaline in my soul, gendang nyaring ditepak~

 

 

Selama nonton gulat, kayaknya baru kali ini aku nyaksiin hal seperti itu. Kayaknya baru kali ini nuansa disturbing yang real itu menguar, membayangi pertandingan besar. Stake-nya ternyata jadi beneran! Semua penonton tahu Hell in a Cell bukan partai sembarangan, banyak hal yang bisa ‘salah’ terjadi di dalam kerangkeng dan stipulasi tanpa-diskualifikasi itu. Seketika match yang bukan untuk sabuk kejuaraan, yang merupakan kali ketiga dari trilogi Cody-Rollins ini, mendadak jadi terasa amat sangat penting.  Ditambah pula dengan hal kecil yang dilakukan oleh Seth Rollins; datang bergulat dengan kostum polkadot persis kostum khas mendiang ayah Cody, the legendary American Dream Dusty Rhodes. Jadi dengan build up yang mapan, stake yang tinggi, dan set up yang sangat dramatis, pertandingan mereka berjalan dengan even more ‘surprise’. Cody basically bertarung dengan satu tangan, sementara Rollins tampak mengincar kelemahannya (alias dada yang memar jadi kayak lampu kedap-kedip merah di dada Ultraman), dan itu baru phase pertama match. Menit-menit berikutnya menjadi lebih gila lagi. Bukan hanya pake senjata (sledgehammer jadi poin penting narasi dalam partai ini), tapi match ini sendiri juga sempat berubah menjadi match lain saat Cody dan Rollins setuju untuk mengikat diri mereka dengan tali. It’s a bullrope match inside hell in a cell! Respek banget buat Cody yang ngepush kemampuan dirinya yang tengah cedera. Juga buat Rollins yang terbukti jadi salah satu pegulat paling safe untuk dijadikan lawan, sementara tetap bisa memancing heat dari ulah-ulah yang nge-heel abis.

Downside tak terelakkan adalah nambah lagi superstar yang cedera. Dan kali ini Raw juga kena. Cedera Cody Rhodes bisa dipastikan makin kumat, dia hampir pasti bakal rehat panjang. Kuharap gak terlalu ‘panjang’ sehingga mencederai juga momentumnya. Selain Cody, AJ Styles juga ternyata cedera di tengah-tengah pertandingan 6-Man Tag Teamnya melawan tim Judgment Day pimpinan Edge. Kepala Styles sempat bocor, ada beberapa detik wajahnya tampak bersimbah darah setelah melakukan moves di dalam ring, dan sampai akhir match Styles gak terlihat lagi. I hope Styles gak cedera serius (‘cuma’ sobek). However, soal match mereka, sesial-sialnya paling enggak ada tiga superstar muda yang terpush hebat di sini. Rhea Ripley, Damian Priest, dan Liv Morgan. Mereka tampak bisa mengimbangi Finn Balor, AJ Styles, dan Edge yang lebih berpengalaman dalam aksi tim. Match ini seharusnya bisa lebih fun. Secara pribadi, aku lebih suka jika mereka melakukan ini di dalam kandang hell in a cell (konteks dan temanya padahal sudah cocok). But I guess WWE sendiri masih ‘meraba-raba’ soal superstar cewek compete with superstar cowok. Akibatnya mereka masih bermain di aturan bullshit cowok cuma boleh nyerang cowok, cewek cuma boleh nyerang cewek. Aku percaya superstar bakal berusaha yang terbaik apapun situasi yang diberikan, tapi untuk beberapa hal seperti ini aku berharap WWE mau meninjau ulang aturan-aturan mereka  yang agak terlalu mengekang kreativitas.

 

 

 

 

Semua orang berjuang dalam kurungan neraka personal masing-masing. Semua orang berusaha keluar dari sana dengan cara yang terbaik. WWE hampir berhasil melakukannya dengan terbaik, di acara ini. Hampir berhasil mengubah kesulitan dari situasi menjadi sesuatu yang menguntungkan untuk storytelling produk yang mereka lakukan. Karena Hell in a Cell pada akhirnya berhasil jadi tontonan dengan match-match yang walaupun enggak hebat, tapi solid dalam bercerita. Momen yang gak akan terlupa, momen yang bakal jadi highlight dalam sejarah adalah Cody Rhodes memilih untuk tetap bertanding meski cedera, dan bersama Seth Rollins berhasil menyuguhkan pertandingan yang beneran terasa gede, personal, dan juga seru. The Palace of Wisdom menobatkan Cody Rhodes lawan Seth Rollins di Hell in a Cell jadi MATCH OF THE NIGHT.

MOTN

 

 

 

 

Full Results:

1. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bianca Belair mempertahankan sabuk dari Asuka dan Becky Lynch
2. HANDICAP 2-ON-1 Bobby Lashley mengalahkan tim Omos dan MVP
3. SINGLE Kevin Owens ngalahin Ezekiel
4. SIX-PERSON MIXED TAG TEAM The Judgment Day menang atas tim AJ Styles, Finn Balor, dan Liv Morgan
5. NO HOLDS BARRED Madcap Moss akhirnya balas dendam ke Happy Corbin
6. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Theory bertahan dari Mustafa Ali
7. HELL IN A CELL Cody Rhodes menang untuk ketiga kalinya melawan Seth Rollins

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

Leave a Reply