JOKER: FOLIE A DEUX Review

 

“Didn’t someone say love is a shared delusion?”

 

 

Lima tahun lalu dipuja-puja, tapi sekarang berbalik menjadi cemo’ohan.  Enggak, aku bukan lagi ngomongin presiden kita. Melainkan lagi ngomongin Joker. Adaptasi villain superhero versi Todd Phillips. Sekuelnya ini memang telah benar-benar membuat Joker jadi bahan tertawaan. Penonton casual dan kritik sepakat film ini gagal menghadirkan bukan hanya adegan musikal, tapi terutama juga gagal menghidupkan karakter titular yang sudah dikenal dan dinanti kegilaannya oleh banyak orang. Ya, sumbernya dari tidak sesuai ekspektasi. Dan ekspektasi itu sendiri, terbentuk dari image yang ditampilkan. Orang berpenampilan sederhana akan membuat kita mengharapkan dia sebagai pemimpin yang merakyat, misalnya. Badut teraniaya yang akhirnya mengambil aksi seperti Joker, akan membuat kita mengantisipasi dirinya sebagai anti-hero. Joker: Folie a Deux gagasannya memang pada shared ekspektasi seperti itu, yang diperkuat dalam tingkat ekstrim sehingga yang tadinya ekspektasi berubah menjadi sebuah delusi yang dirayakan bersama. Membuat film ini toh tak kurang sebagai sebuah kebrilianan-edan juga jika kita melihat kemampuannya bercerita dalam level meta.

You brought make up..“,”I wanna see the real you.” Saat menonton, kata-kata Harley Quinn-nya Lady Gaga kepada Arthur Fleck-nya Joaquin Phoenix tersebut terdengar kayak buat nunjukin kegilaan mereka sebagai pasangan aja. Sama juga seperti ketika Lee ngerokok terus kalimat berikutnya yang dia ucapkan adalah ngasih tahu kepada Arthur bahwa dia lagi hamil. Aku ketawa, kupikir ni orang memang sinting. Tapi perlahan konteks film mulai mencuat. Koneksi dengan kartun Joker dan bayangannya di prolog pun akhirnya terlihat. Ini cerita tentang Arthur menemukan kembali siapa dirinya yang sebenarnya. Apakah dirinya yang sebenarnya adalah Arthur tanpa make up, atau dia adalah Joker dengan riasan badutnya. Arthur diceritakan sedang menyongsong sidang. Perbuatannya di film pertama – membunuh lima orang, salah satunya dalam siaran langsung televisi – membagi dua rakyat. Ada yang takut, ada yang kagum. Penuntut ingin Arthur dihukum mati sebagai pertanggungjawaban, namun pembela berargumen Arthur punya kelainan jiwa. Jika ingin bebas, Arthur harus ikut ‘skenario’ tersebut. Bahwa ada persona lain – si Joker – di dalam dirinya sebagai tanda dia bukan orang yang sehat. Keadaan menjadi pelik ketika Arthur jatuh cinta kepada Lee, yang ia temui di bangsal. Lee dan semua pendukung di luar sana bersikeras the real Arthur adalah Joker yang melakukan kejahatan. Mereka justru love him for that.

Ini bukan cerita tentang dua orang edan yang saling cinta. Ini cerita tentang dua orang yang merasa saling cinta karena mereka edan, as in edan karena mereka berbagi delusi yang sama. Delusi tentang sosok Joker. Film Todd Phillips ternyata bukan tentang orang bernama Joker, melainkan tentang Joker sebagai sosok, dan pengaruh sosok tersebut  kepada satu orang yang ‘menciptakannya’ serta pengaruh sosok tersebut kepada manusia lain yang mengidolakannya.

Beri makna baru pada cinta bisa mengubah manusia

 

Jadi, Arthur dan Lee shared this delusion bahwa mereka sedang saling jatuh cinta. Padahal sebenarnya. keadaannya cukup berbeda. Arthur cinta sama the idea sekarang dia punya pasangan, yang memperhatikan dan peduli kepadanya bahkan dalam persona tergelap dirinya sekalipun. Sementara Lee, dia cinta sama idea bahwa Arthur adalah sosok Joker yang bakal menjungkirbalikkan Gotham. Actually Lee juga shared delusion dengan orang-orang di jalanan kota, termasuk dengan kita. Kita love the idea of Joker; dengan sosok “Joker” sang anti-hero. Di sinilah cerita film ini jadi kompleks. Dengan berpijak kuat pada perspektif Arthur, cerita ini seperti memeriksa fenomena ketika seseorang dielukan sebagai sebuah sosok atau gagasan, padahal itu bukan siapa diri dia yang sebenarnya. Garis blur diberikan film ini kepada Arthur dalam berusaha memaknai siapa dirinya yang sebenarnya. Makanya film ini kayak gak maju-maju secara kejadian. Kebangkitan Joker yang kita tunggu-tunggu tidak pernah ada. Adegan-adegan komikal nan brutalnya hanya sebagai adegan di dalam kepala Arthur. Pria menyedihkan ini bermula di penjara, dan berakhir di penjara juga. Semua aksi dan development journey itu terjadi di dalam psyche Arthur. Buatku naskah film ini masih brilian menjabarkan perkembangan psikologis Arthur Fleck. Gimana dia tadinya memandang dirinya, gimana dia merasa ada yang cinta sama dia sebagai suatu kebutuhan karena selama ini dia diabaikan bahkan oleh ibunya sendiri, gimana dia percaya dia gak salah karena yang melakukan semuanya adalah Joker, gimana dia percaya Joker adalah jalan keluar, dan berakhir dia mengakui bahwa there’s no ‘Joker’. Ini jelas bukan journey yang menyenangkan, dan itu beneran terefleksi kepada filmnya. Sehingga filmnya ngasih bad taste pada kita. Kita ‘meninggalkan’ Joker sebagaimana Lee tidak lagi datang mendukung sidang.

Pil pahit satu lagi yang harus penonton telan karena bikin film ini jadi tampak boring adalah bentuk atau konsep penceritaan yang mentok banget, Courtoom drama dan musikal. Elemen musikal sebenarnya telah digunakan sedari film pertama. Musik sebagai bentuk dari seni pertunjukan telah diestablish sebagai eskapis psikologis Arthur. Menekankan bahwa dia ‘mendengar’ musik yang tak bisa orang lain dengar di dalam kepala. Makanya musikal di sini juga tidak dibuat blur mana yang nyata, mana yang tidak. Kita akan selalu bisa membedakan mana yang interaksi musikal beneran, mana yang bukan. Karena adegan musikal dalam film ini ditujukan supaya kita mengerti apa yang terjadi di dalam Arthur. Apa yang dia rasakan terhadap sesuatu. Sekali lagi, yang didesain untuk blur di sini adalah gimana Arthur memandang dirinya – siapa yang menurutnya ‘dirinya’ yang nyata. Secara eksekusi, jelas momen musikal yang paling asik itu hadir ketika pikiran Arthur melebur dengan kenyataan, seperti ketika dia membayangkan nyanyi pembantaian di ruang sidang. Tapinya juga karena niatnya tidak pernah untuk memblurkan, adegan musikal di film ini memang terkesan repetitif dan membosankan. Seperti sisipan pengejaan feeling ataupun psyche yang sudah bisa kita mengerti, sehingga adegan-adegan tersebut juga terasa mengganggu tempo.

Adegan di persidangan sebenarnya seru. Ada penaikan tensi ketika Arthur memecat pengacaranya dan mutusin untuk represent himself. Lantas esok harinya dia muncul lengkap dengan dandanan Joker. Sepertinya sudah ready untuk bikin ‘onar’ persidangan. Namun kemudian dialog Arthur dengan salah satu saksi dari film pertama di persidangan tersebut menambah pada value emosional cerita ini. Menurutku kalopun film ini cuma punya bagian courtroom drama, kayaknya itu udah cukup. Tapi ya ambisi Todd Phillips untuk ngasih sequel yang berbeda dan nyata-nyata jelas lebih beresiko memang pantas untuk kita apresiasi.

Si Harvey Two-Face jadi penuntut untuk kasus orang dengan dua kepribadian hahaha ironis

 

Perhaps, dosa terbesar sekuel Joker ini adalah menghukum karakternya alih-alih society yang mengelukannya for the sake of delusion tanpa sama sekali mempertimbangkan bahwa dia adalah karakter yang terus ‘tersiksa’ dan ‘diabuse’ dan ‘diperalat’ sampai semua itu broke him apart. Mungkin bisa jadi itu yang dipermasalahkan oleh penonton, bukan semata karena Arthur ternyata bukan Joker yang kita bayangkan. Kritikan sosial yang diusung oleh naskah yang punya kekuatan meta ini jadi hanya seperti dimainkan untuk shock value sehingga akhirannya membuat film seperti menuding penonton. Karena setelah melihat penyadaran Arthur, kita dibikin terputus bukan hanya dengan karakter ini melainkan juga dengan film keseluruhan. Film tidak pernah memeriksa balik society yang ‘menghukum’ Arthur for memilih dirinya ketimbang jadi sosok Joker. Sehingga ketika kita tidak lagi in-line dengan karakter manapun di dalam cerita, film jadi seperti bicara langsung kepada kita alih-alih society yang tadinya disimbolkan sebagai kita. Bahwa “penghukuman” yang didera Arthur adalah akibat dan we should feel bad. Jika melihatnya seperti demikian, film ini memang terasa kurang berimbang dan jadi ngasih shock value untuk menghakimi daripada untuk examine thoroughly dan mengajak berdiskusi. Bagaimana pendapat kalian, mengapa Joker: Folie a Deux yang sebenarnya punya bahasan psikologis personal dan kolektif ini malah balik dicerca? Mengapa penonton tidak puas? Pasti bukan semata karena musikalnya gak sesuai ekspektasi dong kan? Silakan share pendapat kalian di komen yaa

 




Jika ada dua hal yang bisa kita pelajari dari Arthur Fleck maka pertama adalah tidak jadi soal apa yang ingin kita tampilkan, melainkan yang penting adalah  bagaimana kita mengeksekusinya.  Enggak jadi soal seberapa menarik materi dan konsep dan development yang cerita dan karakter kita punya, jika penceritaannya masih kurang luwes ya cerita tersebut hanya akan masih ada sebagai gagasan semata. Dan hal kedua adalah gagasan terhadap sesuatu akan make or break sesuatu tersebut meskipun itu bukan dirinya yang sebenarnya. Film ini jadi meta seperti itu. Dia ingin menunjuk penonton tapi barangsiapa menunjuk orang lain, maka empat jarinya akan menunjuk dirinya sendiri. Film ini punya gagasan yang begitu brilian tapi penceritaannya belum mampu menghantarkan semuanya dengan sempurna kepada penonton. Penceritaannya masih kurang berimbang, sehingga bahkan konsep musik psikologis dan drama courtroomnya masih terasa mentok dan justru merusak tempo.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for JOKER: FOLIE A DEUX

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KABUT BERDURI Review

 

“The truth isn’t always blinding light, sometimes it’s a deep and dazzling darkness…”

 

 

Misteri menyelimuti daerah perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan. Jika di hari itu ditemukan jenazah tanpa-kepala di Serawak. Besoknya bisa saja giliran kepalanya yang dijumpai gelantungan di hutan tempat orang Dayak mengambil madu. Kasus yang paling seru sih ketika ada jenazah yang menggelinding jatuh tepat di dekat garis batas wilayah. Turns out, badan ama kepalanya ternyata milik identitas dua orang berbeda!! Polisi dua negara berebut ngeklaim ini urusan negara satunya (“jaraknya lebih dekat ke elu, kok!”) Sebelum akhirnya kasus terpaksa harus diambil Polisi Indonesia lantaran si mayat mengenakan seragam TNI. Kasus demi kasus pembunuhan dengan cueknya melangkahi batas-batas wilayah yang ditoreh manusia tersebut. Namun saling lempar dan bikin batas wilayah bagi manusia, sebenarnya sama alaminya dengan hutan, pepohonan, kabut, dan misteri dunia lainnya. Manusia cenderung untuk bikin konflik, lalu mati-matian berusaha menutupinya. Berusaha tidak melihat kemelut yang ruwet yang tercipta darinya. Kasus dalam Kabut Berduri, crime thriller karya Edwin, adalah gambaran dari kemelut tersebut. Dengan latar yang berpijak dari situasi sospol beneran (Dayak dengan aparat di perbatasan go all the way back, dari masa-masa pemberontakan partai komunis), film ini jadi senter yang menyorot, menengahi, atau setidaknya yang memungkinkan kita untuk melihat ke balik blinding-truth ataupun kabut tak berujung – borderless fog – tersebut.

Kebenaran bisa berupa cahaya yang begitu menyilaukan, perih untuk dilihat. Bisa juga berupa kabut pekat yang membingungkan, menyeramkan untuk dilihat. Cahaya silau maupun kabut pekat, kita sama-sama terbutakan oleh mereka. Tapi di baliknya ada hal penting yang harus kita ketahui. Maka kita harus pilih. Kita harus endure it. Seperti kata-kata terakhir seorang Dayak yang terngiang di telinga Ipda Sanja “Kamu harus memilih apa yang kamu lihat”

 

Halo, Ambong? next bisa ke IKN yaa

 

Kasus pembunuhan berantai tersebut ditangani oleh Sanja. Inspektur Polisi Dua dari Jakarta, yang kemana-mana selalu pake kacamata dengan lensa berwarna. Tapi itu bukan kacamata gaya; tangkisnya setiap kali mendapat remark dari rekan polisi pria di Kalimantan. Mata Sanja sensitif terhadap cahaya. Dia gampang silau. Jadi dia butuh kacamata dengan resep untuk membantunya melihat dengan normal. Seperti kacamata Sanja itulah fungsi film ini. Kabut Berduri bukan film detektif gaya-gayaan. Melainkan sebuah thriller yang membantu kita melihat di mana sebenarnya letak masalah konflik dayak dengan polisi di perbatasan. Kondisi mata Sanja juga adalah metafor, for she can not see the truth. Kepindahan Sanja berkaitan dengan kejadian di masa lalunya. Saat masih training, Sanja tanpa sengaja membuat seorang anak kecil kehilangan nyawa. Sebagian besar karirnya dihabiskan untuk mengelak dari kenyataan tersebut, dengan ayah dan rekan-rekan membantunya menutupi kejadian itu. Tapi kini, di tempat barunya, Sanja berniat berubah. Tidak mau jadi pengecut lagi. Makanya film ini bilang, Sanja harus belajar melihat. Hanya saja kali ini, dia juga harus belajar melihat dari balik kabut misteri. Kasus di perbatasan yang ia tangani ini sama seperti kasusnya dulu, ribet karena melibatkan banyak pihak. Banyak pemain. Begitu Sanja dan partnernya, Thomas, menggali kasus ini terlalu dalam, mereka menemukan kasus perdagangan anak yang jadi akar semuanya, dan membuat mereka terlibat dengan orang-orang licin seperti ‘toke’ alias crime-lord lokal, dan bahkan mungkin orang-licin beneran alias lelembut seperti mitos Ambong, hantu komunis Paraku yang dipercaya warga bersemayam di hutan.

It is such an haunting look. Bukan saja Kabut Berduri adalah thriller kriminal, dengan momen-momen investigasi detektif yang membawa kita ikut mengernyit menyambung-nyambung petunjuk dan melihat-lihat mayat dengan kondisi brutal bersama karakternya, film ini juga punya banyak nuansa sureal. Presence Ambong sebagai sosok momok selain ngasih teka-teki ekstra, juga ngasih eerie feelings. Karena warga lokal yang ditanyai Sanja semuanya percaya. Mengaku bicara dengan Ambong tanpa menyebut jelas detilnya kendati Sanja sering agak tinggi juga nadanya ketika bertanya – toh bagaimana pun juga ‘Ambong’ tetap adalah petunjuk yang harus dia kejar. Dalam menangani bagian ‘mistis-lokal’ dengan investigasinya, film ini melakukannya dengan lebih baik daripada LongLegs (2024). Kabut Berduri lebih bijak, tahu untuk tidak sampai harus ngasih eksposisi yang menerangkan semuanya. Kesan misterius dan ambigunya dipertahankan; bahkan jika kita merasa udah clear, film kembali menebar kabut misteri. Ambong bisa jadi hanya desas-desus, atau dia beneran sosok pohon besar yang kerap dilihat Sanja. Ambong boleh jadi hanya kedok pelaku sebenarnya, tapi dia bisa juga entitas gaib yang nyata – menyabetkan parang justicenya sendiri. Afterall, film ini didesain untuk menjadi just the right balance, untuk membuat kita seperti Sanja. Melihat lebih mantap antara kabut dan cahaya, eventho apa yang kita lihat mungkin masih sesuatu yang mengundang tanda tanya.

Ini sekaligus bukti keberhasilan film ini membangun latar suasana. Daerah itu bukan saja hidup oleh visual – benar-benar di hutan dengan segala tempat-tempat tersembunyi dan kemisteriusan alaminya, tapi suasana, feeling, dan vibenya kerasa nyata.  Film membawa kita mengunjungi tempat-tempat yang menunjukkan identitas kedaerahan, seperti misalnya rumah panjang ataupun hutan sawit. Panasnya, lengketnya, gerahnya, film benar-benar menampilkan semuanya. Ini membuat kasus itu semakin terasa mencengkeram. Apalagi tidak satupun karakter di film ini yang dibuat lempeng (kecuali mungkin Nicholas Saputra yang jadi TNI – muncul cuma di awal dan di akhir – but still institusinya merupakan bidak penting dalam kemelut ini) Dayak yang seteru sama aparat, rakyat kecil yang merasa terus dioppress, polisi yang lempar-lemparan tugas karena sudah ada di dalam kantong si berduit, ada juga polisi yang posisinya susah. Thomas yang diperankan Yoga Pratama – polisi yang diremehkan sejawat karena dia asal dayak, tapi juga tidak dipercaya kerabat sekampung karena sekarang dia  masuk polisi. Penampilan aktingnya pun natural semua. Logat kalimantan-melayunya cair, kalo aku tutup mata dengar dialog Thomas, bisa-bisa aku nyangka itu orang sono beneran. Dan memang katanya film ini juga banyak pakai talent lokal. Makanya kerasa otentik, dan para aktor harus ngerahin yang maksimal untuk immerse sepenuhnya.

Sedangkan Sanja, orang luar seperti kita, berada di tengah semua itu.  Putri Marino memang tidak dapat kesempatan untuk akting serupa orang lokal, dan bermain-main dengan logat. Tapi di sini dia kebagian akting yang fokus pada olah fisik dan gerak. Oh betapa Sanja tidak ragu untuk snap back melawan atau mempertanyakan hal yang menjurus ke superiority gak sehat di lingkungan kerjanya. Bentukan karakternya memang agak seperti jagoan-perempuan barat, tapi vulnerabilitas dari kesalahan di masa lalunya mendaratkan karakter ini.

Sautan kritik pun sontak terdengar. Polisi kok gak kompeten!

 

Walau karakter outsider di tengah elemen-elemen volatile (detektif yang terlalu ‘nosy’ sehingga menyenggol sistem yang ada) memang sebuah resep sedap untuk thriller kriminal, tapi sebuah film biasanya akan punya pijakan sendiri within that system. Dalam artian, film biasanya akan memilih posisinya sendiri. Mungkin film akan bilang pihak A gak salah. Mungkin film akan memihak B karena mereka cuma dituduh.  Atau mungkin bisa saja menurut film ada pihak C yang mendalangi semua. . The truth mungkin berduri, dan memang harus disembunyikan, dan film ini jadi alat yang memudahkan kita melihatnya (tanpa mengurangi tajam durinya). Ini pilihan yang diambil oleh Kabut Berduri. Mengapproachnya begini, maka kesan ambigu tadi ternyata bukan soal dipertahankan atau tidak oleh film, melainkan lebih karena film ini  ya harus jadi ambigu karena dia ingin menyorot tanpa mengambil pijakan. It is the only way. Dan karena pilihannya ini, Kabut Berduri jadi, katakanlah, gak bisa punya ultimate punchline untuk kemelut yang dia sorot. Ini resiko. Karena akan ada penonton yang jadi menganggap keambiguan sebagai statement yang tidak tegas dari film ini.

 

 




Film kayak gini yang membuat kita menghargai eksistensi Netflix ataupun platform sejenis. Isu lokal yang masih tergolong sensitif, genre yang bukan kalangan mainstream untuk film kita, penceritaan yang bukan jenis hiburan popcorn, susah kayaknya bioskop jaman sekarang untuk mau nayangin ini. Kalopun ditayangin paling juga hanya dipajang beberapa hari karena kalah oleh yang dianggap lebih cepat menguntungkan. Padahal yang kita butuhkan  adalah tontonan yang diverse. Yang berani. Dan tentu saja tidak dibuat main-main dan asal jadi. Film ini kelasnya spesial. Note-note crime thriller dikenainya semua. Kesan misteri dan investigasi benerannya nyampur jadi satu. Penampilan aktingnya nyampur jadi genuine semua. Dia mengambil pilihannya yang membuatnya ambigu tapi juga bisa dinilai kurang nendang, namun cara dia menceritakan pilihannya itu benar-benar, again, spesial. 
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for KABUT BERDURI

 




.

That’s all we have for now.

Menurut kalian apa maksud pelaku menyatukan mayat aktivis dayak dengan kepala anggot TNI, lalu membuat mayatnya mengenakan seragam TNI?  Kenapa pula Ambong tidak membunuh Agam?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TRAP Review

 

“We are never trapped by where we are, the trap is always who we are”

 

 

Trap, thriller terbaru M. Night Shyamalan, berhasil memberikan apa yang aku harapkan – namun ternyata tidak kudapat – ketika nonton In a Violent Nature (2024) kemaren. Perspektif yang menyeluruh dari seorang serial-killer. Bukan hanya itu, film ini juga terasa fresh dengan sudut pandang yang diangkat tersebut. Memang, film yang mengambil cerita dari sudut pandang psikopat pembunuh bukan barang yang langka. Sebut saja mulai dari Henry: Portrait of a Serial Killer (1986) ke The House That Jack Built (2018), dari American Psycho (2000) hingga ke In a Violent Nature tadi, dari yang pembunuhnya charming sampai ke yang monster gak-bisa mati, pengalaman mengerikan masuk ke pikiran ‘orang gila’ yang bermacam-macam itu sudah pernah kita rasakan (ampe ketagihan!) Hanya semuanya relatif sama. Kita melihat mereka sebagai pembunuh. They might jalanin kerjaan lain sebagai kedok, tapi most of the time, cerita akan berpusat kepada saat aksi utama mereka yakni membunuhi orang. Trap berbeda, karena kita tidak melihat si serial killer saat actually sedang ‘dinas’. Melainkan cerita khusus menyorot ketika dia sedang berusaha menjadi kepala keluarga yang baik. Like, membawa putrinya nonton konser. Shyamalan dikenal karena twist pada film-filmnya; dia selalu took risks dengan ‘mematahkan’ filmnya menjadi something else, sampai-sampai banyak filmnya yang jatohnya antara tidak dimengerti atau salah dimengerti oleh penonton. Trap, sepertinya bakal jadi satu lagi film Shyamalan yang easily di-misunderstood. Banyak penonton yang gak puas dan menganggap film tentang ayah-anak ini sendirinya adalah jebakan yang dipasang Shyamalan supaya kita nonton konser putrinya.

Cooper dan putrinya yang masih 12 tahun, Riley, was about to have a great ‘father-daughter day’ di konser Lady Raven. Penyanyi yang lagi hits banget terutama di kalangan remaja dan anak-anak muda. Cooper berhasil dapetin floor ticket, di row yang lumayan deket juga dari panggung. Tapi sedari masuk tadi, Cooper notice stadion konser ini dijaga oleh banyak sekali sekuriti. Dengan persenjataan lengkap pula. Oalah, ternyata mereka FBI! Kabarnya, mereka ada di sana karena tahu bahwa di antara tiga-puluh-ribu penonton konser itu ada satu serial killer most wanted – The Butcher – yang juga hadir. Konser musik ini dijadikan perangkap buat si The Butcher. Film mereveal twistnya dengan sangat dini, karena si serial killer tidak lain tidak bukan adalah Cooper, ayah yang sayang banget ama pada putrinya, pemadam kebakaran yang simpatik. pria baik hati yang bisa diandalkan all around. Ini ternyata bukan cerita tentang ayah-anak yang terjebak di tengah-tengah kucing-kucingan pembunuh dengan FBI, melainkan cerita tentang pembunuh yang harus mikirin cara keluar dari stadion yang dijaga ketat, sementara juga naluri banditnya itu berkonflik dengan keinginannya satu lagi sebagai seorang ayah; dia pengen Riley yang lagi dikucilin teman-teman segeng itu tetap have fun di konser.

Aku kinda relate, karena pas nonton WWE live dulu fokusku malah jelalatan cari cara menyelinap ke backstage hihi

 

Bisa dilihat konsep cerita Trap ini benar-benar brilian kenekatannya. Biasanya, pada film antihero atau yang bahkan protagonisnya penjahat yang journey ceritanya paling degradasi moral sekalipun,  simpati itu akan terus dipantik dari si karakter. Tujuannya adalah kita sebagai penonton merasakan dramatic irony dari ‘kejatuhan’ si karakter menjadi seorang penjahat. Meskipun tujuannya menyimpang, tapi kita masih peduli karena kita paham apa yang membuat dia seperti itu. Itulah kenapa namanya protagonis; karakter yang ingin sesuatu dan kita get behind them regardless kita setuju atau tidak terhadap pilihannya. Tapi Trap ini sebaliknya. Shyamalan membuat Cooper ini sebagai.. apa ya, kita karang aja istilahnya; Anti-protagonis, mungkin. Cooper berangkat dari karakter simpatik, lalu diungkap dia orang jahat, dan film akan terus mendevelop dirinya menjadi semakin unlikeable hingga cerita usai. Ini dibilang salah, ya salah karena gak sesuai aturan. Tapi dibilang jelek, ya enggak juga, karena desain konsep ini brilian dan bukan perkara mudah untuk dilakukan. Bagaimana membuat karakter yang sedari awal sudah diungkap sebagai pembunuh, tapi kita tetap sempat peduli dia selamat?

Film mencapai ini pertama dari kekuatan akting Josh Hartnett sebagai Cooper. Aktingnya di sini sangat intriguing, sehingga kita tertarik. Ada momen ketika kita percaya dia beneran peduli sama Riley. Ada momen ketika kita bisa melihat jurus ‘menarik simpati ala serial killer’nya keluar untuk membohongi orang-orang demi mendapat informasi – bahkan kepada Riley. Ada momen ketika dia beneran panik dan pikirannya berkecamuk nyari jalan keluar. Ada momen ketika dia kontemplasi dengan traumanya sendiri. Masing-masing momen ini hidup oleh permainan ekspresi. Film juga mastiin buat semua ekspresi itu tertangkap, karena akan banyak sekali shot yang close up wajah Cooper. Kesannya mungkin bisa tampak unnatural (apalagi pas Cooper matanya kosong tapi senyumnya ngembang), tapi kita harus ingat yang berusaha ditangkap kamera adalah psyche seorang serial killer yang punya trauma sendiri, yang sendirinya bergulat dengan dua ‘dunia’, dengan dua kebutuhan.

Kedua, dan ini yang paling penting supaya kita di awal peduli, adalah dari hubungan Cooper dengan Riley. Dunia yang lebih relatable; ayah dan anak di tempat konser. Film ngerti betapa krusial bagian ini, maka M. Night Shyamalan arahannya jor-joran banget di first-half ini.  Ariel Donoghue natural banget jadi anak seusia Riley yang starstruck lihat idolanya nampil, yang benar-benar menikmati hari yang spesial dalam hidupnya. Dramatic irony yang membuat kita peduli sama Cooper, dipancing film dari sini. We don’t want Cooper gagal supaya hari Riley gak rusak, tapi juga kita tahu hari itu gak akan berakhir baik buat Riley. Lalu, experience nonton konser itu sendiri. Gak salah juga kalo penonton pada julid film ini akal-akalan sutradara buat ngasih panggung putrinya sendiri yang memang penyanyi (Saleka Shyamalan berperan jadi Lady Raven, dan dia beneran ‘manggung’ ampe bikin album buat ngisi film ini). Pak Sutradara ngisi konser itu dengan crowd beneran, kesibukan kru panggung, isi stadion, hingga pagelaran konsernya, suasananya terasa otentik. Beneran hidup. Dan jadi kontras yang kuat ketika ada petugas bersenjata yang merazia penonton secara giliran. ‘Mengganggu’ mereka dari aktivitas nonton konser. Keseluruhan experience di paruh-pertama ini rasanya imersif banget. Kita ngenalin euforia dan serunya di sana, kita gak mau Riley terampas oleh pengalaman tersebut, so naturally kita jadi peduli sama keberhasilan ayahnya walaupun kita tahu ayahnya orang jahat. At least, biarkan Riley dapat momen dulu. Dan film memang ngasih dengan selera humor tersendiri.

Lalu diambillah resiko berikutnya. Paruh-kedua yang normalnya dimulai dengan sekuen ‘taktik baru’, oleh naskah ini dimaknainya sebagai literally kayak different movie. Belokin cerita kayak ampe patah-dua ini kelebihan sekaligus kekurangan M. Night Shayamalan. Bisa bikin filmnya seru, unpredictable, tapi semua kenekatan itu tetap bergantung kepada storytellingnya. Skala cerita diperbesar. Seluruh kota seolah jadi tempat yang memerangkap Cooper. Sedangkan untuk Cooper sendiri, ‘baru’ baginya sayangnya adalah kali ini dia jadi lebih banyak bereaksi. Inilah kenapa banyak yang bilang babak ketiganya aneh. Karena mendadak cerita malah bergerak karena aksi-aksi si Lady Raven. Dia jadi kayak hero di bagian ini. Sebenarnya kalo dari desain, ini masih kelihatan ada alasan dan kepentingannya dengan tema. Bagi serial killer yang lagi di dunia seorang ayah, Cooper tentu familiar soal apa yang ditampilkan supaya orang melihat kita sebagai apa yang kita mau. Dan ketika Lady Raven mendadak punya rencana sendiri, ini caught Cooper off guard. Dia gak sadar seleb yang tampaknya gak bisa apa-apa, ternyata bisa punya persona yang berbeda di luar panggung (apalagi di backstage dia ngeliat rapper yang cuma bisa songong minta ini itu). Bisa punya kemampuan lain, bisa punya ‘power’ dari follower. Cuma, karena ujug-ujug Lady Raven jadi hero tanpa benar-benar ada build up, naturally kita sebagai penonton gak bisa get behind her. Tindakannya malah dianggap bego, dan lebih terasa kayak manjang-manjangin cerita.

Give new meaning to a “Parent Trap”

 

I do feel film ini bingung mau narok akhiran di mana. Stakenya padahal udah dibikin mengerucut, dibikin lebih personal. Ini juga sekaligus cara film mengembalikan kendali kepada Cooper sebagai protagonis. Bahwa pilihan ultimate bagi dia adalah memilih kehidupan mana yang ia jalani. Dia gak harus jadi serial killer. Hanya saja Cooper merasa terjebak di mana-mana. Modus operandi Cooper sebagai serial killer adalah dia memilih orang-orang yang ia anggap ‘utuh’ untuk jadi korban. Karena dia pengen liatin bahwa gak ada yang utuh di dunia ini. Bahwa seperti dirinya, semua orang adalah kepingan-kepingan. Backstory Cooper diungkap dengan subtil di balik gumaman kecil dan perilaku OCDnya (betul-betulin letak barang yang miring). Jadi film membuat Cooper harus berkonfrontasi dengan kepingan-kepingan hidupnya. Dengan istrinya. Dengan bayangan ibunya. Ini yang bikin film jadi seolah gak beres-beres. Film harusnya bisa lebih mempertegas mana yang beneran ‘konflik utama’ bagi Cooper. Ketika di awal seperti dibuild up, Cooper seperti menganggap ibu tua FBI sebagai antagonis utamanya, mestinya ini saja yang dijadikan fokus untuk penyelesaian cerita. Film harusnya bisa lebih menggodok segala ‘pieces’ konflik Cooper dan madatin babak ketiga ceritanya.

Terlepas dari bagaimana hal tampak bagi kita, kita sesungguhnya tidak pernah terjebak oleh tempat kita berada. Perangkap itu sebenarnya selalu soal siapa kita. Dengan membiarkan diri torn to pieces, kita memerangkap diri sendiri. Cooper merasa trauma membuat dia harus menjalani dua hidup, sebagai serial killer dan sebagai ayah, akibatnya dia terjebak di antara dua ‘dunia’ tersebut. Tidak pernah punya kekuatan untuk mengonfrontasi siapa dirinya, masalahnya, yang sebenarnya. Padahal lihat saja Exodia di kartu Yugioh, kalo lima anggota badannya terkumpul, kekuatannya jadi infinity hihihi

 

 




Sori, karena judulnya, dan bicara soal pieces, aku jadi gak tahan buat nyama-nyamain ama Yugioh. Tapi itu  tandanya film ini sukses menghibur. Dan aku memang beneran suka kok. Aku suka suasana di konser, experiencenya kerasa banget dan film feels genuinely life dan epic. Aku suka nekatnya M. Night Shyamalan bikin konsep ampe jadi kayak anti-protagonis.  Aku suka sudut pandang yang diangkat, serial killer bukan exactly soal dia membunuh orang dengan sadis, tapi soal dia takut ketahuan karena sumpah mati dia pengen banget berhasil membangun keluarga. Bahkan patahan ceritanya bisa kita apresiasi, karena masih bergerak dalam konteks perspektif dan backstory si karakter. Meskipun memang paruh kedua itu mestinya bisa digarap dengan lebih baik lagi. dengan lebih mulus lagi. Terutama di kejadian-kejadian, biar less kayak ‘naskah maunya begitu’ dan more kayak keputusan natural karakter di saat darurat. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TRAP.

 

 




That’s all we have for now.

Film ini could get unintentionally funny. Buat kalian, bagian mana yang paling lucu dari film ini? 

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



MAXXXINE Review

 

“To be a star is to own the world”

 

 

Quick recap untuk trilogi horor karya Ti West ini; film pertamanya, X (2022), bentukannya horor slasher, tentang Maxine bersama kru ‘film independen’ (baca: film bokep)nya syuting di farm house terpencil dan mereka semua dibunuh satu persatu oleh pasangan tua psycho pemilik rumah. Film keduanya, Pearl (2022), bentukannya lebih ke horor psikologis, karena ceritanya tentang masa muda Pearl, si nenek psycho di film pertama, tentang gimana Pearl ingin jadi artis namun keadaan (termasuk kejiwaannya) membuat dia bounded to the place. Benang merah trilogi ini adalah tentang stardom, dan how bad you want it, yang juga bisa dikerucutkan menjadi tentang sebuah empowerment bagi perempuan seperti Maxine dan Pearl – yang harus bertarung melawan waktu (if you old, game over) dan dunia glamor yang keras. Sebagai sajian penutup, West membawa kita ke Hollywood 80an. Menengok Maxine yang berjuang mendapatkan peran di film ‘beneran’. Bentukan yang dipilih kali ini adalah semacam horor misteri kriminal. Karena ada serial killer(s?) on the loose. Semua orang bisa jadi korban dan tersangka. Jika ada satu hal yang dengan mantap dijadikan tema oleh West kali ini, maka itu adalah Hollywood itu dosa.

Maxine keterima jadi lead di projek sekuel The Puritan – horor yang disebut oleh sutradaranya sebagai film kelas B dengan ide kelas A. Sang sutradara cewek itu terkesan dengan audisi Maxine. Genre horor mungkin memang masih sebelas-duabelas ama bokep dalam artian sama-sama masih bersifat eksploitatif, tapi toh Maxine aktingnya extraordinary.  Namun ada hal yang membuat transisinya ke industri besar itu terhambat. Maxine yang kini pirang, boleh saja jadi lebih tangguh, tapi tetap saja dia masih terguncang akibat masa lalunya di film pertama. Di mana dia membunuh untuk survive. Bukan hanya bayang-bayang Pearl yang menghantui. Serangkaian pembunuhan misterius terjadi di area City of Angels, Maxine khawatir detektif bakal mengaitkan itu dengan masa lalunya. Tapi ketika teman dan orang-orang di sekitarnya jadi korban, Maxine mau gak mau ikut terseret, dia harus hadapi meski itu berarti pertaruhan bagi hidup dan karirnya.

She’s a staarrrr!!

 

Dunia fiksi Maxxxine dibuat overlap dengan dunia nyata Hollywood era 80an. Karena latar pada cerita ini memang demikian signifikan. Ti West telah sukses membangun keinginan karakternya; mereka ingin jadi bintang, dan seiring itu tentu saja tempat tujuan mereka juga ikut terbuild up, gimana Hollywood sudah menjadi tujuan akhir – katakanlah, ‘Mekah’ – bagi baik itu Pearl, ataupun tentu saja Maxine. Maka sekarang otomatis giliran City of Angels itu yang diperlihatkan karakternya. Bukan tempat suci, melainkan tempat penuh dosa. Tempat gemerlap iming-iming mimpi. Di sana orang bisa dan hanya bisa sukses jika mau melakukan apa saja. Rela memberikan apa saja, dan ya tempat itu akan meminta. Merampas kalo perlu. Maxine saja gak cukup hanya nunjukin kebolehan aktingnya, dia juga masih harus menunjukkan dadanya. Cerita Maxine boleh jadi fiksi, namun bukan tidak mungkin part of it pernah dialamin atau bisa terjadi beneran karena tempat itu nyata. Beserta ‘dosa-dosanya’. Film ini mengontraskan antara referensi-referensi sinema (yang bikin kita jumpalitan kayak meme si Leonardo DiCaprio, yang berasal dari filmnya yang juga berlatar dunia Hollywood nyata) dengan kejadian horor yang juga terjadi di Hollywood di kala itu. Masa ketika satanisme populer. Saat pembunuh berantai seperti Richard Ramirez alias Night Stalker gentayangan di jalanan.

Dari situlah Maxxxine menyematkan genre horor misteri kriminalnya. Ada serial killer juga di sekitar Maxine. Membunuhi teman-temannya, range mulai dari teman di bisnis film biru hingga ke aktris film The Puritan sebelumnya. Akan ada sepasang detektif yang mengendus hubungan antara si pembunuh dengan Maxine yang baru saja dicast untuk film Puritan kedua. Aku suka di sini kesannya jadi mendua, antara detektif itu beneran pengen minta tolong petunjuk atau informasi dari Maxine, atau mereka ada sedikit curiga kepadanya. Kesan mendua ini bikin misterinya hidup, dan kesan itulah yang gak aku temukan pada Longlegs (2024) yang detektifnya percaya aja kepada firasat cenayang protagonisnya. Anyway, film Maxxxine sendiri tidak pernah benar-benar belok jadi cerita pemecahan misteri, lantaran tetap berpegang kepada perspektif Maxine yang menjauh dari polisi karena gak mau ketahuan dia dulu pernah membunuh. Film tetap jadi horor misteri dengan terus berada di belakang Maxine yang menemukan semakin susah baginya untuk jadi syuting karena selain detektif, ada juga orang yang dikirim oleh pelaku sebenarnya untuk mengikutinya.

Yang menarik di sini menurutku bukan exactly siapa pelaku (meski memang hubungan dia dengan Maxine sebenarnya personal). Melainkan bagaimana motivasi si pelaku clash dengan keinginan Maxine, dan benturan tersebut membentuk gagasan atas apa yang sebenarnya film ini ingin katakan. Si Pelaku dan cult yang merekam aksi pembunuhannya ingin membuat film dokumenter untuk menunjukkan betapa ‘setan’nya Hollywood. Mengiming-imingi banyak gadis muda kepada kehidupan yang jauh dari agama, dengan janji manis popularitas duniawi.  Bahwa Hollywood sebenarnya tempat jahat yang justru membahayakan nyawa. Statement tersebut tentu saja ironis karena untuk menguatkan narasi dokumenternya tersebut, si Pelaku justru melakukan pekerjaan setan – dia membunuhi orang-orang yang cuma mau mengejar mimpi. Orang-orang seperti Maxine. Sedari kecil Maxine diajarin mantra “I will not accept a life I didn’t deserve”. Aku tidak akan menerima hidup yang tak pantas aku dapatkan. Maxine, bekerja keras dan survive selama ini dari kerjaan yang dipandang rendah (baca: bintang bokep) merasa bahwa ia pantas dan inilah jalannya menjadi bintang film beneran. Dia ready menghadapi kerasnya Hollywood. Tapi kemunculan si Pelaku, serta bayang-bayang Pearl yang masih terus menghantui, membuatnya ragu. Bagaimana jika hidupnya bukan pada bintang terang?

Kalo jaman sekarang mah orang-orang pada ngaku-ngaku jadi something yang bahkan they don’t understand

 

Menjadi bintang berarti kita telah ‘menaklukan’ dunia, menaklukan orang-orang penghuninya. Bagaimana cara menaklukan dunia? Well, Maxine telah menemukan cara tercepat untuk menaklukan dunia. Yaitu dengan membuat sendiri dunia yang pantas buat diri kita.

 

Akhiran film ini sekilas bakal terasa happy ending. Maxine mengalahkan Pelaku. Dia sukses jadi artis horor. Dia bakal stay di Hollywood for a long time. Tapi selama menatap kepala palsu Maxine properti syuting itu, aku kepikiran mantranya tersebut. Kepikiran dunia seperti apa yang pantas dan sedang ia dapatkan. And that’s when it strikes me. Maxxxine sebenarnya berakhir dengan implikasi mengerikan. Si Maxine rise to fame karena hal yang diinginkan oleh Jill, si ghostface di Scream 4 (2011). Because some f*up shit happens to her. Itulah sebabnya kenapa Maxine ‘berterima kasih’ kepada si Pelaku sebelum menembaknya. ‘Divine intervention’ yang dimaksud Maxine saat itu adalah berkat ulah Pelaku, maka dia jadi punya momen dramatis. Action mengalahkan penjahat yang adalah darah dagingnya, berlatar sign Hollywood, di puncak dunia gemerlap, Maxine langsung jadi hero in her ‘real life.’ Sesaat sebelum menembak, di bawah sorot lampu helikopter, Maxine membayangkan dirinya jadi bintang besar. Diwawancara. Dijadikan idola, dimintai pendapat dan saran. Menurutku di saat itulah Maxine sadar dunianya. Dunia horor. Dan seramnya, dia jadi akan terus menciptakan dunia itu. Kata-kata terakhir Maxine bikin aku bergidik. Saat ditanya sutradara, “Kau telah dikenal dan mendapat perhatian semua orang. Apa yang mau kau lakukan selanjutnya?” Maxine menjawab “Aku tidak ingin semua ini berakhir” – sambil menatap kepala palsu berdarah tadi. I swear, ini film kalo mau lanjut lebih dari trilogi, Maxine pasti jadi penjahatnya. She would do anything to keep attention to her. 

Bicara tentang trilogi, well, Maxxxine yang ceritanya beneran kelanjutan dari film pertama jadi punya kelemahan dibandingkan dua film sebelumnya yang bisa dibilang dua cerita yang berdiri sendiri. Penonton yang gak nonton X, bakal kurang mengerti journey Maxine secara utuh.  Paling enggak, mereka akan bingung siapa nenek-nenek yang ‘terlihat’ oleh Maxine. Apalagi ada dua adegan penting yang merupakan satu rangkaian terkait ‘penampakan’ Pearl. Yaitu ketika Maxine melihat sosoknya di jendela rumah Norman Bates di set film Psycho. Karena nanti akan ada adegan kejar-kejaran, Maxine lari ke rumah tersebut, dan ternyata isinya ya hanya set film, Bukan rumah beneran. Kepentingannya adalah penampakan Pearl yang bikin Maxine kaget di awal, membuat rumah tersebut jadi simbol bagi Maxine. Pearl adalah sosok yang ia takuti, dan ia kalahkan. Sehingga wajar, ketika dikejar orang jahat, Maxine lari ke tempat itu. Makna adegannya jadi ada. Tapi jika penonton tidak tahu Pearl, maka adegan lari ke rumah Psycho itu hanya kayak adegan Maxine ngumpet dan kebetulan selamat dari pengejarnya. Jadi untuk berdiri sendiri, film ini tidak sekuat dua film lainnya. Mia Goth tetep ngasih performance yang luar biasa, karakter Maxine kayaknya udah mendarah daging kepadanya. Hanya saja di sini, dengan cerita misteri pembunuh, Maxine sebagai karakter lebih banyak bereaksi. Baru di pertengahan-akhir nanti cerita membuat dia banyak melakukan pilihan.

 

 




Film pertama bermain dengan pembalikan ‘final girl’ archetype. Film kedua bermain dengan psikologis karakter. Film ketiga dalam trilogi ini bermain dengan dunia, panggung bagi karakternya. Ini membuat karakter sering jadi pihak yang bereaksi terhadap dunia tersebut, ketimbang jadi penggeraknya. Also, sebagai penutup, film ini juga jadi kurang kuat untuk berdiri sendiri. Besides that, Ti West bisa dibilang berhasil-lah. Hatrick. Trilogi. Tiga-tiganya bagus, film horor modern yang cool. Berbobot. Punya karakter memorable. Punya adegan dan dialog yang ikonik. Dan sebagai crime horor, film ini kerasa suspensnya. Tapi kengerian paling besar itu datang bukan dari misterinya, ataupun pembunuhannya. Tapi dari pilihan-pilihan yang akhirnya dibuat oleh karakter utama. Terkait bahwa dia sekarang membuat dunianya sendiri di sana.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MAXXXINE.

 

 




That’s all we have for now.

Kalo diurut, posisi pertama yang aku suka adalah Pearl. Lalu X. Terakhir Maxxxine. Bagaimana dengan kalian? 

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



LONGLEGS Review

 

“Birthdays as reminders of unspoken pains”

 

 

Hari ulangtahun normalnya disongsong dengan gembira. Apalagi waktu kecil dulu. Wuih, hari-hari menjelang ultah itu rasanya berdebar-debar. Kepikiran pestanya semeriah apa. Kuenya segede apa. Kadonya sebanyak apa. Tapi makin dewasa, rasanya kegembiraan menyambut hari lahir itu berkurang. Rasanya kok tidak seantusias dulu. Bahkan, kita sering lupa sama ulangtahun sendiri. Kita jadi lebih suka merayakannya ‘diam-diam’. Alasannya bisa banyak, bisa karena sibuk, bisa karena udah pada jauh dari teman-teman, atau mungkin hari ulangtahun justru jadi pengingat kenangan buruk atas hidup yang belum terpenuhi? Longlegs, horor garapan Oz Perkins, seperti berangkat dari aspek ini. Ketika momen-momen menuju hari yang biasanya dirayakan, justru jadi momen-momen menakutkan. Ketika mengingat hari kelahiran, berbalik menjadi menyambut hari kematian. As for me, dengan bahasannya yang nyinggung-nyinggung hari ultah tersebut, Longlegs udah paling tepat dianggap jadi kado paling… horor!

Agen Lee Harker punya firasat. Yang tentu saja sangat berguna dalam investigasi kasus. Apalagi FBI memang lagi mumet ama satu kasus sulit yang terus berlangsung sedari puluhan tahun lalu. Kasus pembunuhan keluarga, yang sepertinya dilakukan oleh para ayah yang lantas bunuh diri setelah menghabisi keluarganya. Kesamaan kasus-kasus itu yaitu keluarga-keluarga yang jadi korban itu selalu punya anak perempuan yang lahir pada tanggal 14. Surely ini kerjaan serial killer, dan memang di TKP ditemukan pesan kriptik dengan simbol-simbol aneh. Tugas Lee adalah memecahkan semua misteri tersebut. Namun firasatnya yang udah kayak setengah-paranormal itu berkata lain. Bahwa pesan-pesan aneh itu mengarah kepada sosok pria misterius, yang waktu kecil dia kenal sebagai Longlegs. Dan bahwa pesan-pesan itu seperti ditujukan langsung untuknya. Ya, semua kasus ini mungkin bermula dari masa kecil dirinya sendiri  di rumah pedesaan bersama ibu.

Potong ‘palanya, potong ‘palanya sekarang juga~

 

Membungkus diri sebagai investigasi crime, film ini mengajak kita masuk ke dalam misteri ceritanya. Membuat kita jadi ikutan telaten memperhatikan clue-clue. Seperti Lee, berharap dapat menguak maksud dari teka-teki si Longlegs. Algoritma Setan, begitulah Lee menyebutnya. Karena memang crime yang ditangani Lee muatan supernaturalnya begitu gede. Sosok Longlegs terbuild up dengan sangat baik sebagai momok yang menakutkan, bikin gak nyaman, sekaligus bikin penasaran. Cara film membuat Lee ‘tertarik’ kepadanya Longlegs juga sangat menarik. Lewat kengerian intens, yang konstan terpasang pada raut Maika Monroe. Kontras sekali dengan Longlegs yang dimainkan dengan chaos, penuh histeria, serta hal-hal ganjil oleh Nicolas Cage. Makanya banyak yang membandingkan film ini dengan The Silence of the Lambs (1991), thriller investigasi dengan interaksi antara agen Clarice Starling dengan serial killer Hannibal Lecter sebagai pusatnya. Longlegs dianggap sebagai versi horor full madness dari film tersebut.

Karena memang film ini, alih-alih penuh oleh dialog tentang psikologis dan mindgames seorang killer yang berusaha ‘melahap’ kepala agen wanita lawan bicaranya, berisi racauan riddle yang seperti dilontarkan oleh si Setan itu sendiri. Dari dialog saja, nuansa creepy dan tak nyaman sudah menguar. Tempo yang sengaja lambat pun terasa semakin menyandera kita ke dalam misteri, sama seperti rasio kotak yang membingkai adegan-adegan masa lalu/masa kecil – seolah membuat Lee terpenjara dalam ingatan kabur yang bahkan struggle untuk dia ingat. Tema biblical jadi warna pada narasi. Mulai dari kutipan ayat hingga simbol-simbol yang diamini sebagai simbol setan, dijahit mulus sebagai bagian dari cerita- dari misteri. ‘Kurang ajar’nya nih film, dia tahu kita sudah tertarik masuk, menatap ceritanya lekat-lekat, tapi indera kita ‘dipekakkan’ oleh desain suara, ‘dikaburkan’ oleh transisi visual, yang sama-sama mengerikannya. Bukan dalam artian jelek, melainkan benar-benar membangkitkan perasaan horor dan gak nyaman itu sendiri.

Malahan, sebenarnya aspek horor film ini memang bersandar kepada treatment terhadap teknis-teknisnya tersebut. I mean, Longlegs-nya Nicolas Cage bakal cuma jadi karakter over-the-top ala akting histerical Cage yang biasa jika tidak punya editing secrisp yang dilakukan oleh film ini. Lihat saja adegan di opening saat Longlegs pertama kali muncul; gimana suara mendadak menyertai kemunculannya, terus posisinya di kamera yang kita cuma ngeliat sosoknya sampe sebatas bibir alias sejajar mata anak kecil, lalu gerakan dan cut mendadak yang bikin jantungan itu. Mungkin inilah yang namanya elevated jumpscare hahaha.. Yang jelas, bahkan kredit pembuka dan penutup film ini masih bergerak dalam satu kesatuan konsep untuk bikin suasana ganjil. Film ini is at its best ketika menyuarakan misterinya. Semua aspeknya kayak dikerahkan untuk bikin kita takut. Semuanya seperti punya layer alias lapisan. Ambil contoh si Longlegs itu lagi. Sengaja banget tentang dia dibikin minim. Kita memang bakalan tahu dia basically agen setan, dan dia kerjaannya sebagai pembuat boneka, tapi kenapa dandanannya begitu – baju gombrangberlapis-lapis, muka dirias putih – surely itu semua bukan hanya supaya gak keliatan Cage-nya kan? Melainkan ini adalah lapisan dari misteri siapa karakter ini. Apakah dia laki-laki yang berusaha dandan jadi perempuan? Atau apakah ceritanya dia ini pengen jadi badut? Or, he is just a glam rock fan yang dandan ala band T.Rex dan film mau gambarin setan itu nyantol di atribut-atribut mulai dari gaya rock hingga ke fashion suster gereja? Kemisteriusan desain yang sengaja tak dijawab ini menambah kepada misteri pada narasi film ini

Atau mungkinkah dia sosok ayah bagi Lee?

 

Dialognya juga begitu, nada-nada dan kata-kata yang dipilih bukan sekadar untuk bikin kita ngernyit, melainkan juga menambah kepada layer karakter. Sayangnya soal dialog ini bisa mudah missed, karena translasi. Aku menemukan satu yang menurutku kelalaian terjemahan bahasa kita – at least pada bioskop yang aku tonton. Yaitu saat Lee di kamar putri bosnya. Istri si bos datang dan menyuruh putrinya tidur. Basically dia bilang “Ayo Ruby, kamu tidur, sekarang sudah…” lalu terpotong karena dia melirik arloji dan lanjut bilang “Ah, now is tomorrow“. “Sekarang (ternyata) sudah besok” – sedangkan pada subtitlenya hanya diartikan “besok saja”. Kalimat now is tomorrow itu penting karena konteks sepanjang cerita ini adalah Lee terusik oleh tanggal ulangtahun. Firasatnya mengatakan kejadian buruk akan terjadi pada hari ulangtahun tanggal 14. Dia gelisah menuju tanggal tersebut – entah itu ulangtahun Ruby maupun ulangtahun dirinya sendiri. Now is tomorrow menjadi sinyal bahwa yang ia takuti semakin dekat. Ketakutan Lee pada saat itu jadi lost in translation karena efeknya terdownplay oleh subtitle yang mengartikan “besok saja”. Hal-hal kecil seperti demikian menunjukkan sebenarnya film ini punya rancangan yang berlapis untuk karakter dan gimmick-gimmick horornya. Film ini memukau saat rancangan tersebut berjalan sebagaimana mestinya. Kita gak perlu lagi melihat gore yang exactly on frame untuk merasakan kengerian. Film ini justru jadi bisa hadir ‘elegan’ dengan elemen sadis yang bisa dimainkan variatif sebagai icing on the cake dari nuansa creepy yang sudah kuat terbangun.

Ternyata semuanya memang berawal dari ulangtahun Lee yang kesembilan. Terjadi sesuatu antara dirinya, ibu, dan pria yang memperkenalkan diri sebagai Longlegs. Sesuatu yang mengerikan sehingga Lee tidak ingat lagi. Mungkin itulah kiasan yang hendak diutarakan oleh film ini. Bahwa hari ulangtahun bukan hanya untuk hura-hura dan bersenang-senang. Bahwa mengingat hari kita lahir juga berarti mengingat hal-hal buruk yang pernah kita hadapi, atau yang coba kita tinggalkan.

 

Oleh karena kuatnya bangunan misteri dan lapisan yang diperlihatkan pada dua babak sebelumnya itulah, maka ketika film Longlegs sampai di babak ketiga dan memutuskan untuk membeberkan jawabannya dengan eksposisi yang gamblang,  aku yakin penonton akan jadi terbagi. Akan ada yang jadi gak puas karena investigasi half-psychic tersebut ternyata jadi beneran supernatural. Lapisan yang terbangun atas misteri terutama soal masa kecil terlupakan terkait hubungan Lee dengan ibunya pun jadinya kayak untuk twist semata. Film memang masih menyiapkan ending yang ambigu terkait penyelesaian antara ‘kutukan’ Longlegs dengan Lee, tapi penjelasan film tadi telah sukses membuat misteri film jadi seperti menguap dan penonton kehilangan hal yang lebih seru untuk dibawa pulang dan didiskusikan. Aku sendiri, ada di pihak yang kurang puas. Rasanya aneh aja gitu, film yang udah sukses bikin bangunan misteri – bayangkan sebuah balon yang udah menggelembung besar siap untuk terbang, tapi lalu kemudian memutuskan untuk meletuskan balon tersebut dengan memberikan semua jawabannya. Sayang aja rasanya. Apalagi dilakukan lewat narasi eksposisi pula – sesimpel ibu bercerita pada anaknya. Menurutku akan lebih menarik jika cerita ibu ini dibuat gak eksak jawaban, melainkan hal yang ambigu kebenarannya, sehingga juga bisa menambah kepada hubungan ibu dan anak yang sepertinya juga diincar oleh film ini.

 




Sebagai horor investigasi kriminal, film ini sebenarnya berhasil ngasih lebih dari apa yang bisa ditawarkan oleh genrenya. Suasana yang konstan creepy dan terus merongrong penonton sebagai hasil dari bangunan misteri berlapis yang terus mendera karakter. Desain suara dan crisp editingnya jadi ‘kurang ajar’ begitu bergabung dengan akting hyper Nicolas Cage. Secara arahan horor, this is a very good movie. Kentara sutradaranya peka dan punya passion terhadap misteri alias suka nakut-nakutin orang. Hanya pilihan dan caranya dalam menjelaskan semua di akhirlah, yang bakal membagi penonton. Film ini jadi terlalu sensasional, tapi juga terlalu ‘beres’, untuk bisa kita bawa pulang. Tapinya lagi, penampilan akting dan ‘elevated jumpscare’nya sendiri sudah cukup untuk jadi ikonik sehingga tetap membuatnya dibicarakan banyak orang, untuk waktu yang cukup panjang.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for LONGLEGS.

 

 




That’s all we have for now.

Basically kado ultah Lee adalah dikasih tahu bahwa ibunya collab ama setan haha.. bener-bener worst birthday ever. Kalo kalian gimana, apakah kalian punya cerita tentang pengalaman hari ultah terburuk?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



24 JAM BERSAMA GASPAR Review

 

“Hope is a desperate feeling in a desperate situation”

 

 

Apa coba persamaan detektif di film-film? Ya, kasus misteri yang mereka tangani dengan susah payah itu ternyata paralel dengan masalah personal mereka. Tapi detektif Gaspar memanglah beda (jantungnya aja di kanan!)  Kasus baginya sedari dulu cuma satu; mencari teman masa kecil yang hilang di dunia yang semakin canggih tapi moral semakin bobrok itu, Sutradara Yosep Anggi Noen mengadaptasi cerita Gaspar dari novel, ke dalam genre yang baru baginya. Jika dua film Yosep sebelumnya kita ibaratkan kayak orang introvert; irit berkata-kata, penuh visual storytelling yang mengajak berkontemplasi, maka film Gaspar ini kayak ekstrovert. Berisik, menggebu-gebu, ambisius, penuh aksi. Satu buku dipadatkannya ke dalam 90an menit, sumpek berisi urusan tentang dunia masa depan, tentang situasi sosial politik yang kok kayaknya gak jauh-jauh amat dengan keadaan kita sekarang, lagu non-diegetic yang kayak mengejakan perasaan karakter, dan pencarian desperate dari seseorang yang memegang teguh cinta dan harapan. So yea, ini adalah film detektif yang begitu berbeda sehingga menantang bukan cuma buat kita, tapi juga bagi pembuatnya. Jantungnya aja ada di kanan!!

Gaspar yang jantungnya ada di kanan itu (yang udah nonton film ini ampe abis pasti bisa tahan pengulangan ini hahaha) mendapat petunjuk tentang keberadaan atau nasib teman masa kecilnya, Kirana, yang hilang sejak lama. Selama ini Gaspar menekuni pekerjaan detektif, memang untuk mencari Kirana, dan along with that job, Gaspar juga melihat kebobrokan dunia tempatnya tinggal. Saat menangani satu kasus, Gaspar dihajar ampe babak belur. Dan dokter di underground fight club milik Agnes, memvonis alat di jantungnya yang ada di kanan udah game over sehingga Gaspar cuma punya 24 jam untuk hidup, 24 jam untuk mencari kebenaran soal Kirana. Gaspar harus segera menyimpulkan dan menyerang targetnya. Supaya bisa mendapat pembalasan dan closure sebelum dia mati.

review 24 jam bersama gaspar
Gaspar, jantung kamu di mana?  *insert meme Bart Simpson* Di kanan… Yeaayy!!!

 

Gak banyak film Indonesia yang membahas tentang detektif, dan lebih sedikit lagi film kita yang mengangkat setting distopia negara kita. Makanya menit-menit awal film ini begitu menarik. Kamera 24 Jam Bersama Gaspar memotret fantasi itu dengan kontras antara kecanggihan dan kebobrokan yang kentara. Suasana daerah slum-nya udah kayak dalam game-game seperti Final Fantasy VII. Orang berantem di mana-mana, sementara aktivitas komunal tampak patuh dengan aturan seperti penggunaan gawai yang seperti merecord semua. Feelnya strange, kayak jauh tapi juga terasa dekat secara bersamaan. Tapi maksud dari pembangunan dunia distopia seperti itu tidak pernah benar-benar kita tahu, karena seiring durasi berjalan, film seperti melupakan settingnya. 24 Jam Bersama Gaspar actually akan berubah menjadi aksi heist-gone-wrong, dan lingkungan yang kita lihat jadi kayak daerah jelata, ‘sudut kota Jakarta itu keras, Bung’ seperti yang biasa-biasa saja. Film tidak lanjut menggali bangunan dunia reka uniknya itu, misalnya rule apa yang berkembang di masyarakat di jaman itu, apa yang beda dari jaman cerita itu, ataupun kenapa di masa depan yang keras itu orang-orangnya pada kembali memakai bahasa baku.

Sebenarnya soal bahasa baku ini buatku tidak masalah. Toh baik itu Reza Rahadian, Laura Basuki, ataupun Shenina Cinamon terdengar tidak demikian canggung dalam membawakannya. Bahasa baku ini juga jadi kontras yang menarik di dunia mereka yang penuh kriminal dan hitam. Like, hidup susah seperti itu, terus digencet ekonomi sampai pada bunuh diri dan ada yang jual anak, tapi bahasa mereka masih terjaga. Baku. Terdengar di telinga kita yang sehariannya pakai bahasa nyampur aduk dan ngasal, jadinya kayak ‘sopan’. At least, mereka kayak masih menjaga emosi. Kesan yang timbul dari kontras bahasa dan situasi itu jadi seperti mereka ini orang-orang yang dingin sekali. Mungkin mereka dingin karena sudah biasa hidup makan hati tergencet situasi seperti itu. Bahasa ini bisa jadi much deeper ketimbang persoalan pilihan biar beda, tapi ya itu tadi, kita hanya bisa menduga karena film seperti tidak peduli-peduli amat sama bangunan dunia distopianya tersebut. They just did it in the first minutes, dan kemudian ya jadi malah membahas persoalan simbolik lain, yaitu kotak hitam penuh misteri yang dimiliki ‘tersangka utama’.

Alih-alih melanjutkan world building sebagai panggung tempat karakternya harus beraksi, mengungkap pencarian seumur hidupnya, film ini lebih tertarik mengobrolkan backstory. Lewat flashback-flashback masa kecil. Intensinya sebenarnya cukup jelas. Film pun menggunakan flashback itu untuk mengontraskan antara Gaspar yang masih kecil dulu, lebih riang karena punya Kirana, dengan Gaspar yang sekarang – bayangkan Harrison Ford di Blade Runner, atau Ryan Gosling di Blade Runner 2049, tapi lebih volatile dan desperate. Suasana visualnya pun jadi pembanding yang diniatkan untuk menguatkan perkembangan karakter dan dunia. Hanya saja film melakukan bolak-balik ini dengan sangat sering, padahal poin dan tujuannya sudah terlandaskan. Basically paruh pertama film akan sering banget berpindah-pindah ini, dan ini memperparah tempo film yang sedari awal memang sudah mentok banget antara arahan slow burn yang biasa Yosep lakukan dengan konsep mendesak dari waktu 24 jam tadi.

Biasanya waktu yang mendesak itu membuat stake cerita semakin dramatis. Misalnya, karakter yang cuma punya 3 jam untuk mengejar pacar yang mau pindah ke luar negeri, atau karakter harus keluar dari dunia gaib sebelum portal menutup di pagi hari. Himpitan waktu memacu karakter untuk segera beraksi, mengambil resiko, membuat pilihan. Ketegangan datang dari melihat mereka berjuang hingga detik terakhir tapi seolah mereka bakal gagal. Pada Gaspar, kejaran waktu yang ditekankan oleh film bahkan hingga lewat visual angka pengingat seolah detik bom waktu, tidak terasa seperti dibarengi oleh urgensi, karena cerita seringnya bolak-balik menelisik Gaspar berkontemplasi dengan kehilangannya akan Kirana (yang sebenarnya ini juga jadi cara film melontar eksposisi) Dan juga stake kurang terasa karena Gaspar sebenarnya sudah siap untuk mati. Jantung di kanan ternyata cuma alasan mudah membuat Gaspar harus mati, karena gak banyak dan mendesak efek rintangannya pada saat adegan aksi. Pria ini sudah demikian bijak, dia sudah punya semua jawaban, dia hapal betul gimana dunianya bekerja, dia telah memahami persoalan rakyat kecil seperti mereka – orang baik yang terpaksa berbuat nekat demi mewujudkan harapan mereka akan hidup lebih baik. Journey Gaspar terasa tidak memerlukan gencetan. Karena inti dari inner journey-nya itu adalah dia butuh untuk percaya jawaban yang ia cari ada di dalam kotak, meskipun sebenarnya kotak itu bisa jadi bahkan bukan sesuatu yang spesial. Karena harapan terhadap ada kotak itulah yang mendorongnya untuk terus. Dan karena film membuat Gaspar telah berdamai dengan pemahamannya tersebut, dan sudah berdamai dengan kematian yang pasti akan datang, maka perkara dia berhasil atau tidak, secepat apa dia menemukan kotak itu,  tidak terasa benar-benar jadi soal.

Jantung hatinya-lah yang dia gak tahu ada di mana

 

Dulu ada lagu Zamrud yang liriknya mlesetin makna pepatah berakit ke hulu berenang ke tepian itu menjadi  “Bersakit dahulu, senang pun tak datang, malah mati kemudian” Ini actually selaras dengan gimana film ini memandang nasib rakyat kecil seperti Gaspar dan teman-teman seperjuangannya di dunia distopia mereka. Mereka cuma bisa terus berakit dan berenang, karena yang mereka punya cuma harapan akan ada senang kemudian. Ketika harapan mereka itu menjadi semakin desperate, maka mereka akan berakit dan berenang dengan menghalalkan segala cara asal nanti bisa sampai ke tepian, entah di mana letaknya. Di sinilah ketika moral itu menjadi abu-abu. Orang baik akan melakukan hal jahat, ketika mereka jadi begitu desperate berharap ada imbalan yang pantas mereka dapatkan setelah perjuangan selama ini.

 

Supaya gak terlalu berat dan serius, film ini pun melunakkan tensi. Kayak dari karakternya Dewi Irawan yang memang sepertinya diniatkan sebagai comedic relief dengan tone yang tetap sesuai ama vibe film. Atau juga saat heist kecil-kecilan mereka ke toko emas. Ya, Gaspar tidak berjuang sendirian, Film memasuki bagian aksi sebagai babak final. Yang dijamin bisa bikin penonton yang mungkin tadi cukup lelah menjadi melek. Walau mereka terkadang dipotret dalam shot yang menarik, sebenarnya geng Gaspar ini pun kurang maksimal dikembangkan. Kita paham mereka direkrut atau bergabung karena ‘musuh’ yang sama, cause yang sama, tapi hubungannya dengan Gaspar terasa kosong. Like, kalo di game RPG kita paham karakter-karakter yang bergabung jadi party kita itu selain punya masalah personal dengan musuh, mereka juga terdevelop menjadi punya ikatan personal dengan karakter utama, sehingga masalah personal yang masing-masing tadi jadi masalah bersama. Gaspar di film ini terasa berjarak dengan mereka. Yang beneran punya kepedulian terhadap journey Gaspar cuma Kik, yang diperankan Laura Basuki. Tapi itupun kehadiran karakternya aneh, like, kita awalnya udah percaya Gaspar adalah anak kecil kesepian, punya teman Kirana sehingga tidak sendiri lagi, lalu Kirana hilang dan ini jadi motivasi dia sampai gede. Tapi ternyata diungkap Gaspar teman masa kecilnya bukan cuma Kirana. Ada Kik. Aku gak tau kenapa film kayak sengaja gak langsung menyebut ada Kik di awal. Meski memang masih sesuai tema – bahwa mereka ikut Gaspar cukup karena harapan bisa katakanlah dapat balas dendam dan duit – tapi ini membuat kita susah peduli sama mereka. Mereka juga jadi berjarak dengan kita.

 




Film detektif yang pada akhirnya tidak terasa seperti menonton cerita detektif. Film distopia yang pada akhirnya tidak terasa seperti sebuah bangunan dunia reka yang utuh. Kalo bobroknya sih, dapet banget. Maka menonton film ini terasa seperti melihat puing-puing reruntuhan masyarakat sosial, yang mungkin tidak lama lagi bakal kejadian. Ketika orang-orang tidak punya motivasi selain berpegang pada harapan – yang bisa saja kosong – namun tetap secara desperate mereka percaya. Also, puing-puing karena film ini terasa seperti pecahan konsep-konsep yang tidak berjalan saling menyokong. Cerita butuh untuk karakternya ‘melambat’ tapi jebakan waktu membuat seolah ini adalah aksi yang harus terus bergulir. Beberapa orang mungkin menemukan keindahan pada puing-puing, tapi bagi beberapanya lagi, puing-puing bisa tampak tak lebih berharga dari onggokan batu di pinggir jalan. Semua itu mungkin tergantung dari jantung kalian ada di mana.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 24 JAM BERSAMA GASPAR.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, di manakah jantung Gaspar?

Silakan share… ahaha bercanda ding.. Menurut kalian apakah menurut film ini berarti tidak ada baik dan jahat, melainkan hanya siapa yang duluan merasa desperate saja? Silakan share di komen yaa

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



ANATOMY OF A FALL Review

 

“Being aware of how our actions affect others and acting accordingly leads to happy, strong relationships”

 

 

Seorang wanita menjadi tersangka pembunuhan suaminya. Dan anak mereka yang buta harus menghadapi dilema moral karena menjadi satu-satunya saksi utama di kasus ini. Begitu bunyi sinopsis IMDB film karya sineas Perancis, Justine Triet ini. Film yang dikemas sebagai drama kasus kematian, tapi dalam lapisan terdalamnya merupakan kemelut rumah tangga, seorang ayah dan seorang ibu. Seorang istri dan seorang suami. Dan anak yang ada di sana, mengalami efek dari semua, tanpa benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. ‘Anak yang buta’ di kisah ini serves sebagai both literal dan perumpamaan. Karena anak memang tidak akan bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi pada hubungan orangtuanya. Apakah mereka bahagia? Apakah mereka punya rahasia? Apa yang harus dipercaya?  Sehingga anatomi yang sebenarnya sedang diperiksa oleh film yang dengan brilian meng-cover semua perspektif ini adalah anatomi dari kejatuhan sebuah pernikahan.

Seperti inspirasinya, Anatomy of a Murder (1959), film Justine ini pun basically adalah sebuah courtroom drama. Sebagian besar adegan akan bertempat di ruang persidangan, tempat Sandra, sang ibu dalam cerita, menjalani sidang untuk membuktikan dia tidak bersalah atas kematian yang cukup janggal dari Samuel, suaminya. Jadi, kasusnya adalah Samuel ditemukan bersimbah darah di halaman rumah mereka yang bersalju. Tak ada jejak lain selain milik Daniel, anak mereka, yang menemukan mayat sehabis berjalan-jalan dari luar rumah bersama anjing penuntunnya. Diduga Samuel jatuh dari loteng, tempat dia bekerja. Nah, jatuhnya itu yang dipertanyakan. Melompat sendiri, kecelakaan, atau didorong oleh satu-satunya orang di rumah itu yaitu Sandra. Anatomy of a Fall juga sensasional seperti genrenya tersebut, tapi dalam sense yang berbeda. Kita memang akan terikut dalam menebak-nebak dan terperangah setiap kali ada ‘fakta baru’ terkuak di persidangan. Tapi ini bukan soal tentang gimana kasusnya secara eksak, gimana cara membunuh, gimana senjata pembunuh, alur kejadian, ataupun bahkan bukan semata soal siapa yang sebenarnya membunuh. ‘Siapa yang bersalah’ dalam film ini diarahkan oleh Justine agak keluar dari maksud persidangan yang cuma dijadikan outer layer, melainkan yang lebih penting adalah inner layernya. Untuk menyentuh soal bagaimana tragedi malang ini bisa sampai ‘terjadi’.

Kenapa musti lagu 50 Cent wkwkwk

 

Sandra dijadikan perspektif utama diniatkan supaya pembahasan kasus di persidangan itu lebih personal, karena yang ingin dicapai oleh film ini adalah menelisik seberapa jauh sebenarnya seseorang punya tanggungjawab terhadap orang lain. Dan keluarga sebagai unit terkecil dan terpersonal dari hubungan sosial yang komplekslah yang dijadikan sebagai objek studi kasus. Sandra Huller yang memerankan Sandra benar-benar tampak seperti ibu, istri, yang merasa dirinya tidak bersalah. Kepercayaannya itu yang terus diserang oleh tuduhan-tuduhan penuntut. Yang pada akhirnya membuat adegan persidangan itu jadi device film untuk membuat Sandra flashback dan memeriksa ulang perbuatannya. Yang membuatnya melihat momen-momen dia bertengkar dengan suami dari sudut yang lain. Sementara kita, penonton film akan merasa seperti ikut jadi hakim dalam relationship tersebut. Yang salah istri, atau suami. Ambigu yang dilakukan dengan brilian oleh film tidak hanya terbatas kepada matinya bunuh diri atau dibunuh. Melainkan juga berhasil membuat kita memikirkan ulang, siapa yang kita dukung di dalam hubungan mereka. Sementara apa yang mereka berdua lakukan sesungguhnya sama-sama berakar dari pilihan mereka untuk dealing with keadaan anak mereka yang penglihatannya terganggu karena kecelakaan.

Oh yea, sedikit banyaknya ini tentu saja jadi persoalan peran gender. Kita sering mendengar tentang suami yang gak bolehin istri bekerja karena membuat dirinya merasa seperti lelaki yang lemah. Kita sering mendengar soal cowok punya problem begitu ceweknya lebih capable. Cekcok rumah tangga antara Samuel dan Sandra basically mirip seperti ini. Keduanya sama-sama penulis, Tapi berada di titik kesuksesan yang berbeda. Dari pertengkaran di meja makan yang diam-diam direkam audionya oleh Samuel, kita tahu ini adalah masalah yang satu merasa dirinya berkorban terlalu banyak dibanding yang lain. Film dengan pintar memasukkan banyak hal-hal kecil untuk ‘membangun’ kasus tersebut, seperti soal bahasa yang mereka pakai di rumah. Walau tinggal di Perancis, Sandra yang asli German masih sering menggunakan bahasa Inggris, dan ini dianggap egois oleh Samuel karena sekali lagi dia yang harus nurut kemauan istri. Kemungkinan frustasi dan bunuh diri memang dibiarkan terbuka oleh film, sembari terus memperlihatkan hal-hal yang memberatkan Sandra. Membuatnya seperti yang dituduhkan oleh penuntut. Dan inilah yang harusnya jadi ‘journey’ karakter Sandra yang merasa dirinya tidak bersalah. Tidak bertanggungjawab atas kematian suaminya.

Well, memang benar kita tidak bertanggungjawab atas pilihan orang. Kita enggak bisa mengendalikan apa yang dirasakan oleh orang terhadap apa yang kita lakukan. Tapi toh efek atau konsekuensi itu pasti ada. Apa yang kita lakukan pasti ada ngaruhnya kepada orang lain. Hanya masalah ‘sebesar apa’. Film ini mengangkat argumen bahwa pilihan kita memang berdampak kepada orang sekitar. Pilihan seorang istri bisa mempengaruhi hidup suami, dan tentu saja berefek kepada anaknya. Tapi itu juga bukan berarti dia pantas untuk dipenjarakan karenanya.

 

Di dunia nyata aku setuju dengan keputusan sidang film ini. Bahwa kemungkinan besar Samuel bunuh diri, atau setidaknya tidak ada cukup bukti untuk memenjarakan Sandra. Kebohongan-kebohongan Sandra bisa dimaklumi karena dia juga memikirkan anaknya yang terpaksa harus ikut hadir mendengarkan semua masalah ‘belakang dapur’ keluarga mereka. Hanya saja, sebuah film harusnya karakternya at some point kalo gak bersalah, ya merasa bersalah. Supaya ada journey, dan dia gak benar-terus tanpa false believe sedari awal. Anatomy of a Fall ini menurutku kurang bisa mencuatkan journey Sandra tadi. Film ini membuat keputusan sidang disampaikan off-screen untuk mempertahankan ambigu, tapi yang jelas Sandra bebas tanpa tuduhan. Dan dia kembali ke rumah, bertemu kembali dengan anaknya. Poin-poin yang menunjukkan Sandra merasa bersalah selama proses sidang tidak benar-benar kelihatan, meskipun dari gimana naskah ini terdesain seharusnya hal itu seperti yang sudah kujabarkan. Sandra menangis di dalam mobil saat Daniel pada malam sebelum kesaksian terakhirnya bilang ingin sendirian bersama guardian saja di rumah. tidak terkesan sebagai tangisan karena dia merasa sadar telah membuat Daniel sebagai anak berada di posisi yang susah (harus memilih percaya ibu yang bunuh ayah, atau ayah bunuh diri), melainkan lebih seperti tangisan karena dia dan Daniel akan berpisah karena hal yang dia kekeuh tidak ia lakukan.

Pun arahan film untuk menjaga ambigu kadang terasa miss dan malah seperti membuat hasil sidang itu sendiri tidak benar-benar tepat (eventho hasil itulah yang terbaik bagi Daniel). Like, Daniel-lah yang dijadikan ‘kunci’. Tapi karakter Daniel itu sendiri dibuild up sepanjang durasi oleh film sebagai karakter yang juga unreliable. Daniel yang masih anak-anak, kesaksiannya sering berubah. Antara ingatan nyata Daniel dengan hal/kejadian yang ia bayangkan juga dibuat ambigu. Ketika penuntut mempersembahkan teori pembunuhan saat sidang, film memperlihatkan visual Sandra memukul Samuel hingga terjatuh yang ada di pikiran Daniel yang duduk di kursi hadirin. Ketika pengacara Sandra menjelaskan teori mereka tidak bertengkar, kita juga dibawa ke ingatan Daniel bahwa mereka memang tidak bertengkar. Sehingga ketika di menjelang akhir Daniel bersaksi bahwa ayahnya pernah mengucapkan sesuatu yang seperti sebuah pesan ingin bunuh diri, film memperlihatkan itu lewat visual adegan, enggak clear apakah adegan itu termasuk imajinasi/hal yang ingin diingat Daniel atau adegan dari hal yang memang terjadi.

Akting terbaik film ini justru datang bukan dari aktor manusia

 

Dengan membuat film berakhir tetap ambigu, film jadi kurang nendang dan malah bikin penonton penasaran sama hal yang bukan arahan atau goal film di awal. Aneh aja cerita ini berakhir dengan vibe lega, benar-bukan-salah-nya, apalagi penentunya adalah ingatan dari karakter anak kecil yang dibuild up sebagai unreliable oleh  naskah. Menurutku film akan bisa lebih impactful jika setidaknya ‘bersalah’nya si karakter ditegaskan. Supaya development dan journey yang diniatkan itu benar-benar terasa. Dan ini bukan miss dari aktingnya, karena everyone di sini benar-benar memerankan perasaan karakter mereka dengan baik. Bahkan anjingnya si Daniel aja total banget, aku belum pernah lihat pemain non-manusia berakting seperti itu hahaha.. Menurutku ini hanya sedikit over dari arahan saja yang pengen tetap ambigu. Ambigu itu bagus untuk membuat penonton tersedot dan penasaran dan ‘bicara’ kepada film. Sometimes ending ambigu juga keren banget bikin penonton terus mendiskusikan film. Tapi kalo journey, mestinya jangan terlalu ambigu.

 




Actually bisa merangkap dua genre – drama rumah dan drama courtroom – menjadi sajian yang berhasil bikin kita terinvest total. Awalnya cuma menebak pembunuh ala whodunit, lalu lantas berubah menjadi something yang lebih berisi untuk didiskusikan. Meninggalkan persoalan ‘siapa’ menjadi ‘kenapa’ dengan penceritaan yang sangat engaging dan dalem. Aku bisa paham kenapa film ini dinotice dan menang penghargaan. Penceritaannya ada di level yang berbeda. Film ini juga pesona yang membuatnya bisa diterima oleh penonton mainstream. Tapi juga pesona dari ambiguitasnya ini yang bagiku terasa kurang klop dengan desain yang diniatkan. Membuat journey karakternya kurang tercuat, dan jadinya kayak ngikutin kasus asli yang berakhir happy (bikin kita ikutan happy karena di real life jarang kasus berakhir happy) alih-alih sebuah story tentang manusia yang come off better people di akhir.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ANATOMY OF A FALL

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, setelah film selesai, apakah kematian Samuel adalah sesuatu yang menyedihkan? Kenapa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, ada satu film yang kukasih score 8.5 tahun ini yang tayang di Apple TV. Killers of the Flower Moon. Untuk nonton, kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KILLERS OF THE FLOWER MOON Review

 

“Coyote is always out there waiting… and coyote is always hungry”

 

 

Alih-alih bikin whodunit, Martin Scorsese bilang bahwa ia mengadaptasi buku nonfiksi tentang rangkaian pembunuhan warga Indian di Osage County 1920an menjadi film ‘who-didn’t-do-it’. Apa maksudnya? Well, thriller detektif memecahkan kasus boleh saja lebih ‘menjual’ tapi tidak akan mencapai power yang diniatkan Scorsese. Dengan konteks sejarah bangsanya, film ini disajikannya untuk menyuguhkan perasaan getir karena yah in a way, they all did it; dengan tidak pernah benar-benar serius mengusut sebab terlalu banyak yang terlibat. Dan para korban survive bukan karena bantuan mereka-mereka kulit putih. Afterall, sutradara legend ini demennya bikin cerita dengan karakter based on real people yang melakukan hal-hal tak terpuji. Killers of the Flower Moon dibuatnya sebagai drama romansa dari sudut pandang pelaku kejahatan yang berpikir dia beneran menyintai perempuan indian yang ia nikahi sebagai istrinya, tapi juga dia menyintai uang dengan sama besarnya. Jika tidak lebih.

Namun jangan bayangkan Leonardo DiCaprio di sini karakternya cool, glamor, dan penuh karisma seperti protagonis-protagonis bobrok dalam film Scorsese yang sudah-sudah. Ernest Burkhart dalam cerita ini bukan wolf. Dia, sesuai dengan yang disimbolkan oleh istrinya bahkan dalam pertempuan pertama mereka, adalah coyote. Anjing hutan liar yang selalu kelaparan. Menyedihkan, tapi tidak untuk dipercaya.

 

Ernest tadinya ikut dikirim ke medan perang, sebagai juru masak. Tapi karena kondisinya, pemuda ini tidak bisa membantu banyak. Pulanglah dia ke naungan pamannya. Seorang juragan ternak di Osage, tanah Indian yang makmur oleh emas hitam. Saking makmurnya, orang-orang kulit putih seperti Ernest berdatangan ke sana, mencari peruntungan mengadu nasib ke sana. ‘Peruntungan’ di sini tidak dalam makna yang baek-baek. Sekilas memang mereka tampak jadi pekerja bagi orang-orang Indian. Dua golongan ini pun tampak saling membaur. Asimilasi budaya dan pengetahuan. Tapi di baliknya, ada maksud terselubung untuk menguasai uang minyak. Warga Indian dibunuhi dengan segala macam tipu daya. Ernest yang jatuh cinta kepada Mollie, bukannya membela, ataupun setidaknya bersimpati. Ernest ikut ke mana power bertiup. Ke pamannya yang bisa mendapatkannya uang dan posisi. Sehingga dia tidak menolak ketika pamannya memanfaatkan perasaan antara dirinya dengan Mollie. Ernest bahkan ikut berkomplot membunuh satu persatu keluarga Mollie, setelah mereka menikah.

Dengan cocote, Ernest adalah coyote berbulu domba

 

Kenapa sih para ‘pendatang’ itu kelakuannya suka seperti ini? Film ini hadir pas banget dengan horrible genocide event yang sedang berlangsung, sehingga impact film ini mestinya bisa berkali lipat menyentuh kemanusiaan. Orang yang datang malah menjajah, ingin menguasai lebih dari hak mereka, sampai melakukan apapun termasuk kejahatan kriminal. Kekuatan film ini jadi terdisplay full, nunjukin gimana pun tetap ujungnya rasis. Mendahulukan kepentingan golongan. Dan ultimately, perut sendiri. Ernest dan pendatang kulit putih udah dikasih hati, tapi malah minta jantung. Aku pikir inilah yang ingin ditunjukkan oleh Scorsese ketika memilih untuk menjadikan cerita ini dari sudut pandang Ernest, yang sebagai protagonis sangat unlikeable, meskipun dia percaya punya rasa cinta kepada Mollie. Film ingin memperlihatkan ‘hati yang sudah dikasih’ tersebut. Ingin mendaratkan kita dengan perasaan genuine, tanpa mencederai perasaan pihak yang mestinya adalah victim. Pihak yang lebih berhak menceritakan peristiwa ini. Mollie dan orang-orangnya.

Karena Mollie dan orang-orang Indian itu meski lebih pasif posisinya di dalam cerita, tapi mereka tidak pernah digambarkan ignorant alias polos. Mereka bukannya bengong dan tidak tahu apa-apa ketika ada sodara mereka yang ditemukan mati secara misterius seolah kecelakaan (dan mengenaskan). Film tidak sampai hati mengatakan mereka juga terlena total oleh harta dan kata-kata pemuda seperti Ernest yang menikah ke dalam keluarga Indian, ataupun orang berpengaruh seperti William Hale, paman Ernest, yang telah lama membantu dan ikut membangun fasilitas-fasilitas di kota mereka. Bagi para warga Indian, film memperlihatkan, persahabatan dan keterbukaan mereka adalah hal yang tulus, yang dimanfaatkan oleh para coyote licik. Mollie, sedari awal flirt-flirtan sama Ernest sudah melihat bahwa pria itu orang yang pengen duitnya, makanya dia menjuluki Ernest dengan sebutan coyote dalam bahasa Indian. Tapi ya itu tadi, cinta itu tumbuh genuine. Mollie merasakannya pure, sementara Ernest merasakannya juga tapi tertutup oleh ‘rasa lapar binatangnya’. Film ingin kita merasakan dramatic irony dari melihat cinta dan kepercayaan Mollie tumbuh, dikontraskan dengan bagaimana Ernest sebagai karakter utama dalam setiap kesempatan yang selalu diberikan naskah kepadanya, memilih untuk menomorsatukan uang dan pamannya ketimbang Mollie dan keluarga. Adegan di bagian akhir yang Ernest ditanya oleh Mollie soal insulin yang selama ini disuntikkan, maan, really broke us down bersama Mollie. Film memberikan kesempatan kepada karakternya untuk develop oleh pembelajaran, they did it for a while, lalu jatuh kembali ke lubang yang sama. Ini jadi kayak jawaban film kenapa masalah tahun 1920 itu masih relevan juga dengan keadaan sekarang.

Ketinggian dramatis seperti itu tidak akan tercapai jika film ini mentok sebagai pengungkapan kasus whodunit siapa yang membunuhi saudara-saudara Mollie dan para Indian. Film ini tahu yang penting untuk diceritakan, bahwa siapa yang bunuh tidak perlu lagi dipertanyakan. Film justru ingin menelisik moral dan perasaan karakter-karakter yang terlibat. Ernest bergulat antara cintanya kepada Mollie dan kepada uang, Mollie bergulat prasangkanya dan ruang untuk cinta.  Banyak lagi momen dalam film 3 jam setengah ini yang bikin terenyuh. Mollie ngasih bantal kepada sodara Ernest yang pulang kemaleman, not knowing bahwa orang itu baru saja melakukan permintaan Ernest (atas gagasan paman) membunuh kakak Mollie. I was like, wow gimana bisa Ernest tidur nyenyak berselimut kekejian seperti itu. Lily Gladstone meranin Mollie udah pas banget, kita ikut merasakan kewaspadaan serta juga kevulnerableannya sebagai perempuan hadir di balik tuturnya yang singkat tapi padat. Jadi hati di balik penampilan repulsif dan manipulatif dari karakter pria kulit putih. Leonardo dan Robert De Niro memberikan penampilan tidak kurang dari standar tinggi yang selalu mereka suguhkan, tapi di musim award ini, Lily Gladstone mestinya bisa jadi ujung tombak film ini untuk meraih penghargaan. Durasi sepanjang itu gak bakal terasa karena cerita yang mengalun, karakter yang ironis, dan pace terjaga. The only reason aku gak nonton ini bioskop (dan aku sangat menyayangkan itu karena pastilah film ini makin epik di studio) adalah karena secara fisik, aku yang sedari kecil punya penyakit beser udah gak kuat duduk selama itu tanpa harus bolak-balik ke toilet (which will ruin the experience for me)

Ini film yang bikin kita malu kalo relate sama protagonisnya

 

Lihat cara film menampilkan momen-momen keseharian rakyat di Osage. Lewat tampilan hitam putih seolah foto/film jadul yang sebenarnya. Pilihan yang bukan sekadar untuk estetik, melainkan juga perfectly membingkai karakter yang ingin diceritakan. Bahwa kebersamaan si kulit merah dan si kulit putih di layar itu ya sebenarnya ada yang ‘mengatur’ di belakang. Ada mastermind yang merencanakan hal buruk demi duit. Jadi ya, Scorsese di film ini bukan hanya menceritakan peristiwa kelam masa lalu, melainkan dia juga punya desain sendiri. Yang mengangkat film ini lebih dramatis lagi. Film ini dibuka dan ditutup olehnya dengan somekind of upacara Indian. Yang satu tentang kekhawatiran mereka akan ‘way of life’ yang berpotensi tercemar setelah masuk masa makmur mereka, sementara satunya tampak seperti perayaan kebersamaan yang saling menguatkan. Secara hakikat, ini adalah materi yang pelik untuk diceritakan oleh Scorsese yang sadar dia sendiri bukan Indian. Dan dia berhasil menemukan desain yang tepat. Membuat cerita dari sudut pandang pelaku, memberikan journey kepada pihak pelaku yang mewakili kenyataan bahwa sampai sekarang belum berubah betul (meski mengaku sudah sadar), tanpa melupakan perspektif korban. Tanpa mengasihani, ataupun merendahkan penghormatan terhadap korban.

 




Film ini tidak lancang dengan ngasih penyelesaian yang menuntaskan cerita. Bagian sidang penangkapan dan pengakuan Ernest memang ada, FBI yang mengusutnya memang ada (Jesse Plemons, always kita sambut hangat) tapi film memilih cara menutup yang paling aneh. Tiba-tiba adegan berubah menjadi semacam adegan teater, dengan Scorsese sendiri jadi salah satu pembaca yang membacakan nasib para karakter setelah sidang dan segala macam. Pilihan aneh yang dilakukan sebagai bentuk respect karena sadar bukan tempatnya untuk mengakhiri cerita ini. Dia mengembalikan cerita kepada pihak yang memang memiliki cerita. Dan aku terduduk di tempat, memikirkan tidak ada perlakuan lain yang bisa dilakukan film untuk bisa lebih sopan dari ini. Untuk bisa lebih ‘tepat’ daripada ini, karena secara teknis pun, dengan desain seperti ini, film masih tetap ‘benar’ secara naskah dan sebagainya. Film ini tidak perlu mengubah struktur dengan konsep berlebihan, namun tetap beautiful dan menantang. Old-school storytelling at its finest!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for KILLERS OF THE FLOWER MOON




That’s all we have for now.

Kenapa sih pendatang kelakuannya suka gak tau terima kasih dan suka menjajah?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE KILLER Review

 

“It’s what you do that defines you”

 

 

Walaupun seringnya kita ngeluh ‘bosan’ dengan rutinitas, that every each one of us hate our jobs, tapi nyatanya kita akan tetap berusaha ngasih yang terbaik pada apa yang kita lakukan. Kita akan mencoba melakukan pekerjaan sebaik-baiknya. Karena siapa kita itu tercermin dari apa yang kita lakukan. Seorang dokter mengobati. Seorang koki memasak, Seorang penulis menulis. Seorang pembunuh, membunuh. Dalam The Killer, David Fincher benar-benar menunjukkan kepada kita bagaimana sebagai seorang filmmaker, dia berani membuat film yang dengan sengaja mengambil banyak resiko. The Killer diceritakan dengan kontradiksi sebagai fondasi. Karakternya ironically tidak sehebat ‘omongannya’ dalam kerjaannya. Aku malah melihat film ini hampir seperti parodi dari genre revenge dan film pembunuh bayaran yang biasanya selalu tergambarkan cool dan disenangi penonton. Film ini karakternya cool tapi in sense yang tidak memancing simpati, membuat keputusan aneh. Gaya dan penceritaan masterclass Fincher-lah yang turn things around dan membuat film ini worked out sebagai hiburan sekaligus telisik karakter yang berbobot.

Aku memang gak tau graphic novel materi aslinya, tapi aku pikir studio mungkin pengen bikin action assassin saingan John Wick. Hanya saja David Fincher simply pengen sesuatu yang berbeda. Maka kita dapatlah karakter pembunuh yang lain dari yang lain. Karakter yang diperankan Michael Fassbender ini – sama seperti karakter lain di dalam cerita – tidak punya nama. Mereka ‘dikenal’ berdasarkan dari apa yang mereka lakukan. The Killer. The Brute. The Client. The Lawyer. The Expert. Penamaan tersebut sesuai dengan tema ‘what we do is what we are’, sekaligus juga klop ke dalam mindframe si karakter utama. Yakni untuk tidak terattach dengan orang lain. Supaya tidak timbul empati. Karena, menurut si Killer, empati itu adalah kelemahan. ‘Mantra’ itu terus berulang-ulang dia ucapkan, di dalam hati. Kita akan banyak mendengar obrolannya dengan diri sendiri, yang dijadikan voice over oleh film, sebagai main dialogue dari si protagonis. Kita pertama kali berkenalan dengan dia lewat voice over ini.

Dari gedung kosong dia menunggu dan mengintai targetnya. Orang penting di Perancis. Selagi menunggu kita melihat kebiasaannya yang precise, kita mendengar kata hatinya soal kerjaannya. He seems begitu fokus dan paham betul seluk beluk kerjaan pembunuh bayaran ini. Dia punya metode tersendiri. Di awal itu seperti sudah dibangun betapa jagonya dia. Tapi lantas dia gagal. Tembakannya meleset. The Killer kabur ke negara tempatnya bersembunyi. Tapi kerja untuk ‘dunia hitam’ ada konsekuensinya. Orang tersayangnya harus membayar kesalahannya. Di titik ini aku merasa film jadi kayak cerita revenge biasa. Killer berniat balas menghabisi pembunuh bayaran dan bosnya. Aku honestly mengira cerita bakal jadi boring, karena sudah banyak sekali cerita balas dendam seperti demikian. Tapi kemudian kegagalan-kegagalan Killer terus terjadi. Gimana ternyata aksinya enggak sekeren narasi voice overnya. Dia salah menghitung waktu kematian setelah jantung ditembus paku, misalnya. Atau gimana dia selalu pakai identitas palsu, tapi nama-nama yang dia pakai adalah nama yang dia ambil dari karakter film – which is bukan penyamaran yang sempurna karena orang bisa langsung tahu itu nama palsu. Ketertarikanku naik kembali begitu menyadari pria ini bukan John Wick, dia lebih mirip seperti kita yang struggling untuk menuntaskan kerjaan dengan semampunya.

Dari jam di tangannya kita tahu kalo dia orangnya juga agak panikan

 

Arahan jagoan dari David Fincher sangat mendukung untuk terbangunnya ‘ilusi’ kekerenan protagonis tersebut. Shot-shotnya bonafid semua. Kita dibuat ikut mengintip lewat lensa sniper. Kita ikut dibuat melihat dengan dingin lewat warna-warna ‘elegan’ yang juga seolah mencerminkan keunikan sudut pandang si Killer terhadap dunia. Perspektif itu dengan mulus dimainkan oleh film, terkadang kita dibuat melihat si Killer dari luar, dan terkadang kita melihat sejalan dengan perspektifnya. Hint untuk perspektif tersebut diberikan oleh film lewat musik. Bukan sekadar buat gaya-gayaan soundtrack, musik itu dimainkan oleh film kadang seperti kita mencuri dengar musik dari earphone orang, kadang musik itu full yang berarti kita mendengarnya bareng dengan perspektif Killer. Selain dengan perspektif dan musik seolah ini film action yang pop, film ini juga benar-benar mengbuild up adegan-adegan aksi kriminal just like adegan film action yang stylish. Membendung antisipasi kita, kemudian banting stir dan memperlihatkan kesalahan ‘kecil’ yang dibuat oleh si Killer sehingga rencananya meskipun tidak sepenuhnya berhasil, tapi kita tidak langsung menganggap dia inkompeten. Killer tetap akan menyelesaikan ‘misinya’ tapi dengan tidak ‘sekeren’ karakter-karakter action. Mana ada jagoan yang kabur ngap-ngapan dikejar anjing.

Gak banyak filmmaker yang berani ambil resiko, tapi di film ini David Fincher dengan cueknya mengambil resiko. Dia malah menjadikan resiko itu sebagai fondasi film. Killer yang terus mengingatkan dirinya; seorang pembunuh bayaran maka dia tidak boleh merasa empati, tidak boleh merasa kasihan sama orang. Kawan maupun lawan. Karena dia juga berprinsip bahwa tidak ada orang yang bisa dipercaya. Tapi aksi balas dendam yang nekat ia lakukan, tentu saja terjadi karena dia sangat sayang dan peduli banget sama pacarnya. Yang berarti hatinya tidak sedingin itu. Yang berarti dia mungkin bukan pembunuh yang handal karena melanggar ‘kode etik’ pembunuh itu sendiri. Yang lantas membuatnya sebagai orang yang tak sesuai hati dengan aksi. Dan ini bukan trait yang ingin kita lihat ada pada karakter utama, karena dia jadi karakter yang unreliable. Film juga dengan sengaja tidak menampakkan dulu seperti apa hubungan dia dengan korban yang bikin dia pengen balas dendam, sebagai penonton kita gak dikasih gambaran sepenting apa orang ini di hidup Killer. Kita hanya berpatokan kepada reaksi dan aksi yang dipilih oleh si Killer. Ditambah pula ternyata aksinya yang gak sejago kesannya tadi. It is hard enough bersimpati kepada tokoh anti-hero – kita memang bisa menganggap si Killer sebagai antihero karena saat membunuh dia memang sangat dingin dan gak ragu untuk membunuh targetnya gitu aja – apalagi jika dia ini gak bisa dipegang dan suka membuat keputusan yang aneh.

Pembunuh bayaran ternyata sama ama emak-emak; kalo gak ada kerjaan, bawaannya risau dan capek

 

Pilihannya di babak akhir adalah yang paling aneh. Yang aku rasa mungkin jadi turn off alias paling membagongkan bagi sebagian besar penonton. Kenapa yang di akhir ini malah gak dibunuh. Kenapa si Killer tidak menuntaskan pekerjaannya.  Di sinilah film meletakkan perkembangan atau development si Killer sebagai seorang karakter utama. Kunci untuk kita bisa memahami journey karakternya itu adalah dialog soal pemburu dan beruang yang dilontarkan oleh karakter Tilda Swinton (yang kata salah satu karakter mirip korek kuping hihihi) Dialog itu perlahan menyadarkan dirinya. Konfrontasinya dengan ‘bos’ di akhir, seal the deal. Killer menyadari ‘kerjaannya’ adalah ya kerjaan. Dia tidak lagi menganggap dirinya spesial, ” a few” dia menyebut dirinya di awal. Di akhir, dia mengganti sebutannya dengan “the many” Bahwa ada orang lain yang juga bekerja seperti ini, dan mereka juga menerapkan ‘mantra’ yang sama. Karena sama seperti dirinya, orang lain juga berusaha sebaik mungkin dalam kerjaan mereka.

Si Pemburu dan Beruang adalah anekdot tentang gimana manusia menikmati pekerjaan mereka. Berburu-lah yang dinikmati oleh pemburu, bukan saat membunuh buruan. Sehingga betapapun lemah, atau malah kejam dan kurang ajarnya beruang, jika itu adalah beruang terakhir, maka pemburu akan enggan membunuhnya. Karena jobnya akan berakhir. Keadaan ekstrim yang dipancing oleh dialog Tilda tersebut adalah bukan saja soal si Killer enggak akan membunuh bos yang terakhir karena dia butuh ‘kerjaan’. Melainkan juga si Killer boleh jadi secara naluri sengaja meleset dan gagal supaya dia bisa membunuh lebih banyak.

 




Inilah juga yang menyebabkan aku sadar as much as I like film ini kalo dia jadi kisah yang menyelami dalam-dalam psikologis pembunuh kayak The House That Jack Built (2018), ataupun Henry: Portrait of a Serial Killer (1986), aku salah menempatkan ekspektasi. Karena nanti bakal sama boringnya dengan kalo si Killernya dibuat sejago John Wick. The Killer memang membahas psikologi karakter, tapi bukan sebagai pembunuh, melainkan sebagai manusia biasa yang punya kerjaan. Kebetulan kerjaannya menghilangkan nyawa manusia. Film ini justru mengambil approach karakter yang ‘manusia sehari-hari’ tapi pengen sebaik mungkin dalam kerjaannya. Sehingga dia yang tertutup kerap menunjukkan sikap disiplin dan mengulang ‘mantra’ yang merupakan bentuk dari gimana pembunuh bayaran yang sukses. Masalahnya, kegagalan bakal eksis apapun kerjaan kita. Pada intinya, film tentang pembunuh bayaran yang membalas dendam ini ternyata adalah cerita tentang orang yang berusaha sukses dalam karirnya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE KILLER

 




That’s all we have for now.

Jadi, sebesar apakah cinta kalian terhadap kerjaan? Apakah kerjaan kalian memang mendefinisikan siapa sebenarnya diri kalian?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru bisa coba serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SAW X Review

 

“It’s not life or death, it’s a game”

 

 

Halloween adalah tradisi. Bagi orang luar yang merayakan dengan acara trick or treat. Sedangkan bagi kita penggemar film, dulu saat halloween kita punya tradisi nonton franchise Saw di bioskop! Aku yakin adegan-adegan sadis dari alat dan permainan mengerikan dalam film-film Saw pasti ada yang membekas banget di ingatan kita masing-masing. Well, tahun ini, tradisi itu bisa kembali kita rayakan karena they made a new Saw movie. Kevin Greutert, yang biasanya mengedit film-film Saw dan dulu pernah menyutradarai beberapa, kembali duduk di kursi sutradara. Dan langkah besar yang ia lakukan adalah… eng ing eng membuat John Kramer menjadi protagonis cerita! Dia membuat film yang franchisenya dikenal sebagai torture porn ini menjadi lebih sebagai sebuah perjalanan personal dari John Kramer yang mencari kesembuhan dari kanker yang ia derita. And by doing so, Kevin literally membuat film ini sebagai Tobin Bell‘s acting clinic!!

Yeah, akhirnya setelah sekian tahun, setelah sembilan film, ada sineas yang nekat benar-benar menjadikan bintang dari franchise ini – si John Kramer, dalang di balik Jigsaw, yang diperankan dengan ikonik oleh Tobin Bell – sebagai tokoh utama. Di film horor memang biasanya karakter penjahat selalu lebih ‘superstar’, lebih diingat oleh penonton, ketimbang karakter utama. Karakter penjahat – dalam kasus genre horor biasanya adalah sosok monster, hantu, atau psikopat – diposisikan sebagai tantangan terberat yang harus diovercome oleh si hero. That way, mereka yang sebagai antagonis jadi lebih berkesan dari protagonisnya. Bertahun-tahun kita kagum sama John Kramer. Sama kejeniusannya merancang alat-alat mematikan. Sama kecerdasannya ‘menebak’ yang bakal dilakukan korbannya (sehingga membuat film-film Saw punya twist unik). Sama prinsip dan pandangannya terhadap manusia dan pilihan hidup. Kramer selalu memilih orang-orang bobrok dengan moral yang rusak sebagai calon korban. Dan dia tidak membunuh mereka. Melainkan Kramer membuat mereka memainkan game hidup-mati, sebagai bahan pelajaran bagi mereka. For the victims niscaya akan survive kalo ngikutin aturan permainan death trap, yang seringkali seputar mereka menyadari kesalahan personal masing-masing. Menurut Kramer, dia adalah semacam seorang motivator. Aspek inilah yang digali oleh Saw X. Dari sinilah mereka mengambil sudut untuk membentuk Kramer, kali ini, sebagai protagonis cerita.

I would tell children that this is Eminem

 

Mengambil timeline antara kejadian di film pertama dengan film kedua, Saw X bercerita tentang masa-masa John Kramer lagi down berat karena kanker yang ia derita. Hidupnya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Di saat itulah, Kramer mendengar tentang suatu pengobatan eksperimental di Mexico. Dia mendaftar ke sana, dan terpilih oleh Dr. Cecilia sebagai pasien mereka berikutnya. Kramer pikir operasi mahal dan rahasianya di sana itu berhasil. Kramer sudah siap untuk memulai hidup barunya, aku pikir kesembuhannya itu membuat dia bakal meninggalkan kota Mexico sebagai totally jadi orang baik. Tapi Kramer ditipu. There was no pengobatan eksperimental. Yang ada, Kramer harus kembali menjadi ‘motivator hebat’ buat Dr. Cecilia dan semua krunya. Supaya mereka tobat, kembali ke jalan yang benar, lewat proses yang luar biasa menyakitkan.

Tahun lalu kita dapat film Orphan: First Kill (2022) yang berusaha melakukan hal yang sama. Menjadikan antagonis franchisenya seorang protagonis. Film tersebut mati-matian membuat kita bersimpati kepada Esther, sosok yang di film originalnya adalah seorang psikopat; wanita dewasa yang nyamar jadi anak-anak, dan merusak rumah tangga keluarga yang mengadopsinya. Film tersebut gagal memantik simpati yang genuine dari Esther, lantaran mereka hanya sekadar menghadirkan sosok yang lebih jahat sebagai antagonis di arc Esther, seolah dengan kehadirannya Esther otomatis jadi korban lemah di tangan yang lebih kuat. Film tersebut tidak menggali ataupun menetapkan moral compass Esther sedari awal (like, waay awal di film pertama). Saw X bisa berhasil menjadikan Kramer protagonis karena penonton sudah tahu di mana karakter ini berpijak. Bahkan ketika dia jadi villain di film-film Saw, kita sudah bisa melihat bahwa dia ini semacam ‘orang jahat adalah orang baik yang teraniaya’. Alih-alih orang dewasa yang bertubuh kecil, Kramer adalah orang tua yang sakit parah. Sisi vulnerablenya lebih genuine. Persahabatannya dengan seorang anak Mexico lebih genuine ketimbang kebaikan Esther terhadap tikus. Namun ketika film menghadirkan antagonis bagi dirinya pun, moral compass Kramer tetap digali. Kita sedih melihatnya ditipu, tapi kita tetap dibuat melihat Kramer sebagai psikopat yang membuat orang-orang melakukan permainan maut, walaupun kini korbannya adalah orang-orang yang telah berbuat jahat kepadanya. ‘Lawan’ yang dihadirkan untuknya pun sepadan, jahat dan moralnya sama-sama sinting. I think film juga cukup sayang mematikan karakter ini sehingga nasibnya di akhir cerita belum benar-benar diputuskan.

Bagaimana dengan penonton yang belum pernah nonton Saw, atau sama sekali enggak tahu seperti apa karakter John Kramer sebelumnya? Film ini bercerita bukan tanpa development. Paruh awal ditulis dengan seksama, kita benar-benar dibuat melihat Kramer sebagai manusia yang butuh pertolongan, tapi dia punya sisi gelap. Badannya boleh ringkih, tapi sorot matanya. Menatap orang seperti memutuskan orang ini layak hidup atau enggak. Film bahkan memperlihatkan Kramer ‘berfantasi’ menyiksa seseorang dengan alat penghisap bola mata, saat dia mengintip si orang ini sedang mau mencuri barang berharga milik pasien yang tengah tak-sadarkan diri di rumah sakit. Menurutku, ini set up yang efektif sekali untuk memperkenalkan siapa sebenarnya John Kramer kepada penonton baru. Sekaligus juga tentu saja mempertahankan vibe khas franchise Saw di tengah-tengah penceritaan yang lebih dramatis. Sedangkan untuk paruh akhir cerita, saat cerita fully masuk ke status lebih berdarah-darah, film mengeksplorasi hubungan antara Kramer dengan ‘muridnya’, Amanda. Hubungan yang cukup heartfelt, supaya penonton masih bisa merasakan kemanusiaan dari si karakter psikopat yang punya moral ini.  Dan ini juga abu-abu, karena Amanda gak yakin apakah dia bisa jadi penerus, dan Kramer berusaha meyakinkan dengan ngasih pemahaman betapa pentingnya ‘kerjaan’ mereka ini bagi korban-korban mereka.

Hidup bagi Kramer adalah suatu perjuangan, permainan kalo boleh dibilang, dengan kematian sebagai taruhannya. Itulah sebabnya dia memperjuangkan kesembuhannya dengan sungguh-sungguh. Itu juga sebabnya kenapa para korban dia tempatkan di posisi maut, antara berjuang melawan sakit demi survive, atau kalah dan mati.

 

Karena dimulai dengan lebih drama dan personal itulah, vibe Saw X akan terasa janggal bagi penggemar berat franchise torture horror ini. Beruntungnya, pak sutradara bukan orang baru dalam per-Saw-an. Dia yang pernah jadi editor dan nyutradarain cerita-cerita Saw, paham betul apa yang membuat Saw X ini Saw. Dia tahu resep horor ala Saw. Adegan-adegan perjuangan sampai mati, gaya kamera menangkapnya, gaya editing menampilkan adegan penyiksaan yang benar-benar bisa bikin ngilu itu, semuanya dia garap sama persis dengan vibe Saw yang kita ingat. Game/alat siksaan favoritku di film ini adalah trap ala patung Mexico yang mengharuskan korban membuka batok kepala dan mencungkil otak sendiri. Kebayang kalo kepala lagi pusing, mungkin teknik itu bisa dicoba hahaha… Kevin tahu satu lagi hal yang ditunggu oleh penonton; momen kejeniusan Kramer. Sehingga meskipun kali ini film enggak langsung terjun ke siksa-siksaan, tapi bercerita dengan lebih humanis dahulu, film ini enggak tergagap dan langsung konek ketika momen berdarah-darah – ketika momen ‘genre’nya hadir. Bahwa ini benar film yang sesuai dengan ruh film-film terdahulu, bukan sebuah poser yang mereplika Saw.

Bacanya Saw ‘Eks’, atau Saw ‘Ten’, atau Saw ‘Twitter’ sih?

 

Yang bikin lebih menarik lagi adalah situasi Kramer saat merancang trap tersebut. Dia harus berimprovisasi dengan alat-alat kesehatan yang ia temukan di lab ‘palsu’. Sekali lagi, film mempush karakter Kramer sebagai seorang yang bukan semata sadis tapi punya kreativitas yang tinggi. Dia bisa menciptakan alat mengerikan, tapi sekaligus juga estetik dan tematis. Like, sempat-sempatnya dia bikin desain serupa patung Mexico yang ia lihat jadi spot foto turis di jalanan. Film berhasil membuat hal yang sebenarnya convenience, kemudahan, bagi karakter utama sebagai hal yang balik mendukung karakterisasinya. Karena saat menonton kita tidak akan mempertanyakan, kok bisa dia bikin semua itu secara mendadak. Padahal sebenarnya cukup banyak juga momen-momen ‘gak mungkin’ pada cerita. Momen-momen yang terlalu ‘kebetulan’ para korban melakukan suatu hal, atau Kramer melakukan atau meletakkan sesuatu, yang sesuai dengan ‘hasil’ yang dia inginkan. Karakternya yang sudah well-establish membuat hal tersebut dengan mudah kita maklumi sebagai ‘kejeniusan’ karakternya alih-alih sebagai ‘pemaksaan’ kehendak naskah.

Meskipun memang secara journey, aku rasa film ini bakal bisa lebih terasa punya perkembangan jika diposisikan sebagai origin John Kramer sebagai Jigsaw. Karena di film yang kita saksikan ini, journey Kramer sebenarnya sudah berakhir di pertengahan. Saat dia memutuskan untuk ‘balik’ jadi Jigsaw, untuk balas dendam. Setelah momen itu, sebenarnya film berjalan tanpa plot, melainkan hanya memperlihatkan momen sadis ala Saw, sambil menunggu revealing-revealing yang bikin cerita seru saja. Tapi yah, itulah Saw. Momen-momen itu harus ada karena itulah yang membuat sebuah film bisa disebut sebagai film Saw. Kehadiran film dengan berusaha menggali drama personal dari Kramer, membuat Kramer jadi manusiawi sebagai protagonis, itulah yang mengelevasi film ini, walaupun memang enggak full dan kurang merata.

 




Mungin memang inilah film yang paling bisa mengaplikasikan formula khas franchise Saw ke dalam struktur penceritaan film dengan benar. It’s not perfect, tapi toh memang ini jadi film yang paling berbobot seantero franchisenya. Gak cuma twist dan revealing. Gak cuma adegan penyelidikan polisi. Gak cuma adegan penyiksaan dengan jebakan mematikan. Di sini kita diajak menyelami karakter utamanya, yang notabene juga bukan orang baik-baik. Kalo secara timeline, aku gak bisa ngomong banyak. Karena se-ngefans-ngefansnya pun, aku udah gak bener-bener ingat urutan kejadian semua film Saw. Dan filmnya pun memang sengaja ngeluarin cerita yang bakal membuat kita melompat-lompat timeline. I think timeline gak benar-benar jadi soal. Buatku, bisa menikmati horor yang berbobot dan punya karakter unik dan karismatik, itu hiburan yang sudah lebih dari cukup.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SAW X

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian franchise Saw masih layak untuk dilanjutkan dan di-elevate menjadi lebih berbobot? Kenapa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL