TRAP Review

 

“We are never trapped by where we are, the trap is always who we are”

 

 

Trap, thriller terbaru M. Night Shyamalan, berhasil memberikan apa yang aku harapkan – namun ternyata tidak kudapat – ketika nonton In a Violent Nature (2024) kemaren. Perspektif yang menyeluruh dari seorang serial-killer. Bukan hanya itu, film ini juga terasa fresh dengan sudut pandang yang diangkat tersebut. Memang, film yang mengambil cerita dari sudut pandang psikopat pembunuh bukan barang yang langka. Sebut saja mulai dari Henry: Portrait of a Serial Killer (1986) ke The House That Jack Built (2018), dari American Psycho (2000) hingga ke In a Violent Nature tadi, dari yang pembunuhnya charming sampai ke yang monster gak-bisa mati, pengalaman mengerikan masuk ke pikiran ‘orang gila’ yang bermacam-macam itu sudah pernah kita rasakan (ampe ketagihan!) Hanya semuanya relatif sama. Kita melihat mereka sebagai pembunuh. They might jalanin kerjaan lain sebagai kedok, tapi most of the time, cerita akan berpusat kepada saat aksi utama mereka yakni membunuhi orang. Trap berbeda, karena kita tidak melihat si serial killer saat actually sedang ‘dinas’. Melainkan cerita khusus menyorot ketika dia sedang berusaha menjadi kepala keluarga yang baik. Like, membawa putrinya nonton konser. Shyamalan dikenal karena twist pada film-filmnya; dia selalu took risks dengan ‘mematahkan’ filmnya menjadi something else, sampai-sampai banyak filmnya yang jatohnya antara tidak dimengerti atau salah dimengerti oleh penonton. Trap, sepertinya bakal jadi satu lagi film Shyamalan yang easily di-misunderstood. Banyak penonton yang gak puas dan menganggap film tentang ayah-anak ini sendirinya adalah jebakan yang dipasang Shyamalan supaya kita nonton konser putrinya.

Cooper dan putrinya yang masih 12 tahun, Riley, was about to have a great ‘father-daughter day’ di konser Lady Raven. Penyanyi yang lagi hits banget terutama di kalangan remaja dan anak-anak muda. Cooper berhasil dapetin floor ticket, di row yang lumayan deket juga dari panggung. Tapi sedari masuk tadi, Cooper notice stadion konser ini dijaga oleh banyak sekali sekuriti. Dengan persenjataan lengkap pula. Oalah, ternyata mereka FBI! Kabarnya, mereka ada di sana karena tahu bahwa di antara tiga-puluh-ribu penonton konser itu ada satu serial killer most wanted – The Butcher – yang juga hadir. Konser musik ini dijadikan perangkap buat si The Butcher. Film mereveal twistnya dengan sangat dini, karena si serial killer tidak lain tidak bukan adalah Cooper, ayah yang sayang banget ama pada putrinya, pemadam kebakaran yang simpatik. pria baik hati yang bisa diandalkan all around. Ini ternyata bukan cerita tentang ayah-anak yang terjebak di tengah-tengah kucing-kucingan pembunuh dengan FBI, melainkan cerita tentang pembunuh yang harus mikirin cara keluar dari stadion yang dijaga ketat, sementara juga naluri banditnya itu berkonflik dengan keinginannya satu lagi sebagai seorang ayah; dia pengen Riley yang lagi dikucilin teman-teman segeng itu tetap have fun di konser.

Aku kinda relate, karena pas nonton WWE live dulu fokusku malah jelalatan cari cara menyelinap ke backstage hihi

 

Bisa dilihat konsep cerita Trap ini benar-benar brilian kenekatannya. Biasanya, pada film antihero atau yang bahkan protagonisnya penjahat yang journey ceritanya paling degradasi moral sekalipun,  simpati itu akan terus dipantik dari si karakter. Tujuannya adalah kita sebagai penonton merasakan dramatic irony dari ‘kejatuhan’ si karakter menjadi seorang penjahat. Meskipun tujuannya menyimpang, tapi kita masih peduli karena kita paham apa yang membuat dia seperti itu. Itulah kenapa namanya protagonis; karakter yang ingin sesuatu dan kita get behind them regardless kita setuju atau tidak terhadap pilihannya. Tapi Trap ini sebaliknya. Shyamalan membuat Cooper ini sebagai.. apa ya, kita karang aja istilahnya; Anti-protagonis, mungkin. Cooper berangkat dari karakter simpatik, lalu diungkap dia orang jahat, dan film akan terus mendevelop dirinya menjadi semakin unlikeable hingga cerita usai. Ini dibilang salah, ya salah karena gak sesuai aturan. Tapi dibilang jelek, ya enggak juga, karena desain konsep ini brilian dan bukan perkara mudah untuk dilakukan. Bagaimana membuat karakter yang sedari awal sudah diungkap sebagai pembunuh, tapi kita tetap sempat peduli dia selamat?

Film mencapai ini pertama dari kekuatan akting Josh Hartnett sebagai Cooper. Aktingnya di sini sangat intriguing, sehingga kita tertarik. Ada momen ketika kita percaya dia beneran peduli sama Riley. Ada momen ketika kita bisa melihat jurus ‘menarik simpati ala serial killer’nya keluar untuk membohongi orang-orang demi mendapat informasi – bahkan kepada Riley. Ada momen ketika dia beneran panik dan pikirannya berkecamuk nyari jalan keluar. Ada momen ketika dia kontemplasi dengan traumanya sendiri. Masing-masing momen ini hidup oleh permainan ekspresi. Film juga mastiin buat semua ekspresi itu tertangkap, karena akan banyak sekali shot yang close up wajah Cooper. Kesannya mungkin bisa tampak unnatural (apalagi pas Cooper matanya kosong tapi senyumnya ngembang), tapi kita harus ingat yang berusaha ditangkap kamera adalah psyche seorang serial killer yang punya trauma sendiri, yang sendirinya bergulat dengan dua ‘dunia’, dengan dua kebutuhan.

Kedua, dan ini yang paling penting supaya kita di awal peduli, adalah dari hubungan Cooper dengan Riley. Dunia yang lebih relatable; ayah dan anak di tempat konser. Film ngerti betapa krusial bagian ini, maka M. Night Shyamalan arahannya jor-joran banget di first-half ini.  Ariel Donoghue natural banget jadi anak seusia Riley yang starstruck lihat idolanya nampil, yang benar-benar menikmati hari yang spesial dalam hidupnya. Dramatic irony yang membuat kita peduli sama Cooper, dipancing film dari sini. We don’t want Cooper gagal supaya hari Riley gak rusak, tapi juga kita tahu hari itu gak akan berakhir baik buat Riley. Lalu, experience nonton konser itu sendiri. Gak salah juga kalo penonton pada julid film ini akal-akalan sutradara buat ngasih panggung putrinya sendiri yang memang penyanyi (Saleka Shyamalan berperan jadi Lady Raven, dan dia beneran ‘manggung’ ampe bikin album buat ngisi film ini). Pak Sutradara ngisi konser itu dengan crowd beneran, kesibukan kru panggung, isi stadion, hingga pagelaran konsernya, suasananya terasa otentik. Beneran hidup. Dan jadi kontras yang kuat ketika ada petugas bersenjata yang merazia penonton secara giliran. ‘Mengganggu’ mereka dari aktivitas nonton konser. Keseluruhan experience di paruh-pertama ini rasanya imersif banget. Kita ngenalin euforia dan serunya di sana, kita gak mau Riley terampas oleh pengalaman tersebut, so naturally kita jadi peduli sama keberhasilan ayahnya walaupun kita tahu ayahnya orang jahat. At least, biarkan Riley dapat momen dulu. Dan film memang ngasih dengan selera humor tersendiri.

Lalu diambillah resiko berikutnya. Paruh-kedua yang normalnya dimulai dengan sekuen ‘taktik baru’, oleh naskah ini dimaknainya sebagai literally kayak different movie. Belokin cerita kayak ampe patah-dua ini kelebihan sekaligus kekurangan M. Night Shayamalan. Bisa bikin filmnya seru, unpredictable, tapi semua kenekatan itu tetap bergantung kepada storytellingnya. Skala cerita diperbesar. Seluruh kota seolah jadi tempat yang memerangkap Cooper. Sedangkan untuk Cooper sendiri, ‘baru’ baginya sayangnya adalah kali ini dia jadi lebih banyak bereaksi. Inilah kenapa banyak yang bilang babak ketiganya aneh. Karena mendadak cerita malah bergerak karena aksi-aksi si Lady Raven. Dia jadi kayak hero di bagian ini. Sebenarnya kalo dari desain, ini masih kelihatan ada alasan dan kepentingannya dengan tema. Bagi serial killer yang lagi di dunia seorang ayah, Cooper tentu familiar soal apa yang ditampilkan supaya orang melihat kita sebagai apa yang kita mau. Dan ketika Lady Raven mendadak punya rencana sendiri, ini caught Cooper off guard. Dia gak sadar seleb yang tampaknya gak bisa apa-apa, ternyata bisa punya persona yang berbeda di luar panggung (apalagi di backstage dia ngeliat rapper yang cuma bisa songong minta ini itu). Bisa punya kemampuan lain, bisa punya ‘power’ dari follower. Cuma, karena ujug-ujug Lady Raven jadi hero tanpa benar-benar ada build up, naturally kita sebagai penonton gak bisa get behind her. Tindakannya malah dianggap bego, dan lebih terasa kayak manjang-manjangin cerita.

Give new meaning to a “Parent Trap”

 

I do feel film ini bingung mau narok akhiran di mana. Stakenya padahal udah dibikin mengerucut, dibikin lebih personal. Ini juga sekaligus cara film mengembalikan kendali kepada Cooper sebagai protagonis. Bahwa pilihan ultimate bagi dia adalah memilih kehidupan mana yang ia jalani. Dia gak harus jadi serial killer. Hanya saja Cooper merasa terjebak di mana-mana. Modus operandi Cooper sebagai serial killer adalah dia memilih orang-orang yang ia anggap ‘utuh’ untuk jadi korban. Karena dia pengen liatin bahwa gak ada yang utuh di dunia ini. Bahwa seperti dirinya, semua orang adalah kepingan-kepingan. Backstory Cooper diungkap dengan subtil di balik gumaman kecil dan perilaku OCDnya (betul-betulin letak barang yang miring). Jadi film membuat Cooper harus berkonfrontasi dengan kepingan-kepingan hidupnya. Dengan istrinya. Dengan bayangan ibunya. Ini yang bikin film jadi seolah gak beres-beres. Film harusnya bisa lebih mempertegas mana yang beneran ‘konflik utama’ bagi Cooper. Ketika di awal seperti dibuild up, Cooper seperti menganggap ibu tua FBI sebagai antagonis utamanya, mestinya ini saja yang dijadikan fokus untuk penyelesaian cerita. Film harusnya bisa lebih menggodok segala ‘pieces’ konflik Cooper dan madatin babak ketiga ceritanya.

Terlepas dari bagaimana hal tampak bagi kita, kita sesungguhnya tidak pernah terjebak oleh tempat kita berada. Perangkap itu sebenarnya selalu soal siapa kita. Dengan membiarkan diri torn to pieces, kita memerangkap diri sendiri. Cooper merasa trauma membuat dia harus menjalani dua hidup, sebagai serial killer dan sebagai ayah, akibatnya dia terjebak di antara dua ‘dunia’ tersebut. Tidak pernah punya kekuatan untuk mengonfrontasi siapa dirinya, masalahnya, yang sebenarnya. Padahal lihat saja Exodia di kartu Yugioh, kalo lima anggota badannya terkumpul, kekuatannya jadi infinity hihihi

 

 




Sori, karena judulnya, dan bicara soal pieces, aku jadi gak tahan buat nyama-nyamain ama Yugioh. Tapi itu  tandanya film ini sukses menghibur. Dan aku memang beneran suka kok. Aku suka suasana di konser, experiencenya kerasa banget dan film feels genuinely life dan epic. Aku suka nekatnya M. Night Shyamalan bikin konsep ampe jadi kayak anti-protagonis.  Aku suka sudut pandang yang diangkat, serial killer bukan exactly soal dia membunuh orang dengan sadis, tapi soal dia takut ketahuan karena sumpah mati dia pengen banget berhasil membangun keluarga. Bahkan patahan ceritanya bisa kita apresiasi, karena masih bergerak dalam konteks perspektif dan backstory si karakter. Meskipun memang paruh kedua itu mestinya bisa digarap dengan lebih baik lagi. dengan lebih mulus lagi. Terutama di kejadian-kejadian, biar less kayak ‘naskah maunya begitu’ dan more kayak keputusan natural karakter di saat darurat. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TRAP.

 

 




That’s all we have for now.

Film ini could get unintentionally funny. Buat kalian, bagian mana yang paling lucu dari film ini? 

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



SCREAM Review

“Fandom can’t have nice things”

 

 

Franchise Scream bisa segede ini karena misteri whodunnit-nya selalu dibarengi oleh humor meta dan sindiran untuk film dan trennya saat itu. Scream original adalah satir untuk genrenya sendiri. Scream 2 menyindir horor sekuel. Scream 3 berisi celetukan gimana Hollywood membuat franchise dari tragedi nyata. Scream 4 menyentil soal reboot atau remake. Bahkan Scream versi serial juga memuat komentar soal adaptasi ke serial tv. Maka sebagai penggemar berat, aku excited sekali nungguin tentang apa Scream kelima ini. Terutama setelah mereka mutusin untuk mencopot angka-lima dan hadir dengan judul Scream saja- ngikutin horor-horor klasik yang dimodernisasi dengan sekuel yang gak ada angka, confusing everyone. Apakah Scream lima sengaja menyindir ini?

Yang jelas, sekuel terbarunya ini memang kayak berusaha memancing reaksi fans banget. Apalagi pas ditonton. Wuih. Mulai dari mengejek horor kekinian yang lebih drama, sampe ke misteri dalam ceritanya sendiri yang buatku tampak so easy. Scream 5 ini actually adalah Scream pertama yang bisa aku tebak dengan benar siapa pelakunya, siapa yang bakal mati. In fact, aku sudah menerka sejak adegan para karakter bertemu di rumah sakit di awal cer.. See, inilah yang hendak dilakukan oleh Scream 5. Film ini ingin bicara langsung kepada para penggemar setianya. Film menggebah kita entah itu untuk protes, atau untuk menyombongkan diri. Aku hampir saja jatuh ke lubang jebakannya itu. Karena Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillet memang merancang film ini sebagai sindiran untuk fandom dengan segala ke-toxic-annya.

screamGFhXkEyXkFqcGdeQXVyMTkxNjUyNQ@@._V1_
Satu-satunya yang kusayangkan adalah Samara Weaving gak jadi dicast, padahal dia bisa fun banget mainin putri Billy Loomis

 

 

Sebagai Scream pertama yang tidak didirect oleh kreatornya langsung (RIP Wes Craven!) Scream 5 memang memikul beban yang berat. Tudingan dan ancaman dari penggemarnya pasti langsung menghujam. Awas kalo gak menghormati ruh franchisenya! Awas kalo jadi cash-grab doang! Dan memang bukan Scream saja yang mengalami itu – both peremajaan franchise dan reaksi-reaksi fans. Hal tersebut udah jadi kayak tren baru di Hollywood.  Franchise-franchise gede seperti Halloween, punya banyak sekuel sehingga udah melenceng ke mana-mana. Kini banyak dari mereka yang dihidupkan kembali. Dibuat ulang sebagai sekuel langsung dari original, mematikan sekuel-sekuel terdahulu. Itu adalah trik yang dilakukan supaya gampang laku dan terutama tidak mengkhianati para fans originalnya. That’s the keyword. Scream, on the other hand, adalah satu-satunya dari franchise-franchise gede seperti itu yang memang hadir selalu sebagai sindiran meta. Sutradara Matt dan Tyler jeli melihat itu. Mereka paham ada sesuatu di balik apa yang mereka sebut (lewat karakter ceritanya) sebagai ‘rekuel’. Sesuatu yang pantas untuk dibahas, dikomentari, dan mereka mengolah itu ke dalam mitologi dunia Scream yang mereka ekspansi. Mereka menatap balik para fans. And they give all of us the wink that we deserved.

Tidak ada opening dalam franchise Scream yang bertindak sepenting opening Scream kelima. Bukan sekadar untuk horor pembunuhan pertama yang ngeset mood dengan bintang muda berakting jauh dari elemen nyaman mereka, ataupun sekadar untuk nostalgia ke original, melainkan opening kali ini sudah berbobot oleh informasi yang memuat gagasan sekaligus hook ke cerita utama nantinya. Ini juga kali pertama korban di adegan opening selamat dari maut. Gadis yang ditelpon lalu diserang Ghostface itu adalah Tara (Jenna Ortega kupikir lebih punya kharisma kuat sebagai tokoh utama). Kini dia di rumah sakit dijenguk oleh geng–oops 90an banget, sekarang istilahnya adalah sirkel! Di antara sirkel Tara itu ada sobat karibnya Amber (langsung kujatuh cinta sama penampilan Mikey Madison), Wes (Dylan Minnette jadi karakter untuk tribute ke Wes Craven), si kembar Mindy dan Chad, serta Liv. Kakak Tara yang sudah lama meninggalkan kota Woodsboro pun hadir demi memastikan keselamatan adiknya. Semua orang yang ada di ruangan itu in some way punya hubungan dengan karakter-karakter dari Scream original. Yang membuat mereka semua menjadi target dari si Ghostface yang baru – dan also, semuanya adalah tersangka utama. Semua, termasuk Sam kakak Tara yang datang bersama pacarnya. Sam (Melissa Barrera looks though enough) merasa sepertinya semuanya berhubungan dengan rahasia yang ia simpan. Rahasia bahwa sebenarnya dia adalah putri dari Billy Loomis, sang original killer. 

Tugas mengisi dunia dengan karakter baru sudah terestablish dengan baik. Ini benar-benar seperti cerita baru, tapi dengan tie-in kuat terhadap cerita original. Film menggali drama dari karakter utama baru dan karakter-karakter lama. Dan drama-drama tersebut tidak tumpang tindih. Mainly karena film tidak malu untuk mengakui bahwa sudah saatnya untuk move on. Trio Sidney – Gale – Dewey dihadirkan, tidak merebut spotlight, tapi tetap dengan momen-momen heartfelt. Aku suka film ini menggali relationship Dewey dan Gale dengan lebih grounded dan make sense ketimbang pada sekuel sebelumnya. Momen kecil seperti Dewey yang berkata akan menelepon Gale tapi kemudian hanya meng-sms saja membuat karakter-karakter semakin bersinar. Sedangkan pada karakter utamanya, Sam, dikembangkan urusan yang lebih psikologikal. Drama personal seorang keturunan serial-killer. Sam, di saat-saat sendirian, akan sering melihat ayahnya. Bicara dengan sosok ayahnya. Ini menambah percikan dan bobot di dalam misteri yang dipunya oleh cerita. Karena ultimately inilah yang dijadikan motif utama. Ghostface di film ini ingin menulis fan-fiction tentang anak dari Billy Loomis dan Sidney. Fan-fiction yang menurutnya bakal bisa jadi film yang lebih hebat daripada sekuel-sekuel Stab yang semakin ngaco.

Screamcreen-Shot-2021-10-12-at-9.04.11-AM
Sementara di sini fans masih ribut soal beda fanfic dengan AU

 

 

Di sinilah letak keluwesan Scream sehingga bisa terus bicara sebagai sindiran meta. Selain aturan-aturan film horor, Scream juga punya film-dalam-film. Sejak Scream kedua diceritakan tragedi Sidney Prescott menjadi begitu viral sehingga diberitakan, dibukukan, dan difilmkan. Film kayfabe ini berjudul Stab dan merupakan cerminan ekstrim dari film Scream itu sendiri. By now, Stab udah 8 sekuel, dan sekuel terakhirnya benar-benar flop. Mirip seperti Scream 4 yang juga gak sukses, bedanya di film kelima ini diceritakan Stab 8 sudah seperti cerminan dari horor modern kita. Di jaman kita sekarang, horor ‘fun tapi cerdas’ bukan lagi yang seringan Scream. Melainkan yang berat-berat, yang lebih dramatis, seperti The Witch, Hereditary, The Babadook, It Follows. Film yang bagus banget, tapi kurang laku karena ya enggak sefun Scream. Scream 5 berusaha menjadi balance. 

Supaya film ini menarik untuk ditonton oleh penonton kekinian, mereka membuat drama yang cukup berbobot, sementara tetap mempertahankan pesona 90an yang jadi ruh franchise Scream, yang jadi pemancing nostalgia. Akan tetapi, seperti yang mereka prediksikan terjadi kepada Stab 8, film ini tahu fans original bakal ada aja yang protes karena menganggap terlalu berbeda. Jadi film ini menyindir mereka duluan. Fans-lah yang dijadikan pembunuh dalam cerita ini. Fans tersebut mengira tahu apa yang mereka mau, dan berusaha mengambil kendali. Fans ingin membuat cerita sendiri, dan menjadi pembunuh berantai demi itu. Di satu adegan ada Dewey merasa terluka oleh kata-kata seorang karakter; that’s how toxic fans in our life kill menurut film ini. Sebenarnya, film sedang meneriakkan bahwa fans sendirilah yang merusak apa yang mereka suka, bagi diri mereka sendiri dan bagi semua orang.

Itulah sebabnya kenapa fandom gak akan pernah bisa mendapatkan nice things. Karena mereka gak pernah puas, selalu ada aja yang diprotes. Dan itu gak sebatas film, kita akui saja, fandom di mana pun – wrestling, buku, musik, sepakbola, bahkan agama, memang cenderung jadi seganas ini. Terutama kalo ada ‘anak baru’ maka makin beringas lah mereka menunjukkan kefanatikannya dengan segala “harus begini, harus begitu”.

 

 

Bukan hanya pada narasinya saja. Celetukan ini juga menguar dari penceritaan film. Misalnya pada elemen horornya. Fans suka banget sama jumpscare. Film horor baru seperti Hereditary dan kawan-kawan tadi bagi mereka gak seram, karena gak ada jumpscare yang seru. Maka film ini bermain-main dengan itu. Ada sekuens karakter seorang diri di dalam rumah. Dia membuka segitu banyak pintu dan lemari. Dan setiap kali pintu-pintu itu dibuka, film akan menaikkan intensitas musik, seolah ada sesuatu yang bakal mengejutkan muncul begitu pintu itu diayunkan tertutup kembali. Jumpscare yang udah diantipasi itu tidak pernah datang. Barulah kemudian di saat yang paling tidak diduga, film memunculkan kejutan. Yang terasa jadi lebih efektif. Jadi film ini cerdas sekali, memanfaatkan sindiran menjadi efek seram yang lebih kuat.

Film menelisik toxic fandom ini lebih lanjut. Kedalaman komentarnya itulah yang membuatku suka sekali sama film ini. Ke-toxic-an itu dikaitkan film kepada kegemaran kita terhadap menyebarkan hal-hal negatif yang berlawanan dari yang kita sukai. Ada yang janggal sedikit, digoreng ramai-ramai. Ada yang berbeda sedikit, dibahas berhari-hari. Itu juga sebabnya kenapa komentar sarkas dan ulasan menghina lebih banyak dibaca. Kita menikmati hal-hal negatif, karena itu juga membuat hal yang kita sukai semakin tervalidasi. Dan pada akhirnya kita jadi lebih suka melaporkan kenegatifan. Period. Maka dari itulah, film ini bagiku seperti berakhir dengan poetic justice. Karena Gale Weathers-lah yang menyadari duluan. Semua horor di dunia mereka itu berasal dari dia yang jurnalis, lebih memilih melaporkan tragedi, memberitakan kejadian berdarah, menceritakan serial killer kepada publik. Cerita Sidney, Stab, jadi punya banyak penggemar for the wrong reasons. “I’m not gonna write about this” kata Gale di ujung durasi Scream 5. Gale benar. Jangan kasih minyak ke negativity. Jangan kasih viral perbuatan jahat, bego, kasar, dan sebagainya.

 

 

 

Ternyata film ini misterinya lebih gampang ditebak bukan karena bangunannya kurang kuat. Kita-lah yang sudah terlampau cinta sama franchisenya, kitalah yang sudah demikian mengerti dengan konteksnya. Kita adalah penggemarnya, dan film ini bicara tentang penggemarnya harusnya menikmati apa yang kita cintai. Boleh kritik, tapi jangan jadi toxic. So here goes mine. Dengan segala antisipasi itu, film ini masih mampu tampil menghibur. Membawa ruh franchisenya, respek sama franchisenya. Menghadirkan cerita dan karakter baru yang terikat kuat pada karakter original. Bercerita dengan drama yang balance; dengan drama itu sendiri serta dengan aspek horor. Film dengan muatan sebanyak ini berpotensi jadi boring atau sukar dimengerti, tapi muatan sindiran dan komentar serta aksi misteri whodunnit-nya membuat film tetap menarik dari awal sampai habis. Film ini berikan perkenalan yang cukup, serta proper send off untuk certain character. Dan kita menyambut semua itu dengan suka ria. Plus, I love Amber. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SCREAM

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian punya tips menjadi fan yang baik dan enggak jadi toxic?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HALLOWEEN KILLS Review

“… and that fear turns them into monsters.”

 

 

SURAT DARI MICHAEL MYERS

 

Dear Penduduk Haddonfield,

Sebagai putra daerah yang udah meneror kota kesayangan kita empat puluh tahun lamanya, saya akhirnya merasa senang. Harapan saya sih pengen bisa sedikit bangga juga sama kalian. Kalian tidak lagi cuma berdiam diri di rumah masing-masing, menunggu saya yang dalam perjalanan mencari Laurie Strode, untuk mampir dan membunuh kalian sekeluarga. Kini kalian berkumpul dan dengan berani menyusun rencana untuk balik memburu saya. Sebenarnya, dulu sudah ada juga sih yang nekat membentuk pasukan seperti itu. Tapi film Halloween 4 yang bercerita tentang itu, beserta sekuel-sekuel yang lain, udah dianggap enggak ada oleh trilogi terbaru buatan David Gordon Green. Tapi saya masih ingat kok. Dulu itu skalanya kecil. Sekarang, wuih, hampir semua dari kalian yang turun ke jalan. Saya kan jadi gak perlu repot-repot lagi!

Sebelum lanjut, saya mau mengucapkan terima kasih kepada tim pemadam kebakaran kota. Karena telah menyelamatkan saya dari dalam jebakan kobaran api di basement rumah Laurie. Coba kalo pemadam kebakaran tidak datang. Pastilah topeng William Shatner kesukaan saya hangus terbakar. Untung mereka datangnya cepet, topeng saya cuma rusak setengah, dan itu jadinya malah tampak lebih keren. Sebagai rasa terima kasih, saya sudah berikan para pemadam kebakaran itu tiket satu-arah ke alam barzah. 

halloween-kills-michael-myers-fire-survival
Sambutan hangat di kampung halaman

 

Yang jelas, Laurie Strode pasti tidak menyangka jebakan briliannya di film Halloween 2018 bakal berakhir sia-sia. Bukan saja dia gagal menghabisi saya, tapi dia juga kehilangan rumah. Padahal rumah itu sakral loh. Seperti yang akhirnya kalian duga, bagi saya rumah adalah segalanya. Saya akan selalu kembali ke sana. Tidak peduli rumah tersebut sudah dihuni orang lain. Ya tinggal bunuh saja. Pokoknya saya harus bisa menatap jendela di kamar kakak saya. Kalo kalian ingin menyakiti saya, harusnya kalian bakar saja rumah saya. Ah, tapi kalian mungkin tidak kepikiran ke sana. Padahal lihat saja Laurie, sekarang dia gak punya rumah. Dia jadi lemah. Dia malam itu tidur di rumah sakit. Enggak bisa ikut berburu saya, bareng kalian. Aksi Laurie di sini cuma menghajar seorang dokter. Random banget. Jujur saya kecewa juga sih. Soalnya meskipun sekarang kalian jadi jagoan semua, lawan saya jadi banyak, tapi enggak ada yang sekuat Laurie. Bahkan anak dan cucu Laurie saja pun, tetap tidak sekuat dirinya. Saya gak dapat lawan yang sepadan di sini. 

Saya pengen banget ngunjungin Laurie di rumah sakit. Biar persis kayak film Halloween jadul kita yang kedua. Tapi yang ke rumah sakit, justru orang lain. Saya bahkan gak kenal siapa. Kayaknya bukan orang kota kita, deh, guys. Yang bikin saya makin kesal adalah kok bisa-bisanya kalian semua menyangka orang asing itu saya. Ayolah. Orang asing bertubuh kecil, setengah botak, tua, penakut, dan gak bisa naik mobil itu? Sayaa?? Mirip dari Hong Kong!! Oke, mungkin kalian memang tidak tahu atau tidak ingat wajah saya yang sebenarnya seperti apa. Dan mungkin kalian sudah jadi sebegitu takut dan marahnya sampai-sampai gak berpikir jernih. Tindakan kalian malah lebih monster daripada saya loh. Saya mana pernah ngeroyok orang tak-bersalah. Saya membunuh orang tak-bersalah satu-lawan-satu. Nasib si orang itu jadi naas di tangan kalian. Serupa ama nasib orang yang juga dituduh sebagai saya di film Halloween 4.

Itu satu lagi yang bikin saya jengkel. Pak Sutradara pengen bikin cerita baru, dan menganggap kisah saya dan Laurie yang segitu banyak versinya itu tidak ada, tapi dia tetep masukin hal-hal yang membuat saya bernostalgia. Saya kan jadi bingung. Harus flashback atau tidak. Masa lalu saya beberapa dibuat ulang, pake efek yang mulus sekali seolah beneran cerita lama. Lalu masa lalu itu ditambah-tambah. Yang sudah ada diruntuhkan, serpihannya dipake untuk cerita baru. Tapi bagi saya, itu kan tetap cerita lama. Makanya bingung. Laurie kan dibuat jadi bukan adik saya. Lah terus kenapa saya kejar-kejar. Saya juga punya perasaan, tau Pak! Nanti deh, setelah kelar nulis surat ini, saya akan nyamperin beliau.

Sekarang saya mau menyapa teman-teman lama saya dulu. Perawat yang dulu ternyata tidak sampai terbunuh oleh saya. Dan tiga anak kecil, Tommy Doyle, Lindsey Wallace, Lonnie Elam. Dulu mana mau saya menyakiti anak kecil. Yang saya kejar itu ya babysitter-babysitter mereka yang kurang ajar. Yang sikapnya ngingetin saya sama kakak saya. Anak kecil dulu saya biarkan lari. Sekarang aja yang aneh, saya disuruh membunuh satu anak kecil oleh Pak Sutradara. Mungkin biar kalian makin marah kali, ya, sama saya. Tapi Tommy, Lindsey, dan Lonnie sekarang juga sudah bukan anak kecil. Mereka udah gede dan hebat-hebat semua. Mereka bertiga kan, pemimpin kalian? Mereka bertiga kan yang nyuruh kalian untuk bergabung, menyorakkan “Evil Dies Tonight”, memburu saya padahal juga ujung-ujungnya yang jadi tewas terpotong-potong ya kalian-kalian juga. Saya agak kasihan juga sama kalian, makanya mayat-mayat itu saya dandani pake topeng-topeng. 

Halloweenss
Biar gak keliatan sedih-sedih amat.

 

Tau gak, kenapa kalian walaupun ramean tapi tetap gagal? Banyak korban-korban saya yang seperti begini nih: Ketika ketakutan dan dalam bahaya, mereka bukannya kabur, tapi malah berjalan ke arah saya bersembunyi. Kan bego sekali ya. Coba kalo mereka pintar. Pastilah segera kabur dan mencari pertolongan. Kalo kalian pinter-pinter, kalian pasti gak bakal ngeroyok saya begitu saja. Kalian pasti tahulah kalo saya ini manusia berkekuatan supranatural yang gak segampang itu mati. Kalo kalian pinter, kalian pasti sudah membakar saya, menabrak saya, atau mungkin kalian akan mengikat anggota tubuh saya ke kendaraan berbeda dan menarik maju sampai tubuh saya putus-putus. Tapinya kalian semua masih begitu takut dan marah untuk bisa berpikir. Saya senang kalian akhirnya pasang aksi. Menjadikan cerita yang cukup baru. Tapi mbok ya, pinter-pinter dikit lah. Tau-tau malah ribut di antara kalian sendiri, ngejar orang yang jelas-jelas bukan saya, megang pistol aja gak bener! Atau mungkin memang kalian sebenarnya bukan apa-apa selain penambah jumlah korban. Enggak ada tuh satupun dari kalian yang punya motivasi di luar kejadian di malam itu. Kalian yang penyintas juga gak keliatan punya kehidupan lain. Masih mending saya. Paling tidak, motivasi saya jadi terjawab pas akhir cerita. Saya merasa kayak Thanos di film Avengers Infinity War. Sayalah jagoannya di sini.

Jadi, ya, saya kangeeen banget ama Laurie. Kalian jaga Laurie dan keluarganya yang tersisa baek-baek ya. Biarlah Laurie istirahat dan menyembuhkan luka-lukanya terlebih dahulu. Sementara kalian juga sambil belajar mempertahankan diri yang bener. Nanti di film terakhir trilogi ini, di kali berikutnya kita bertemu, saya mengharapkan perlawanan yang seru. Itung-itung buat pemanasan sebelum ketemu Laurie. Jangan kayak kali ini lagi. Kita gak mencapai apa-apa di cerita yang sekarang ini. Banyak dari kalian yang mati sia-sia loh. Palingan cuma buat adegan-adegan mati yang kreatif aja. Matinya kalian di sini itu cuma jadi hiburan loh. Kasian amat.

Saya kasih 3 dari 10 bintang emas deh, untuk perjuangan kalian di HALLOWEEN KILLS.

 

 

Sekian dulu, surat pesan dari saya. Semoga bisa diambil hikmahnya.

Happy Halloween semuaa

 

 

 

Hormat saya, Michael Myers

 

THE HOUSE THAT JACK BUILT Review

“…why the mad do mad things”

 

 

Sadis ya filmnya.

Enggak sih, itu kan seni.

Bunuhin orang kayak gitu kamu bilang seni?

…….

Motong kaki anak bebek sampai dia enggak bisa dansa empat kali. Berburu anak kecil dan ibunya dengan senapan seolah sedang santai sore berburu rusa. Menguliti payudara wanita setelah merendahkan orangnya. Begitu kamu bilang seni? Saya sih bersukur banget yang kita tonton versi yang udah disensor.

Film ya seni. Boleh dong nampilin pembunuh. Lagian memangnya pembunuh enggak boleh punya jiwa seni? Orang si Jack juga membunuh karena ia menganggap perbuatannya sebagai proyek seni rupa, kok. Dia menciptakan sesuatu dengan mayat-mayat itu. Si anak kecil bibirnya disulam supaya tersenyum selalu kayak patung malaikat. Kulit si cewek, dijadiin dompet. Lihat gak di menjelang akhir? Mayat-mayat dijadiin rumah. Itu kan namanya si Jack berkarya.

Tapi kan, yang dia lakukan ke orang-orang itu….. jahat!

Lah, manusia lain juga sama jahatnya. Toh tidak ada yang datang menolong, atau tampak peduli, meski dalam setiap tindakannya Jack practically kayak minta ditangkap, dia seperti sengaja kurang berhati-hati.

Cukup aneh sih, dia bisa sebegitu beruntungnya enggak pernah kepergok. Bahkan hujan turun membantu menghapus jejak darah yang ia tinggalkan. Seolah dunia memberi izin.

Ingat gak setelah itu, di ceritanya yang kedua, Jack hampir tertangkap polisi karena dia selalu balik ke rumah korbannya?

Hahaha oiya, yang dia OCD itu kan. Jack enggak tahan membayangkan gimana kalo ada darah yang lupa ia hapus di bawah kursi, atau di balik karpet. Dia gak bisa nahan diri. Dia nekat balik untuk mengecek. Berkali-kali.

Tapi toh dia tidak ketahuan. Polisi yang memergoki pun ternyata bego banget.

Jack berkembang menjadi semakin reckless ya, setelah menyadari orang lain sama tidak-baiknya dengan dirinya.

Baik dalam artian moral sih iya, kupikir. Jack mengisahkan dua-belas tahun kiprahnya sebagai serial-killer. Dan di film ini kita melihat episode pertama dia membunuh orang; dia justru membunuh karena ‘diledekin’ sama wanita cerewet yang minta tumpangan.

Jadi menurut Jack, semua orang pada dasarnya jahat?  

Lebih ke jahat dan baik tidak jadi soal, kali ya? Malahan poin si Jack kan memang setiap manusia dilahirkan dengan kejahatan binatang. Kita menciptakan agama dan peraturan untuk menekan nafsu jahat tersebut. Jack hanya mengembrace sisi jahatnya. Dia mengekspresikan diri lewat perbuatannya tersebut. Jack memikirkan apa yang ia kerjakanlah yang jadi soal. Seperti memeras anggur kan, ia mencontohkan, anggur harus dirusak – dibiarkan keriput; ada banyak cara untuk mengesktrak airnya.

Bukankah seharusnya Jack membangun rumah?

Bicaranya metafora, dooong. Ungkapan simbolik hahaha.

Lucu juga melihatnya sebagai mengekspresikan diri. Wong si Jack setiap aksinya selalu berpura-pura. Menurut saya sih tetap saja poinnya adalah Jack ini jahat. Dia mempelajari manusia supaya bisa dengan mudah memanipulasi korbannya. Dia mempelajari sejarah dan segala macam supaya bisa cari celah untuk pembenarannya perbuatannya. Dia bisa saja nyalahin orang lain; dia membunuh karena digebah, dia beraksi karena ada kesempatan. Terakhir dia masuk neraka kan, ya

Babak terakhir itu keren banget sih memang. Jack digambarkan masih berjuang hingga akhir hayatnya. Berjuang atas nama seni dan hal yang ia percayai.  Film ini pun dibuat atas dasar demikian. Pembuatnya ingin mengajak kita diskusi tentang apa yang selama ini ia lakukan.

Ini sutradaranya si Lars von Trier yang hobi cari ‘sensasi’ itu kan? Yang dulu di depan umum pernah nyebutin dirinya bersimpati dengan Hitler. Apa Jack di film ini adalah representasi pikirannya sendiri?

Bisa jadi. Mungkin nun jauh di dalam sana dia juga enggak mengerti di mana ‘salah’nya ucapan tentang Hitler yang ia bicarakan. Film enggak harus politically correct, kan. Yang jelas film bicara tentang gagasan dan bagaimana menceritakan gagasan tersebut. Jadi, ya film ini, apa yang dilakukan Jack sebagai tokohnya, buatku itu seni. Banyak orang yang ngeloyor keluar karena gak tahan melihat adegannya, banyak suara-suara protes, itu sesungguhnya tepuk tangan bagi telinga von Trier. Dia memang mengincar reaksi seperti itu.

Nah itu dia! ‘Mengincar reaksi’. Bukankah seni itu seharusnya adalah ajang ekspresi. Saya berasumsi kita masih memegang motto “To express, not to impress”. Membuat sesuatu demi impresi menurut saya sudah bukan murni seni lagi itu namanya.

Mungkin penikmat juga turut andil dalam menentukan? Sebab semua hal niscaya diciptakan dengan desain rasa dan pikiran sang pembuat. Seni pun sesungguhnya adalah bentuk komunikasi, kan? Justru menurutku, penonton yang walkout-lah yang menunjukkan sikap gak-respek

Meskipun filmnya tidak dimengerti, atau susah ditonton karena begitu ‘menyinggung’ dan disturbing?

Ya, karena mereka-lah yang memutuskan hubungan komunikasi yang sedang berusaha diciptakan. 

Persoalannya adalah; Apakah ada yang menikmati hasil kerja Jack selain orang yang sama haus darahnya?

Wah kau ngatain aku?! Aku jadi teringat pernah ikut pelatihan nulis kritik dan pembicaranya menyebutkan tulisan kritik film itu bukanlah sebuah seni. Lancang sekali!

Ini seperti mengatakan apakah rumah adalah sebuah karya seni.

Kalo begitu penentunya harus dari pembuatnya? Rumah yang dibangun oleh kuli hanyalah sebuah bangunan tanpa arti lebih. Tapinya lagi apakah tidak ada perbedaan pada hasilnya antara wartawan menulis kritik dengan, katakanlah, seniman yang menulis kritik?

Tetap tidak. Karena kritik pada akhirnya tetap berupa kepentingan untuk reportase. Kenapa pula musti repot membuat ribet hal yang tadinya diciptakan untuk menjabarkan karya seni-bercerita kepada pembaca yang menonton.

Kembali lagi ke titik awal dong, kita. Kalo yang dinilai adalah hasilnya, kenapa mayat-mayat hasil eksperimen Jack tidak kau anggap sebagai karya seni. Bodo amat dia membunuh atau bukan. Dia seniman. Dengan media mayat.

Sepertinya saya sudah menemukan jawabannya. Proses kreatif. Seni dinilai dari proses kreatif pembuatannya. Seni terutama, seperti kata ‘teman khayalan’ Jack si Verge, adalah proses yang melibatkan cinta.

Kurang kreatif apa coba, si Jack? Dia sama seperti pesawat penerjun Jerman itu, dia punya desain tersendiri. Dia bicara kepada Verge atas dasar kecintaannya terhadap seni itu sendiri.

Hahahaha… Jack ngobrol sama Verge – sama kepalanya sendiri, seperti kamu bicara kepada saya, proses kreatifkah itu namanya? Apakah kamu lantas mau memberi saya nama juga?

…   Iya dan tidak. Karena kau sesungguhnya tidak ada.

Maka, teman, kamu adalah orang gila!

 


Rumahnya beda banget ama yang “AJ Styles built!”


 

 

 

That’s all we have for now.
Film paling polarizing tahun ini. Sanggupkah kalian menyaksikannya hingga habis? Ada banyak imaji kekerasan di sini, yang diselingi oleh bincang-bincang cerdas tentang pembuatnya, tentang kejahatan manusia, tentang seni itu sendiri.  Bagaimana pendapat kalian tentang seni? tentang film ini? Buatku ini adalah salah satu film yang paling susah untuk direview, atau bahkan untuk ditonton lagi.
The Palace of Wisdom gives 9 gold stars out of 10 for THE HOUSE THAT JACK BUILT.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

HALLOWEEN Review

Be the person you needed when you were younger

 

 

 

Jangan macem-macem dengan orang gila. Terutama orang gila yang ditahan karena membunuh para babysitter remaja, bahkan kakaknya sendiri. Jangan dekati dia. Jangan diajak bicara. Jangan kasih lihat topeng yang dipakainya beraksi. Dan terutama, jangan berusaha melakukan mediasi antara si Gila dengan korbannya. Pertama, hal tersebut bisa tampak sebagai solusi bego seperti yang dilakukan Grab menangani kasus driver mesum. Dan kedua, bisa saja sekarang si korban sudah sama gilanya!

Trauma tidak berakhir begitu saja seselesainya masalah. Trauma dapat berdampak jangka panjang dan mempengaruhi bukan saja korbannya, melainkan juga orang-orang di sekitar korban. Perjuangan dan efek dari kekerasan terhadap korban nun jauh setelah peristiwa mengerikan itu terjadi menjadi tema utama yang dibahas dalam Halloween, menjadikan film ini salah satu dari jarang sekali horor slasher yang benar-benar punya makna mendalam

 

Halloween garapan David Gordon Green, menebas mati semua sekuel dari Halloween buatan John Carpenter (1978), karena ceritanya ini melompati empat-puluh tahun setelah kejadian 1978. It is a direct sequel. Halloween 2 enggak pernah terjadi. Halloween H20 apalagi. Halloween Rob Zombie pun dengan sangat menyesal, lantaran aku suka film-filmnya, ke laut aje. Dan kita melihat langsung dampak trauma selamat dari kejaran Myers tersebut kepada Laurie Strode. Bahkan film ini juga menepis aspek Laurie adalah adek dari Myers seperti yang selama ini kita ketahui. Laurie (Scream Queen legendaris Jamie Lee Curtis bertransformasi menjadi nenek paling badass) masih terus terbayang-bayang Myers, meskipun si maniak tersebut sudah bertahun-tahun mendekam di tahanann. Laurie, secara masuk akal, menjadi wanita yang paranoid. Dia melatih dirinya supaya menjadi lebih kuat, dia mempersiapkan banyak hal, dia mengurung diri di dalam rumah yang ia bangun penuh dengan senjata, ruang bawah tanah rahasia, praktisnya dia mengubah hunian menjadi benteng perang karena ia percaya Myers akan keluar dari penjara dan kembali mengejarnya. Jika ada satu kata orang yang ia percayai, maka itu adalah “Just kill it” ucapan Dr. Loomis yang sudah lama menyerah mempelajari Michael Myers.

Dan sekarang kita punya tiga film berjudul Halloween, selamat bersenang-senang membedakannya

 

 

Laurie Strode dan masalah ketakutannya menjadi hal terbaik yang dipunya oleh Halloween 2018 ini. Film akan memperlihatkan gimana hubungan Laurie dengan keluarganya. Laurie menjadi ‘jauh’ dengan anak perempuannya, yang ia besarkan dengan latihan menembak dan segala situasi panik lainnya. Karen, si anak, tentu saja jengah dengan ketakutan dan keterlalusiapin ibunya. Ada tensi dalam hubungan ibu dan anak ini. Sementara, anak Karen, Allyson; alias cucunya Laurie mencoba untuk menjembatani, untuk menghubungkan kembali keluarga mereka. Ada banyak orang yang terlibat dalam plot film ini. Aku berharap mereka lebih fokus dalam bercerita, karena apa yang kita dapat di sini sebenarnya sangat terpecah. Laurie punya perspektif yang kuat, kita butuh lebih banyak pembahasan mengenai dirinya. Tetapi film berusaha menyeimbangkan tiga tokoh beda generasi, sehingga ceritanya menjadi kurang fokus. Dalam sebuah perjalanan pindah ke penjara, bus tahanan yang mengangkut Myers dan dokter barunya kecelakaan. Menyebabkan Myers kabur dan kembali ke kota lamanya, dia mengejar bukan hanya Laurie – tapi juga seluruh keturunannya. Kita hanya bisa berasumsi Myers tahu keadaan Laurie dari mencuri dengar berita saat dia berada dalam tahanan.

Yang ingin dilakukan Laurie adalah mempersiapkan keluarganya akan trauma yang sudah menyerangnya. Laurie ingin anaknya, cucunya, bisa membela diri saat keadaan menjadi buruk – sehingga mereka tidak menjadi sehancur dirinya.

 

 

At first, sepertinya film akan membawa kita ke semacam pertukaran peran. Obsesi Laurie soal kembalinya Myers sempat menggoda benakku dengan kemungkinan gimana kalo ternyata kali ini Laurie yang memburu Myers, gimana kalo topeng itu dikenakan oleh Laurie dan actually Myers harus bertahan hidup darinya. It’s kinda silly thought, namun sebagai pembelaan aku merasakan elemen komedi dalam arahan film ini. Dan toh, menjelang masuk babak tiga kita beneran melihat – aku gak mau spoiler banyak – seseorang tak terduga memungut dan mengenakan topeng Myers. Buatku it should be a legit story point, namun film membuatnya hanya jadi semacam aspek sampingan yang dianulir dan dilupakan sesegera mungkin aspek tersebut diperlihatkan. Maksudku, cukup menarik kita dikasih lihat segala precaution yang diambil Laurie membuat dia tampak ‘jahat’ di mata anaknya. Sudut pandang Karen juga sebenarnya lumayan menarik. Aku tidak akan masalah jika film ini mengambil Karen sebagai tokoh utama. Tapi film seperti kesulitan menyeimbangkan porsi cerita. Dan ultimately, film harus menyerah kalah kepada kebutuhan untuk tampil meta dan tampak menarik di mata penonton muda. Alih-alih berpusat pada drama kejiwaan wanita yang membuang segalanya demi menjamin keselamatan diri dan orang yang ia sayangi, film merasa perlu untuk kembali memperlihatkan kehidupan remaja; drama pacaran mereka, dengan tokoh-tokoh pendukung yang hanya ada di sana sebagai penyumbang warna merah untuk pisau Myers.

Halloween yang kesulitan tampil konsisten dalam bercerita tidak pernah punya waktu lagi untuk membangun atmosfer. Penggunaan musik ngagetin juga cukup banyak kita dapati di film ini, dan ini menyedihkan mengingat original Halloween adalah film yang sunyi, yang dengan berani memperlihatkan adegan ngagetin begitu saja tanpa suara non-diegetic. Dan menurutku inilah kesalahan film yang paling fatal yang paling mengecewakan. Tidak ada suasana yang membuatnya terasa mencekam, apalagi terasa berbeda. Padahal adegan opening film ini sangat unsettling; kita melihat Myers yang diam tak bergeming – bersusah payah menahan diri – ketika disodorin topeng, sementara orang-orang gila dan anjing-anjing penjaga di sekitarnya pada melolong gila. The rest of this film tidak pernah lagi mencapai kengerian yang serupa. Suasana Halloween film ini tidak banyak berbeda dengan malam halloween yang kita lihat di Goosebumps 2: Haunted Halloween (2018), bahkan adegan di pesta pada kedua film ini hampir sama persis.

dan yang keselnya kedua cowok brengsek di dua film itu sama-sama enggak kena ‘hukuman’

 

Ada banyak adegan yang diniatkan untuk persembahan kepada Halloween orisinil, tapi atmosfernya tidak terasa. Jadi seperti hanya meniru. Green seharusnya menyadari bahwa sinematografi yang menyamai dan musik ikonik yang diputar ulang tidak serta merta mampu mereplika atmosfer secara keseluruhan. Bahkan ada juga adegan-adegan yang seperti direka ulang dari sekuel-sekuel Halloween yang semestinya sudah dianggap tidak ada, seperti adegan di bilik toilet yang mirip sekali dengan adegan di Halloween H20 (1998). Serta cukup aneh gimana para tokoh di film ini menganggap Myers seperti legenda paling mengerikan, mengingat di dunia cerita ini Myers ditahan 40 tahun, dan korbannya hanya lima orang remaja – rasanya gak sesuai dengan reputasinya, apalagi di satu adegan ada tokoh anak muda yang terang-terangan bilang yang dilakukan Myers gak begitu sadis untuk ukuran jaman sekarang.

Kiprah Green dalam membesut cerita komedi dan drama kadang hadir dalam film ini. Particularly dalam drama seputar keluarga Laurie, yang mana menurutku, kita butuh lebih banyak dari yang beneran kita dapatkan. Untuk komedinya, sayangnya, cukup mengganggu. Ada banyak adegan lucu yang jatohnya enggak perlu dan hanya mengusik tone seram yang sedang dibangun. Misalnya ketika cucu Laurie bertemu dengan Myers, kita diselingi adegan humor dua orang polisi yang sedang membicarakan bekal makanan mereka. Betapa sebuah distraksi yang membuat kita terlepas dari suasana. Ada banyak adegan semacam itu dalam film ini, membuat tone cerita juga sama tidak seimbangnya.

 

Selain topeng yang terlihat otentik seram dan presence dirinya yang seolah menelan bulat-bulat kita semua, yang terutama membuat Michael Myers fenomenal adalah dulunya, tindak pembunuhan yang ia lakukan bisa dilihat sebagai bentuk metafora dari akibat bobroknya moral remaja. Meta horor slasher yang ditetapkan oleh film Halloweennya John Carpenter adalah remaja yang berhubungan di luar nikah, yang mabuk-mabukan, akan jadi korban dari Myers. Sementara Laurie Strode yang inosen dari pergaulan semacam itu berhasil selamat dan jadi jagoan. Dalam film Halloween kali ini, korban Myers tidak terbatas pada remaja yang melakukan perbuatan amoral. Myers ngestalk pelajar cupu, dia membantai seorang ibu rumah tangga, sebenarnya secara tematis hal tersebut diniatkan sebagai kontra dari segala kesiapan Laurie; bahwa kemalangan bisa datang kapan saja di mana saja.

Karena hal tersebutlah, Myers adalah antagonis sempurna buat protagonis Laurie di film ini; tragedi tidak bisa diantisipasi.

 

 

 

 




Aksi kekerasan dalam film ini brutal, pembunuhannya kreatif – baik itu menyuguhkan hal baru ataupun merombak adegan yang lama dan menjadikannya sebagai referensi subtil. Mengatakannya sekuel Halloween terbaik enggak necessarily adalah prestasi yang membanggakan. Sebab eksplorasi yang dilakukan film seharusnya lebih jauh daripada ini. Ada elemen trauma dan drama keluarga yang mestinya bisa diceritakan lebih banyak dibanding pembunuhan orang-orang tak berdosa. Film ini punya banyak tokoh, dan sebagian mereka diperkenalkan sesaat sebelum Myers menikam mereka, sehingga banyak elemen dalam film yang terasa pointless. Film ini seharusnya meniru Michael Myers yang dalam mencari korban dia memilih satu dan fokus mengejarnya sampe sukses; film seharusnya memilih satu sudut pandang dan fokus di sana aja. Buatku, sudut pandang yang harus digali film ini tentu saja Laurie, atau bisa juga Karen. Jangan keduanya – atau malah tiga sekaligus. Sebagai horor, film ini masih tetap menyenangkan. Kita bisa nonton ini dengan hanya meniatkan pengen melihat maniak membunuhi orang-orang. Hanya saja, aku melihat potensi yang tidak berhasil mereka gali dengan baik di sini. Dan itu mengecewakan.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for HALLOWEEN.

 




That’s all we have for now.
Halloween versi siapa favoritmu? Buatku pribadi aku paling suka Halloween 1978, lalu Halloween Rob Zombie, Halloween 2, dan baru Halloween 2018 ini.

Apa yang menurut kalian menyebabkan Michael Myers bisa bangkit berkali-kali? Apakah karena kesumatnya kepada Laurie? Kenapa dia begitu suka membunuhi orang-orang? Apa dia bakal bangkit lagi?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017