• Home
  • About
  • Movies
    • NOMADLAND Review
    • MINARI Review
    • PROMISING YOUNG WOMAN Review
    • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
    • TARUNG SARUNG Review
    • SHADOW IN THE CLOUD Review
    • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020
    • ANOTHER ROUND Review
    • SOUL Review
    • ASIH 2 Review
    • WONDER WOMAN 1984 Review
    • SOUND OF METAL Review
    • MANK Review
    • HAPPIEST SEASON Review
    • THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH) Review
    • BLACK BEAR Review
    • FREAKY Review
    • TENET Review
    • THE CALL Review
    • HILLBILLY ELEGY Review
    • THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN Review
    • RUN Review
    • DREAMLAND Review
    • ROH Review
    • THE NEW MUTANTS Review
    • HIS HOUSE Review
  • Wrestling
    • TLC: Tables, Ladders, and Chairs 2020 Review
    • Survivor Series 2020 Review
    • Hell in a Cell 2020 Review
    • Gold Rush: Clash of Champions 2020 Review
    • SummerSlam 2020 Review
    • The Horror Show at Extreme Rules (Extreme Rules 2020) Review
    • Backlash 2020 Review
    • Money in the Bank 2020 Review
    • WrestleMania 36 Review
    • Elimination Chamber 2020 Review
    • Royal Rumble 2020 Review
    • TLC: Tables, Ladders & Chairs 2019 Review
    • Survivor Series 2019 Review
    • Hell in a Cell 2019 Review
    • Clash of Champions 2019 Review
  • Books
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards CLOUD9
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: murder

THE LIE Review

16 Friday Oct 2020

Posted by arya in Movies

≈ 1 Comment

Tags

2018, 2020, crime, drama, family, friendship, horror, life, love, murder, review, spoiler, thought

“Little secrets grow up to be big lies”

 

 

 

Pasangan suami istri yang sudah akan bercerai itu, mendadak jadi kelihatan rukun kembali. Mereka tampak kompak lagi, kasak kusuk bersama di rumah. Sayangnya, keakraban mereka tersebut bukan mutlak karena mereka kembali menemukan rasa cinta yang telah hilang. Melainkan karena Jay dan Rebecca sedang berusaha untuk melindungi perbuatan kriminal yang dilakukan oleh Kayla, putri semata wayang mereka. Kayla mendorong jatuh sahabatnya dari jembatan. Ke sungai deras yang super dingin di musim salju. Jay dan Rebecca dengan panik langsung berkomplot mengarang cerita supaya anak mereka terlepas dari tuduhan. Namun kebohongan mereka semakin membesar tatkala ayah sang korban ngotot untuk menanyai Kayla. Membuat Jay dan Rebecca menggunakan koneksi dan pengaruh mereka untuk balas menuduh yang tak bersalah, selagi putri mereka masih tampak ketakutan dan shock tak-berkesudahan.

Aku semacam berharap ada film kayak gini sejak nonton serial Defending Jacob (2020) beberapa bulan yang lalu. Serial itu juga tentang orangtua yang mati-matian membuktikan anak mereka bukanlah pelaku yang menyebabkan nyawa anak lain menghilang dari muka bumi. Nonton finale serial tersebut, aku kecewa. Karena jawaban apakah si anak bersalah atau tidak itu tidak dijawab melainkan dibiarkan ambigu. Sehingga semua pesan ceritanya gantung. Serial tersebut jadi tidak punya power dalam menjawab konflik pantaskah orangtua mencurigai anak sendiri ataupun etiskah orangtua melindungi anaknya mati-matian meski si anak beneran bersalah. Nonton serial tersebut jadi terasa kayak makan ciki; kosong. The Lie yang diadaptasi (alias diremake) oleh sutradara-sekaligus-penulis Veena Sud dari film Jerman berjudul Wir Monster hadir dengan lebih ‘tegas’. Sedari awal cerita sudah memastikan bahwa orangtua Kayla yakin anak mereka memang bersalah. Tokoh utama cerita ini adalah Jay, ayah yang begitu sayang kepada putrinya, sehingga mau menempuh banyak – bahkan menggadai moral dan etika, untuk melindungi sang putri karena dia percaya anaknya adalah seorang yang baik. Bagaimana pun jua, kejadian itu bukan murni kriminal. Melainkan sebuah ‘kecelakaan’. Begitu pikir Jay. Dan begitu juga pikirku; aku mengira cerita serupa Defending Jacob bisa lebih baik jika ceritanya tegas, dan aku mengira The Lie sangat berani mengangkat perspektif dilema orangtua yang melanggar etika demi anak mereka seperti ini. Turns out, The Lie ternyata berbunyi persis seperti judulnya tersebut.

Spoiler: drama-drama dan kejadian di film ini semuanya dibangun berdasarkan kebohongan!

 

Yang mereka punya di sini adalah karakter-karakter yang menantang moralitas. Tokoh utama kita ditempatkan pada skenario yang tak-pelak merupakan mimpi buruk dari orangtua manapun di dunia. Ketika buah hati kita tampak melakukan kesalahan, apakah kita akan membiarkannya terceblos ke penjara, ataukah kita masih mencari pembenaran. Mencari setitik kecil apapun itu yang membuat anak bisa terbebas. Seberapa jauh orangtua melangkah demi melindungi buah hati mereka. The Lie paham betapa dalemnya konflik grounded yang mereka punya. Makanya tokoh orangtua dalam film ini didesain sudah akan bercerai, dan salah satunya adalah orang yang dekat dengan hukum. Naskah ingin sesegera dan sekeras mungkin membenturkan keadaan dengan moral tokohnya. Dan ini membuat ide cerita The Lie menjadi menarik. Aku certainly lebih suka set up cerita film ini dibandingkan dengan set up dan penokohan cerita pada serial Defending Jacob. Namun ultimately, semua berserah kepada penceritaan.

The Lie tak mampu untuk membuat kita peduli pada konflik moral karakter-karakternya. Pertanyaan moral yang mendera pasangan dalam cerita ini gagal mencokolkan kukunya kepada kita. Pilihan dan aksi yang mereka lakukan tak membuat kita mendukung, atau setidaknya mencoba memahami keputusan mereka lebih jauh daripada sekadar ‘ya tentu saja orangtua akan mati-matian melindungi dan membela anak mereka’. Malahan, seiring berjalannya cerita, kita justru semakin geram dengan aksi Jay dan Rebecca. Mereka semakin terlihat jahat dan gak lagi mikirin aturan. Film gagal mendaratkan masalah yang seharusnya relatable bagi setiap orangtua tersebut. Film malah membuatnya sebagai sesuatu yang harus dijauhi.

Secara gagasan, alur cerita film ini didesain untuk memuat pergerakan yang memang menunjukkan suatu deteriorasi. Gimana pihak yang tadinya tak bersalah, jadi ikut terseret, kemudian berbalik menjadi pihak yang paling salah di antara semua. Kita diniatkan untuk ikut sedih, kemudian meratapi – menyesali pilihan yang dilakukan oleh Jay dan Rebecca. Namun film tidak berhasil menemukan cara yang tepat untuk menguarkan perubahan tersebut dengan emosional dan manusiawi. Kita seperti dipaksa untuk peduli lewat tone cerita yang terus memburu kesedihan dan tragedi. Cara film membangun kehidupan keluarga Jay yang ceria dan memperlihatkan seperti apa aslinya Kayla hanyalah dengan montase singkat video-video masa kecil saat mereka masih hidup bersama (menarik si Joey King pakek footage asli dia masih kecil untuk digunakan oleh film sebagai video Kayla). Sesingkat itu belum cukup untuk membuat kita nge-grasp tokoh-tokoh cerita karena sesegera cerita dimulai, film menunjukkan keluarga ini sudah dalam keadaan pisah. Salju dan udara dingin turut membangun efek gloomy yang berdampak kepada kesan hubungan mereka yang juga jadi terlihat dingin. Jadi ketika Kayla telah berada dalam masalah nantinya, film haruslah membangun dua hal sebagai pondasi untuk membuat kita peduli dan melihat tindakan mereka bukanlah ujug-ujug tindakan yang selfish; pertama relasi masing-masing terhadap Kayla, dan kedua perspektif masing-masing terhadap keluarga mereka itu sendiri. Film tidak membangun poin yang kedua. Cerita hanya mentok menggali di tempat yang itu-itu saja, sehingga yang mencuat justru kemerosotan para karakter saja.

Semuanya bermula dari kebohongan kecil. Suatu rahasia yang ditutupi karena kita seringkali menemukan kesulitan dalam berkomunikasi hati ke hati. Dalam film ini ditunjukkan rahasia kecil yang dibiarkan menggelinding itu lama-lama kelamaan menghimpun menjadi bola kebohongan yang besar, layaknya bola salju yang digelindingkan kian membesar. Satu kebohongan akan membuahkan kebohongan lain. Dan akan terus begitu lagi dan lagi. Before we know it, kita akan terjebak kebohongan kita sudah menjadi dosa yang tak mungkin bisa ditebus lagi tanpa air mata. 

 

Dosa terbesar yang dilakukan film ini adalah berbohong demi ceritanya, atas nama twist. Biasanya, aku enggan blak-blakan soal twist. Tapi untuk film ini aku tidak bisa untuk tidak membicarakan twistnya karena masalah yang paling besar memang justru terletak pada twist ini. Aku akan berusaha untuk tidak terlalu gamblang menyebutkan, so here it is:

Pengalamanku bermain video game ngajarin kalo jika sebuah cerita menyebutkan ada tokoh yang mati, tetapi kita tidak diperlihatkan mayatnya, maka niscaya tokoh tersebut sebenarnya masih hidup. Aturan ini pun berlaku pada film, coba saja kalian ingat-ingat film yang ada tokoh mati kayak gini. Biasanya sih cerita superhero atau fantasy gitu; sering deh pasti ada tokoh orangtua yang disebutkan mati ternyata masih hidup. Nah, menonton The Lie tentu saja pertanyaan yang terbersit duluan di benak kita adalah apakah sahabat Kayla itu beneran sudah mati. Film benar-benar komit untuk menunjukkan bahwa dia beneran mati. Kayla beneran salah. Karena itulah bangunan utama cerita; tentang orangtua Kayla yang milih jadi amoral demi lindungin anaknya yang bersalah. Kayla diperlihatkan stress dan sangat shock dikejar-kejar oleh ayah si sahabat. Bahkan, film memasukkan satu shot yang memperlihatkan mayat si sahabat, tergeletak di dataran salju pinggir sungai. Film mati-matian menipu kita semua dengan ini. Film yang tidak mampu bercerita subtil memperlihatkan kemungkinan sahabat itu belum mati, mutusin untuk menipu kita mentah-mentah dengan twist dan sengaja memasukkan shot tadi. Saat revealing, saat twistnya terjadi, aku sungguh merasa dibegoin.

Ngamuk kena twist

 

 

Dan yang paling begonya adalah; twist itu sebenarnya tidak perlu untuk terjadi. Cerita masih berfungsi seperti yang direncanakan jika tidak pake twist, jika film lurus aja membikin sahabat Kayla benar-benar mati. Twist tersebut hanya menambah drama yang tidak perlu, menipu kita dalam prosesnya, dan membuat kejadian-kejadian film sebelumnya banyak yang enggak make sense secara feeling yang dirasakan oleh seorang karakternya. Film ini jadi gak genuine, walaupun memang tidak pernah benar-benar terasa ‘nyata’ sedari awal. Aksi karakternya tidak kita pedulikan, karena lebih seperti mengada-ada demi efek dramatis. Dan setelah twist tadi, film jadi semakin terasa palsunya.

 

 

 

Jadi jika boleh disimpulkan, film ini sama sekali tidak tahu cara menceritakan gagasannya dengan benar dan menarik. Film ini malah berpikir ceritanya akan menarik jika ada twist yang mengecoh. Tensi dari konfliknya ada, berasa. Cuma setelah pengungkapan twist tadi, karakter-karakter semakin susah untuk kita pedulikan. Film ini enggak mampu memancing reaksi yang genuine, maka mereka mengandalkan twist, kecohan, dan dramatisasi. Selain pemerintah, film ini juga termasuk salah satu kebohongan terbesar yang ada pada tahun 2020.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE LIE.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian punya satu kebohongan yang sampe sekarang masih dipertahankan, dan dijadikan realita baru?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

KNIVES OUT Review

11 Wednesday Dec 2019

Posted by arya in Movies

≈ 49 Comments

Tags

2019, comedy, crime, drama, family, funny, life, love, murder, mystery, review, spoiler, thought

“Immigration strikes at the very heart of a central metathesiophobia, or fear of change”

 

 

 

Kejeniusan Knives Out bukan semata pada kepiawaian membangun misteri siapa pelaku sebenarnya (biasa disebut sebagai thriller whodunit), melainkan juga pada ketajaman penulis naskah merangkap sutradara Rian Johnson mengomentari soal fobia imigran yang ia jadikan bahan utama dalam menu misteri pembunuhan yang disajikan dengan karakter beraneka rupa.

Pengarang novel misteri terkenal, Harlan Thrombey, ditemukan bersimbah darah di kamar kerjanya, sehari setelah pesta ulangtahunnya yang ke delapan-puluh-lima. Karena menyayat urat leher cukup aneh untuk dianggap sebagai pilihan tindak bunuh diri, maka detektif Benoit Blanc (aksen Daniel Craig komikal, namun surprisingly worked) melakukan investigasi. Daftar tersangkanya adalah anggota keluarga Thrombey yang diam-diam menanti warisan dari kepala keluarga Thrombey yang eksentrik. Ada Linda dan suaminya yang berharap dikasih rumah. Ada Ransom, putra Linda, ‘kambing hitam keluarga’ yang pengen diwarisi semua sehingga dia tak perlu bekerja. Ada Joni, menantu Harlan yang janda yang bergantung pada uang Harlan untuk biaya pendidikan anaknya. Ada Walt, putra bungsu Harlan, yang ingin diberikan kuasa penuh atas bisnis percetakan bapaknya. Detektif Blanc dengan senang hati mempercayakan bantuan kepada perawat pribadi Harlan, Marta (Ana de Armas memainkan seorang minor yang punya peran sangat mayor), yang begitu baik hati sehingga dianggap keluarga oleh Harlan. Tapi Knives Out punya banyak kejutan dalam ceritanya. Marta yang muntah setiap kali berbohong – cara kocak film menanamkan cewek ini adalah pribadi yang jujur dan bisa dipercaya, enggak seperti tokoh yang lain – tadinya adalah satu-satunya orang yang tidak mendapat untung dari kematian Harlan. Seiring berjalannya cerita, seiring misteri perlahan membuka, keadaan berubah dan justru Marta yang menang paling banyak dari pembunuhan ini. Bukan Blanc seorang yang berpikir keras, kita penonton juga akan semakin tersedot ke dalam misteri pembunuhan keluarga kaya raya nan nyentrik ini.

bayangkan harus nahan muntah setiap kali menyapa keluarga bos yang pura-pura liberal

 

Dari sudut pandang Marta, misteri pembunuhan ini adalah ketakutannya sebagai orang yang bukan asli Amerika. Marta merupakan orang-dalam yang sesungguhnya adalah orang-luar. Dia mengenal semua anggota keluarga Thrombey, mereka semua ramah kepadanya. Tapi dia adalah orang asing. Jangankan darah, Marta bukan dari tanah yang sama. Film menjadikan asal usul negara Marta sebagai running-joke berupa anggota keluarga Thrombey menyebutnya dari negara yang berbeda-beda. Satu tokoh menyebutnya dari Uruguay. Tokoh yang lain menyebut Marta dari Brazil. Mereka enggak benar-benar peduli, deep inside bagi mereka Marta bukan bagian dari mereka. Inilah yang lantas dijadikan konflik, tensi dramatis buat kita ketika ditempatkan dalam sudut pandang Marta.

Ada adegan ketika anggota keluarga Thrombey duduk mengobrol, dan perbincangan mereka dengan cepat berubah menjadi pandangan politik soal imigran. Anak-anak Harlan bicara dengan cueknya padahal ada Marta di sana. Kita bisa meliha Marta tidak nyaman, karena pembicaraan mereka yang liberal dan tidak-menyalahkan imigran terdengar tidak tulus. Setelah pembunuhan terjadi, dan situasi berubah, kita melihat Marta mau-tidak-mau harus bergerak karena pemahamannya mengenai situasi. Dia jadi seperti banyak diuntungkan, dan tentu saja orang-orang akan ‘menyerang’ dia karena mereka percaya Marta enggak pantas. Marta bukan keluarga, maka dia mencuri dari mereka. Marta bergerak dengan pemahaman ini di dalam kepalanya. Kita juga menyaksikan kejadian dengan pemahaman tersebut, hanya saja dengan ruang lingkup yang lebih luas karena nafas film ini adalah cerita whodunit sehingga film tidak menutup kemungkinan bahwa mungkin Marta memang ‘bersalah’.

Film memotret bagaimana ketakutan terhadap imigran itu bisa timbul. Keluarga yang merasa dirampok oleh orang luar yang lebih baik dan bekerja keras ketimbang mereka, adalah cara film menyampaikan teguran bahwa sebenarnya kesuksesan itu bukan soal darimana kau berasal. Melainkan dari seberapa banyak kita berusaha dengan baik. Kita hanya menuai apa yang kita usahakan. Lagipula, dalam tanah kesempatan; semua orang adalah pendatang.

 

Tidak setiap hari kita mendapat misteri pembunuhan yang original seperti film ini. Biasanya cerita-cerita detektif seperti ini merupakan adaptasi dari novel atau materi lain. Aku sempat kecele karena mengira Ratu Ilmu Hitam (2019) yang tayang bulan lalu, yang menampilan ensemble cast menarik, bakal hadir sebagai horor misteri whodunit. Karena memang kangen juga terhadap cerita kasus pembunuhan seperti ini. Ada keseruan tersendiri dalam ikut menebak-nebak dan melihat jawaban yang sebenarnya terkuak. Knives Out melakukan lebih dari sekadar pemuas dahaga akan misteri whodunit. Karena ia juga hadir dengan gagasan yang terselip matang di antara bangunan misterinya. Penampilan dari jejeran castnya jangan ditanya – semua bermain fun tapi tidak pernah receh ataupun lebay. Para tokoh di film ini semuanya nyentrik. Dari Daniel Craig ke Jamie Lee Curtis memainkan peran yang over-the-top. Lihat saja reaksi tokoh Chris Evans saat bertemu dengan anjing. Namun mereka semua bekerja bukan main dalam tingkatan yang menghibur. Yang sesuai dengan konsep genre mereka di mana semua orang adalah tersangka.

Sebagai whodunit, film ini bahkan punya keunikan tersendiri. Biasanya kita akan dituntun untuk mempelajari motif masing-masing tersangka. Selain itu, kita akan diperlihatkan mereka punya kesempatan, lalu ada tokoh yang dijadikan red-herring alias dibangun sebagai tersangka utama dan cerita akan terbangun ke false resolusi bahwa bukan dia pelakunya. Dengan kata lain, film biasanya menunjukkan tokoh-tokoh yang punya kesempatan tapi mereka tampak tak bersalah sampai ada bukti-bukti semakin banyak terungkap. Knives Out berjalan semacam kebalikan dari hal tersebut. Sedari awal kasus, kita sudah ditetapkan semua orang punya motif, dan itu diperlihatkan dari kebohongan para tersangka. Jadi sejak awal kita tahu mereka semua adalah pembohong, narasi atau sudut pandang mereka tidak bisa dipercaya, dan – sebagai ‘pemanis’ – mereka juga memandang rendah pendatang. Film seperti merekonstruksi genre whodunit, membuat kita memproses ulang pemikiran saat menonton whodunit.

bagaimana memilah yang paling jahat di antara yang jahat, jangan-jangan malah yang baik yang jahat

 

Dialog-dialog cerdas dan lucu menyertai set rumah yang banyak ruang rahasia. Menantang kita untuk terus menyimak. Berpikir tanpa harus menjadi ikutan stres. Saat memecahkan kasus, film meminta kita untuk condong kepada Blanc yang juga sama nyentriknya. Tokoh ini kadang tampak ada di sana sebagai penyambung mulut kita menyampaikan kesimpulan, tapi ada kalanya dia selangkah di depan. Sebagai karakter detektif sendiri, Blanc memang kalah berisi dibandingkan Sherlock Holmes atau Poirot atau malah Detektif Conan, karena bukan dia tokoh dan sudut pandang utama. Namun tokoh ini berhasil dijauhkan dari menjadi parodi tokoh-tokoh detektif terkenal tersebut. He’s there but not exactly above or outside of everyone. Blanc punya motivasi sendiri, dan ini membuat dia juga misterius. Rian Johnson benar-benar memutar balik otak untuk menciptakan situasi yang terus menekan dan membawa warna asli tokohnya keluar. Dia melakukannya dengan menyeimbangkan komedi dan suspens – bukan perkara gampang. Kita tahu Johnson berhasil dalam pekerjaannya ketika kita masih tertawa ketika ada remark yang lucu dari tokoh dan tetap tertarik dan geregetan melihat ke arah mana situasi membawa Marta.

Johnson memilih struktur yang membutuhkan banyak eksposisi dalam menceritakan kasusnya. Kita masuk saat kasus terjadi, tanpa mengenal dahulu siapa tokoh-tokohnya. Sejalannya cerita, barulah kita dibawa bolak-balik sesuai perspektif tokoh yang diinterogasi. Ekposisi ini dihandle dengan menarik berkat tokoh-tokoh yang unik dan menarik. Bolak-balik waktunya juga dilakukan efektif untuk alasan yang sama. Tidak ada bentrokan tone pada film ini. Jika kita perhatikan, karakter-karakter film ini sepertinya disesuaikan dengan stereotipe kekinian. Ada influencer sosmed, ada SJW, ada orang dewasa yang ‘kuno’. Tapi ada satu karakter yang tidak mereka kembangkan dengan sepintar dan semenarik yang lain. Yakni anak remaja yang selalu bermain hape. Dia tidak banyak berperan selain jadi bahan tertawaan. Dia juga tidak punya sudut pandang atau motivasi sendiri.

 

 

Film genre semakin menunjukkan taringnya. Tahun ini kita dapat Us dan Parasite yang membahas persoalan sosial dalam balutan thriller atau horor. Di akhir tahun ini, Rian Johnson melengkapi koleksi kita. Yang ia hadirkan adalah murder mystery yang bukan hanya fun dan unik – seperti tokoh-tokohnya, melainkan juga berbobot. Membahas soal imigran yang menjadi momok, terutama oleh warga Amerika. Di era Donald Trump.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KNIVES OUT

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah Amerika pantas disebut sebagai Land of Opportunity? Bagaimana dengan Indonesia? Bagaimana pendapat kalian soal pribumi dan asing di negeri ini?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE HOUSE THAT JACK BUILT Review

29 Saturday Dec 2018

Posted by arya in Movies

≈ 26 Comments

Tags

2018, blood, drama, horror, kids, murder, psychological, relationship, review, serial killer, spoiler, thought, violence, woman

“…why the mad do mad things”

 

 

Sadis ya filmnya.

Enggak sih, itu kan seni.

Bunuhin orang kayak gitu kamu bilang seni?

…….

Motong kaki anak bebek sampai dia enggak bisa dansa empat kali. Berburu anak kecil dan ibunya dengan senapan seolah sedang santai sore berburu rusa. Menguliti payudara wanita setelah merendahkan orangnya. Begitu kamu bilang seni? Saya sih bersukur banget yang kita tonton versi yang udah disensor.

Film ya seni. Boleh dong nampilin pembunuh. Lagian memangnya pembunuh enggak boleh punya jiwa seni? Orang si Jack juga membunuh karena ia menganggap perbuatannya sebagai proyek seni rupa, kok. Dia menciptakan sesuatu dengan mayat-mayat itu. Si anak kecil bibirnya disulam supaya tersenyum selalu kayak patung malaikat. Kulit si cewek, dijadiin dompet. Lihat gak di menjelang akhir? Mayat-mayat dijadiin rumah. Itu kan namanya si Jack berkarya.

Tapi kan, yang dia lakukan ke orang-orang itu….. jahat!

Lah, manusia lain juga sama jahatnya. Toh tidak ada yang datang menolong, atau tampak peduli, meski dalam setiap tindakannya Jack practically kayak minta ditangkap, dia seperti sengaja kurang berhati-hati.

Cukup aneh sih, dia bisa sebegitu beruntungnya enggak pernah kepergok. Bahkan hujan turun membantu menghapus jejak darah yang ia tinggalkan. Seolah dunia memberi izin.

Ingat gak setelah itu, di ceritanya yang kedua, Jack hampir tertangkap polisi karena dia selalu balik ke rumah korbannya?

Hahaha oiya, yang dia OCD itu kan. Jack enggak tahan membayangkan gimana kalo ada darah yang lupa ia hapus di bawah kursi, atau di balik karpet. Dia gak bisa nahan diri. Dia nekat balik untuk mengecek. Berkali-kali.

Tapi toh dia tidak ketahuan. Polisi yang memergoki pun ternyata bego banget.

Jack berkembang menjadi semakin reckless ya, setelah menyadari orang lain sama tidak-baiknya dengan dirinya.

Baik dalam artian moral sih iya, kupikir. Jack mengisahkan dua-belas tahun kiprahnya sebagai serial-killer. Dan di film ini kita melihat episode pertama dia membunuh orang; dia justru membunuh karena ‘diledekin’ sama wanita cerewet yang minta tumpangan.

Jadi menurut Jack, semua orang pada dasarnya jahat?  

Lebih ke jahat dan baik tidak jadi soal, kali ya? Malahan poin si Jack kan memang setiap manusia dilahirkan dengan kejahatan binatang. Kita menciptakan agama dan peraturan untuk menekan nafsu jahat tersebut. Jack hanya mengembrace sisi jahatnya. Dia mengekspresikan diri lewat perbuatannya tersebut. Jack memikirkan apa yang ia kerjakanlah yang jadi soal. Seperti memeras anggur kan, ia mencontohkan, anggur harus dirusak – dibiarkan keriput; ada banyak cara untuk mengesktrak airnya.

Bukankah seharusnya Jack membangun rumah?

Bicaranya metafora, dooong. Ungkapan simbolik hahaha.

Lucu juga melihatnya sebagai mengekspresikan diri. Wong si Jack setiap aksinya selalu berpura-pura. Menurut saya sih tetap saja poinnya adalah Jack ini jahat. Dia mempelajari manusia supaya bisa dengan mudah memanipulasi korbannya. Dia mempelajari sejarah dan segala macam supaya bisa cari celah untuk pembenarannya perbuatannya. Dia bisa saja nyalahin orang lain; dia membunuh karena digebah, dia beraksi karena ada kesempatan. Terakhir dia masuk neraka kan, ya

Babak terakhir itu keren banget sih memang. Jack digambarkan masih berjuang hingga akhir hayatnya. Berjuang atas nama seni dan hal yang ia percayai.  Film ini pun dibuat atas dasar demikian. Pembuatnya ingin mengajak kita diskusi tentang apa yang selama ini ia lakukan.

Ini sutradaranya si Lars von Trier yang hobi cari ‘sensasi’ itu kan? Yang dulu di depan umum pernah nyebutin dirinya bersimpati dengan Hitler. Apa Jack di film ini adalah representasi pikirannya sendiri?

Bisa jadi. Mungkin nun jauh di dalam sana dia juga enggak mengerti di mana ‘salah’nya ucapan tentang Hitler yang ia bicarakan. Film enggak harus politically correct, kan. Yang jelas film bicara tentang gagasan dan bagaimana menceritakan gagasan tersebut. Jadi, ya film ini, apa yang dilakukan Jack sebagai tokohnya, buatku itu seni. Banyak orang yang ngeloyor keluar karena gak tahan melihat adegannya, banyak suara-suara protes, itu sesungguhnya tepuk tangan bagi telinga von Trier. Dia memang mengincar reaksi seperti itu.

Nah itu dia! ‘Mengincar reaksi’. Bukankah seni itu seharusnya adalah ajang ekspresi. Saya berasumsi kita masih memegang motto “To express, not to impress”. Membuat sesuatu demi impresi menurut saya sudah bukan murni seni lagi itu namanya.

Mungkin penikmat juga turut andil dalam menentukan? Sebab semua hal niscaya diciptakan dengan desain rasa dan pikiran sang pembuat. Seni pun sesungguhnya adalah bentuk komunikasi, kan? Justru menurutku, penonton yang walkout-lah yang menunjukkan sikap gak-respek

Meskipun filmnya tidak dimengerti, atau susah ditonton karena begitu ‘menyinggung’ dan disturbing?

Ya, karena mereka-lah yang memutuskan hubungan komunikasi yang sedang berusaha diciptakan. 

Persoalannya adalah; Apakah ada yang menikmati hasil kerja Jack selain orang yang sama haus darahnya?

Wah kau ngatain aku?! Aku jadi teringat pernah ikut pelatihan nulis kritik dan pembicaranya menyebutkan tulisan kritik film itu bukanlah sebuah seni. Lancang sekali!

Ini seperti mengatakan apakah rumah adalah sebuah karya seni.

Kalo begitu penentunya harus dari pembuatnya? Rumah yang dibangun oleh kuli hanyalah sebuah bangunan tanpa arti lebih. Tapinya lagi apakah tidak ada perbedaan pada hasilnya antara wartawan menulis kritik dengan, katakanlah, seniman yang menulis kritik?

Tetap tidak. Karena kritik pada akhirnya tetap berupa kepentingan untuk reportase. Kenapa pula musti repot membuat ribet hal yang tadinya diciptakan untuk menjabarkan karya seni-bercerita kepada pembaca yang menonton.

Kembali lagi ke titik awal dong, kita. Kalo yang dinilai adalah hasilnya, kenapa mayat-mayat hasil eksperimen Jack tidak kau anggap sebagai karya seni. Bodo amat dia membunuh atau bukan. Dia seniman. Dengan media mayat.

Sepertinya saya sudah menemukan jawabannya. Proses kreatif. Seni dinilai dari proses kreatif pembuatannya. Seni terutama, seperti kata ‘teman khayalan’ Jack si Verge, adalah proses yang melibatkan cinta.

Kurang kreatif apa coba, si Jack? Dia sama seperti pesawat penerjun Jerman itu, dia punya desain tersendiri. Dia bicara kepada Verge atas dasar kecintaannya terhadap seni itu sendiri.

Hahahaha… Jack ngobrol sama Verge – sama kepalanya sendiri, seperti kamu bicara kepada saya, proses kreatifkah itu namanya? Apakah kamu lantas mau memberi saya nama juga?

…   Iya dan tidak. Karena kau sesungguhnya tidak ada.

Maka, teman, kamu adalah orang gila!

 


Rumahnya beda banget ama yang “AJ Styles built!”


 

 

 

That’s all we have for now.
Film paling polarizing tahun ini. Sanggupkah kalian menyaksikannya hingga habis? Ada banyak imaji kekerasan di sini, yang diselingi oleh bincang-bincang cerdas tentang pembuatnya, tentang kejahatan manusia, tentang seni itu sendiri.  Bagaimana pendapat kalian tentang seni? tentang film ini? Buatku ini adalah salah satu film yang paling susah untuk direview, atau bahkan untuk ditonton lagi.
The Palace of Wisdom gives 9 gold stars out of 10 for THE HOUSE THAT JACK BUILT.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

MURDER ON THE ORIENT EXPRESS Review

29 Wednesday Nov 2017

Posted by arya in Movies

≈ 6 Comments

Tags

2017, adaptation, comparison, detective, drama, life, love, murder, mystery, review, spoiler, thought

“…and we will never know balance without justice for all.”

 

 

Ada asap, mesti ada api. Ada yang dibunuh, maka detektif yang katanya sih dia mungkin detektif paling hebat di dunia itu akan langsung memutar otak mencari orang yang bertanggungjawab – mencari sang pembunuh untuk dihukum. Karena begitulah dunia seperti yang dilihat oleh Hercule Poirot; tempat yang harus seimbang. Ada benar, ada salah. Ada tinggi, ada rendah. Sebagaimana dia gerah melihat telur menu sarapannya enggak sama besar, Poirot juga kesel dan rela membatalkan liburannya ketika dia mendengar ada kasus. Dan tanpa ia sadari, perjalanan yang ditempuhnya di atas kereta Orient Express itu akan menghantarkan diri detektif nyentrik ini ke sebuah pelajaran berharga; sebuah kasus pembunuhan yang paling sulit diterima oleh otak cerdasnya.

 

Ada asap, ada kereta api

 

Kasus Pembunuhan di Orient Express ini adalah salah satu kasus Hercule Poirot dari novel karangan Agatha Christie yang paling sering didaptasi ke layar. Yang paling bagus tentu saja adalah versi keluaran tahun 1974  buatan Sidney Lumet; aku masih ingat aku benar-benar tercengang ketika setelah bermenit-menit mengikuti cerita ini untuk pertama kalinya – film tersebut memberi ruang untuk kita menebak, mengumpulkan analisis sendiri – dan menyaksikan kebenaran absolut yang tragis dan kelam. Setelah itu memang banyak reinkarnasi dari novel ini, sampe-sampe kebanyakan dari kita pasti sudah apal ama ceritanya. Seorang penumpang pria ditemukan dalam keadaan bersimbah darah di kabinnya, tubuhnya penuh luka tusuk. Hercule Poirot berusaha menyelidiki  kasus ini, namun dia dibuntukan oleh serabutannya bukti dan petunjuk yang ia dapatkan. Tersangkanya tentu saja adalah para penumpang dan seisi penghuni kereta, yang kini terdampar oleh longsoran salju. Tentu saja, Poirot mencari motif sebab tidak ada kasus tanpa motif. Dia menginterogasi para penumpang demi mencari tahu siapa yang paling diuntungkan dari kasus ini. Informasi yang didapat oleh Poirot tentu saja semakin membuatnya bingung.

Sebenarnya cukup lucu juga soal kenapa film ini wajib banget dibuat. Kan mestinya sesuatu diadaptasi lantaran belum ada yang berhasil bikin saduran yang bagus. Aku pribadi, aku gak akan ngeremake sesuatu cerita padahal sudah ada film yang mengadaptasi dengan sangat baik. Kecuali ada ide atau perspektif lain, ngapain? Mending aku nyari versi adaptasi yang buruk lalu naikin namaku dengan membuat versi film yang lebih baik. Tapi itu juga sebabnya kenapa aku ngetik di blog dan enggak kerja jadi pembuat film. Mereka pola pikirnya beda, apalagi Hollywood. Bagi mereka, kalo mau bikin remake atau adaptasi, ya bikinlah dari sumber yang  sudah populer dan dikenal banyak orang, supaya film yang kita bikin jaminan lakunya lebih gede.

Di tangan Kenneth Branagh, Murder on the Orient Express mengambil penjelmaan sebagai cerita misteri detektif yang lebih light-hearted. Desain produksinya cakep sekali. Semua kostumnya tampak fabulous. Gaya klasiknya menghibur sekali. Kalian tahu, sekarang sudah jarang kita melihat drama misteri yang menghibur dengan ringan seperti ini. Misteri kebanyakan digarap dengan gaya neo noir yang kelam dan serius. Film ini meriah, lihat saja babak awalnya. Sangat menghibur dengan benar-benar menetapkan kepintaran observasi dan karakter tokoh Poirot.

Kamera mengambil gambar-gambar dari sudut yang sama uniknya dengan tokoh utama kita, si Hercule Poirot, yang diperankan oleh sang sutradara sendiri. Film ini memang mengeksplorasi pembunuhan, namun jikalau ada kasus pencurian di sini, maka tersangka utamanya adalah Kenneth Branagh sebab dia sudah mencuri lampu sorot lewat interpretasinya memainkan Hercule Poirot. ‘Obsesi’nya tentang hal-hal seimbang kadang digambarkan dengan kocak. Dia kesel bukan karena nginjek kotoran bikin bau, tapi lebih kepada karena sekarang tinggi sepatunya jadi timpang – jadi dia nginjek dengan kaki sebelah lagi biar sama-sama bau. Poirot di sini dapat banyak momen ringan seperti itu, tetapi ketika dia mulai bekerja membaca dan mengurai petunjuk, kita seolah bisa melihat otaknya berputar dan dialog-dialog cerdas meledak keluar dari mulutnya, meninggalkan kita seolah kepintaran kita sedang berlomba lari dengan kereta api.

Kalo kalian masih butuh bukti bahwa Poirot begitu menghargai keseimbangan, lihat saja deh kumisnya hhihi

 

Yang diarahkan oleh Kenneth Branagh di film ini bukan aktor sembarang aktor. Nama-nama seperti Johnny Depp, Daisy Ridley, Josh Gad, Penelope Cruz, Michelle Pfeiffer, Judi Dench, Willem Dafoe, turut bermain di sini, gak kebayang deh gimana ‘repot’ mengurus tokoh mereka. Tapi each and every one of the casts berhasil memainkan peran dengan excellent. Mereka bermain kuat meski materi yang diberikan kepada mereka lumayan minim. Dan menurutku ini adalah kelemahan yang tidak terhindari oleh film. Banyak film akan kesulitan jika mereka berusaha bercerita dengan lokasi yang sempit, dengan tujuan untuk menyelubungi kenyataan. Ada kebutuhan memperlihatkan misteri. Dan pada film yang actually adalah cerita whodunit ini, karakter lain yang praktisnya adalah tersangka, begitu dijaga ketat sehingga mereka tidak memberikan terlalu banyak informasi mengenai siapa mereka, hal spesifik yang membuat mereka bisa ‘hidup’ sebagai karakter pendukung.  Akibatnya, memang selain Poirot, tokoh-tokoh film ini tampak sebatas sebagai karakter background. Karena misteri itu datang dari rahasia mereka, cerita butuh mereka untuk ‘tersembunyi’, mereka diflesh out seperlunya – aku mengerti integralnya dengan cerita – namun tetap saja, para tokoh ini terasa sia-sia. Mereka kayak pion yang digerakkan ke sana kemari oleh investigasi Poirot, sehingga terkadang deduksi Poirot tampak ajaib alih-alih  hasil analisa.

“Are you an innocent man?” tanya Poirot kepada Ratchett, yang menjawabnya dengan “I’m a businessman.” Dunia tidak pernah sesimpel bersalah  atau enggak. Dalam dosa, semua orang adalah tersangka. Poirot percaya bahwa semua hal di dunia harus seimbang; keadilan datang dari keseimbangan.  Namun, keadilan tidak melulu berarti semua orang mendapat kebenaran yang sama. Keadilan kadang berupa saat ketika orang diberikan kesempatan untuk mendapat sesuatu dengan setimpal.

 

Less an enssemble, Murder on the Orient Express adalah POIROT’S ONE-MAN SHOW. Film ini menganggap penonton sudah apal dengan misterinya, sehingga mereka lebih meniatkan film sebagai pembelajaran untuk karakter Poirot. Membuat detektif hebat yang sudah melegenda ini tampak manusiawi. Kita diberikan sedikit cerita latar tentang kehidupan cinta Poirot, yang sayangnya hanya memang sebatas latar. Sekuens jawaban misteri film juga tak pelak menjadi datar. For some reason, Poirot mendudukkan para tersangka dalam formasi kayak di lukisan The Last Supper, tetapi ‘pertunjukan analisisnya’ tersebut jauh dari kesan majestic. Karena film lebih fokus untuk membuat hal yang Poirot ungkap menjadi berat buat  dirinya sendiri. Film ingin menelaah reaksi Poirot, juga reaksi kita tentang main hakim sendiri, tentang apa sebenarnya yang adil di mata hukum dan kemanusiaan.

 

 

Mempersembahkan cerita yang secara natural adalah cerita berelemen kelam dalam bungkus yang menghibur, sesungguhnya film memang berjuang untuk menyeimbangkan tone cerita. Dibuat bukan secara komedi, melainkan sebagai drama dengan elemen ringan disulam di antaranya. Sayanganya, tone tersebut tidak pernah konsisten. Film ini punya jejeran pemain top yang sayang sekali hanya digunakan sebagai karakter latar, karena narasi benar-benar ingin menonjolkan Poirot. Yang mana adalah hal yang bagus untuk memperkuat tokoh utama, akan tetapi mestinya bisa dilakukan tanpa mengorbankan tokoh lain. Bagi penggemar misteri pada umumnya, dan penggemar Agatha Christie pada khususnya, film ini toh tetap bakal jadi sajian yang enjoyable untuk ditonton. Tapi kalo bioskopnya jauh, enggak perlu dikejar sampe naik kereta api segala sih.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for MURDER ON THE ORIENT EXPRESS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Recent Posts

  • NOMADLAND Review
  • MINARI Review
  • PROMISING YOUNG WOMAN Review
  • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
  • TARUNG SARUNG Review
  • SHADOW IN THE CLOUD Review
  • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020
  • ANOTHER ROUND Review
  • SOUL Review
  • ASIH 2 Review

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought thriller

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • Kucingku ngigo jadi Bianca Belair xD https://t.co/ZY9jQ4kia7 1 hour ago
  • When Fred and George chit chat with Sasha Banks, you gotta listen! #HarryPotter #WWE twitter.com/James_Phelps/s… 4 hours ago
  • Not all who wander are lost, NOMADLAND, my review: mydirtsheet.com/2021/01/14/nom… #Nomadland 10 hours ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Create a free website or blog at WordPress.com.

Cancel
loading Cancel
Post was not sent - check your email addresses!
Email check failed, please try again
Sorry, your blog cannot share posts by email.
Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
%d bloggers like this: