HERETIC Review

 

“If you change the rules on what controls you, you will change the rules on what you can control”

 

 

Buatku, naskah yang bagus itu bukan exactly apa yang dikatakan oleh dialognya. Bukan seberapa bagus atau puitis atau sedalem atau sepinter atau selucu apa kata-kata, tapi bagaimana dialog itu ditempatkan sehingga memenuhi fungsinya. Kayak dialog opening dalam Heretic karya duo penulis dan sutradara Scott Beck dan Bryan Woods. Kita mendengar dua perempuan bicara soal ukuran kondom. Lalu kamera bergerak menjauh memperlihatkan mereka lagi duduk di bangku yang ada iklan kondomnya  – sehingga terestablish konteks kenapa perbincangan soal itu bisa terjadi di antara mereka berdua. Lantas, dialog mereka lanjut, kali ini mengeset siapa/apa kerjaan kedua perempuan muda itu. Mereka Paxton dan Barnes, dua suster aliran mormon. Interest kita naik lagi sekarang setelah kita tahu mereka siapa yang ternyata kontras dengan pembicaraan mereka, namun dialog opening yang terdengar nyeleneh tadi ternyata berhasil melandaskan banyak konteks sekaligus, termasuk bagaimana pandangan karakter ceritanya terhadap hal yang mereka percayai yang ultimately jadi bahasan utama thriller ini nantinya. Seperti demikianlah buatku, naskah yang bagus itu.

Dua orang suster tadi akan tiba di rumah seorang pria tua bernama Mr. Reed. Mereka mampir memenuhi permintaan untuk menyiarkan agama mereka. Mr. Reed yang ramah mengundang mereka masuk karena katanya istrinya sedang menyiapkan pie untuk mereka. Awalnya semua tampak hangat dan terkendali, sesuai protokol yang dua suster ini patuhi. Tapi segala formalitas dengan segera lenyap karena Mr. Reed yang clearly seorang pintar yang telah malang melintang perihal riset agama, mengajak diskusi ke ranah yang lebih mendalam. Menantang kepercayaan personal bukan hanya dua suster, tapi juga kita semua.

Ketika agama disamain ama marketing gimmick game Monopoli

 

Heretic most of the time memang diisi oleh dialog menantang yang bakal semakin intens dan creepy. Konsepnya ini worked greatly berkat penampilan akting dari tiga karakter sentralnya. Hugh Grant gak lantas jadi snobbish komikal ataupun preachy dengan dialog-dialog menantang pemikiran tersebut, Chloe East dan Sophie Thatcher juga gak lantas jadi karakter yang cuma jadi victim. Karakter mereka sendiri juga kuat terbentuk dari dialog-dialog yang seperti di awal tadi, seperti sederhana tapi sebenarnya sangat efektif mengeset siapa mereka, pemikirannya, kepercayaannya, ‘berasal’ dari mana pemikiran mereka. Dinamika mereka juga gak pernah dijadikan kejutan, as in, film ini tidak dibangun berdasarkan “oh ternyata Mr. Reed jahat”. Sedari awal kita sudah tahu ngarahnya mau kemana, tapi yang tidak kita expect adalah muatan yang dibawa oleh film ini dalam membuat “jahat”nya Mr. Reed itu seperti apa. Sama juga seperti pada kedua karakter susternya.

Yang sedikit jadi problem buatku hanyalah tidak ada karakter utama yang jelas, seenggaknya hingga masuk babak ketiga. Di dua babak awal, porsi kedua suster sama besar. Mereka bahkan sama-sama ter-outshined oleh Mr. Reed di pertengahan. Mungkin karena charisma Hugh Grant juga sih ya, tapi ya gitu deh, di pertengahan itu memang Mr. Reed diketengahin banget oleh film ini. Dijadikan fokus. Dua suster dibiarkan untuk bereaksi saja terhadap apa-apa yang dikatakan oleh Mr. Reed. Mereka dijadikan perwakilan kita dalam menyimak dengan takjub opini disturbing yang dengan tenang dan terukur disampaikan oleh Mr. Reed. Nonton dialog mereka seolah kita juga sedang berdebat dengan seorang atheis. Tapi juga banyak layer karakter lain yang bekerja sesuai dengan konteks tema ‘control’. Sehingga perdebatan mereka berisi dan gak debat kusir. Kita peduli, bukan hanya pada isi pembicaraannya tapi juga kepada nasib kedua suster. Mereka sudah seperti satu kesatuan, sebagai believer melawan non-believer. Sehingga walaupun karakter utamanya belum jelas merujuk kepada satu journey personal tertentu, the shared feelings between the two of them terasa menyeluruh bahkan hingga tershare kepada kita sebagai penonton. Dua babak film ini masih bisa bekerja nicely, dan kemudian saat babak ketiga telah lebih jelas ternyata ini adalah tentang Suster Paxton menjadi lebih pede dengan beliefnya untuk berani mengambil kendali, cerita paham bahwa fondasinya benar-benar sudah kuat dan kini saatnya bermain-main dengan elemen ‘rumah hantu’ dengan banyak jebakan dan ruang rahasia.

Itu satu lagi yang aku lihat dapat membagi dua penonton, meskipun buatku sendiri tidak jadi soal. Film berubah dari yang tadinya dialog grounded dan mampu melibatkan kita, menjadi thriller yang tidak lagi terasa terlalu praktikal dengan timing karakter yang artifisial (maksudnya dipas-pasin banget biar ceritanya seru) dan hal-hal yang semakin insane dilakukan oleh Mr. Reed. Motifnya tetap grounded dan kita bisa melihat root-nya, tapi actual things yang dia lakukan yaa terasa sensasional aja. I’m not complaining sih, keseluruhan film ini vibenya jadi kayak Saw dengan filosofi penjahat yang menarik hanya saja Heretic ini tidak ada eksploitasi alat-alat penyiksaan. Ini kayak versi deraan mental aja. Filmnya sendiri pun tidak pernah benar-benar berpijak kepada Mr. Reed sebagai villain yang pintar, tidak seperti Saw kepada John Kramer yang menganggap dirinya somekind of hero atau justified. Mr. Reed lebih mirip seperti ilmuwan gila yang mencoba bereksperimen dengan teori-teori yang ia percaya sebagai kebenaran.

In short, Mr. Reed jadi lebih berbahaya daripada Kramer.

 

Jadi, yang diomongin oleh Mr. Reed memang challenging dan offensive banget bagi – and not limited to – kedua suster. Pria itu basically bilang agama cuma marketing gimmick. Semua agama dan kepercayaan berasal dari sumber yang sama, yang divariasikan oleh pihak-pihak yang pengen memegang kendali sendiri. Untuk membuktikan agama itu cuma soal control-lah, maka Mr. Reed menjebak kedua suster dalam situasi di mana mereka merasa punya kehendak sendiri padahal langkah-langkah mereka sudah ia atur. Pilihan mereka adalah apa yang Mr. Reed mau untuk mereka pilih. Bapak ini pengen ngasih lihat dia mengontrol mereka. Dan itu membuktikan teorinya bahwa agama cuma sistem yang dibuat orang dan sekaligus dia bilang pemeluk agama hanya sekumpulan orang insecure yang butuh untuk percaya bahwa ada much more powerful-being yang menjaga kendali atas mereka. Bagaimana pendapat kalian sendiri tentang teori Mr. Reed ini? Silakan share di komen yaa.. Kalo buatku sendiri sih, bahkan jika yang dikatakan oleh Mr. Reed benar, bukanlah sebuah kesalahan bagi kita untuk memilih percaya kepada agama. Bahwa keinginan untuk secure dan terkendali bukanlah sesuatu yang harus dirisaukan. Apa bedanya kita berbuat baik dengan percaya ada imbalan surga dengan berbuat baik hanya demi kebaikan itu sendiri. Toh surga itu juga bukan imbalan yang langsung kita rasakan, beda ama ngerjain sesuatu hanya karena ada duitnya. Menurutku juga seseorang yang memilih tidak percaya agama juga tidak salah, jika itu membuat mereka malah merasa insecure. Yang salah adalah – seperti yang ditunjukkan oleh film ini – ketika orang itu merasa gak mau dikendalikan oleh sesuatu yang dia anggap salah tapi juga lantas dia ingin mengendalikan orang lain sesuai dengan apa yang benar untuk dirinya.

Yang ditakutkan adalah ketika ada orang seperti Mr. Reed yang ujungnya bikin sekte sesat kecil-kecilan sendiri. Karena sifat manusia cenderung sombong, jadi ketika orang sadar dan mampu mengubah aturan yang tadinya ia anggap mengontrol dirinya, maka ia akan merasa mampu juga untuk mengubah aturan bagi semua orang. Ia akan membuat aturan baru untuk mengontrol semua orang. Itulah ketika terbentuknya ‘agama’ baru.

 




Terpujilah film ini karena udah ngasih sajian thriller yang menantang. Bukan cuma penampilan aktingnya yang intens, tapi pembahasannya bener-bener ngasih sesuatu untuk kita pikirkan tentang kepercayaan dan kendali. Naskah film ini berhasilnya juga dua kali. Pertama, membawa bahasan yang sensitif ke dalam berbagai analogi – terutama memasukkannya ke dalam suasana thriller, meskipun kadang jadi terasa agak gimmicky dan tidak lagi grounded. Dan kedua, karena berhasil menuang gagasan itu ke dalam struktur film. Fungsi-fungsinya terpenuhi, sekali lagi, walaupun film memilih menunda untuk menonjolkan karakter utama pada dua babak awal yang didesain untuk mengetengahkan gagasan. Rancangan film ini udah kayak rumah Mr. Reed. Dari luar kayak rumah besar kuno berhantu pada film-film horor, tapi di dalamnya, banyak layer dan contraption yang bekerja membangun ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for HERETIC.

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SMILE 2 Review

 

“It’s amazing what you can hide by just putting on a smile.”

 

 

Senyuman adalah kutukan. Basically, itulah konsep horor yang dibangun oleh Parker Finn sedari film pertama. Tentang ‘hantu’, sosok yang disebut Smile Entity, yang berpindah-pindah merasuk ke orang lewat perantara senyum. Jadi si Entity merasuk ke satu orang, bikin orang itu stress ama kejadian-kejadian menakutkan yang diangkat dari traumanya sendiri, bikin mereka berhalusinasi melihat orang-orang dengan senyuman mengerikan, saat udah ‘bosen’ Entity akan membunuh si orang dan dia akan pindah merasuki orang yang menyaksikan kematian itu. Kedengarannya memang agak campy, aku sendiri juga kurang suka sama film pertamanya. Banyak adegan creepy dari senyum-senyum itu, tapi mostly filmnya asik bermain jumpscare dan tidak benar-benar menyelami horor psikologis yang naturally dimiliki oleh cerita seperti ini. Dalam sekuelnya ini, Parker kini melek dengan hal tersebut. Senyuman adalah kutukan tidak hanya dijadikannya literal sebagai konsep horor, melainkan kini juga adalah pondasi dari psikologis karakternya. Keadaan yang kita bisa relate, karena ya, senyuman memang sering digunakan sebagai topeng dari apa yang sebenarnya kita rasakan.

‘Panggung’ cerita juga lebih menarik. Pokoknya Smile 2 lebih berkarakter dibandingkan film pertamanya. Kita ngikutin seorang bintang pop bernama Skye Riley (Naomi Scott kali ini berhasil bikin aku amat sangat terkesan) yang tengah mempersiapkan comeback-tour, dari hiatus yang disebabkan oleh sebuah kecelakaan tragis. Bukan hanya itu, perlahan nanti cerita akan mengungkap bahwa Skye pernah kecanduan obat terlarang. Masa lalunya memang problematik. Kalo aku jadi Entity, aku pasti udah gak sabaran banget merasuki Skye. Dan memang itulah yang terjadi. Skye kena kutukan senyuman. Sebagian besar film, kita menyelami kekacauan mengerikan yang diakibatkan oleh Entity kepada Skye. Tapi ini juga bukan sekadar dilema antara ‘beneran atau cuma di dalam kepala’. Ini bukan cuma yang dialami Skye versus orang lain gak percaya padanya karena Skye punya riwayat ‘makek’. Karakter Skye beneran dieksplorasi. Konflik personalnya dikuatin sehingga kita peduli. Bahwa Skye sesungguhnya benar-benar ingin berubah jadi lebih baik dari dirinya sebelum kecelakaan. Dia ingin bermetamorfosis, seperti salah satu stage act dia di panggung. Lewat simbolisme, film memperlihatkan tidak mudah bagi Skye untuk melakukan itu. Dan Entity di sini, adalah wujud ekstrim dari konsekuensi yang diterima Skye ketika gagal.

Literally dilahap oleh momok penuh borok

 

Apa simbolnya? Cermin. Mulai dari adegan bercemin, adegan mecahin cermin, membunuh pakai pecahan cermin, hingga dari shot yang kayak dunia terbalik, dan tentu saja Skye konfrontasi dengan Entity yang mengambil wujud seperti dirinya. Cerminan atau refleksi diri jadi tema kunci pada karakter Skye. Ketika kita pertama kali bertemu dirinya, kita melihat dia sebagai seorang bintang. Tersenyum saat berfoto bersama penggemar. Film dengan cepat mengestablish Skye sebagai seorang bintang tentu saja punya perbedaan dengan Skye sebagai pribadi dirinya yang asli. Nah, perjalanan mengetahui siapa pribadi dirinya yang asli itulah yang jadi journey. Kita akan melihatnya sebagai pengungkapan, sedangkan bagi Skye merupakan journasey personal. Pasalnya, Skye adalah karakter yang menyimpan banyak. Dia punya bekas luka di perut, bekas kecelakaan. Dan Skye gak suka bekas lukanya kelihatan. Skye benci dirinya yang dulu. Tapi dirinya yang dulu kerap muncul dan mengganggu. Luka di punggungnya bikin Skye gak bisa execute tarian panggungnya properly. Apapun yang dia lakukan sekarang dalam usaha mencoba jadi diri yang lebih baik akan selalu berhadapan dengan apa yang telah dia lakukan dulu. Jadi basically konflik personal/psikologis Skye yang jadi penggerak utama cerita adalah soal mirror image yang dia ciptakan akan terus selalu retak oleh konsekuensi dari her former self.

Dengan senyuman, cermin pun dapat dibohongi. Orang-orang pun begitu, Skye menyangka di atas panggung – di depan kamera, cukup dengan dia tersenyum maka orang akan mengerti dirinya sudah menjadi lebih baik. Tapi sebenarnya tang ditipu itu adalah diri sendiri. Yang percaya semua baik-baik saja, yang percaya segampang itu put all the past behind. Karena bahkan di balik senyum, akan ada luka. Seperti borok yang kelihatan di cermin, trauma akan menorehkan garis yang kuat. Yang tidak bisa dienyahkan begitu saja.

 

‘Kesalahan’ Skye cuma  dia percaya senyum di depan cermin, di atas panggung, akan membuat semua kelihatan baik saja. Percaya bahwa dia yang sekarang bisa mengendalikan hidupnya menjadi lebih baik. Inilah fungsi Entity di dalam cerita. Si Setan Senyum terkutuk itu jadi penantang buat Skye’s false believe. Entity membuat Skye berkonfrontasi dengan kejadian traumatis di masa lalu. Kita seiring pengungkapan itu berjalan akan melihat Skye sebagai karakter yang semakin tragis, bahwasanya make sense buat dia untuk pengen percaya dia benar-benar mau jadi orang baik. Dan akhirnya Entity membuktikan Skye salah. Naskah bijak banget untuk tidak hanya memperlihatkan ‘kegagalan’ Skye, tapi sebelum itu, naskah memberikan kesempatan bagi Skye untuk menyadari bahwa dia salah. Sehingga film ini tidak hanya tontonan ungkapan kejadian. Dan punya bobot dan layer di balik kejadian adalah hal yang bagus untuk film ini, karena kalo kita melihat hanya dari kejadian, film ini akan dengan cepat menjadi sangat membingungkan.

Sama seperti film pertamanya, Smile 2 mengandalkan adegan-adegan jumpscare dan adegan-adegan absurd untuk bikin penonton ikut merasa takut. Punchline-nya ya momen kematian yang memorable. Penggemar horor pasti bakal puas nyaksiin adegan-adegan andalan film ini. Aku sendiri suka banget sama adegan Skye ‘disergap’ oleh sekelompok orang di dalam apartemennya sendiri. Adegannya udah kayak mimpi buruk banget. Adegan opening film ini pun keren. Mengikat kepada akhir film pertama, lalu memutuskannya completely sambil lantas ngasih bola ke film kedua untuk berjalan dengan dunia dan karakternya sendiri. Yang bikin membingungkan, seperti yang aku bilang di tadi, adalah: karena film ini elemen psikologisnya lebih kuat, maka adegan-adegan menyeramkannya itupun semakin blur mana yang nyata, mana yang tidak. Chaos dari kemelut Skye dengan kutukan tertranslasikan di layar sebagai adegan seram yang mungkin tidak benar-benar terjadi. Efek samping yang cukup merugikan film karena hal ini adalah momen-momen Skye dapat kehilangan cengkeramannya. Seperti saat adegan dia membunuh ibunya, yang di akhir diungkap ternyata itu hanya ‘ilusi’ dari Entity. Rasa penyesalan telah membunuh itu adds up ke penyesalan Skye atas sikapnya yang bikin ibunya susah (simbol dari membunuh) tapi saat menonton, kita akan terlepas dulu dari momen emosional tersebut. Singkatnya, momen-momen begitu membuat film sedikit terlalu gimmicky.

Dan itu semua dilakukan sambil tersenyum!

 

Film ini juga punya beberapa elemen cerita yang seperti dibuild up tapi ternyata bukan untuk menjadi penting di dalam kelanjutan cerita melainkan hanya sebagai penanda/simbol tertentu. Misalnya soal muntah yang tertinggal di lokasi kematian. Skye mendapat kutukan karena nyaksiin kematian korban sebelumnya (her ex-drug dealer) di sebuah apartemen. Demi melihat kematian yang barbar itu, Skye muntah, lalu dia kabur. Adegan berikutnya nunjukin Skye browsing internet soal apakah dalam muntah bisa diketahui DNA, karena dia takut polisi tau dia ada di TKP dan menyangka dia pembunuh – apalagi kalo pada nyangka dia kembali beli narkoba, padahal enggak. Ketakutan berurusan sama polisi itu seolah build up penting yang bakal ada ujungnya di kemudian waktu, tapi ternyata kan tidak. Karena cerita mainly berpusat pada psikologis Skye, bukan ke soal dia beneran dicurigai sebagai pembunuh. Soal kebiasaan Skye narik rambut atau minum air putih juga begitu. Adegan-adegan Skye melakukannya di-emphasized, hanya saja ternyata itu cuma salah satu pengabur realita. Karena ada adegan dokter mendiagnosa Skye dehidrasi padahal dia selalu banyak minum. And it was not clear, apakah dokternya not real atau tindakan dia banyak minum itu yang tidak real.

Yang jelas, film ini memang sengaja menjadi sangat chaos demi memvisualkan kekacauan di dalam personal Skye sendiri. Yang diperparah oleh kehadiran Entity, sebagai kutukan/setan yang feed off of trauma dan sisi gelap manusia.

 

 




Momen paling insecure seorang pengulas film itu adalah ketika muncul perasaan ulasan kita gak ada yang baca. Sebaliknya, momen paling sumringah waktu kita nulis ulasan film adalah ketika ada sekuel film yang melakukan perbaikan dari film pertamanya, dan kebetulan perbaikannya itu sesuai dengan yang kita ungkapkan di ulasan. Wuih, kesannya seolah tulisan kita dibaca langsung ahahaha.. padahal kan enggak juga xD Momen seperti itu yang kurasakan saat nonton film ini. Kekurangan di film pertamanya – kurang gali bobot psikologis – dibayar tuntas. Kali ini cerita film memuat karakter dan panggung yang begitu personal. Ceritanya memang benar-benar tentang psikis seseorang. Hantunya bukan lagi sekadar kutukan konyol. Film ini berhasil membuat konsep horornya jadi punya layer. Sembari juga mempertahankan elemen mainstream yang bikin sekuel ini bisa exist in the first place. Peningkatannya harusnya masih bisa lebih banyak, tapi untuk sekarang, I smile too nonton Smile 2.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SMILE 2.

 

 




That’s all we have for now.

Ending film ngasih kesan seluruh dunia bakal kena kutukan karena banyak banget fans di konser yang nyaksiin Skye tewas. Jika kalian dikasih kesempatan untuk bikin film ketiga, kira-kira gimana kalian ngehandle kelanjutan kutukan tersebut?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE SUBSTANCE Review

 

“We carry our own worst enemies within us.”

 

 

Kalo kemaren di Joker: Folie a Deux (2024) kita ngomongin gimana satu orang bisa kejebak di antara dua persona sampai-sampai dia sendiri bingung siapa diri dia yang sebenarnya, maka kali ini Colarie Fargeat ngajak kita ngobrol soal keadaan yang seperti sebaliknya. Apa yang terjadi ketika satu ‘diri’ punya kesempatan untuk hidup di dua tubuh. Akankah dia memilih tubuh yang baru, yang lebih sempurna, dan meninggalkan tubuh lama nan renta-nya selamanya?  Pembahasan soal body image dan industri yang demand-nya memang pada kemudaan dan kecantikan jadi substansi di balik sajian psyhcological plus body horor, yang pada akhirnya juga membuat film The Substance ini jadi dark comedy. Karena nonton film ini kita bakal nyadar bahwa mungkin hater terbesar kita memang adalah diri kita sendiri.

Elisabeth Sparkle adalah bintang Hollywood, cuma sinarnya udah redup. Ketenarannya merosot seiring bertambahnya usia. Rating acara fitnessnya turun karena dianggap ketinggalan zaman. Pihak studio sudah siap untuk mencari casting baru, yang lebih muda tentunya. Mereka mencari “The next Elisabeth Sparkle”. Melihat billboardnya diturunkan untuk informasi casting tersebut membuat Elisabeth nekat. Dia setuju untuk mencoba sebuah serum misterius yang katanya bisa membuat orang mendapatkan versi terbaik dari diri mereka. Literally! Dengan serum itu Elisabeth punya tubuh kedua. Yang lebih muda, dan jauh lebih cakep. Dia memanggil dirinya Sue ketika dalam tubuh muda ini. Sue inilah yang lantas jadi host baru acara tv pengganti Elisabeth. Sejumlah aturan petunjuk pemakaian serum harus dipatuhi olehnya. Di antaranya, setiap tujuh hari dia harus kembali ke tubuh aslinya, selama tujuh hari juga. Namun ketika sudah mencicipi kemudaan dan pemujaan baru dari orang-orang sekitar, tujuh hari jadi terasa lama. Sue mulai ‘mencurangi’ Elisabeth. Dia menyabotase dirinya sendiri. Dan kemudian efek mengerikan itu datang. Tubuhnya mulai membusuk dan ‘gugur’ perlahan.

Unboxing serum bukan sembarang skincare.

 

Siapa sih yang gak mau punya wajah cakep dan tubuh yang lebih muda? Dari sini film mengambil kedekatan karakternya dengan penonton, membuat Elisabeth simpatik despite her immediate faults. Menurutku pemilihan karakterisasi cerita ini sangat tepat. Karena meskipun semua orang pengen terus muda, cerita ini akan jadi shallow ketika misalnya tokoh yang diambil adalah perempuan yang biasa-biasa aja atau apalagi yang punya masalah berat badan. Shallow karena itu bakal membuat film terkesan ngejudge karakternya. Sebaliknya, film ini jadi tampak bijak dengan mengambil sudut pandang dari seorang bintang Hollywood yang sudah lewat masa emasnya. Motivasi Elisabeth yang arguably selfish itu jadi beralasan. Karena dia adalah orang yang secara first-hand tahu seberapa penting untuk stay awet muda di industri yang pergantiannya cepat seperti Hollywood. Sehingga film pun jadi punya kekuatan untuk sekalian menelisik industri Hollywood itu sendiri, bukan hanya ‘menghukum’ karakternya.

Hal tersebut membuatku jadi sekali lagi membandingkan film ini dengan sekuel Joker kemaren. Film tersebut membuat Arthur Fleck bernasib naas untuk menuding kita sebagai bagian dari society yang mengelukan sosok Joker dan kita berharap si Arthur mau menjadi sosok tersebut. Film itu memperlihatkan gimana society mendukung lalu lantas meninggalkan Arthur, tapi tidak pernah benar-benar membahas tentang society itu sendiri. Padahal Arthur dikembangkan sebagai akibat dari demand society tersebut. Sementara itu, The Substance memperlihatkan gimana industri basically menjadikan syarat muda dan menarik untuk bisa survive, bahwa kita – penonton – adalah bagian dari industri tersebut (bagaimana pun juga mereka mendengarkan apa yang penonton minta), tapi Elisabeth/Sue tidak pernah digambarkan hanya sebagai akibat dari industri tersebut. Film ini memperlihatkan both. Bahwasanya industri itu toxic, lewat penggambaran karakter produser yang cartonish (as opposed to gimana Harlee Quinn digambarkan abu-abu padahal manipulatif di sekuel Joker), sekaligus juga memperlihatkan konflik personal Elisabeth/Sue yang haus akan ketenaran dan gak mau nerima kenyataan sampai-sampai dia membenci dirinya sendiri yang menua. Dinamika Elisabeth dan Sue dengan brilian terus dipijakkan kepada kenyataan bahwa mereka ini adalah satu orang, sehingga tema soal ketidakpuasan – atau malah kebencian – terhadap diri sendiri tetap menjadi flaw karakter yang membuat cerita ini tetap menjadi kisah yang aktif sebagai galian dan pilihan karakter Elisabeth tapi tetap dengan muatan kritik terhadap dunia industrinya.

Kita adalah musuk terbesar diri kita sendiri. Bahasan film ini sebenarnya sangat dalam ketika memperlihatkan kontras antara kehidupan Sue dan Elisabeth padahal mereka sebenarnya adalah orang yang sama. Keduanya akhirnya menjadi musuh, saling benci, saling sabotase karena Elisabeth/Sue memandang diri mereka yang lain sebagai sesuatu yang mereka benci dari diri mereka. Elisabeth iri dengan kemudaan Sue, dan Sue jijik dengan ketuaan dan ketidakberdayaan Elisabeth. Deep inside, ini adalah Elisabeth tidak menerima dirinya sendiri.

 

Demi Moore sebagai Elisabeth (tubuh asli yang tua) dan Margaret Qualley sebagai Sue (tubuh muda) adalah perfect cast yang sepertinya juga meta melihat dari ‘kesenioran’ mereka di Hollywood. Keduanya beneran jago menangkap vibe yang tepat untuk menghidupkan cerita dan karakter mereka. Terutama Demi Moore yang dapat tantangan range sedikit lebih luas. Dia nelangsa tapi gak over-drama. Lalu dia nekat. Lalu terasa weak dan vulnerable ketika ‘dicurangi’ oleh dirinya sendiri. Lalu berontak dan broke down. Sementara itu Sue-nya Margaret Qualley come off seperti anak muda yang penuh passion dan ambisi, tau apa yang dia mau, dan juga nekat karena Sue adalah reseprentasi diri Elisabeth yang optimis dan pede kembali – dan dia sudah pernah menjalani itu semua. Dan keduanya sama-sama kentara punya denial, sama-sama ngerasa benar saat menjadi masing-masing. Makanya film ini kuat sekali sebagai cerita yang bahas psikologis. Padahal durasinya udah panjang banget, tapi kita merasa masih pengen masuk menyelami Elisabeth/Sue ini.

Buat Elisabeth, si Sue itu lama-lama jadi Su-we’

 

Penceritaan film memang begitu luwes sehingga dua jam setengah itu jadi tak terasa. Ketika butuh untuk menjelaskan aturan serum saja, film ini tidak lantas terseok jadi momen eksposisi yang annoying. Kita tetap dibuat engage oleh permainan editing serta gerak kamera. Ketika meng-setup Elisabeth sebagai bintang lawas yang kini sudah mulai dilupakan pun, film ini tidak serta merta nyerocos ataupun memperlihatkan flashback panjang lebar mengenari karir Elisabeth. Melainkan cukup dengan memperlihatkan bintang Hollywood si Elisabeth, Semacam time-lapse sederhana dari gimana ubin bintang tersebut dicetak, dikagumi orang, hingga jadi retak-retak dan gak ada lagi yang peduli. Set up yang efektif ini yang bikin kita tahu bahwa penceritaan film ini bakal unik. Kita juga jadi siap-siap tatkala momen body horor ataupun bahkan momen creature nya nanti hadir. Film cukup mengclose up seekor lalat di dalam gelas, dan kita sudah terwanti-wanti ini film at least bakal jadi se-‘jijik’ The Fly (1986). And it did. Beruntunglah film ini panjang sehingga makanan kita sudah habis saat bagian body horor-nya datang. Proses ‘kelahiran’ Sue, proses pengambilan cairan sumsum tulang belakang, momen Elisabeth menyadari ada anggota tubuhnya ternyata udah kayak bangkai, hingga ke aksi-aksi brutal di bagian belakang dan satu lagi kelahiran makhluk – aku cuma bisa bilang film ini sangat memuaskan penggemar horor. Vibe dark comedynya juga sangat mulus membayangi. Seolah film juga turut menjadi semakin edan bersama dengan perkembangan Elisabeth.

Aku sendiri tergelitik sama term “versi dirimu yang sempurna”. Buatku term ini sebenarnya bisa bermakna lebih dalam. Saat menonton aku kepikiran, kalo aku yang biasanya suka sial ini memakai serum itu, diri satu lagi yang terlahir pasti belum tentu aku versi lebih tinggi, rambut lebih tebal, mata gak minus, lidah gak cadel, dan sebagainya. Bisa jadi yang muncul adalah aku yang botak, lebih kontet, mata lebih minus, hanya mungkin otaknya yang lebih cemerlang. Atau ngerinya lagi, mungkin diri yang lahir punya jari yang lebih banyak supaya bisa ngetik lebih cepat dan bisa ngepost review lebih banyak dalam sehari. Maksudku, who knows kan, ‘versi sempurna’ diri kita itu dilihat dari apa. Siapa yang menentukan apa yang sempurna. Gimana kalo sempurna itu berarti kita tidak mesti punya tangan dan kaki, tapi punya sayap. Menurutku term ini punya potensi untuk digali lagi. Dan maka itu juga aku surprise ketika film masuk babak ketiga. Dan ternyata memang film ini menggali “diri yang sempurna” itu ke dalam perwujudan lain dari Elisabeth/Sue. Lantas film ini jadi chaos, for the better. Menurutku babak akhir film ini benar-benar nendang, ‘stylish’, dan menutup cerita dengan sangat membekas. Semuanya mendapat ‘ganjaran’ termasuk industri entertainment itu tadi. I wouldn’t have it any other way.

 

 




Bener-bener diperlihatkan tuh di sini, gimana ekspektasi sosial mampu mendorong seseorang menjadi sesuatu yang bahkan dia tidak mengenal siapa dirinya lagi. Gimana orang bisa membenci dirinya hanya karena ngikutin maunya orang lain. Aku suka film ini tetap pada jalurnya, yaitu membahas dari perspektif karakter. Menggali dari sana. Tidak berubah haluan jadi membahas asal muasal serum atau misteri pembuat serumnya, misalnya. Oh itu bakal jelek dan kosong banget pasti haha… Film Joker 2 kemaren mestinya meniru penceritaan film ini. Gimana film ini berhasil menggunakan konsepnya, yaitu body horor, sebagai penguat cerita. Menyokong pengalaman mengerikan yang ingin disampaikan. Gimana membentuk cerita tragis sehingga gak jadi ngejudge, melainkan menjadi selaman berbobot yang menyeluruh mulai dari karakter hingga ke dunianya yang punya masalah yang sebenarnya ditarik dari problem sosial beneran. Film ini berhasil, meskipun tergolong sebagai genre, tapi tetap sebuah genre dengan bahasan substansi yang kuat.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE SUBSTANCE.

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang standar kecantikan yang bakal terus menghantui industri atau dunia hiburan?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



JOKER: FOLIE A DEUX Review

 

“Didn’t someone say love is a shared delusion?”

 

 

Lima tahun lalu dipuja-puja, tapi sekarang berbalik menjadi cemo’ohan.  Enggak, aku bukan lagi ngomongin presiden kita. Melainkan lagi ngomongin Joker. Adaptasi villain superhero versi Todd Phillips. Sekuelnya ini memang telah benar-benar membuat Joker jadi bahan tertawaan. Penonton casual dan kritik sepakat film ini gagal menghadirkan bukan hanya adegan musikal, tapi terutama juga gagal menghidupkan karakter titular yang sudah dikenal dan dinanti kegilaannya oleh banyak orang. Ya, sumbernya dari tidak sesuai ekspektasi. Dan ekspektasi itu sendiri, terbentuk dari image yang ditampilkan. Orang berpenampilan sederhana akan membuat kita mengharapkan dia sebagai pemimpin yang merakyat, misalnya. Badut teraniaya yang akhirnya mengambil aksi seperti Joker, akan membuat kita mengantisipasi dirinya sebagai anti-hero. Joker: Folie a Deux gagasannya memang pada shared ekspektasi seperti itu, yang diperkuat dalam tingkat ekstrim sehingga yang tadinya ekspektasi berubah menjadi sebuah delusi yang dirayakan bersama. Membuat film ini toh tak kurang sebagai sebuah kebrilianan-edan juga jika kita melihat kemampuannya bercerita dalam level meta.

You brought make up..“,”I wanna see the real you.” Saat menonton, kata-kata Harley Quinn-nya Lady Gaga kepada Arthur Fleck-nya Joaquin Phoenix tersebut terdengar kayak buat nunjukin kegilaan mereka sebagai pasangan aja. Sama juga seperti ketika Lee ngerokok terus kalimat berikutnya yang dia ucapkan adalah ngasih tahu kepada Arthur bahwa dia lagi hamil. Aku ketawa, kupikir ni orang memang sinting. Tapi perlahan konteks film mulai mencuat. Koneksi dengan kartun Joker dan bayangannya di prolog pun akhirnya terlihat. Ini cerita tentang Arthur menemukan kembali siapa dirinya yang sebenarnya. Apakah dirinya yang sebenarnya adalah Arthur tanpa make up, atau dia adalah Joker dengan riasan badutnya. Arthur diceritakan sedang menyongsong sidang. Perbuatannya di film pertama – membunuh lima orang, salah satunya dalam siaran langsung televisi – membagi dua rakyat. Ada yang takut, ada yang kagum. Penuntut ingin Arthur dihukum mati sebagai pertanggungjawaban, namun pembela berargumen Arthur punya kelainan jiwa. Jika ingin bebas, Arthur harus ikut ‘skenario’ tersebut. Bahwa ada persona lain – si Joker – di dalam dirinya sebagai tanda dia bukan orang yang sehat. Keadaan menjadi pelik ketika Arthur jatuh cinta kepada Lee, yang ia temui di bangsal. Lee dan semua pendukung di luar sana bersikeras the real Arthur adalah Joker yang melakukan kejahatan. Mereka justru love him for that.

Ini bukan cerita tentang dua orang edan yang saling cinta. Ini cerita tentang dua orang yang merasa saling cinta karena mereka edan, as in edan karena mereka berbagi delusi yang sama. Delusi tentang sosok Joker. Film Todd Phillips ternyata bukan tentang orang bernama Joker, melainkan tentang Joker sebagai sosok, dan pengaruh sosok tersebut  kepada satu orang yang ‘menciptakannya’ serta pengaruh sosok tersebut kepada manusia lain yang mengidolakannya.

Beri makna baru pada cinta bisa mengubah manusia

 

Jadi, Arthur dan Lee shared this delusion bahwa mereka sedang saling jatuh cinta. Padahal sebenarnya. keadaannya cukup berbeda. Arthur cinta sama the idea sekarang dia punya pasangan, yang memperhatikan dan peduli kepadanya bahkan dalam persona tergelap dirinya sekalipun. Sementara Lee, dia cinta sama idea bahwa Arthur adalah sosok Joker yang bakal menjungkirbalikkan Gotham. Actually Lee juga shared delusion dengan orang-orang di jalanan kota, termasuk dengan kita. Kita love the idea of Joker; dengan sosok “Joker” sang anti-hero. Di sinilah cerita film ini jadi kompleks. Dengan berpijak kuat pada perspektif Arthur, cerita ini seperti memeriksa fenomena ketika seseorang dielukan sebagai sebuah sosok atau gagasan, padahal itu bukan siapa diri dia yang sebenarnya. Garis blur diberikan film ini kepada Arthur dalam berusaha memaknai siapa dirinya yang sebenarnya. Makanya film ini kayak gak maju-maju secara kejadian. Kebangkitan Joker yang kita tunggu-tunggu tidak pernah ada. Adegan-adegan komikal nan brutalnya hanya sebagai adegan di dalam kepala Arthur. Pria menyedihkan ini bermula di penjara, dan berakhir di penjara juga. Semua aksi dan development journey itu terjadi di dalam psyche Arthur. Buatku naskah film ini masih brilian menjabarkan perkembangan psikologis Arthur Fleck. Gimana dia tadinya memandang dirinya, gimana dia merasa ada yang cinta sama dia sebagai suatu kebutuhan karena selama ini dia diabaikan bahkan oleh ibunya sendiri, gimana dia percaya dia gak salah karena yang melakukan semuanya adalah Joker, gimana dia percaya Joker adalah jalan keluar, dan berakhir dia mengakui bahwa there’s no ‘Joker’. Ini jelas bukan journey yang menyenangkan, dan itu beneran terefleksi kepada filmnya. Sehingga filmnya ngasih bad taste pada kita. Kita ‘meninggalkan’ Joker sebagaimana Lee tidak lagi datang mendukung sidang.

Pil pahit satu lagi yang harus penonton telan karena bikin film ini jadi tampak boring adalah bentuk atau konsep penceritaan yang mentok banget, Courtoom drama dan musikal. Elemen musikal sebenarnya telah digunakan sedari film pertama. Musik sebagai bentuk dari seni pertunjukan telah diestablish sebagai eskapis psikologis Arthur. Menekankan bahwa dia ‘mendengar’ musik yang tak bisa orang lain dengar di dalam kepala. Makanya musikal di sini juga tidak dibuat blur mana yang nyata, mana yang tidak. Kita akan selalu bisa membedakan mana yang interaksi musikal beneran, mana yang bukan. Karena adegan musikal dalam film ini ditujukan supaya kita mengerti apa yang terjadi di dalam Arthur. Apa yang dia rasakan terhadap sesuatu. Sekali lagi, yang didesain untuk blur di sini adalah gimana Arthur memandang dirinya – siapa yang menurutnya ‘dirinya’ yang nyata. Secara eksekusi, jelas momen musikal yang paling asik itu hadir ketika pikiran Arthur melebur dengan kenyataan, seperti ketika dia membayangkan nyanyi pembantaian di ruang sidang. Tapinya juga karena niatnya tidak pernah untuk memblurkan, adegan musikal di film ini memang terkesan repetitif dan membosankan. Seperti sisipan pengejaan feeling ataupun psyche yang sudah bisa kita mengerti, sehingga adegan-adegan tersebut juga terasa mengganggu tempo.

Adegan di persidangan sebenarnya seru. Ada penaikan tensi ketika Arthur memecat pengacaranya dan mutusin untuk represent himself. Lantas esok harinya dia muncul lengkap dengan dandanan Joker. Sepertinya sudah ready untuk bikin ‘onar’ persidangan. Namun kemudian dialog Arthur dengan salah satu saksi dari film pertama di persidangan tersebut menambah pada value emosional cerita ini. Menurutku kalopun film ini cuma punya bagian courtroom drama, kayaknya itu udah cukup. Tapi ya ambisi Todd Phillips untuk ngasih sequel yang berbeda dan nyata-nyata jelas lebih beresiko memang pantas untuk kita apresiasi.

Si Harvey Two-Face jadi penuntut untuk kasus orang dengan dua kepribadian hahaha ironis

 

Perhaps, dosa terbesar sekuel Joker ini adalah menghukum karakternya alih-alih society yang mengelukannya for the sake of delusion tanpa sama sekali mempertimbangkan bahwa dia adalah karakter yang terus ‘tersiksa’ dan ‘diabuse’ dan ‘diperalat’ sampai semua itu broke him apart. Mungkin bisa jadi itu yang dipermasalahkan oleh penonton, bukan semata karena Arthur ternyata bukan Joker yang kita bayangkan. Kritikan sosial yang diusung oleh naskah yang punya kekuatan meta ini jadi hanya seperti dimainkan untuk shock value sehingga akhirannya membuat film seperti menuding penonton. Karena setelah melihat penyadaran Arthur, kita dibikin terputus bukan hanya dengan karakter ini melainkan juga dengan film keseluruhan. Film tidak pernah memeriksa balik society yang ‘menghukum’ Arthur for memilih dirinya ketimbang jadi sosok Joker. Sehingga ketika kita tidak lagi in-line dengan karakter manapun di dalam cerita, film jadi seperti bicara langsung kepada kita alih-alih society yang tadinya disimbolkan sebagai kita. Bahwa “penghukuman” yang didera Arthur adalah akibat dan we should feel bad. Jika melihatnya seperti demikian, film ini memang terasa kurang berimbang dan jadi ngasih shock value untuk menghakimi daripada untuk examine thoroughly dan mengajak berdiskusi. Bagaimana pendapat kalian, mengapa Joker: Folie a Deux yang sebenarnya punya bahasan psikologis personal dan kolektif ini malah balik dicerca? Mengapa penonton tidak puas? Pasti bukan semata karena musikalnya gak sesuai ekspektasi dong kan? Silakan share pendapat kalian di komen yaa

 




Jika ada dua hal yang bisa kita pelajari dari Arthur Fleck maka pertama adalah tidak jadi soal apa yang ingin kita tampilkan, melainkan yang penting adalah  bagaimana kita mengeksekusinya.  Enggak jadi soal seberapa menarik materi dan konsep dan development yang cerita dan karakter kita punya, jika penceritaannya masih kurang luwes ya cerita tersebut hanya akan masih ada sebagai gagasan semata. Dan hal kedua adalah gagasan terhadap sesuatu akan make or break sesuatu tersebut meskipun itu bukan dirinya yang sebenarnya. Film ini jadi meta seperti itu. Dia ingin menunjuk penonton tapi barangsiapa menunjuk orang lain, maka empat jarinya akan menunjuk dirinya sendiri. Film ini punya gagasan yang begitu brilian tapi penceritaannya belum mampu menghantarkan semuanya dengan sempurna kepada penonton. Penceritaannya masih kurang berimbang, sehingga bahkan konsep musik psikologis dan drama courtroomnya masih terasa mentok dan justru merusak tempo.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for JOKER: FOLIE A DEUX

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



INSIDE OUT Review – [2015 RePOST]

 

“Sometimes it is okay to let sadness takes over.”

 

Disney-Pixar-Inside-Out-Movie-Poster

 

Karakter yg mewakili satu sifat atau emosi tertentu memang bukan hal yg baru, kita udah lihat para Smurf dan kurcaci-kurcaci Putri Salju sebelumnya, jadi ya kesan pertama ku buat film ini biasa aja. . TAAAAPPPIII nyatanya, INSIDE OUT TAMPIL UNIK, KREATIF, IMAJINATIF, dan-yea- ORIGINAL! It has completely turned my mind inside out!! Sukaaaaaa~~~

Kita diajak masuk dan melihat isi dalam otak Riley, di mana Joy was in charge sementara Fear, Disgust, Sadness (“don’t touch anything!”), dan Anger membantunya mengendalikan perasaan gadis kecil tersebut. Mereka ingin agar Riley selalu bahagia. Saat Riley yang baru saja pindah ke kota lain, mulai mengenal galau- ga suka rumah baru, gapunya teman, dia jadi ga akur sama orangtuanya-situasi menjadi agak di luar kendali di ‘markas’ alias dalam pikiran Riley.

Film ini dengan smart membuat kisah tentang keadaan psikologis seorang anak yang mulai remaja menjadi penuh petualangan FUN nan mengharukan. IT HITS DEEP, really. Anak-anak mungkin sekarang ketawa ngeliat tingkah si Sadness, namun jika mereka nonton film ini 15 atau 20 tahunan lagi, mereka bakal ngerasain feeling yang berbeda. Paling engga itu yang aku rasakan saat menonton film ini. Ada elemen cerita yang lebih dalam yang bisa kita rasakan- yang anak kecil certainly belum bisa melihat hal tersebut. Makanya film ini begitu spesial. Inside Out berhasil untuk tidak tampil konyol, dan itu benar-benar hal yang bagus karena FILM INI ACTUALLY RESPECT SAMA PIKIRAN ANAK KECIL in that way.

taruhan, crew emosi dalam otak kita pasti sibuk saat kita nonton film ini

Taruhan, it is so complex crew emosi dalam otak kita pasti sibuk saat kita nonton nih film

 

Soal visual jangan ditanya. Everything looks very good. Emosi-emosi itu diwujudkan dalam sosok tokoh-tokoh yang fresh, masing-masing punya ciri khas, dan tentunya menarik banget buat anak-anak. Para pengisi suara did a very good job on their part as wellSuara Joy yang diisi oleh Amy Poehler terdengar penuh kebahagiaan dan, I shoud say, sebuah kelebihan besar bisa segembira itu tanpa jadi terdengar annoying hahaha. Tadinya kukira karakter Joy ini bakal over-the-top kayak Jess di New Girl. Untungnya enggak, I was shocked by thatJoy is actually passed as a likeablePhyllis Smith yang nyuarain Sadness berhasil ngimbangin karakter Joy, while dia sendiri juga enggak terdengar lebay. In fact, aku kagum dengan gimana para dubber dalam film ini bisa nyesuain suara mereka dengan begitu in-character.

 

Emosi manusia adalah hal yang kompleks. Enggak mungkin bagi kita untuk menciptakan bola memori yang murni mewakili satu emosi saja, only kids yang bisa.

atau mungkin Goku, mengingat dia bisa naik awan Kinton.

Atau Goku, mengingat dia bisa naik awan Kinton.

 

I really like bagaimana pembuat film ini menggambarkan cara kerja perasaan manusia ke dalam sebuah dunia dengan segala segala sistem dan mekanisme yang seru dan imajinatif. Kayak gimana cara kerja dunia mimpi, apa yang terjadi sama ingatan-ingatan manusia dan hubungannya dengan pembentukan kepribadian, interaksi antara para emosi, yang semua itu berhasil dijelaskan dengan simpel dan menarik. Bukan hanya Riley, tapi juga ayahnya, ibunya, hey semua orang mempunyai ruang kendali dengan emosi dominan yang berbeda-beda, such a fun concept! Semua hal tersebut berhasil dijelaskan amazingly efektif dalam penceritaan. Mungkin film ini nantinya bisa jadi media belajar psikologi kecil-kecilan haha.

 

INSIDE OUT STANDS OUT AS A VERY MATURE FILM FOR KIDS. Ngajarin anak how to deal with change, growing up, how complex our emotions could-and-should be. Buat yag gede, well, ke mana perginya teman imajinasi kita? Film ini membawa kita ke masa-masa saat seorang anak kecil mulai mempertanyakan diri sendiri. Saat kita sadar bahwa masa kecil is just that, there are alot more yang menunggu kita saat dewasa, it will reminds us betapa ‘sulit’nya masa-masa tumbuh tersebut. Beneran deh, kapan kalian mulai pake hitam? lolThey did a very excellent job at telling that message. Dan tentu saja, Inside Out ngingetin kita semua bahwa tidaklah mengapa untuk membiarkan kesedihan mengambil alih sekali-sekali 

 

 




This is very well might be my favorite Pixar movie of all times. Buat sekarang, no doubt semuanya setuju doong kalo aku bilang kita baru saja menyaksikan film animasi terbaik tahun 2015 ini. The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for Inside Out.

 




That’s all we have for now.

Remember in life, there are winners
and there are losers.

 

 

We be the judge.



THE FIRST OMEN Review

 

“Evil exists in the world not to create despair but activity.”

 

 

The First Omen adalah apa yang gagal dicapai oleh Immaculate (2024). Sebuah horor di lingkungan agamis yang benar-benar mencengkeram penuh suspens (and will not let us go), Cerita ‘suster mengandung anak setan’ yang benar-benar menempatkan protagonisnya ke sudut-sudut tergelap emosi – bukan sekadar menjual image aktor pemerannya.  Pengalaman sinematik yang bukan cuma asal jumpscare tapi juga merupakan experience jiwa-raga, visual dan atmosferik, yang singkat kata; tidak terasa murahan. Sekalipun film-panjang debut sutradara Arkasha Stevenson ini terasa seperti horor jadul, itu hanya karena cerita dan dunianya supposed to be a prequel to The Omen (1976), dan sesungguhnya sebuah keberhasilan dan banyak anggukan hormat diberikan oleh film ini kepada bukan saja film aslinya, tapi juga horor-horor yang lahir pada era tersebut.

Ya, sebagai sebuah prekuel, sutradara dan tim penulis The First Omen punya tanggungjawab untuk mengikat cerita mereka kepada film aslinya. Akhir film mereka ini haruslah make sense, nyambung, dengan awal kisah original tentang Damien, anak setan yang diadopsi oleh suami-istri di London. Terutama dia harus bisa mengestablish kenapa prekuel ini diperlukan oleh cerita tersebut. Ini jelas tanggungjawab yang berat, apalagi bagi sutradara baru seperti Stevenson. Dia harus mengemban itu, sembari menapakkan jejaknya sendiri sebagai filmmaker yang punya visi, dan nyali. Kenapa nyali? karena itulah yang juga ditunjukkan Stevenson pada proyek prekuelnya ini. Apa yang sutradara hebat lakukan saat mengadaptasi, itu jugalah yang dilakukannya. Yakni ‘mengubah’ materi sesuai kebutuhan tema atau gagasan, tanpa merusak garis besar role atau cerita. Sehingga film The First Omen bukan sekadar soal kelahiran Damien, melainkan juga eksplorasi yang lebih dalam tentang keluarganya – tentang kultus yang ‘melahirkannya’. Semua itu dirangkum dalam horor bertajuk modern; otonomitas tubuh perempuan.

review the first omen
Franchise Exorcist pasti iri ngeliat Omen punya film modern yang bagus

 

Suster Margaret mendarat dengan cantik di Roma. Sebelum mengambil sumpahnya, suster dari Amerika ini ditugaskan sebagai perawat di panti asuhan khusus anak perempuan. Di panti itulah, Margaret bertemu dengan salah satu anak bernama Carlita. Anak yang terkucilkan karena tingkah dan gambar-gambar anehnya sehingga lantas dianggap sebagai troublemaker; anak yang, kenang Margaret, persis seperti dirinya waktu kecil dulu. Naturally, Margaret jadi tertarik; both kepada Carlita maupun kepada dirinya sendiri – yang ia tahu tak lama lagi akan terikat penuh pada pengabdian atas gereja; bakal kehilangan kebebasan, kalo kata Suster Luz, teman sekamarnya. Margaret jadi ingin melindungi Carlita yang juga drawn to her, tindakan yang membuat para Suster senior di panti yang strict itu gak suka. Dan Margaret, di waktu bebas tugasnya, mau ikut Suster Luz ke klub, untuk menikmati menjadi diri mereka sendiri sebelum sumpah itu tiba. Malam itu eventually jadi malam yang tak bisa diingat oleh Margaret, hari-hari sesudahnya di panti bersama Carlita menjadi hari-hari penuh misteri seolah suster yang mengaku punya imajinasi overaktif itu berada dalam mimpi buruk tak berkesudahan. Mimpi buruk tentang bayi setan.

Sekilas memang ceritanya terdengar mirip dengan Immaculate. The First Omen seperti versi yang lebih serius dan artsy ketimbang film tersebut (kalo gak mau dibilang sebaliknya; film tersebut adalah versi receh dan simplistic dari horor paranoia keren ini). Karena film ini ngangkat horornya bukan sebatas tentang hal mengerikan yang terjadi kepada tubuh suster protagonis dan misteri siapa cult penyebabnya. The First Omen juga menitikberatkan kepada penggambaran ‘how’nya. Elemen horor supernatural pada film ini dikembalikan kepada karakter utamanya, sehingga transformasi atau perubahan si suster dari yang tadinya taat mengalami sebuah journey mengerikan, traumatis. Sudah bukan lagi terasa sebatas reaksi yang ia lakukan saat dikenai peristiwa atau takdir mengerikan, seperti yang terasa pada protagonis Immaculate. Penceritaan The First Omen pun tampak mengalami perkembangan sesuai dengan yang dirasakan oleh suster Margaret. Di awal, film ini terasa seperti horor biasa saja – not much better than Immaculate. Tapi seiring suster Margaret merasa ada yang gak beres, film semakin personal ke dirinya. Innernya dulu yang bergolak. Imaji-imaji horor yang disturbing mulai menyeruak dari balik dunia relijius 70an tersebut. Mengajak kita masuk ke dalam suspens dan parnonya si suster yang persepsinya mulai ambigu.

Mencengkeram penonton ke dalam suspens yang terus naik. Hal yang tampak sederhana, tapi tidak tergapai oleh banyak horor modern. Udah jadi kayak the lost art dari horor 70-an, sebab horor sekarang lebih banyak bersandar kepada jumpscare yang dengan cepat melepaskan penonton dari kengerian dengan memberikan sensasi lega yang seru, dan lebih puas dengan menutup misteri lewat pengungkapan twist. The First Omen, memang juga punya jumpscare – ada beberapa adegan tiba-tiba ada tangan mencolek bahu atau sebagainya – tapi adegan tersebut bukan didesain untuk wahana kita. Buktinya adegan tersebut tidak disertai bunyi ledakan atau musik yang bikin jantungan. Melainkan adegan kaget tersebut didesain lebih kepada  untuk karakternya, jumpscare tersebut masih berlaku dalam konteks persepsi si karakter yang semakin kacau sehubungan dengan apakah dia memang melihat hal yang gaib atau imajinasinya. “What’s happening to me, is that real?” teriakan batinnya tersebutlah yang sedang digambarkan oleh film ketika kita dibuat melayang ke atas kota dengan skoring kayak suara orang lagi berdoa yang sangat disturbing pada sebuah transisi, atau ketika kita melihat wajah Margaret diimposed kepada shot laba-laba, atau ketika Margaret menyaksikan peristiwa melahirkan yang supercreepy. Film terus menjerat kita ke dalam ketakutan Margaret yang bersumber pada kegelisahannya terkait tubuh dan kepatuhannya. Makanya aku salut banget sama Nell Tiger Free. Kupikir penampilannya di serial horor Servant udah paling keren, ternyata dia buktiin bisa membawa tipikal karakter yang tadinya polos jadi haunting ini dengan lebih terrific lagi. Range Nell luar biasa.. Dia bahkan sanggup membawakan adegan melahirkan di jalan – yang merupakan reference dari salah satu adegan horor ikonik yang ada pada film Possession (1981) – dengan vibe yang mirip dan bahkan lebih horrifying lagi.

Another brilliance perfomance yang gak bakal dilirik award gede karena… horor

 

Bahasan mengenai cult sesatnya pun, film ini tidak main-main. Bukan hanya soal pengungkapan mengagetkan bahwa pihak yang disangka baik ternyata jahat, Bukan cuma menyentil bahwa jemaat agama pada munafik. Film juga mengembangkan alasan, yang juga difungsikan sebagai lapisan karakter buat dunia tempat ceritanya dimulai. Roma di kala itu digambarkan penduduknya sedang krisis kepercayaan kepada authority. Dan pihak berwenang ataupun penguasa pada istilah tersebut tidak terbatas kepada pemerintah negara, tapi juga kepada pemimpin seperti pemuka agama. Inilah salah satu yang diubah sedikit oleh Stevenson. Karena pada cerita aslinya, kelahiran Damien merupakan ‘kerja’ dari pengikut AntiChrist, pengikut aliran sesat. Sedangkan pada film ini, kelahiran tersebut merupakan rencana dari pihak yang lebih kompleks. Pihak gereja yang memilih cara ekstrim dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap agama. Mereka sengaja menanam bibit setan supaya masyarakat berlindung kepada mereka. Tentunya, apakah pihak gereja itu masih ‘baik’ sekalipun langkah mereka jahat, atau mereka bisa dibilang memang sudah sesat karena memilih langkah itu, bisa membuat film ini jadi punya bahan perdebatan yang menarik. Bagaimana menurut kalian, silakan share pendapatnya di komen yaa

Terkutuklah pihak-pihak yang sengaja menciptakan kejahatan, supaya mereka bisa tampak mulia dengan memadamkan api yang mereka kobarkan sendiri. Sebenarnya yang dilakukan pihak gereja di film ini gak banyak berbeda dengan kebiasaan pemerintah ataupun publik figur kita sekarang. Suka sengaja ngomporin buat salah dulu, begitu udah viral baru bertindak atau minta maaf.

 




Tanda pertama sebuah film bagus adalah pada sepuluh menit pertamanya. Karena pada rentang itu, film akan menunjukkan kebolehannya, berusaha ngehook kita. Jika dia horor, maka dari sepuluh menit pertama kita akan ngerti horor semacam apa yang bakal jadi sajian utama. Sepuluh menit pertama, alias adegan pembuka film ini udah ngasih lihat horor modern yang berbeda cara berceritanya dengan kebanyakan horor sekarang. Set 70an, tema religi dan authority, kemudian gimana adegan seramnya berdasarkan revealing yang terbuild up dengan rapi dan matang sehingga kita terasa dicengkeram oleh ketakutan, paranoia yang melanda karakternya. Persis seperti yang dijanjikan pembukanya itulah film ini hingga akhir. Benar-benar sebuah pengalaman horor yang semakin ke sini semakin sukar dicari lawannya. Film ini bahkan punya ‘film imitasi’ yang bisa langsung kita bandingkan untuk pembuktian betapa langka dan rindunya kita sama horor dengan vibe dan penceritaan seperti ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE FIRST OMEN

 

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SIKSA KUBUR Review

 

“There is no truth, only who you choose to believe”

 

 

Horor-horor modern Joko Anwar, kuamati, cenderung tersiksa oleh narrative yang melemah. Karakter dengan development mengambang, bahasan atau gagasan yang mengawang, dan lantas mengirim kita pulang dengan ‘easter eggs’ instead. Aku sampe pernah membuat thread di Twitter soal protagonis di film-filmnya tersebut basically gak ngapa-ngapain, kurang ‘dihajar’, karena narrative yang tidak mencapai banyak selain keseruan wahana horor. My honest opinion; Joko Anwar desperately need to step up his writing. Sukur Alhamdulillah, usaha untuk peningkatan penulisan tersebut bisa kita rasakan pada horor terbarunya yang diset sebagai tontonan lebaran tahun ini. Siksa Kubur yang tadinya kupercaya sebagai pengembangan dari film-pendek yang dibuat Jokan tahun 2012 (dulu hits banget di Kaskus) ternyata berusaha menyajikan lebih. Bahasan mencoba lebih terarah kepada tema yang lebih jelas, yakni soal kepercayaan. Arahan yang pede menggiring bahasan agama tersebut sehingga tidak terkesan seperti horor-horor lain yang belakangan banyak beredar yang menjual ‘gimmick agama’ semata. Dan terutama sudut pandang protagonis utama yang kali ini benar-benar ditempa.

Kayaknya kita semua pernah, deh, punya hal yang kita percaya saat masih kecil, namun saat dewasa kita sadar yang kita percaya itu ternyata bohongan. (Like, aku dulu nyangka Kane dan Undertaker itu beneran kakak-adik, sampe bela-belain mendebat dan berantem ama teman). Nah, Siksa Kubur seperti berangkat dari soal kepercayaan tersebut, tapi tentunya dengan bahasan yang lebih serius, dan puteran yang lebih mencengangkan. Karena yang dipercaya Sita sedari kecil sejak dua orangtuanya jadi korban bom bunuh diri adalah bahwa agama justru membuat orang menjadi jahat. Bahwa agama cuma ‘alat’ atau alasan orang. Sepeninggal kedua orangtua, Sita dan abangnya, Adil, dibesarkan oleh pesantren. Di lingkungan religius itu pun, kepercayaan Sita bahwa agama cuma kedok menjadi semakin kuat. Sita tidak lagi percaya ajaran agama. Dia tidak mau, sebab pemimpin yang jadi donatur pesantrennya justru juga seorang pendosa yang melukai anak-anak, termasuk abangnya. Sita tumbuh besar dengan tekad untuk membuktikan kepercayaannya. Hal nyata yang bisa ia lakukan adalah dengan ikut masuk ke dalam kuburan, Sita ingin merekam bukti bahwa siksa kubur itu tidak ada. Jadi, di panti jompo itulah Sita dewasa menunggu. Menunggu pak tua yang menurutnya paling keji sedunia untuk mati supaya dia bisa segera melaksanakan pembuktiannya.

review siksa kubur
Siksa kubur Pak Wahyu? I was there.

 

Sita might be the most interesting Joko Anwar’s character so far. She’s so conflicted. She doesn’t even belief what she believed. Like, kita percaya pada agama, kita beriman, tanpa merasa perlu untuk bisa melihat wujud tuhan ataupun mukjizat religius yang lain. Kita seperti yang juga berulang kali disebut dalam dialog film ini; percaya berarti meyakini – tidak perlu melihat dengan mata, melainkan ‘melihat’ dengan hati. Dengan ini, berarti beriman adalah percaya tanpa perlu menuntut pembuktian kalo kita yang percaya itu adalah benar. Kita beriman kepadaNya justru karena kita percaya Dia-lah kebenaran in the first place. Sedangkan Sita, tragedi yang menimpanya membuat perempuan itu tidak percaya akan agama. Keluarganya justru terbunuh, menderita, oleh orang-orang yang percaya pada agama. Orang yang teriming-iming imbalan dari agama, orang yang takut terhadap ancaman/peringatan pada agama. Orang jadi leluasa jahat karena berlindung di balik agama; itu yang Sita percaya. Menurut Sita, moral justru terpisah dari agama. Bahwa dia, dan harusnya juga manusia lain, bisa berbuat baik sekalipun tanpa imbalan atau petunjuk agama. Namun iman Sita terhadap kepercayaannya ini masih lemah, karena berbeda dengan orang beragama yang tidak perlu membuktikan apa-apa terhadap kebenaran yang dianut. Sita justru ngotot untuk membuktikan kepercayaannya tersebut benar. Dia ingin masuk ke kubur, ingin menangkap bukti – yang juga sama conflictednya. Karena pertama, Sita ingin membuktikan siksa kubur – dan agama – itu tidak ada (sehingga perbuatan teroris bom bunuh diri yang menewaskan orang tuanya itu benar adalah kriminal bodoh yang tertipu suara rekaman siksa kubur palsu), tapi sebaliknya terlihat juga secercah harapan Sita untuk adanya siksa kubur karena ada dialog dia seperti frustasi menyebut jangan sampai orang sejahat Pak Wahyu saja terbukti tidak disiksa di dalam sana,

What if everything you believed turned out to be false? what if agama yang kita percaya cuma dongeng belaka? Gimana pula jika kita telah mati-matian percaya agama itu dongeng, tapi ternyata kepercayaan itu-lah yang salah? Enggak akan ada habisnya keraguan, dan di situlah masalah Sita. Dia gagal menyadari bahwa sebuah kepercayaan tidak membutuhkan pembuktian kebenaran. Yang harus dipelajari Sita dalam cerita ini adalah bagaimana membuat dirinya percaya pada apa yang ia pilih untuk percaya. 

 

Basically, yang dieksplorasi sebagai horor dalam film ini adalah state of mind dari Sita. Cara film melakukan itu pun sangat menarik. Sita seperti tegas tidak percaya pada hal gaib, baik itu tuhan maupun setan, tapi kemudian film mengontraskan itu dengan memperlihatkan bahwa pikiran Sita merupakan relung-relung kenangan dan harapan yang menyeleweng dari fakta. Kenangannya terhadap momen terakhir bersama orangtuanya, misalnya, kita saksikan sendiri kenangan Sita itu slightly berbeda dengan peristiwa ‘asli’ kejadiannya. Ketidakstabilan state Sita yang membuatnya menjadi unreliable sekaligus vulnerable, menambah banyak pada elemen horor psikologis film ini. Untuk memperkuat kesan surealis (film membidik ke vibe yang terasa calm, kalo gak dibilang slow, sebagai kontras dari kecamuk kepercayaan yang dirasakan Sita), film menerjunkan kita ke dalam cerita lewat kamera yang bergerak di tengah-tengah dunia. Teknik yang menghasilkan kesan immersive sekali, juga tentunya ampuh saat sekali-kali film berniat mengagetkan kita lewat jumpscare. Struktur cerita pun didesain demikian horor. Meskipun jika kita menghitung durasi, naskah film ini clocked out right on time – point of no return-nya tepat di tengah durasi saat Sita masuk kubur, misalnya – tapi alur yang dibuat linear itu sengaja dipatah-patah oleh, misalnya, skip waktu antara Sita kecil ke Sita dewasa, atau antara mana yang realita dan mana yang surealis (yang sampai review-telat ini ditulis pun batas realita film ini masih seru, santer diperdebatkan di linimasa).

Kesan immersive dalam dunia surealis tersebut salah satunya terjaga lewat penampilan akting yang benar-benar terasa berkesinambungan. Lihat saja bagaimana Reza Rahadian sebagai Adil dewasa ‘meneruskan’ nada maupun gestur weak dan awkward dari Muzakki Ramdhan (weak awkward yang diniatkan karena karakter Adil yang abang dari Sita ini punya wound personal sendiri). Karakter-karakter orang tua di panti jompo, ataupun guru-guru di pesantren, semuanya aktornya paham untuk menampilkan kesan ganjil tersendiri.  Salah satu kritikanku buat horor modern Joko Anwar adalah protagonisnya kurang ‘disiksa’; di film ini, aku tidak lagi jadi kaset rusak karena Sita benar-benar dipush out of her limit. Baik itu Widuri Puteri maupun Faradina Mufti, dapat ‘jatah’ masing-masing untuk mengeksplorasi ketakutan psikis yang didera Sita dalam tahap usia masing-masing.  Mana film tepat banget mengclose up  Sita saat teriak-teriak tobat. Sita terutama akan terasa perkembangannya saat di pertengahan awal dia seperti lancar memegang kendali, tapi di pertengahan akhir semuanya tampak menganeh dan spin out of her control.

Konsep neraka-personal film ini versi lebih calm dari episode terjebak di lubang ketakutan di ‘Fear No Mort’ Rick and Morty

 

Untuk menjelaskan kelogisan dari hal-hal aneh dan di luar kendali Sita setelah dia mencoba masuk ke liang lahat dan merekam jenazah Pak Wahyu, film tampak menggunakan konsep yang serupa dengan yang ada pada film Jacob’s Ladder (1990) atau Stay (2005)-nya Ryan Gosling. Bahwa semua itu terjadi di dalam kepala karakter yang sedang sakaratul maut. Jadi Sita debat dengan Adil, Sita melihat salah satu kematian orang tua di panti, kasus selingkuh di panti yang berujung pembunuhan, semuanya hanya terjadi di dalam kepala Sita yang sedang dikubur hidup-hidup bernapas bermodalkan pipa. Bukinya beberapa dialog film ini menyebut soal kekurangan oksigen dapat mengakibatkan halusinasi. Dan inilah yang membedakan penerapan konsepnya dengan Jacob’s Ladder ataupun Stay. Karena di dua film tersebut jelas kapan momen kritis dan nasib sang protagonis. Sedangkan film Siksa Kubur yang mengelak dari potensi dikecam me-reka sesuatu yang tidak seharusnya dibayangkan oleh manusia beragama, membuat sampai akhir semuanya tetap ambigu. Kendati Sita ‘dilock’ mati oleh naskah pun, film tetap mengaburkan kapan exactly matinya Sita. Adegan siksa kubur yang ujug-ujug over the top itu (mendadak jadi lebih seperti vibe chaos Evil Dead ketimbang tone atmosferic dan slow yang di awal konsisten dibangun film – sampe jadi kayak video karaoke lagu reliji segala!) bisa ‘berlindungi di balik alasan toh gambaran itu masih ambigu nyata atau tidaknya, benar atau salahnya, karena perspektif realita Sita yang dikaburkan.

Dari perbedaan keadaan untuk menerapkan konsep dan perspektif yang harus dikaburkan itulah muncul sedikit masalah pada arahan/penceritaan film ini. Karena di dalam ‘vision-kubur’ Sita (kita sebut saja begitu) juga terdapat perspektif Adil. Jadi semuanya nyampur dan film seperti kehilangan pegangan sehingga bergerak keluar dari perspektif dan jadi lebih seperti untuk bermain dengan penonton directly saja. Film seperti memuat development Adil ke dalam perspektif Sita, meskipun mustahil bagi Sita mengetahui apa yang terjadi kepada abangnya. Kayak soal ular yang mendekati Adil di atas makam aja, film went off memperlihatkan ular tersebut merayap melewati Adil (untuk petunjuk bagi penonton) dan kemudian Adil muncul dengan mata bengkak. There’s no way Sita tahu di atas sana Adil sedang didekati ular, sehingga mustahil juga untuk dia bisa menghalusinasikan Adil menyelamatkannya dengan kondisi seperti habis diserang ular. Jikapun adegan tersebut ternyata nyata, maka itu berlawanan dengan ‘rule film’ soal Man Rabbuka yang didengar Sita setelah escape tersebut (bahwa adegan escape tersebut supposedly terjadi saat Sita meninggal). Sebenarnya yang rugi di sini adalah Adil, karena film udah extra menginclude dirinya, tapi kemudian jadi kabur begitu saja karena film harus stay pada ambigunya perspektif Sita. Yang turut terasa extra sebenarnya banyak, seperti Ismail, seteru kecil Sita dengan keluarga Pak Wahyu, hingga panti jompo itu sendiri. Kepentingannya sebenarnya bisa kita pahami, mereka jadi elemen dalam development Sita (menunjukkan Sita soal tadinya dia pegang kendali, menunjukkan apa yang harus dia pelajari/lakukan, dsb), tapi yang mengganjal adalah kenapa film tidak tetap di pesantren. Semua aspek extra tersebut tampak masih bisa dilakukan, goal film terhadap development karakternya masih bisa tercapai, tanpa Sita (dan Adil) melompat sejauh itu.

 

 




Mungkin film tidak mau terpaku pada konteks satu agama tertentu? Mungkin juga, karena salah satu yang menarik dari film ini adalah memang identitas karakternya adalah Islam tapi dialog-dialog bahasan soal kepercayaan yang relate dan tidak mengunci pada satu ajaran saja. Mungkin seperti Sita, film ini ingin ‘menjauh’ dari agama. Namun pilihan film tersebut tidak serta merta bisa kita judge sebagai hal yang salah. Karena pilihan tersebut dijustifikasi oleh bahasan psikologis yang cukup eksplorasi. Dialog yang baik adalah dialog yang seperti pembicaranya terlibat pertikaian serang dan defense, dan di film ini Sita terus didera perdebatan soal kepercayaannya. Ini membuat kita juga ikut masuk dan peduli. Untuk setelahnya arahan horor yang sedari tadi merayap, mengambil alih dan menghantarkan kita sampai ke finale yang ambigu. Bentukan dan karakter yang hebat untuk sebuah horor psikologis yang surealis. Usaha yang patut diapresiasi, karena kali ini film Joko Anwar tidak semata nyerocos soal easter eggs dan reference, tapi benar-benar ada usaha untuk ngasih something deeper untuk dibicarakan. Aku terutama tertarik dengan karakter utamanya, si Sita yang menyita perhatian.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SIKSA KUBUR.

 




That’s all we have for now.

Apa kalian punya hal yang dulu kalian percaya tapi sekarang terbukti bahwa hal itu palsu?

Silakan share cerita dan pendapat di komen yaa

Yang pengen punya kaos Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



BEAU IS AFRAID Review

 

“The mother-child relationship is paradoxical and, in a sense, tragic.”

 

 

Lagu Kasih Ibu kalo dinyanyiin oleh Beau dari film horor terbaru Ari Aster ini, pasti jadi agak laen. Karena memang di film ini, Ari Aster menyorot gimana hubungan ibu dan anak yang mestinya sweet dan menghangatkan bagai sang surya menyinari dunia ternyata bisa jadi seperti perjalanan berlayar yang menakutkan. Di cerita ini, air yang Ari lambangkan sebagai kasih ibu. Air, yang jadi sumber kehidupan, yang jadi ketergantungan bagi Beau, dan yang juga nanti jadi tempat kembalinya. Dan perjalanan Beau mengarungi semua itu, juga bukan sebuah perjalanan yang mudah dan menyenangkan bagi kita yang menonton. Karena memang Pak Sutradara ingin mencemplungkan kita ke dalam perasaan yang dialami oleh karakternya. Malahan, film ini merupakan salah satu film yang paling bikin bingung dari semua film yang pernah kita tonton dan bahas di sini. Beau takut. Dan hal penting yang ingin ditegaskan oleh film ini adalah, bahwa takut itu bukan semata kepada ibunya. Melainkan juga, gara-gara sang ibu.

Dunia aneh si anak mami

 

Yang bikin film ini ekstra njelimet untuk dimengerti adalah treatment Ari Aster terhadap dunia ceritanya. Jika biasanya film-film memisahkan dengan jelas mana porsi realisme dengan sureal/fantasi pada cerita, maka Beau is Afraid enggak takut untuk mengaburkan batas tersebut.  Inner dan outer journey yang dilewati oleh Beau sama-sama perumpamaan. Metafora.  Cerita ditembak dari sudut pandang Beau, tapi masalahnya personal state, pikiran si Beau itu sendiri tidak dipastikan dengan jelas oleh film. Oleh film, justru ketidakpastian state of mind si Beau tersebut yang dijadikan pengalaman horor. Kita tahu film meniatkan demikian dari adegan pembuka yang begitu sureal, kamera diposisikan sebagai mata Beau yang masih bayi, ditarik keluar oleh dokter dari dalam perut ibunya. Tidak ada seorang pun yang ingat gimana pengalaman dilahirkan, tapi di sini Beau tahu. Di adegan tersebut Beau tidak terdengar menangis, dan lalu dia mendengar sedari dia lahir ibunya sudah demanding supaya bayi Beau menangis. Karena begitulah seharusnya bayi bertindak.

Pada adegan berikutnya kita melihat Beau sudah dewasa – like di umur 40an atau sekitarnya – dan dia sedang bersama seorang therapist. Untuk masalah apa dia di sana, dengan cepat disiratkan oleh ponsel yang bergetar. Ibu menelepon. Beau menatap ponsel tersebut. Tidak menjawab. Menahan napas. Kupikir, satu-satunya adegan yang bisa kupastikan ‘nyata’ di sini, adalah adegan di ruangan therapist ini. Saat Beau menyebut dia disuruh pulang oleh Ibu, untuk mengenang hari kematian Ayah. Dan si therapist  yang menanyakan perasaan Beau atas kepulangan ini. Pria yang duduk berseberangan dengannya itu jelas punya mommie issue. Pria dewasa yang merasa tercekat hanya oleh panggilan dari ibunya. Kita tahu Beau sebenarnya lebih memilih untuk tidak kembali. Aku percaya kejadian aneh yang menyebabkan Beau bangun telat dan nanti akhirnya malah jadi tidak bisa ke bandara sebenarnya memang tak terjadi. Aku setuju dengan ibunya yang bilang semua itu hanya akal-akalan Beau yang enggan pulang (tapi Beau gak berani bilang). Makanya film nanti menaikkan stake dan urgensi dengan membuat sang ibu tahu-tahu ditemukan meninggal dunia. Beau jadi harus pulang mengurus pemakaman. Perjalanan Beau pulang nanti akan jadi tontonan yang benar-benar aneh untuk kita saksikan. Terlebih ketika nanti dia akhirnya sampai di rumah. Film benar-benar meleburkan batas mana yang nyata dan yang tidak. Kejadian yang membingungkan, ditambah karakter yang psikologisnya enggak benar-benar jelas, membuat Beau is Afraid jadi disturbing dan hard to watch.

Tapi di situlah tantangannya, kan? Di situlah letak menariknya film ini. Karena ada begitu banyak lapisan dan tragedi yang bisa kita ungkap. Ya, aku menyebut tragedi karena hubungan antara ibu dan anak memang dapat menjadi sebuah paradoks yang tragis, Seorang ibu harus mencintai dan menyayangi anaknya dengan begitu intens dan tanpa sarat, supaya si anak bisa tumbuh dewasa sebagai anak yang mandiri. Tragis, karena gak semua ibu menyadari itu. Beberapa dari mereka jadi seperti ibu Beau. Anaknya sudah segede itu tapi gak pernah benar-benar menjalani kehidupannya sendiri.

 

Efek dari pola pengajaran ibu yang salah dan terlalu over-lah yang menyebabkan Beau melewati ‘petualangan’ absurd mengerikan. Orang-orang aneh yang ada di sekitar apartemen Beau – si bertato yang mengejarnya, pria flamboyan yang menari-menari di jalan, kakek tak berbusana yang menusuki orang dengan pisau – menurutku orang-orang itu tidak nyata. Atau setidaknya tidak benar-benar bertindak seperti itu. Mereka seperti itu di mata Beau karena begitulah Beau memandang dunia tanpa ibunya. Dunia yang aku percaya digebah ibu kepada Beau saat dia bilang mau tinggal sendirian. Tempat yang berbahaya. Kita waktu kecil mungkin ada yang sering ditakuti-takuti oleh ibu supaya gak main keluar sendiri, kayak, dibilangin bahwa ada orang gila di ujung jalan, atau ada penculik anak di mobil jeep (most of my classmates dulu percaya mobil gede seperti itu adalah mobil penculik, karena ibu mereka yang terpengaruh acara tv bilang demikian). Begitulah menurutku yang terjadi pada Beau di awal film. Meski memang gak ada adegan atau dialog yang menyebut ibunya menakuti Beau dengan cerita seperti itu, tapi toh ada bukti bahwa ibu memang melakukan trik semacam itu kepada Beau. Ada sekuen yang menggambarkan Beau merasa takut berhubungan badan karena dari flashback, ada momen ketika ibunya menceritakan kepada Beau bahwa ayah meninggal saat proses ‘membuat’ dirinya. Bahwa kematian seperti itu sudah turun temurun di keluarga Beau yang laki-laki.

Momen-momen yang sepertinya real (setidaknya berakar dari kejadian real) film ini datang sekelebat dari flashback-flashback setiap kali Beau pingsan, entah itu karena kepentok dahan saat berlari atau saat gelang di kakinya meledak. Adegan film ini memang seabsurd itu. Petunjuk-petunjuk kecil dari kilasan adegan itulah yang jadi puzzle untuk kita susun demi mengetahui gimana hubungan Beau dengan ibu yang sepertinya seorang wanita karir mendiri dan punya isu tersendiri dengan pria. Beberapa adegan menunjukkan Beau dianggap melawan tatkala pria itu menunjukkan otonomi atau kehendaknya sendiri. Ada adegan membingungkan saat Beau masih kecil, yang direkam dengan seolah Beau ada dua orang. Beau yang berani, dan Beau yang penurut. Beau yang pemberani – ngotot menanyakan perihal ayah – disuruh ibu ke loteng dan dikurung di atas sana untuk selamanya. Adegan ini menyimbolkan kerasnya ibu terhadap sikap kritis Beau. Atap jadi tempat pengasingan – karena di atas sana jugalah Beau nanti akan bertemu dengan sosok yang ibu bilang adalah ayahnya. Dan sosok tersebut akan benar-benar sinting, sehingga terkesan konyol. Mengerikan, tapi konyol.

Yang mengingatkanku pada satu cerpen Kompas berjudul ‘Menggambar Ayah’ yang dari dulu pengen sekali kujadiin film pendek

 

Efek visual dan artistik yang dilakukan oleh film ini memang punya range yang cukup luas. Kadang sekilas terasa kurang konsisten, tapi itu hanya karena efek tersebut menghasilkan tone yang membuat kita lupa sama feeling yang berusaha disampaikan. It’s bound to happen pada film yang memang punya banyak kejadian absurd seperti film ini. Setelah pengalaman mengerikan semacam home invasion, Beau juga ngalamin sensasi diculik, lalu dia menonton teater yang dia rasa mirip sama hidupnya sendiri (yang tergambar kepada kita lewat visual dengan animasi), dikejar-kejar oleh maniak medan perang (yang bikin film kayak survival thriller), dan tentu saja momen ketemu makhluk di atap tadi, yang udah kayak horor creature.

Sesungguhnya semua kejadian outer tersebut punya maksud sebagai simbol tersendiri. Ari Aster menegaskan pengaruh pengasuhan seperti yang dilakukan oleh ibu kepada Beau ini bukan hanya dari gimana Beau memandang peristiwa, tapi juga dari gimana kejadian-kejadian itu membentuk pengalaman yang mencerminkan tahap pertumbuhan yang mestinya dilalui Beau sedari kecil. Tapi mungkin tidak pernah kejadian, karena Beau waktu kecil sangat penurut sehingga jadi lemah. Dan sekarang, Beau harus mengalami semua urutan pertumbuhan tersebut. Bagian di apartemen tadi, misalnya. Ini state seperti anak kecil yang gak berani keluar sendirian. Setelah akhirnya (terpaksa) berani ninggalin rumahnya, Beau, tinggal di rumah pasangan yang menyelamatkannya, tapi pasangan itu mulai mencurigakan, melarang Beau pergi, dan mereka punya anak remaja yang gave them hard times. Ini basically menggambarkan state saat remaja, Beau harus berani memberontak dari aturan-aturan. Ketika kemudian Beau sampai di perkumpulan teater hutan, ini adalah bagian dia di tahap pertumbuhan dewasa. Beau menonton show yang membuat dia membayangkan punya keluarga. Punya anak-anak yang mirip dengannya. Dan ini jadi plot poin berikutnya bagi Beau, karena di balik dia sadar desirenya sebagai manusia untuk punya pasangan dan settled, dia juga tersadar dia mungkin mirip ayah – or worse, ibunya. Ketakutan Beau telah banyak terhimpun, dan siap meledak saat dia sampai di rumah. Ini fase tua yang harus dialami Beau. Film menggambarkan ini dengan paranoia, karena diungkap ternyata ibu mengendalikan semua hidup Beau. Bahwa semua produk-produk yang dipakai Beau selama ini adalah produk dari bisnis ibunya. Konfrontasi terakhir Beau dengan ibu di pengadilan tengah laut itu jadi puncak pembelajaran Beau, yang merasa dirinya telah berani stand up for himself. But the mental damage has been done, kita pun melihat ending yang circled back ke kejadian yang dilihat Beau di jalanan pada awal cerita. Kapal terbalik milik anak yang berani gak nurut kepada ibunya.

 

 




Masih banyak lagi sebenarnya momen-momen ganjil yang ditampilkan oleh film ini, yang pastinya menarik untuk kita tonton dan kaji ulang. Meskipun memang aku sendiri ragu, aku bakal berani untuk mengulangi lagi perjalanan Beau dalam waktu dekat. Mungkin harus nunggu beberapa minggu dulu hahaha… Karena memang film ini seaneh dan se’hard to watch’ itu. Penampilan aktingnya sih sangat oke, Joaquin Phoenix sebagai Beau tampak paham betul apa yang dilalui karakternya. Aktingnya gak sebatas ekspresi, tapi juga fisik, karena di sini Beau bakal luka-luka yang cukup parah, dan Joaquin komit, dia tahu persis cidera karakternya itu bermakna sesuatu terhadap perjalanan dan state sang karakter itu sendiri. Film ini menargetkan kita untuk merasakan yang dialami oleh karakternya yang bisa dibilang loser dan penakut dan lemah, dan dengan jadi seperti begini, film ini sukses mengenai target itu. Petualangan Beau bukan pengalaman yang menyenangkan untuk ditonton. Sepertinya tidak ada yang nyata, melainkan gambaran gimana si karakter mencerna dan menyadari momok personalnya. Ini adalah perjalanan konyol tapi mengerikan yang seharusnya tidak pernah dialami oleh orang-orang nyata. Karena kita mestinya berani. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BEAU IS AFRAID.

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian anak seperti Beau memang pantas untuk mengantagoniskan ibu mereka? Apakah kalian punya teori atau penjelasan lain tentang film ini?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



INSIDE Review

 

“The art challenges the technology, and the technology inspires the art”

 

 

Tentu saja kita akan menyelamatkan seni.  Like, para sinefil di Twitter bilang mereka menjaga kemurnian sinema. Para kritikus mengulas film supaya orang-orang bisa melihat film dari nilai seninya, bukan hiburan semata. Nemo di film Inside ini bilang dia bakal menyelamatkan sketchbooknya dibanding kucing, koleksi CD, atau bahkan orangtuanya, kalo rumahnya kebakaran. Dengan alasan yang bisa kumengerti mengingat akupun biasanya mengangkut buku sketsa ketimbang pakaian kalo hendak bepergian. Takut ketinggalan. Kita begitu menjaga seni karena we all are decent and sophisticated human being, after all. Kita merasa seni itu berharga. Kita tahu seni itu berharga. Jikapun tidak, at least kita bisa menghitung seni laku dijual dengan harga tinggi. Tapi, apakah sebaliknya, seni dapat menyelamatkan kita? Jika seperti Nemo, kita terperangkap di rumah orang kaya yang penuh barang seni, bisakah kita bertahan hidup dengan mengandalkan barang-barang bervalue tinggi tersebut? Begitulah premis thriller ruang tertutup karya Vasilis Katsoupis ini. Bukan hanya soal terperangkap dan bertahan hidup, melainkan menekankan pada telaah seberapa besar sebenarnya value interaksi sosial, teknologi, dan juga seni pada hidup kita.

Nemo yang kusebut tadi adalah protagonis cerita. Lantaran sejak kecil sudah menghargai seni, Nemo kini tumbuh menjadi pencuri, spesialis barang-barang seni. Penthouse mewah jadi sasarannya kali ini. Nemo menyusup lewat balkon dan berhasil menggasak beberapa lukisan, sebelum langkahnya terhenti oleh sistem keamanan. Nemo terperangkap, semua akses terkunci, dia gak bisa kabur. Tapi nasib Nemo bakal lebih buruk daripada tertangkap polisi. Penthouse itu ditinggal untuk waktu yang lama sehingga hanya ada sedikit sekali makanan di sana. Gas dan air tidak menyala sama sekali. Opsi yang terbatas banget itu diperparah oleh sistem suhu yang secara random bikin cuaca di dalam sana berubah dari panas ke dingin ekstrem. Nemo harus menggunakan akalnya untuk menciptakan sendiri jalan keluar, sembari mikirin cara buat bertahan hidup. Sebab semakin lama di sana, fisik dan mentalnya jelas semakin berkurang.

Relate banget nonton siang-siang pas bulan puasa; kebayang rasanya haus sampai pengen jilat bunga es di kulkas

 

Desain produksi film ini really did a great job untuk menunjang ide menarik yang disajikan. Penthouse yang berisi barang-barang mewah itu di satu sisi berhasil dihadirkan begitu classy dan memikat kayak isi dalam sebuah spaceship mutakhir, tapi di sisi lain juga terasa benar-benar cuek, dingin, persis kayak anak tajir komplek yang sombong abis. Kita akan ikut bersama Nemo ‘mempelajari’ apa-apa saja yang bisa dilakukan oleh tempat itu. Sebagian dari mereka ada pajangan seni, yang gak dicolong Nemo akan tergantung di dinding melengkapi dinginnya tembok. Sebagian lagi adalah benda-benda yang akan diutak-atik oleh Nemo, dijadikan alat untuk survive. Mulai dari akuarium hingga bak mandi super besar sehingga kayak kolam kecil sendiri, semua benda yang kita lihat akan digunakan dalam cerita. Akan ada ‘fungsinya’ masing-masing bagi Nemo. Jadi, menariknya film ini memang datang dari gimana Nemo berusaha survive dengan alat seadanya. Yang ironisnya adalah, alat-alat itu sebenarnya jauh dari ‘seadanya’, karena mereka alat-alat canggih, namun tetap saja alat-alat itu gak bisa membantu Nemo yang terperangkap, kecuali Nemo berhasil memikirkan cara untuk membuat mereka menjadi something else. Di paruh akhir, film juga menawarkan sedikit ‘misteri’. Lukisan self-portrait yang jadi alasan utama Nemo mencuri ke sini, ternyata tidak tergantung pada tempatnya, melainkan ada di suatu ruangan yang lain. Sebuah ruangan rahasia. Film lantas masuk ke ranah vibe yang lebih dreamy dan sureal, dan ini selaras state of mind Nemo yang juga mulai – katakanlah – sinting.

Penthouse itu memang lantas menjelma jadi simbol-simbol yang memfasilitasi gagasan cerita, soal seni dan teknologi bagi manusia. Buat Nemo, dua value ini seperti bertentangan. Menurutnya orang kaya hanya melihat seni sebagai uang, dan mereka gak pantas untuk uang tersebut karena gak tau value yang sebenarnya. So he steals them. Tapi langkah Nemo terhenti oleh teknologi canggih yang didapat dari uang. Terjebak dalam penthouse itu sesungguhnya jadi pengalaman yang nyaris seperti spiritual bagi Nemo, karena dia jadi dapat melihat value seni dan teknologi sebenarnya bergantung pada manusianya.

Jika teknologi adalah Tuhan, dan seni adalah Dewa, maka Nemo menolak menjadi boneka. Nemo adalah pendosa yang menghancurkan semua dan membuat sesuatu yang baru dari mereka. Sesuatu yang akan membuatnya mencapai surga.

 

Dengan durasi nyaris seratus menit, film ini memang berjalan agak lambat. Tapi film tidak hadir dengan total nada filosofis, tidak berat, justru tampak beberapa kali berusaha menjadikan tonenya ringan. Tentu, bisa dibilang dirinya sendiri adalah film seni, tapi kupikir, penonton casual masih akan bisa menikmati film ini. Shot-shotnya yang intens akan diimbangi oleh usaha-usaha dan kegiatan Nemo di dalam sana. Akan ‘dilunakkan’ oleh elemen-elemen yang dipilih oleh film untuk menyimbolkan gagasan. Misalnya, lagu Macarena. Kan receh tuh, lagunya hahaha… Jadi kulkas di rumah ini akan memainkan lagu Macarena setiap kali pintunya terbuka lebih dari beberapa detik, sebagai semacam alarm untuk menutup pintu kulkas. Like, biasanya kan kita masang musik yang paling annoying sebagai alarm, supaya bisa cepat terbangun (buat matiin musik tersebut). Jadi sebenarnya masang Macarena buat ngingetin kulkas – tempat menyimpan makanan dan minuman biar selalu dingin dan segar – itu adalah statement dari si orang kaya pemilik penthouse bahwa itu lagu lowclass. Kami tidak mendengar lagu itu di rumah ini. Kocaknya, si Nemo yang selera seninya tinggi itu awalnya juga terganggu sama lagu Macarena. Tapi lama-kelamaan dia malah suka lagunya. Semacam kayak adegan kocak Emma Stone di Easy A (2010) yang jadi suka sama lagu “pocket full of sunshine” dari kartu yang dikirim neneknya. Kulkas akhirnya dibiarin terbuka oleh Nemo. Dia ikut berdendang sembari merasakan aura dingin kulkas bikin adem ruangan. Nah, adegan Nemo dan Macarena itu seems to indicate bahwa kita tu ya kadang terlalu berpura-pura. Setinggi apapun kita value art, tapi kalo asalnya selera kita receh, ya receh aja. Kita boleh kok suka receh, sambil tetap bisa ngehargain mana yang bagus.

Gagasan-gagasan, komentar-komentar yang dikandung tersebut sebenarnya enggak berjalan semulus itu ketika digabungkan sutradara ke dalam satu narasi. Inside tidak tertampil semenarik hal yang ia bicarakan. Tempo yang lambat itu jadi lebih condong ke membosankan lantaran momen-momen Nemo mencoba survive terasa dipanjang-panjangkan reaksinya. Nemo meringkuk setelah gagal, misalnya, feelingnya kena mendalam, tapi kita gak perlu sering-sering melihat ini. Simbol-simbol itu jadi menghalangi kita dari Nemo sebagai person. Membuat film jadi dingin. Film harusnya lebih menekankan kepada si manusia, yang berusaha bikin art dalam keadaan terdesak, only to realize art itu gak actually bisa langsung membantunya. Momen-momen seperti Nemo ngarang cerita/nama dari orang-orang di apartemen bawah yang ia tonton di CCTV – gimana dia jadi ngerasa punya koneksi dengan si cleaning lady, momen Nemo pretending dia sedang suting acara masak, mestinya momen-momen itu yang dibanyakin. Supaya kita tetap diikatnya ke personal karakter, karena bagaimana pun juga ini kan cerita tentang manusia yang terperangkap. Hati cerita bisa lebih kena kalo fokusnya di Nemo sebagai manusia.

Tagline film ini bisa diartikan jadi ‘Sebuah pagelaran sepi”

 

Lagian, udah dapat aktor sekelas Willem Dafoe, ya gak maksimal dong kalo enggak banyak dikasih momen-momen yang ‘edan’. Dafoe di sini, monolognya aja keren banget. Aku nunggu-nunggu Nemo mau ‘ngayal’ apa lagi, karena pengen lihat delivery Dafoe. Gimana dia ngetackle perasaan sepi dan hopeless yang makin besar menggerogoti karakternya ini. Moralnya terus ditantang. Lihat aja pas akhirnya dia harus makan ikan hias di akuarium. Selain itu, Dafoe juga harus akting fisik. Nemo yang cakap dengan perkakas gradually makin lemah, dia terluka. Intensitas fisik setiap tantangan yang Nemo lalui berhasil terdeliver oleh Dafoe. Inside ini memang jadi show dirinya sendiri. Dafoe bisa dibilang perfect buat mainin Nemo, tapi film ini seperti terlalu bergantung kepada itu. Dan malah jadi sedikit kekurangan. Kenapa? Karena ini cerita tentang orang terperangkap, yang tentunya makin hari kegilaan semakin naik. Orang yang makin embrace sisi barbar dirinya. Itu transformasi Nemo secara garis besar. Dan transformasi itu kurang nendang pada Willem Dafoe yang udah sering imagenya ke karakter semacam somekind of a psycho. Kurang nendang karena kita sudah expected itu sedari awal melihat dirinya.  Fisiknya juga udah ‘renta’ sedari awal. Willem Dafoe meranin dengan sangat baik, tapi jadi tidak ada ‘surprise’, sehingga aku ngerasa mungkin bisa lebih nendang kalo saat dijadikan Nemo ini, si Dafoe imagenya atau at least penampilan karakternya dibikin lebih sophisticated dulu, supaya efek karakter yang menjadi ‘gila’nya lebih kerasa.

 

Inside berakhir dengan open-ended. Namun untuk spoiler; teoriku soal ending adalah Nemo akhirnya mati terjun dari rooftop. Karena aku ngerasa journey Nemo bukan hanya soal dia keluar dari penthouse tapi juga soal dia membebaskan diri dari pandangannya. Pengalamannya di dalam sana menyadarkan dia bahwa dia memandang seni sama seperti si orang kaya memandang teknologi. Nemo gak mau jadi boneka. Jadi dia menghancurkan semua dan membuat karya seni terakhir sebagai alat untuk membebaskan jiwa. Nemo damai setelah berhasil melakukan semuanya.

Dengan ini, berarti dua kali dalam sehari ini aku nonton cerita yang tempat/rumahnya benar-benar dijadikan karakter dan juga melibatkan karakter yang bunuh diri di lantai atas. Film Inside ini, dan season terakhir serial Servant. Gila serial itu ternyata punya konklusi yang benar-benar kuat elemen psychological thrillernya. Kalian bisa nonton serial itu, full di Apple TV+. Buat yang mau langganan, bisa klik dari sini sajaaa https://apple.co/40MNvdM 

Get it on Apple TV

 

 




Rasanya udah cukup lama juga gak sih, ada film yang kayak gini? Padahal sebenarnya aku lebih suka film tertutup dan simbolis kayak gini ketimbang film-film universe yang gede-gede banget. Karena biasanya film kayak gini karakternya lebih mudah terkoneksi pada kita, lewat cerita perjuangan yang lebih personal. Film ini punya itu semua, ditambah pula dengan aktor yang sepertinya perfect buat role ini. Kita hanya butuh film ini melakukan hal-hal itu dengan lebih banyak lagi, lebih difokuskan lagi. Soalnya film ini agak terlalu menekankan kepada apa yang harus dilakukan karakternya, ketimbang si karakter itu sendiri. Dengan fokus pada kejadian, sedangkan temponya lambat dan lebih tepat pada cerita yang berfokus pada karakter, nonton film ini jadi terasa agak membosankan, agak repetitif. Seakan kita pengen memotong dan mempersingkatnya sendiri. Salah satu bukti film ini mengalihkan kita dari karakter karena terlalu ke kejadian adalah transformasi si karakter itu tidak terasa benar-benar nendang.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for INSIDE

 




That’s all we have for now.

Apakah teknologi bisa disebut sebagai sebuah seni?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



PUISI CINTA YANG MEMBUNUH Review

 

“Art comes from joy and pain… But mostly from pain.”

 

 

Aku terus kepikiran sama adegan pembuka film Puisi Cinta yang Membunuh. Aku merasa ada kemiripan antara yang dibikin oleh Garin Nugroho dengan yang dilakukan oleh Ingmar Bergman pada sekuen pembuka Persona (1966), yang ada anak kecil membelakangi kita nyentuh layar sinema, dengan close up wajah perempuan. Pada pembuka yang kompleks tersebut – Bergman udah kayak nyeritain sejarah singkat gambar-bergerak – hal terasa out-of-place tapi sekaligus terasa benar mewakili apa yang ingin disampaikan pada cerita utuhnya kemudian. Bergman ingin kita menatap langsung dan personal karakter perempuan dalam cerita, bahwa cerita perempuan ini adalah soal image yang tertangkap. Garin Nugroho memang tidak se-elaborate itu menyuguhkan opening Puisi Cinta yang Membunuh. Justru jauh lebih sederhana, tapi bobot dan kepentingannya dalam melandaskan tema terasa sama. Garin memperlihatkan kepada kita Mawar Eva de Jongh (saat itu tentu saja kita belum tau karakter yang ia perankan siapa) berdiri di tempat yang sepertinya studio foto, menghadap kita, mengangkat kamera sedada, dan bilang kepada kita penontonnya bahwa seni bisa menyembuhkan dan juga bisa membunuh. Aku terus kepikiran akan adegan ini karena menurutku Garin accomplished so much dengan pembuka ini. Seketika dia melandaskan tema dualitas yang nanti membayangi narasi cerita. Seperti kamera yang kini di depan kita, tidak lagi melihat bersama kita; Seketika Garin menantang kita untuk melihat berlawanan. Melihat sisi yang biasanya tidak disorot. Gimana jika membunuh, melukai, adalah proses seni. Gimana jika kriminal ternyata ‘hanya’ pergulatan dengan trauma. Gimana jika hantu bukan lagi untuk ditakuti, melainkan untuk dikasihani?

Dalam filmnya sebelum ini, Garin membahas trauma punya jejak pada tubuh. Trauma masa lalu dapat tergambar dalam gerak tubuh seseorang di sepanjang hidupnya. Seseorang yang punya trauma akan mengekspresikan itu di dalam kesehariannya; luka-diri itu lantas jadi seni. Untuk bertahan dan menguatkan diri. Gagasan itu dibawa ke luar oleh Garin kali ini. Ketika seni tersebut tidak lagi semata untuk diri sendiri, melainkan juga untuk dishare kepada orang lain, maka itu juga berarti trauma dan sakit yang dirasakan juga ikut terhantar – ikut dikenai – kepada penikmatnya. Itulah ketika puisi dapat membunuh.

 

Seketika film Garin ini jadi berbahaya. Menyorot gagasan bahwa tindak kriminal, aksi pembunuhan, bisa dipandang sebagai suatu perwujudan puitis. Jikalau gagasan ini dibicarakan dalam suatu diskusi umum, mungkin memang sinting, Nyeleneh. Tak dapat diterima. Mana ada yang mau disuruh melihat perbuatan keji sebagai karya berbudaya. Namun tempat Garin membicarakan ini adalah film. Sendirinya adalah seni. Toh, Garin bukan sutradara pertama yang menyoroti cahaya begini kepada soal perilaku kekerasan. Perbandingan terkini yang lantas melintas di kepalaku adalah Lars von Trier yang tahun 2018 lalu membuat film The House That Jack Built. Diceritakan di situ Jack menganggap pembunuhan yang ia lakukan sebagai kegiatan seni rupa. Jack membuat berbagai karya dari mayat-mayat korbannya. Mulai dari dompet, hingga, ya rumah. Film garapan Lars tersebut menyorot dari perspektif Jack saat dia berdialog dengan kepalanya sendiri perihal pembenaran atas seni yang ia ciptakan. Mengangkat diskusi soal kriminal dan seni dari sana. Memang, cara berceritalah yang pada akhirnya menentukan. Garin yang tentu saja paham akan hal tersebut, menggunakan kekhasannya sendiri untuk mengangkat diskusi. Bahasan soal trauma, gaya teater (dramaturgi), dan kali ini membalut cerita dengan tema duality dan menjadikan protagonisnya simpatik di tengah-tengah itu semua.

If looks could kill…

 

Karakter yang diperankan Mawar adalah an attractive, seemingly innocent young woman bernama Ranum. Mahasiswi tata busana yang keliatan cukup aktif. Mungkin dia ingin menyibukkan diri. Karena, well, Ranum suka merasa ada sesuatu yang bersama dirinya tatkala dia sendirian. Sesuatu yang sudah dari dulu selalu ia rasakan. Oleh Pak Sutradara, ‘sesuatu’ ini digambarkan sebagai bayangan tangan, dan sesekali sepotong tangan pucat beneran yang muncul dari balik selimut Ranum. Kehadiran tangan dan perasaan ada orang yang menyertainya itu belum apa-apa dibandingkan ketakutan Ranum yang paling hakiki.  Ketakutan ketika perasaan dia telah melakukan hal mengerikan terhadap orang-orang di sekitarnya muncul. Ranum aktif mengikuti berbagai kegiatan, tapi setiap kali dia bertemu dengan orang – dan orang tersebut punya niat yang bukan-bukan terhadapnya, keesokan harinya pasti orang-orang itu diberitakan tewas mengerikan. Dan Ranum bakal galau di kamar karena dia merasa dia yang telah membunuh mereka semua. Ranum bakal menjedotkan kepalanya berkali-kali ke tembok “Berdoa! Berdoa! Berdoa!” Perasaan bingung, takut itu, tak kunjung hilang. Misteri kematian tersebut sama sekali tidak berhenti.

Puisi Cinta yang Membunuh bekerja terbaik saat menunjukkan keambiguan dari kejadian seputar Ranum. Ketika Ranum cuma gelisah dan ngeri sendiri membaca berita kematian-kematian tersebut, kita melihat dirinya actually melakukan pembunuhan tersebut. Atau paling tidak, kita melihat sesuatu yang menyerupai dirinya. Kita menyaksikan ‘Ranum’ ini muncul, mengomandoi kejadian gaib terjadi, dan akhirnya membunuh sambil melafalkan bait-bait puisi. Kematian/pembunuhan aktualnya dilakukan film lebih banyak secara off-screen – kamera akan sengaja menyorot ke satu titik di dekat pembunuhan – namun karena diserahkan kepada imajinasi kita itulah maka setiap serangan ‘Ranum’ terasa semakin mengerikan. Shot-shot yang dilakukan film ini terkait horor dan thrillernya benar-benar didesain supaya kesan misterius itu mengalir deras. Supaya imajinasi kita menyambung semakin liar lagi. Sehingga adegan-adegannya terasa punya layer tersendiri. Adegan-adegan pembunuhan itu hanya akan jadi sebuah tindak balas dendam jika direkam dengan gamblang. Akan tetapi, lewat cara menampilkan seperti yang film ini lakukan, pembunuhan-pembunuhan tersebut terasa punya sesuatu yang lebih. Terasa seperti suatu pelampiasan yang mendorong kita terus masuk, terus peduli tentang apa ini sebenarnya.

Tentu saja, semua kesan dan efek itu turut terbantu tersampaikan lewat penampilan akting luar biasa dari Mawar Eva. Come to think of it, Mawar di sini memikul semua sendiri. Dia harus memainkan perempuan yang bingung dan takut, sekaligus juga diminta untuk jadi entitas misterius yang membunuhi orang-orang. Dan ini film Garin, loh! Yang terkenal dengan film-film nyeni yang ‘berat’ dan njelimet. Tapi Mawar di sini, bisa. Mawar paham menerjemahkan visi Garin ke dalam dual-acting yang total. Kalo gak liat sendiri, aku gak bakal percaya dia mau melakukan separoh dari adegan-adegan di film ini. Aku gak bakal percaya dia mampu melakukannya dengan tepat. Untuk aktor muda seperti Mawar, jelas ini adalah pencapaian luar biasa.

Melihat ‘Ranum’ membunuh sambil berpuisi, lalu mendengar ibu dosen Raihaanun membahas berita-berita real serial killer yang pernah ada di Indonesia (Robot Gedek, dan banyak lagi headline bikin merinding) otomatis membuat kita memikirkan soal kekerasan dan seni itu tadi. Sehingga sebenarnya tak lagi jadi soal mengenai siapa ‘Ranum’ yang membunuh itu. Kenapa ada ‘Ranum’ kedua yang membayangi ke mana Ranum pergi. Seni film ini, menurutku, salah satunya datang dari menjaga keambiguan Ranum dan ‘Ranum’ tersebut. Karena penonton akan punya interpretasi masing-masing. Akan mencoba mengaitkan sendiri dalam kepala kita apa yang menurut kita terjadi – tergantung dari masing-masing memaknai ceritanya. Mungkin akan ada penonton yang mengira semua pembunuhan itu hanya terjadi di benak Ranum saat ia menuliskan pengalaman tak-enaknya sebagai puisi. Mungkin akan ada penonton  yang mengira orang-orang itu sesungguhnya merasakan trauma Ranum lewat puisi. Menurutku, selama kesan sedih itu tersampaikan, gak masalah penonton menganggap kejadian pembunuhannya sebagai apa, pelakunya beneran Ranum atau bukan.

Datang. Baca puisi. Bunuh. Pergi

 

Predikat horor-art film ini justru jadi terusik saat naskah mulai menyebut soal kembar. Kemudian dengan gamblang membeberkan (lewat karakter lain pula!) di sana sini apa yang terjadi di masa lalu traumatis Ranum. Menjelaskan puisi yang kita dengar sebagai mantra pembunuh itu ternyata berasal dari komik lama yang dulu suka dibaca Ranum. Sehingga ini jadi bukan lagi tentang trauma dan seni. Melainkan jadi trauma dan manifestasinya secara literal gaib. Menuliskan narasi seperti ini tentu saja tidak salah, hanya saja penceritaannya kurang tepat untuk konsep film di awal. Yang film ini lakukan actually adalah membuat pengungkapannya sebagai plot twist yang kini terbuka. Keambiguan yang dibangun di awal jadi hilang. Jadi terjawab, walau sebenarnya tidak ada urgensi yang menuntut film untuk menjelaskan semuanya. Sebab kesan yang diniatkan untuk kita rasakan kepada karakter-karakternya (terutama duality karakter utama) sebenarnya masih bisa tersampaikan. Penonton gak akan bilang ini film horor seseram film jumpscare. Penonton gak akan bilang ini film romansa. Apalagi film komedi. Dari bagaimana horor pembunuhan, flashback karakter lain, hingga ke teror psikologis yang mendera Ranum, kita sudah bisa merasakan ada sesuatu yang tragis di cerita ini. Sesuatu yang menyedihkan. Menurutku, penjelasan naratif yang dilakukan film ini di babak akhir masih bisa dilakukan dengan cara yang lebih tersirat, dengan pengadeganan yang lebih subtil dan sureal. Like, aku lebih suka film ini saat mereka menempatkan dua Ranum begitu saja di satu lokasi, membuat kita sendiri yang berusaha menyimpulkan sendiri. Tapi ya, mungkin film merasa itu bakal too much buat penonton. Mungkin film ingin memastikan penonton mengerti sehingga lebih mudah untuk melihat ini sebagai alternatif horor – bahwa genre horor bukan sekadar wahana jumpscare.  Bahwa horor juga bisa dinikmati sebagai seni.

 

 




Memang, film ini vastly different dari horor lokal mainstream.  Not bad-lah sebagai film pertama yang kutonton di tahun 2023 – film lokal pula! Horornya disajikan lebih sebagai kiasan dari perasaan. Hantunya pun dihadirkan lebih dari sekadar keberadaan yang menakutkan. Bahkan bisa dibilang, hantu di sini sebenarnya adalah sosok yang paling menyedihkan. Karena film ini sesungguhnya bicara trauma, karakter-karakternya mengalami kejadian traumatis di masa lalu dan one way or another harus deal with that. Dan hantu di sini adalah produk dari trauma tersebut. Untuk membimbing penonton ke jalur ini, sedari adegan pembuka, Garin langsung menyambut dan mengarahkan perhatian kita untuk tertuju kepada duality; bahwa ada sisi lain yang jarang disorot dan itulah yang disorot sekarang olehnya di film. Karena itulah menjaga tetap ambigu jadi langkah terbaik yang bisa dilakukan film ini. Supaya kita tidak terlepas dari duality tersebut. Tapi film merasa perlu juga untuk menjelaskan dengan lebih gamblang, sehingga kesan tersebut dihentikan menjelang babak akhir dan film menjadi pengungkapan yang lebih clear. Yang sayangnya juga mengurangi kemagisan dan art-nya itu sendiri. 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PUISI CINTA YANG MEMBUNUH.

 

 




That’s all we have for now.

Mengapa menurut kalian perasaan negatif kayak marah, galau, derita, justru bisa menghasilkan karya seni yang lebih bagus – like, lagu bagus aja biasanya tercipta dari orang yang patah hati?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA