INSIDE OUT Review – [2015 RePOST]

 

“Sometimes it is okay to let sadness takes over.”

 

Disney-Pixar-Inside-Out-Movie-Poster

 

Karakter yg mewakili satu sifat atau emosi tertentu memang bukan hal yg baru, kita udah lihat para Smurf dan kurcaci-kurcaci Putri Salju sebelumnya, jadi ya kesan pertama ku buat film ini biasa aja. . TAAAAPPPIII nyatanya, INSIDE OUT TAMPIL UNIK, KREATIF, IMAJINATIF, dan-yea- ORIGINAL! It has completely turned my mind inside out!! Sukaaaaaa~~~

Kita diajak masuk dan melihat isi dalam otak Riley, di mana Joy was in charge sementara Fear, Disgust, Sadness (“don’t touch anything!”), dan Anger membantunya mengendalikan perasaan gadis kecil tersebut. Mereka ingin agar Riley selalu bahagia. Saat Riley yang baru saja pindah ke kota lain, mulai mengenal galau- ga suka rumah baru, gapunya teman, dia jadi ga akur sama orangtuanya-situasi menjadi agak di luar kendali di ‘markas’ alias dalam pikiran Riley.

Film ini dengan smart membuat kisah tentang keadaan psikologis seorang anak yang mulai remaja menjadi penuh petualangan FUN nan mengharukan. IT HITS DEEP, really. Anak-anak mungkin sekarang ketawa ngeliat tingkah si Sadness, namun jika mereka nonton film ini 15 atau 20 tahunan lagi, mereka bakal ngerasain feeling yang berbeda. Paling engga itu yang aku rasakan saat menonton film ini. Ada elemen cerita yang lebih dalam yang bisa kita rasakan- yang anak kecil certainly belum bisa melihat hal tersebut. Makanya film ini begitu spesial. Inside Out berhasil untuk tidak tampil konyol, dan itu benar-benar hal yang bagus karena FILM INI ACTUALLY RESPECT SAMA PIKIRAN ANAK KECIL in that way.

taruhan, crew emosi dalam otak kita pasti sibuk saat kita nonton film ini

Taruhan, it is so complex crew emosi dalam otak kita pasti sibuk saat kita nonton nih film

 

Soal visual jangan ditanya. Everything looks very good. Emosi-emosi itu diwujudkan dalam sosok tokoh-tokoh yang fresh, masing-masing punya ciri khas, dan tentunya menarik banget buat anak-anak. Para pengisi suara did a very good job on their part as wellSuara Joy yang diisi oleh Amy Poehler terdengar penuh kebahagiaan dan, I shoud say, sebuah kelebihan besar bisa segembira itu tanpa jadi terdengar annoying hahaha. Tadinya kukira karakter Joy ini bakal over-the-top kayak Jess di New Girl. Untungnya enggak, I was shocked by thatJoy is actually passed as a likeablePhyllis Smith yang nyuarain Sadness berhasil ngimbangin karakter Joy, while dia sendiri juga enggak terdengar lebay. In fact, aku kagum dengan gimana para dubber dalam film ini bisa nyesuain suara mereka dengan begitu in-character.

 

Emosi manusia adalah hal yang kompleks. Enggak mungkin bagi kita untuk menciptakan bola memori yang murni mewakili satu emosi saja, only kids yang bisa.

atau mungkin Goku, mengingat dia bisa naik awan Kinton.

Atau Goku, mengingat dia bisa naik awan Kinton.

 

I really like bagaimana pembuat film ini menggambarkan cara kerja perasaan manusia ke dalam sebuah dunia dengan segala segala sistem dan mekanisme yang seru dan imajinatif. Kayak gimana cara kerja dunia mimpi, apa yang terjadi sama ingatan-ingatan manusia dan hubungannya dengan pembentukan kepribadian, interaksi antara para emosi, yang semua itu berhasil dijelaskan dengan simpel dan menarik. Bukan hanya Riley, tapi juga ayahnya, ibunya, hey semua orang mempunyai ruang kendali dengan emosi dominan yang berbeda-beda, such a fun concept! Semua hal tersebut berhasil dijelaskan amazingly efektif dalam penceritaan. Mungkin film ini nantinya bisa jadi media belajar psikologi kecil-kecilan haha.

 

INSIDE OUT STANDS OUT AS A VERY MATURE FILM FOR KIDS. Ngajarin anak how to deal with change, growing up, how complex our emotions could-and-should be. Buat yag gede, well, ke mana perginya teman imajinasi kita? Film ini membawa kita ke masa-masa saat seorang anak kecil mulai mempertanyakan diri sendiri. Saat kita sadar bahwa masa kecil is just that, there are alot more yang menunggu kita saat dewasa, it will reminds us betapa ‘sulit’nya masa-masa tumbuh tersebut. Beneran deh, kapan kalian mulai pake hitam? lolThey did a very excellent job at telling that message. Dan tentu saja, Inside Out ngingetin kita semua bahwa tidaklah mengapa untuk membiarkan kesedihan mengambil alih sekali-sekali 

 

 




This is very well might be my favorite Pixar movie of all times. Buat sekarang, no doubt semuanya setuju doong kalo aku bilang kita baru saja menyaksikan film animasi terbaik tahun 2015 ini. The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for Inside Out.

 




That’s all we have for now.

Remember in life, there are winners
and there are losers.

 

 

We be the judge.



THE FIRST OMEN Review

 

“Evil exists in the world not to create despair but activity.”

 

 

The First Omen adalah apa yang gagal dicapai oleh Immaculate (2024). Sebuah horor di lingkungan agamis yang benar-benar mencengkeram penuh suspens (and will not let us go), Cerita ‘suster mengandung anak setan’ yang benar-benar menempatkan protagonisnya ke sudut-sudut tergelap emosi – bukan sekadar menjual image aktor pemerannya.  Pengalaman sinematik yang bukan cuma asal jumpscare tapi juga merupakan experience jiwa-raga, visual dan atmosferik, yang singkat kata; tidak terasa murahan. Sekalipun film-panjang debut sutradara Arkasha Stevenson ini terasa seperti horor jadul, itu hanya karena cerita dan dunianya supposed to be a prequel to The Omen (1976), dan sesungguhnya sebuah keberhasilan dan banyak anggukan hormat diberikan oleh film ini kepada bukan saja film aslinya, tapi juga horor-horor yang lahir pada era tersebut.

Ya, sebagai sebuah prekuel, sutradara dan tim penulis The First Omen punya tanggungjawab untuk mengikat cerita mereka kepada film aslinya. Akhir film mereka ini haruslah make sense, nyambung, dengan awal kisah original tentang Damien, anak setan yang diadopsi oleh suami-istri di London. Terutama dia harus bisa mengestablish kenapa prekuel ini diperlukan oleh cerita tersebut. Ini jelas tanggungjawab yang berat, apalagi bagi sutradara baru seperti Stevenson. Dia harus mengemban itu, sembari menapakkan jejaknya sendiri sebagai filmmaker yang punya visi, dan nyali. Kenapa nyali? karena itulah yang juga ditunjukkan Stevenson pada proyek prekuelnya ini. Apa yang sutradara hebat lakukan saat mengadaptasi, itu jugalah yang dilakukannya. Yakni ‘mengubah’ materi sesuai kebutuhan tema atau gagasan, tanpa merusak garis besar role atau cerita. Sehingga film The First Omen bukan sekadar soal kelahiran Damien, melainkan juga eksplorasi yang lebih dalam tentang keluarganya – tentang kultus yang ‘melahirkannya’. Semua itu dirangkum dalam horor bertajuk modern; otonomitas tubuh perempuan.

review the first omen
Franchise Exorcist pasti iri ngeliat Omen punya film modern yang bagus

 

Suster Margaret mendarat dengan cantik di Roma. Sebelum mengambil sumpahnya, suster dari Amerika ini ditugaskan sebagai perawat di panti asuhan khusus anak perempuan. Di panti itulah, Margaret bertemu dengan salah satu anak bernama Carlita. Anak yang terkucilkan karena tingkah dan gambar-gambar anehnya sehingga lantas dianggap sebagai troublemaker; anak yang, kenang Margaret, persis seperti dirinya waktu kecil dulu. Naturally, Margaret jadi tertarik; both kepada Carlita maupun kepada dirinya sendiri – yang ia tahu tak lama lagi akan terikat penuh pada pengabdian atas gereja; bakal kehilangan kebebasan, kalo kata Suster Luz, teman sekamarnya. Margaret jadi ingin melindungi Carlita yang juga drawn to her, tindakan yang membuat para Suster senior di panti yang strict itu gak suka. Dan Margaret, di waktu bebas tugasnya, mau ikut Suster Luz ke klub, untuk menikmati menjadi diri mereka sendiri sebelum sumpah itu tiba. Malam itu eventually jadi malam yang tak bisa diingat oleh Margaret, hari-hari sesudahnya di panti bersama Carlita menjadi hari-hari penuh misteri seolah suster yang mengaku punya imajinasi overaktif itu berada dalam mimpi buruk tak berkesudahan. Mimpi buruk tentang bayi setan.

Sekilas memang ceritanya terdengar mirip dengan Immaculate. The First Omen seperti versi yang lebih serius dan artsy ketimbang film tersebut (kalo gak mau dibilang sebaliknya; film tersebut adalah versi receh dan simplistic dari horor paranoia keren ini). Karena film ini ngangkat horornya bukan sebatas tentang hal mengerikan yang terjadi kepada tubuh suster protagonis dan misteri siapa cult penyebabnya. The First Omen juga menitikberatkan kepada penggambaran ‘how’nya. Elemen horor supernatural pada film ini dikembalikan kepada karakter utamanya, sehingga transformasi atau perubahan si suster dari yang tadinya taat mengalami sebuah journey mengerikan, traumatis. Sudah bukan lagi terasa sebatas reaksi yang ia lakukan saat dikenai peristiwa atau takdir mengerikan, seperti yang terasa pada protagonis Immaculate. Penceritaan The First Omen pun tampak mengalami perkembangan sesuai dengan yang dirasakan oleh suster Margaret. Di awal, film ini terasa seperti horor biasa saja – not much better than Immaculate. Tapi seiring suster Margaret merasa ada yang gak beres, film semakin personal ke dirinya. Innernya dulu yang bergolak. Imaji-imaji horor yang disturbing mulai menyeruak dari balik dunia relijius 70an tersebut. Mengajak kita masuk ke dalam suspens dan parnonya si suster yang persepsinya mulai ambigu.

Mencengkeram penonton ke dalam suspens yang terus naik. Hal yang tampak sederhana, tapi tidak tergapai oleh banyak horor modern. Udah jadi kayak the lost art dari horor 70-an, sebab horor sekarang lebih banyak bersandar kepada jumpscare yang dengan cepat melepaskan penonton dari kengerian dengan memberikan sensasi lega yang seru, dan lebih puas dengan menutup misteri lewat pengungkapan twist. The First Omen, memang juga punya jumpscare – ada beberapa adegan tiba-tiba ada tangan mencolek bahu atau sebagainya – tapi adegan tersebut bukan didesain untuk wahana kita. Buktinya adegan tersebut tidak disertai bunyi ledakan atau musik yang bikin jantungan. Melainkan adegan kaget tersebut didesain lebih kepada  untuk karakternya, jumpscare tersebut masih berlaku dalam konteks persepsi si karakter yang semakin kacau sehubungan dengan apakah dia memang melihat hal yang gaib atau imajinasinya. “What’s happening to me, is that real?” teriakan batinnya tersebutlah yang sedang digambarkan oleh film ketika kita dibuat melayang ke atas kota dengan skoring kayak suara orang lagi berdoa yang sangat disturbing pada sebuah transisi, atau ketika kita melihat wajah Margaret diimposed kepada shot laba-laba, atau ketika Margaret menyaksikan peristiwa melahirkan yang supercreepy. Film terus menjerat kita ke dalam ketakutan Margaret yang bersumber pada kegelisahannya terkait tubuh dan kepatuhannya. Makanya aku salut banget sama Nell Tiger Free. Kupikir penampilannya di serial horor Servant udah paling keren, ternyata dia buktiin bisa membawa tipikal karakter yang tadinya polos jadi haunting ini dengan lebih terrific lagi. Range Nell luar biasa.. Dia bahkan sanggup membawakan adegan melahirkan di jalan – yang merupakan reference dari salah satu adegan horor ikonik yang ada pada film Possession (1981) – dengan vibe yang mirip dan bahkan lebih horrifying lagi.

Another brilliance perfomance yang gak bakal dilirik award gede karena… horor

 

Bahasan mengenai cult sesatnya pun, film ini tidak main-main. Bukan hanya soal pengungkapan mengagetkan bahwa pihak yang disangka baik ternyata jahat, Bukan cuma menyentil bahwa jemaat agama pada munafik. Film juga mengembangkan alasan, yang juga difungsikan sebagai lapisan karakter buat dunia tempat ceritanya dimulai. Roma di kala itu digambarkan penduduknya sedang krisis kepercayaan kepada authority. Dan pihak berwenang ataupun penguasa pada istilah tersebut tidak terbatas kepada pemerintah negara, tapi juga kepada pemimpin seperti pemuka agama. Inilah salah satu yang diubah sedikit oleh Stevenson. Karena pada cerita aslinya, kelahiran Damien merupakan ‘kerja’ dari pengikut AntiChrist, pengikut aliran sesat. Sedangkan pada film ini, kelahiran tersebut merupakan rencana dari pihak yang lebih kompleks. Pihak gereja yang memilih cara ekstrim dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap agama. Mereka sengaja menanam bibit setan supaya masyarakat berlindung kepada mereka. Tentunya, apakah pihak gereja itu masih ‘baik’ sekalipun langkah mereka jahat, atau mereka bisa dibilang memang sudah sesat karena memilih langkah itu, bisa membuat film ini jadi punya bahan perdebatan yang menarik. Bagaimana menurut kalian, silakan share pendapatnya di komen yaa

Terkutuklah pihak-pihak yang sengaja menciptakan kejahatan, supaya mereka bisa tampak mulia dengan memadamkan api yang mereka kobarkan sendiri. Sebenarnya yang dilakukan pihak gereja di film ini gak banyak berbeda dengan kebiasaan pemerintah ataupun publik figur kita sekarang. Suka sengaja ngomporin buat salah dulu, begitu udah viral baru bertindak atau minta maaf.

 




Tanda pertama sebuah film bagus adalah pada sepuluh menit pertamanya. Karena pada rentang itu, film akan menunjukkan kebolehannya, berusaha ngehook kita. Jika dia horor, maka dari sepuluh menit pertama kita akan ngerti horor semacam apa yang bakal jadi sajian utama. Sepuluh menit pertama, alias adegan pembuka film ini udah ngasih lihat horor modern yang berbeda cara berceritanya dengan kebanyakan horor sekarang. Set 70an, tema religi dan authority, kemudian gimana adegan seramnya berdasarkan revealing yang terbuild up dengan rapi dan matang sehingga kita terasa dicengkeram oleh ketakutan, paranoia yang melanda karakternya. Persis seperti yang dijanjikan pembukanya itulah film ini hingga akhir. Benar-benar sebuah pengalaman horor yang semakin ke sini semakin sukar dicari lawannya. Film ini bahkan punya ‘film imitasi’ yang bisa langsung kita bandingkan untuk pembuktian betapa langka dan rindunya kita sama horor dengan vibe dan penceritaan seperti ini. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE FIRST OMEN

 

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SIKSA KUBUR Review

 

“There is no truth, only who you choose to believe”

 

 

Horor-horor modern Joko Anwar, kuamati, cenderung tersiksa oleh narrative yang melemah. Karakter dengan development mengambang, bahasan atau gagasan yang mengawang, dan lantas mengirim kita pulang dengan ‘easter eggs’ instead. Aku sampe pernah membuat thread di Twitter soal protagonis di film-filmnya tersebut basically gak ngapa-ngapain, kurang ‘dihajar’, karena narrative yang tidak mencapai banyak selain keseruan wahana horor. My honest opinion; Joko Anwar desperately need to step up his writing. Sukur Alhamdulillah, usaha untuk peningkatan penulisan tersebut bisa kita rasakan pada horor terbarunya yang diset sebagai tontonan lebaran tahun ini. Siksa Kubur yang tadinya kupercaya sebagai pengembangan dari film-pendek yang dibuat Jokan tahun 2012 (dulu hits banget di Kaskus) ternyata berusaha menyajikan lebih. Bahasan mencoba lebih terarah kepada tema yang lebih jelas, yakni soal kepercayaan. Arahan yang pede menggiring bahasan agama tersebut sehingga tidak terkesan seperti horor-horor lain yang belakangan banyak beredar yang menjual ‘gimmick agama’ semata. Dan terutama sudut pandang protagonis utama yang kali ini benar-benar ditempa.

Kayaknya kita semua pernah, deh, punya hal yang kita percaya saat masih kecil, namun saat dewasa kita sadar yang kita percaya itu ternyata bohongan. (Like, aku dulu nyangka Kane dan Undertaker itu beneran kakak-adik, sampe bela-belain mendebat dan berantem ama teman). Nah, Siksa Kubur seperti berangkat dari soal kepercayaan tersebut, tapi tentunya dengan bahasan yang lebih serius, dan puteran yang lebih mencengangkan. Karena yang dipercaya Sita sedari kecil sejak dua orangtuanya jadi korban bom bunuh diri adalah bahwa agama justru membuat orang menjadi jahat. Bahwa agama cuma ‘alat’ atau alasan orang. Sepeninggal kedua orangtua, Sita dan abangnya, Adil, dibesarkan oleh pesantren. Di lingkungan religius itu pun, kepercayaan Sita bahwa agama cuma kedok menjadi semakin kuat. Sita tidak lagi percaya ajaran agama. Dia tidak mau, sebab pemimpin yang jadi donatur pesantrennya justru juga seorang pendosa yang melukai anak-anak, termasuk abangnya. Sita tumbuh besar dengan tekad untuk membuktikan kepercayaannya. Hal nyata yang bisa ia lakukan adalah dengan ikut masuk ke dalam kuburan, Sita ingin merekam bukti bahwa siksa kubur itu tidak ada. Jadi, di panti jompo itulah Sita dewasa menunggu. Menunggu pak tua yang menurutnya paling keji sedunia untuk mati supaya dia bisa segera melaksanakan pembuktiannya.

review siksa kubur
Siksa kubur Pak Wahyu? I was there.

 

Sita might be the most interesting Joko Anwar’s character so far. She’s so conflicted. She doesn’t even belief what she believed. Like, kita percaya pada agama, kita beriman, tanpa merasa perlu untuk bisa melihat wujud tuhan ataupun mukjizat religius yang lain. Kita seperti yang juga berulang kali disebut dalam dialog film ini; percaya berarti meyakini – tidak perlu melihat dengan mata, melainkan ‘melihat’ dengan hati. Dengan ini, berarti beriman adalah percaya tanpa perlu menuntut pembuktian kalo kita yang percaya itu adalah benar. Kita beriman kepadaNya justru karena kita percaya Dia-lah kebenaran in the first place. Sedangkan Sita, tragedi yang menimpanya membuat perempuan itu tidak percaya akan agama. Keluarganya justru terbunuh, menderita, oleh orang-orang yang percaya pada agama. Orang yang teriming-iming imbalan dari agama, orang yang takut terhadap ancaman/peringatan pada agama. Orang jadi leluasa jahat karena berlindung di balik agama; itu yang Sita percaya. Menurut Sita, moral justru terpisah dari agama. Bahwa dia, dan harusnya juga manusia lain, bisa berbuat baik sekalipun tanpa imbalan atau petunjuk agama. Namun iman Sita terhadap kepercayaannya ini masih lemah, karena berbeda dengan orang beragama yang tidak perlu membuktikan apa-apa terhadap kebenaran yang dianut. Sita justru ngotot untuk membuktikan kepercayaannya tersebut benar. Dia ingin masuk ke kubur, ingin menangkap bukti – yang juga sama conflictednya. Karena pertama, Sita ingin membuktikan siksa kubur – dan agama – itu tidak ada (sehingga perbuatan teroris bom bunuh diri yang menewaskan orang tuanya itu benar adalah kriminal bodoh yang tertipu suara rekaman siksa kubur palsu), tapi sebaliknya terlihat juga secercah harapan Sita untuk adanya siksa kubur karena ada dialog dia seperti frustasi menyebut jangan sampai orang sejahat Pak Wahyu saja terbukti tidak disiksa di dalam sana,

What if everything you believed turned out to be false? what if agama yang kita percaya cuma dongeng belaka? Gimana pula jika kita telah mati-matian percaya agama itu dongeng, tapi ternyata kepercayaan itu-lah yang salah? Enggak akan ada habisnya keraguan, dan di situlah masalah Sita. Dia gagal menyadari bahwa sebuah kepercayaan tidak membutuhkan pembuktian kebenaran. Yang harus dipelajari Sita dalam cerita ini adalah bagaimana membuat dirinya percaya pada apa yang ia pilih untuk percaya. 

 

Basically, yang dieksplorasi sebagai horor dalam film ini adalah state of mind dari Sita. Cara film melakukan itu pun sangat menarik. Sita seperti tegas tidak percaya pada hal gaib, baik itu tuhan maupun setan, tapi kemudian film mengontraskan itu dengan memperlihatkan bahwa pikiran Sita merupakan relung-relung kenangan dan harapan yang menyeleweng dari fakta. Kenangannya terhadap momen terakhir bersama orangtuanya, misalnya, kita saksikan sendiri kenangan Sita itu slightly berbeda dengan peristiwa ‘asli’ kejadiannya. Ketidakstabilan state Sita yang membuatnya menjadi unreliable sekaligus vulnerable, menambah banyak pada elemen horor psikologis film ini. Untuk memperkuat kesan surealis (film membidik ke vibe yang terasa calm, kalo gak dibilang slow, sebagai kontras dari kecamuk kepercayaan yang dirasakan Sita), film menerjunkan kita ke dalam cerita lewat kamera yang bergerak di tengah-tengah dunia. Teknik yang menghasilkan kesan immersive sekali, juga tentunya ampuh saat sekali-kali film berniat mengagetkan kita lewat jumpscare. Struktur cerita pun didesain demikian horor. Meskipun jika kita menghitung durasi, naskah film ini clocked out right on time – point of no return-nya tepat di tengah durasi saat Sita masuk kubur, misalnya – tapi alur yang dibuat linear itu sengaja dipatah-patah oleh, misalnya, skip waktu antara Sita kecil ke Sita dewasa, atau antara mana yang realita dan mana yang surealis (yang sampai review-telat ini ditulis pun batas realita film ini masih seru, santer diperdebatkan di linimasa).

Kesan immersive dalam dunia surealis tersebut salah satunya terjaga lewat penampilan akting yang benar-benar terasa berkesinambungan. Lihat saja bagaimana Reza Rahadian sebagai Adil dewasa ‘meneruskan’ nada maupun gestur weak dan awkward dari Muzakki Ramdhan (weak awkward yang diniatkan karena karakter Adil yang abang dari Sita ini punya wound personal sendiri). Karakter-karakter orang tua di panti jompo, ataupun guru-guru di pesantren, semuanya aktornya paham untuk menampilkan kesan ganjil tersendiri.  Salah satu kritikanku buat horor modern Joko Anwar adalah protagonisnya kurang ‘disiksa’; di film ini, aku tidak lagi jadi kaset rusak karena Sita benar-benar dipush out of her limit. Baik itu Widuri Puteri maupun Faradina Mufti, dapat ‘jatah’ masing-masing untuk mengeksplorasi ketakutan psikis yang didera Sita dalam tahap usia masing-masing.  Mana film tepat banget mengclose up  Sita saat teriak-teriak tobat. Sita terutama akan terasa perkembangannya saat di pertengahan awal dia seperti lancar memegang kendali, tapi di pertengahan akhir semuanya tampak menganeh dan spin out of her control.

Konsep neraka-personal film ini versi lebih calm dari episode terjebak di lubang ketakutan di ‘Fear No Mort’ Rick and Morty

 

Untuk menjelaskan kelogisan dari hal-hal aneh dan di luar kendali Sita setelah dia mencoba masuk ke liang lahat dan merekam jenazah Pak Wahyu, film tampak menggunakan konsep yang serupa dengan yang ada pada film Jacob’s Ladder (1990) atau Stay (2005)-nya Ryan Gosling. Bahwa semua itu terjadi di dalam kepala karakter yang sedang sakaratul maut. Jadi Sita debat dengan Adil, Sita melihat salah satu kematian orang tua di panti, kasus selingkuh di panti yang berujung pembunuhan, semuanya hanya terjadi di dalam kepala Sita yang sedang dikubur hidup-hidup bernapas bermodalkan pipa. Bukinya beberapa dialog film ini menyebut soal kekurangan oksigen dapat mengakibatkan halusinasi. Dan inilah yang membedakan penerapan konsepnya dengan Jacob’s Ladder ataupun Stay. Karena di dua film tersebut jelas kapan momen kritis dan nasib sang protagonis. Sedangkan film Siksa Kubur yang mengelak dari potensi dikecam me-reka sesuatu yang tidak seharusnya dibayangkan oleh manusia beragama, membuat sampai akhir semuanya tetap ambigu. Kendati Sita ‘dilock’ mati oleh naskah pun, film tetap mengaburkan kapan exactly matinya Sita. Adegan siksa kubur yang ujug-ujug over the top itu (mendadak jadi lebih seperti vibe chaos Evil Dead ketimbang tone atmosferic dan slow yang di awal konsisten dibangun film – sampe jadi kayak video karaoke lagu reliji segala!) bisa ‘berlindungi di balik alasan toh gambaran itu masih ambigu nyata atau tidaknya, benar atau salahnya, karena perspektif realita Sita yang dikaburkan.

Dari perbedaan keadaan untuk menerapkan konsep dan perspektif yang harus dikaburkan itulah muncul sedikit masalah pada arahan/penceritaan film ini. Karena di dalam ‘vision-kubur’ Sita (kita sebut saja begitu) juga terdapat perspektif Adil. Jadi semuanya nyampur dan film seperti kehilangan pegangan sehingga bergerak keluar dari perspektif dan jadi lebih seperti untuk bermain dengan penonton directly saja. Film seperti memuat development Adil ke dalam perspektif Sita, meskipun mustahil bagi Sita mengetahui apa yang terjadi kepada abangnya. Kayak soal ular yang mendekati Adil di atas makam aja, film went off memperlihatkan ular tersebut merayap melewati Adil (untuk petunjuk bagi penonton) dan kemudian Adil muncul dengan mata bengkak. There’s no way Sita tahu di atas sana Adil sedang didekati ular, sehingga mustahil juga untuk dia bisa menghalusinasikan Adil menyelamatkannya dengan kondisi seperti habis diserang ular. Jikapun adegan tersebut ternyata nyata, maka itu berlawanan dengan ‘rule film’ soal Man Rabbuka yang didengar Sita setelah escape tersebut (bahwa adegan escape tersebut supposedly terjadi saat Sita meninggal). Sebenarnya yang rugi di sini adalah Adil, karena film udah extra menginclude dirinya, tapi kemudian jadi kabur begitu saja karena film harus stay pada ambigunya perspektif Sita. Yang turut terasa extra sebenarnya banyak, seperti Ismail, seteru kecil Sita dengan keluarga Pak Wahyu, hingga panti jompo itu sendiri. Kepentingannya sebenarnya bisa kita pahami, mereka jadi elemen dalam development Sita (menunjukkan Sita soal tadinya dia pegang kendali, menunjukkan apa yang harus dia pelajari/lakukan, dsb), tapi yang mengganjal adalah kenapa film tidak tetap di pesantren. Semua aspek extra tersebut tampak masih bisa dilakukan, goal film terhadap development karakternya masih bisa tercapai, tanpa Sita (dan Adil) melompat sejauh itu.

 

 




Mungkin film tidak mau terpaku pada konteks satu agama tertentu? Mungkin juga, karena salah satu yang menarik dari film ini adalah memang identitas karakternya adalah Islam tapi dialog-dialog bahasan soal kepercayaan yang relate dan tidak mengunci pada satu ajaran saja. Mungkin seperti Sita, film ini ingin ‘menjauh’ dari agama. Namun pilihan film tersebut tidak serta merta bisa kita judge sebagai hal yang salah. Karena pilihan tersebut dijustifikasi oleh bahasan psikologis yang cukup eksplorasi. Dialog yang baik adalah dialog yang seperti pembicaranya terlibat pertikaian serang dan defense, dan di film ini Sita terus didera perdebatan soal kepercayaannya. Ini membuat kita juga ikut masuk dan peduli. Untuk setelahnya arahan horor yang sedari tadi merayap, mengambil alih dan menghantarkan kita sampai ke finale yang ambigu. Bentukan dan karakter yang hebat untuk sebuah horor psikologis yang surealis. Usaha yang patut diapresiasi, karena kali ini film Joko Anwar tidak semata nyerocos soal easter eggs dan reference, tapi benar-benar ada usaha untuk ngasih something deeper untuk dibicarakan. Aku terutama tertarik dengan karakter utamanya, si Sita yang menyita perhatian.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SIKSA KUBUR.

 




That’s all we have for now.

Apa kalian punya hal yang dulu kalian percaya tapi sekarang terbukti bahwa hal itu palsu?

Silakan share cerita dan pendapat di komen yaa

Yang pengen punya kaos Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



BEAU IS AFRAID Review

 

“The mother-child relationship is paradoxical and, in a sense, tragic.”

 

 

Lagu Kasih Ibu kalo dinyanyiin oleh Beau dari film horor terbaru Ari Aster ini, pasti jadi agak laen. Karena memang di film ini, Ari Aster menyorot gimana hubungan ibu dan anak yang mestinya sweet dan menghangatkan bagai sang surya menyinari dunia ternyata bisa jadi seperti perjalanan berlayar yang menakutkan. Di cerita ini, air yang Ari lambangkan sebagai kasih ibu. Air, yang jadi sumber kehidupan, yang jadi ketergantungan bagi Beau, dan yang juga nanti jadi tempat kembalinya. Dan perjalanan Beau mengarungi semua itu, juga bukan sebuah perjalanan yang mudah dan menyenangkan bagi kita yang menonton. Karena memang Pak Sutradara ingin mencemplungkan kita ke dalam perasaan yang dialami oleh karakternya. Malahan, film ini merupakan salah satu film yang paling bikin bingung dari semua film yang pernah kita tonton dan bahas di sini. Beau takut. Dan hal penting yang ingin ditegaskan oleh film ini adalah, bahwa takut itu bukan semata kepada ibunya. Melainkan juga, gara-gara sang ibu.

Dunia aneh si anak mami

 

Yang bikin film ini ekstra njelimet untuk dimengerti adalah treatment Ari Aster terhadap dunia ceritanya. Jika biasanya film-film memisahkan dengan jelas mana porsi realisme dengan sureal/fantasi pada cerita, maka Beau is Afraid enggak takut untuk mengaburkan batas tersebut.  Inner dan outer journey yang dilewati oleh Beau sama-sama perumpamaan. Metafora.  Cerita ditembak dari sudut pandang Beau, tapi masalahnya personal state, pikiran si Beau itu sendiri tidak dipastikan dengan jelas oleh film. Oleh film, justru ketidakpastian state of mind si Beau tersebut yang dijadikan pengalaman horor. Kita tahu film meniatkan demikian dari adegan pembuka yang begitu sureal, kamera diposisikan sebagai mata Beau yang masih bayi, ditarik keluar oleh dokter dari dalam perut ibunya. Tidak ada seorang pun yang ingat gimana pengalaman dilahirkan, tapi di sini Beau tahu. Di adegan tersebut Beau tidak terdengar menangis, dan lalu dia mendengar sedari dia lahir ibunya sudah demanding supaya bayi Beau menangis. Karena begitulah seharusnya bayi bertindak.

Pada adegan berikutnya kita melihat Beau sudah dewasa – like di umur 40an atau sekitarnya – dan dia sedang bersama seorang therapist. Untuk masalah apa dia di sana, dengan cepat disiratkan oleh ponsel yang bergetar. Ibu menelepon. Beau menatap ponsel tersebut. Tidak menjawab. Menahan napas. Kupikir, satu-satunya adegan yang bisa kupastikan ‘nyata’ di sini, adalah adegan di ruangan therapist ini. Saat Beau menyebut dia disuruh pulang oleh Ibu, untuk mengenang hari kematian Ayah. Dan si therapist  yang menanyakan perasaan Beau atas kepulangan ini. Pria yang duduk berseberangan dengannya itu jelas punya mommie issue. Pria dewasa yang merasa tercekat hanya oleh panggilan dari ibunya. Kita tahu Beau sebenarnya lebih memilih untuk tidak kembali. Aku percaya kejadian aneh yang menyebabkan Beau bangun telat dan nanti akhirnya malah jadi tidak bisa ke bandara sebenarnya memang tak terjadi. Aku setuju dengan ibunya yang bilang semua itu hanya akal-akalan Beau yang enggan pulang (tapi Beau gak berani bilang). Makanya film nanti menaikkan stake dan urgensi dengan membuat sang ibu tahu-tahu ditemukan meninggal dunia. Beau jadi harus pulang mengurus pemakaman. Perjalanan Beau pulang nanti akan jadi tontonan yang benar-benar aneh untuk kita saksikan. Terlebih ketika nanti dia akhirnya sampai di rumah. Film benar-benar meleburkan batas mana yang nyata dan yang tidak. Kejadian yang membingungkan, ditambah karakter yang psikologisnya enggak benar-benar jelas, membuat Beau is Afraid jadi disturbing dan hard to watch.

Tapi di situlah tantangannya, kan? Di situlah letak menariknya film ini. Karena ada begitu banyak lapisan dan tragedi yang bisa kita ungkap. Ya, aku menyebut tragedi karena hubungan antara ibu dan anak memang dapat menjadi sebuah paradoks yang tragis, Seorang ibu harus mencintai dan menyayangi anaknya dengan begitu intens dan tanpa sarat, supaya si anak bisa tumbuh dewasa sebagai anak yang mandiri. Tragis, karena gak semua ibu menyadari itu. Beberapa dari mereka jadi seperti ibu Beau. Anaknya sudah segede itu tapi gak pernah benar-benar menjalani kehidupannya sendiri.

 

Efek dari pola pengajaran ibu yang salah dan terlalu over-lah yang menyebabkan Beau melewati ‘petualangan’ absurd mengerikan. Orang-orang aneh yang ada di sekitar apartemen Beau – si bertato yang mengejarnya, pria flamboyan yang menari-menari di jalan, kakek tak berbusana yang menusuki orang dengan pisau – menurutku orang-orang itu tidak nyata. Atau setidaknya tidak benar-benar bertindak seperti itu. Mereka seperti itu di mata Beau karena begitulah Beau memandang dunia tanpa ibunya. Dunia yang aku percaya digebah ibu kepada Beau saat dia bilang mau tinggal sendirian. Tempat yang berbahaya. Kita waktu kecil mungkin ada yang sering ditakuti-takuti oleh ibu supaya gak main keluar sendiri, kayak, dibilangin bahwa ada orang gila di ujung jalan, atau ada penculik anak di mobil jeep (most of my classmates dulu percaya mobil gede seperti itu adalah mobil penculik, karena ibu mereka yang terpengaruh acara tv bilang demikian). Begitulah menurutku yang terjadi pada Beau di awal film. Meski memang gak ada adegan atau dialog yang menyebut ibunya menakuti Beau dengan cerita seperti itu, tapi toh ada bukti bahwa ibu memang melakukan trik semacam itu kepada Beau. Ada sekuen yang menggambarkan Beau merasa takut berhubungan badan karena dari flashback, ada momen ketika ibunya menceritakan kepada Beau bahwa ayah meninggal saat proses ‘membuat’ dirinya. Bahwa kematian seperti itu sudah turun temurun di keluarga Beau yang laki-laki.

Momen-momen yang sepertinya real (setidaknya berakar dari kejadian real) film ini datang sekelebat dari flashback-flashback setiap kali Beau pingsan, entah itu karena kepentok dahan saat berlari atau saat gelang di kakinya meledak. Adegan film ini memang seabsurd itu. Petunjuk-petunjuk kecil dari kilasan adegan itulah yang jadi puzzle untuk kita susun demi mengetahui gimana hubungan Beau dengan ibu yang sepertinya seorang wanita karir mendiri dan punya isu tersendiri dengan pria. Beberapa adegan menunjukkan Beau dianggap melawan tatkala pria itu menunjukkan otonomi atau kehendaknya sendiri. Ada adegan membingungkan saat Beau masih kecil, yang direkam dengan seolah Beau ada dua orang. Beau yang berani, dan Beau yang penurut. Beau yang pemberani – ngotot menanyakan perihal ayah – disuruh ibu ke loteng dan dikurung di atas sana untuk selamanya. Adegan ini menyimbolkan kerasnya ibu terhadap sikap kritis Beau. Atap jadi tempat pengasingan – karena di atas sana jugalah Beau nanti akan bertemu dengan sosok yang ibu bilang adalah ayahnya. Dan sosok tersebut akan benar-benar sinting, sehingga terkesan konyol. Mengerikan, tapi konyol.

Yang mengingatkanku pada satu cerpen Kompas berjudul ‘Menggambar Ayah’ yang dari dulu pengen sekali kujadiin film pendek

 

Efek visual dan artistik yang dilakukan oleh film ini memang punya range yang cukup luas. Kadang sekilas terasa kurang konsisten, tapi itu hanya karena efek tersebut menghasilkan tone yang membuat kita lupa sama feeling yang berusaha disampaikan. It’s bound to happen pada film yang memang punya banyak kejadian absurd seperti film ini. Setelah pengalaman mengerikan semacam home invasion, Beau juga ngalamin sensasi diculik, lalu dia menonton teater yang dia rasa mirip sama hidupnya sendiri (yang tergambar kepada kita lewat visual dengan animasi), dikejar-kejar oleh maniak medan perang (yang bikin film kayak survival thriller), dan tentu saja momen ketemu makhluk di atap tadi, yang udah kayak horor creature.

Sesungguhnya semua kejadian outer tersebut punya maksud sebagai simbol tersendiri. Ari Aster menegaskan pengaruh pengasuhan seperti yang dilakukan oleh ibu kepada Beau ini bukan hanya dari gimana Beau memandang peristiwa, tapi juga dari gimana kejadian-kejadian itu membentuk pengalaman yang mencerminkan tahap pertumbuhan yang mestinya dilalui Beau sedari kecil. Tapi mungkin tidak pernah kejadian, karena Beau waktu kecil sangat penurut sehingga jadi lemah. Dan sekarang, Beau harus mengalami semua urutan pertumbuhan tersebut. Bagian di apartemen tadi, misalnya. Ini state seperti anak kecil yang gak berani keluar sendirian. Setelah akhirnya (terpaksa) berani ninggalin rumahnya, Beau, tinggal di rumah pasangan yang menyelamatkannya, tapi pasangan itu mulai mencurigakan, melarang Beau pergi, dan mereka punya anak remaja yang gave them hard times. Ini basically menggambarkan state saat remaja, Beau harus berani memberontak dari aturan-aturan. Ketika kemudian Beau sampai di perkumpulan teater hutan, ini adalah bagian dia di tahap pertumbuhan dewasa. Beau menonton show yang membuat dia membayangkan punya keluarga. Punya anak-anak yang mirip dengannya. Dan ini jadi plot poin berikutnya bagi Beau, karena di balik dia sadar desirenya sebagai manusia untuk punya pasangan dan settled, dia juga tersadar dia mungkin mirip ayah – or worse, ibunya. Ketakutan Beau telah banyak terhimpun, dan siap meledak saat dia sampai di rumah. Ini fase tua yang harus dialami Beau. Film menggambarkan ini dengan paranoia, karena diungkap ternyata ibu mengendalikan semua hidup Beau. Bahwa semua produk-produk yang dipakai Beau selama ini adalah produk dari bisnis ibunya. Konfrontasi terakhir Beau dengan ibu di pengadilan tengah laut itu jadi puncak pembelajaran Beau, yang merasa dirinya telah berani stand up for himself. But the mental damage has been done, kita pun melihat ending yang circled back ke kejadian yang dilihat Beau di jalanan pada awal cerita. Kapal terbalik milik anak yang berani gak nurut kepada ibunya.

 

 




Masih banyak lagi sebenarnya momen-momen ganjil yang ditampilkan oleh film ini, yang pastinya menarik untuk kita tonton dan kaji ulang. Meskipun memang aku sendiri ragu, aku bakal berani untuk mengulangi lagi perjalanan Beau dalam waktu dekat. Mungkin harus nunggu beberapa minggu dulu hahaha… Karena memang film ini seaneh dan se’hard to watch’ itu. Penampilan aktingnya sih sangat oke, Joaquin Phoenix sebagai Beau tampak paham betul apa yang dilalui karakternya. Aktingnya gak sebatas ekspresi, tapi juga fisik, karena di sini Beau bakal luka-luka yang cukup parah, dan Joaquin komit, dia tahu persis cidera karakternya itu bermakna sesuatu terhadap perjalanan dan state sang karakter itu sendiri. Film ini menargetkan kita untuk merasakan yang dialami oleh karakternya yang bisa dibilang loser dan penakut dan lemah, dan dengan jadi seperti begini, film ini sukses mengenai target itu. Petualangan Beau bukan pengalaman yang menyenangkan untuk ditonton. Sepertinya tidak ada yang nyata, melainkan gambaran gimana si karakter mencerna dan menyadari momok personalnya. Ini adalah perjalanan konyol tapi mengerikan yang seharusnya tidak pernah dialami oleh orang-orang nyata. Karena kita mestinya berani. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BEAU IS AFRAID.

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian anak seperti Beau memang pantas untuk mengantagoniskan ibu mereka? Apakah kalian punya teori atau penjelasan lain tentang film ini?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



INSIDE Review

 

“The art challenges the technology, and the technology inspires the art”

 

 

Tentu saja kita akan menyelamatkan seni.  Like, para sinefil di Twitter bilang mereka menjaga kemurnian sinema. Para kritikus mengulas film supaya orang-orang bisa melihat film dari nilai seninya, bukan hiburan semata. Nemo di film Inside ini bilang dia bakal menyelamatkan sketchbooknya dibanding kucing, koleksi CD, atau bahkan orangtuanya, kalo rumahnya kebakaran. Dengan alasan yang bisa kumengerti mengingat akupun biasanya mengangkut buku sketsa ketimbang pakaian kalo hendak bepergian. Takut ketinggalan. Kita begitu menjaga seni karena we all are decent and sophisticated human being, after all. Kita merasa seni itu berharga. Kita tahu seni itu berharga. Jikapun tidak, at least kita bisa menghitung seni laku dijual dengan harga tinggi. Tapi, apakah sebaliknya, seni dapat menyelamatkan kita? Jika seperti Nemo, kita terperangkap di rumah orang kaya yang penuh barang seni, bisakah kita bertahan hidup dengan mengandalkan barang-barang bervalue tinggi tersebut? Begitulah premis thriller ruang tertutup karya Vasilis Katsoupis ini. Bukan hanya soal terperangkap dan bertahan hidup, melainkan menekankan pada telaah seberapa besar sebenarnya value interaksi sosial, teknologi, dan juga seni pada hidup kita.

Nemo yang kusebut tadi adalah protagonis cerita. Lantaran sejak kecil sudah menghargai seni, Nemo kini tumbuh menjadi pencuri, spesialis barang-barang seni. Penthouse mewah jadi sasarannya kali ini. Nemo menyusup lewat balkon dan berhasil menggasak beberapa lukisan, sebelum langkahnya terhenti oleh sistem keamanan. Nemo terperangkap, semua akses terkunci, dia gak bisa kabur. Tapi nasib Nemo bakal lebih buruk daripada tertangkap polisi. Penthouse itu ditinggal untuk waktu yang lama sehingga hanya ada sedikit sekali makanan di sana. Gas dan air tidak menyala sama sekali. Opsi yang terbatas banget itu diperparah oleh sistem suhu yang secara random bikin cuaca di dalam sana berubah dari panas ke dingin ekstrem. Nemo harus menggunakan akalnya untuk menciptakan sendiri jalan keluar, sembari mikirin cara buat bertahan hidup. Sebab semakin lama di sana, fisik dan mentalnya jelas semakin berkurang.

Relate banget nonton siang-siang pas bulan puasa; kebayang rasanya haus sampai pengen jilat bunga es di kulkas

 

Desain produksi film ini really did a great job untuk menunjang ide menarik yang disajikan. Penthouse yang berisi barang-barang mewah itu di satu sisi berhasil dihadirkan begitu classy dan memikat kayak isi dalam sebuah spaceship mutakhir, tapi di sisi lain juga terasa benar-benar cuek, dingin, persis kayak anak tajir komplek yang sombong abis. Kita akan ikut bersama Nemo ‘mempelajari’ apa-apa saja yang bisa dilakukan oleh tempat itu. Sebagian dari mereka ada pajangan seni, yang gak dicolong Nemo akan tergantung di dinding melengkapi dinginnya tembok. Sebagian lagi adalah benda-benda yang akan diutak-atik oleh Nemo, dijadikan alat untuk survive. Mulai dari akuarium hingga bak mandi super besar sehingga kayak kolam kecil sendiri, semua benda yang kita lihat akan digunakan dalam cerita. Akan ada ‘fungsinya’ masing-masing bagi Nemo. Jadi, menariknya film ini memang datang dari gimana Nemo berusaha survive dengan alat seadanya. Yang ironisnya adalah, alat-alat itu sebenarnya jauh dari ‘seadanya’, karena mereka alat-alat canggih, namun tetap saja alat-alat itu gak bisa membantu Nemo yang terperangkap, kecuali Nemo berhasil memikirkan cara untuk membuat mereka menjadi something else. Di paruh akhir, film juga menawarkan sedikit ‘misteri’. Lukisan self-portrait yang jadi alasan utama Nemo mencuri ke sini, ternyata tidak tergantung pada tempatnya, melainkan ada di suatu ruangan yang lain. Sebuah ruangan rahasia. Film lantas masuk ke ranah vibe yang lebih dreamy dan sureal, dan ini selaras state of mind Nemo yang juga mulai – katakanlah – sinting.

Penthouse itu memang lantas menjelma jadi simbol-simbol yang memfasilitasi gagasan cerita, soal seni dan teknologi bagi manusia. Buat Nemo, dua value ini seperti bertentangan. Menurutnya orang kaya hanya melihat seni sebagai uang, dan mereka gak pantas untuk uang tersebut karena gak tau value yang sebenarnya. So he steals them. Tapi langkah Nemo terhenti oleh teknologi canggih yang didapat dari uang. Terjebak dalam penthouse itu sesungguhnya jadi pengalaman yang nyaris seperti spiritual bagi Nemo, karena dia jadi dapat melihat value seni dan teknologi sebenarnya bergantung pada manusianya.

Jika teknologi adalah Tuhan, dan seni adalah Dewa, maka Nemo menolak menjadi boneka. Nemo adalah pendosa yang menghancurkan semua dan membuat sesuatu yang baru dari mereka. Sesuatu yang akan membuatnya mencapai surga.

 

Dengan durasi nyaris seratus menit, film ini memang berjalan agak lambat. Tapi film tidak hadir dengan total nada filosofis, tidak berat, justru tampak beberapa kali berusaha menjadikan tonenya ringan. Tentu, bisa dibilang dirinya sendiri adalah film seni, tapi kupikir, penonton casual masih akan bisa menikmati film ini. Shot-shotnya yang intens akan diimbangi oleh usaha-usaha dan kegiatan Nemo di dalam sana. Akan ‘dilunakkan’ oleh elemen-elemen yang dipilih oleh film untuk menyimbolkan gagasan. Misalnya, lagu Macarena. Kan receh tuh, lagunya hahaha… Jadi kulkas di rumah ini akan memainkan lagu Macarena setiap kali pintunya terbuka lebih dari beberapa detik, sebagai semacam alarm untuk menutup pintu kulkas. Like, biasanya kan kita masang musik yang paling annoying sebagai alarm, supaya bisa cepat terbangun (buat matiin musik tersebut). Jadi sebenarnya masang Macarena buat ngingetin kulkas – tempat menyimpan makanan dan minuman biar selalu dingin dan segar – itu adalah statement dari si orang kaya pemilik penthouse bahwa itu lagu lowclass. Kami tidak mendengar lagu itu di rumah ini. Kocaknya, si Nemo yang selera seninya tinggi itu awalnya juga terganggu sama lagu Macarena. Tapi lama-kelamaan dia malah suka lagunya. Semacam kayak adegan kocak Emma Stone di Easy A (2010) yang jadi suka sama lagu “pocket full of sunshine” dari kartu yang dikirim neneknya. Kulkas akhirnya dibiarin terbuka oleh Nemo. Dia ikut berdendang sembari merasakan aura dingin kulkas bikin adem ruangan. Nah, adegan Nemo dan Macarena itu seems to indicate bahwa kita tu ya kadang terlalu berpura-pura. Setinggi apapun kita value art, tapi kalo asalnya selera kita receh, ya receh aja. Kita boleh kok suka receh, sambil tetap bisa ngehargain mana yang bagus.

Gagasan-gagasan, komentar-komentar yang dikandung tersebut sebenarnya enggak berjalan semulus itu ketika digabungkan sutradara ke dalam satu narasi. Inside tidak tertampil semenarik hal yang ia bicarakan. Tempo yang lambat itu jadi lebih condong ke membosankan lantaran momen-momen Nemo mencoba survive terasa dipanjang-panjangkan reaksinya. Nemo meringkuk setelah gagal, misalnya, feelingnya kena mendalam, tapi kita gak perlu sering-sering melihat ini. Simbol-simbol itu jadi menghalangi kita dari Nemo sebagai person. Membuat film jadi dingin. Film harusnya lebih menekankan kepada si manusia, yang berusaha bikin art dalam keadaan terdesak, only to realize art itu gak actually bisa langsung membantunya. Momen-momen seperti Nemo ngarang cerita/nama dari orang-orang di apartemen bawah yang ia tonton di CCTV – gimana dia jadi ngerasa punya koneksi dengan si cleaning lady, momen Nemo pretending dia sedang suting acara masak, mestinya momen-momen itu yang dibanyakin. Supaya kita tetap diikatnya ke personal karakter, karena bagaimana pun juga ini kan cerita tentang manusia yang terperangkap. Hati cerita bisa lebih kena kalo fokusnya di Nemo sebagai manusia.

Tagline film ini bisa diartikan jadi ‘Sebuah pagelaran sepi”

 

Lagian, udah dapat aktor sekelas Willem Dafoe, ya gak maksimal dong kalo enggak banyak dikasih momen-momen yang ‘edan’. Dafoe di sini, monolognya aja keren banget. Aku nunggu-nunggu Nemo mau ‘ngayal’ apa lagi, karena pengen lihat delivery Dafoe. Gimana dia ngetackle perasaan sepi dan hopeless yang makin besar menggerogoti karakternya ini. Moralnya terus ditantang. Lihat aja pas akhirnya dia harus makan ikan hias di akuarium. Selain itu, Dafoe juga harus akting fisik. Nemo yang cakap dengan perkakas gradually makin lemah, dia terluka. Intensitas fisik setiap tantangan yang Nemo lalui berhasil terdeliver oleh Dafoe. Inside ini memang jadi show dirinya sendiri. Dafoe bisa dibilang perfect buat mainin Nemo, tapi film ini seperti terlalu bergantung kepada itu. Dan malah jadi sedikit kekurangan. Kenapa? Karena ini cerita tentang orang terperangkap, yang tentunya makin hari kegilaan semakin naik. Orang yang makin embrace sisi barbar dirinya. Itu transformasi Nemo secara garis besar. Dan transformasi itu kurang nendang pada Willem Dafoe yang udah sering imagenya ke karakter semacam somekind of a psycho. Kurang nendang karena kita sudah expected itu sedari awal melihat dirinya.  Fisiknya juga udah ‘renta’ sedari awal. Willem Dafoe meranin dengan sangat baik, tapi jadi tidak ada ‘surprise’, sehingga aku ngerasa mungkin bisa lebih nendang kalo saat dijadikan Nemo ini, si Dafoe imagenya atau at least penampilan karakternya dibikin lebih sophisticated dulu, supaya efek karakter yang menjadi ‘gila’nya lebih kerasa.

 

Inside berakhir dengan open-ended. Namun untuk spoiler; teoriku soal ending adalah Nemo akhirnya mati terjun dari rooftop. Karena aku ngerasa journey Nemo bukan hanya soal dia keluar dari penthouse tapi juga soal dia membebaskan diri dari pandangannya. Pengalamannya di dalam sana menyadarkan dia bahwa dia memandang seni sama seperti si orang kaya memandang teknologi. Nemo gak mau jadi boneka. Jadi dia menghancurkan semua dan membuat karya seni terakhir sebagai alat untuk membebaskan jiwa. Nemo damai setelah berhasil melakukan semuanya.

Dengan ini, berarti dua kali dalam sehari ini aku nonton cerita yang tempat/rumahnya benar-benar dijadikan karakter dan juga melibatkan karakter yang bunuh diri di lantai atas. Film Inside ini, dan season terakhir serial Servant. Gila serial itu ternyata punya konklusi yang benar-benar kuat elemen psychological thrillernya. Kalian bisa nonton serial itu, full di Apple TV+. Buat yang mau langganan, bisa klik dari sini sajaaa https://apple.co/40MNvdM 

Get it on Apple TV

 

 




Rasanya udah cukup lama juga gak sih, ada film yang kayak gini? Padahal sebenarnya aku lebih suka film tertutup dan simbolis kayak gini ketimbang film-film universe yang gede-gede banget. Karena biasanya film kayak gini karakternya lebih mudah terkoneksi pada kita, lewat cerita perjuangan yang lebih personal. Film ini punya itu semua, ditambah pula dengan aktor yang sepertinya perfect buat role ini. Kita hanya butuh film ini melakukan hal-hal itu dengan lebih banyak lagi, lebih difokuskan lagi. Soalnya film ini agak terlalu menekankan kepada apa yang harus dilakukan karakternya, ketimbang si karakter itu sendiri. Dengan fokus pada kejadian, sedangkan temponya lambat dan lebih tepat pada cerita yang berfokus pada karakter, nonton film ini jadi terasa agak membosankan, agak repetitif. Seakan kita pengen memotong dan mempersingkatnya sendiri. Salah satu bukti film ini mengalihkan kita dari karakter karena terlalu ke kejadian adalah transformasi si karakter itu tidak terasa benar-benar nendang.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for INSIDE

 




That’s all we have for now.

Apakah teknologi bisa disebut sebagai sebuah seni?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



PUISI CINTA YANG MEMBUNUH Review

 

“Art comes from joy and pain… But mostly from pain.”

 

 

Aku terus kepikiran sama adegan pembuka film Puisi Cinta yang Membunuh. Aku merasa ada kemiripan antara yang dibikin oleh Garin Nugroho dengan yang dilakukan oleh Ingmar Bergman pada sekuen pembuka Persona (1966), yang ada anak kecil membelakangi kita nyentuh layar sinema, dengan close up wajah perempuan. Pada pembuka yang kompleks tersebut – Bergman udah kayak nyeritain sejarah singkat gambar-bergerak – hal terasa out-of-place tapi sekaligus terasa benar mewakili apa yang ingin disampaikan pada cerita utuhnya kemudian. Bergman ingin kita menatap langsung dan personal karakter perempuan dalam cerita, bahwa cerita perempuan ini adalah soal image yang tertangkap. Garin Nugroho memang tidak se-elaborate itu menyuguhkan opening Puisi Cinta yang Membunuh. Justru jauh lebih sederhana, tapi bobot dan kepentingannya dalam melandaskan tema terasa sama. Garin memperlihatkan kepada kita Mawar Eva de Jongh (saat itu tentu saja kita belum tau karakter yang ia perankan siapa) berdiri di tempat yang sepertinya studio foto, menghadap kita, mengangkat kamera sedada, dan bilang kepada kita penontonnya bahwa seni bisa menyembuhkan dan juga bisa membunuh. Aku terus kepikiran akan adegan ini karena menurutku Garin accomplished so much dengan pembuka ini. Seketika dia melandaskan tema dualitas yang nanti membayangi narasi cerita. Seperti kamera yang kini di depan kita, tidak lagi melihat bersama kita; Seketika Garin menantang kita untuk melihat berlawanan. Melihat sisi yang biasanya tidak disorot. Gimana jika membunuh, melukai, adalah proses seni. Gimana jika kriminal ternyata ‘hanya’ pergulatan dengan trauma. Gimana jika hantu bukan lagi untuk ditakuti, melainkan untuk dikasihani?

Dalam filmnya sebelum ini, Garin membahas trauma punya jejak pada tubuh. Trauma masa lalu dapat tergambar dalam gerak tubuh seseorang di sepanjang hidupnya. Seseorang yang punya trauma akan mengekspresikan itu di dalam kesehariannya; luka-diri itu lantas jadi seni. Untuk bertahan dan menguatkan diri. Gagasan itu dibawa ke luar oleh Garin kali ini. Ketika seni tersebut tidak lagi semata untuk diri sendiri, melainkan juga untuk dishare kepada orang lain, maka itu juga berarti trauma dan sakit yang dirasakan juga ikut terhantar – ikut dikenai – kepada penikmatnya. Itulah ketika puisi dapat membunuh.

 

Seketika film Garin ini jadi berbahaya. Menyorot gagasan bahwa tindak kriminal, aksi pembunuhan, bisa dipandang sebagai suatu perwujudan puitis. Jikalau gagasan ini dibicarakan dalam suatu diskusi umum, mungkin memang sinting, Nyeleneh. Tak dapat diterima. Mana ada yang mau disuruh melihat perbuatan keji sebagai karya berbudaya. Namun tempat Garin membicarakan ini adalah film. Sendirinya adalah seni. Toh, Garin bukan sutradara pertama yang menyoroti cahaya begini kepada soal perilaku kekerasan. Perbandingan terkini yang lantas melintas di kepalaku adalah Lars von Trier yang tahun 2018 lalu membuat film The House That Jack Built. Diceritakan di situ Jack menganggap pembunuhan yang ia lakukan sebagai kegiatan seni rupa. Jack membuat berbagai karya dari mayat-mayat korbannya. Mulai dari dompet, hingga, ya rumah. Film garapan Lars tersebut menyorot dari perspektif Jack saat dia berdialog dengan kepalanya sendiri perihal pembenaran atas seni yang ia ciptakan. Mengangkat diskusi soal kriminal dan seni dari sana. Memang, cara berceritalah yang pada akhirnya menentukan. Garin yang tentu saja paham akan hal tersebut, menggunakan kekhasannya sendiri untuk mengangkat diskusi. Bahasan soal trauma, gaya teater (dramaturgi), dan kali ini membalut cerita dengan tema duality dan menjadikan protagonisnya simpatik di tengah-tengah itu semua.

If looks could kill…

 

Karakter yang diperankan Mawar adalah an attractive, seemingly innocent young woman bernama Ranum. Mahasiswi tata busana yang keliatan cukup aktif. Mungkin dia ingin menyibukkan diri. Karena, well, Ranum suka merasa ada sesuatu yang bersama dirinya tatkala dia sendirian. Sesuatu yang sudah dari dulu selalu ia rasakan. Oleh Pak Sutradara, ‘sesuatu’ ini digambarkan sebagai bayangan tangan, dan sesekali sepotong tangan pucat beneran yang muncul dari balik selimut Ranum. Kehadiran tangan dan perasaan ada orang yang menyertainya itu belum apa-apa dibandingkan ketakutan Ranum yang paling hakiki.  Ketakutan ketika perasaan dia telah melakukan hal mengerikan terhadap orang-orang di sekitarnya muncul. Ranum aktif mengikuti berbagai kegiatan, tapi setiap kali dia bertemu dengan orang – dan orang tersebut punya niat yang bukan-bukan terhadapnya, keesokan harinya pasti orang-orang itu diberitakan tewas mengerikan. Dan Ranum bakal galau di kamar karena dia merasa dia yang telah membunuh mereka semua. Ranum bakal menjedotkan kepalanya berkali-kali ke tembok “Berdoa! Berdoa! Berdoa!” Perasaan bingung, takut itu, tak kunjung hilang. Misteri kematian tersebut sama sekali tidak berhenti.

Puisi Cinta yang Membunuh bekerja terbaik saat menunjukkan keambiguan dari kejadian seputar Ranum. Ketika Ranum cuma gelisah dan ngeri sendiri membaca berita kematian-kematian tersebut, kita melihat dirinya actually melakukan pembunuhan tersebut. Atau paling tidak, kita melihat sesuatu yang menyerupai dirinya. Kita menyaksikan ‘Ranum’ ini muncul, mengomandoi kejadian gaib terjadi, dan akhirnya membunuh sambil melafalkan bait-bait puisi. Kematian/pembunuhan aktualnya dilakukan film lebih banyak secara off-screen – kamera akan sengaja menyorot ke satu titik di dekat pembunuhan – namun karena diserahkan kepada imajinasi kita itulah maka setiap serangan ‘Ranum’ terasa semakin mengerikan. Shot-shot yang dilakukan film ini terkait horor dan thrillernya benar-benar didesain supaya kesan misterius itu mengalir deras. Supaya imajinasi kita menyambung semakin liar lagi. Sehingga adegan-adegannya terasa punya layer tersendiri. Adegan-adegan pembunuhan itu hanya akan jadi sebuah tindak balas dendam jika direkam dengan gamblang. Akan tetapi, lewat cara menampilkan seperti yang film ini lakukan, pembunuhan-pembunuhan tersebut terasa punya sesuatu yang lebih. Terasa seperti suatu pelampiasan yang mendorong kita terus masuk, terus peduli tentang apa ini sebenarnya.

Tentu saja, semua kesan dan efek itu turut terbantu tersampaikan lewat penampilan akting luar biasa dari Mawar Eva. Come to think of it, Mawar di sini memikul semua sendiri. Dia harus memainkan perempuan yang bingung dan takut, sekaligus juga diminta untuk jadi entitas misterius yang membunuhi orang-orang. Dan ini film Garin, loh! Yang terkenal dengan film-film nyeni yang ‘berat’ dan njelimet. Tapi Mawar di sini, bisa. Mawar paham menerjemahkan visi Garin ke dalam dual-acting yang total. Kalo gak liat sendiri, aku gak bakal percaya dia mau melakukan separoh dari adegan-adegan di film ini. Aku gak bakal percaya dia mampu melakukannya dengan tepat. Untuk aktor muda seperti Mawar, jelas ini adalah pencapaian luar biasa.

Melihat ‘Ranum’ membunuh sambil berpuisi, lalu mendengar ibu dosen Raihaanun membahas berita-berita real serial killer yang pernah ada di Indonesia (Robot Gedek, dan banyak lagi headline bikin merinding) otomatis membuat kita memikirkan soal kekerasan dan seni itu tadi. Sehingga sebenarnya tak lagi jadi soal mengenai siapa ‘Ranum’ yang membunuh itu. Kenapa ada ‘Ranum’ kedua yang membayangi ke mana Ranum pergi. Seni film ini, menurutku, salah satunya datang dari menjaga keambiguan Ranum dan ‘Ranum’ tersebut. Karena penonton akan punya interpretasi masing-masing. Akan mencoba mengaitkan sendiri dalam kepala kita apa yang menurut kita terjadi – tergantung dari masing-masing memaknai ceritanya. Mungkin akan ada penonton yang mengira semua pembunuhan itu hanya terjadi di benak Ranum saat ia menuliskan pengalaman tak-enaknya sebagai puisi. Mungkin akan ada penonton  yang mengira orang-orang itu sesungguhnya merasakan trauma Ranum lewat puisi. Menurutku, selama kesan sedih itu tersampaikan, gak masalah penonton menganggap kejadian pembunuhannya sebagai apa, pelakunya beneran Ranum atau bukan.

Datang. Baca puisi. Bunuh. Pergi

 

Predikat horor-art film ini justru jadi terusik saat naskah mulai menyebut soal kembar. Kemudian dengan gamblang membeberkan (lewat karakter lain pula!) di sana sini apa yang terjadi di masa lalu traumatis Ranum. Menjelaskan puisi yang kita dengar sebagai mantra pembunuh itu ternyata berasal dari komik lama yang dulu suka dibaca Ranum. Sehingga ini jadi bukan lagi tentang trauma dan seni. Melainkan jadi trauma dan manifestasinya secara literal gaib. Menuliskan narasi seperti ini tentu saja tidak salah, hanya saja penceritaannya kurang tepat untuk konsep film di awal. Yang film ini lakukan actually adalah membuat pengungkapannya sebagai plot twist yang kini terbuka. Keambiguan yang dibangun di awal jadi hilang. Jadi terjawab, walau sebenarnya tidak ada urgensi yang menuntut film untuk menjelaskan semuanya. Sebab kesan yang diniatkan untuk kita rasakan kepada karakter-karakternya (terutama duality karakter utama) sebenarnya masih bisa tersampaikan. Penonton gak akan bilang ini film horor seseram film jumpscare. Penonton gak akan bilang ini film romansa. Apalagi film komedi. Dari bagaimana horor pembunuhan, flashback karakter lain, hingga ke teror psikologis yang mendera Ranum, kita sudah bisa merasakan ada sesuatu yang tragis di cerita ini. Sesuatu yang menyedihkan. Menurutku, penjelasan naratif yang dilakukan film ini di babak akhir masih bisa dilakukan dengan cara yang lebih tersirat, dengan pengadeganan yang lebih subtil dan sureal. Like, aku lebih suka film ini saat mereka menempatkan dua Ranum begitu saja di satu lokasi, membuat kita sendiri yang berusaha menyimpulkan sendiri. Tapi ya, mungkin film merasa itu bakal too much buat penonton. Mungkin film ingin memastikan penonton mengerti sehingga lebih mudah untuk melihat ini sebagai alternatif horor – bahwa genre horor bukan sekadar wahana jumpscare.  Bahwa horor juga bisa dinikmati sebagai seni.

 

 




Memang, film ini vastly different dari horor lokal mainstream.  Not bad-lah sebagai film pertama yang kutonton di tahun 2023 – film lokal pula! Horornya disajikan lebih sebagai kiasan dari perasaan. Hantunya pun dihadirkan lebih dari sekadar keberadaan yang menakutkan. Bahkan bisa dibilang, hantu di sini sebenarnya adalah sosok yang paling menyedihkan. Karena film ini sesungguhnya bicara trauma, karakter-karakternya mengalami kejadian traumatis di masa lalu dan one way or another harus deal with that. Dan hantu di sini adalah produk dari trauma tersebut. Untuk membimbing penonton ke jalur ini, sedari adegan pembuka, Garin langsung menyambut dan mengarahkan perhatian kita untuk tertuju kepada duality; bahwa ada sisi lain yang jarang disorot dan itulah yang disorot sekarang olehnya di film. Karena itulah menjaga tetap ambigu jadi langkah terbaik yang bisa dilakukan film ini. Supaya kita tidak terlepas dari duality tersebut. Tapi film merasa perlu juga untuk menjelaskan dengan lebih gamblang, sehingga kesan tersebut dihentikan menjelang babak akhir dan film menjadi pengungkapan yang lebih clear. Yang sayangnya juga mengurangi kemagisan dan art-nya itu sendiri. 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PUISI CINTA YANG MEMBUNUH.

 

 




That’s all we have for now.

Mengapa menurut kalian perasaan negatif kayak marah, galau, derita, justru bisa menghasilkan karya seni yang lebih bagus – like, lagu bagus aja biasanya tercipta dari orang yang patah hati?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SCREAM Review

“Fandom can’t have nice things”

 

 

Franchise Scream bisa segede ini karena misteri whodunnit-nya selalu dibarengi oleh humor meta dan sindiran untuk film dan trennya saat itu. Scream original adalah satir untuk genrenya sendiri. Scream 2 menyindir horor sekuel. Scream 3 berisi celetukan gimana Hollywood membuat franchise dari tragedi nyata. Scream 4 menyentil soal reboot atau remake. Bahkan Scream versi serial juga memuat komentar soal adaptasi ke serial tv. Maka sebagai penggemar berat, aku excited sekali nungguin tentang apa Scream kelima ini. Terutama setelah mereka mutusin untuk mencopot angka-lima dan hadir dengan judul Scream saja- ngikutin horor-horor klasik yang dimodernisasi dengan sekuel yang gak ada angka, confusing everyone. Apakah Scream lima sengaja menyindir ini?

Yang jelas, sekuel terbarunya ini memang kayak berusaha memancing reaksi fans banget. Apalagi pas ditonton. Wuih. Mulai dari mengejek horor kekinian yang lebih drama, sampe ke misteri dalam ceritanya sendiri yang buatku tampak so easy. Scream 5 ini actually adalah Scream pertama yang bisa aku tebak dengan benar siapa pelakunya, siapa yang bakal mati. In fact, aku sudah menerka sejak adegan para karakter bertemu di rumah sakit di awal cer.. See, inilah yang hendak dilakukan oleh Scream 5. Film ini ingin bicara langsung kepada para penggemar setianya. Film menggebah kita entah itu untuk protes, atau untuk menyombongkan diri. Aku hampir saja jatuh ke lubang jebakannya itu. Karena Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillet memang merancang film ini sebagai sindiran untuk fandom dengan segala ke-toxic-annya.

screamGFhXkEyXkFqcGdeQXVyMTkxNjUyNQ@@._V1_
Satu-satunya yang kusayangkan adalah Samara Weaving gak jadi dicast, padahal dia bisa fun banget mainin putri Billy Loomis

 

 

Sebagai Scream pertama yang tidak didirect oleh kreatornya langsung (RIP Wes Craven!) Scream 5 memang memikul beban yang berat. Tudingan dan ancaman dari penggemarnya pasti langsung menghujam. Awas kalo gak menghormati ruh franchisenya! Awas kalo jadi cash-grab doang! Dan memang bukan Scream saja yang mengalami itu – both peremajaan franchise dan reaksi-reaksi fans. Hal tersebut udah jadi kayak tren baru di Hollywood.  Franchise-franchise gede seperti Halloween, punya banyak sekuel sehingga udah melenceng ke mana-mana. Kini banyak dari mereka yang dihidupkan kembali. Dibuat ulang sebagai sekuel langsung dari original, mematikan sekuel-sekuel terdahulu. Itu adalah trik yang dilakukan supaya gampang laku dan terutama tidak mengkhianati para fans originalnya. That’s the keyword. Scream, on the other hand, adalah satu-satunya dari franchise-franchise gede seperti itu yang memang hadir selalu sebagai sindiran meta. Sutradara Matt dan Tyler jeli melihat itu. Mereka paham ada sesuatu di balik apa yang mereka sebut (lewat karakter ceritanya) sebagai ‘rekuel’. Sesuatu yang pantas untuk dibahas, dikomentari, dan mereka mengolah itu ke dalam mitologi dunia Scream yang mereka ekspansi. Mereka menatap balik para fans. And they give all of us the wink that we deserved.

Tidak ada opening dalam franchise Scream yang bertindak sepenting opening Scream kelima. Bukan sekadar untuk horor pembunuhan pertama yang ngeset mood dengan bintang muda berakting jauh dari elemen nyaman mereka, ataupun sekadar untuk nostalgia ke original, melainkan opening kali ini sudah berbobot oleh informasi yang memuat gagasan sekaligus hook ke cerita utama nantinya. Ini juga kali pertama korban di adegan opening selamat dari maut. Gadis yang ditelpon lalu diserang Ghostface itu adalah Tara (Jenna Ortega kupikir lebih punya kharisma kuat sebagai tokoh utama). Kini dia di rumah sakit dijenguk oleh geng–oops 90an banget, sekarang istilahnya adalah sirkel! Di antara sirkel Tara itu ada sobat karibnya Amber (langsung kujatuh cinta sama penampilan Mikey Madison), Wes (Dylan Minnette jadi karakter untuk tribute ke Wes Craven), si kembar Mindy dan Chad, serta Liv. Kakak Tara yang sudah lama meninggalkan kota Woodsboro pun hadir demi memastikan keselamatan adiknya. Semua orang yang ada di ruangan itu in some way punya hubungan dengan karakter-karakter dari Scream original. Yang membuat mereka semua menjadi target dari si Ghostface yang baru – dan also, semuanya adalah tersangka utama. Semua, termasuk Sam kakak Tara yang datang bersama pacarnya. Sam (Melissa Barrera looks though enough) merasa sepertinya semuanya berhubungan dengan rahasia yang ia simpan. Rahasia bahwa sebenarnya dia adalah putri dari Billy Loomis, sang original killer. 

Tugas mengisi dunia dengan karakter baru sudah terestablish dengan baik. Ini benar-benar seperti cerita baru, tapi dengan tie-in kuat terhadap cerita original. Film menggali drama dari karakter utama baru dan karakter-karakter lama. Dan drama-drama tersebut tidak tumpang tindih. Mainly karena film tidak malu untuk mengakui bahwa sudah saatnya untuk move on. Trio Sidney – Gale – Dewey dihadirkan, tidak merebut spotlight, tapi tetap dengan momen-momen heartfelt. Aku suka film ini menggali relationship Dewey dan Gale dengan lebih grounded dan make sense ketimbang pada sekuel sebelumnya. Momen kecil seperti Dewey yang berkata akan menelepon Gale tapi kemudian hanya meng-sms saja membuat karakter-karakter semakin bersinar. Sedangkan pada karakter utamanya, Sam, dikembangkan urusan yang lebih psikologikal. Drama personal seorang keturunan serial-killer. Sam, di saat-saat sendirian, akan sering melihat ayahnya. Bicara dengan sosok ayahnya. Ini menambah percikan dan bobot di dalam misteri yang dipunya oleh cerita. Karena ultimately inilah yang dijadikan motif utama. Ghostface di film ini ingin menulis fan-fiction tentang anak dari Billy Loomis dan Sidney. Fan-fiction yang menurutnya bakal bisa jadi film yang lebih hebat daripada sekuel-sekuel Stab yang semakin ngaco.

Screamcreen-Shot-2021-10-12-at-9.04.11-AM
Sementara di sini fans masih ribut soal beda fanfic dengan AU

 

 

Di sinilah letak keluwesan Scream sehingga bisa terus bicara sebagai sindiran meta. Selain aturan-aturan film horor, Scream juga punya film-dalam-film. Sejak Scream kedua diceritakan tragedi Sidney Prescott menjadi begitu viral sehingga diberitakan, dibukukan, dan difilmkan. Film kayfabe ini berjudul Stab dan merupakan cerminan ekstrim dari film Scream itu sendiri. By now, Stab udah 8 sekuel, dan sekuel terakhirnya benar-benar flop. Mirip seperti Scream 4 yang juga gak sukses, bedanya di film kelima ini diceritakan Stab 8 sudah seperti cerminan dari horor modern kita. Di jaman kita sekarang, horor ‘fun tapi cerdas’ bukan lagi yang seringan Scream. Melainkan yang berat-berat, yang lebih dramatis, seperti The Witch, Hereditary, The Babadook, It Follows. Film yang bagus banget, tapi kurang laku karena ya enggak sefun Scream. Scream 5 berusaha menjadi balance. 

Supaya film ini menarik untuk ditonton oleh penonton kekinian, mereka membuat drama yang cukup berbobot, sementara tetap mempertahankan pesona 90an yang jadi ruh franchise Scream, yang jadi pemancing nostalgia. Akan tetapi, seperti yang mereka prediksikan terjadi kepada Stab 8, film ini tahu fans original bakal ada aja yang protes karena menganggap terlalu berbeda. Jadi film ini menyindir mereka duluan. Fans-lah yang dijadikan pembunuh dalam cerita ini. Fans tersebut mengira tahu apa yang mereka mau, dan berusaha mengambil kendali. Fans ingin membuat cerita sendiri, dan menjadi pembunuh berantai demi itu. Di satu adegan ada Dewey merasa terluka oleh kata-kata seorang karakter; that’s how toxic fans in our life kill menurut film ini. Sebenarnya, film sedang meneriakkan bahwa fans sendirilah yang merusak apa yang mereka suka, bagi diri mereka sendiri dan bagi semua orang.

Itulah sebabnya kenapa fandom gak akan pernah bisa mendapatkan nice things. Karena mereka gak pernah puas, selalu ada aja yang diprotes. Dan itu gak sebatas film, kita akui saja, fandom di mana pun – wrestling, buku, musik, sepakbola, bahkan agama, memang cenderung jadi seganas ini. Terutama kalo ada ‘anak baru’ maka makin beringas lah mereka menunjukkan kefanatikannya dengan segala “harus begini, harus begitu”.

 

 

Bukan hanya pada narasinya saja. Celetukan ini juga menguar dari penceritaan film. Misalnya pada elemen horornya. Fans suka banget sama jumpscare. Film horor baru seperti Hereditary dan kawan-kawan tadi bagi mereka gak seram, karena gak ada jumpscare yang seru. Maka film ini bermain-main dengan itu. Ada sekuens karakter seorang diri di dalam rumah. Dia membuka segitu banyak pintu dan lemari. Dan setiap kali pintu-pintu itu dibuka, film akan menaikkan intensitas musik, seolah ada sesuatu yang bakal mengejutkan muncul begitu pintu itu diayunkan tertutup kembali. Jumpscare yang udah diantipasi itu tidak pernah datang. Barulah kemudian di saat yang paling tidak diduga, film memunculkan kejutan. Yang terasa jadi lebih efektif. Jadi film ini cerdas sekali, memanfaatkan sindiran menjadi efek seram yang lebih kuat.

Film menelisik toxic fandom ini lebih lanjut. Kedalaman komentarnya itulah yang membuatku suka sekali sama film ini. Ke-toxic-an itu dikaitkan film kepada kegemaran kita terhadap menyebarkan hal-hal negatif yang berlawanan dari yang kita sukai. Ada yang janggal sedikit, digoreng ramai-ramai. Ada yang berbeda sedikit, dibahas berhari-hari. Itu juga sebabnya kenapa komentar sarkas dan ulasan menghina lebih banyak dibaca. Kita menikmati hal-hal negatif, karena itu juga membuat hal yang kita sukai semakin tervalidasi. Dan pada akhirnya kita jadi lebih suka melaporkan kenegatifan. Period. Maka dari itulah, film ini bagiku seperti berakhir dengan poetic justice. Karena Gale Weathers-lah yang menyadari duluan. Semua horor di dunia mereka itu berasal dari dia yang jurnalis, lebih memilih melaporkan tragedi, memberitakan kejadian berdarah, menceritakan serial killer kepada publik. Cerita Sidney, Stab, jadi punya banyak penggemar for the wrong reasons. “I’m not gonna write about this” kata Gale di ujung durasi Scream 5. Gale benar. Jangan kasih minyak ke negativity. Jangan kasih viral perbuatan jahat, bego, kasar, dan sebagainya.

 

 

 

Ternyata film ini misterinya lebih gampang ditebak bukan karena bangunannya kurang kuat. Kita-lah yang sudah terlampau cinta sama franchisenya, kitalah yang sudah demikian mengerti dengan konteksnya. Kita adalah penggemarnya, dan film ini bicara tentang penggemarnya harusnya menikmati apa yang kita cintai. Boleh kritik, tapi jangan jadi toxic. So here goes mine. Dengan segala antisipasi itu, film ini masih mampu tampil menghibur. Membawa ruh franchisenya, respek sama franchisenya. Menghadirkan cerita dan karakter baru yang terikat kuat pada karakter original. Bercerita dengan drama yang balance; dengan drama itu sendiri serta dengan aspek horor. Film dengan muatan sebanyak ini berpotensi jadi boring atau sukar dimengerti, tapi muatan sindiran dan komentar serta aksi misteri whodunnit-nya membuat film tetap menarik dari awal sampai habis. Film ini berikan perkenalan yang cukup, serta proper send off untuk certain character. Dan kita menyambut semua itu dengan suka ria. Plus, I love Amber. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SCREAM

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian punya tips menjadi fan yang baik dan enggak jadi toxic?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE LOST DAUGHTER Review

“There’s no way to be a perfect mother and a million ways to be a good one.”

 

Yang namanya ibu tidak akan meninggalkan anak yang telah susah-susah mereka lahirin ke dunia. Natural bagi seorang ibu untuk selalu berusaha menjaga dan merawat anaknya. Ketika kau menjadi seorang ibu, kau akan rela mendahulukan kepentingan anakmu di atas segalanya, termasuk sesuatu untuk dirimu sendiri. Maka dari itulah, sesekali akan ada masanya bagi seorang ibu merindukan waktu-waktu mereka bisa melakukan hal untuk diri sendiri, merindukan kebebasan dan kesempatan untuk mengejar – dan hanya mengejar – keinginan sendiri. Me-time akan sangat berharga bagi ibu; momen ketika mereka enggak harus mikirin tanggungjawab kepada anak. Ibu harusnya gak boleh merasa malu atau merasa bukan ibu yang baik dengan menginginkan waktu me-time tersebut. 

Paragraf tersebut, bukanlah kata-kataku. Aku cowok, aku gak akan pernah bisa benar-benar tahu apa yang dialami. yang dirasakan, atau yang diinginkan oleh seorang ibu. Ulasan ini bukanlah tulisan yang berisi pendapatku – seorang cowok – yang ngajarin bagaimana harusnya cewek menjadi seorang ibu. Melainkan pendapatku soal apa yang sedang berusaha dikatakan oleh Maggie Gyllenhaal ketika dia mengadaptasi novel karya Elena Ferrante menjadi debut penyutradaraan film-panjang pertamanya. Karena film The Lost Daughter memang diceritakannya dengan cara yang membuat penonton geleng-geleng sambil garuk-garuk kepala. Kinda susah dipahami arahnya ke mana, susah merasa simpati kepada karakter utamanya. Namun kita juga akan gampang merasakan ada kesedihan mendalam di balik cerita. And no doubt, film ini bakal bikin kita menemukan rasa hormat yang lebih gede kepada seorang ibu. Hampir seperti perasaan takut, malah. Takut mereka memilih menjadi seperti Leda, sang karakter utama cerita.

Leda bilang dia punya dua orang anak. Bianca dan Martha. Usia anak-anaknya itu kini sudah 25 dan 23 tahun. Tapi begitu ditanya lebih lanjut tentang mereka, Leda gak bakal menjawab. Dia malah bakalan seperti break-down, dan lantas pergi meninggalkan penanya kebingungan di tempat. Sekilas, profesor literatur itu memang seperti orang yang gak ingin diganggu. Tidak nyaman beramah tamah dengan orang lain. Leda liburan ke pantai Yunani, bermaksud menyelesaikan tulisannya sambil rileks. Tapi pantai itu ternyata ramai, oleh acara dari keluarga besar yang sepertinya berpengaruh di sana. Konsentrasi Leda lantas hinggap kepada seorang ibu muda bersama anak perempuan kecilnya. Leda terus menatap mereka, matanya menerawang, dan kita akan terflashback ke masa muda Leda merawat dua orang anak yang juga sama bocahnya. Leda pun menemukan dirinya semakin terinvolved kepada ibu muda dan anak itu, ketika boneka si anak hilang. Dan ternyata ada di dalam tas Leda.

daughtere1640644060913
Apakah boneka tersebut ada spiritnya?

 

Kasarnya, this is one complicated bitch. Karena Leda ini adalah yang pribadi yang, bukan exactly tertutup – karena di momen pribadinya kita akan digambarkan perihal yang ia rasa lewat adegan-adegan masa lalu, melainkan lebih tepatnya ya yang ribet untuk alasan yang gak jelas. Kita gak tahu kenapa Leda melakukan apa yang ia lakukan. Namun itu bukan karena dianya yang enjoy at being difficult dan kasar dan gak sensitif sama orang. Bahkan dirinya sendiri enggak tahu kenapa dia melakukan hal yang ia lakukan. Mencuri boneka anak kecil itu misalnya. Leda tidak dapat menjelaskan kenapa dia melakukan itu. Arahan Maggie membuat hampir seperti Leda meminta tolong kita untuk menjelaskan apa yang salah kepadanya. Karena memang ada sebagian diri Leda yang, katakanlah, begitu egois. In that sense, kita bisa bilang Leda ini adalah protagonis sekaligus antagonis dalam ceritanya sendiri. Inilah yang membuat kita akhirnya betah duduk mengawali journey-karakternya selama dua jam. Tabah menahan karakternya yang penuh cela, bahkan sebagai narator saja dia agak susah dipercaya. Sebab deep inside, kita konek kepadanya sebagai manusia yang tak sempurna. 

Ini juga jadi bukti betapa luar biasanya akting Olivia Colman yang jadi Leda di kurun sekarang, Leda yang sudah 48 tahun dan memikul segitu banyak beban, dan penyesalan, meskipun dia percaya dia berhak melakukan pilihan yang ia lakukan di masa muda. Menyambung karakter yang awalnya dihidupkan dengan tak kalah meyakinkan dan penuh konflik oleh Jessie Buckley, yang jadi Leda muda. Yang ultimately tentu saja merupakan bukti betapa Bu Sutradara punya mata yang personal menggambarkan kecamuk perasaan dan emosi seorang perempuan yang menempuh motherhood. Maggie tidak pernah bercerita dengan statement. Dia tidak pernah menggambarkan perasaan itu dengan utuh. Tidak pernah memberikan jawaban atas ‘misteri’ karakter. Karena itu akan membuat ceritanya menjadi ngejudge perihal perbuatan Leda. Film ini bukan hadir untuk ngejudge. Maggie ‘hanya’ memperlihatkan kepada kita betapa mengukung dan bikin capeknya tanggung jawab menjadi seorang ibu. 

Kalian tahu potret ibu dalam keluarga utuh yang sempurna? Ibu bagai matahari, cintanya tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali? The Lost Daughter bilang itu adalah kondisi yang terlalu ideal, mustahil tercapai. Karena ibu juga manusia. Jadi, film ini hadir sebagai antitesis dari ibu sempurna tersebut. Antitesis yang menyebut bahwa meskipun ibu tidak mungkin sempurna, seorang ibu punya banyak pilihan untuk menjadi ibu yang baik. Dan Leda, kita akan lihat akhirnya memilih menjadi ibu-tak sempurna, ibu yang benar-benar manusiawi, yang seperti apa.

 

Jujur, selama ini aku memang kesal sama cerita yang tokoh ibunya merasa pantas diri mereka mendapat me-time. Atau bahkan lebih dari itu, kayak, ibu yang merasa berhak untuk ninggalin anak karena sebagai manusia mereka juga punya mimpi yang harus dikejar. Kehadiran anak yang biasanya diceritakan produk dari ‘kecelakaan’ atau tidak suka sama suka, dianggap sebagai penghambat. Cerita kayak Dara di Dua Garis Biru (2019) atau ibunya si Ali di Ali & Ratu Ratu Queens (2021), aku ujungnya hanya melihat mereka sebagai orang yang selfish. Karena memang film-filmnya pun tidak mengeksplorasi lebih dari sekadar bahwa sosok ibu adalah manusia first, yang punya keinginan, dan yang mau dimanusiakaan. The Lost Daughter ini beda. Maggie menggali lebih lanjut. Dia tahu satu-satunya cara untuk menggali ke dalam itu adalah dengan menaikkan volume seekstrim mungkin. Makanya film ini akan terasa sangat tanpa ampun. Meninggalkan kesan yang juga jauh lebih dalam.

daughterl-intro-1634594864
Lebih dalam dari sekadar nonton Olivia Colman berakting jadi ibu-ibu nyebelin

 

Alih-alih statement gamblang, Maggie menghidupkan adegan-adegannya dengan simbol, situasi yang kontras oleh kiasan. Yang membuat film ini jadi semakin dalam dan penuh makna. Pada awalnya, Leda memang tampak seperti turis yang menikmati liburannya di pantai. Tapi buah-buahan yang disediakan di kamarnya yang luas itu, busuk. Malam hari, jangkrik masuk. Lampu mercusuar bikin Leda harus menutupi mukanya dengan bantal. Pantai yang sepi ternyata ramai. Bioskop, ternyata penontonnya berisik. Tempat itu seperti menyerang Leda. Lagi jalan aja dia bisa terluka kejatuhan buah pinus. Belum lagi pandangan dari keluarga besar yang sepertinya keluarga mafia, keluarga yang sempat ribut dengan Leda, keluarga yang boneka anaknya dicuri oleh Leda. Keadaan Leda yang sekarang seperti menunjukkan bahwa tidak ada yang sempurna. Bahwa mimpi kita akan keadaan senyaman liburan pun pada akhirnya akan dibenturkan dengan kenyataan yang seringkali pahit. Dan kita ya harus dealt with it

Semua itu tidak terlihat oleh Leda. Karena dia begitu fokus mengejar passion, mengisi hidupnya dengan hal-hal yang telah terenggut setelah punya anak. Leda muda memperlihatkan bagaimana dia akhirnya sampai kepada keputusan, dia mulai merasa bebas, dan keadaan Leda yang sekarang adalah kontras yang memeriksa dia yang sudah mendapat yang ia mau, tapi kenapa dia tidak tampak begitu bahagia. Leda merindukan anak-anaknya. Leda sendirian. Leda gak enjoy di situ. Notice judul film ini tunggal (daughter alih-alih daughters) padahal anak Leda dua orang, dan bahwa anak kecil yang sempat ilang juga gak lama kemudian ketemu? Judul sebenarnya merujuk kepada Leda. Dialah anak hilang yang dimaksud oleh cerita. Hilang karena tidak bisa memastikan di mana tempatnya berada. Leda adalah ibu, dia mau jadi ibu, tapi tak mau memikul tanggungjawab sebagai ibu.

Makanya dia mencuri boneka itu. Dari sudut pandangnya, kita paham bahwa Leda menganggap boneka sebagai ganti anak. Dia ingin merawat dan membersihkan boneka yang udah dicorat-coret dan penuh air itu. Dia ingin merasakan kembali jadi ibu dengan merawat anak. Dan boneka adalah anak yang tepat untuk Leda karena merawat boneka tidak perlu tanggungjawab yang besar. Leda bisa menyayangi boneka kapan dia bisa saja, saat senggang aja, saat dia gak capek dan gak banyak kerjaan. Sementara dari yang kita lihat, sebagai inner-needs dari Leda yang tak kunjung ia sadari, boneka itu adalah kesempatan kedua baginya. Dia butuh untuk menyelamatkan boneka itu karena si ibu muda dan anaknya telah membuat Leda teringat kepada dirinya dengan anaknya waktu masih kecil; anaknya yang telah mencorat-coret boneka yang ia berikan, boneka yang harusnya dirawat karena boneka adalah mainan yang mengajarkan tanggung jawab menjadi seorang ibu sejak dini kepada anak perempuan. Leda muda membuang boneka yang telah dirusak yang mengawali gerahnya dia ngurus anak; Leda tidak ingin ibu dan anak kecil yang ia lihat di pantai mengalami masa depan yang sama dengan dirinya, dulu dan sekarang. Bahwa merawat boneka dan kemudian merusak atau meninggalkannya itu adalah hal yang ia lakukan dan diam-diam ia sesali.

Demikianlah kompleksnya karakter Leda. Dia paham pentingnya dan indahnya menjadi seorang ibu, tapi sekaligus juga dia tidak tahan dengan tanggungjawabnya. Ending film ini poetic sekali dalam menggambarkan hal tersebut. Leda yang terluka, terhuyung keluar dari mobil, pergi ke pantai. Terbaring di antara pasir dan pantai. Menunjukkan dia telah belajar, tapi tetap tidak mampu memilih. Matikah dia di akhir itu? Film membuat sangat ambigu. Tapi, at that point, aku udah kasihan sama Leda. Aku berharap dia meninggal saja, karena dengan begitu dia bisa lepas dengan benar-benar bahagia. 

 

Hiruk pikuk emosi paling manusiawi dari seorang ibu digambarkan dengan lantang oleh film ini. Bahasannya mengonfrontasi pemikiran, tapi tidak pernah diniatkan sebagai sesuatu yang judgmental. Sehingga pada akhirnya film ini akan membekas lama. Tragis dan ‘ngerinya’ walaupun benar-benar dibahas dari sudut pandang yang sangat personal, akan menguar kepada kita semua. Dan yea, film ini bakal membuat kita lebih menghargai pilihan perempuan menjadi seorang ibu. Perempuan menjadi sempurna dengan memiliki anak, tapi tidak ada yang namanya ibu yang sempurna. Film menunjukkan itu semua kepada kita, lewat perjalanan karakter yang juga dimainkan dengan luar biasa.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE LOST DAUGHTER.

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian semua ibu punya perasaan yang sama dengan Leda? For boys: kira-kira apa yang bisa kita lakukan supaya ibu atau istri tidak sampai jadi seekstrim gambaran Leda?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

CENSOR Review

“Art should disturb the comfortable”

 

Saat angka kekerasan meningkat, orang-orang akan mulai mencoba mencari kambing hitam. Bukan, bukan kambing hitam untuk pemujaan setan. Melainkan ‘kambing hitam’ sebagai yang dipersalahkan. Di Inggris tahun 80an, kepala orang-orang menoleh ke media. Ke film. Tepatnya, ke film yang beredar secara bebas dalam bentuk kaset video. Bebas dalama artian belum dinaungi oleh regulasi hukum penyiaran saat itu. Film-film atau video-video yang jadi kambing hitam itu adalah video-video genre eksploitasi. Kekerasan segala rupa memang jadi jualannya. Maka video-video tersebut dikenal dengan istilah ‘Video Nasty’. Adegan-adegan kekerasan dalam tayangan itu disinyalir sebagai pemicu nafsu buas pada diri penonton; membuat mereka meniru dan melakukan tindakan kriminal. Di saat seperti itulah, sensor seperti benar-benar dibutuhkan. Tukang-tukang gunting bertangan dingin seperti Enid Baines dalam film Censor, menyangka kerjaan mereka sebagai pahlawan penyelamat moral. 

Enid memang memandang tinggi pekerjaannya tersebut. Enid betah duduk sendirian di ruangan, menonton detik demi detik adegan sadis (dan menjijikkan), dan membuat catatan terhadap mereka. Dia juga strict banget dalam potong-memotong adegan. Sehingga Enid ini terkenal kaku, bahkan oleh sejawatnya sendiri. Makanya ketika dilaporkan ada kasus pembunuhan sadis yang tampaknya seperti meniru adegan dalam film yang seharusnya sudah disensor oleh dirinya, Enid jadi terguncang. Untuk menebus kesalahan, Enid mulai memburu lebih banyak film. Inilah ketika Enid menemukan sebuah film horor yang adegan pembukanya mirip sekali dengan ‘adegan’ traumatis di masa lalu dirinya. Selagi berusaha menguak misteri antara film tersebut dengan masa lalunya, Enid mulai kehilangan pegangan. Tak jelas lagi baginya apakah dia sedang menyensor sebuah karya atau mengedit kenyataan sesuai dengan kehendaknya

censormaxresdefault
Mungkin saking ketatnya, namanya sebaiknya diubah jadi Edith hahaha

 

This film is really great, sebagai sebuah horor psikologis. Karena keadaan jiwa Enid terus menerus disorot, dan actually jadi ladang horornya. Sebagai karakter, Enid akan ‘berubah’ dari seseorang yang sepertinya stabil (divisualkan lewat dandanan ala bu guru galak, lengkap dengan kacamata dan rambut yang disanggul) turun dalam spiral kewarasan menjadi seseorang yang sinting dan lepas kendali (rambut terurai berantakan, plus baju compang-camping bernoda darah). Niamh Algar membuat arahan-arahan sutradara Prano Bailey-Bond sebagai panggung personal karakternya, ngetackle setiap adegan dan setiap deteriorasi tokohnya dengan benar-benar menjiwai.

Setidaknya ada tiga spektrum dari karakter Enid ini; seorang karyawan yang mengenali ‘musuhnya’ (gaze dan kreativitas bablas pembuat film), seorang anak yang merasa bersalah kepada orangtuanya, dan seorang kakak yang berniat menyelamatkan adik pada akhirnya. Bahkan ada poin ketika Enid ini jadi kayak detektif yang menginvestigasi kasus, sebagai bridge pada inner journeynya. Basically sutradara menyuruh Niamh untuk terjun bebas ke dalam psikologis karakter Enid, dan dia melakukannya dengan sangat sukses sehingga kita yang menonton tahu si Enid ini sedang dalam proses menjadi sinting, tapi kita tetap bertahan mendukungnya. Tantangan terberat bagi cerita-cerita yang menampilkan kemunduran jiwa tokoh utamanya; yakni bagaimana membuat karakter yang pilihannya semakin gak rasional tanpa membuat si karakter tersebut tampak bego. Misalnya kayak di Saint Maud (2021), horor terbaik pada caturwulan pertama tahun ini; Kita paham bahwa karakter di film tersebut hanya halu – bahwa dia mendengar bisikan setan alih-alih wahyu Tuhan, namun kita berempati padanya. Kita paham dukanya, kita mau memahami kenapa dia halu seperti itu. Censor berhasil menjajaki tantangan serupa demikian. Karena di sini, Enid mulai percaya adiknya masih hidup, mulai percaya ada filmmaker yang telah menculik dan menyembunyikan identitas si adik, tapi kita tidak sekalipun percaya itu semua. Kita duduk menonton karena kita begitu termesmerize oleh journey Enid. Ya, kita bersimpati.

Atau mungkin, film telah berhasil ikut membuat kita terhipnotis. Kita telah dibuatnya ikut blur di antara garis halusinasi dan realita. If this is the case, ini hanya menunjukkan betapa kuatnya arahan sang sutradara dalam debut film panjangnya. Bailey-Bond berhasil membangun tensi, berhasil membuat kemunduran state of mind Enid sebagai suatu perjalanan yang menghantui, kita tidak bisa terlepas darinya. Treatment unik, craft spesial, dilakukan oleh Bailey-Bond untuk membuat pengalaman psikologis Enid terasa nyata. Kabut-kabut dikerahkan untuk menghasilkan estetik surealis perihal ketidakpastian, sebagai kontras dari ruangan kantor yang serbategas. Dengan seamless, misalnya lagi, Bailey-Bond memainkan rasio layar. Lebar normal jika adegan memang nyata, dan semakin menyempit untuk mengindikasikan semua itu hanya di layar kaca yang ditonton oleh Enid. Dan layar bahkan lebih sempit lagi ketika menampilkan keadaan sedang dalam proses suting, yang sejalan dengan sempit (dan kalutnya) perasaan yang menggelayuti Enid. Puncak dari craft film ini ada pada menjelang akhir; kontras visual, dengan efek glitch, berhasil dimainkan ke dalam efek yang benar-benar bikin kita uneasy karena menyadari sesuatu yang tidak disadari (atau mungkin sesuai konteksnya; dicut keluar) oleh Enid.

Aspek menghibur dari sebuah film horor dicapai film ini lewat persembahan kepada ‘genre’ Video Nasty itu sendiri. Yea, those were real. Sebagian besar judul film yang disebut dalam cerita adalah judul-judul film yang memang beneran ada. Ketika harus menciptakan video nasty versi sendiri, film ini enggak ragu untuk membuat layarnya menjadi grainy supaya mirip betul dengan video-video horor tahun 80an yang berbudget rendah. Pun direkam dengan gaya yang persis sama dengan style horor jadul tersebut. Bukan hanya itu, film yang bercerita tentang karakter yang percaya pentingnya sensor film ini bahkan menampilkan juga adegan-adegan kekerasan/sadis yang membuat video nasty begitu digemari (dan dikambinghitamkan sekaligus).

Jadi kalo begitu, bagaimana dengan permasalahan ‘kekerasan dalam media’ itu sendiri? Apakah penyensoran memang dibutuhkan? Di mana film ini berpijak sehubungan dengan itu?

censorsasa
Pengertian dasar dari sensor mandiri

 

Sehubungan dengan sensor, film Censor sendiri memang menilik dari banyak sudut. Peredaran kaset video film-film nasty yang menyuguhkan adegan full-tanpa sensor itu juga sempat disorot. Film ini dengan membuatnya ‘terbuka’, apakah video-video itu disebar oleh pembajak – dan siapa yang membajak, apakah orang dalam lembaga sensor, atau malah justru filmmakernya sendiri yang menyebarkan sebagai bentuk protes dari tindak penyensoran.

Tapi memang sebenarnya ada sikap kuat yang dideklarasi oleh film ini. Censor mengakui bahwa tindakan penyensoran sebenarnya memang ‘akal-akalan’ pemerintah untuk mengatur kreativitas, dan tidak benar-benar punya pengaruh langsung dengan tindak kriminal di dunia nyata. Sikap ini ditunjukkan oleh film ini lewat revealing yang menyebut bahwa pelaku kasus pembunuhan sadis yang disebut-sebut meniru film yang harusnya udah disensor oleh Enid, ternyata sama sekali tidak pernah menonton film tersebut. Namunnya lagi, bagaimana dengan Enid? Tidakkah Enid berubah menjadi sinting dan bertindak ekstrim karena pengaruh film-film sadis yang sudah dia tonton secara khusyuk selama bertahun-tahun sebagai kerjaannya untuk menyambung hidup?

Tentu kita bisa berargumen Enid telah terpengaruh kekerasan, tapi itu tidak serta merta berarti dia membunuh karena menonton film atau sebagai penyaluran dari film, bukan? See, di sinilah menurutku kekuatan dari film ini. Meskipun dialog-dialognya sendiri banyak yang terlalu gamblang, tapi film ini tetap didesain untuk bekerja sebagai sesuatu yang membuka terhadap argumen-argumen. Memantik diskusi soal sensor. Kesubtilan film ini ditujukan khusus kepada menunjukkan sikap atau pendapat pembuatnya. Ada begitu banyak lapisan pada backstory karakter Enid, sehingga kita tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa karakter ini terpengaruh langsung oleh film. Dan begitu jugalah semestinya pada dunia nyata. 

Censor meletakkan tanda tanya di belakang kalimat “Life imitates art”. Dan ini adalah perwujudan sikap yang paralel dan benar-benar kuat sehubungan dengan tindak sensor itu sendiri. Sebab seni, kan, adalah sesuatu yang mengguncang kenyamanan. Censor adalah art karena mengguncang kalimat tadi. Film-film eksploitasi adalah art, karena kestabilan hidup Enid terguncang begitu dia melihat film yang serupa dengan pengalaman traumatisnya. Tapi tindak sensor tidak akan pernah menjadi art, karena art bukan soal kenyamanan.

 

 

Sebut ini sebagai surat cinta terhadap Video Nasty dan film-film sadis lainnya. Sebut ini sebagai cerita psikologis seorang manusia yang harus berkonfrontasi dengan rasa bersalah yang dipendam bertahun-tahun. Sebut ini sebagai sikap untuk sebuah tindak penyensoran. This film is certainly will go by those names. Didesain dengan craft yang benar-benar beralasan. Bagiku, film ini utama dan terutama sekali adalah sebagai sebuah horor psikologis yang benar-benar unsettling. Lengkap dengan visual yang bikin gak bisa tidur. Aku suka gimana sutradara mengarahkannya, sehingga bahkan bagian yang paling artifisialnya pun masih bisa kita pedulikan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CENSOR.

 

 

 

That’s all we have for now.

So which is it menurut kalian? Apakah film atau media memang berpengaruh sama tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang? Perlukah diadakan yang namanya sensor-menyensor? Tindakan apa yang mestinya dilakukan oleh sebuah lembaga sensor?

Bagaimana pendapat kalian tentang sensor film di Indonesia?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

SAINT MAUD Review

“God’s one and only voice is silence.”
 

 
 
Perjalanan menemukan Tuhan, bagi setiap orang memang berbeda-beda. Ada yang terus menapaki jalan lurus; terus berdoa dan berbuat baik kepada sesama. Merasa bahagia dan dekat dengan Tuhannya dengan membantu orang-orang. Sebaliknya, ada yang jadi mendekatkan diri kepada Tuhan, meminta perlindungan, ketika mendapat bencana atau ujian berat. Dan tak sedikit pula, yang merasa dekat dengan Tuhan setelah melakukan kesalahan fatal sehingga ia ingin bertobat. Yang merasa dirinya telah tersesat. Dalam kegelapan itulah, mereka akhirnya menemukan Tuhan. Merasa mendengar suara-Nya. Akan tetapi, bagaimana tepatnya kita bisa yakin kalo yang kita temukan itu memang suara kebenaran? Bagaimana kita bisa tahu kalo itu bener merupakan wahyu Ilahi? Bagaimana jika itu ternyata suara setan? Atau lebih buruk, bagaimana kalo bisik-bisikan itu ternyata kehaluan kita semata?
Pertanyaan itulah yang diangkat sebagai pembicaraan utama oleh sutradara sekaligus penulis naskah Rose Glass dalam film panjang pertamanya ini. Saint Maud adalah cerita horor yang menggabungkan psikologi atau keadaan jiwa seseorang dengan keyakinan terhadap agama. Sehingga cerita ini akan benar-benar menghantui secara personal. Seram yang dihasilkan oleh film ini bukan dari setan-setanan. Bahkan bukan dari elemen Tuhan melawan setan seperti film-film horor religi yang biasa kita lihat. Melainkan, seram film ini datang dari melihat orang yang semakin ngeblur batas antara realita dan halunya, yang membuat semakin burem juga mana yang kebenaran dan keselamatan, mana yang tidak baginya.
Rose Glass dengan bijak mengarahkan ini sebagai cerita yang sudut pandangnya benar-benar fokus kepada si satu tokoh utama ini. Karena ini sesungguhnya adalah cerita yang berakar pada efek dari kesendirian seorang manusia. Nama karakter utamanya adalah Maud. Suster yang memilih untuk menjadi penganut agama yang taat, setelah peristiwa kecelakaan di ruang operasi terus membayanginya. Maud percaya dirinya menemukan Tuhan setelah tragedi tersebut. Maud ditugasi untuk merawat Amanda, seorang penari profesional yang umurnya tinggal menghitung hari. Melihat bukan hanya kondisi, melainkan terutama dari gaya hidup Amanda yang berbeda dengan yang diyakininya, Maud lantas percaya bahwa Tuhan telah memberinya tugas yang lebih penting. Yakni ‘menyelamatkan’ Amanda ke jalan yang benar. Judul film ini datang dari sikap Maud yang merasa dirinya jadi orang suci. Kengerian akan terus memuncak seiring kita melihat tindakan tak-tertebak dari Maud yang membuat kita berpikir “Ni orang jangan-jangan mendengar bisikan setan?”

Jangan becanda sama maut.. eh, sama Maud!

 
Tadinya kupikir film ini bakal kayak  Persona (1966) versi horor religi karena kebetulan setting dan tokoh sentralnya serupa. Dua orang perempuan – yang satu sebagai pengasuh yang lain, yang satu lebih pendiam daripada yang satunya – yang saling berinteraksi dan akhirnya saling memblurkan garis kepribadian dan kepercayaan masing-masing. Tapi ternyata tidak. Hubungan Maud dengan Amanda memang diberikan sorotan yang kuat. Perbedaan hidup antara Maud yang sederhana dan penyendiri dengan Amanda yang supel dan sering bikin party; glamor meski sedang sakit, terkadang jadi konflik. Interaksi kedua karakter ini juga melingkup soal reaksi Amanda terhadap ajaran agama dari Maud. Namun demikian, cerita ini tetaplah milik Maud seorang. Fungsi hubungan Maud dengan Amanda adalah untuk menunjukkan dinamika power yang menjadi fuel ‘misi mulia’ Maud. Memperlebar jarak Maud dengan orang lain, membuatnya semakin terhanyut dan mengurung diri ke satu-satunya lawan bicara. Yakni ‘suara Tuhan’.
Ngeri, beneran, melihat film ini menggambarkan percakapan Maud dengan ‘Tuhan’. Kita kan biasanya berdoa dengan meminta dan memohon, merendahkan diri kepada Tuhan. Suara kita lirih, kalo perlu berdoa sambil menangis. Karena kita tahu kita tidak berdaya di hadapan Tuhan. Kita kecil, powerless. Tidak demikian halnya dengan Maud. Dia sudah begitu percaya bahwa dialah orang terpilih. Sang Penyelamat, malah. Maud sampai mengenakan sprei layaknya pakaian panjang Yesus. Nada suara Maud ketika bicara dengan Tuhan tidak seperti sedang berdoa. Suaranya terdengar akrab seolah sedang bicara hadap-hadapan dengan teman. Saking ‘biasanya’, obrolan dia dengan ‘Tuhan’ itu jadi voice-over yang bertindak selayaknya narator dalam film ini. Dan dia enggak memohon, melainkan menuntut. “Maafkan ketidaksabaran hamba, tapi saya minta rencana itu disampaikan kepada saya secepatnya”, begitu pinta Maud kepada Tuhan. Dan ketika hal tidak berjalan sesuai dengan yang ia mau – seperti ketika Amanda tetap bertemu dengan pacar wanitanya meskipun sudah dilarang – Maud enggak segan-segan untuk menunjukkan nada marah kepada Tuhannya.
Aku bicara ini sebagai seorang yang udah ngegodok naskah tentang perempuan yang curhat dengan kompornya sejak lima tahun lalu (yang Alhamdulillah sampai sekarang belum ada pitching-nya yang sukses), jadi aku kira-kira bisa paham intensitas psikologis yang ingin dicapai film Saint Maud dari obrolan Maud dengan ‘Tuhan’ tersebut. Yang sebenarnya adalah obrolan Maud dengan dirinya sendiri. Dengan jiwanya yang sudah terdeteriorate oleh isolasinya dengan sosial, oleh rasa bersalah dan traumanya atas kesalahan di masa lalu. Yang dialami Maud ini sungguh sesuatu yang mengerikan dan berbahaya. Kita lihat saja gimana Maud melukai dirinya sendiri; dia megang wajan panas, dia masukin paku ke dalam sepatu – kemudian berjalan mengenakan sepatu tersebut. Atau gimana Maud melukai orang lain ketika dia menganggap semua yang gak ‘seiman’ dengannya sebagai kemasukan setan. Padahal justru Maud sendiri yang kerap tampak seperti kerasukan. Dia sebenarnya secara tak-sadar telah menjadikan agama sebagai pelarian. Sebagai pemuas diri, untuk meyakinkan bahwa dia tidak bersalah – atau untuk meyakinkan bahwa kesalahannya dulu sudah dimaafkan sehingga kini dia jadi juru selamat.
Film bahkan menggambarkan puncak komunikasi Maud dengan Tuhan seperti sesuatu yang mirip dengan orgasme.

 

Edan sama beneran taat beriman itu memang gak ada bedanya, seperti yang dibuat oleh film ini. Kita tentu tahu sendiri contoh-contoh kasus di dunia nyata perihal orang yang terlalu edan beragama sampai-sampai menghakimi sendiri pihak-pihak yang mereka anggap berdosa. Mengharamkan, membubarkan ibadah orang, dengan dalih menegakkan perintah Tuhan. Padahal mana ada perintah Tuhan yang menyuruh mereka untuk semena-mena. Jadi yang mereka dengar itu perintah siapa? Kan itu pertanyaannya.

 
Dalam menampilkan kehaluan Maud itulah, teknis dan arahan visual film menunjukkan taringnya. Garis antara mana yang kejadian sebenarnya dengan mana yang kejadian di dalam pandangan mata Maud benar-benar dibuat halus. Warna lingkungan yang benar-benar diperhatikan komposisi terang dan gelap (bayangan) turut memperkuat kesan was-was. Tone tersebut siap untuk dibawa ke fantasi maupun realita. Dan karena kita dibuat terus melekat dengan sudut pandang Maud, maka momen-momen ketika adegan film ter-snap! menunjukkan yang sebenarnya terjadi terasa sangat menggetarkan secara emosional. Menyaksikan film ini membuatku merasa sensasi yang gak enak, yang bikin merinding. Aku tak pernah siap dan bisa mengantisipasi yang bakal terjadi berikutnya. Ditambah pula dengan imaji air dan pusaran yang senantiasa dihadirkan. Menonton Maud dengan sedemikian dekat itu terasa seperti menatap kotak kejutan lekat-lekat. Tidak tahu kapan menjeblak terbuka dan apa yang ada di dalamnya.
Maud adalah pusat cerita. Fakta ini jadi tanggung jawab buat Morfydd Clark yang memerankan Maud. Adegan demi adegan, karakter ini semakin dibuka lapisannya, dan setiap momen itu adalah suspens yang terus meningkat. Tak sekalipun Clark terbata memainkan karakter ini. Clark seperti sudah paham betul psikis seorang Maud. Yang menarik dari karakter ini kan adalah keambiguan dan keunpredictable-an. Kita hanya tahu hal-hal esensial tentang dirinya, cukup untuk membuat kita simpati, tapi selebihnya kita tidak pernah benar-benar yakin. Keambiguan ini berhasil dijaga oleh Clark lewat permainan aktingnya. Dia tampak cukup waras, terkendali, dan mampu berencana. Tapi di saat bersamaan dia juga unstable banget. Pendekatan Clark ini membuat Maud menjadi sangat menarik, enggak sekadar tampak sebagai orang halu. Film ini butuh untuk kita berada bersama Maud hingga momen akhir di ending yang edan itu. Clark berhasil memastikan itu terjadi.
 
 
 
Aku selalu bilang bahwa horor psikologis adalah horor terbaik, dan statement ini sampai saat itu belum berubah. Karena film ini adalah contohnya. Menyajikannya lewat lapisan agama, semakin memperkuat hal spesial yang ada pada film ini. Karena agama memang berkaitan dengan kejiwaan manusia – ia bicara iman, sesuatu yang dipercaya oleh hati manusia. Yang diciptakan oleh Rose Glass sebagai film panjang pertamanya ini adalah cerita yang singkat namun sangat membekas. Sebuah gambaran disturbing tentang bagaimana seseorang bisa tersesat saat menyangka diri mereka menemukan Tuhan. Fokus cerita tetap pada karakter, menjadikan film ini sebagai narasi studi-karakter yang benar-benar grounded. Meskipun bermain di ranah ambigu, which make this film as beautiful as it’s haunting.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SAINT MAUD.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang perilaku fanatik dalam beragama? Apakah itu juga karena halu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA