• Home
  • About
  • Movies
    • PIECES OF A WOMAN Review
    • ONE NIGHT IN MIAMI Review
    • NOMADLAND Review
    • MINARI Review
    • PROMISING YOUNG WOMAN Review
    • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
    • TARUNG SARUNG Review
    • SHADOW IN THE CLOUD Review
    • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020
    • ANOTHER ROUND Review
    • SOUL Review
    • ASIH 2 Review
    • WONDER WOMAN 1984 Review
    • SOUND OF METAL Review
    • MANK Review
    • HAPPIEST SEASON Review
    • THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH) Review
    • BLACK BEAR Review
    • FREAKY Review
    • TENET Review
    • THE CALL Review
    • HILLBILLY ELEGY Review
    • THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN Review
    • RUN Review
    • DREAMLAND Review
    • ROH Review
  • Wrestling
    • TLC: Tables, Ladders, and Chairs 2020 Review
    • Survivor Series 2020 Review
    • Hell in a Cell 2020 Review
    • Gold Rush: Clash of Champions 2020 Review
    • SummerSlam 2020 Review
    • The Horror Show at Extreme Rules (Extreme Rules 2020) Review
    • Backlash 2020 Review
    • Money in the Bank 2020 Review
    • WrestleMania 36 Review
    • Elimination Chamber 2020 Review
    • Royal Rumble 2020 Review
    • TLC: Tables, Ladders & Chairs 2019 Review
    • Survivor Series 2019 Review
    • Hell in a Cell 2019 Review
    • Clash of Champions 2019 Review
  • Books
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards CLOUD9
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: psychological

REBECCA Review

29 Thursday Oct 2020

Posted by arya in Movies

≈ 7 Comments

Tags

2020, adaptation, comparison, drama, life, love, mature, mystery, netflix, novel, psychological, review, romance, spoiler, thought

“The shadow of someone’s greatness is not a good place to dwell.”

 

 

 

Sudah 2020 akhir, dan sampe sekarang aku masih belum benar-benar paham tujuan orang ngeremake atau ngereborn sesuatu, selain karena soal duit. Tapi tampaknya memang begitu; hanya untuk mendulang untung semata. Makanya yang dibuat ulang itu selalu merupakan hal-hal yang populer. Atas nama nostalgia. Sesuatu yang sudah bagus, perfectly fine, juga sering banget dibikin lagi versi barunya. Alasannya tentu saja untuk diremajakan, disesuaikan dengan keadaan modern, sebagai upaya pelestarian. Alasan tersebut sebenarnya masuk akal kalo memang dibarengi oleh usaha yang benar-benar kelihatan. Namun kebanyakan ya setengah-setengah. Memaksa narasi masuk ke dalam sebuah catatan zaman yang sebenarnya memang susah untuk diubah. Tengok aja adaptasi live-action Disney yang gagal dengan gemilang karena menjejalkan agenda-agenda sosial yang baru, tanpa diiringi dengan proses adaptasi yang lebih matang. Atau gimana horor seperti Pengabdi Setan atau Ratu Ilmu Hitam yang menanggalkan identitas lokal hanya untuk sebentuk gagasan progresif (ustad gak selamanya menang lawan hantu!) tanpa menawarkan solusi baru.

Jadi, yaa, aku heran aja sama remake; kenapa yang dibuat ulang itu bukan film atau cerita yang berpotensi tapi gagal untuk konek. Istilahnya, kenapa bukan film-film jelek yang diremake supaya bisa diubah menjadi lebih bagus. Lebih prestasi kan kalo gitu, like, ‘Gue dong bisa bikin film jelek jadi bagus!’ daripada malah dikenal membuat film yang gagal live up ke keberhasilan film versi jadul. Bukankah berkarya bisa lebih luwes jika tidak ada bayang-bayang gede yang memayungi. Perihal Rebecca versi Netflix ini juga; aku paham sutradara Ben Wheatley bilang karyanya ini merupakan adaptasi terbaru dari novel sumber ceritanya. Dan aku juga paham bahwa sudah ada banyak sebelum ini yang menjadikan cerita Rebecca sebagai inspirasi – sudah banyak ‘adaptasi’ bebas dari cerita ini. Namun tetep saja, film ini tidak bisa lepas – tidak bisa untuk tidak kita bandingkan – dengan bayang-bayang gede yang sudah diciptakan oleh Rebecca versi 1940an. Dan ini ironi. Sebab film yang terjebak di bawah bayang-bayang film sebelumnya ini jadi persis sama seperti ceritanya sendiri.

Rebecca adalah cerita tentang seorang wanita muda, yatim piatu, yang jatuh cinta kepada seorang pria kaya. Tentu saja tadinya wanita ini tak pernah bermimpi bisa jadi nyonya di rumah besar itu. Pertemuan mereka kasual saja. Di Monte Carlo saat si wanita masih menjadi asisten pribadi seorang wanita terpandang. Dia bahkan belum tahu kalo Maxim de Winter yang lebih tua itu sebenarnya siapa. Barulah ketika bosnya mengajak ke New York, wanita ini resah. Dia tidak siap berpisah dengan Maxim yang sudah beberapa waktu ini terus bersamanya. Maxim juga begitu. Tak ingin berpisah, pria itu lantas langsung ngajak nikah! Si wanita diboyong ke rumahnya, Manor Manderley. Tapi kebahagian hidup baru si wanita ini bukan tanpa beban. Karena ternyata Maxim adalah duda. Dan hantu Rebecca, mantan istrinya, masih ada di rumah besar tersebut. Menghuni setiap sudut rumah. Hidup di dalam kenangan dan cerita para pelayan. Hidup, di dalam kepala wanita muda yang malang.

The Haunting of Manderley Manor

 

Jika Mrs. de Winter yang baru tersebut hidup dalam bayang-bayang Rebecca, maka film Rebecca versi Netflix ini dibayangi oleh Alfred Hitchcock; sebagai sutradara film versi jadul. Dan bayang-bayang itu tak pelak adalah bayang-bayang yang besar, lantaran Hitchcock merupakan master dari horor dan suspens. Dalam kemudinya, Rebecca mencuat sebagai roman dengan nuansa psikologikal misteri yang mencekam. Rebecca Hitchcock yang hitam putih hadir mempesona sekaligus daunting berkat teknik storytelling. Sedangkan Rebecca baru ini cantik karena lebih vibrant oleh warna dan terasa punya nada berbeda yang berakar dari karakterisasi yang memang ditulis sedikit berlainan dengan materi aslinya.

Hal tersebut actually adalah peningkatan yang berhasil dilakukan oleh film ini. Ketika di film yang lama, perspektif ceritanya seperti berpindah karena si wanita muda ini lebih pasif dan tidak memikul banyak aksi, maka Rebecca baru ini memposisikan Mrs. de Winter itu lebih kuat sebagai tokoh utama. Ini bagian dari agenda progresif yang disematkan kepada film ini. Bahwa zaman sekarang wanita haruslah kuat, capable dalam memutuskan dan beraksi sendiri. Wanita Muda memang jadi lebih menonjol, pada babak ketiga arcnya terasa lebih dramatis. Kita tak pernah lepas darinya. Tokoh ini lebih solid sebagai tokoh utama dibandingkan dirinya versi jaman dahulu. Tapi juga, perubahan karakter ini menjadi akar utama masalah yang hadir dalam keseluruhan tone dan presentasi film ini.

Lily James yang memerankannya cantik, no doubt. But Joan Fontaine, pemeran versi 1940, was just on another level. Kecantikan Wanita versi Joan bersumber dari betapa lugu, inosen, dan nervousnya dia. Kunci dari suksesnya suspens psikologis cerita ini adalah rasa percaya kita terhadap si Wanita Muda bahwa ia adalah seorang yang fragile. Secara emosional dan fisik dia merasa inferior dibandingkan banyak orang lain. Apalagi terhadap Rebecca yang eksistensinya masih terasa di Manderley. Itu inti ceritanya. Si Wanita merasa kecil, dia membandingkan dirinya sendiri dengan Rebecca – yang sosoknya ia bangun sendiri dari cerita-cerita para pelayan – dia menciptakan sosok yang ia merasa iri sendiri kepadanya. Lily James yang memerankan Wanita Muda dengan karakterisasi kekinian tidak pernah tampak serapuh ini. Tokohnya dituliskan tetep sebagai orang yang polos dan inosen, tapi juga lebih pede, lebih tangguh. Bahkan secara emosional tampak lebih dewasa, menyamai Maxim yang harusnya jauh lebih matang dan kokoh. Sehingga feel dan tensi psikologis yang menderanya tidak utuh tersampaikan kepada kita. Menjadikan keseluruhan film terasa lebih datar karena nada yang diniatkan untuk tidak dapat tercapai, karena terinterferensi oleh karakter yang dibuat kuat sekarang.

Terlalu keras berusaha menjadi seperti seseorang, berusaha untuk menggantikan mereka di mata orang lain, hanya akan membuat kita layaknya bayangan hampa dari sosok mereka. Wanita Muda itu harus belajar untuk tidak tenggelam ke dalam rasa iri ataupun rasa khawatirnya terhadap apakah Rebecca lebih cantik, lebih pintar, atau lebih penyayang ketimbang dirinya. Tidak seorangpun mesti membandingkan diri dengan orang lain seperti itu. Kita seharusnya menciptakan bayang-bayang kita sendiri.

 

Karakter yang kuat ini juga membuat para pendukung tidak lagi begitu mengintimidasi. Salah satu faktor penting yang membuat Wanita Muda begitu keras membully dirinya sendiri adalah karena ia percaya setiap pelayan – terutama Kepala Housekeeper – membenci dirinya yang berusaha menggantikan posisi Rebecca. Si Mrs. Danvers itu memang bertingkah paling dingin, tapi ketika dipadukan dengan Wanita Muda versi Lily James, dinamika menekan-dan-tertekan itu tidak terasa. Aku bukannya mau bilang Wanita Muda harusnya tetap dibuat lemah, ataupun karakter itu tidak boleh kuat. Melainkan, harusnya ada usaha lain dari sutradara untuk mengakomodir karakter yang secara natural telah dibuat kuat ini. Singkatnya, ini kembali kepada kemampuan sutradara. Hitchcock membangun suspens dengan gerakan/permainan kamera. Setiap interaksi tokoh utama dengan pelayan atau penghuni rumah selalu diakhiri dengan kesan Si Wanita merasa dirinya menjadi semakin kecil. Yang dicapai simply dengan menjauhkan kamera dari si Wanita, atau mendekatkan kamera ke lawan bicaranya. Rebecca yang baru tidak punya ‘permainan’ seperti demikian.

Penekanan di babak ketiga saat si Wanita kemungkinan harus membela seorang pembunuh juga tidak lagi terasa

 

 

Tidak ada close-ups cantik, saat kamera lingering wajah satu tokoh yang memikirkan gejolak yang melandanya. Rebecca yang baru berserah kepada permainan dan teknologi visual untuk meng-elaborate maksud. Namun tidak konstan berhasil menghasilkan kesan surreal atau disturbing. Film ini menggunakan adegan-adegan mimpi – berjalan di lorong sepi lalu ada sulur-sulur tanaman yang menarik diri ke lantai, sementara film yang lama cukup memperlihatkan tokoh yang tidur dalam keadaan gelisah. Bergerak-gerak resah di atas ranjang. Membuat imajinasi kita terbang mengenai mimpi semengerikan apa yang ia lihat, perasaan segundah apa yang menggerogoti pikirannya.

Yang paling membedakan buatku – yang paling menentukan keberhasilan film ini dalam menafsirkan cerita aslinya buatku – adalah poin soal tokoh Rebecca itu sendiri. Ini krusial karena berkaitan dengan tokoh utama, dan aku yakin merupakan konsep paling utama yang harus dibangun oleh siapapun, media apapun yang bakal menceritakan ulang. Sosok Rebecca. Sosok itu haruslah tidak pernah terlihat. Karena dialah yang dikontraskan dengan si Wanita Muda. Tokoh utama kita tidak pernah disebutkan namanya, but she’s there. Nama Rebecca terus bergaung meskipun dia sudah tidak ada di dunia. Dinamika kontras ini harus dijaga oleh si pencerita karena bagian dari keresahan si tokoh utama. Membuatnya merasa eksistensinya semakin kecil, kalah sama orang yang tinggal nama. Menghadirkan sosok Rebecca, meskipun hanya dari belakang dan di dalam kepala tokoh, membuyarkan bangunan kontras ini. Karena bagaimanapun juga bagi kita yang melihat, ya tokoh itu jadi ada. Dinamika itu tidak utuh lagi. Dan ini actually dilanggar oleh film Rebecca yang baru. Sehingga bagiku yang timbul kesan si pembuat belum mengerti benar, atau mungkin lupa, terhadap apa sih sebenarnya kekuatan dari cerita ini.

 

 

 

Bayang-bayang yang menaunginya sangatlah besar, film ini tidak bisa untuk tidak dibandingkan dengan pendahulunya. Ada banyak perbedaan antara kedua film tersebut, tapi yang paling terasa adalah perbedaan arahannya. Absennya suspens ala Hithcock. Bagaimana dengan penonton yang belum pernah menonton versi jadul? Tidak akan berpengaruh banyak. Karena meskipun kita bisa mengapresiasi alur yang lebih nutup, tokoh utama yang lebih kuat, romance yang lebih hangat, dan vibrant yang lebih berwarna, film ini hampa dari segi misteri. Dan mengingat misteri tersebut krusial untuk penyampaian emosinya, maka film ini pun tidak berhasil menghantarkan emosi yang kuat. Seperti menyaksikan misteri terungkap di depan mata kita, begitu saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for REBECCA

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana pandangan kalian terhadap karakter Rebecca di film ini – apakah dia seorang wanita yang kuat? Mengapa dia bisa begitu berpengaruh terhadap penghuni Manderley?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

NOCTURNE Review

20 Tuesday Oct 2020

Posted by arya in Movies

≈ 10 Comments

Tags

2020, drama, family, horror, love, Music, mystery, psychological, review, sibling, sisterhood, spoiler, supernatural, thought, twins

“No one remembers who came in second.”

 

 

 

Enggak ada yang bakal ingat sama pemenang kedua. Saat juara pertama dielukan, dikenang sebagai hero dan pemenang sejati, si rangking dua hanya akan dipandang sebagai lawan yang dikalahkan. Rintangan yang berhasil dilewati. Bagaimana pun juga yang ada di urutan kedua tetaplah akan berada di dalam bayang-bayang urutan kesatu. Berapa banyak yang bicarain Neil Amstrong dan berapa banyak yang ingat duluan sama Buzz Aldrin ketika membicarakan manusia yang menjejakkan kaki di bulan. Pokoknya jadi yang kedua itu gak enak deh. Plek. Bagi kalian yang merasa seperti demikian, yang setuju tidak ada yang peduli sama si nomor dua, yang mengkhawatirkan diri sendiri karena berada di posisi tersebut, maka horor karya Zu Quirke akan lebih beresonansi dan powerful. Karena film ini bercerita tentang si Nomor Dua yang sudah muak berada di bawah bayang-bayang keberhasilan, yang sudah eneg dibandingkan. Yang memutuskan untuk keluar mencuatkan diri karena dia merasa mampu dan bosan mengalah.

Juliet (menakjubkan range negatif dan melankolis yang mampu ditunjukkan oleh Sidney Sweeney) terlahir dua menit lebih lama dari saudara kembarnya, Vivian. Posisi yang kemudian dia sesali ini tampak sudah digariskan kepadanya sejak di dalam kandungan. Juliet selalu menjadi nomor dua terhadap apapun yang dilakukan Vivian (Madison Iseman dengan klop memainkan kontras bagi karakter Juliet). Kedua saudari ‘wombmate’ ini sama-sama kepincut piano saat masih balita. Keduanya terus berlatih sehingga menjadi jago. Namun hanya Vivian yang mendapat ‘hadiah’. Vivian dapat undangan masuk universitas musik ternama. Vivian dapat pacar. Vivian digembleng guru terbaik (dan termirip Chef Juna). Vivian dapat kepercayaan ditunjuk sebagai pianist utama dalam konser musik klasik yang udah jadi tradisi kelulusan di sekolah musik mereka. Sementara Juliet dapet apa? Nihil. Selain perasaan tertinggal, kurang percaya diri, dan iri terhadap Vivian. Juliet bahkan tidak punya teman karena sibuk menutup diri. Menempa diri supaya bisa keluar dari bayang Vivian, supaya bakatnya direcognize oleh orang. Belakangan, Juliet mendapatkan sesuatu yang bahkan tidak dipunya oleh Vivian. Sebuah buku memo musik berwarna hitam, dengan simbol matahari dan gambar-gambar seram di dalamnya. Buku tersebut memberikan ‘semangat’ baru bagi Juliet. Yang menjadi nekat untuk terang-terangan berkompetisi dengan Vivian, meskipun gambar-gambar seram di buku itu mulai terwujud satu per satu ke kehidupan Juliet dan sekitarnya.

Bukunya mirip Death Note, cuma ini notenya not balok.

 

 

Nocturne mengeksplorasi gagasan horornya tentang berada di posisi kedua tersebut ke dalam nada-nada suram. Membuat ceritanya terasa efektif sebagai horor yang manusiawi, meskipun ada unsur supernatural di dalam. Efektif, dan juga cerdas. Supernatural tersebut dimainkan sedemikian rupa sehingga membuat kita penasaran. Tidak pernah dijelaskan terlalu gamblang; film tidak menghamparkan semua jawaban. Aku senang sekali film ini berhasil mengelak dari trope ‘research misteri supernatural’ seperti yang biasa dilakukan oleh film-film horor. Kita tidak melihat ada karakter yang meriset lewat google ataupun paranormal sebagai device gampang ketika naskah butuh untuk memaparkan informasi atau ‘aturan dunia’. Karena memang film ini bijak sekali, dia tahu dia tidak perlu memaparkan berlebihan. Justru film menguatkan psikologi karakter, sehingga mental dan supernatural itu secara alami bakal beririsan. Eventually membuka ruang bagi kita para penonton untuk memikirkan misterinya.

Kompetisi dan kecemburuan antarsaudara digambarkan oleh film ini jauh dari gaya-gaya mainstream. Interaksi antara Juliet dan Vivien berkembang, mulai dari akrab saling membutuhkan hingga apart saat mereka mulai jujur terhadap ‘uneg’ masing-masing. Film tidak berlebihan menggambarkan konfrontasi mereka. Sudut pandang Juliet tetap nomor satu di sini (yea, meskipun tokohnya adalah si nomor dua – loser dari saudaranya). Bahasa visual film tergambar kuat. Sekali lihat saja kita bisa tahu bahwa saudari kembar ini begitu berbeda, yang satu tertutup, kurang gaul, sedangkan yang satunya lagi bagai matahari dalam lingkungan pergaulannya. Dan seketika itu juga kita ditarik ke pertanyaaan kenapa mereka begitu berbeda dan bagaimana masing-masing memaknai perbedaan mereka tersebut. Di sinilah elemen horor menjalankan fungsi. Sebagai kepingan jawaban dari pertanyaan tadi. Kepingan yang kita susun lewat adegan demi adegan surealis. Menyaksikan film ini persis seperti menonton seorang penari yang melenggak lenggok mistis, mengundang kita untuk menyelami makna tariannya.

Sebagai sebuah cerita horor dalam kehidupan pemusik, maka sudah barang tentu musik itu sendiri berperan besar di dalam penceritaan. Sebagai ‘teman’ dari visual ngeri, dengan cahaya-cahaya menyilaukan, menjembatani persepsi kita soal mana yang nyata mana yang bukan, dihadirkanlah musik yang benar-benar unik. Menjadi nyawa bagi film ini. Kepentingan musik latar itu semakin menjadi-jadi tatkala film menyelaraskannya dengan editing. Dengan sesekali membentrokkan musik dengan peristiwa yang sedang kita lihat. Ini merupakan teknik membangun ekspektasi. Ketika kita secara natural mengharapkan adegan tertentu bakal diisi oleh musik klasik seperti yang sebelumnya dilakukan oleh film, mendadak film tidak melakukannya. Melainkan dengan musik lain, yang lebih ngetekno. Menciptakan sensasi gak-cocok yang creepy, yang secara konteks cocok sekali dengan perasaan yang ingin dihantarkan oleh adegan tersebut. Dan meski bersandar pada kekuatan ‘magis’ musik, film ini tidak sekalipun menggunakan jumpscare. Padahal ada banyak adegan yang nature-nya adalah untuk bikin kaget. Seperti pundak yang dicolek dari belakang dan ternyata yang nyolek itu temannya, atau adegan horor beneran ketika wajah menyeramkan mendadak muncul di cermin. Film ini imannya kuat. Dia tidak menyerah pada napsu mainstream untuk bermain kaget-kagetan. Musiknya dibiarkan mengalun minimalis. Menjaga kita tetap dalam posisi siaga, tanpa ampun, karena tidak memberikan outlet untuk melepaskan himpunan kengerian tersebut lewat teriakan kaget yang singkat.

Posisi dua sebenarnya tidak buruk, melainkan sebuah posisi mulia. Sebuah tempat yang seringkali menjadi rumah untuk sebuah pengorbanan. Jika saja Juliet mengingat pepatah bahwa mengalah bukan berarti kalah, maka tentulah ia tidak akan jadi secemburu itu. Mengalah bukan berarti tidak mampu. Namun memang benar adanya bahwa tidak semua orang mampu untuk tetap positif berada di posisi itu.

 

Malah ada studi yang mengungkap, orang-orang justru lebih bahagia berada di posisi tiga dibanding posisi dua.

 

 

Pembahasan tentang ‘nomor-dua’ di film dilakukan dengan subtil dan juga tidak pernah berlebihan. Naskah juga memparalelkannya dengan dunia musika yang jadi panggung cerita. Yang nyatanya adalah sikap sang pembuat terhadap masalah dalam menjadi nomor dua tersebut. Sikap dan gagasan ini dapat kita simak saat adegan jamuan ulang tahun si Kembar. Pada adegan tersebut, para karakter berdiskusi soal musik klasik yang kini telah kalah populer dengan musik elektronik, atau rap, atau apapun yang diimplikasikan oleh salah satu karakter. Jawaban karakter satunya mengenai keadaan tersebut – musik klasik adalah nomor dua dalam hal ini – menjadi pernyataan yang layak kita semua renungkan. Karena bagaimanapun juga, purpose sesuatu di dunia ini bukanlah mutlak untuk menjadi yang ter-nomor satu, entah itu terbaik, terpopuler atau apalah. Seringnya berbagai hal menempati posisi tertentu sebagai suatu bagian dari desain yang lebih besar, dan enggak semua hal berhak untuk berada di posisi tersebut. Karena posisi tidak selamanya mencerminkan kita medioker atau bukan. Adegan obrolan ini punya bobot yang besar, diceritakan dengan subtil pula. Tak lain, ini membuktikan kehandalan sutradara dan penulis dalam bercerita.

Perjuangan Juliet akan begitu menghantui. Kelam dan lantang oleh ‘bisikan-bisikan’ yang bikin kita merinding juga menontonnya. Dengan pacing yang sebenarnya cukup terjaga, ada beberapa momen di film yang sekiranya bisa dibuat lebih dinamis lagi. Bayangkan Suspiria (1977) dan Black Swan (2010), film ini nuansa creepynya persis kayak gabungan dua film itu. Maka ia bisa menjadi sedikit terlalu banyak untuk penonton. Film mestinya bisa lebih go easy sedikit, kita perlu lebih banyak melihat interaksi Juliet dan Vivian, terutama saat mereka masih akrab – atau setidaknya Juliet masih mampu menahan kecemburuannya. Dan kupikir kita memang perlu melihat lebih banyak lagi mereka akrab karena percakapan terakhir mereka seharusnya merupakan kebalikan penuh dari dinamika mereka di awal cerita. Plot/perkembangan mereka harusnya ‘berakhir tengkar namun Juliet memahami kesalahannya’ dari yang tadinya ‘akrab tapi Juliet masih diliputi kecemburuan’. Pada bagian awal, film lebih dari cukup dalam menampilkan Juliet masih diliputi kecemburuan. Hanya soal ‘akrab’nya saja yang tak benar-benar kelihatan karena cerita dimulai saat Juliet sudah krisis diri seperti yang kita saksikan. Jadi, buatku plot cerita ini mestinya bisa lebih melingkar lagi.

 

 

 

Dari empat film yang dikeluarkan Blumhouse sebagai kwartet di Halloween tahun ini (tayang di Amazon) aku baru nonton dua film. Dan setelah kecewa berat sama The Lie (2020), semangatku untuk meneruskan nonton kwarter ini menggebu lagi begitu kisah Juliet dan Vivian ini beres aku saksikan. Film ini jauh lebih baik daripada The Lie. Horornya benar-benar terasa, menghantui psikologis kita yang merasa tidak dihargai ataupun merasa kecil karena harus mengalah di dalam bayang-bayang si nomor satu. Film ini bermain dengan pribadi manusia lewat audio dan visual yang sama-sama creepy. Lebih dari satu kali, aku senang film ini memilih opsi yang membuat dirinya tidak terjauh ke jurang horor-mainstream dengan jumpscare ataupun suara jeger-jeger ataupun twist murahan. Film ini punya irama horor sejati, yang bisa jadi sudah dinomorduakan oleh industri sinema horor, tapi film ini tetap mempertahankannya. And I like it!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NOCTURNE

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Setujukah kalian dengan studi yang mengungkap orang-orang cenderung lebih senang di peringkat ketika dibandingkan kedua. Mengapa kira-kira bisa seperti itu?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

SHE DIES TOMORROW Review

09 Sunday Aug 2020

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2020, art, drama, family, festival, friendship, horror, life, love, psychological, relationship, review, spoiler, thought, thriller

“Live each day like it’s your last, ’cause one day you gonna be right”

 

 

 

Kematian adalah sesuatu yang pasti, sekaligus merupakan sebuah misteri. Karena tidak ada satupun manusia yang tahu pasti kapan dirinya akan mati. Semua itu didesain untuk membentuk manusia itu sendiri. Orang yang pintar nan bijaksana akan berpikir bahwa setiap saat dirinya bisa mati, maka mereka mengisi waktu hidupnya dengan amal-amal dan kegiatan yang berguna. Memastikan tidak ada waktu mereka yang sia-sia. Namun tentu saja, sama hipotetikalnya untuk menjadi manusia sesempurna itu. Bagi kebanyakan orang, menghadapi kematian akan terasa sama seperti yang dirasakan oleh Amy dan tokoh-tokoh di film She Dies Tomorrow. Menakutkan dan penuh kecemasan.

Malam itu Amy (Kate Lyn Sheil mengalunkan emosi  tanpa banyak berkata-kata) tersentak dengan keyakinan absolut bahwa esok dirinya akan meninggal. Pada poin awal cerita, kita belum tahu darimana pengetahuan atau keyakinan wanita itu berasal, tetapi kita toh melihat hal-hal ganjil yang ia lihat. Yang ia rasakan. Amy melihat cahaya merah-biru-hijau berpendar di rumahnya. Dia merasakan depresi begitu kuat sehingga ia lebih memilih untuk baring di lantai. Sembari mencakar ubinnya. Amy berjalan linglung kayak orang mabok. Dan akhirnya dia menelpon sahabatnya, yang malam itu datang dan mendengar curhat soal besok Amy tidak lagi ada di dunia. Sang sahabat tentu saja menyanggah, dan menenangkan Amy, lalu pergi pulang. Namun di ruang kerjanya sendiri malam itu, sahabat Amy kepikiran soal kematian, dan akhirnya dia sendiri jadi percaya dirinya juga akan mati esok hari. Diapun mencari pertolongan ke kerabat. Hanya untuk membuat lebih banyak lagi orang-orang yang depresi dan bertingkah aneh seperti Amy. Semua orang kini percaya besok mereka mati!

Ada yang menyebar, tapi bukan virus

 

Sutradara Amy Seimetz dengan tepat menangkap ketakutan dan kecemasan manusia saat akhir hidup tiba, dan menerjemahkan dua perasaan tersebut ke dalam visual semi-surealis yang membuat bulu kuduk meremang. Jika kita menyebut She Dies Tomorrow ini film horor, maka ia adalah horor yang kuat visual dan perasaan. Tentu, tokoh-tokoh film ini melakukan beragam hal yang aneh dan menyerempet disturbing – ada tokoh yang ‘membunuh’ anggota keluarganya dan meyakininya sebagai tindakan belas kasih terakhir sebelum dirinya sendiri expired – tapi tindakan-tindakan seperti demikian tidak menjadi sumber dari ketegangan yang kita rasakan saat menonton. Tindakan itu adalah produk; reaksi dari aksi penyadaran. Penyadaran inilah horor yang sebenarnya. Bagaimana perubahan sikap mereka yang tadinya mengolok tokoh yang bilang besok ia pergi; mereka lantas menjadi sama ‘kosong’ dan hopeless dalam sekejap setelah mereka mengucapkan “bagaimana kalo besok kita beneran mati?”

The sudden silence, close up wajah-wajah yang mengucurkan air mata, gambar seseorang menangis tanpa suara, nyatanya akan balik menghantui kita tatkala pertanyaan terbesar dan terus berulang film itu kita tanyakan balik kepada diri kita. Elemen psikologikal thriller dari film ini bekerja dengan kuat berkat permainan akting yang seragam meyakinkan. Ini adalah bukti dari arahan film sangat fokus dan punya visi. Bukan tidak mungkin pula film ini sangat personal bagi sutradara. Nama tokoh yang dibuat serupa dengan nama dirinya mungkin untuk menunjukkan sang sutradara punya pengalaman langsung dengan dua perasaan utama yang jadi kunci pada film ini.

Mengetahui kapan pastinya kita pergi, enggak benar-benar membuat hidup kita lebih baik, bahagia, dan terhindar dari rasa penyesalan serta kecemasan. Karena sebenarnya mengetahui kita pasti akan pergi saja sudah cukup. Kita mestinya senantiasa ingat bahwa setiap hari bisa saja menjadi hari terakhir, maka isilah waktu supaya nanti tidak ada penyesalan. Usahakanlah supaya tidak ada penyesalan.

 

Sementara visual dan penceritaan boleh jadi senjata utama film, sebenarnya bagian paling penting yang secara subtil dipantik oleh film ini adalah pertanyaan ‘mengapa’. As in, mengapa ‘penyakit yakin besok mati’ itu bisa demikian menular. Lagi film ini membawa kita berkontemplasi. Tokoh-tokoh yang tertular itu, adalah orang-orang yang punya penyesalan, yang punya sesuatu yang belum mereka lakukan dalam hidup – entah itu belum sempat atau belum mampu. Orang-orang yang hidupnya perlu banyak pembenahan. Dalam sebuah film yang fokus pada narasi yang kuat, cerita seperti ini akan menampilkan tokoh pendukung yang sama sekali tidak terpengaruh atau tidak tertular oleh anxiety kematian seperti yang dialami Amy. Tokoh yang berfungsi sebagai pembanding. Namun She Dies Tomorrow tidak tertarik akan hal tersebut, demi sebuah keabsahan. Karena menampilkan tokoh yang tak tersentuh tentu akan mengurangi kekuatan ‘kematian’ itu sendiri. Film ini ingin realistis dalam hal tidak ada manusia-sempurna. Tidak ada manusia yang tidak terganggu oleh kepastian dirinya besok tiba-tiba meninggal. Mulai dari dokter hingga ke tukang sewa atraksi mobil semuanya punya unfinished business yang ingin diselesaikan perlahan. Kita semua punya masalah yang kita takuti, mengetahui hari ini adalah kesempatan terakhir untuk bisa menyelesaikannya terang saja bakal menimbulkan reaksi seperti yang ditampilkan oleh film ini.

Makanya Chairil Anwar ingin hidup seribu tahun lagi

 

 

Meskipun kematian tersebut pasti, dan para tokoh yakin malam itu adalah malam terakhir, namun film mengontraskan itu semua dengan membuat segala aspek tidak-pasti. Yang dibangun oleh film ini adalah sensasi ketakutan atas sesuatu yang samar-samar. Inilah hal yang paling dekat dengan yang disebut ‘plot’ oleh film ini. She Dies Tomorrow tidak punya narasi. Sudut pandangnya berpindah-pindah antara satu tokoh ke yang lain. Belum lagi lompatan-lompatan flashback. Semua tokoh di sini sama lemahnya, tokoh utama cerita boleh saja kita tukar-tukar sendiri dan enggak akan ngaruh ke seluruh cerita. Karena film ini sebenarnya adalah soal suasana. Dan ini membuat film jadi punya jarak dengan penonton. Terkadang dia seperti menggiring ke sesuatu, tapi ternyata tidak. Penonton yang ingin melihat sebuah resolusi, akan kecewa karena tidak ada semua itu di sini. Konsekuensi atas tindakan masing-masing tokoh pada malam itu juga dilewatkan dan dibiarkan mengambang.

Menonton awal-awal film ini, akan gampang bagi penonton kebanyakan untuk menyangka ceritanya adalah tentang sesuatu ‘makhluk’ yang menyebabkan penularan-kematian tersebut. Karena memang film di awal membuat seolah ada sesuatu. Kamera akan mengambil sudut-sudut dari balik pintu, atau dari belakang, seolah ada yang mengincar tokoh. Dan ini kinda mengarahkan penonton ke tempat yang salah. Mengecoh penonton. Karena kemudian kamera yang demikian tidak terjadi lagi. Dengan begitu saja film membuka kenyataan, yang mereka lakukan di sini adalah seperti menuntun anak ke suatu tempat kemudian melepaskan pegangan tangannya begitu saja. Cerita film ini sepertinya bisa saja jadi lebih menarik dengan memberinya bangunan narasi yang normal, yang tanpa flashback, yang runut dan benar-benar menceritakan si Amy itu sendiri. Namun itu tidak akan mengenai target sutradara yang menginginkan horor atau thriller yang lebih menekankan kepada perasaan atau mood. Jadi ini adalah resiko kreatif, yang harus kita apresiasi dan hormati.

 

 

 

Visually intriguing, atmosfernya mellow dan unsettling, dan semua kerasa mencekam dari dalam. Membuat kita ikutan resah dan memikirkan kematian. Ini bukan horor/thriller biasa yang mengandalkan ada sosok yang melambangkan ketakutan, yang ada demon yang harus dikalahkan. Dalam film ini hantunya adalah anxiety, yang berasal dari tokoh masing-masing yang gagal mengisi hidup mereka sehingga banyak penyesalan dan urusan yang mendadak harus diselesaikan. Sebuah entry yang menarik dan menambah rentang film mencekam. Gak semua orang akan nyaman nonton ini, ataupun senang dengannya. Jika besok aku mati, aku gak rela film ini jadi horor terakhir yang aku tonton, karena aku ingin melihat perjalanan yang lebih menakutkan dengan narasi yang lebih terstruktur dan memuaskan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SHE DIES TOMORROW.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Siapkah kalian jika besok waktu kalian sudah habis? Apakah menurut kalian mengetahui kapan pastinya kita mati akan membuat kita lebih baik? Atau lebih baik untuk tidak tahu?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE RENTAL Review

25 Saturday Jul 2020

Posted by arya in Movies

≈ 10 Comments

Tags

2020, drama, horror, life, love, mature, psychological, relationship, review, spoiler, thought, thriller

“You have nothing to fear if you have nothing to hide”

 

 

 

Membuat film itu adalah kesempatan langka yang sangat berharga. Karena apa? Karena itulah saat suara kita, gagasan – ide – pendapat kita dianggap punya nilai sehingga seseorang mau mengeluarkan uang demi kita bisa menyuarakannya. Aku percaya semua orang yang pengen bikin film sejatinya karena mereka punya sesuatu yang urgen – sesuatu yang menurut mereka penting – untuk disampaikan. Bikin film bukan semata untuk gaya-gayaan. Aktor Dave Franco tidak menyia-nyiakan kesempatan semacam demikian. Dalam debutnya sebagai sutradara, Franco menuangkan ketidaknyamanannya perihal privasi ke dalam cerita peliknya hubungan percintaan, rekanan dan persaudaraan – untuk kemudian diselesaikan dengan aktual horor yang berdarah-darah. Menjadikan The Rental sebagai cerita yang lebih dekat dengan rumah buat sebagian orang.

The Rental adalah tentang dua pasangan yang memutuskan untuk liburan bareng. Melepaskan penat beban kerjaan dengan gila-gilaan di rumah/vila pinggir laut keren yang mereka temukan di internet. Namun ada sesuatu yang gak enakin hati pada pemilik rumah tersebut. Pertama, dia terduga rasis. Dan kedua, mentang-mentang rumahnya, dia keluar masuk begitu saja tanpa sepengetahuan orang-orang yang telah menyewa. Puncak ketidaknyamanan tinggal di sana adalah ketika salah satu dari pasangan yang nyewa rumah itu menemukan kamera tersembunyi, terpasang di kamar mandi. Walau ini sebenarnya justru mempermudah; mereka tinggal lapor polisi, si pemilik yang tadinya rasis kini juga terbukti cabul itu dibekuk, dan mereka bisa dapat ganti rugi. Kan? Well, masalah jadi pelik lantaran dua dari mereka punya rahasia yang tertangkap kamera, dan mereka gak mau ketahuan. Jadi mereka terpaksa tutup mulut. Hanya untuk menemukan bahwa kamera-kamera itu ternyata punya ‘asal-usul’ yang jauh lebih mengerikan. Bukan saja hubungan baik antara mereka berempat yang kini terancam, nyawa mereka semua juga!

horor dari Airbnb!

 

Dengan menutup akses ‘jalan keluar yang mudah’ bagi para tokohnya (dalam keadaan normal cerita ini dengan gampang bakal beres saat mereka menemukan kamera, tapi film membuat tokohnya punya rahasia yang gak boleh ketahuan), The Rental jadi punya cengkeraman yang kuat sekali pada konflik kompleksitas manusia. Set up film ini sangat menarik. Yang dihamparkan oleh film ini adalah empat tokoh (lima, sama si pemilik rumah) yang enggak sebegitu unik, melainkan menarik karena dari hubungan mereka masing-masing kita bisa mengendus bau-bau konflik. Dan film memang benar-benar membawa kita menerobos ke konflik-konflik tersebut.

Dua pasangan yang menjadi pusat cerita adalah Charlie-Michelle dan Josh-Mina. Namun relasi antarmereka enggak sesimpel itu. Pada adegan pembuka kita malah akan menyangka Charlie dan Mina yang berpacaran. Karena mereka berdualah yang dengan akrab memesan rumah. Turns out, Charlie dan Mina adalah rekan kerja, dan mereka memang sahabat dekat. Sementara Josh adalah saudara Charlie. Josh ini dalam hal apapun digambarkan inferior dari Charlie; not to mention dia emosian dan pernah berurusan dengan polisi. Di rumah, kita ketemu pasangan Charlie yang sebenarnya; Istrinya yang ceria, Michelle. Dengan hubungan yang ‘menantang’ seperti itu, kita langsung tahu bahwa mereka sebenarnya gak benar-benar teman, or even cuma-teman. Dan kesadaran kita akan tersebut membuat nontonin mereka semacam nungguin bom waktu yang mau meledak.

Film-film horor terbaik selalu mengerti bahwa persoalan selalu lebih dalam dari sekadar rumah yang ada misterinya. Melainkan terutama adalah soal ketakutan karakter. The Rental untuk awal-awal ini bekerja sebagai thriller psikologi yang menarik. Akar dari ketakutan dan masalah mereka adalah trust. Tokoh-tokoh di sini punya histori, tapi mereka pengen move on dan setuju untuk menjadikan masalalu sebagai privasi. Yang dengan segera mendapat tantangan dari sikap pemilik rumah tempat mereka liburan. Bagi Mina (meskipun tokoh yang diperankan Sheila Vand buatku sangat annoying, tapi dia yang paling dekat sebagai tokoh utama), misalnya, sikap rasis si pemilik sangat menantang posisinya sebagai orang yang bisa dipercaya. Mina sebenarnya memesan rumah itu lebih dulu, tapi ditolak dengan alasan penuh. Beberapa jam kemudian, Charlie (Dan Stevens sepertinya sudah ahli meranin tokoh yang terkesan mendua) mencoba pesan, dan voila! Mina meng-confront alasan penolakan (nama belakang wanita itu adalah Mohamadi, seperti nama Arab) Dan meskipun kita tidak pernah mendapat kepastian si pemilik beneran rasis, kita dapat menyimpulkan sikapnya tersebut mentrigger privasi Mina berkaitan dengan hubungan supereratnya dengan sang partner kerja yang sudah beristri.

The Rental menjadikan pembunuh berkamera sebagai hukuman, penebar ketakutan bagi orang-orang yang menutupi suatu keburukan. Namun film ini berlaku dua arah, karena kamera tersebut juga ditunjukkan sebagai penjahat yang mengerikan. Orang bilang kalo kau benar, maka tidak ada yang perlu kau sembunyikan. Namun tentu saja itu bukan berarti semua orang yang merasa dirinya benar harus membuktikan dirinya dengan buka-bukaan. Membiarkan dirinya direkam kamera atau apa. Kita semua harus percaya dan menjunjung privasi. Kita tidak punya hak untuk merekam dan menginvasi privasi orang lain, entah itu ada yang mereka tutupi atau tidak.

 

after all of this, sepertinya keputusan pemilik menolak Mina adalah langkah yang tepat

 

 

Kita sudah terinvest oleh karakter dan peduli sama ketakutan mereka. Kita bahkan sudah mengantisipasi keributan di antara mereka. Para aktor film ini menampilkan permainan akting yang meyakinkan, mereka seperti sahabat beneran. Mereka telah membuktikan sanggup mengemban beban tensi dan drama emosional yang diberikan. Namun Franco seperti tidak mampu mempertahankan tone somber yang sudah terbangun. Or worse, buatku Franco sengaja untuk mengubah tone cerita menjadi horor slasher yang membuat The Rental malah jadi kehilangan kekhususan. Franco seperti tidak dapat menemukan ending yang tepat dari cerita yang bermuatan gagasan soal ‘pasang kamera tidak boleh, but we all have something bad yang ditutupi’. Pilihannya dalam mengakhiri film tampak seperti usaha-terakhir karena he pushed himself into the corner dengan gagasan tersebut.

Untuk menyampaikan kedua pihak sama-sama bersalah, The Rental dibuat jadi berakhir, untuk tidak ngespoiler banyak, katakanlah ‘tragis’. Tanpa resolusi. Tanpa perubahan arc dari tokoh-tokohnya. Mereka tidak (sempat) belajar apapun dari kejadian di film ini. Untuk melakukan hal tersebut, babak terakhir film ini dibelokkan menjadi slasher. Horor yang main fisik. Dan untuk sampai ke sana, sebagai transisi dari teror psikologis, film bicara sebagai drama relationship. Tiga elemen utama yang membangun film menjadi disebut horor ini enggak bercampur dengan benar. Menjadikannya opposite dari yang diniatkan. Horor yang enggak-seram. Dengan tokoh-tokoh yang enggak benar-benar bikin peduli karena kita tahu salah merekalah semua itu terjadi. Dan untuk membuat film semakin tidak konsisten lagi, Franco memasukkan elemen komedi stoner receh andalan geng dia dan abangnya. Yang sama sekali gak lucu ataupun bikin film jadi menyenangkan untuk diikuti. Aku bener-bener kasihan sama Alison Brie disuruh berakting sedekat itu dengan garis celengan bapak-bapak.

 

 

 

Franco tampak punya gaya dan mengapresiasi horor, dan karakter-karakter yang dinaunginya. Untuk menit-menit awal film ini bahkan sempat terasa seperti horor art di festival. Tapi kemudian film ini stop working. Tidak mampu mencapai ending dengan resolusi, Franco mengakhiri ceritanya dengan membuat film menjadi slasher generic, dengan beberapa bumbu komedi receh di sana sini. Hal yang paling menakutkan di sini buatku adalah dengan ending tersebut film ini hanya akan diingat sebagai cerita tentang pembunuh yang merekam orang dengan kamera. Enggak unik. Enggak baru. Padahal dia punya sesuatu yang menarik di awal. Cerita ini butuh untuk digodok lebih jauh. Atau mungkin feature-horor terlalu besar bagi Franco sebagai langkah awal?
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE RENTAL.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana pandangan kalian soal privasi tempat tinggal? Pernahkah kalian merasa risih saat menginap di hotel/Airbnb dan mengetahui kamar dimasuki oleh pemilik saat kalian tidak ada, untuk dibersihkan atau semacamnya?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

YOU SHOULD HAVE LEFT Review

22 Monday Jun 2020

Posted by arya in Movies

≈ 4 Comments

Tags

2020, adaptation, drama, family, father, horror, life, love, mystery, novel, psychological, relationship, review, spoiler, thought

“The same people who believes your lies are also the ones who believe in you.”

 

 

 

Harusnya tinggal pergi aja. Seringkali itulah yang kita teriakkan ke arah layar setiap kali menyaksikan tokoh yang masuk dan memilih tinggal di rumah angker. Segampang itu sebenarnya; jika malam hari engkau diganggu penampakan, maka hal pertama yang harus kau lakukan di pagi hari adalah pindah atau malah gak perlu nunggu; langsung cabut aja dari situ. Tips selamat dari rumah berhantu: Pergi dari sana! Namun, bagaimana jika setan itu justru dari dalam diri sendiri. Mau lari ke manapun akan terus menghantui. Bagaimana cara kita kabur dari kebohongan dan kesalahan yang kita lakukan di masa lalu. You Should Have Left produksi Blumhouse yang digarap oleh David Koepp mengeksplorasi psikologi seorang pria yang dikutuk oleh aksi yang dipilihnya sendiri, yang menyebabkan seluruh keluarganya sekarang diteror di dalam rumah seolah neraka yang mengurung mereka bersama-sama.

Pria itu bernama Theo (Kevin Bacon membawa banyak kedalaman kepada karakter ini). Ia adalah pria yang punya uang cukup banyak sehingga bisa menyewa rumah mewah modern di atas bukit pedesaan Wales, Skotlandia. Berlibur bersama istrinya yang bintang film – Susanna yang berumur jauh lebih muda darinya (diperankan oleh Amanda Seyfried yang tak canggung) – dan anak perempuan mereka, Ella (Avery Essex yang menceriakan horor rumah tangga ini). Di dalam rumah yang punya desain unik tersebut, Theo yang ingin memperbaiki hubungannya dengan sang istri, malah dirundung oleh kejadian-kejadian yang ia gak tahu beneran atau mimpi. Ia menemukan pintu di balik rak buku. Pintu yang menuju ke ruangan yang berbeda setiap kali dibuka. Hallway yang semakin memanjang. Dan ada seseorang yang menulisi jurnal pribadinya. Menuliskan peringatan untuk segera angkat kaki dari sana. Hanya saja, Theo dan keluarga tidak bisa keluar sebelum Theo bisa memecahkan misteri rumah tersebut.

Mungkin secara tak sengaja, Theo menyewa Hogwarts sebagai tempat berlibur

 

 

Kalo kalian mencari film yang cocok ditonton untuk merayakan Hari Ayah, You Should Have Left ini bisa dijadikan pertimbangan. Karena walaupun film ini tipikal mainstream Blumhouse banget; rumah yang seemingly berhantu, lokasi tertutup, teror melibatkan anak dan keluarga, dan tentu saja ada adegan yang sepertinya udah jadi trademark horor Blumhouse: adegan disembur muntah hantu, film ini juga terasa berbeda dari biasanya karena memuat sudut pandang kejiwaan seorang ayah yang pada akhirnya mengambil keputusan demi putrinya tersayang. Inti emosional dari film ini adalah hubungan Theo dengan anak, dan istrinya. Paruh pertama lebih banyak berkutat di elemen drama. Theo mencurigai istrinya yang artis ini selingkuh – pada kunjungan pertama Theo ke lokasi syuting, ia harus mendengar istrinya melakukan adegan intim, dan dia sama sekali tidak diberitahu film yang dibintangi sang istri bakal mengandung adegan semacam itu. Film juga menekankan hubungan Theo dengan Ella; putrinya ini sangat sayang kepada Theo, mereka ayah dan anak yang akrab, dan clearly Ella percaya kepada ayahnya. Dan inilah yang akan jadi konflik untuk Theo, karena pria ini diperlihatkan punya sesuatu rahasia mengenai masa lalunya.

Mengenai horor di rumah tempat mereka liburan, I must say, misterinya cukup fun dan bikin penasaran. Theo menyadari bahwa ada sesuatu yang janggal dari desain rumah itu. Lantai yang enggak exactly lurus 90 derajat. Ruangan rumah yang ternyata ukurannya lebih luas jika diukur dari dalam dibandingkan dengan dihitung dari luar. Ada sekuen yang sangat menarik yakni saat Theo dari halaman melihat Ella masuk ke ruang keluarga, mengambil jaket, dan ketika membuka pintu hendak keluar, Ella gak kunjung keluar. Ella menghilang di depan matanya. Karena rumah itu punya banyak ruang rahasia dan Ella nyasar karena salah membuka pintu. Aku pengen melihat lebih banyak adegan-adegan seperti begitu, you know, Theo dan Ella menjelajahi rumah, berusaha menguak misteri desain rumah yang aneh ini. Aku tentu saja lebih menyukai misteri demikian ketimbang horor standar berupa bayangan muncul sekelebat di belakang layar atau belakang tokoh, yang sayangnya lebih banyak dilakukan oleh film ini.

Koepp sebenarnya sudah punya pengalaman membuat misteri tentang pria yang merasa jadi gila (atau memang gila) karena tinggal di tempat terpencil. Ia pernah membuat Secret Window (2004) yang dibintangi oleh Johnny Depp yang punya keadaan dan elemen misteri yang serupa. Yang dari film itu kentara Koepp gak butuh trope-trope horor berlebihan, dan dia punya kekuatan pada drama dan eksplorasi psikologi. Namun pada You Should Have Left ini, aku gak tau entah karena studio/produser ataupun karena gak ingin jadi mirip banget ama Secret Window, Koepp banyak menggunakan teknik horor pasaran yang bukannya membuat film semakin berbobot, tapi malah membuatnya jadi semakin datar. Bagian misteri rumah yang seru tadi, actually baru dimunculkan pada paruh akhir film. Sangat terlambat. Pada paruh awal kita justru disodorkan adegan-adegan mimpi dan adegan kelebatan bayangan yang hardly seram. Film ini bahkan dibuka dengan adegan mimpi-di-dalam-mimpi yang mengangkat alis kita karena si tokoh yang ceritanya lagi mimpi tidak ada dalam adegan tersebut. Mana ada kita mimpikan orang lain sementara kita sendiri gak ada di dalamnya. Bergerak dari logika tersebut, kalo dipikir-pikir, opening tersebut justru memberikan spoiler untuk ending film. Membuat satu-satunya sosok misterius di film ini jadi terbuka kedoknya hanya dalam lima-menit awal.

You should have left the filmmakers alone to do their works

 

 

Paruh awal itu film ingin membuat kita peduli dengan memberikan hook berupa ini adalah drama membebaskan diri dari relationship yang buruk alih-alih membebaskan diri dari rumah hantu. Misteri yang ditonjolkan adalah apakah istri Theo selingkuh, kita diharapkan untuk peduli kepada Theo karena dia adalah pria tua yang udah gak kerja, yang gak ngapa-ngapain, yang dicintai oleh anaknya, tapi begitu rapuh sehingga perlu menenangkan diri dengan jurnal dan kaset rekaman yoga. Namun ini semua enggak bekerja karena justru di situlah masalahnya. Kita gak tau siapa Theo ini. Pada novel aslinya, Theo adalah seorang penulis naskah film. Pada sinopsis di halaman IMDB film ini, Theo adalah seorang banker. Jadi siapa dia? Gak jelas, pada film ini sendiri dia pernah diperlihatkan dia ngapain, kerjaannya apa. Background Theo dijadikan rahasia – kita hanya diberikan eksposisi atas sesuatu peristiwa mengerikan pada masa lalu Theo dan hingga kini Theo hidup dalam tuduhan yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Dan hanya itulah dia. Seseorang yang punya masalalu suram, tapi kita tak tahu persis apa itu. Ini menyebabkan kita gak segaris dengan Theo. Motivasi Theo cuma ngajak keluarganya liburan ke villa untuk memperbaiki hubungan, hanya saja kita tidak pernah tahu apa penyebab semua itu, sehingga kita tidak bisa peduli apakah dugaan Theo salah atau benar. Susanna juga tidak diberikan karakter yang mendalam, ia lebih tampak sebagai device cerita saja ketimbang tokoh yang benar-benar mendukung dalam development tipis Theo.

Seluruh kejadian di babak akhir akan sangat membingungkan karena film mengungkapkan semuanya sebagai kejadian yang beneran terjadi. Kita akan melihat siapa yang menulisi jurnal Theo. Kita akan tahu pemilik bayangan yang berkelebatan sepanjang film. Semuanya begitu literal sehingga justru jadi gak make sense. Film mengontradiksi konteksnya sendiri. Mereka ingin menegaskan teror itu berasal dari dalam Theo, tapi sekaligus memperlihatkan bahwa rumah itu beneran sebuah neraka yang menjerat manusia-manusia yang hidup dengan memendam rasa bersalah. Kita mengerti bahwa pelajaran bagi Theo adalah untuk mengakui bahwa ia bersalah dan tidak lagi berbohong, kita paham dia harus sendirian, maka rumah tersebut mestinya adalah metafora perasaan bersalah yang ia tak bisa lari darinya. Dengan malah membuat rumah itu sebagai entitas beneran, juga dengan tidak memberikan kita ruang melihat masa lalu Theo dari sudut pandang yang lain (katakanlah dari sudut pandang Theo sebelum ‘ngaku’), film malah menanamkan ketidakpastian – keraguan – kepada kita, yang ultimately melemahkan gagasan film ini. Kenapa kita harus percaya pada rumah itu? Toh kalo memang beneran dia ‘memangsa’ orang-orang yang punya kebohongan kenapa Susanna yang mengaku selingkuh masih bisa keluar dari sana? Kenapa Theo yang akhirnya juga mengaku dan bertindak untuk kebaikan anaknya tetap saja harus tinggal di rumah itu? I say, kerjaan film ini sebenarnya masih banyak karena dalam menangani misteri dan drama, film lebih banyak meminta pemakluman kita saja daripada punya jawaban yang benar-benar memuaskan.

Kita boleh saja memilih untuk hidup dalam kebohongan. Lari dari rasa bersalah sepanjang waktu dan menganggap kita baik-baik saja. Namun kita harus sadar, bahwa tidaklah adil untuk memerangkap orang yang sayang kepada kita karena mereka percaya kepada kita. People need to hear the truth. Jangan penjarakan mereka bersama dosamu. 

 

 

 

 

Rumah yang bisa memerangkap manusia, yang menyesatkan dengan ilusi ruang dan waktu, memang adalah sebuah ide kreatif untuk sebuah horor. Tambahkan sudut pandang seorang ayah yang menyimpan rahasia kelam. Ini adalah formula sebuah cerita psikologikal menyeramkan yang bagus. Namun film ini memilih banyak pilihan yang miring. Dia terlalu literal dalam bercerita. Dia tidak benar-benar memberikan daging kepada penokohan tokoh-tokohnya, terutama tokoh utama. Sehingga dengan sangat mengecewakan film ini jatohnya hanya mengandalkan kepada shock value.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for YOU SHOULD HAVE LEFT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Film ini juga mengajarkan kita untuk segera angkat kaki dari hubungan yang bikin makan ati. Bertahan lama-lama hanya akan bikin makin nyelekit, pasangan akhirnya selingkuh, or worse – pasangan membiarkanmu ‘mati’ begitu saja. Kenapa tidak pernah gampang untuk keluar dari bad relationship? Apakah anak yang membuatnya semakin susah?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

1BR Review

28 Thursday May 2020

Posted by arya in Movies

≈ 6 Comments

Tags

2020, community, cult, drama, family, friendship, horror, life, mature, mystery, psychological, review, spoiler, thought, torture

“When in Rome, do as the Romans do”

 

 

 

Masih ingat kicauan seorang perempuan tentang tetangganya yang sempat viral di Twitter beberapa waktu yang lalu? User tersebut mengeluhkan soal tetangganya yang langsung bertamu, mengetuk pintu begitu saja, tanpa membuat perjanjian ingin datang berkunjung terlebih dahulu. Tweet tersebut kontan menuai banyak reaksi; ada yang setuju, dan tak sedikit pula yang menghujatkan pendapat bahwa memang seperti itulah lumrahnya hidup bertetangga. Datang saling menengok tanpa diminta, menunjukkan perhatian, bahkan dulu katanya orang tidak mengunci pintu bagi tetangga masuk ke rumah kapan saja mereka mau. Sutradara sekaligus penulis naskah David Marmor tampaknya punya satu-dua patah kata tentang kehidupan bertetangga. Marmor sepertinya sependapat dengan si empunya tweet tadi, sehingga pada debut film-panjangnya ini dia menghasilkan sebuah drama menegangkan perihal hubungan bertetangga yang erat dan terlampau-bersahabat bisa menjadi begitu horor.

Arahan Marmor membuat cerita memuat begitu banyak. Setiap plot-point seperti mengubah film ini menjadi sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Namun sense-of-belonging memastikan perhatian kita untuk terus tersedot. Sedari momen pembuka, aku sudah tertegun oleh perasaan akrab (namun eerie) yang dihadirkan lewat pemandangan yang ditangkap oleh kamera. Lalu bertemu dengan Sarah, wanita muda yang lagi nyari tempat tinggal di Los Angeles, dia mau menapaki hidupnya sendirian di kota yang sejuta mimpi tersebut. This seems like a familiar story tentang seseorang yang berusaha menggapai mimpi yang langsung membuatku ter-flashback ke zaman nyari kosan waktu masuk kuliah dulu, dan kemudian aku teringat ini film horor maka lantas kenanganku pindah ke film Mulholland Drive – well, because it’s LA. Dan tokoh kita adalah tokoh yang sama ‘lugunya’ dengan Diane pada film karya David Lynch tersebut. Aktor Nicole Brydon Bloom memainkan peran sebagai perempuan yang introvert, pemalu, yang pasif, yang lumayan tertutup, tapi punya determinasi kuat untuk mengejar passionnya. Seketika tokoh Sarah ini langsung kontras, langsung ‘konflik’ dengan kota LA itu sendiri. Dan kemudian masuklah ia ke sebuah kompleks apartemen yang sedang melakukan open-room untuk mencari calon penghuni baru.

Sarah keterima menjadi penghuni kamar 210 tersebut. Dia disambut hangat oleh bukan hanya tetangga kanan-kiri kamar, melainkan seluruh penghuni apartemen. Mereka ngadain pesta pada malam Sarah mulai tinggal di sana, dan tentu saja Sarah diundang. Para penghuni apartemen semakin mengingatkanku pada Mulholland Drive dan basically film-film David Lynch, karena mereka semua sama anehnya. Satu kompleks itu bener-bener kompleks oleh karakter. Mulai dari ibu tua yang sweet hingga anak muda yang gagah. Mulai dari Bapak Ketua yang simpatik hingga ke pria creepy berkacamata dengan lensa yang gak kompakan warnanya. Di titik ini, film berubah mengingatkanku kepada Rosemary’s Baby. Karena orang-orang ini begitu ramah kepada Sarah – menyapa setiap ketemu, dan seperti selalu berada di manapun Sarah berada, mengawasinya seolah kamera yang berada di nyaris setiap jengkal langit-langit itu belum cukup – sehingga kita mau-tidak-mau langsung kepincut curiga kepada mereka.

Mestinya pasang pengumuman di depan pintu; boleh bertamu kalo bawa makanan

 

 

Elemen horor kemudian terestablish begitu malam hari pun tiba. Hidup Sarah yang sendiri, sunyi. Loh kenapa jadi lagu Tantowi Yahya?… well, I mean, Sarah mendengar bunyi-bunyian aneh yang membuat tidurnya gak nyenyak. Ia bahkan mendapati pintu apartemennya terbuka begitu saja. Sampai suatu malam, Sarah menemukan kucing peliharaannya terpanggang di oven. Sarah ditangkap oleh tetangga-tetangga penghuni apartemen. Dia disiksa, disuruh berdiri bungkuk memegang tembok dalam posisi stressing, and things could get much more violent and bloody jika Sarah menolak alias enggak patuh pada perintah yang diberikan oleh Ketua Apartemen (semacam Pak RT gitu deh di sana). Pada titik ini sebenarnya aku sempet mulai males. Film ini jadi kayak mengeksploitasi adegan penyiksaan semata. Namun bear with me, ini cuma sebuah fase sebelum akhirnya – lepas dari midpoint – film mulai menunjukkan taringnya sebagai horor situasi, dan dalam beberapa tingkatan; horor psikologis.

Pada jantungnya, 1BR memeriksa perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam lingkungan yang terdekat yaitu lingkungan bertetangga. Dengan mengontraskan sikap Sarah yang tertutup dengan sistem kompleks apartemen yang saling-terbuka, film menunjukkan dua sisi kebutuhan manusia dalam bersosialiasi. Seperti Sarah, kita perlu mengendalikan hidup kita sendiri, tapi sekaligus kita butuh orang lain – tetangga, teman, keluarga – untuk menjadi support. Film membawa ini ke ranah ekstrim ketika intrusi dari lingkungan sekitar menjadi pengalaman yang bikin gak nyaman, dan menjurus ke menakutkan. Saat komunal di luar sana berpikir bahwa semua orang enggak bisa hidup sendiri, bahwa kebersamaan adalah satu-satunya cara, di situlah keramahtamahan dan kekerabatan berubah menjadi selayaknya sebuah cult. Sebuah sekte. Dan ini bukan tidak mungkin terjadi di dunia. Bahkan mungkin sedang kejadian di sekitar kita. Kehidupan bertetangga yang mengatur hingga sampai ke cara berpakaian, atau yang nyinyir jam kita bepergian. Komunitas-komunitas kecil kerap kebablasan. Alih-alih sebuah keluarga, malah menjadi semacam geng dengan seabreg peraturan atau norma yang harus dipatuhi jika ingin dianggap sebagai anggota.

Film ini menunjukkan communal atau kehidupan sosial bertetangga ataupun komunitas menjadi tidak lagi sehat ketika membuat anggotanya merasa less of a person. Kita semua memang tidak mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun itu tidak berarti kita totally bergantung kepada orang. Kita memang harus senantiasa menghormati tempat kita berpijak, mengikuti aturan dan norma-norma di mana kita berada. Tapi tetap ada keseimbangan yang harus dijaga. Bagaimanapun, setiap orang bertanggung jawab dan berhak atas hidup masing-masing.  

 

Lucunya, film ini juga mengingatkanku ke jaman ospek/mabim kuliah dahulu. Sarah juga, istilahnya, diplonco dulu sebelum masuk jadi anggota komunitas apartemennya. Memang, Sarah dimasukkan secara paksa. Mindsetnya dibentuk untuk mengenali bahwa dirinya powerless, dan hidup mandiri adalah pilihan yang salah. Film telah menetapkan orang-orang di apartemen itu mempercayai bahwa cara hidup bersosial merekalah yang paling sempurna dan ideal. Empat pondasi bermasyarakat; Selflessness, Openness, Acceptance, and Security, terus diulang dijadikan mantra yang didoktrinkan kepada Sarah. Mengubahnya menjadi seperti mereka. Dan bukankah ospek memang seperti itu? Para mahasiswa baru praktisnya terpaksa ikut dan menjalani semua kegiatan karena dijadikan syarat untuk diterima sebagai anggota himpunan. Himpunan itu sendiri ‘dijual’ kepada maba sebagai safe haven dengan networking ke alumni, angkatan yang saling menjaga, ‘masuk bareng-lulus bareng’. Orang-orang yang sudah ditempa bersama, punya tujuan yang sama, kini hidup sebagai satu unit dengan kuat. Tentu saja, gak semua mahasiswa setuju dengan hal tersebut. Namun begitu sudah menjadi bagian darinya, berpartisipasi dalam rangkaian kegiatannya, ketika sudah tiba waktunya dilantik, toh mahasiswa akan bangga juga. Dan akan bersiap untuk menjadi senior pembimbing tahun depan; mengospek anak-anak baru berikutnya.

Melihat Sarah pada akhirnya jadi sukarela bergabung menjadi anggota, kita tahu masih ada keraguan di benak dan hatinya. Akan tetapi dia sudah tidak punya pilihan lagi, selain mempercayai bahwa komunitas inilah jawaban terbaik. Dan ketika temannya masuk untuk menjadi penghuni berikutnya, kita tahu Sarah mengumpulkan segenap ‘kekuatan’ untuk get on with the program, kita dapat merasakan beratnya perjuangan di dalam diri Sarah yang sebenarnya pengen menyuruh temannya itu lari. This is exactly what I feels waktu ospek. Aku gak setuju, tapi ketika aku yang jadi senior, aku mengusahakan untuk semangat mengospek anak-anak baru. Dam kupikir, yang dilakukan oleh film dengan elemen ini adalah menunjukkan kepada kita bagaimana rasanya menjadi bagian dari komunitas atau kelompok atau cult. Kita boleh saja gak setuju, tapi kita sudah dibentuk untuk percaya bahwa mereka adalah kebutuhan. Film memperlihatkan betapa susahnya untuk keluar dari sana. Meskipun yang dibutuhkan sebenarnya ‘hanyalah’ percaya pada kualitas diri sendiri dan menyadari bahwa hidup kita, ya milik kita sendiri.

Bukan herd immunity melainkan collective insanity

 

 

1BR seperti ingin membongkar pepatah lama “Jika kamu ingin cepat maju, lakukanlah sendiri. Jika kamu ingin jauh maju, lakukanlah bersama-sama”. Ending film ini memberitahu kita sebaliknya; jika Sarah pengen kabur, dia harus kuat dan berlari sendirian. Film ini punya gagasan untuk tidak menjadikan komunitas sebagai zona nyaman. Film ingin kita mempertanyakan kembali apa yang kita mau. Sarah pengen keluarga baru tempat ia bisa mengadu, keluarga yang perhatian padanya. Yang ia dapati di dalam sana ternyata jauh lebih buruk daripada pelanggaran privacy. Sesuatu yang lebih intrusif dan mengekang. Mengambil siapa dirinya sebagai seorang manusia.

Menjelang akhir babak kedua ada adegan paling heartbreaking seantero cerita, yaitu dialog antara Sarah dengan ayah kandung yang ia benci, datang menjemputnya pulang. Ini puncak tertinggi emosi yang dimiliki oleh film. Namun build up menuju ke sini agak kurang konsisten, karena cerita telah melalui berbagai metamorfosis sehingga perubahan-perubahan tersebut mengalihkan kita dari Sarah sebagai karakter. Sarah cenderung membosankan sebagian besar cerita. Dia cuma ada di sana untuk disiksa, pribadinya pun tidak membuat dia menonjolkan aksi dan pilihan. Temannya yang lebih galak dan berani mungkin bakal jadi pilihan yang lebih menarik sebagai tokoh utama dengan penceritaan seperti begini. Sarah hanya punya dua modal sebagai karakter yang menarik; backstory masalah pribadinya dengan sang ayah, dan ia berani berbohong; menyelundupkan kucing ke apartemen yang melarang hewan peliharaan.

Dua hal tersebut kinda lose in the shuffle saat film mengungkap poin-poin cerita. Memfokuskan pada aspek penyiksaan dan sebagainya. Menurutku film, secara emosional, bisa bekerja lebih baik jika mengurangi sedikit volume genrenya dan mengeraskan ke bagian bagaimana Sarah bisa sebegitu pasif, ke bagian dia berinteraksi dengan ayah ataupun dunia luar yang membuat dia retreat cari perlindungan apartemen sedari awal.

 

 

 

Bersama Vivarium (2020), film ini merupakan horor kontemporer yang benar-benar mengusung sudut pandang manusia di kehidupan modern. Mereka membuat hal yang lumrah di era dulu, seperti punya keluarga ataupun hidup bertetangga menjadi menakutkan. Meskipun begitu, toh kita enggak perlu untuk setuju dengan gagasan cerita untuk dapat menikmati suatu film. Dan pada kasus film ini, horor yang tersaji cukup enak untuk disaksikan. Intriguing and thought-provoking enough. Sehingga kita bisa betah bergidik-gidik menyaksikan tokohnya yang kinda boring, dan menjadi berempati kepadanya. Sebagian besar keberhasilan film ini terletak pada arahan berceritanya yang berhasil memuat banyak dalam durasi yang begitu singkat. Persis kayak apartemen kecil mungil, tapi berisi beragam manusia dan segala perbedaannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for 1BR

 

 

 

That’s all we have for now.

Mana tempat tinggal yang ideal bagi kalian, di perumahan yang sepi atau di hunian yang lebih tradisional secara hubungan bertetangga? Kenapa?

 

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

SWALLOW Review

07 Tuesday Apr 2020

Posted by arya in Movies

≈ 9 Comments

Tags

2019, 2020, drama, family, horror, life, love, mother, psychological, review, spoiler, thought, thriller

“Autonomy is the whole thing; it’s what unhappy people are missing.”

 

 

Kita semua pernah ngalamin susahnya menahan diri untuk enggak nyentuh muka di kala pandemi virus corona. Sudah seperti reflek, kita gak kontrol entah sudah berapa kali tangan selalu ringan mengarah ke wajah. Dan ketika nyadar nyentuh wajah bisa membuat virus masuk ke tubuh, seluruh wajah jadi kerasa gatal. Hidung, pipi, semuanya mendadak pengen disentuh. Jadi bisa dibayangkan gimana rasanya jadi wanita hamil seperti Hunter, yang bawaannya pengen makan melulu. Ngidam Hunter di thriller Swallow bukan sembarang ngidam. Bukan makanan asem dan sulit dicari yang pengen wanita muda itu masukkan ke perut. Melainkan justru benda sehari-hari yang bertebaran di rumahnya yang mewah. Kelereng. Baterai. Sampai yang tajam-tajam seperti peniti. Duh.

Swallow membahas disorder yang di dunia nyata nama ilmiahnya adalah ‘pica’. Kelainan psikologis yang menyebabkan seseorang merasa pengen terus memakan benda-benda tak bergizi. Keadaan yang tentu saja berbahaya, karena kita bisa keracunan atau saluran pencernaan terluka. Apalagi untuk ibu hamil seperti Hunter. Sutradara Carlo Mirabella-Davis dengan tepat menggambarkan intensnya dorongan-tak-tertahan yang didera oleh Hunter tatkala rumahnya sepi. Seperti saat adegan Hunter lagi membersihkan lantai dan menemukan jarum pin. Kamera dan cut yang precise, didukung oleh musik senyap dan penampilan akting Haley Bennett (menghidupkan tokoh yang adorable dan sangat patuh) membuat kita serasa ingin menerobos masuk ke layar dan mencegah Hunter untuk menelan. Ada permainan intensitas yang diberikan, tarik ulur; makan atau tidak dimakan, film ini mencengkeram kita seperti demikian.

Aku gak pernah tahu penyakit Pica sebelum film ini, tapi Swallow sukses berat menyampaikan betapa mengerikannya kebiasaan tersebut. Sekaligus betapa candunya. Aftermath dari adegan makan diperlihatkan dengan montase Hunter semakin larut dengan kebiasaannya. Benda-benda yang ditelannya semakin berbahaya, namun musik kini setengah-ceria. Hunter tampak enjoy mengoleksi benda-benda yang ia telan tersebut keluar dari perutnya. Di bagian sini, film jadi horor lagi. There will be blood. Thriller mainstream akan mengeksplorasi cerita ini menjadi bodi-horror dengan memfokuskan pengaruh kebiasaan tersebut terhadap tubuh Hunter. It would be grotesque and superfun. Akan tetapi, Swallow bukan film seperti demikian. Imajinasi kita akan dibiarkan meliar membayangkan kesakitan yang harus dialami Hunter. Kamera hanya memperlihatkan bentuk benda yang ditelannya, kita yang akan membayangkan usaha seperti apa kira-kira yang dilakukan oleh Hunter mengambil kembali benda itu dari dalam perutnya. Mirabella-Davis actually lebih menekankan cerita ini menjadi bernada psikologis. Dia lebih tertarik untuk memperlihatkan konsekuensi yang nyata, dan kemudian membahas dengan mendalam kenapa perbuatan tersebut bisa terjadi. Dalam lapisan yang lebih dalam, film menyampaikan gagasan soal pemberdayaan wanita terhadap kuasa atas dirinya sendiri.

makan gak makan, asal bisa dikumpulkan

 

 

Kehidupan Hunter sebagai seorang wanita dihamparkan dengan jelas. Kita tahu dia punya semua; suami jutawan, rumah nyaman, rumah tangga yang bahkan lebih manis daripada mimpi Cinderella. Hanya ada satu yang tidak dia punya. Film menunjukkan bagaimana suara Hunter adalah yang paling ‘kecil’ di rumah tersebut, penampilannya sering diatur, dan kini dia punya bayi di dalam perutnya. Hal menarik yang diperlihatkan film ini adalah reaksi kontras antara Hunter dengan suaminya saat mengetahui kehamilan. Sang suami langsung memberitahu orangtuanya dengan bersemangat “kami hamil!”. Sedangkan Hunter; terduduk diam. Tidak bergairah. Seolah ia baru saja divonis dipenjara selama sembilan bulan. Film dengan spektakuler mengangat pertanyaan apakah Hunter benar-benar pengen hamil. Pertanyaan yang tidak terburu-buru untuk dijawab, melainkan dibiarkan terus berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan lain, yang mengawal kita ke konflik sebenarnya cerita ini. Seberapa besar peran Hunter dalam hidup sempurnanya tersebut – apakah Hunter menginginkan semua itu? Kenapa?

Itulah akar dari perilaku Pica; Perilaku yang kemudian jadi pelarian bagi Hunter. Dia yang terbiasa menelan perasaan, merasa jadi pegang kendali saat memasukkan kelereng dan benda-benda itu ke dalam mulut, merasakan dengan lidah, dan kemudian menelannya. Tindakan yang merusak diri sendiri ini diambil oleh Hunter sebagai perlawanan. Kecantikan, kepatuhan, dan sikap lembut welas asihnya kepada suami dan keluarga adalah perwujudan dari pengorbanan yang ia lakukan. Jika kesempurnaan adalah demi orang lain, maka pengrusakan dan kesalahan Hunter lakukan demi dirinya sendiri. Ada dialog Hunter dengan suaminya yang menjadi kunci dari ketakutan dan permasalahan dalam dirinya. Yakni ketika sang suami mengatakan Hunter gak pernah salah, dia begitu sempurna sebagai seorang istri yang taat, sehingga jika mau buat salah aja, dia gak bakal bisa. Perilaku Pica yang Hunter lakukan seolah pengen untuk membuktikan bahwa dia bisa melakukan kesalahan, sebagai bukti dirinya masih manusia yang punya kehendak. Bukan robot istri orang kaya, bukan alat pencetak anak. Cerita akan semakin menggelap tatkala kita mempelajari masa lalu Hunter – kehidupan masa kecilnya. Aku gak ingin membocorkan soal itu, tapi aku pikir  satu hal yang perlu untuk dikasih tahu supaya motivasi dan kelakuan Hunter ini bisa lebih kita pahami adalah bahwa peristiwa yang terjadi di masa lalunya berperan besar membentuk diri Hunter yang sekarang. Peristiwa tersebutlah yang membuat dia percaya dirinya adalah sebuah kesalahan. Maka ketika ia dituntut untuk jadi sempurna, dan dikatain gak bisa salah saat menjadi istri dan calon ibu – Hunter merasa amat sangat dikekang

Seringkali dalam hidup, kita terpaksa untuk menelan banyak hal. Keinginan. Perasaan. Rasa sakit. Hal yang paling membuat nelangsa adalah ketika kita dipaksa untuk menelan siapa sesungguhnya diri kita. Ketidakbahagiaan berasal dari sini, membuat kita merasa less- terhadap diri sendiri. Yang film ini tunjukkan adalah betapa lingkungan sekitar dapat mempengaruhi atau memaksa bukan hanya tindakan sehingga kita merasa bukan diri sendiri, melainkan juga membuat kita percaya sesuatu yang bukan adalah diri kita. Jadi jangan telan semua itu bulat-bulat.

 

 

Ketika film membahas masalah penanganan disorder Hunter oleh keluarga suaminya, konflik yang hadir dapat terkesan terlalu banal. Ini satu hal yang kurang kusuka dari film ini. Aspek psikologis, studi karakter Hunter sangat kuat, akan tetapi pembahasan dari sisi keluarga suaminya enggak begitu seimbang. Untuk menguatkan konteks Hunter terasing dari sekitar dan dia dipaksa untuk menjadi merasa bukan seperti ‘orang’, film butuh untuk membuat sang suami benar-benar terlihat jahat. Di paruh awal sebenarnya suami ini cukup berlapis. Namun di akhir, film membuat sangat jelas bahwa pria tersebut hanya peduli kepada anaknya yang dalam kandungan, dan terbukti hanya bermanis-manis ria terhadap Hunter. Penggambaran yang demikian membuat film seperti tidak mampu mengulik seperti apa sih kekangan patriarki dan kompleksitasnya bagi wanita dengan benar-benar geunine. Seolah, jika tokoh wanita salah, maka tokoh pria harus salah juga karena bagaimanapun juga ini adalah perihal pemberdayaan dan perjuangan wanita atas dirinya.

tapi ada bapak-bapak yang lebih hebat dari Hunter; katanya mau nelen corona

 

 

 

Hal paling cantik dari film ini adalah cara ia bercerita tentang wanita meraih autonomi. Memperlihatkan dunia simetris nan mewah, warna-warna hangat, sebagai kesempurnaan yang mengekang. Wanita yang jadi istri orang kaya bukan serta merta bahagia, karena yang terpenting adalah apa yang sebenarnya ia minta – seberapa besar dia merasa semua hal adalah pilihan dirinya. Sekilas film ini tampak seperti akan menempuh jalur body horror – dan dia bisa saja menjadi itu dengan sangat gampang karena film ini seputar wanita hamil yang memakan benda-benda berbahaya. Namun film ini punya sesuatu yang lebih dalem sebagai body-goal. Sehingga Swallow menjadi berkali lipat lebih thoughtful, naas, dan mengerikan.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for SWALLOW

 

 

 

That’s all we have for now.

Hal paling pahit apa yang pernah kalian telan?

 

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE WAY BACK Review

28 Saturday Mar 2020

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2020, drama, family, funny, high school, life, love, mature, psychological, review, spoiler, sport, thought

“Never inflict your rage on another”

 

 

 

Hidup kayak pertandingan olahraga. Kita berjuang untuk bisa menang. Ketika kita memenangkan suatu tanding olahraga, bisa dibilang kita menang dalam hidup; kita udah sukses mendisiplinkan diri, memfokuskan diri pada tujuan, mengenyahkan kelemahan, dan sebagainya. Namun sebaliknya, ada lebih banyak cara untuk kalah dalam hidup dibandingkan di dalam kompetisis olahraga. Karena hidup bukan semata soal mengalahkan lawan, menjadi lebih baik daripada lawan. Sutradara Gavin 0’Connor yang sudah malang melintang di genre drama olahraga yang menginspirasi, kini hadir dengan sebuah sajian yang bukan hanya bakal membuat kita semangat melihat pertandingan basket, tapi sekaligus juga merenung dan belajar satu-dua hal dari kesalahan yang dilakukan oleh tokoh dalam ceritanya.

Bagian ‘olahraga’ dalam drama-olahraga The Way Back menghadirkan formula yang sudah kita hapal di luar kepala. Sebuah cerita underdog. Jack Cunningham, mantan top-player basket di masa SMA diminta untuk melatih tim di sekolah lamanya. Tim ini udah lama sekali enggak menang kejuaraan, terhitung sejak Jack lulus dari sana. Relasi antarmereka pun terjalin. Jack menemukan kembali kecintaannya terhadap olahraga ini, dan para pemain pun mendapat semangat baru. Tapi ini adalah sekolah Katolik yang lebih mengutamakan menjadi ‘orang baik’ ketimbang menang, sementara Jack yang meledak-ledak sumpah serapahnya setiap kali tanding dan lagi latihan dipandang memberikan contoh yang buruk. Terlebih Jack merupakan seorang peminum berat. Naskah The Way Back, however, lebih condong ke bagian ‘drama’. Pertanyaan utama yang menjadi tubuh cerita bukanlah ‘Apa Jack berhasil membuat tim basket ini menang kejuaraan?’, melainkan ceritanya disusun untuk menjawab ‘Kenapa Jack begitu doyan minum-minum?’

Jack drinks a shot, bukan ngeshot bola.

 

Babak ketiga film ini dapat menjadi surprise bagi penonton yang mengira ini bakalan jadi cerita olahraga yang biasa, terlebih karena The Way Back toh memang menggunakan trope-trope lumrah yang sering kita temui dalam genre ini. Arahannya seperti banting setir. Menjauh dari ‘Jalan Hollywood’ yang biasanya cerita-kompetisi akan berakhir dengan sebuah big-match. Sebenarnya ini justru menyegarkan. Film menggali cerita yang lebih personal. Tidak ada glorifikasi keadaan. Jika kau seorang alkoholik, tidak ada kompromi bagimu untuk bisa menjadi guru. Namun film tidak berkata dengan sehitam-putih begitu. Masih ada rasa yang dialamatkan. Kita harus ‘memandang’ ke gawang yang benar disarang oleh film ini.

Jadi supaya kita tahu film ini bukan exactly cerita kompetisi basket melainkan lebih kepada cerita tentang pergulatan addiction dan penebusan si Jack itu sendiri sehingga kita enggak membuild up ekspektasi ke arah yang salah dan kemudian kecewa untuk alasan yang tidak tepat, maka kita perlu memperhatikan naskah lewat struktur yang tercermin dari pembabakan film. Plot poin pertama cerita ini bukanlah soal memenangkan perlombaan. Yang kita lihat pada sekitar menit 28-30an (akhir babak satu ada di menit ini) adalah adegan Jack bertemu dengan istrinya – mereka sudah setahun berpisah. Inilah yang menentukan aksi Jack berikutnya. Diminta jadi pelatih basket diposisikan naskah sebagai inciting incident – alias datang lebih awal, yang diperlihatkan Jack bimbang memilih iya atau tidak. Dia mabuk dalam usahanya memutuskan ini. Pertemuannya dengan istri dan mengetahui ‘kabar’ hubungan merekalah yang jadi penentu aksi bagi Jack. Yang mengobarkan api di dalam Jack bukan semata nostalgia di lapangan basket, melainkan kenyataan pahit bahwa dirinya masih melakukan kesalahan. Dan inilah yang terus memakan Jack dari dalam, menjadi konflik pribadi yang harus ia selesaikan.

Tiga hal yang ditekankan oleh film sebagai petunjuk buat kita; Kebiasaan Jack minum yang diperlihatkan dengan berbagai cara menarik, seperti Jack bolak-balik kulkas dan memindahkan bir ke freezer sebelum meminumnya atau kaleng yang ada di shower. Kamera dengan flare yang seperti menggambarkan antara kenangan jaya masa lampau dan perasaan nanar dari sakit kepala terus-terusan. Dan si Jack itu sendiri; Ben Affleck memainkannya dengan luar biasa. Pendekatan yang diambil oleh Affleck dalam menghidupkan karakter ini adalah dengan seringkali diam, bahkan dari pakaiannya pun sudah terkesan ia tertutup rapat. Namun dia pemarah. Dicolek sedikit, nyambit. Ke-trigger. Kita bisa merasakan rage/berang itu terhimpun, merembes keluar karena botol yang bernama si Jack ini sudah kepenuhan oleh emosi dan rasa bersalah dan perasaan berduka. Minum alkohol ia jadikan sebagai outlet untuk menyalurkan rage yang berakar dari kematian putranya. Waktu beraktivitas sebagai pelatih, itulah satu-satunya waktu Jack jauh dari kaleng bir. Satu-satunya waktu dia tampak paling bahagia. Sebab di pinggir lapangan, neriakin wasit goblog, marahin pemain yang lalai, mengutuk lawan yang curang, itulah Jack punya alasan tepat untuk melepaskan rage/marahnya.

Kita bisa mabok jika kita minum setiap kali Jack ngamuk saat pertandingan

 

Seiring durasi; Jack seperti sudah stabil karena menemukan penyaluran emosi yang tepat dari pertandingan basket, pertanyaan baru membuka. Sebab perjalanan Jack tidak berakhir sebatas dia bisa marah-marah. Jack perlu mengerti kenapa dia marah. Bukan in sense penyebab marahnya, melainkan kenapa marah itu masih ada. Kepada siapa sebenarnya marah dan ragenya itu dialamatkan. Inilah yang menjadi  fokus pada babak ketiga. Untuk dapat berubah menjadi pribadi yang lebih baik, Jack harus menyelami – harus berkonfrontasi dengan kemarahan yang ia lepas tadi. Istrinya sudah move on, dia belum. Dia merasa dia berhak marah kepada istrinya karena hal tersebut. Namun sekali lagi, marahnya salah alamat. Inilah drama alias konflik yang digali oleh film. The Way Back adalah karakter-studi seorang pria seperti Jack. Pria yang kehilangan, tapi tidak sanggup mengakui bahwa kehilangan tersebut mungkin adalah salah dirinya.

Penyesalan, duka, kehilangan yang dihimpun begitu lama wajar bila meledak. Lebih sehat untuk keluar daripada ditahan-tahan terus menerus. Tapi jangan lantas dilampiaskan kepada orang lain. Emosimu, kemarahanmu adalah milikmu. Terlebih apabila kemarahan tersebut adalah kemarahan kepada diri sendiri. Jangan berikan kesedihan dan nestapa itu kepada orang lain. Demi kedamaian seperti yang dirasakan datang kepada Jack di akhir film, rasakan sendiri deritamu dengan tidak menyakiti orang-orang di sekitar.

 

Kita bisa ‘protes’ kepada film, memberinya masukan dan saran bahwa mestinya cerita menggali lebih banyak hubungan Jack dengan remaja-remaja pebasket yang ia latih. Karakter mereka ikut diperdalam, karena memang mereka ini cukup menarik. Ada anak yang suka menari sebelum pertandingan dimulai dan dijadikan oleh teman-temannya sebagai semacam ritual, ada anak yang fukboi, ada yang begitu cinta sama basket sayangnya ia sok jago, dan yang paling dikedepankan adalah kapten tim yang jenius dan cinta basket, hanya saja tidak didukung oleh orangtua sehingga dia sedikit tidak pedean. Aku sendiri akan suka banget kalo mereka-mereka ini dibahas lebih dalam lagi, diberikan lebih banyak waktu-tampil. Pertandingan basketnya diperlihatkan lebih sering karena kita bisa melihat jelas kepiawaian sutradara dalam menyuguhkan kompetisi olahraga. Tapi itu akan sama saja seperti menggiring bola dan menembakkannya tiga-poin ke keranjang yang tidak tepat. Karena tujuan film bukan di sana. Hubungan antara Jack dan anak-anak itu penting, sebagai pembelajaran bagi dirinya. Anak-anak itu adalah dirinya waktu masih muda, maka Jack dapat dengan mudah menjadikan mereka pelampiasan. Pembahasan mereka ini cukup pada masing-masing memberikan pengaruh baik, it’s enough kita percaya mereka kini sanggup memenangkan pertandingan melawan tim sekolah manapun Tapi bagi Jack, dan karena ini adalah cerita tentang dirinya, kemenangan yang paling penting itu bukanlah kemenangan olahraga. Melainkan kemenangan berkonfrontasi dengan grief dan kesalahan yang menjadi sumber amarah dan ketidaktenangan dirinya.

 

 

Makanya, film juga tidak merasa perlu membahas proses kesembuhan Jack dari kecanduan alkoholnya dengan detil. Sebab yang penting adalah redemption, dan proses yang ia lalui sebagai pembelajaran ke arah sana. Ini adalah drama olahraga yang difungsikan sebagai studi psikologi tokohnya. Yang ditekankan adalah konflik yang lebih personal. Menurutku, jika Mariposa (2020) memang berniat sebagai cerita parenting mestinya film tersebut bercerita seperti film ini; dengan membuat olimpiade sains tidak sebagai fokus, melainkan seperti pertandingan basket dalam film ini. Di sini tidak pernah dikesankan tokoh utamanya menganggap kemenangan basket penting sehingga kita juga tidak disuruh ngebuild up ke arah sana. Sedangkan olimpiade pada Mariposa ditampilkan sebagai sesuatu yang penting untuk dimenangkan, padahal kemudian belakangan diungkap tidak satupun tokohnya yang peduli sama sains. Sebagai film olahraga, film ini menggunakan tidak menggunakan formula dan trope yang baru. Namun sebagai drama tentang candu dan penebusan dosa, film ini kuat oleh karakter, yang dimainkan dengan real, dan naskah yang fokus.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE WAY BACK.

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa orang lebih nyaman untuk nge-bottle rage and anger mereka? Benarkah mengekspresikannya lebih sehat?

 

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE INVISIBLE MAN Review

02 Monday Mar 2020

Posted by arya in Movies

≈ 36 Comments

Tags

2020, drama, horror, life, love, mystery, psychological, reboot, relationship, review, sci-fi, spoiler, thought, thriller

“The scars you can’t see are the hardest to heal.”

 

 

 

Memanglah, manusia lebih seram daripada monster! Buktinya; meski berada dalam jagad sinema yang sama (Universal Monster Universe atau Dark Universe), tapi The Invisible Man yang manusia ini filmnya jauh lebih mengerikan. Lebin bikin kita merasa terancam secara fisik dan emosional, lebih menantang, ketimbang Frankenstein, Mummy, Dracula modern yang rebootnya gagal sehingga nyaris membunuh franchise ini secara keseluruhan.

The Invisible Man diarahkan oleh Leigh Whannell jauh dari hingar bingar aksi dan mitos fantastis. Melainkan, senada dengan novel aslinya yang terbit 1897, memiliki sedikit elemen fiksi-ilmiah. Tapi itu hanya pemanis. Inti dari cerita film ini dibuat sangat dekat dengan kita. Whannell juga dengan efektif membangun permasalahan yang kekinian. Dari banyak cerita tentang ‘mantan’ yang rilis Februari ini, baru The Invisible Man inilah yang justru terasa lebih make-sense, yang lebih dalam menggali permasalahan relationship sepasang manusia; permasalahan yang bukan hanya sekadar karena mereka gak cocok. Masalah mantan di film ini gak jatoh sebagai gimmick jaman now, supaya filmnya laku belaka. Whannell nge-blend itu dengan konsep yang berada pada garis antara supernatural dan keseraman ilmu pengetahuan.

Cecilia, tokoh dalam cerita ini, kabur dari cowoknya yang ganteng, jenius (ilmuwan optikal, atau apa gitu istilahnya..), kaya raya. Tipikal cowok idaman banget si Adrian ini. Sayangnya punya kecacatan ‘kecil’; abusive dan controlling sekali. Pada adegan pembuka yang memperlihatkan Cece diam-diam kabur dari kelonan Adrian, melepaskan diri dari kungkungan rumah dan toxicnya hubungan mereka, ada satu momen yang melibatkan anjing peliharaan Adrian. Dari anjing yang berkalung alat penyetrum itu saja keefektifan penulisan langsung menunjukkan taringnya; sebab momen ini menjalankan fungsi sebagai perlandasan perbedaan sifat dua tokoh – Cece dan Adrian – sekaligus. Meskipun berhasil kabur, Cece masih trauma. Dua minggu dia tidak berani keluar dari rumah sahabat yang menjadi persembunyiannya. Padahal Adrian sang mantan dikabarkan sudah meninggal bunuh diri. OR IS HE? Hidup Cece semakin tidak tenang. Dia mendapat gangguan, dikuntit oleh sesuatu yang tak terlihat. Cece merasa Adrian masih ada di dekatnya. Masih mengendalikan semua aspek hidupnya.

Mungkinkah Cece diganggu oleh John Cena?

 

Film ini, however, tidak membuang waktunya berkubang berusaha membuat kita bimbang antara hantu atau hanya si Cece sajalah yang beneran gila. Set up sepuluh menit pertama sudah begitu kuat dan efektif sehingga kita sudah otomatis waspada ada pria yang superpinter namun sangat jahat mengincar Cece. Maka kita langsung tersedot berada di posisi antisipasi dramatis menyaksikan semua hal buruk menimpa Cece. Untuk itu, film benar-benar menajamkan aspek horor dengan perantara suara dan mata kita. Karena kita berhadapan dengan sesuatu yang tak-kasat mata. Sound design benar-benar bekerja luar biasa. Ada beberapa jumpscare ditemukan, tapi tidak ada yang terasa murahan, karena antisipasi dan kewaspadaan kita sudah terhimpun kepada satu hal. Belajar dari menonton petualangan Harry Potter; kita tahu bahkan orang yang tak kelihatan itu nyatanya masih bersuara. Jadi setiap kali suasana hening, Cece memandang dengan cemas sekelilingnya, kita ikutan bukan hanya menahan napas, melainkan juga menajamkan telinga. Kita terbawa pengen mendengar keberadaan si Pria Transparan. Kita mencari bunyi nafasnya, kita berusaha menangkap basah bunyi derit lantai yang ia pijak sehingga kita tahu dia ada di mana. Dan ketika ada jumpscare, atau sebaliknya tidak ada apa-apa, kita dengan genuine merasa kaget atau lega.

Selaras dengan hal tersebut; kerja kamera juga bekerja dengan sama efektifnya. Aku gak bisa dengan tepat mendeskripsikan tensi film ini terbangun dengan sangat solid hanya dari memperlihatkan sebuah sofa kepada kita. Tantangan film ini adalah ia harus memajang sesuatu di layar, entah itu sofa, atau pintu, atau sudut ruangan, clearly tidak ada apa-apa di sana tapi harus membangun sugesti ada sesuatu yang mengerikan. Setiap kali film melakukan itu, kita menyipitkan mata, menajamkan pandangan, berharap melihat suatu tanda. Bahkan ketika kamera bergerak mengikuti tokoh yang mencari, mata kita akan ikut jelalatan ke sudut-sudut ruangan. Timing sangat berpengaruh, film ini tahu seberapa lama persisnya mereka harus memperlihatkan suatu kekosongan yang membuat kita waspada. Karena jika merekam terlalu lama, kesan seram itu bisa menguap dan dengan gampang berubah menjadi annoying terutama jika harus terus menerus dilakukan. Perbandingannya bisa seperti begini: kalian nonton video di TikTok dengan caption ‘memancing’ seperti “gak sengaja kerekam” atau “apa ada yang bisa lihat?”, kalian pantengin ampe abis tapi nyatanya gak ada apa-apa, apa yang kalian rasakan setelah nonton? Kesel. Kamera film The Invisible Man ini secara esensi sama seperti demikian, pada akhirnya tidak ada apa-apa, namun kita rasanya semakin penasaran – semakin geram – bahkan tidak perlu narasi/caption bait untuk membuat kita merasa masuk begitu dalam.

Psikologi ceritalah satu-satunya dibutuhkan. Dan unlike those poor TikTok videos, naskah The Invisible Man penuh dengan galian psikologi. Serta jauh lebih unggul dalam menceritakannya. Bagi kita ini bukanlah masalah Cece gila atau tidak. Yang membuat kita peduli adalah melihat Cece – powerless ketimbang Adrian – tersiksa dan berjuang untuk lepas, dan ketika dia berusaha minta tolong kepada orang, dia gak bisa menjelaskan; orang-orang gak percaya (karena begitulah esensi dari ‘tidak-berdaya’) malah ia sendiri yang dianggap gila. Kita begitu peduli karena film membuat kita memainkan skenario kemalangan Cece sekaligus menempatkan diri ke posisi dia yang tengah dibuat menjadi semakin tak berarti lagi oleh keunggulan Adrian. Penampilan akting Elisabeth Moss sangat juara sebagai Cece. Mulai dari ekspresi, ketegangan, hingga ke rupa-fisik; dia tampak pucat, awut-awutan, polos tanpa polesan, semuanya bicara tentang kenihilan daya wanita yang terjerat di genggaman pria. Melawan sesuatu yang tak bisa ia lihat. And it works either way; jiwa dan raga. Tak terbatas pada teriak seperti orang gila, tantangan Moss juga melibatkan ia harus berkelahi dengan udara, dan adegan-adegan itu sama sekali tidak kelihatan konyol bahkan untuk satu detikpun.

Bahkan jika kita belum pernah merasakan hubungan yang abusive, kita masih akan bersimpati kepada Cece lantaran yang ia hadapi sebenarnya adalah seseorang yang membuat dirinya semakin merasa bukan apa-apa. Ini bisa dengan gampang diterjemahkan sebagai persoalan ‘laki-lawan-perempuan’ di mana perempuan dianggap lebih tak berdaya dan akan terus begitu karena si perempuan sendiri tidak bisa melihat permasalahan yang sebenarnya; yakni mereka butuh untuk mengambil kendali. Merebutnya, kalo perlu. Seperti yang diperlukan Cece sebagai resolusi cerita. Wanita itu bisa melihat sepenuhnya sekarang, melihat ‘luka’ yang terus dieksploitasi oleh Adrian. ‘Tidak bisa hidup sendiri’, ‘Tidak bisa besarkan anak sendiri’. Sadis atay mungkin jahat kelihatannya, tapi ending film menyimbolkan kesembuhan dan Cece yang sudah bisa melihat yang harus ia kalahkan.

 

Pesan yang indah dalam film ‘manusia-itu-monster’ yang seram

 

Kejadian di sekuen enam naskah begitu sempurna memberikan peningkatan tensi cerita yang sangat drastis. Namun demikian, kejadiannya mengandung sedikit ketidakkonsistenan. Masuk ke babak tiga, aku merasa level excitement-ku sedikit berkurang karena kejadian-kejadian di sini lebih terasa seperti tuntutan naskah ketimbang progres yang natural. Twist sebagai False Resolution yang dimaksudkan untuk membuat Cece semakin bingung terasa gak nendang kepada kita, karena setiap karakter sudah terlandaskan – akan gak masuk akal jika direveal bukan demikian, misalnya soal bayi – tidak mungkin selain Adrian ada yang peduli Cece melahirkan atau tidak. Selain itu, banyak kejadian yang harus terjadi dan kita diminta untuk menerimanya saja, karena ya memang harus ke situ ceritanya. Misalnya adegan di tempat publik, yang harus terjadi di tempat publik karena harus banyak yang menyaksikan Cece; hanya saja ada aspek yang gak konsisten karena dengan sengaja mengabaikan cctv. Padahal cctv jadi elemen yang penting sepanjang durasi, bahkan ending film ini melibatkan cctv. Namun untuk satu adegan di restoran itu, film ‘melupakan’ cctv sebagai bukti karena plot poin mengharuskan Cece setelah ini dimasukkan ke penahanan. Kalo cctv dibahas, bisa-bisa Cece gak jadi ditahan. Mundur ke belakang, masih ada lagi hal-hal yang diabaikan yang kalo kita pikirkan membuat kita ingin protes “loh mestinya kan bisa…”

Cece sempat balik ke rumah Adrian, naik Uber. Cece menemukan kostum penghilang di lab kerja Adrian. Tapi kemudian si Invisible Man datang, Cece berhasil kabur. Naik Uber yang sama, yang sedari tadi nungguin di gerbang depan. Cece kabur, setelah menyembunyikan kostum itu di lemari. Setidaknya ada dua pertanyaan yang menghantuiku pada sekuen ini. Kenapa si Uber gak dibunuh saja oleh Adrian – bukankah lebih ‘mesra’ mengurung Cece di sarang cinta mereka. Dan bahkan jika gol Adrian adalah supaya Cece terlihat gila nan berbahaya dan lantas ditangkap, bukankah pembunuhan si Uber lebih gampang dan masih bisa dijadikan pemenuh tujuan. I mean, melepas Cece beresiko lebih besar, karena ia harus mengejar lagi, dan berapa kemungkinannya Cece bakal menghubungi kenalan dan ngajak bertemu di tempat umum. Adrian bisa sekonfiden itu dengan rencananya, ya karena memang dibeking oleh tuntutan naskah. Pertanyaan keduaku adalah, kenapa Cece malah kabur dengan meninggalkan bukti penting yang ia temukan – kostum – di dalam rumah, kenapa gak sekalian dibawa kabur. Film sekali lagi tampak memaksakan kejadian, karena di akhir kita paham kostum tersebut harus berada di rumah untuk kejadian ending.

Dan soal bukti, aku akan ngajak mundur lebih jauh lagi membahas saat Cece menemukan hape yang digunakan Adrian memotret Cece tidur; hape ini sengaja ditinggalkan di sana oleh Adrian untuk memberi kejutan kepada Cece. Ini eksesif sekali. Kenapa mesti di loteng? Bayangkan usaha Adrian harus diam-diam angkat tangga, naik ke loteng, naroh hape di sana, turun, balikin tangga ke posisi semula. Resiko dia melakukan hal sebanyak itu di rumah kecil yang berisi tiga orang; sangat besar. Belum lagi kemungkinan Cece dapat/mendengar bunyi hape itu. Kecil. Padahal lebih mudah ia letakkan di kamar saja. Here’s the best part: di hape itu ada foto Cece tidur di kamar anak sahabatnya yang polisi – ini bisa jadi bukti otentik tak terbantahkan bahwa ada yang menguntit dirinya – bukti yang basically diberikan gratis oleh pelaku kepadanya; KENAPA bukan ini yang diambil Cece dan ia serahkan kepada polisi? Tentu, karena nanti filmnya akan berakhir lebih cepat. Atau paling enggak, intensitas dan tensinya menurun drastis.

 

 

 

Mungkin masih terlalu dini, tapi memang sejauh ini, film inilah horor terbaik yang bisa kita nikmati di 2020. Arahan dan aktingnya luar biasa. Secara fungsi, ia meniupkan napas baru dari Dark Universe, malah sebagai reinkarnasi sebab kini jagat sinematik itu hadir tak lagi sebagai dunia yang berhubungan. Film ini membuktikan film monster-monster itu bisa mencapai potensi yang tinggi jika dibuat sebagai cerita yang berdiri sendiri. Ada beberapa hal yang jika dipikirkan membuat film ini terasa maksa di bagian akhir, namun tidak akan mengurangi keasikan menontonnya. Karena paruh awal yang begitu solid. Penggemar Universal Monster akan dapat hiburan ekstra dari referensi penampakan Invisible Man versi klasik yang disematkan di dalam cerita
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE INVISIBLE MAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Kenapa orang susah melepaskan diri dari hubungan yang toxic, mereka bahkan jarang mau melihat dan mengakui hubungannya gak-sehat? Menurut kalian apa yang bakal dilakukan Cecilia dengan kostum menghilang yang ia punya?

 

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

BRAHMS: THE BOY II Review

19 Wednesday Feb 2020

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2020, drama, family, horror, life, mystery, psychological, review, sequel, spoiler, supernatural, thought, thriller

“Traumatic experience early in life marks a person forever”

 

 

 

Mengalami langsung atau menyaksikan seseorang yang dicintai mengalami peristiwa menyakitkan secara fisik maupun emosional dapat mendatangkan trauma kepada siapa saja. Dan setiap kita bakal mengembangkan mekanisme yang berbeda-beda sebagai pertahanan atau perjuangan mengatasi trauma tersebut. Dalam Brahms: The Boy II kita melihat ibu dan anak laki-lakinya diserang di kediaman mereka sendiri oleh perampok. Sang ibu dipukul telak di kepalanya hingga tak sadarkan diri saat berusaha melawan. Si anak menyaksikan itu semua. Ketakutan. Tak berdaya.

Kemudian kita mengenal mereka berdua sebagai penyintas. Namun tidak tanpa ‘luka’ yang mendalam. Liza (Katie Holmes memimpin cerita dengan teror jasmani dan rohani pada dirinya) menjadi takut keluar rumah dan kerap dihantui mimpi/halusinasi diserang oleh rampok bertopeng ski. Anaknya, Jude (Christopher Convery diharuskan bermain dengan ekspresi terselubung sebagai bumbu misteri) jauh lebih ‘parah’. Anak ini completely shut himself down. Jude tidak lagi berbicara, ia berkomunikasi lewat tulisan dan gambar pada buku kosong yang selalu ia bawa. Liza dan Jude dibawa oleh ayah ke rumah terpencil, yang ternyata adalah bagian dari rumah cerita The Boy pertama (2016). Jude menemukan boneka antik yang terkubur di pekarangan (alias hutan di halaman belakang). Jude dan boneka yang bernama Brahms itu seketika menjadi teman. Liza dan suaminya pada awalnya senang-senang saja, Brahms disangka bisa menjadi langkah kesembuhan Jude. Namun ketika hal aneh mulai terjadi, Liza mulai gak yakin. Apakah Jude terlalu memproyeksikan dirinya kepada Brahms; menjadikan boneka tanpa ekspresi itu kambing hitam atas perbuatannya, atau memang Brahms beneran jahat dan mengendalikan semua tingkah Jude, termasuk membuat rencana membunuh semua orang.

Idih udah gede masih main boneka

 

The Boy pertama memberikan kita pengalaman horor yang unik. Bagian terbaik dari film itu adalah momen-momen tokoh utama yang dibayar untuk mengasuh boneka mulai merasa boneka tersebut hidup. Bunyi-bunyian, barang-barang yang berpindah tempat. Film bahkan tidak memperlihatkan boneka Brahms itu bergerak supaya kita juga penasaran dan merasakan ketakutan dan keraguan tokoh utama. Aku jauh lebih suka bagian awal film itu dibandingkan bagian akhirnya saat Brahms yang asli diungkap masih hidup dan tinggal di balik tembok rumah, bertahun-tahun sembunyi di sana. Tindakannyalah yang membuat seolah boneka tadi bergerak. Ya, jauh sebelum Parasite (2019) memang sudah banyak thriller ataupun horor yang menggunakan trope ‘orang-di-dalam-dinding’, karena berkat pengungkapan ini The Boy menjadi berkurang originalitasnya meskipun masih tetap Pengungkapan film ini, meskipun tidak original, tetap memberikan kejutan dan menjungkirbalikkan seluruh tone cerita.

Sekuelnya ini, persis seperti demikian. Kerja paling baiknya sesungguhnya adalah jika semua kejadian dibiarkan tetap sebagai teror dari kondisi psikologis. Baik itu dari Liza yang masih trauma sama ‘benda asing’ yang masuk ke rumah mereka sehingga dia melihat Brahms sebagai ancaman, ataupun memang tekanan trauma mengubah Jude; menimbulkan tanda-tanda perbuatan kekerasan sebagai channel keluar dan dia berlindung di balik bonekanya. Ada dua keadaan psikologis yang mencerminkan trauma yang bekerja berbeda pada dua orang tokoh. Film harusnya mengeksplorasi ini sebagai fokus karena membuat cerita lebih menarik dan intens. Aku duduk nonton ini setengah memohon bahwa gerak-gerak Brahms itu cuma ada di dalam kepala Liza, bahwa suara-suara yang didengar Jude cuma suara di kepalanya sebagai akibat dari trauma. Aku suka ide dan konsep The Boy adalah horor dengan boneka sebagai pusat semesta tanpa si boneka benar-benar melakukan apa-apa; bahwa sebenarnya ini adalah cerita trauma manusia.

Pengalaman traumatis akan mengubah kita selamanya jika terjadi pada usia muda. Karena pada usia tersebut, khususnya pada anak-anak, mental dan otak dan personality masih dalam tahap perkembangan. Efek trauma akan membekas sampai dewasa. Dalam film ini kita melihat Jude yang tadinya ceria dan gemar ngeprank menjadi sebisu boneka. Jude lama kelamaan menjadi seperti mirip Brahms, eventually seperti menyatu dengan Brahms. Di situlah horor sebenarnya. Wajar bagi anak yang sudah mengalami hal yang dialami Jude berubah menjadi punya tendensi pembunuh. Mereka perlu konseling dan penanganan secepatnya. Seserius mungkin.

 

Hanya saja tidak seperti film pertama yang masih memberikan kita momen-momen ambigu dan seolah membagi dua genre cerita dengan pengungkapan tadi, Brahms: The Boy II ini sedari awal sudah berniat untuk benar-benar menjadikan boneka Brahms sebagai makhluk supernatural. And this is why the movie sucks. Dia tidak lagi unik. Film ini hadir sebagai cerita boneka hantu standar, dengan trope anak kecil creepy yang berteman dengannya, dan orangtua yang gak percaya hingga semuanya sudah terlambat. Biasa banget. Cerita buku Goosebumps aja banyak yang kayak gini, bonekanya bisa diganti apapun yang bisa dirasuki makhluk halus. Akibatnya, Brahms malah jadi tak-ada ubahnya dengan Annabelle versi cowok. Boneka yang dimasuki roh. Dan hey, sudah ada Chucky sebelumnya, terlebih Chucky lebih ekspresif dan actually do something dengan segala kesadisan, jokes, dan kevulgaran (aku di sini bicara Chucky original bukan remake). Brahms hanya duduk di sana, gerak kepala dikit; gerakan kecil ini tak lagi berarti karena film sudah menetapkan dia beneran bisa ‘hidup’.

Aku menunggu Brahms menghardik Liza “fuck off, bitch!” tapi kemudian aku sadar ini bukan film Chucky.

 

Segala trauma tadi tak lagi jadi soal karena sekarang kita hanya menunggu si boneka melakukan aksi. Permasalahan kejiwaan Jude dan Liza tak lagi menggigit karena konfliknya sudah beralih ke misteri sosok Brahms. Malahan, Jude dibikin gak bicara hanya tampak sebagai alasan supaya film ini bisa punya tokoh yang berkomunikasi lewat tulisan – hanya sebagai gimmick untuk horornya. Gimmick yang juga tak benar-benar unik. Film ini juga mengulangi satu kesalahan di film pertama, yakni menggunakan banyak adegan mimpi. Adegan mimpi di sini justru menjadi semakin menjengkelkan karena kalo memang si Brahmsnya udah ditetapkan sebagai hantu, kenapa gak langsung saja si Liza ditakutin beneran. Kenapa film di bagian ini film masih berpura-pura Brahmsnya gak beneran hidup. You know what, jawabannya mungkin adalah kuota jumpscare. Horor sekarang di mata produser dan pembuat kayaknya bagai sayur tanpa garam jika tidak dibumbui dengan banyak jumpscare. Setiap horor harus ada jumpscare, betapapun maksa, fake, dan pointless-nya. Bahkan mungkin bagi mereka semakin pointless, semakin bagus, kayak di adegan mimpi. Film Brahms ini ada banyak jumpscare mulai dari hantu, mimpi, halusinasi, hewan, hingga prank bocah.

 

 

Build up dan gambar bagus dan set menawan itu jadi mubazir karena film tidak lagi unik dan horornya hanya bergantung jumpscare. Film ini mengacuhkan filmnya yang pertama, completely salah mengenali apa-apa yang dinikmati penonton. Keunikan boneka biasa yang dianggap berhantulah yang membuat cerita film itu menarik. Namun kali ini semua itu dibuang begitu saja. Film menjelma menjadi horor boneka-hantu standar, yang tak punya jati diri, selain kayak tiruan dari gabungan Annabelle dan Chucky alias Child’s Play. Yang paling aku ngakak adalah sekuen Liza membaca artikel-artikel tentang Brahms di internet, dan kita melihat foto-foto hitam putih Brahms ada dari zaman dulu dan kelihatan gambarnya kayak tempelan yang kasar ke foto tersebut haha.. Tapi hey, mungkin memang inilah yang disasar oleh pembuatnya. Mungkin The Boy memang hanya dijadikan tiruan, boneka mainan – so to speak, dari trope horor yang sudah ada; trope horor orang di balik dinding, dan di film ini ya trope boneka hantu.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for BRAHMS: THE BOY II

 

 

 

That’s all we have for now.

Apa kalian punya pengalaman menakutkan tentang boneka? Aku yakin itu bakalan lebih seram daripada film ini

 

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Recent Posts

  • PIECES OF A WOMAN Review
  • ONE NIGHT IN MIAMI Review
  • NOMADLAND Review
  • MINARI Review
  • PROMISING YOUNG WOMAN Review
  • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
  • TARUNG SARUNG Review
  • SHADOW IN THE CLOUD Review
  • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020
  • ANOTHER ROUND Review

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought thriller

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • PIECES OF A WOMAN Review mydirtsheet.com/2021/01/21/pie… 4 hours ago
  • @ChesterMccloud3 Yea, knowing WWE, they are more likely to make Kacy & Kayden on a somekind of underdog story, lead… twitter.com/i/web/status/1… 19 hours ago
  • I wanna see Dakota Kai & Raquel Gonzalez vs. Toni Storm & Mercedes Martinez!! twitter.com/WWETheBump/sta… 23 hours ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Blog at WordPress.com.

Cancel
loading Cancel
Post was not sent - check your email addresses!
Email check failed, please try again
Sorry, your blog cannot share posts by email.
Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
%d bloggers like this: