Karakter yg mewakili satu sifat atau emosi tertentu memang bukan hal yg baru, kita udah lihat para Smurf dan kurcaci-kurcaci Putri Salju sebelumnya, jadi ya kesan pertama ku buat film ini biasa aja. . TAAAAPPPIII nyatanya, INSIDE OUT TAMPIL UNIK, KREATIF, IMAJINATIF, dan-yea- ORIGINAL! It has completely turned my mind inside out!! Sukaaaaaa~~~
Kita diajak masuk dan melihat isi dalam otak Riley, di mana Joy was in charge sementara Fear, Disgust, Sadness (“don’t touch anything!”), dan Anger membantunya mengendalikan perasaan gadis kecil tersebut. Mereka ingin agar Riley selalu bahagia. Saat Riley yang baru saja pindah ke kota lain, mulai mengenal galau- ga suka rumah baru, gapunya teman, dia jadi ga akur sama orangtuanya-situasi menjadi agak di luar kendali di ‘markas’ alias dalam pikiran Riley.
Film ini dengan smart membuat kisah tentang keadaan psikologis seorang anak yang mulai remaja menjadi penuh petualangan FUN nan mengharukan. IT HITS DEEP, really. Anak-anak mungkin sekarang ketawa ngeliat tingkah si Sadness, namun jika mereka nonton film ini 15 atau 20 tahunan lagi, mereka bakal ngerasain feeling yang berbeda. Paling engga itu yang aku rasakan saat menonton film ini. Ada elemen cerita yang lebih dalam yang bisa kita rasakan- yang anak kecil certainly belum bisa melihat hal tersebut. Makanya film ini begitu spesial. Inside Out berhasil untuk tidak tampil konyol, dan itu benar-benar hal yang bagus karena FILM INI ACTUALLY RESPECT SAMA PIKIRAN ANAK KECIL in that way.
Taruhan, it is so complex crew emosi dalam otak kita pasti sibuk saat kita nonton nih film
Soal visual jangan ditanya. Everything looks very good. Emosi-emosi itu diwujudkan dalam sosok tokoh-tokoh yang fresh, masing-masing punya ciri khas, dan tentunya menarik banget buat anak-anak. Para pengisi suara did a very good job on their part as well. Suara Joy yang diisi oleh Amy Poehler terdengar penuh kebahagiaan dan, I shoud say, sebuah kelebihan besar bisa segembira itu tanpa jadi terdengar annoying hahaha. Tadinya kukira karakter Joy ini bakal over-the-top kayak Jess di New Girl. Untungnya enggak, I was shocked by that. Joy is actually passed as a likeable. Phyllis Smith yang nyuarain Sadness berhasil ngimbangin karakter Joy, while dia sendiri juga enggak terdengar lebay. In fact, aku kagum dengan gimana para dubber dalam film ini bisa nyesuain suara mereka dengan begitu in-character.
Emosi manusia adalah hal yang kompleks. Enggak mungkin bagi kita untuk menciptakan bola memori yang murni mewakili satu emosi saja, only kids yang bisa.
Atau Goku, mengingat dia bisa naik awan Kinton.
I really like bagaimana pembuat film ini menggambarkan cara kerja perasaan manusia ke dalam sebuah dunia dengan segala segala sistem dan mekanisme yang seru dan imajinatif. Kayak gimana cara kerja dunia mimpi, apa yang terjadi sama ingatan-ingatan manusia dan hubungannya dengan pembentukan kepribadian, interaksi antara para emosi, yang semua itu berhasil dijelaskan dengan simpel dan menarik. Bukan hanya Riley, tapi juga ayahnya, ibunya, hey semua orang mempunyai ruang kendali dengan emosi dominan yang berbeda-beda, such a fun concept! Semua hal tersebut berhasil dijelaskan amazingly efektif dalam penceritaan. Mungkin film ini nantinya bisa jadi media belajar psikologi kecil-kecilan haha.
INSIDE OUT STANDS OUT AS A VERY MATURE FILM FOR KIDS. Ngajarin anak how to deal with change, growing up, how complex our emotions could-and-should be. Buat yag gede, well, ke mana perginya teman imajinasi kita? Film ini membawa kita ke masa-masa saat seorang anak kecil mulai mempertanyakan diri sendiri. Saat kita sadar bahwa masa kecil is just that, there are alot more yang menunggu kita saat dewasa, it will reminds us betapa ‘sulit’nya masa-masa tumbuh tersebut. Beneran deh, kapan kalian mulai pake hitam? lol. They did a very excellent job at telling that message. Dan tentu saja, Inside Out ngingetin kita semua bahwa tidaklah mengapa untuk membiarkan kesedihan mengambil alih sekali-sekali
This is very well might be my favorite Pixar movie of all times. Buat sekarang, no doubt semuanya setuju doong kalo aku bilang kita baru saja menyaksikan film animasi terbaik tahun 2015 ini. The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for Inside Out.
That’s all we have for now.
Remember in life, there are winners and there are losers.
“Aku jugak mau rotiii!” sekali waktu kecil dulu itu aku nimbrung dengan antusias pas mendengar dua tanteku bisik-bisik bilang nitip mau beli roti. Tapi jawaban mereka aneh. Mereka cuma berpandangan, lalu bilang itu roti untuk orang dewasa. Baru bertahun-tahun kemudianlah aku ngerti roti apa yang sebenarnya dimaksud. Pernah juga waktu SMP, ada teman sekelasku yang perempuan menangis lalu berlari pulang karena diledekin anak-anak yang lain, “Bendera jepang, bendera jepang!” Begitulah entah kenapa di lingkungan kita perihal menstruasi perempuan dianggap sebagai hal yang entah itu seperti Voldemort – tidak boleh disebutkan – atau juga hal yang seperti memalukan. Aku juga tidak banyak bertanya, karena ya itu tadi, urusan orang dewasa dan bukan urusanku yang laki-laki. Ternyata di negeri tetangga juga sama. Mungkin karena lingkungan kita juga masih serupa. Film Tiger Stripes karya Amanda Nell Eu menggali bahwa ketabuan soal hal sepenting itu, ternyata justru berdampak enggak sehat bagi anak perempuan. Karena jangankan anak laki-laki, anak perempuan juga gak tau apa yang terjadi pada diri mereka, dan mereka hanya tahu itu kotor. Tambahkan pula kisah tentang jati diri ke dalamnya, jadilah kisah anak usia 11 tahun ini jadi seperti Turning Red (2022) versi horor!
Di sekolah anak perempuan itu, Zaffan memang cukup dikenal sebagai anak yang badung. Mengunci toilet supaya enggak ada masuk sehingga dia bersama dua temannya bisa puas berseloroh merekam video joget-joget, ataupun bikin corat coret doodle seronok di buku tulisnya, adalah keseharian yang kita lihat Zaffan lakukan. Jilbab seragamnya tidak mampu membuat Zaffan stop mengekspresikan diri, dan seringkali Zaffan kena hukuman karenanya. Baik itu di sekolah maupun di rumah. Dalam level sepermainannya pun, gak sedikit teman Zaffan yang tidak menyukai sikap Zaffan yang ‘liar’. Terlebih ketika anak itu (sepertinya) jadi yang pertama kedatangan bulan di antara mereka. Dengan teman-teman yang menjauhi, dengan lingkungan yang tidak pernah membahas itu melainkan hanya menyebut larangan-larangan yang harus ia patuhi, Zaffan jadi tidak tahu harus mengadu ke mana. Dan mulailah horor itu. Zaffan melihat ada orang di atas pohon. Zaffan merasa tubuhnya berubah. Keluarga dan orang sekitarnya menyaksikan sendiri gimana anak itu berubah menjadi siluman harimau.
Alih-alih panda merah yang cute, Zaffan berubah menjadi manusia setengah harimau dengan mata menyala ungu, dan dia gak segan untuk menyantap hewan-hewan kecil. Proses transformasinya juga gak ada komikalnya sama sekali. Zaffan mendapati tubuhnya memar-memar, rambutnya rontok, kukunya copot-copot. Ada bulu kasar yang tumbuh, dia cabut, aduh sakit sekali! Transformasi itu digambarkan oleh film lewat image-image dan tone ala body horor. Like, bener-bener disturbing. Cara film ini memvisualkan itu enggak kayak ketika horor anak-anak seperti Goosebumps yang jatohnya lebih ke over the top dan cheesy. Kengerian Zaffan akan tubuhnya itu terasa kuat, dan ini tuh sebenarnya adalah pilihan film, buat menekankan gagasannya. Apa itu gagasannya? Well, transformasi Zaffan ini dipicu oleh satu hal. Malam itu Zaffan terbangun dan mendapati kasurnya ada noda darah. Kita tidak melihat dia yang bingung dan takut itu dikasih penjelasan apapun. Ibunya yang datang menolong hanya bilang “Kau kotor sekarang.” Jadi kebayang dong seperti apa yang Zaffan rasakan. Dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya, yang ia dengar tentang itu cuma rumor mengerikan, dan betapa itu adalah penanda bahwa dia jorok – anak perempuan gak boleh ibadah selama dapet – membuat dia percaya bahwa dirinya, tubuhnya, berubah menjadi sesuatu yang mengerikan.
Perlakuan mentabukan menstruasi, seolah hal itu lebih kotor daripada seharusnya dijadikan pemantik horor di film ini. Menstruasi adalah fase natural yang dialami perempuan. Memang, pengetahuan dari ajaran agama menerangkan soal orang yang dapet itu berarti dalam keadaan tidak suci. Tapi somehow pada masyarakat, ‘tidak suci’ itu berkembang menjadi selayaknya hal yang benar-benar menjijikkan. Kita mendengar teman dekat Zaffan – yang memang sedari awal punya bibit-bibit jealousy kepadanya – openly mengungkapkan rasa disgust dekat-dekat sama Zaffan yang lagi dapet. Bau-lah. Jijik-lah. Sikap teman-teman sepantarannya itu menunjukkan bahwa bukan hanya Zaffan, melainkan tidak satupun dari anak perempuan di sana yang benar-benar mengerti fase yang bakal mereka lewati. Padahal mereka ini tumbuh dan dididik di lingkungan agamis, dan strive untuk pendidikan yang maju. Jadi film sebenarnya sedang menggugat lingkungan tempat Zaffan tinggal. Lingkungan, yang malangnya, relate dengan lingkungan kita. Dan kemudian memang pada lingkungannya itulah Tiger Stripes memusatkan penggalian.
Suasana kampung melayu dihidupkan, dan dijadikan kontras dengan pribadi Zaffan. Inilah mengapa tadi diset bahwa Zaffan tampak lebih badung dibandingkan teman-temannya. Perspektif Zaffan, teman-teman Zaffan, guru dan orang tua, dan tak ketinggalan relasi kuasa umur dan gender mulai dicuatkan oleh film. Sehingga terjadi juga pergeseran tone dan elemen horornya. Seiring Zaffan semakin dijauhi, seiring dia mulai menerima dan mengembrace yang terjadi kepadanya (ada sedikit juga mengingatkan kepada protagonis di The Animal Kingdom yang perlahan menjadi serigala) tentu dia jadi tidak takut lagi kepada dirinya. Yang semakin takut justru adalah orang-orang di sekitarnya. Horor Tiger Stripes memudar menjadi penyadaran gelap dan dramatis buat kita, saat kita menyaksikan Zaffan menjadi ‘monster’ di mata lingkungannya. Mata-mata itu memandangnya takut, sementara kita dibuat melihat siapa sebenarnya Zaffan, si ranking tiga dan kadet terbaik di sekolah. Tapi bagi orang kampungnya, Zaffan adalah siluman harimau liar, berbahaya dan penuh dosa, anak perempuan berikutnya yang bakal hilang dari desa mereka. Adegan paling heartbreaking film ini adalah ketika Zaffan dirukiyah – disaksikan satu desa – oleh Ustadz yang memperlakukan exorcism ini sebagai entertainment show yang dia siarkan live lewat hape. Semacam perbandingan paralel ngerecord joget-joget; hobi Zaffan. Film juga menurutku bijak sekali membiarkan si Ustadz itu ambigu, apakah dia beneran bisa ngusir atau cuma ‘tukang-obat’, kita dibuat tak pernah persis tahu.
Sama seperti kiasan ‘keliatan belangnya’. Konotasi tersebut memang terasa negatif, karena bermakna seseorang terbongkar kelakuan aslinya. Tapinya lagi, emangnya kenapa dengan kelakuan aslinya tersebut. Memangnya kenapa jika seseorang akhirnya berani jujur dan memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Kan tidak mesti semua belang itu pasti buruk dan merugikan orang lain. Yang kita lihat pada Zaffan juga demikian, kita mungkin setuju tidak semua perbuatannya pantas, tapi anak sekecil – apalagi sepotensial itu; dalam urusan otak dan kreasi – harusnya dibimbing. Tapi bahkan soal alamiah dan paling personal dari dirinya sebagai perempuan pun, tidak bisa sepenuhnya dia dapatkan.
Berbeda dengan Turning Red yang langsung melandaskan dunianya fantasi, bahwa perubahan Meilin menjadi panda merah itu bukan fenomena ganjil melainkan kekuatan turun temurun yang dirahasiakan darinya; bahwa berubah menjadi panda merah masuk ke dalam kotak ‘possible’ di dalam dunia cerita, Tiger Stripes membiarkan dunianya terbangun surealis. Dibilang normal, jelas enggak. Dibilang beneran gaib, ya kok sepertinya kejadiannya kayak berbeda dan sering tiba-tiba Zaffan dan semuanya seperti normal lagi. Arahan membawa ke ranah surealis, karena dengan begitu, perspektif yang banyak tadi mungkin untuk dilakukan. Supaya shift dari body horor yang lekat pada persoalan Zaffan memandang dirinya ke drama makhluk siluman yang mengenaskan ketika film lebih banyak menampilkan bagaimana Zaffan terlihat oleh mata penduduk, bisa terbungkus tanpa benar-benar mengubah perspektif karakter utama. Sehingga pengalaman nonton film ini bagi kita terasa seperti sebuah mimpi yang begitu liar. Enggak semua orang bakal suka, tho. Elemen horor film ini berpotensi dianggap ngawang-ngawang, kejadiannya bisa tampak seperti tak konsisten dan gak jelas; film ini sendirinya bisa jadi kayak ‘belang-belang’, dan mudah bagi penonton untuk kehilangan poin. Membuat mereka mengharapkan penjelasan yang tentu saja tak akan pernah ada. Karena yang diincar film adalah mempertanyakan, menggugat, keadaan.
Tapi tentu saja itu merupakan resiko-kreatif yang diambil oleh film. Buatku, itu membuat film ini terasa lumayan fresh. Seperti ngasih variasi ke dalam bentuk-bentuk cerita coming of age horor atau fantasi yang sudah ada sebelumnya. Perspektif dan lingkungannya juga membuat film ini unik. Meskipun film ini seperti punya lebih banyak, tapi yang disuguhkan baru beberapa. Kayak sekolahnya Zaffan. Dari dialog-dialog dan keadaan, film ini seperti menyentil soal sosial unik negara mereka berkaitan dengan stereotipe kelas penduduk/etnis, tapi kita tidak benar-benar melihatnya. Zaffan disebut ranking tiga, dengan juara satu dan duanya kita dengar dari nama-namanya adalah murid dari etnis Cina dan etnis India (yang membuat Zaffan practically etnis Melayu terpintar di sekolah), namun di lingkungan sekolah itu seperti ekslusif menampilkan etnis Zaffan. Mungkin ada konteks sosial lain bahwa mereka tidak benar-benar satu pergaulan, tapi menurutku since film ingin menggugat lingkungan sosial yang lebih tertutup, akan bisa jadi warna atau sudut pandang tambahan gimana teman sekolah Zaffan yang lain memandang dirinya setelah jadi siluman. At least, narasi kurasa tidak akan dirugikan oleh pembanding tambahan.
Kalo Farah iri sama Zaffan, aku iri sama Malaysia karena berani membuat film ini. Karena ini tuh bener tipe film yang ingin kita perlihatkan kepada orang luar. Kita ingin lihatkan gimana di daerah kita punya perspektif dan lingkungan tersendiri sehingga cerita coming-of-age yang formatnya familiar pun bisa jadi unik. Untuk kasus film ini jadi literal misteri dan horor mengerikan. Dengan strong narrative dan arahan yang bertaring, film ini menerobos belukar conventional, dia ingin menggugat lingkungan tempatnya tumbuh. Lingkungan yang bikin ‘susah’ bagi anak perempuan untuk tumbuh menjadi diri sendiri, karena soal ‘dapet’ aja mereka tahunya cuma itu kotor. Dan bicara soal karakter anaknya, film ini punya penampilan akting yang bukan sekadar template akting kesurupan, mereka terasa natural seperti anak-anak umumnya tapi karena tuntutan arahan untuk menghasilkan kesan surealis, playfulness dan keingintahuan mereka yang raw, dapat dengan cepat mereka kondisikan sebagai something yang jadi lebih dark dan dramatis. Bayangkan cerita dengan karakter anak-anak, tapi vibenya udah surealis dan sedisturbing body horror. In other words, selain arahan yang bertaring, film ini juga punya akting yang mengaum.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TIGER STRIPES.
That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa haid itu berkembang menjadi seolah perkara yang tabu di masyarakat kita dan, apparently juga di Malaysia?
Silakan share di komen yaa
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Anak-anak belum sepenuhnya bisa memahami banyak hal di dunia. Karena pemikiran mereka memang masih dalam tahap berkembang. Belum matang. Makanya anak-anak belum boleh bikin SIM, beli rumah, ikutan Pemilu. Apa-apa masih harus dengan persetujuan dari orangtua. Anak-anak belum bisa dipercaya untuk memutuskan sesuatu karena persepsi realita dan imajinasi mereka belum seutuhnya terbentuk. Jika kita yang dewasa saja masih suka bingung akan jati diri, bisa dibayangkan betapa bingungnya anak-anak terhadap dirinya sendiri. Mengalami proses perubahan tubuh, dan segala macam. Kita yang sudah dewasa diharapkan, bukan untuk mencampuri, bukan untuk mengafirmasi, bukan untuk menambah ribet hal dengan nambahin konsep-konsep aneh, bukan untuk memutuskan hal untuk mereka, melainkan untuk semata membimbing mereka melalui hari-hari penuh pertanyaan menuju proses dewasa tersebut. Mempersiapkan mereka untuk mengambil keputusan saat gede nanti. Saat waktunya tiba. Namun, bagaimana dengan agama? Inilah pertanyaan sensitif yang berusaha dibicarakan oleh JudyBlume ketika menulis novel Are You There God? It’s Me, Margaret di tahun 1970. Pertanyaan yang dirasa masih relevan oleh sutradara Kelly Fremon Craig sehingga kini dia mengadaptasi novel populer (dan tentu saja kontroversial) tersebut menjadi feature-film yang cukup langka dan berani. Coming-of-age story yang digabung dengan pencarian Tuhan.
Banyak dari kita yang terlahir ke dalam agama. ‘Ngikut’ dulu sama agama orangtua, sampai kita cukup dewasa untuk mutusin sesuai keyakinan sendiri mau stay atau pindah. Margaret dalam cerita film ini tidak bisa begitu. Karena ibu dan ayahnya punya agama yang berbeda. Ibunya Kristen, ayahnya Yahudi. Sebagai anak kelas enam, Margaret mulai kepikiran soal agamanya. Selama ini dia berdoa kepada Tuhan dengan caranya sendiri. “Halo Tuhan, ada di sana? Ini aku, Margaret” Begitulah Margaret berkomunikasi dengan Tuhan -seperti orang yang sedang menelepon – setiap kali dia mau curhat. Oh ya, sebagai anak perempuan yang udah mau remaja, pikiran Margaret pun mulai dirundung berbagai permasalahan yang malu-maluin kalo ditanyain ke orangtua. Mulai dari persoalan teman-teman di sekolah yang baru, naksir cowok, hingga soal tubuhnya. Margaret, seperti juga teman-teman gengnya, sudah gak sabar jadi wanita dewasa. Tapi setiap orang punya waktu yang berbeda-beda. Sebagai anak yang ‘mekar’ agak lambat, Margaret mulai insecure, kenapa dia punyanya belum gede juga, kenapa dia belum ‘dapet’ sementara yang lain udah. Permasalahan yang juga merambah ke persoalannya dengan Tuhan. Margaret semakin bingung. Agama mana yang harus ia pilih supaya Tuhan menjawab keluh kesahnya?
Perspektif yang kuat dan dikembangkan dengan respek menjadikan film ini menyenangkan sekali untuk ditonton. Kita benar-benar dibuat merasakan dan melihat dunia dari mata si Margaret. Anak sebelas tahun yang baru saja pulang dari summer camp, lalu harus pindah rumah, pisah dari nenek yang tadinya satu-satunya sahabatnya, dan di tempat yang baru dia menemukan teman-teman baru. Merasakan gejolak yang baru. Gejolak itulah yang tergambarkan luar biasa oleh film lewat keseharian Margaret, serta interaksinya bersama teman-teman. Bagiku dunia anak-anak yang tergambar di sini terasa familiar, sekaligus juga asing, karena sekarang aku benar-benar dibuat melihat dari sisi anak cewek. Gimana bedanya kelompok anak cewek berinteraksi; apa yang mereka bicarakan, apa yang mereka inginkan, apa yang mereka takutkan. Perasaan mereka itu akhirnya jadi perasaan universal yang membuat film ini jadi begitu grounded. Sembari mempertahankan pesona kuat yang jadi bibit-bibit komedi dalam cerita. Margaret dan teman gengnya punya rule sendiri, punya ‘metode’ sendiri supaya dada mereka jadi seperti model di majalah dewasa punya ayah yang mereka ambil diam-diam hihihi
Margaret dan teman-temannya adalah anak-anak baik, tapi karena rasa ingin tahu alami yang mereka rasakan, mereka bisa bertindak cukup nakal. Dan it’s okay karena itu adalah proses belajar. Film mengeksplorasi itu dengan sangat lekat. Margaret yang akhirnya menyesal udah ngebully satu teman perempuannya yang paling cepat ‘gede’, misalnya Range kejadian film ini memang begitu beragam. Ini menurutku adalah keberhasilan sutradara dan penulis dalam mengadaptasi. Cerita dari novel dengan halaman sekian banyak, bisa mengalir dengan tetap enak ke dalam durasi seratus menit penceritaan. Jika diingat sekarang, banyak banget kejadian yang menimpa Margaret. Punya teman baru, berantem ama teman baru, liburan ke tempat nenek, liburan bersama teman, disuruh bikin tugas tentang topik yang ia pilih sendiri (Margaret memilih tentang agama). Tapi semuanya berhasil diikat runut sebagai perjalanan yang punya awal-tengah-akhir yang jelas. Perjalanan yang membawa pembelajaran terhadap Margaret, yang berarti karakternya punya pengembangan yang kuat. Gak semua film adaptasi novel bisa mencapai keberhasilan seperti ini, karena cerita dari novel umumnya kesusahan mengolah sekian banyak materi sehingga hasilnya ya entah itu terlalu sumpek atau jadi malah gagal menangkap apa yang ingin diceritakan. Film ini berpegang pada gagasan yang jadi visinya, dan berkembang tetap pada jalur itu. Banyaknya karakter sekalipun, tidak pernah jadi sandungan.
Yang benar-benar aku suka dari film ini adalah cara mereka mengaitkan kisah coming-of-age dengan bahasan yang hanya berani dibahas oleh sedikit sekali orang, apalagi di jaman sekarang. Soal pertanyaan terhadap agama. Tahun 2014 dulu film India, PK, mengangkat persoalan itu dengan membuat perspektif utama dari seorang alien. Supaya sudut pandangnya bisa lebih netral dan gak diprotes-protes amat. Margaret bukan alien. Dia anak perempuan yang mau jadi remaja. Tapi dia merasa tidak menemukan jawaban atas pertanyaan hidupnya karena enggak tahu cara menghubungi Tuhan yang benar. Maka Margaret nyobain berbagai macam ibadah. Pada satu minggu dia ikut nenek ke kanisah. Minggu berikutnya dia ikut temannya ke gereja protestan. Kesempatan lainnya dia ngintilin temannya melakukan pengakuan dosa di gereja katolik. Margaret menyebut, dia suka dengar ceramah, nyanyi-nyanyi, dan sebagainya, tapi dia belum merasakan keberadaan Tuhan di tempat-tempat itu. Sampai ada momen menyedihkan saat Margaret menulis surat kepada gurunya, bilang dia gak sanggup menyelesaikan tugas karena dia sampai sekarang masih belum menemukan agama yang tepat. Yang ada, dia malah merasa takut beragama.
Memang topik yang jarang banget disentuh sedemikian rupa, let alone dari sudut pandang anak-anak. Tapi film ini berani dan tidak terjebak. Tidak menyuruh Margaret harus memilih saat itu juga. Tidak memaksa Margaret membuat keputusan. Dua nenek Margaret sempat saling bertengkar, masing-masing berusaha membujuk Margaret memeluk agama mereka, tapi film tetap berada di pihak orangtua Margaret. Melindungi sang anak dari semua pengaruh itu. Bukan karena tidak setuju dengan salah satu, melainkan karena itu adalah hak Margaret untuk memutuskan di saat dirinya sudah siap nanti.
Film menegaskan bahwa ini bukan cerita tentang perjalanan memilih agama. Melainkan perjalanan seorang anak menemukan keyakinannya terhadap Tuhan. Dikaitkan dengan kisah tumbuh-dewasa, film ini sekaligus mengingatkan kita untuk membiarkan anak-anak tumbuh, sebagai dirinya sendiri, dan – ini yang sekarang sering dilupakan orang – pada waktu miliknya sendiri. Childhood semestinya adalah pertumbuhan yang mereka alami dengan natural, dengan pacenya sendiri. Bukan tugas kita untuk memburu-burukan itu semua terjadi.
Gagasan ‘we grow as our own person, and in our own time’ tersebut ditegaskan film saat memperlihatkan hubungan antara Margaret dengan ibu dan dengan neneknya (ibu dari ayah) yang setelah sekian lama jadi orang terdekatnya. Tiga karakter ini yang sebenarnya jadi tonggak film secara keseluruhan. Abby Ryder Fortson bukan sekadar aktor cilik beruntung yang bermain bersama aktor sekelas Rachel McAdams dan Kathy Bates, gadis cilik itu juga membuktikan dia pantas bersanding dengan mereka. Ketiga aktor ini juga benar-benar menyokong film lewat permainan akting yang begitu natural, chemistry di antara mereka pun terhampar menyenangkan. Kathy Bates jadi nenek yang karakternya mengalami perkembangan dari cemburu dan gak suka cucunya dijauhkan darinya, menjadi seseorang yang akhirnya menemukan kembali hidupnya di umur yang sudah senja. Kepindahan Margaret memang berat bagi mereka berdua, tapi justru itu yang membawa masing-masing kepada pembelajaran personal. Ibu Margaret juga mengalami pembelajaran, tapi menurutku persoalan ibunya ini yang kurang maksimal dilakukan oleh film ini. Jadi Rachel McAdams memainkan karakter ibu yang cocok banget untuk ia perankan, ibu muda yang tipe membawa keceriaan dan tampak laid back padahal really care dengan keluarga. Tapi dia punya backstory yang cukup sedih, yaitu di-disowned oleh orangtuanya sendiri lantaran menikah dengan orang yang berbeda agama. Film meluangkan waktu untuk membahas itu hingga meresolve konfliknya. Tapi ada satu porsi dari karakter si ibu ini yang tidak dibahas lebih lanjut padahal paralel dengan persoalan menjadi our own person. Yakni soal dia dulunya adalah pelukis, dan sekarang meninggalkan hobi tersebut. Menurutku ini kalo dieksplorasi lagi, dapat menambah layer bagi pembelajaran Margaret.
Are You There God? It’s Me, Margaret sudah available di Apple TV, yang ingin nonton bisa langsung subscribe dari sini yaa https://apple.co/3Cjdu2j
Ceritanya boleh saja bersetting di tahun 70an, tapi esensi di baliknya benar-benar timeless dan universally grounded. Karena setiap anak punya masalah yang sama. Dan setiap orangtua bakal melakukan kesalahan yang sama. Penceritaan film ini tidak pernah terasa menggurui, namun terasa sangat jujur mengalir dari perspektif utamanya. Dari mata seorang anak perempuan yang juga sedang berusaha berkomunikasi dengan Tuhan. As for kids, Margaret dan teman-temannya mungkin bukan exactly ditonton untuk dijadikan sebagai role model, tapi mereka semua akan jadi teman yang baik untuk anak kecil seusia mereka yang menonton film ini. Teman yang mengerti kecemasan dan kebingungan apa yang bakal mereka hadapi dalam pergaulan sehari-hari.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ARE YOU THERE GOD? IT’S ME, MARGARET
That’s all we have for now.
Sehubungan dengan itu, bagaimana pendapat kalian tentang pemberitaan baru-baru ini di Amerika soal bahasan LGBT (gender dsb) yang mulai diajarkan di sekolah-sekolah? Apakah memang perlu, atau apakah memang wajar jika ada orangtua yang menolak?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“It’s good for young people to be angry about something”
Tayang berbarengan, Balada si Roy dan Autobiography ternyata memang punya banyak kesamaan. Keduanya adalah film yang cowok banget. Dan selain karena sama-sama ada Arswendy, kedua film ini basically bercerita tentang anak muda yang berusaha membebaskan diri dari rezim atau tatanan lama yang berkembang di masyarakat. Tapi tentu saja keduanya bercerita dan diceritakan dengan begitu berbeda. Balada si Roy membawa persoalannya ke dalam nada yang benar-benar menggebrak. Dengan mengusung semangat novel source materinya, Fajar Nugros meletakkan protagonis mudanya di tengah-tengah tatanan kuasa pada tahun 80an, dan berusaha memantik api inspirasi dari perjuangan kritis sang protagonis. Film ini seolah bilang ke anak muda jaman sekarang supaya jangan cuma taunya paham ‘woke’ dari luar, tapi juga harus benar-benar melek sejarah sendiri di dalam. Melek, dan lawan!
Aku sendirinya sebenarnya gak kenal ama Roy. As in, aku belum pernah baca novelnya dan gak juga nontonin versi sinetronnya. Sehingga, referensiku nonton ini paling cuma dari novel-novel atau film remaja yang sepertinya sejenis, kayak Dilan, dan yang paling dekat sepertinya Lupus. Dan aku memang benar-benar melihat kesamaan antara Roy dan Lupus. Mungkin karena ‘lahir’ di waktu yang berdekatan. Lupus nongol pertama kali tahun 86, dan Roy tahun 88. Lahir saat tren yang serupa, yang juga sangat berbeda dengan tren cerita remaja jaman sekarang. Perbedaan inilah yang bikin cerita Roy – dan tentu saja film Balada si Roy ini, terasa fresh. Seperti Lupus, Roy enggak exactly tentang remaja pacaran. Mereka memang dikasih love interest, tapi keseluruhan ceritanya lebih fokus kepada kehidupan anak muda itu sendiri. Kepada si titular karakter. Kehidupannya. Seluk beluk sikapnya. Pandangannya. Lupus sudah punya pacar bernama Poppy, tapi masih tetep suka godain cewek-cewek lain. Begitupun si Roy. Hatinya tertambat kepada Ani, tapi cerita akan memperlihatkan Roy juga menjalin pertemanan dekat dengan beberapa karakter cewek lain. Ya, begitulah anak muda. Masih bebas, ogah terikat. Bolos sekolah, berbuat nakal, berantem, protes kepada aturan adalah pemandangan biasa pada potret anak muda seperti mereka. Anak muda yang masih mencari jati diri itulah yang jadi gambaran pokok pada cerita 80an. Pada Balada si Roy ini. Bedanya dengan Lupus, Balada si Roy tidak menggambarkan itu dalam nada komedi. Bahkan bisa dibilang, Roy adalah versi dark dari Lupus.
Di hari pertamanya di sekolah baru, Roy udah bersinggungan dengan masalah. Roy yang bersepeda dan nekat membawa anjing kesayangannya, seketika jadi perhatian. Malah, sukses merebut perhatian seniornya yang bernama Ani. Sialnya, si Ani ini udah ada yang suka. Dullah, anak yang punya kota Serang. Sikap si Dullah yang sok kuasa sebelas dua belas dengan gimana sang ayah memimpin di kota. Tentu saja, Roy yang kritis dan keras – teman-teman menyebutnya ‘Kepala Batu’ – gak tinggal diam. Roy gak segan-segan untuk menantang Dullah dan menuliskan buah pikirannya tentang kota mereka di koran. Perlawanan Roy berhasil mempengaruhi anak-anak lain yang selama ini ditindas. Tapi peliknya, Roy tidak begitu saja dianggap pahlawan. Dia malah dicap sebagai biang onar. Dengan ‘musuh’ kuat, teman yang semakin lama semakin berkurang, dan nilai rapor yang kian menurun, hari-hari si Roy menjadi semakin berat. Film Balada si Roy menggambarkan naik turunnya kehidupan Roy.
Anak-anak muda harusnya kritis seperti Roy. Apalagi dengan api dan gejolak meledak-ledak yang dimiliki saat usia dan pikiran remaja, wuih gak heran anak-anak muda disebut sebagai agen perubahan. Masalahnya ya cuma satu, penyaluran yang tidak tepat. Bahkan, Roy, masih sering menemukan dirinya menyalurkan emosi dengan cara yang kurang pada tempatnya. Karakter Roy memang bukan poster yang sempurna, tapi itulah yang membuat dia dapat jadi inspirasi yang nyata. His strength, keberaniannya, kemauannya belajar (termasuk belajar sejarah), sikap setia kawannya, bisa jadi panutan sembari kita belajar dari kesalahan-kesalahan yang ia buat.
Honestly, awal-awal, kalo di bioskop boleh loncat-loncat, aku udah jungkir balik saking senengnya. Aku merasa mendapat film yang hebat. Film remaja yang benar-benar menggali being a teenager, di lingkungan yang juga benar-benar dibuat hidup. Penuh layer. Sepuluh, tidak, lima-belas menit pertama Balada si Roy terlihat begitu perfect. Sekuen di sekolah, begitu hidup. Foreground, background semuanya gerak! Semua yang di layar beneran seperti punya kehidupan di situ. Desain produksinya juga keren. 80an terpancar dari penampilan para karakter. Daerahnya tercermin dari bahasa dan gaya hidup karakter. Roy sendiri langsung mencuat, bukan saja karena naik sepeda dengan anjing berlarian ngikutin dirinya, tapi ada aura berbeda dari cowok tinggi, berambut panjang, berjaket jeans ini. Di menit-menit awal ini, film melandaskan dunianya dengan efektif. Karakter-karakternya terasa menarik. Bahkan si Dullah, digambarkan berbeda dari anak-jahat lainnya. Dia diperlihatkan grogi juga ke cewek. Dia diperlihatkan vulnerable secara emosi (Bio One paling bagus jadi Dullah pas di momen-momen vulnerable yang berusaha ia sembunyikan tersebut). Hook emosional buat Roy, yang ‘dihadiahkan’ oleh Dullah juga intens abis! Kurasa gak harus jadi penyayang binatang, untuk kita merasakan luka si Roy. Semuanya seperti dibangun untuk transformasi dramatis dari Roy yang di awal memang kelihatan agak terlalu ‘baik’. But then, it’s all downhill from there. Aku duduk di sana, terus berharap film merapikan dirinya, dan bercerita dengan keren lagi. Tapi itu tidak pernah terjadi.
Kayaknya bukan pada arahannya. Fajar Nugros benar-benar menyulap dunia dan para karakter itu menjadi hidup. Sama kayak yang dia lakukan pada grup Srimulat di Srimulat: Hil yang Mustahal Babak Pertama (2022). Abidzar Al Ghifari aja sukses didirectnya jadi karakter ‘bandel’. Yang Nugros lakukan pada Abidzar sebagai Roy di sini mirip kayak yang sukses ia lakukan pada Naysila Mirdad di Inang (2022); bermain-main dengan pengetahuan meta kita terhadap aktornya. Yang punya image anak baek-baek, diambil, dan direshape di sini menjadi karakter yang jauh berbeda dari image meta tersebut. Pengadeganannya pun, seperti yang sudah kucontohkan pada adegan awal di sekolah, digarap dengan benar-benar fluid. Tidak ada adegan yang pemainnya kayak baris-berbaris nunggu giliran dialog. Dimensi dan ruang adegan terus dimainkan. Adegan action, kayak berantem ataupun kebut-kebutan, dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga adegannya tetap grounded. Gak over-stylized. Kamera memastikan kita melihat apa yang dirasakan karakter. Tantangan bikin dunia 80an, tidak membatasi kelincahan Nugros untuk mempersembahkan cerita. Di sekolah, di pasar, di jalan; seperti Roy itu sendiri, film ini going so many places. Satu-satunya yang bikin aku kadang lupa bahwa ini cerita di tahun 80an adalah, kinclongnya gambar. Walau dandanan dan propertinya dipastikan 80an semua, tapi warna pada layar itu masih terkesan modern. Untuk soal bahasa, aku gak tahu juga 80an di Serang bahasa pergaulan daerahnya gimana, jadi ya selama terdengar kayak percakapan natural, buatku tak masalah.
Tadinya aku mau bilang kalo film ini oke di penyutradaan namun lemah di penulisan. Tapi setelah melihat nama penulisnya, aku jadi bingung. Penulisnya ternyata Salman Aristo. Menulis banyak skenario keren sebelumnya. Adaptasi novel bukan barang baru baginya. Waktu aku belajar teori nulis skenario, modul-modul belajarku banyak yang fotokopian dari kelas asuhannya. I was like, apa yang terjadi sama film ini? Kok bisa jadi begitu saat ditonton? ‘
‘Begitu’ yang kumaksud adalah film ini ceritanya gak ngalir kayak bentuk skenario film. Ceritanya masih kayak bentuk chapter-chapter pada novel. Atau mungkin malah kayak cerita-cerita pendek digabungin jadi satu. You know, kayak episode. Roy dengan anjingnya. Roy tarung adat dengan Dullah. Roy kena santet (beneran, film ini bakal ada momen horor juga!), Roy dan usahanya ngapel Ani (harus ngalahin bokap Ani main catur dulu). Setiap episode punya konflik, penyelesaian, dan bahkan karakter pendukung spesial tersendiri. Selain dengan ibunya, Ani, dan teman-teman di sekolah, Roy juga berinteraksi dengan karakter-karakter lain nanti. Sepanjang nonton ini aku berasa jadi kayak meme Leonardo DiCaprio yang lagi nunjuk itu, karena bakal banyak sekali aktor-aktor yang ‘tau-tau’ muncul. Jadi sosok yang bakal ngajarin Roy sesuatu tentang hidup. Tapi semuanya tidak mengalir kayak struktur film, yang konfliknya ada di sekuen berapa dan penyelesaian nanti di sekuen berapa. Nonton film ini capek, kerasa panjang banget, karena formula yang sama terus diulang. Berkali-kali. Kita akan melihat Roy baik, terjemurus, berhasil, dan baik lagi, berulang kali. Tentu, semua itu ada garis besarnya; soal si Roy yang ingin mengubah tatanan sosial kota karena gak nyaman dan pengen menemukan rumah, jadi overarching plot. Bahasan satu orang versus satu kota itu memang keren. Juga bagus film memuat banyak. Tapi dengan struktur yang masih kayak novel ini, film terasa sepertl melompat-lompat di sekitar gagasan besarnya alih-alih berjalan mantap sebagai satu kesatuan. Development karakter Roy jadi gak terasa, karena setiap kali dia sudah berubah, dia kembali melakukan hal yang sama pada kesempatan berikutnya. Kita tidak tahu journey ini kapan mulai dan berakhirnya. Tau-tau Roy jadi anak motor, aja. Tapi lantas film berakhir dengan dia mengembara, tanpa kendaraan.
Cocoknya, cerita kayak gini memang dibikin sebagai slice of life. Yang fokus kepada karakter Roy. Pemikirannya. Pandangannya. Dia mengarungi hidup sehari-hari digambarkan dengan jelas dan runut. Interaksi dia dengan karakter lain, bertemunya dibuat lebih natural. Enggak seperti tau-tau ketemu, dan berfungsi hanya di satu ‘episode’ saja. Ada bagian ketika tau-tau ada cewek yang juga anak baru, Roy kenalan. Mereka jadi temen akrab, namun begitu ‘episode’ ini selesai, si anak baru pindah lagi dan gak muncul lagi hingga cerita beres. Mestinya kemunculan dan exit karakter ini bisa dipercantik lagi, dibuat lebih natural. Toh ketika sudah jadi film, naskah tidak harus sama persis dengan yang digariskan pada novel. Tergantung adaptasi kreatif mengolah novel menjadi sesuai bentuk naskah. Roy sebenarnya bisa menjadi slice of life, yang benar-benar menyentuh. Seperti pada menggarap bagian cinta, film paham untuk membuatnya tentang personal sebagai remaja itu sendiri. Harusnya ini dipertahankan supaya jadi slice of life. Tapi film jadi ambisius, sehingga fokusnya malah jadi kayak kompetisi antarlaki-laki. Bertarung. Main catur. Hingga balap motor. Aku gak yakin setelah kredit bergulir, penonton akan melihat (dan mengingat) Roy sebagai sosok, sebagai pikiran dan perjuangannya, bukan sebagai aksi jagoan yang ia lakukan.
Sudah senyaris itu kita dapat film remaja yang berbobot, dengan penceritaan yang gak FTV alias receh menye-menye. Karena Roy memang berbeda dari tokoh cerita remaja kekinian. Roy mengajarkan pemikiran dan karakter yang tangguh, berani. Kisah Roy seharusnya menginspirasi untuk itu. Secara arahan karakter, dan produksinya sebenarnya sudah unik dan segar. Menit-menit awalnya aku suka banget. Semuanya seperti mengarah kepada development karakter dan alur yang tegas. Tapi ternyata enggak. Film ini malah merosot. Problem film ini adalah bentuk yang masih terlalu ‘novel’. Cerita yang tidak mengalir. Dan malah cenderung memfokuskan kepada adegan-adegan aksi/kompetisi, dan hal-hal ajaib lain yang tau-tau ada di cerita. Penonton akan bingung film ini sesungguhnya mau apa. Apalagi tidak ada romance yang biasanya mereka suka pegang. Aku kurang suka ama remake. Tapi kalo ada film yang aku ingin ada remakenya, maka film ini mecahin rekor karena baru saja tayang tapi aku berharap film ini diremake lagi (dengan struktur skenario yang gak usah ikut-ikut novelnya). Saking bagus gagasan namun kecewa eksekusinya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BALADA SI ROY
That’s all we have for now.
Kira-kira mengapa cerita remaja sekarang sudah tidak lagi atau jarang yang membahas pemikiran karakter – apalagi berbingkai nasionalisme seperti Roy dan remaja 80an?
Share pendapat kalian di comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Pertumbuhan adalah proses yang mengerikan. Secara fisik, tubuh kita akan mengalami perubahan. Hal itu saja sudah mampu untuk menjungkirbalikkan mental, yang akhirnya bisa mengubah seseorang secara total. Ingat anak perempuan periang teman kelompokmu di TK? Well, jangan heran kalo dia gak bakal pernah bicara lagi kepadamu (atau mungkin kepada semua orang) saat remaja nanti. Atau anak cowok yang supersopan dulu, bisa berubah jadi berandal nyaris tak dikenali lagi saat udah di bangku SMP. Insecure dalam bertumbuh remaja adalah pelaku dari semua perubahan itu. Melihat tubuh kita berganti; kok di situ mendadak tumbuh bulu, kok suaraku jadi aneh, kok aku bertambah tinggi (or not, while your friends all towering up) Siapa yang bisa membantu kita melewati semua ini? Teman-teman yang bakal ngeledek? Orangtua yang gak bakal ngerti masalahnya, dan malah bikin tambah memalukan? Setiap orang akan melewati fase bertumbuh yang mengerikan itu, dan itulah sebabnya kenapa film animasi Turning Red debut film-panjang sutradara Domee Shi jadi salah satu tontonan coming-of-age yang benar-benar tepat sasaran.
Bagi penonton cilik yang baru akan mengalami, film ini akan jadi pembimbing. Buat penonton dewasa, film ini bakal jadi nostalgia – serta bisa dijadikan panutan terhadap gaya parenting orangtua. Turning Red ceritanya tentang anak 13 tahun alias anak mulai gede, dengan penekanan pada hubungan antara si anak dengan teman-teman, dan juga dengan ibunya. Jadi anak ini, si Meilin, adalah tipikal anak cerdas yang jago mata pelajaran apapun di sekolah. Tapi dia bukan tipe anak pendiam (salah satu keunikan penulisan film ini), Meilin orangnya rame banget. Bayangkan campuran antara Bart dan Lisa Simpson (film ini actually ngasih nod ke The Simpsons lewat penamaan dua patung rakun di rumah Meilin). Meilin gak populer amat, tapi at least dia punya teman segeng, dan mereka ngelakuin apapun bersama. Termasuk ngestan grup boyband terkenal. Jadi inilah rahasia Meilin. Dia sebenarnya gak hobi banget jadi nomor satu, dia hobinya hang out dan geek out bareng genk. Prestasi Meilin cuma bentuk responsibilitynya kepada ibu. Di luar rumah, Meilin berusaha menjadi dirinya sendiri. Tapi hal tersebut jadi semakin susah, karena Meilin tau-tau berubah wujud menjadi panda merah, setiap kali dirinya excited. Termasuk saat mikirin boyband dan anak-anak cowok! Dan tampaknya hanya ibu yang tahu cara melepaskan Meilin dari ‘kutukan’ tersebut.
Dari tampilan saja film ini langsung terasa keunikannya. Shi menggunakan estetik anime sebagai ruh animasi 3D. Karakter-karakternya digambar dengan gaya anime. Mata yang besar dan (kelewat) ekspresif. Warna-warna yang cheerful. Gaya berceritanya pun mirip style anime. Dengan cut to cut yang cepat sehingga spiritnya kerasa kayak kartun 90an yang biasa kita tonton di tv. Elemen transformasi ajaib Meilin menjadi Panda Merah juga berasa anime banget. Shi bahkan ngerender kota Toronto asli sebagai panggung cerita film ini, kayak yang biasa dilakukan oleh anime yang pakai lokasi beneran. Dari segi cerita dan bahasan, nonton Turning Red ini emang aku ngerasa vibe ala film-film Studio Ghibli. Film ini juga menyelam lebih dalam ke makna di balik perubahan jadi panda merah. Eksposisi dilakukan dengan fantastis, sembari tetap berusaha kental merepresentasikan budaya Asia, khususnya Cina.
Itulah kenapa jadi banyak juga orang yang gak suka ama style film ini. Gaya anime memang gak semua orang suka. Apalagi kalangan penonton barat. Mereka punya gaya sendiri untuk kartun atau animasi over-the-top. Dan bagi mereka, kartun-kartun tersebut bukan Pixar. Salah satu penyebab Pixar di atas, karena gaya yang berbeda dari kartun-kartun tersebut. Makanya, begitu ada film Pixar yang tampil dengan style yang berada dalam spektrum over-the-top, banyak yang gak bisa langsung nerima. Dan disalahkanlah karakter-karakter cerita yang menghidupi gaya/style itu.
Karakter-karakter 13 tahun itu – Meilin dan teman-temannya – memang seringkali annoying. They loud, obnoxious, lebay, goal mereka cuma pengen nonton konser boyband. Aku juga jengkel sih. Tapi bukan berarti mereka tidak bisa relate dengan kita. Relate kan gak harus in sense sama-sama ngefans boyband (walaupun film ini toh memang juga menyasar nostalgia demam boyband seperti Backstreet Boys, NSYNC, atau Westlife di awal 2000an). Yang jadi ‘boyband’ku dulu adalah pemain smekdon, gadis sampul, power rangers, dan bahkan hal sesimpel komik dan video game. Itu hal-hal yang aku suka, tapi dilarang banget. Jadi aku main game, baca komik, atau nonton smekdon selalu diam-diam. Aku saat itu bahkan masih ‘closeted’ ngefans gadsam. Melihat Meilin mengejar apa yang ia suka, apa yang menurutnya paling penting saat itu, di belakang ibunya yang melarang, bukan saja membawaku ke masa-masa dulu, tapi sekaligus membuatku jadi peduli kepadanya. Ini ngajarin anak mengenali dan mengejar hobi atau passion atau kegemaran mereka. Ini ngajak anak yang nonton untuk merayakan diri. Soal annoying, kalo dipikir-pikir lebih menjengkelkan sebenarnya anak yang gak punya kesukaan ketimbang yang seperti Meilin ini. Sehingga yang jelas, Meilin ini beresonansi sekali dengan masa-masa umur segitu. Terutama buat kita yang sesama orang asia. Karena, tahulah, ‘lawan’ kita dengan Meilin sama. Asian parent.
Udah hampir jadi meme sekarang, persoalan ‘asian parent’. Orangtua dengan standar tinggi. Orangtua yang menuntut anaknya untuk selalu nomor satu. Ya itu nilai bagus, ataupun disiplin. Orangtua yang seperti alergi melihat anaknya bersenang-senang. Orangtua yang terlalu protektif sehingga gak sadar telah bikin malu anaknya di depan umum. This movie gets that right dengan ibu Meilin. Si ibu ini lebih suka nyalahin orang lain ketimbang benar-benar melihat Meilin sebagai person. Film lebih lanjut menelisik parenting semacam ini dengan tidak membuat masalah terbatas pada Meilin dan ibunya. Melainkan hingga ke neneknya. Turun-temurun perempuan dalam silsilah keluarga Meilin punya masalah dengan kutukan panda merah, yang di sini jadi melambangkan bagaimana parenting seperti itu telah mengakar. Di cerita ini, Meilin kini dihadapkan pada pilihan menyingkirkan panda merah dan meneruskan siklus ibu-anak yang tumbuh nelangsa, atau katakanlah berontak dan embrace ‘my panda, my choice’. Jadi film ini pada kadar tertentu pasti akan relate. Namun aku apresiasi sekali film ini, karena selain relate, juga nunjukin side yang aku gak tahu. Yang boys gak akan pernah takutkan. Yaitu ‘turning red’ itu sendiri.
Pubertas, yang khusus perspektif cewek. PMS-lah yang disimbolkan ke dalam berubah jadi panda merah. Film dengan gamblang menyebut ini saat adegan pertama kali Meilin berubah wujud. Kehebohan growing up yang gak bakal dialami laki-laki (walau sunat bisa jadi counterpart yang imbang). Tapi yang jelas, dengan memasukkan soal itu (again, film ini jadi seperti anime yang memang lebih berani ngetackle persoalan ‘pribadi’ dibanding animasi lain), berarti film ini memang benar-benar kuat di sudut pandang cewek tersebut. Film ini juga jadi ngingetin aku sama Yuni (2021). Meilin di Turning Red ini rasanya kayak versi yang lebih imut-imut dari Yuni, like, Meilin pun hanya punya teman-teman gengnya. Dalam circle gengnya itulah Meilin bisa bebas berekspresi. Bernyanyi bersama adalah cara mereka untuk saling konek. Malahan, Meilin bisa mengendalikan transformasinya bukan karena mengingat ibu, tapi justru karena mengingat persahabatan teman-temannya. Seingatku, film ini gak ngeresolve hal tersebut. Ibu kayaknya gak pernah tahu Meilin berbohong soal mengingat dirinya. Dan ini mungkin cara film menekankan poin bahwa bagi perempuan memang selalu teman-temanlah yang jadi penawar dari pains of growing.
Seperti kata lagu Alessia Cara, gak ada perban untuk growing pains. Melainkan suka duka bertumbuh dewasa itu ya dijalani saja. Kita akan menjalani itu bareng teman-teman ‘sependeritaan’. Bukan dengan orangtua. Karena bagaimana pun juga, anak dengan orangtua akan berpisah jalan. Anak bisa – dan kemungkinan besar akan – tumbuh berbeda dari yang diinginkan dengan orangtua.
Bicara soal menjadi diri sendiri – bicara soal identitas, kalo dipikir-pikir, kenapa ya cerita seperti ini selalu gak benar-benar ada di ‘habitat’ aslinya. Identitas Meilin adalah seorang Cina yang terlahir dan besar di Kanada. Film Crazy Rich Asians, The Farewell, hingga Shang-Chi; karakternya selalu putra/i etnis yang lebih kritis dibandingkan dengan generasi older yang lebih tradisional. Apakah memang pandangan itu baru bisa terbentuk dengan adanya benturan dua culture dalam satu individu? Like, karena ada pandangan barat yang lebih memajukan individual, pandangan timur terguncang, dan baratlah yang cenderung ‘jawaban terbaik’. Aku gak tau juga, apakah kalian punya pendapat soal ini? Let all of us know di Komen yaaa
Yang jelas, kalo soal identitas, yang menurutku goyah di film ini adalah soal latar tahunnya. Kita tahu cerita ini bertempat di tahun 2002. Kita lihat ada tamagotchi, ada lagu-lagu yang beneran kayak lagu tahun segitu, Namun overall tingkah anak-anak muda penghuninya, bahasa percakapan mereka, sering kali terdengar kayak kekinian. Phrases yang mereka gunakan tidak benar-benar terdengar nostalgic, dan lebih sering mereka kayak anak jaman sekarang. Mungkin di situlah film menarik garis kerelevanan. Tapinya lagi aku jadi kepikiran kenapa cerita ini harus di tahun 2002, kenapa gak dibikin di masa kini saja. Kuharap alasannya gak hanya sekadar untuk personal nostalgia saja.
Orang bisa berubah jadi panda ternyata mampu jadi kemasan cerita coming-of-age yang unik dan menarik. Animasinya looks good, dan banyak elemen yang ngingetin sama anime 90an. Meskipun penyimbolan panda merah yang mengandung banyak arti agak sedikit jadi terlalu sederhana oleh final act, tapi secara keseluruhan film ini berhasil memuat gagasan yang magical dengan cukup baik ke dalamnya. Kadang aku bingung juga, tadinya Panda Merah itu untuk melindungi keluarga dari kejahatan, tapi kemudian berubah jadi soal pubertas, dan lalu jadi kayak superpower yang bisa dibangkitkan kapan saja, tapi konsep yang sedikit kurang kuat tersebut tidak berdampak terlalu banyak ke dalam gagasan yang diangkat. Film ini tetaplah sebuah pengalaman relate yang hangat. Dan ngajarin banyak, terutama soal ibu dengan anak perempuannya yang beranjak dewasa. The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TURNING RED.
That’s all we have for now
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“Kamu mau jadi apa?” adalah pertanyaan tersulit yang bisa ditanyakan atau pernah hinggap ke benak remaja enam-belas tahun. Lulus sekolah saja belum, tapi dianggap sudah harus bisa menentukan jalan hidup sendiri. Di umur segitu aku bahkan bingung mau masuk IPA atau IPS. Kuliah di mana nanti pun aku gak ada bayangan sama sekali. Di situlah aku relate dengan yang dialami Yuni. Dan aku sadar, permasalahan yang kualami dulu sebagai cowok remaja itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Yuni di film ini. Pertanyaan “Kamu mau jadi apa?” tersebut beribu kali lebih mendesak ditodongkan ke pikiran Yuni. Bagi cewek-cewek remaja seperti dirinya, yang tinggal di kampung/pinggiran, dengan sosial yang masih erat tradisi patriarki, ditanyain pertanyaan tadi itu saja sebenarnya sudah luar biasa. Sebab pertanyaan itu sebenarnya cuma basa-basi. Semua orang di sana tahu: cewek itu ya urusannya di sumur, dapur, ama kasur. Ngapain sekolah tinggi-tinggi. Kalo udah dilamar, ya tunggu apalagi. Pamali menolak rejeki.
Pamali.
Satu kata itu bakal menghantui Yuni sepanjang durasi. Setiap pilihan Yuni akan selalu dikaitkan dengan pamali. Oh aku inginnya begini, tapi nanti pamali. Semua orang di sekitar Yuni percaya pada pamali. Haruskah Yuni percaya juga. Atau haruskah Yuni memperjuangkan pilihannya sendiri, dengan konsekuensi dia benar-benar sendiri. Jika Lady Di dalam Spencer (2021) dipenjara dalam sangkar emas; istana dengan segala tata dan aturannya, maka Yuni dalam film yang terinspirasi dari puisi Hujan Bulan Juni ini terkekang dalam norma masyarakat patriarki atas nama ekonomi, yang semua orang tahu itu tidak indah, tapi mereka bertindak seolah tidak ada pilihan.
Padahal Yuni (kenalin, Arawinda Kirana bintang masa depan!) di tahun terakhir SMA-nya itu, mau fokus untuk masuk ke perguruan tinggi. Dia mengincar sebuah program beasiswa. Syaratnya; pertama nilai harus bagus. Itu gampang, dia tinggal nyelesaikan tugas ulasan puisi dari guru idolanya, Pak Damar (Dimas Aditya jadi pengajar yang cerdas dan simpatik). Kedua, tidak menikah. Syarat keduanya inilah yang susah-susah gampang. Yuni sendiri sebenarnya kepikiran pacaran aja enggak. Ada sih yang naksir, Yoga (pesona Kevin Ardilova keluar sebagai cowok pemalu), tapi Yuni lebih milih makan cilok. Yuni memang masih seperti anak remaja umumnya. Suka ngumpul-ngumpul bercanda sama teman segeng. Ngoleksi benda-benda berwarna ungu. Tapi kemudian seorang pria yang barely ia kenal, datang melamar. Yuni lantas jadi perbincangan di desa karena menolak lamaran itu. Membuat Yuni meragukan keputusannya. Apalagi kemudian lamaran-lamaran lain – dengan calon yang semakin gak ideal secara umur – terus berdatangan. Salah satunya terang-terangan membeli keperawanan Yuni.
Sutradara Kamila Andini menyiapkan film Yuni dalam dua versi berbeda. Versi untuk tayang di festival dan versi untuk tayang di bioskop. Secara esensi kedua versi ini masih sama. Tadi aku sempat menyebut Spencer, dan ya, sebagai cerita yang sama-sama tentang perempuan yang terkukung, dua versi Yuni punya esensi yang lebih baik ketimbang Spencer. Yuni yang memang anak remaja tidak pernah ditampilkan cengeng, atau merengek, atau sebatas pengen melakukan yang ia mau. Penggalian Yuni terhadap kungkungannya dilakukan dengan pendekatan yang lebih dewasa. Pamali dan patriariki itu mengurung tidak pernah diantagoniskan. Bahkan para lelaki yang jadi personifikasi patriarki tidak mutlak digambarkan sebagai lawan, atau sebagai pelaku. Yang tampak jahat saja, ternyata sendirinya adalah korban dari ekspresi feminis yang ditekan. Yuni terlihat mencoba memahami pamali dan patriarki, mencoba menelisik apa yang terjadi kalo dia ‘menentangnya’, sementara dia juga terus melihat sekitar; ke orang-orang yang lebih dulu terjerat. Sehingga cerita Yuni jadi lebih tragis dan membekas.
Untuk menambah layer karakter Yuni yang diceritakan mandiri, pintar, dan lebih berani dari teman-temannya, film memberinya hobi. Yang kerap kelewat aneh. Yaitu suka dengan segala hal berwarna ungu. Semua yang ungu dikoleksi sama dia. Aneh, karena Yuni gak segan nyolong benda ungu milik orang lain (dan lantas berkelahi kalo ketahuan) Detil kecil seperti inilah yang membuat film menjadi semakin hidup. Bukan exactly soal warna ungunya, tapi hobi Yuni mengoleksi benda ungu itu seperti mencerminkan keinginan besar Yuni untuk stay true ke identitasnya, ke dirinya sendiri. Bahwa dia tak ragu untuk melakukan apapun untuk membuat dirinya komplit. Kita melihat ini terwujud ketika Yuni datang ke klub, ataupun datang sendiri ke rumah bapak yang melamarnya, dan menolak lamaran tersebut, setelah sebelumnya melakukan sesuatu yang membuat dirinya punya alasan untuk menolak. Barulah nanti ketika diledek warna janda, Yuni ngamuk. Karena itu seperti mengonfirmasi ketakutannya telah menolak lamaran.
Sepertinya memang remaja dituntut terlalu banyak. Mereka yang sedang dalam masa perkembangan, diharapkan untuk tumbuh, tapi seringkali tidak diberikan ruang tumbuh atau, katakanlah pupuk, yang sesuai. Yuni dan teman-teman misalnya, mereka diharapkan untuk kawin setelah sekolah. Itu saja sudah aneh, tapi bahkan lebih aneh lagi saat mereka itu enggak dikasih tahu apa yang dihadapi saat menikah nanti. Mereka tidak diberikan pendidikan seks, tidak diberikan arahan berumah tangga. Melainkan hanya disuruh patuh sama suami karena yang diajarkan kepada mereka selalu soal perempuan tidak bisa sendirian tanpa laki-laki. Makanya remaja-remaja seperti Yuni tragis seperti layu duluan sebelum berkembang.
Dari sekolah yang mau ngadain tes keperawanan hingga ke nenek yang menasehati dengan “pernikahan itu rezeki”, film ini bercerita dengan sederhana. Nuansa kesehariannya terasa. Yuni luar biasa di sini. Aku malah pernah dengar saat menang di TIFF 2021 lalu, orang luar bengong melihat fenomena anak muslim yang hanya pakai jilbab di sekolah saja; padahal itu sesuatu yang normal tampak di keseharian kita. Jadi itu menunjukkan betapa film ini kuat di karakter. Otentik dengan tampil sederhana.
Tidak melulu karakter-karakter menceritakan dengan nada depresif, melainkan lebih seperti bercerita sehari-hari. Seperti misalnya karakter yang diperankan Asmara Abigail. Dia jadi perias di salon, karakter yang wild, cheerful, “preedom abis” tapi punya masa lalu nikah muda dan dicampakkan suami juga. Ketika bercerita pengalaman traumanya itu, film tidak membuatnya jadi kisah overdramatis. Untuk menguatkan karakter, dan menekankan bahwa kasus seperti ini ‘terpaksa’ terus teroverlook karena dianggap normal, si karakter itu ya bicara dengan nada senormal dirinya bicara. Yuni dan kitalah yang dibiarkan untuk meresapi kejadian tersebut. Di versi festival, adegan berceritanya itu malah lebih dikontraskan lagi, berupa kita hanya mendengar suara si karakter bercerita, tapi gambarnya adalah adegan Yuni dan dirinya lagi foto-foto ceria.
Versi bioskop memang memuat lebih banyak eksplorasi karakter pendukung, sehingga naturally sedikit lebih ‘berwarna’ ketimbang versi festival yang lebih memfokuskan kepada Yuni itu sendiri. Karakter-karakter dalam Yuni serta permasalahan mereka yang masing-masing mewakilkan contoh kasus ‘perempuan terikat patriarki’ akan sangat bisa kita pedulikan, akan sangat mudah beresonansi dengan kita, sehingga wajar versi bioskop akan lebih digemari oleh penonton.
Tapi, kalo memang mau dibandingkan……
Bagiku film Yuni versi festival tampil lebih baik dibandingkan dengan Yuni versi bioskop.
Perbedaannya yang kerasa itu bukan exactly pada ending atau tone yang lebih ringan atau durasi yang lebih panjang. Melainkan bersumber pada strukturnya. Kedua versi film Yuni ini actually sudah banyak perbedaan dari cara suatu adegan ditampilkan (baik dari kamera ataupun editingnya) dan dari urutan adegan-adegannya sendiri. Versi bioskop memperlihatkan Yuni dapat tugas puisi duluan, sebelum dilamar untuk pertama kali. Sementara versi festival Yuni dilamar duluan. Kenapa urutan ini penting, karena membentuk bangunan cerita. Dengan menempatkannya duluan dalam sepuluh menit pertama, versi festival langsung jelas memperlihatkan itu sebagai inciting inciden. Bahwa ini adalah cerita gadis remaja yang pengen kuliah, tapi tiba-tiba dia dilamar. Struktur versi festival lebih fit secara universal sebagai cerita film. Ke belakangnya strukturnya jadi tetap jelas. Lamaran versi bioskop, sebaliknya, ada sebagai plot poin pertama. Setelah sekitar tigapuluh menit. Set upnya yang panjang, yang membahas banyak – hingga adegan Yuni nyanyi segala – membuat versi ini berjalan seperti, katakanlah aimlessly. Yuni yang diberi tugas puisi untuk naikin nilainya enggak benar-benar ngasih hook yang koheren dengan kungkungan yang disetup pada lingkungannya.
Versi bioskop benar-benar menjelaskan runut adegan. Padahal gak semuanya juga signifikan. Yuni kenalan dengan si pelamar pertama aja sebenarnya justru terasa mereduksi adegan lamaran itu sendiri. Karena yang versi festival terasa lebih kuat saat Yuni dilamar seseorang yang kita gak tahu. Menguatkan bagaimana perempuan bisa benar-benar dihadapkan pada hal yang tak bisa mereka kendalikan. Lagipula karakter si pelamar itu toh gak bakal dimunculin lagi, jadi ya buat apa juga dielaborate keberadaannya. Misalnya lagi soal teman sekelas Yuni yang udah punya anak, udah nikah, tapi semacam ditinggal oleh suami yang tak pernah lagi pulang ke rumah. Di versi bioskop di-elaborate hingga ada adegan Yuni dan teman-teman datang ke rumah melihat bayinya. Lalu Yuni melihat ternyata kakak-kakak perempuan si teman juga mengalami nasib serupa. Informasi yang redundan, terlebih karena nanti juga ada adegan Yuni ngobrol dengan si teman itu perihal hal yang bersangkutan. Versi festival hanya punya adegan ngobrol itu, dan dengan bijak meninggalkan adegan ke rumah. Sehingga penceritaan versi festival terasa lebih efisien dan efektif.
Semua kisah perempuan yang dimuat dalam versi bioskop itu penting. Menambah layer. Tapi tidak bisa hanya ditambahkan seperti demikian. Percakapan soal suara haram yang terselip, tanpa ada flow yang bener-bener natural, ya hanya jadi memolorkan strukturnya saja. Versi yang diniatkan untuk merunutkan ini akhirnya malah terasa lebih lompat-lompat dibandingkan dengan versi festival yang karakter-karakternya sering ditampilkan tanpa introduksi yang proper. Percakapan soal LGBT juga. Adegannya padahal bagus banget, tapi karena sedari awal Yuni gak pernah ada concern ke situ, jadi ya kayak tambalan aja. Di festival, musik dan LGBT hanya disinggung sekilas, tapi toh tidak mengurangi esensi yg dirasakan oleh Yuni. Yang pentingnya poinnya dapet, ada karakter LGBT, dan ada banyak kungkungan kepada perempuan.
Memang, yang versi festival bisa tampil sedikit lebih berat. Lebih nyuruh fokus dan mikir. Dan bisa juga terlalu depressing untuk penonton mainstream. Maka versi bioskop memang dirancang untuk soften the blow. Endingnya yang heartbreaking itu, gak boleh sedih-sedih amat, sehingga dibikinlah adegan ending yang sama sekali berbeda. Ending yang ada harapan dan kesan saling menguatkan. Tapi ya secara konteks cerita, aneh sih. Karena di versi bioskop yang banyak memperlihatkan kasus-kasus patriarki, Yuni ini mengerti perempuan-perempuan di sana struggle di hidup mereka masing-masing. Mereka berjuang hingga sekarang. Yuni malah memilih aksi, well, yang ia pilih. Kesannya di akhir itu kenapa dia malah seperti ‘menyerah’ di saat perempuan lain dia tahu masih berjuang. Apalagi setelah ada adegan perbincangan dengan ayahnya. Kalo yang versi festival kan, Yuni tahu bukan hanya dirinya yang terkukung, tapi dia gak tau tepatnya seperti apa. Maka keputusan Yuni dianggap sebagai pembebasan diri.
Maka, untuk pertama kalinya aku akan memberikan dua skor untuk satu film (eventho dengan dua versi editing ini mestinya film ini sudah dianggap dua film berbeda). Secara esensi, film ini memanglah termasuk salah satu yang paling penting yang udah diproduce oleh filmmaker tanah air. Digarap dengan berani, mengangkat bahasan yang mungkin bisa jadi kontroversi, tapi kupikir tidak akan karena film ini kekuatannya adalah di karakter. It won’t offend too much. Terasa sangat otentik sekaligus sangat nyeni. Respek juga sama karakter dan inspirasinya. Tapi kalo aku nonton yang versi bioskop duluan, versi yang lebih ramai dan menggapai lebih banyak lagi, aku akan bilang versi itu cukup overkill, agak redundan, dan perlu untuk ditrim sehingga bisa lebih fokus ke Yuni. Karena pilihan Yunilah atas keadaannyalah yang lebih tragis ketimbang dia mendengarkan cerita tentang karakter lain. Dan actually itulah yang kurasakan pada versi festival. More intimate, more focus, more effective sebagai bangunan film. The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for YUNI theatrical version, and 8.5 out of 10 gold stars for YUNI festival version
That’s all we have for now
Sudahkah kalian menonton dua versi Yuni? Versi mana yang lebih kalian suka, kenapa?
Share pendapat kalian in the comments yaa
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Coda adalah singkatan dari ‘Child of Deaf Adults” – Anak dari keluarga tunarungu. Coda, juga bisa berarti istilah untuk bagian penutup dalam sebuah komposisi musikal. Coda, garapan sutradara Sian Heder, adalah dua hal tersebut sekaligus. Film yang bercerita tentang Ruby, satu-satunya yang berpendengaran normal dalam keluarganya, yang sangat berbakat menyanyi dan menemukan kecintaan pada dunia musik. Dunia yang gak berarti apa-apa bagi ayah, ibu, dan abangnya. Simply karena mereka gak bisa mendengar betapa amazingnya suara Ruby. Ibu malah menyangka anak remajanya itu hanya sedang dalam fase ‘memberontak’, “Kalo ibu buta, kamu pasti ngelukis, ya” begitu katanya ringan ketika Ruby ngasih tau soal masuk kelas musik. Dan momen itu, aku yakin, juga dialami oleh banyak anak remaja. Tak peduli seberapa normal pendengaran mereka sekeluarga.
Karena Coda ini pada hatinya memang sebuah cerita coming-of-age yang relatable. Tapi, dia adalah cerita dengan suara yang begitu unik. Sehingga bahkan dengan film aslinya pun – ini adalah versi Amerika dari film Perancis La Famille Belier (2014) – Coda terdengar seperti sajian yang berbeda.
Tentu, Coda dikembangkan Heder dari perspektif yang serupa. Keluarga yang quirky. Nyeleneh. Interaksi keluarga ini dipertahankan, Ruby yang kerap bertengkar dengan abangnya, pake bahasa isyarat. Ruby yang kesel sama ‘kemesraan’ ayah dan ibu. Itu memanglah pesona utama yang membuat cerita ini populer sehingga dibuat lagi. Ya, keluarga Ruby berbeda dengan orang-orang lain. Keluarga Ruby dipandang remeh. Dan hidup mereka enggak mudah. Tapi film memperlihatkan semua itu lewat perspektif yang tidak sekalipun mengiba belas kasihan. Keluarga Ruby bangga dengan siapa mereka, dengan kerjaan mereka. Dalam Coda, mereka adalah keluarga nelayan. Mereka mengarungi masalah yang sama dengan nelayan-nelayan lain di sana. Yang tangkapannya dibeli penadah dengan harga rendah. Yang merasa dirugikan lebih jauh oleh kebijakan perdagangan dan penangkapan ikan yang baru diberlakukan. Mereka tau mereka akan baik-baik saja. Selama ada Ruby.
Ya, selama ini Ruby memegang peranan besar dalam keluarga. Ruby ikut melaut, membantu mengoperasikan dan komunikasi kapal. Ruby jadi juru bicara. Dalam tawar menawar harga, dalam rapat. Dalam apapun. Film menitikberatkan ketergantungan ini dengan memperlihatkan Ruby bahkan harus ada di sana saat ayah dan ibunya konsultasi ke dokter mengenai masalah yang mendera area privasi mereka. Kebergantungan semacam itulah yang jadi titik awal konflik. Karena Ruby yang sudah beranjak dewasa, mulai menemukan dunianya sendiri. Dia mulai naksir cowok, dia mulai serius menjajaki tarik-suara. Tentu saja, gak lama jadwal Ruby mulai bentrok dengan jadwal kerjaan keluarga. Semua pilihan mendadak menjadi tough choices bagi Ruby, karena dia sadar keluarganya membutuhkan dirinya tapi sebaliknya dia tahu bahwa dia juga butuh untuk menapaki jalan hidupnya sendiri. Semua lapisan permasalahan itu mengumpul semua membentuk emotional depth yang dalem banget. Membuat film ini jadi menarik-narik hati kita, membuatnya hangat oleh haru dan cinta, tanpa sekalipun terasa overdramatis.
Kehidupan keluarga Ruby dalam rumah tangga dan dalam bermasyarakat, menambah realisme ke dalam cerita. Kita percaya yang dialami Ruby bisa terjadi pada anak dalam keluarga manapun. Masalah keluarga tunarungu tersebut mendadak jadi masalah universal. Untukku, aku melihatnya sebagai masalah yang relatable bagi remaja karena Ruby dalam cerita ini dealing with keluarga yang tidak bisa melihat value dari kemampuannya. Penyanyi tapi orangtuanya tuli. Mereka gak bisa tau, gak bisa mengerti how good she really is. Jadi ya, remaja yang suka musik tapi disuruh jadi karyawan kantoran, remaja yang pandainya bulutangkis tapi disuruh jadi PNS, yang tulisannya bagus tapi disuruh jadi sekolah dokter aja, mereka adalah Ruby-Ruby dalam keluarga yang ‘tuli’ sama suara anak mereka. Solusi untuk masalah ini adalah bagaimana membuat orangtua kita mendengar ‘suara’ tersebut. Maka film Coda ini bisa jadi penguat. Bisa menjadi pengingat bahwa keluarga itu ya sebenarnya saling membutuhkan. Karena jika Ruby dan keluarganya yang berkekurangan saja bisa menemukan jalan keluar, tidak ada alasan untuk kita tidak menemukannya.
Hubungan dalam keluarga tidak berjalan satu arah. Yang satu membutuhkan yang lainnya. Anak akan membutuhkan orangtua, sebagaimana orangtua pun membutuhkan peranan sang anak. Maka dari itulah, anak dan orangtua harus saling mengenali. Masuk ke dunia masing-masing.
Dari situlah datang aspek beauty yang kuat dimiliki oleh film ini datang. Pertengahan film hingga ke akhir udah kayak parade adegan-adegan keluarga yang indah. Yang hangat. Keluarga Ruby yang datang ke sekolah menonton pertunjukan musik meskipun mereka gak bisa mendengar apa-apa (ngeliat mereka yang malah menonton dari reaksi penonton sekitar itu adegan yang supersweet banget) ke adegan ayah meminta Ruby menyanyikan ulang lagu kepadanya, dan ayah mencoba mendengar dan mengerti lagu tersebut dengan cara yang ia bisa (easily adegan paling bikin netes air mata, dan kandidat nominasi untuk adegan terbaik di My Dirt Sheet Awards tahun depan!) hingga ke adegan saat…. ah, tonton sendiri deh. Film ini penyelesaiannya penuh oleh beautiful moments. Yang juga digarap dengan sama sensitif dan beautifulnya.
Heder tahu dia gak perlu apapun selain memaksimalkan karakter-karakter yang menghidupi ceritanya. Sehingga dia benar-benar menaruh kita ke dalam perspektif. Ketika adegan keluarga Ruby nonton pertunjukan nyanyi tadi, misalnya. Saat Ruby nyanyi solo, film justru menarik semua suara dari layar. Kita tidak mendengar suara cantik Ruby. Kita tidak mendengar apa-apa. Karena memang itulah yang persisnya didengar oleh keluarga Ruby. Kita jadi tahu apa yang mereka rasakan. Build up pada sekuen pertunjukan musikal tersebut juga bener-bener diperhatikan sehingga momen terakhirnya jadi luar biasa. Di awal kita melihat ayah dan ibu Ruby malah sibuk ‘ngobrolin’ hal lain. Namun ketika giliran Ruby, kita yang dibuat ikut tidak mendengar jadi melihat ayah, ibu, dan abang Ruby tersebut tidak hanya memusatkan perhatian mereka, tapi juga berusaha ‘mendengar’ Ruby dari sekeliling. Dan kita dibuat mendengarkan dalam cara mereka mendengar. Film ini bijak sekali, tahu persis memainkan perspektif. Timingnya efektif sekali. Sebaliknya, ketika nyanyian Ruby memang harus didengar (seperti pada adegan ayah Ruby meminta dinyanyiin tadi), film memastikan lagu yang kita dengar benar-benar mencerminkan keadaan yang dialami, dan bermakna bagi Ruby dan ayahnya. Lagu tentang bagaimana seseorang bergantung kepada yang mereka cintai tersebut menambah bobot yang banyak sekali untuk hati film ini.
Bahkan untuk adegan-adegan kecil pun, film ini mengerti untuk tidak melakukan dengan berlebihan. Urusan cinta-cintaannya Ruby; elemen itu dibutuhkan untuk membuat karakter Ruby makin ter-flesh out. Tapi kadarnya harus pas, supaya enggak mengambil alih persoalan utama yakni Ruby dan keluarganya. Yang dilakukan film ini, apa coba? Benar-benar pas. Ruby tidak pernah jadi karakter yang bucin, melainkan tetap pada jalur yang manis. Begitu juga sebaliknya; dengan pembullyan yang ia terima. Tidak pernah film jadi kayak ‘sinetron’, yang menjalin interaksi antara karakter anak remaja yang satu dimensi jahat atau semacamnya dengan Ruby yang nelangsa. Penampilan akting dan arahan serta naskah jelas yang mengakibatkan ini semua.
Didaulat sebagai pemain utama, Emilia Jones memainkan Ruby dengan segenap hati sehingga tidak mungkin bagi kita untuk tidak peduli dan tidak sayang kepada karakternya. Dia berbakat, tapi juga kikuk dan tidak benar-benar pandai untuk mengekspresikan diri. Adegan-adegan dia adegan musik dengan guru yang exceptionally idealis dan nyeni sehingga jadi kayak komikal (satu-satunya aspek yang too good to be real di film ini) digunakan dengan efektif oleh film sebagai saat-saat untuk menunjukkan perkembangan personal Ruby. Dia juga dimainkan dengan penuh cinta kepada keluarga, tapi di saat bersamaan Jones juga membuat Ruby memancarkan sedikit, katakanlah, kelelahan dan dia ingin break free, dalam cara yang tidak annoying.
Yang mengangkat Coda dari originalnya adalah representasi. Heder enggak ragu untuk mencasting aktor-aktor yang memang tunarungu untuk memerankan ayah, ibu, dan abang Ruby. Tidak seperti film originalnya yang menggunakan aktor berpendengaran normal. Dan ini tentu saja selain lebih respek terhadap komunitas tunarungu yang direpresentasikan, tapi juga menambah aspek realisme yang berusaha ditonjolkan oleh film. Gak sampai di sana, supaya gak jadi sekadar gimmick atau apa, Heder memback up karakter-karakter tersebut dengan lapisan. Ibu Ruby (Marlee Matlin) adalah – atau bukan adalah – seorang mantan model (ini jadi salah satu running-jokes dalam cerita), dan film membuka kesempatan untuk karakter ini menjelaskan apa makna kehadiran anak normal bagi diri dan keluarganya. Abang Ruby (Daniel Durant) juga punya pandangan sendiri terhadap peran Ruby dalam keluarga, yang berkenaan dengan posisinya sendiri sebagai anak sulung, cowok pula. Dia akan menambah bobo konflik tersendiri yang tentu saja kita welcome sekali ke dalam cerita. Dan tentu saja, ayah Ruby (Troy Kotsur) yang sudah dijelaskan sedikit lebih banyak di atas tadi. Dia yang kepala keluarga punya tanggung jawab, dia yang kelihatan paling dekat dengan Ruby, dia yang paling ‘bertingkah’ – in a lot of ways. Cerita Coda hidup lewat karakter-karakter ini.
Resolusinya mungkin dapat terasa terlalu cepat bagi beberapa penonton, dengan permasalahan-permasalahan kecil dalam cerita belum terikat sempurna. Namun bagiku memang itulah poin cerita. Urusan Ruby dengan keluarganya memang bukan sebuah urusan yang patut dibesar-besarkan. Memang sebenarnya sesimpel mengeluarkan suara, dan mendengarkan suara tersebut. Masalah komunikasi. Dan mengenai hal-hal lain yang belum kelar, ya masalah memang bakal terus ada. Film ini tentang keluarga yang akhirnya saling mengerti dan itu membuat mereka jadi keluarga yang semakin kuat meski sekarang mereka tidak lagi bersama secara fisik, bukan tentang problem yang lantas jadi beres. Yang perlu diperhatikan adalah film di akhir telah memperlihatkan bagaimana keluarga ini sekarang punya dan mau menempuh cara lain untuk berurusan dengan problematika sehari-hari, sebagai tanda kekeluargaan yang semakin menguat.
Buat yang pengen ngajak keluarga nonton bareng, CODA bisa disaksikan di Apple TV+ https://apple.co/3J2UFU7
Ekspektasiku nonton ini adalah yaah, aku bakal nonton cerita anak yang dibully karena keluarganya berbeda, kemudian menemukan cinta – kepada musik dan kepada cowok – yang berlawanan dengan kepentingan orangtua, yang pada akhirnya membantunya berurusan dengan keadaan keluarga tersebut. Film ini secara garis besar memang seperti itu, tapi tidak sedramatis atau semenye-menye yang kubayangkan. In fact, tidak pernah dia menyuarakan seperti demikian. Melainkan ini berhasil jadi cerita yang terasa unik. Menawarkan sudut pandang baru dengan lucu dan kikuk di awal, dan lantas benar-benar indah dan hangat sebagai penutup. Dia juga terasa real dan relatable. Biasanya, aku punya aturan penilaian yang ketat untuk film-film yang bukan original. Namun untuk kali ini, teruntuk film ini, aku rela sedikit melunakkan aturan tersebut. Karena dia berhasil tampil tetap cantik, dan malah seperti memperbaiki versi originalnya. The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for CODA.
That’s all we have for now
Apakah kalian juga punya hal yang menurut kalian penting, tapi tidak bisa ‘didengar’ oleh orangtua, tidak punya value yang sama di mata mereka? How do you dealt with that?
Share with us in the comments yaa
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“You must never feel badly about making mistake, as long as you take the trouble to learn from them”
Coba ingat apa hal yang paling kita takutkan pada saat masih sebagai makhluk yang polos. Takut bikin marah orangtua. Takut kena marah guru. Takut bikin salah. Takut dosa. Apalagi kalo kita besar di lingkungan yang aturan agamanya kuat, kayak Alice di film Yes, God, Yes. Cewek ini adalah tipikal remaja rohis banget. Tumbuh dengan pengawasan pendidikan dan moral Katolik yang ketat. Yang kaku dan konvensional. Lingkungan Alice menjadi semakin ‘jaman jahiliyah’ lagi sebab film ini bertempat di awal 2000an, jadi sebagai pelengkap penduduk cerita yang masih belum terbuka, kita lihat Alice juga hidup di era informasi yang terbatas. Internet belum seperti sekarang. Komputernya masih membuka gambar dengan bertahap. Dan ruang chatnya? Well, di ruang chat itulah Alice menemukan sumber masalahnya. Dia belajar hal yang sebenarnya tak boleh ia lakukan karena dilarang agama. Tapi Alice penasaran. Dan semakin ia penasaran, ia semakin lakukan, dan ia semakin merasa berdosa. Alice lantas ikut club agama untuk menemukan ketenangan. Hanya saja yang ia tahan justru tambah menjadi-jadi. Membuat dia dikucilkan teman bahkan guru, dan membuat dirinya bertanya-tanya sendiri apakah dia bakal jadi penghuni neraka.
Enak gak sih baca paragraf di atas? Kebayang gak si Alice sebenarnya ngapain dari sana? Aku sengaja untuk tidak terang-terangan untuk membuktikan satu poin. Bahwa menutup-nutupi itu memang sejatinya tidak memuaskan. Tidak membantu untuk orang melihat apalagi memahami persoalan yang sebenarnya. Sekolah Katolik tempat Alice menimba ilmu penuh oleh orang-orang yang menutup-nutupi perbuatan mereka, dengan segala petuah dan tindak-tindak suci. Membuat Alice jadi tidak bisa sepenuhnya mengerti ‘baik-dan-salah’, dia malah nyangkanya semua orang dewasa yang taat beragama adalah orang-orang yang tak pernah berbuat dosa. Untung bagi kita, film Yes, God, Yes ini sendiri sangat blak-blakan dalam bercerita. Sutradara Karen Maine jujur ketika menyebut seksualitas. Tidak seperti yang kulakukan di paragraf atas. Maine benar-benar gamblang memperlihatkan gerak-gerik penasaran remaja wanita polos dalam diri Alice yang baru saja terbangun gairah kedewasaan. Maine menyorot kepolosan Alice dalam cahaya komedi, bukan untuk kita menertawakannya. Melainkan supaya kita lebih relate, karena ada masa kita seperti Alice. Dan sekarang kita mengerti bahwa yang dibutuhkan oleh Alice dan remaja-remaja itu bukanlah ceramah bahwa masturbasi atau pacaran itu masuk neraka, melainkan bagaimana melakukannya dengan ‘bertanggung jawab’
The best thing yang dilakukan oleh film ini adalah penggambarannya yang sangat akurat terhadap innocent dan rasa takut seorang remaja yang masih polos, terhadap not exactly pada aturan agama yang ia yakini melainkan lebih kepada aturan dan judgement orang-orang penganut agama tersebut. Yes, God, Yes ini menjawab pertanyaan dan keraguan banyak remaja-remaja seperti Alice seputar urge yang pastilah mereka rasakan. Untuk kemudian film ini akan memberikan jaminan kepada remaja-remaja tersebut, bahwa mereka tidak sendirian. Bahwa yang mereka rasakan adalah normal. Dan ultimately bahwa semua orang punya rahasia, semua orang punya dosa, bahkan orang dewasa – guru ataupun orangtua – sekalipun.
Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan dan dosa. Semua orang melakukan kesalahan, bukan saja itu hal yang normal, malah iklan ada yang nyebut ‘berani kotor itu baik’. Saat salah kita jangan jadi hipokrit, dan jadi sok suci demi menutupi kesalahan itu. Own up to it. Karena pada saat salah itulah kita belajar. Kita mengubah diri menjadi lebih baik, kita jadi tahu mana yang benar. Hidup bukan untuk tidak berbuat dosa, melainkan memperbaiki kesalahan yang dilakukan. Kita menebus dosa di dunia salah satunya adalah dengan belajar dari kesalahan.
Arahan Maine juga sukses membuat Natalia Dyer luar biasa tampil meyakinkan. Natalya bukan favoritku di serial Stranger Things karena tokoh dan permainannya di situ sangat generik. Sedangkan di Yes, God, Yes ini, Natalya tampil dengan jauh lebih mantap. Dia terasa otentik memainkan tokoh yang so lost dalam rasa penasarannya. Yes, God, Yes sudah seperti versi yang lebih ringan dan polos dari film Lady Bird (2017) dan Alice sendiri tampak seperti figur Christine yang jauh lebih polos – Natalya berpotongan mirip Saoirse Ronan, hanya lebih ‘rapuh’. Kedua tokoh dalam film masing-masing mengalami masalah yang serupa, they are both in their sexual awakening, mereka sama-sama bertempat di lingkungan Katolik, sehingga gampang bagi kita untuk menarik garis perbandingan. Pertanyaan terbesar yang datang dari itu adalah, setelah Lady Bird yang begitu otentik dan natural di segala bidang, masih perlukah kita menonton Yes, God, Yes?
Tentu, Yes, God, Yes ini banyak dikasih nilai bagus oleh para kritikus. It’s only natural berkat ceritanya yang masuk dan benar-benar fit in ke dalam narasi kontemporer (baca: agenda jaman now) Terlebih para SJW dalam kalangan kritikus selalu suka dengan cerita-cerita yang menyudutkan aturan tradisional; tersebutlah agama di dalamnya. Pemahaman narasi film ini adalah pada penekanan bahwa semua manusia itu berdosa. And sure it’s true. Kita gak boleh merasa superior daripada orang lain hanya karena kita lebih taat dan rajin beribadah daripada mereka. Hanya saja, cara film ini menyampaikan pesannya itu justru seolah Alice menjadi berani dan merasa lebih baik terhadap dirinya sendiri begitu ia tahu orang lain juga melakukan kesalahan; begitu ia melihat orang-orang yang seharusnya lebih ‘alim’ daripadanya ternyata melakukan perbuatan dosa yang lebih parah daripada dirinya. Membuat cerita film seperti begini, untuk menampung gagasan yang true tadi, menjadikan film tidak ‘menantang’ baik bagi Alice maupun bagi kita. Melainkan hanya jatuh ke contoh-contoh banal, like, ‘pfft tentu saja si pastor itu otaknya ngeres, atau tentu saja kakak pembina murah senyum itu aslinya maniak seks.’ Tentu, kasus-kasus seperti demikian memang ada dan terjadi di dunia nyata – misalnya baru-baru ini terkuak soal kekerasan seksual di balik tembok Gereja seperti yang dilansir Tirto – tapi pada film ini, elemen itu dimasukkan tanpa disertai narasi atau bahasan yang memadai. Mereka hanya dimunculkan begitu saja, tak ubahnya sebagai ‘jawaban mudah’ terhadap kebimbangan tokohnya; sesuatu yang gampang untuk membuat tokoh utama merasa lebih baik.
Pesan yang lebih kuat adalah membahas bagaimana mengakui salah dengan benar-benar menyadari kesalahan itu sendiri. Bagaimana supaya Alice tidak merasa rendah karena perbuatan wajar yang ia lakukan. Dalam film ini Alice merasa lega setelah diberi penguatan oleh seseorang ‘masak cuma nonton Titanic masuk neraka’, dan dengan dia memergoki orang-orang suci di sekitarnya melakukan dosa yang lebih besar daripada ngerewind adegan mobil Titanic atau chat nanyain arti dari slang ‘toss salad’. Film yang lebih baik tidak akan membuatnya memergoki, melainkan membangun relasi yang padat dan emosional antara Alice dengan orang-orang Gereja yang membuatnya merasa terttekan itu. Drama mereka akan digali, mungkin dengan pastor yang menceritakan pengalamannya dulu suka nonton bokep, atau apapun yang membuat cerita berkembang dari Alice yang awalnya mengantagoniskan mereka. Namun Yes, God, Yes malah memilih untuk meng-conjure adegan alice ketemu ‘manusia bercela’ dan memperlihatkan dia lebih gampang membuka diri di depan orang-orang yang gak judgmental. Di sinilah letak masalah penyampaian agenda film ini. Yes, God, Yes begitu set out untuk mengkotakkan mana golongan yang judgmental dan fake, dan mana yang tidak, sementara kita tidak benar-benar melihat bangunan kokoh atas aspek itu, melainkan juga cuma berdasarkan judgment kita sendiri.
Untuk tidak ikutan bias seperti mereka-mereka yang ngasih nilai tinggi buat film ini hanya karena seusai dengan narasi dan agenda mereka, aku juga gak mau ngasih film ini nilai rendah hanya karena gak sesuai dengan pesan yang menurutku lebih kuat. Maka mari melihat film ini secara objektif penceritaan saja. Dan kupikir, setelah kita menonton Lady Bird yang memperlihatkan Katolik itu tidak mesti sebagai sangkar antagonis yang memenjarakan karakternya, kita gak perlu lagi menonton film komedi banal seperti Yes, God, Yes ini. Alice adalah karakter yang ditulis dengan lemah. Film tidak memberikannya waktu untuk karakternya terset-up dengan baik. Alih-alih memperlihatkan, film memilih untuk menjadikan backstory Alice sebagai misteri yang jadi hook cerita – tentang apakah Alice benar-benar melakukan hal yang digosipin seluruh sekolah pada saat pesta. Ini membuat jarak antara kita dengan Alice. Hobi Alice juga gak berpengaruh langsung terhadap cerita. Dia dibuat hobi main game ular di Nokia, and that’s it. Seperti dimasukin buat denyutan nostalgia saja.
Pun, hubungannya dengan keluarga, hubungannya dengan sahabat, hubungannya dengan guru dan pastor, tidak ada yang sempat diceritakan dengan matang. Semuanya datang-pergi dengan cepat. Film ini mencukupkan dirinya di 78 menit, bukan karena penulis gak mampu untuk bikin lebih panjang. Tapi karena jika dipanjangin lagi, jika drama dan relasi-relasi tersebut digali lebih dalam, ceritanya jadi gak cocok lagi dengan agenda judgmental yang diusung oleh film. Jadi film ini memilih untuk tetap pendek. Dan memang jadi kayak film pendek yang dipanjang-panjangin, ditarik begitu aja sehingga jadi tipis.
Bayangkan karet balon yang ditarik sehingga jadi nyaris transparan. Sepeti itulah film ini. Mereka harusnya nambah lapisan drama, untuk membuat film jadi lebih berbobot, penting, tanpa mengurangi keinosenan yang jadi ujung tombak. Lagipula, menambah durasi tentu saja bukan perbuatan dosa. Meski memang banyak momen relateable yang membawa kita ke jaman waktu masih polos, tapi momen cringe juga tak kalah banyaknya sampai kita pengen bilang ‘oh, God, no’ The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for YES, GOD, YES.
That’s all we have for now.
Kapan pertama kali kalian nonton bokep? Apakah kalian masih ingat reaksi pertama kalian saat menontonnya? Apakah kalian masih merasa bersalah atau canggung jika saat ini nonton dan ketahuan oleh orangtua?
Share with us in the comments Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“It is not the answer that enlightens, but the question.”
Beberapa ekor pinguin muncul begitu saja di taman, di kota yang bukan saja panas, tapi juga bahkan jauuuh dari aroma laut. Fenomena yang aneh tersebut jelas saja mengundang banyak reaksi. Orang dewasa akan garuk-garuk kepala, mereka berusaha memindahkan pinguin-pinguin tersebut ke tempat yang lebih layak. Bagaimana dengan anak-anak kecil seusia Aoyama? Wuih suasana ruang kelas empat tersebut riuh oleh semangat anak-anak yang bertanya-tanya ada apa gerangan. Seru sekali mereka membincangkan makhluk-makhluk lucu tersebut. Sebagai seorang anak sepuluh-tahun, yang dibilang dewasa juga belum, tapi punya kecerdasan yang jauuuuuuhhh di atas teman sebayanya, Aoyama mencatat detil-detil tentang pinguin yang bisa ia temukan di buku. Dia membandingkannya dengan yang ia lihat sendiri. Aoyama membuat teori-teori. Saking sibuknya, Aoyama mungkin tak sadar bahwa ia juga sama anehnya dengan para pinguin itu di mata teman-temannya.
Penguin Highway nyata-nyatanya adalah salah satu film teraneh yang bisa dibuat orang untuk anak-anak. Film menggali rasa penasaran yang didera oleh anak kecil dengan enggak malu-malu. Karena bagi mereka hampir semua hal di dunia adalah misteri. Pinguin itu justru bukan ‘masalah’nya sebenarnya bagi Aoyama. Karena sebenarnya ini adalah cerita tentang Aoyama berkembang menuju remaja, dewasa. Aku punya adek berusia sepuluh-tahun dan memang dia ‘pervert’ seperti tokoh film ini. Aoyama having a first crush kepada Kakak cantik asisten dokter gigi, wanita yang jauh lebih dewasa daripada dirinya. Dia sudah menetapkan akan menolak cewek-cewek yang ‘menembak’nya karena pilihan sudah ia tetapkan. Aoyama yang cerdas bahkan rela jarang gosok gigi biar bisa ke dentist terus; bertemu dengan Kakak yang juga jadi guru main caturnya. Salah satu observasi ilmiah yang diamati Aoyama terhadap Kakak adalah bagaimana cewek itu punya payudara yang berbeda dibanding punya ibunya. Dan karena film ini mengambil sudut pandang Aoyama, maka bukan saja kita mendapat sejumlah close-up shot dada Kakak, namun juga semua hal tampak seperti payudara. Aoyama memilih kue yang bulet, memandangi gunung-gunung yang bulet, mangkok yang… you guessed it, bulet! Hal menjadi semakin menarik tatkala Aoyama menemukan hubungan antara si Kakak dengan kemunculan para pinguin dan juga gelembung air besar yang Aoyama dan teman-temannya temukan di padang rumput di dalam hutan.
Secara teknis, film ini tergolong cerita fiksi ilmiah, karena Aoyama dan teman-temannya memandang pinguin dan semua peristiwa yang mengikutinya dari sudut keilmuan. Aoyama senang bereksperimen, dia membuat gadget dari mainan, dia menyimpulkan teori-teori berdasarkan data dan keilmuan yang ia riset. Aoyama membuat catatan yang membandingkan waktu metamorfosis kupu-kupu dengan hitungan hari menjelang dia tumbuh dewasa. Didukung oleh ayahnya yang kerap menyemangati dengan coklat tatkala Aoyama berhasil membuat kesimpulan terhadap suatu peristiwa, Aoyama percaya dia akan meraih hal-hal yang hebat untuk dunia. Tapi actually, elemen fiksi ilmiah ini cuma latar karena sesungguhnya ini adalah cerita tentang coming-of-age. Filosofi hubungan antara Aoyama dengan si Kakak lah yang menjadi penggerak utama cerita. ‘Kamera’ akan menangkap perjalanan inner karakter, disuguhkan lewat animasi yang kawaii dan mempesona. Sementara kita hanya sekelebat melihat catatan teori yang dibangun oleh Aoyama – antara itu atau lewat dialog cepat yang ia sebutkan. Ceria penuh warna seperti mata anak-anak memandang dunia. Ketika dunia mereka menjadi aneh atau sedikit menyeramkan, warna-warna tersebut tidak absen, tidak lantas membuat film menjadi suram. Melainkan animasinya dibuat mengundang rasa penasaran kita, mewakili perasaan Aoyama yang selalu ingin tahu.
Saat menonton ini, memang pada awalnya aku menganggap cerita film ini lumayan mengganggu buatku. Setelah ekspektasi kita dibangun terhadap ilmu pengetahuan di sepuluh menit pertama, kita secara alami akan menganggap film akan memberi kita jawaban yang logis terhadap semua fenomena yang terjadi. Tapi bukan saja ternyata elemen sci-finya terkesampingkan, penjelasan masuk-akal terhadap semua itu bahkan tidak ada! Alih-alih melihat jawaban, aku malah melihat orang melempar kaleng kola dan kaleng tersebut berubah menjadi pinguin di udara. Aku pun merasa dicuekin karena Aoyama dan teman-temannya tidak pernah mengajakku berteori bersama, heck, bahkan main caturpun aku tidak dilibatkan. Namun kemudian aku sadar, aku masih melihat film ini dalam posisi sebagai orang dewasa. Belum kembali menjadi anak-anak seperti yang film ini niatkan. Ini sama sekali bukan masalah apa jawaban yang benar, tidak pernah seperti demikian bagi anak-anak. Ini adalah soal mencari jawaban. Tidak perlu ada stake, tidak perlu dikejar waktu karena anak-anak punya semua waktu yang mereka butuhkan untuk eksplorasi. Film meminta kita untuk mengistirahatkan pikiran dewasa dan biarkan naluri kanak-kanak kita memegang kendali, supaya kita bisa melihat lebih banyak. Bahkan si Kakak dalam cerita, dia belajar banyak dan merasa kembali muda dengan berada di sekitar Aoyama dan teman-teman yang sedang melakukan eksperimen.
Kebebasan untuk tidak terlalu memusingkan hal-hal yang terjadi, merupakan anugerah yang dimiliki oleh anak kecil. Orang dewasa akan terdistraksi kepada hasil sehingga fokusnya teralihkan dari hal-hal yang membuat kita tertarik, dan yang menginspirasi pada awalnya. Bukan soal benar atau salah, mustahil atau logis, ini adalah soal mencari, memuaskan sendiri rasa penasaran kita dengan terus mengasah kreativitas dan segala kemungkinan. Karena kritis itu bukan semata bertanya dan berharap mendapat penjelasan yang memuaskan. Kritis adalah memuaskan diri dengan mencari jawaban atas tanya-tanya yang terus kita ajukan sebab dunia begitu membuat penasaran.
Aoyama boleh saja gagal menemukan jawaban yang logis, sebab semua perjalanan yang ia lalui itu telah membuat dirinya humble. Menjadikannya manusia yang lebih baik pada akhir cerita. Penguin Highway adalah salah satu contoh cerita ‘kemenangan dalam kegagalan’ yang baik. Perubahan karakter Aoyama di awal dengan di akhir cerita dapat kita rasakan dengan kuat mengalir. Sutradara Hiroyashu Ishida melakuan kerja yang sangat baik mengarahkan cerita yang kompleks dan aneh dalam film panjang pertamanya ini. Film ini terasa lucu dan menghibur, tetap teramat dekat meskipun menangani masalah yang di luar logika. Aoyama tidak tampak seperti Conan, yang kita tahu dia adalah orang dewasa dalam tubuh anak kecil. Aoyama memang terhadirkan sebagai seorang bocah yang pintar dan penuh keingintahuan, dia memandang semua fenomena sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik lagi.
But I do thing film ini mestinya bisa dikembangkan dengan lebih baik lagi. Terutama pada karakter Kakak Cantik. Tokoh ini sengaja dibuat misterius, karena dia adalah salah satu ‘misteri’ bagi Aoyama secara fisik. Tapi film turut membuat eksistensi si Kakak sebagai tanda tanya, bahkan bagi dirinya sendiri. Ini membuat tokoh Kakak jatuh ke dalam trope “Manic Pixie Dream Girl” – tokoh cewek yang di mata protagonis cowoknya begitu sempurna dan hanya berfungsi sebagai dorongan ataupun pembelajaran si protagonis untuk menjadi tokoh yang lebih baik. Trope ini menandakan naskah tidak berhasil menggali karakter pendukung, dan memang kelihatan jelas film ini hanya berpusat pada Aoyama. Naskah membiarkan Aoyama jadi tokoh utama meskipun ada tokoh lain yang lebih punya stake untuk mencari jawaban. It’s okay jika film memutuskan seperti demikian dan konsisten terhadapnya, tapi aku berpikir film tidak mesti membuat Kakak sebagai Manic Pixie Dream Girl yang mengurangi penilaian – bisa diberi bobot lebih banyak, atau melakukan hal simpel seperti yang dilakukan Love for Sale (2018) kepada tokoh Arini; Love for Sale membuat Arini ‘termaafkan’ karena dia tidak seujug-ujug ada di sana sebagai pembelajaran untuk Richard, dia ada sebagai bentuk pilihan dari Richard. Kakak di Penguin Highway, menurutku seharusnya bisa dibuat seperti demikian alih-alih ada dan kemudian tidak ada.
Diadaptasi dari novel karangan Tomihiko Morimi, si pengarang ini sering disebut sebagai Virgin Writer karena kekhususannya memasukkan hal-hal lugu yang bisa dianggap ‘pervert’ oleh sebagian orang. Dan memang, film ini jelas adalah salah satu teraneh yang bisa ditonton oleh anak-anak. Mengusung cerita coming-of-age dengan bungkus sci-fi. Benar-benar menaruh penonton dalam bingkai pandang tokoh utamanya yang masih kelas empat. Film ini melempar semua logika dan meminta kita untuk mengikuti perjalanannya dengan santai, karena dirinya adalah potret yang mengingatkan kembali bagaimana rasanya kembali menjadi anak kecil yang penuh rasa ingin tahu. Unik dan menyegarkan, seperti pinguin. The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for PENGUIN HIGHWAY.
That’s all we have for now.
Kapan terakhir kali kalian membaca untuk menambah ilmu, alih-alih biar dapat nilai bagus? Kapan terakhir kali kalian bertanya untuk membuka wawasan, bukannya bertanya untuk nyinyir atau malah nyindir orang lain?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
Dikasih aturan, ngelawan. Diberi kelonggaran sedikit, malah ngelunjak seenak udelnya. Anak kecil yang beranjak remaja sekilas memang cenderung nakal dan susah diatur seperti demikian. Karena mereka terkadang memang lebih membutuhkan sosok seorang teman, dibandingkan seorang pimpinan.
Alih-alih orang yang mereka pandang ke atas – yang menunjuk-nunjuk mereka mana yang benar mana yang salah, seusia mereka sebenarnya perlu banyak-banyak bergaul dengan yang bisa diajak tertawa bersenang bersama. Bermimpi bersama. Untuk kemudian, bikin salah, jatuh dan bangkit lagi bersama.
Sunny Suljic dalam Mid90s memerankan Stevie ‘Sunburn’ dengan begitu hidup selayaknya anak cowok tiga-belas tahun yang masih mencari jati diri dan pegangan hidup. Perbedaan periode waktu enggak menjadi masalah bagi Suljic karena dia bukan saja menangkap, ia yang anak modern menghidupi tokohnya yang ‘berjuang’ sebagai seorang skateboarder amatir di tahun 90an dengan teramat sukses dan meyakinkan. Absennya figur ayah, yang kemudian digantikan oleh abang yang suka memukul dan ibu yang lebih sering mengurusi dirinya sendiri, membuat Stevie ‘melarikan diri’ ke jalanan. Berkat pukulan yang sering dihadiahkan oleh abangnya, Stevie boleh jadi berkembang menjadi anak yang tangguh secara fisik. Namun secara emosional, bocah ini rapuh. Dia butuh teman, secepatnya. Jadi Stevie lantas ngintilin geng skateboard yang ia lihat lagi bikin onar di pinggir jalan. Stevie mencuri duit ibunya demi membeli papan skate. Dia latihan sendiri, dalam jarak pandang geng skateboard yang terdiri dari empat remaja yang lebih tua darinya itu, supaya punya alasan bergabung ke genk mereka. Persahabatan yang terjalin antara Stevie dengan para skateboarder tersebut akan menjadi fokus utama cerita. Gimana mereka, dengan tembok security masing-masing, berusaha mengomunikasikan perasaan mereka. Karena mereka semuanya adalah cowok dengan keadaan rumah yang bermasalah, sehingga mereka saling membutuhkan lebih dari yang mereka tahu.
Ketika pertama kali dirinya disapa oleh salah satu anggota geng, tampak begitu senang. Dia mengucapkan terima kasih, tetapi langsung ditepis “Don’t thank me. That’s gay.” Untuk sebagian besar babak kedua kita lantas melihat Stevie berjuang untuk enggak keceplosan mengucapkan terima kasih, ataupun seluruh perasaannya kecuali dalam bentuk amarah. Ini rupanya adalah salah satu adegan kunci untuk kita memahami dinamika yang terbentuk di antara remaja-remaja bau kencur tersebut. Gratitude yang dianggap menunjukkan kelemahan; bahwasanya mereka adalah pria belum-matang yang belum mengerti sepenuhnya terms kejantanan itu sesungguhnya. Ibarat main skateboard, mereka belum lagi melaju. Masih menendang-nendang aspal panas nan keras – inilah dunia mereka. Yang ada hanya kompetisi; kau berteman atau musuhan, pilihannya hanya dua itu. Wanita hanyalah bagian dari kompetisi – pada sekuen Stevie ngobrol dengan cewek remaja di pesta rumah, si cewek mengatakan anak-anak cowok seusia Stevie sudah memasuki fase brengsek dan dia senang Stevie tidak termasuk seperti mereka. Namun di beberapa adegan setelahnya kita tetap melihat Stevie membangga-banggakan apa yang tadi ia lakukan ke teman-teman skateboardnya.
Tapi tentu saja hal tersebut tidak menunjukkan ketimpangan, ataupun ‘dosa’ yang harus segera dibenarkan. Film tidak bermaksud menjadi komentar sosial perihal bagaimana remaja seharusnya bertindak. Ini juga bukan tentang bagaimana cara menjuarai papan skateboard. Film adalah hamparan sebuah tahap, bayangkan sebuah jendela, yang dilalui oleh anak-anak seusia Stevie. It’s about that moment. Ini adalah tentang mencari teman sejak dini, tumbuh bersama mereka, berkembang bahkan ketika nanti pilihan hidup memisahkan kita dengan teman-teman.
Meskipun dalam menyaksikan film kita seharusnya hanya ‘bicara’ soal apa yang kita tonton, kadang kita susah untuk tidak terlalu kontekstual dan keburu ngejudge berdasarkan reputasi dari auteur alias pembuatnya. Mid90s adalah debut penyutradaraan film panjang dari aktor dan penulis komedi Jonah Hill. Orang ini dikenal dengan komedi-komedi wacky, yang seringkali seputar (dan dibuat oleh kebanyakan) ngeganja dan orang-orang berpesta pora. I mean, anak-hollywood mencoba membuat film tentang anak-anak jalanan dan ke-streetsmart-an mereka? Bahkan saat menulis kalimat tersebut aku maqsih merasakan seonggok ketidakpercayaan di sudut pikiranku. Seberapa meyakinkan scene-scene itu dalam visi Jonah Hill? Jawabannya adalah sungguh-sungguh meyakinkan. Katakan kepadaku jika perasaan uplifting tidak menguar dari hati kalian saat melihat Stevie dan temannya meluncur zig-zag ‘berirama’ di tengah jalan.
Tentu saja ada hal-hal konyol kayak tokoh yang dikasih nickname gabungan dari dua kotor karena si tokoh setiap kali ngomong selalu ngucapin dua kata itu. Mungkin juga ada beberapa generalisasi depiksi skateboarder yang bakal bikin anak skateboard beneran tersinggung. Tapi interaksi para tokoh, marahnya Stevie kepada ibunya, canggungnya hubungan antara Stevie dengan abangnya – ada satu adegan yang aku pengen ketawa tapi gak tega yakni pandangan Stevie ketika dia melihat abangnya diajakin berantem ama teman skateboardnya yang paling sok jago – berhasil terlihat enggak dibuat-buat. Semua itu karena Jonah Hill adalah orang yang pertama kali tahu untuk tidak berusaha menjadi pemimpin kepada para remaja. Hill tampak mengerti bahwa penting sekali untuk berjalan bersama remaja, dan menjadi teman bagi mereka. Para aktor-aktor muda tersebut, diberikannya kebebasan untuk menghidupkan karakter mereka masing-masing. Juga membantu, gimana dalam setiap peran yang ia mainkan Hill dikenal suka berimprovisasi. Dia menerapkan ini kepada aktor-aktornya, dan hasilnya sungguh luar biasa meyakinkan. Geng skateboard itu tampak seperti sudah berteman sejak dulu. Kita percaya mereka punya masalah di benak masing-masing. Kita bisa melihat kecemasan dari jerawat mereka.
Hill menyetir filmnya keluar dari kotak drama ala Hollywood. Stevie tidak diperlihatkan berhasil menjadi skateboarder profesional. Dia tidak memenangkan piala dan perhatian palsu dari cewek, penggemar, dan orang-orang yang tidak perlu ia buat terkesan in the first place. Aku suka sekali gimana film ini berakhir; menurutku Hill berhasil mengkorporasikan elemen 90an ke dalam pesan yang ingin dipersembahkan. Kita, barengan Stevie dan gengnya, bakal menonton film video hasil rekaman teman mereka yang paling bego (dijuluki Fourth Grade karena akalnya gak kalah ‘panjang’ ama akal anak kelas empat es-de) sepanjang hari-hari mereka bersama-sama. Ending ini tidak memperlihatkan apa-apa, tapi kita tahu bahwa kelima anak ini; mereka tidak akan bermain skateboard bersama lagi setelah film ini berakhir. Stevie yang di awal film pengen nyari teman akan belajar bahwa temenan bukan berarti harus melakukan setiap hal bersama-sama.
Bukan berarti kudu melakukan apa yang teman kita lakukan. Kita harus belajar untuk menghormati keputusan mereka, untuk percaya kepada mereka. Kita bisa tetap menjadi teman dengan melakukan hal masing-masing, kita masih bisa seerat saudara meskipun punya jalan hidup masing-masing. Dan begitu juga sebaliknya, film mengajarkan kepada Stevie dan teman-temannya dan penonton bahwa keluarga, bisa kok dijadikan sahabat.
Direkam seluruhnya dengan 16mm, film ini berhasil membawa kita kembali ke masa 90an, lantaran sukses terlihat seperti film dari video-tape jaman dulu. Anak-anak itu terlihat seperti anak jalanan, anak broken home 90an beneran, lengkap dengan skateboard ala Bart Simpson mereka. Penampilan mereka meyakinkan sekali. Ceritanya menyenangkan dan tidak terasa dibuat-buat, walaupun kita meragukan apakah sutradaranya tahu apa yang sedang ia kerjakan. Pernah mengalami, ataupun tidak, Jonah Hill dalam debutnya ini berhasil menyuguhkan sebuah potret yang bisa melebur smepurna ke dalam album kenangan setiap orang yang pernah merasakan butuh teman semasa remajanya. The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for MID90s.
That’s all we have for now.
Pernahkah kalian bergabung dalam satu geng hanya untuk kabur dari orangtua dan keadaan rumah? Apa yang kalian rasakan, apakah masuk geng membuat kalian merasa menjadi lebih baik? Kenapa menurut kalian, kalian merasakan hal tersebut?
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017