“It is better to give than to receive”
Kata orang, nenek atau kakek lebih sayang cucu ketimbang anaknya sendiri. Benarkah begitu? Hmm… Film debut penyutradaraan Pat Boonnitipat ini bakal bisa membantu kita untuk menjawab itu. Di balik judulnya yang terdengar matre, How to Make Millions Before Grandma Dies bicara soal hubungan dalam keluarga besar; antara anak dengan orangtua, lalu antara keduanya dengan grandparents. Bagaimana masing-masing menunjukkan cintanya, siapa yang sering pulang, siapa yang tidak. Kalopun pulang, karena memang kangen atau ada maunya. Keluarga yang disorot cerita boleh saja keluarga Thailand keturunan Cina, tapi permasalahan mereka sangat beresonansi dengan keluarga modern di manapun. Dan karena kedekatan tersebut, certainly cepat atau lambat film ini akan menggugah hati sanubari kita. Pat yang memang mengincar emosi itu tahu untuk terlebih dahulu menyajikan bahasannya dengan lugas dan menggelitik. Semua keseharian sosial di negaranya seperti berusaha dipotret olehnya. Menjadikan film ini juga sebagai komentar yang kocak. Lagipula memang benar judulnya matre, toh para karakternya dapat menjadi begitu money oriented, dan konflik mereka pun berangkat dari hal yang bisa dikatakan ngeri-ngeri sedap untuk dibicarakan, yaitu soal harta warisan.
M siap untuk meninggalkan sementara pekerjaannya (itu juga kalo bikin konten main game di Internet bisa disebut sebagai pekerjaan yang beresiko jika ditinggalkan) karena dia sudah menemukan pekerjaan yang lebih mudah dan yang lebih menguntungkan. Merawat Amah alias nenek yang divonis kanker. Ya, M tergiur ketika ada sepupu yang diwarisi rumah besar oleh kakek yang dirawatnya. M juga ingin ketiban warisan. Jadilah ia pindah dan ikut tinggal bersama Amah yang tadinya tidak begitu ia pedulikan. Tapi ‘kerjaan’ ini ternyata tidak semudah perkiraan M. Cowok putus sekolah itu merasa Amah tidak begitu suka kepadanya, afterall Amah memanggil dia sebagai cucu yang tidak berguna. M merasa ribet dengan aturan dan keseharian Amah yang berdoa kepada Dewi Kwan Im (sehingga gak makan sapi) dan pergi berjualan sedari jam 4 pagi. Apalagi M juga merasa anak-anak Amah (2 paman dan termasuk ibunya sendiri) bermaksud sama dengan dirinya; ngerawat Amah supaya jadi ranking pertama orang yang paling dicintai Amah – sehingga bakal mendapat warisan rumah. Yang bikin sedih, Amah sebenarnya tahu, M dan anak-anaknya yang mendadak sering berkunjung sedang berharap dapat ‘menuai benih dari yang mereka tanam.’
Persaingan M dan anak-anak Amah tidak lantas digarap film menjadi kompetisi komedi. Film justru tetap di ranah keseharian. Langkah M terutama adalah meningkatkan value dirinya di mata Amah. Sehingga M ada di rumah Amah sebagai penonton, sama seperti kita, mengobservasi orang-orang dan kejadian yang terjadi di seputar Amah. Lantas M akan mencoba membereskan jika ada yang salah. Jadi bibit dari konflik internal di sini adalah tentang orang yang melakukan kebaikan kepada orang lain, tapi secretly dia punya maksud yang lebih selfish. Ini membuat M jadi karakter bercela yang menarik. As in, menarik melihat dia terdevelop menjadi semakin peduli kepada Amah. Melihat M menjadi lebih terbuka matanya terhadap keadaan keluarga, yang selama ini ia cuek saja sibuk main game sendiri. Terus berada di dekat Amah dan mengurusi ini itu membuat M jadi tahu lebih banyak tentang Amah, kebiasaannya, kesukaannya, cara spesifik Amah mengenakan pakaian, siapa anak favorit Amah, hingga ke masa lalu Amah dan cerita keluarga mereka yang M dan anak-anak Amah sudah lupa tapi Amah tetap mengingatnya.
Hubungan M dan Amah inilah yang menjadi hati pada cerita. Di awal-awal kocak sekali melihat film memotret generational gap lewat M yang gen Z selalu saja ‘menjawab’ larangan atau aturan dari Amah – yang honestly memang seringkali aku lebih setuju sama ngelesnya M yang sebenarnya males, tapi masih lebih logis ketimbang perkataan Amah yang masih menganut old ways. Memang pada potret-potret kehidupan sosial-budaya seperti inilah Pat menunjukkan ketajaman komentarnya. Di luar urusan adab tradisional di rumah, Pat juga menyentil dengan lucu persoalan yang ada di negaranya. Seperti saat M dan Amah ke klinik dari pagi sekali, mereka tetap harus ngantri, dan ‘budaya’ orang sana yang mengantri adalah sendal saja, sementara pemiliknya bisa duduk dan beristirahat sembari menunggu loket dibuka. Seiring M semakin dalam mengenal Amah dan keluarganya sendiri, seiring kanker yang menggerogoti Amah semakin ganas, film bertransisi dari kocak ke nada yang lebih mengharukan. Kita bisa melihat M tidak lagi punya kendali, Amah membuat keputusan-keputusan yang bahkan M tidak bisa melihat alasan untuk menyetujuinya. Itu semua karena relationship yang digali cerita semakin meluas jangkauannya. Mulailah problematika keluarga yang relate itu mendera kita semua.
Film memilih untuk mengeksplorasi dramatisasi dari sini. Dari kedekatan kita dengan masalah yang dipotret. Penonton pada nangis karena kita semua punya nenek, atau kakek, yang dikunjungi paling hanya setahun sekali (saat libur lebaran atau libur natal atau hari besar lainnya). Nenek atau kakek yang tampak masih kuat tinggal sendiri, tapi film ini memperlihatkan kepada kita bahwa mereka sebenarnya kesepian. Banyak kita yang jarang pulang menengok mereka, dan selama ini kita mengira mereka oke-oke saja. Tapi film ini ngasih lihat dilema nenek terkait hal itu; bahwa mereka antara senang dan sedih tidak dikunjungi atau tidak dikabari, karena dari pengalaman mereka paham bahwa biasanya justru ketika anak pulang dan mengabarkan itu berarti si anak lagi punya masalah. Nenek seperti Amah pengen dikunjungi – Amah setiap hari Minggu pakai baju bagus demi menyambut anak-anaknya pulang – tapi beliau juga khawatir jika dikunjungi berarti anaknya bisa saja sedang ada masalah. Terutama kita jadi tahu betapa sulitnya bagi mereka untuk membagi kasih. Akan selalu ada yang merasa difavoritkan, akan ada yang cemburu, tapi kita gak akan pernah tahu pengorbanan yang Amah-amah lakukan untuk semua anaknya. Inilah yang akhirnya dipelajari M dari Amah yang ternyata, diam-diam, terus saja memberi. Anaknya ketauan loser kapital L pun, Amah tidak lupa untuk memberikan bagiannya.
We make a living by what we get, tapi we can make a life, by what we give. Karena itulah memberi lebih baik daripada menerima. Tindakan memberi merupakan satu semangat juang, ekspresi dari kehidupan kita sendiri. M yang tadinya hanya mengharap, hanya meminta, mencoba merawat neneknya. Tapi kemudian dia belajar pelajaran berharga ini dari neneknya. Sang ultimate giver. Dari pilihannya di akhir film, M bukan saja sudah jadi caregiver yang baik bagi tetua, tapi dia jadi paham arti untuk menjadi seorang love giver, seperti nenek dan juga nanti ibunya sendiri.
Yang paling sedih buatku ditunjukkan oleh film ini adalah bahwa di dalam keluarga itu gak butuh maaf. Mau kesalahan gimana pun, all is forgiven selama nama belakang mereka itu masih sama. Amah masih akan terus menanti anak-anaknya, cucu-cucunya untuk kembali. Inilah kenapa film ini gak punya banyak momen berantem yang dramatis. Kalo debat kecil-kecilan yang seringkali jatuhnya lucu, sih banyak. Tapi film ini memang gak punya momen emosi yang sampe berdebat teriak-teriak ataupun nangis kejer. Jika ada yang ketahuan salah, film hanya akan menampilkan ekspresi Amah atau M yang sedang menelisiknya, dan lalu cerita berjalan di hari kemudian. Arahan dramatis atau emosional film ini lebih ke arah personal. Kontemplatif. Makanya bisa terasa lambat dan kurang naik turun bagi penonton.
Pilihannya ini bisa aku pahami, dan sepertinya aku juga lebih suka arahan yang lebih calm-tapi-menyayat seperti ini. Hanya saja, di jalur yang personal dan kontemplatifnya ini pun film terasa kurang ‘meledak’. Sebab akhirnya film memilih untuk menyandarkan ledakan emosinya kepada pengalaman penonton mengalami hal serupa. Ini terasa belum imbang, karena film jadi ‘lupa’ aspek galian dari protagonis. M dibiarkan sebagai pengamat, yang pilihan-pilihannya tidak terasa kuat terhantar kepada kita. Penonton yang tidak relate dengan kesedihan punya orangtua yang sering sendirian, harusnya masih bisa punya pijakan emosi dari journey M, jika journey tersebut lebih diperjelas dengan eskalasi konflik personal yang dipertegas. Misalnya, momen eskalasi bisa datang ketika M gagal mendapat rumah, dan dia marah kepada Amah. Proses M pergi ninggalin Amah, lalu bagaimana dia bisa balik lagi menjemput Amah setelah menyadari pembelajarannya; inilah yang mestinya bisa lebih dinaikkan dramatisnya di balik konteks ‘all is forgiven’ tadi. Karena di situ akan ada choice berat bagi M. Memilih ikut sepupu nyari duit demi kerjaannya kembali, atau kembali karena dia sudah beneran peduli kepada Amah. Naskah akan bisa lebih full circle jika kita dikembalikan sekali lagi kepada M dan motivasi terdahulu (pengen punya komputer baru buat ngegame), karena di saat itulah momen dramatis pembelajaran dia bisa ‘terbukti’ kepada kita.
Konflik dalam keluarga tampaknya selalu ribet dan nyelekit. Apalagi kalo udah urusan duit. Semuanya pengen menuntut, semuanya pengen jadi favorit. Tapi siapa sangka, sebenarnya kita melupakan hal penting di balik itu semua. Hal yang ternyata tampak begitu sederhana dan menghangatkan seperti yang diceritakan oleh film ini. Awalnya kocak, lalu perlahan tapi pasti film ini tugs our hearstrings. And never lets it go. Film berjalan pada arahan yang lebih personal dan kontemplatif. Dengan momen-momen dramatisnya disandarkan kepada potret-potret keluarga yang sebagian besar penonton pasti akan relate, gak peduli kita turunan mana, tinggal di mana. Bagi yang somehow gak relate, di sinilah sedikit kurang maksimalnya film. Mereka jadi kurang pegangan. Bibit emosional pada naskah – journey protagonisnya – kurang terangkat sebagai konflik. Penyadaran protagonisnya jadi hampir seperti teresolve dengan sendirinya. Karena dia sudah sadar seiringnya waktu. Film tidak memberikan momen yang kuat ketika dia harus memilih sebagai bukti penyadaran. Tapi di samping semua itu, pertanyaan yang lebih penting adalah: Apakah aku nangis nonton ini? Aku nangis… jika saja belum terwakili oleh setengah studio yang terisak-isak keluar dengan mata sembab
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HOW TO MAKE MILLIONS BEFORE GRANDMA DIES
That’s all we have for now.
Jadi, apakah pertanyaan di awal sudah terjawab? Dari pengalaman kalian, apakah grandparents kalian lebih sayang cucu-cucunya, seberapa besar perbedaan cara mereka menunjukkan kasih sayang antara kepada cucu dengan kepada anak?
Silakan share di komen yaa
Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL