ARE YOU THERE GOD? IT’S ME, MARGARET. Review

 

“Childhood is a journey, not a race”

 

 

Anak-anak belum sepenuhnya bisa memahami banyak hal di dunia. Karena pemikiran mereka memang masih dalam tahap berkembang. Belum matang. Makanya anak-anak belum boleh bikin SIM, beli rumah, ikutan Pemilu. Apa-apa masih harus dengan persetujuan dari orangtua. Anak-anak belum bisa dipercaya untuk memutuskan sesuatu karena persepsi realita dan imajinasi mereka belum seutuhnya terbentuk. Jika kita yang dewasa saja masih suka bingung akan jati diri, bisa dibayangkan betapa bingungnya anak-anak terhadap dirinya sendiri. Mengalami proses perubahan tubuh, dan segala macam. Kita yang sudah dewasa diharapkan, bukan untuk mencampuri, bukan untuk mengafirmasi, bukan untuk menambah ribet hal dengan nambahin konsep-konsep aneh, bukan untuk memutuskan hal untuk mereka, melainkan untuk semata membimbing mereka melalui hari-hari penuh pertanyaan menuju proses dewasa tersebut. Mempersiapkan mereka untuk mengambil keputusan saat gede nanti. Saat waktunya tiba. Namun, bagaimana dengan agama? Inilah pertanyaan sensitif yang berusaha dibicarakan oleh Judy Blume ketika menulis novel Are You There God? It’s Me, Margaret di tahun 1970. Pertanyaan yang dirasa masih relevan oleh sutradara Kelly Fremon Craig sehingga kini dia mengadaptasi novel populer (dan tentu saja kontroversial) tersebut menjadi feature-film yang cukup langka dan berani. Coming-of-age story yang digabung dengan pencarian Tuhan.

Banyak dari kita yang terlahir ke dalam agama. ‘Ngikut’ dulu sama agama orangtua, sampai kita cukup dewasa untuk mutusin sesuai keyakinan sendiri mau stay atau pindah. Margaret dalam cerita film ini tidak bisa begitu. Karena ibu dan ayahnya punya agama yang berbeda. Ibunya Kristen, ayahnya Yahudi. Sebagai anak kelas enam, Margaret mulai kepikiran soal agamanya. Selama ini dia berdoa kepada Tuhan dengan caranya sendiri. “Halo Tuhan, ada di sana? Ini aku, Margaret” Begitulah Margaret berkomunikasi dengan Tuhan -seperti orang yang sedang menelepon – setiap kali dia mau curhat. Oh ya, sebagai anak perempuan yang udah mau remaja, pikiran Margaret pun mulai dirundung berbagai permasalahan yang malu-maluin kalo ditanyain ke orangtua. Mulai dari persoalan teman-teman di sekolah yang baru, naksir cowok, hingga soal tubuhnya. Margaret, seperti juga teman-teman gengnya, sudah gak sabar jadi wanita dewasa. Tapi setiap orang punya waktu yang berbeda-beda. Sebagai anak yang ‘mekar’ agak lambat, Margaret mulai insecure, kenapa dia punyanya belum gede juga, kenapa dia belum ‘dapet’ sementara yang lain udah. Permasalahan yang juga merambah ke persoalannya dengan Tuhan.  Margaret semakin bingung. Agama mana yang harus ia pilih supaya Tuhan menjawab keluh kesahnya?

Tuhan, aku salah sambung ya?

 

Perspektif yang kuat dan dikembangkan dengan respek menjadikan film ini menyenangkan sekali untuk ditonton. Kita benar-benar dibuat merasakan dan melihat dunia dari mata si Margaret. Anak sebelas tahun yang baru saja pulang dari summer camp, lalu harus pindah rumah, pisah dari nenek yang tadinya satu-satunya sahabatnya, dan di tempat yang baru dia menemukan teman-teman baru. Merasakan gejolak yang baru. Gejolak itulah yang tergambarkan luar biasa oleh film lewat keseharian Margaret, serta interaksinya bersama teman-teman. Bagiku dunia anak-anak yang tergambar di sini terasa familiar, sekaligus juga asing, karena sekarang aku benar-benar dibuat melihat dari sisi anak cewek. Gimana bedanya kelompok anak cewek berinteraksi; apa yang mereka bicarakan, apa yang mereka inginkan, apa yang mereka takutkan.  Perasaan mereka itu akhirnya jadi perasaan universal yang membuat film ini jadi begitu grounded. Sembari mempertahankan pesona kuat yang jadi bibit-bibit komedi dalam cerita. Margaret dan teman gengnya punya rule sendiri, punya ‘metode’ sendiri supaya dada mereka jadi seperti model di majalah dewasa punya ayah yang mereka ambil diam-diam hihihi

Margaret dan teman-temannya adalah anak-anak baik, tapi karena rasa ingin tahu alami yang mereka rasakan, mereka bisa bertindak cukup nakal. Dan it’s okay karena itu adalah proses belajar. Film mengeksplorasi itu dengan sangat lekat. Margaret yang akhirnya menyesal udah ngebully satu teman perempuannya yang paling cepat ‘gede’, misalnya Range kejadian film ini memang begitu beragam. Ini menurutku adalah keberhasilan sutradara dan penulis dalam mengadaptasi. Cerita dari novel dengan halaman sekian banyak, bisa mengalir dengan tetap enak ke dalam durasi seratus menit penceritaan. Jika diingat sekarang, banyak banget kejadian yang menimpa Margaret. Punya teman baru, berantem ama teman baru, liburan ke tempat nenek, liburan bersama teman, disuruh bikin tugas tentang topik yang ia pilih sendiri (Margaret memilih tentang agama). Tapi semuanya berhasil diikat runut sebagai perjalanan yang punya awal-tengah-akhir yang jelas. Perjalanan yang membawa pembelajaran terhadap Margaret, yang berarti karakternya punya pengembangan yang kuat. Gak semua film adaptasi novel bisa mencapai keberhasilan seperti ini, karena cerita dari novel umumnya kesusahan mengolah sekian banyak materi sehingga hasilnya ya entah itu terlalu sumpek atau jadi malah gagal menangkap apa yang ingin diceritakan. Film ini berpegang pada gagasan yang jadi visinya, dan berkembang tetap pada jalur itu. Banyaknya karakter sekalipun, tidak pernah jadi sandungan.

Yang benar-benar aku suka dari film ini adalah cara mereka mengaitkan kisah coming-of-age dengan bahasan yang hanya berani dibahas oleh sedikit sekali orang, apalagi di jaman sekarang. Soal pertanyaan terhadap agama. Tahun 2014 dulu film India, PK, mengangkat persoalan itu dengan membuat perspektif utama dari seorang alien. Supaya sudut pandangnya bisa lebih netral dan gak diprotes-protes amat. Margaret bukan alien. Dia anak perempuan yang mau jadi remaja. Tapi dia merasa tidak menemukan jawaban atas pertanyaan hidupnya karena enggak tahu cara menghubungi Tuhan yang benar. Maka Margaret nyobain berbagai macam ibadah. Pada satu minggu dia ikut nenek ke kanisah. Minggu berikutnya dia ikut temannya ke gereja protestan. Kesempatan lainnya dia ngintilin temannya melakukan pengakuan dosa di gereja katolik. Margaret menyebut, dia suka dengar ceramah, nyanyi-nyanyi, dan sebagainya, tapi dia belum merasakan keberadaan Tuhan di tempat-tempat itu. Sampai ada momen menyedihkan saat Margaret menulis surat kepada gurunya, bilang dia gak sanggup menyelesaikan tugas karena dia sampai sekarang masih belum menemukan agama yang tepat. Yang ada, dia malah merasa takut beragama.

Bayangkan kalo dibikin versi Indonesia, si Margaret bingung masuk Islam yang aliran mana, atau semacamnya.. wuihh pasti filmnya langsung dicekal

 

Memang topik yang jarang banget disentuh sedemikian rupa, let alone dari sudut pandang anak-anak. Tapi film ini berani dan tidak terjebak. Tidak menyuruh Margaret harus memilih saat itu juga. Tidak memaksa Margaret membuat keputusan. Dua nenek Margaret sempat saling bertengkar, masing-masing berusaha membujuk Margaret memeluk agama mereka, tapi film tetap berada di pihak orangtua Margaret. Melindungi sang anak dari semua pengaruh itu. Bukan karena tidak setuju dengan salah satu, melainkan karena itu adalah hak Margaret untuk memutuskan di saat dirinya sudah siap nanti.

Film menegaskan bahwa ini bukan cerita tentang perjalanan memilih agama. Melainkan perjalanan seorang anak menemukan keyakinannya terhadap Tuhan. Dikaitkan dengan kisah tumbuh-dewasa, film ini sekaligus mengingatkan kita untuk membiarkan anak-anak tumbuh, sebagai dirinya sendiri, dan – ini yang sekarang sering dilupakan orang – pada waktu miliknya sendiri. Childhood semestinya adalah pertumbuhan yang mereka alami dengan natural, dengan pacenya sendiri. Bukan tugas kita untuk memburu-burukan itu semua terjadi.

 

Gagasan ‘we grow as our own person, and in our own time’ tersebut ditegaskan film saat memperlihatkan hubungan antara Margaret dengan ibu dan dengan neneknya (ibu dari ayah) yang setelah sekian lama jadi orang terdekatnya. Tiga karakter ini yang sebenarnya jadi tonggak film secara keseluruhan. Abby Ryder Fortson bukan sekadar aktor cilik beruntung yang bermain bersama aktor sekelas Rachel McAdams dan Kathy Bates, gadis cilik itu juga membuktikan dia pantas bersanding dengan mereka. Ketiga aktor ini juga benar-benar menyokong film lewat permainan akting yang begitu natural, chemistry di antara mereka pun terhampar menyenangkan. Kathy Bates jadi nenek yang karakternya mengalami perkembangan dari cemburu dan gak suka cucunya dijauhkan darinya, menjadi seseorang yang akhirnya menemukan kembali hidupnya di umur yang sudah senja. Kepindahan Margaret memang berat bagi mereka berdua, tapi justru itu yang membawa masing-masing kepada pembelajaran personal. Ibu Margaret juga mengalami pembelajaran, tapi menurutku persoalan ibunya ini yang kurang maksimal dilakukan oleh film ini. Jadi Rachel McAdams memainkan karakter ibu yang cocok banget untuk ia perankan, ibu muda yang tipe membawa keceriaan dan tampak laid back padahal really care dengan keluarga. Tapi dia punya backstory yang cukup sedih, yaitu di-disowned oleh orangtuanya sendiri lantaran menikah dengan orang yang berbeda agama. Film meluangkan waktu untuk membahas itu hingga meresolve konfliknya. Tapi ada satu porsi dari karakter si ibu ini yang tidak dibahas lebih lanjut padahal paralel dengan persoalan menjadi our own person. Yakni soal dia dulunya adalah pelukis, dan sekarang meninggalkan hobi tersebut. Menurutku ini kalo dieksplorasi lagi, dapat menambah layer bagi pembelajaran Margaret.

Are You There God? It’s Me, Margaret sudah available di Apple TV, yang ingin nonton bisa langsung subscribe dari sini yaa https://apple.co/3Cjdu2j

Get it on Apple TV




Ceritanya boleh saja bersetting di tahun 70an, tapi esensi di baliknya benar-benar timeless dan universally grounded. Karena setiap anak punya masalah yang sama. Dan setiap orangtua bakal melakukan kesalahan yang sama. Penceritaan film ini tidak pernah terasa menggurui, namun terasa sangat jujur mengalir dari perspektif utamanya. Dari mata seorang anak perempuan yang juga sedang berusaha berkomunikasi dengan Tuhan. As for kids, Margaret dan teman-temannya mungkin bukan exactly ditonton untuk dijadikan sebagai role model, tapi mereka semua akan jadi teman yang baik untuk anak kecil seusia mereka yang menonton film ini. Teman yang mengerti kecemasan dan kebingungan apa yang bakal mereka hadapi dalam pergaulan sehari-hari. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ARE YOU THERE GOD? IT’S ME, MARGARET

 




That’s all we have for now.

Sehubungan dengan itu, bagaimana pendapat kalian tentang pemberitaan baru-baru ini di Amerika soal bahasan LGBT (gender dsb) yang mulai diajarkan di sekolah-sekolah? Apakah memang perlu, atau apakah memang wajar jika ada orangtua yang menolak?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



Comments

  1. Farrah says:

    Baru selesai nonton langsung absen disiniiii~
    Bagus yaaa, terima kasih lho mas Arya udah mau rekomendasi. Ringan, grounded, konfliknya juga gak macem-macem, tapi gagasannya nyampe. Chemistry keluarganya ini genuine banget ya, aku cukup belajar dari cara Barbara nge-treat keluarganya, both Margareth & her longlost (yet trouble) parents.
    Sempet khawatir di ending, apa akan tetep berhenti di Margareth aja, eh ternyata dapet closure ke ‘Tuhan’ juga.

    • Arya says:

      Sama-samaa.. aku awalnya nonton ini cuma pengen lihat Rachel McAdams jadi ibu-ibu, gak tau juga kalo ternyata ini dari buku populer, eh ternyata sebagus ituuu. Kisah keluarga kayak gini enak banget ditonton. Apalagi ditambah soal ‘pencarian Tuhan’ dari perspektif anaknya, wah, lucunya tema kayak gini kenapa gak munculnya di negara kayak negara kita ya hahaha

      • Farrah says:

        Iya banget, aku tuh pas adegan si Margaret one on one sama wali kelasnya, trs cerita kalo ayahnya Jewish, ibunya Kristen & dia masih no religion tuh lgsg yang WAHHHHH kenceng bgt 😀 karena dapet banget gongnya, langsung cirlce ke adegan awal pas dia monolog “are you there God? Its me Margaret. First, i hear a lot of good things about You”
        Karena pas aku nonton trailer sebelum nonton, gak terlihat ada pembahasan agama sama sekali, lebih ke romance malah

        • Arya says:

          Hahaha film luar gitu sih, trailernya suka beda ama isi filmnya karena trailer dibuat oleh tim yang terpisah

          Enak banget sudut pandanganya anak kecil ‘nyobain’ aneka ibadah demi nyari Tuhan yang cocok hahaha.. Adegan pas nenek dari pihak ibunya datang aku juga suka, ngeliat keluarganya mulai ‘rebutan’

Leave a Reply