IVANNA Review

 

“Losing your head in a crisis is a good way to become the crisis.”

 

 

Horor adalah salah satu genre film paling populer di Indonesia (jaminan laku, untuk sebagian besar waktu!) but here’s one thing about horror in Indonesian mainstream cinema: Kita punya banyak sutradara horor yang kreatif, keren, dan could legitimately scare the shit out of us, akan tetapi jumlah penulis naskah yang benar-benar paham dan mengembangkan cerita horor tidak banyak. Kondisinya memang setimpang itu. Bahkan dalam film-film Joko Anwar yang disepakati secara umum sebagai top tier horor di perfilman kita, ketimpangan itu terasa. While the scare was great, atmosfernya mencekam total, tapi ceritanya either karakterisasinya lemah, punya fantasi yang terlalu ribet, atau berakhir dengan ending yang gak ngeresolve apapun. Kebanyakan film horor kita masih dipandang sebagai wahana seru-seruan untuk penonton (khususnya remaja). Padahal cerita horor, dalam bentuk terbaik, bisa menjadi perjalanan personal yang membekas karena horor pada dasarnya menggali ketakutan yang bersumber dari perasaan-perasaan terburuk, terkelam, yang bisa dialami oleh manusia. Kan, sayang sekali kalo horor hanya digunakan untuk jerit-jeritan.  Nah, bicara tentang sutradara horor yang keren, Kimo Stamboel juga adalah salah satu yang sudah dikenal berkat konsistensi menghadirkan warna dan gaya filmnya sendiri. Film sadis-sadis. Makanya kiprah Kimo untuk menggabungkan darah dengan supranatural selalu dinanti. Dengan Ivanna, tentu saja Kimo diharapkan memberikan dobrakan dahsyat buat seantero franchise Danur. But then again, horor hantu tanpa-kepala yang ia hadirkan di sini hadir tanpa tulang-punggung alias tanpa naskah yang kuat.

Ivanna versi Kimo sedikit berbeda dengan Ivanna yang pernah bikin kita jantungan di Danur 2: Maddah (2018) dulu, meski diperlihatkan lewat backstory dari foto dan buku diari bahwa keduanya adalah karakter yang sama.  Ivanna adalah gadis Belanda yang hidup di tahun 1943, ia dan keluarganya menumbuhkan rasa cinta kepada Indonesia, sampai-sampai adik Ivanna dinamai dengan nama orang Indonesia. Tapi ada perbedaan yang mencolok, yaitu kepalanya. Ivanna di film ini berkepala buntung.  Kalopun ada kepalanya, Ivanna di sini bukan diperankan oleh pemain sebelumnya, melainkan oleh Sonia Alyssa (Gadsam lain setelah Aulia Sarah di KKN yang mencuri perhatian lewat peran hantu!) Ivanna versi Kimo lebih violent. Dia balik menaruh dendam kepada orang-orang pribumi yang tadinya mulai perlahan ia kasih simpati, lantaran kebencian pribumi membuatnya tertangkap oleh prajurit Jepang yang lantas memenggal kepalanya. Backstory ini dilakukan Kimo lewat pengadeganan yang brutal dan naas (mind you, this is a 17+ movie) Kisah hidup Ivanna tak pelak jadi pengisi yang paling menarik yang dipunya film ini. Walaupun penempatannya dilakukan sebagai flashback eksposisi, tapi inilah bagian yang paling rich dan emosional yang dipunya oleh film. Pengennya sih mereka menggarap Ivanna lebih dalam, porsinya diperbanyak, tapi karena Ivanna adalah hantu yang jadi antagonis utama, it is kinda hard to do. Jadi, in a way, film ini masalahnya mirip ama film-film Marvel belakangan ini. Tokoh jahatnya jauh lebih menarik dan lebih berlapis karakterisasinya ketimbang protagonis utamanya.

Aku masih bingung kenapa di Maddah kepala Ivanna bisa normal lagi, tapi mari abaikan saja for the sake of the story.

 

Yang aku suka dari arahan film ini adalah Kimo took the time. Dia gak terburu-buru untuk langsung ke hantu-hantuan. Sutradara mengambil waktu untuk melandaskan semuanya, sambil bermain-main dengan aspek-aspek horor lain. Adegan openingnya saja kita udah lihat orang kena tembak tepat di wajah! Film berusaha mengeksplorasi dulu adegan penyerbuan rumah, bikin adegan-adegan seram dari atmosfer dan lingkungan. Selain juga tentunya memperkenalkan para karakter manusia, dan menghubungkan mereka dengan persoalan yang dialami oleh Ivanna.  Di sinilah letak ‘sayangnya’. Sayang naskah film ini tidaklah mendalam. Rating dewasa yang dipunya film hanya merujuk ke adegan pembunuhan yang sadis, bukan kepada kematangan film pada tema ataupun dialog. Tidak ada esensi di balik pengenalan karakter lain. Mereka hanya orang yang berada di rumah tempat mayat Ivanna bersemayam (mayat yang telah dijadikan patung)

Protagonis utama cerita ini adalah Ambar (dimainkan oleh Caitlin Halderman, dengan tantangan bahwa karakternya bermata nyaris buta) yang baru tiba di panti jompo bersama adiknya. Tentu saja tempat itu normal pada awalnya. Ambar kenalan dengan para penghuni; dua penjaga panti, tiga elderly, satu remaja keluarga nenek di sana. Mereka bersiap-siap untuk lebaran esok hari. Namun malamnya, Ambar gak sengaja menemukan basement rahasia. Di situlah mereka pertama kali melihat peti berisi barang-barang peninggalan orang Belanda, dan patung alias mayat Ivanna. Malamnya teror pertama dimulai. Suara gramofon, suara orang-orang ngobrol, dan ada pembunuhan. Praktisnya, lebaran mereka semua jadi horor saat mayat seorang penghuni ditemukan dalam keadaan tanpa kepala. See, sebenarnya ada lapisan di ‘panggung’ ini. Ada setting lebaran, lalu penglihatan yang terbatas, semuanya diintegrasikan ke dalam narasi. Cukup untuk membuat film ini enggak standar misteri di bangunan berhantu. Malah sempat ada elemen whodunit saat penghuni saling curiga siapa yang membunuh (walau enggak lama, well ya karena Ivanna basically duduk di ruang tengah mereka). Tapi karena gak ada paralelnya antara Ambar dan Ivanna; Kenapa Ambar harus rabun juga gak benar-benar ditegaskan selain untuk kepentingan ‘membuat lapangan horor jadi menarik’. Film begitu supaya Ambar ada alasan bisa melihat flashback dan dia jadi bisa nyeritain apa yang terjadi kepada karakter lain. Dialog-dialog mereka memang jadi lebih mirip kayak ngasih informasi misteri ketimbang interaksi kayak pergaulan orang beneran. Maka film ini malah bisa jadi tampak agak lambat di awal. Karena segala set up jadinya pointless.  Tanpa ada makna atau sekadar ikatan di baliknya, semuanya jadi kayak buang-buang waktu aja. Mending full bunuh-bunuhan aja, gak usah kenalin karakter-karakter.

Tadinya kupikir, cerita bertempat di panti jompo, dengan orang-orang tua dipertemukan dengan karakter remaja (bahkan ada anak kecil), bakal ngasih sesuatu komentar tentang gap generasi atau semacamnya – kayak di film X(2021), tapi ternyata enggak ada bahasan yang lebih mendalam di lingkup itu. Mati di sini memang seram dan menggemparkan, tapi ya hanya mati. Film sendiri bahkan tidak peduli amat sama karakter yang mati selain untuk showcase teknik gruesome. Kepentingannya hanya untuk melihat adegan mati. Benar-benar tidak ada development karakter di sini. Ambar di awal dan akhir cerita, adalah pribadi yang sama. Tidak ada belief ataupun sudut pandang yang ditantang. Heck, bahkan kupikir cast yang blasteran bakal berpengaruh ke persoalan Ivanna yang bule Belanda dengan pribumi. Enggak ada ternyata. Kasiannya, tanpa karakterisasi mumpuni, Ambar hanya jadi kayak perpanjangan gimmick penceritaan saja. Sebagai media flashback, sebagai mouthpiece eksposisi, sebagai pengasih solusi.

Untuk ngisi paragraf blok ini aja aku bingung. Biasanya kan ini tempat aku menguraikan pesan atau tema filmnya. What’s the movie really about. Aku gak tau apa yang didapat Ambar dari pengalamannya diteror Ivanna, atau juga apa yang ‘dipesankan’ Ivanna kepada kita. Yang bisa aku dapat dengan reaching adalah Ivanna jadi tragedi karena dia lose her head, secara simbolik ataupun beneran.  Dia dipenggal, setelah sebelumnya sempat mengutuk sebagai respon kebencian yang ia dapat. Apakah Ivanna salah di sini karena mengutuk balik? Apparently so, karena antitesisnya di sini – yaitu si Ambar – menggunakan kepala yang lebih dingin ketika krisis hantu di panti. Ambar lebih resourceful, dan dia bisa menemukan cara untuk mengalahkan Ivanna.

 

Kasian Ambar adegan jatuh ampe tiga kali

 

Sutradara seperti Kimo mau ngambil proyek Danur Universe jadi big deal karena perbedaan gaya yang memang drastis. Ini sebenarnya mirip ama Thor yang diambil oleh Taika Waititi. Mengubahnya dari serius, ke kini jadi konyol. Kimo mengambil dari franchise yang biasanya gak sadis, dan membuat film yang penuh darah. Membuat film yang lebih dekat ke franchise The Doll, yakni horor slasher. Tapi tentu saja horor tidak terbagi menjadi film horor jelek dan film horor sadis. Sebagaimana superhero tidak terbagi menjadi film superhero jelek dan film superhero serius. Semuanya dalam kelas masing-masing. Ada film konyol yang jelek, ada yang bagus. Ada horor sadis yang jelek, ada horor sadis yang bagus. Menilai film ini juga mestinya seperti itu. Tidak dari sejauh mana ia berbeda dari akar franchisenya, tapi dari pencapaiannya di kotak dia berada sekarang. Jadi di mana kita menempatkan Ivanna sekarang?

Harusnya sih di kotak horor slasher, ya. Sesuai dengan spesialisasi sutradaranya. Tadinya kupikir Kimo bakal dapat kebebasan penuh menggarap ini sesuai visi dan gayanya. Dan memang kita bisa melihat perbedaan tersebut. Film Ivanna jauh lebih kelam dan berdarah dibandingkan film-film lain di franchise Danur. Namun entah mengapa, aku masih merasa film ini masih belum terbebas sepenuhnya. Ada banyak pilihan gimmick horor mainstream. Terutama jumpscare. Here we have horor dengan pembuat yang jago bikin adegan berdarah-darah, tapi sebagian besar adegan seram masih bergantung kepada fake jumpscare (jumpscare yang bukan terjadi karena ada hantu) bersuara keras. This film is just loud. Kalo bukan oleh suara-suara, ‘berisiknya’ film ini bakal datang dari penjabaran atau eksposisi mitologi Ivanna (padahal udah ada adegan flashback juga). Bukti berikutnya horor Ivanna kurang maksimal kudapat di ‘final battle’ Ambar dengan Ivanna. Mereka nyemplung ke sumur tua, dan… adegannya kering banget. Like, literally. Air padahal elemen dan estetik yang hebat untuk cerita horor. Bandingkan saja dengan ‘final battle’ di dalam sumur pada film Ring. Heran juga kenapa Kimo gak jor-joran di sini. Padahal biasanya adegan akhir horor, apalagi slasher, pasti bakal gila-gilaan. Pemain utama bakal didorong fisiknya di sini, dan air bisa jadi medium yang hebat untuk nunjukin perjuangan yang ditempuh. Gak mesti full underwater, yang penting bikin supaya perlawanan terakhir itu tervisualkan. Di Ivanna ini, Ambar bahkan lukanya lebih merah saat jatuh ke basement ketimbang ke dalam sumur.

 

 

Ini certainly film yang lebih fun di antara franchise Danur lainnya. Paling beda. Paling sadis. Paling kelam. Arahannya juga paling menonjol. Terasa punya gaya tersendiri. Dari pengadeganan yang ngasih depth, kejadian film gak hanya berlangsung kiri ke kanan atau sebaliknya tapi juga masuk ke depan layar; membuat panggung yang imersif, sampai ke gimmick penceritaan horor yang lebih beragam. Film mau mengambil waktu untuk memperkenalkan karakter dan membahas backstory. Jika saja naskahnya diberikan kedalaman yang serupa, jika skenarionya lebih mengeksplorasi karakter ketimbang memikirkan jumpscare dan pembunuhan berikutnya, tentulah film ini bisa jadi horor slasher – gabungan bunuh-bunuhan dan supranatural – yang cemerlang. Tapi melihatnya secara objektif sekarang, film ini  style over substance, dengan beberapa gaya bahkan tidak tampil sebebas yang seharusnya bisa dilakukan.
The Palace of Wisdom gives 5  out of 10 gold stars for IVANNA

 

 



That’s all we have for now.

Ivanna adalah gadis Belanda yang bersimpati kepada rakyat pribumi, tapi karena bangsanya penjajah, dia tetap dibenci. Bagaimana pandangan kalian soal ini, apakah pribumi-pribumi itu berhak membenci Ivanna yang bagaimana pun juga ada di sana sebagai bagian dari agenda penjajahan?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 


LAST NIGHT IN SOHO Review

“We romanticize the past with an illusion that we’d know how we’d fit”

 

 

“Hati-hati, di London banyak orang jahat.” Peringatan yang jadi penutup nasihat Nenek sebelum Eloise/Ellie pindah untuk kuliah ternyata merupakan set up bagi bangunan narasi horor Last Night in Soho. Kalimat tersebut membuild-up antisipasi Ellie; cara pandang dirinya terhadap pengalaman yang ia temui dan rasakan sebagai gadis desa yang pindah ke kota besar. Dan tentu saja antisipasi kita juga, karena kita akan melihat dan merasakan semua pengalaman lewat Ellie. Itulah yang membuat karya terbaru Edgar Wright ini sebuah horor atau misteri psikologis yang luar biasa efektif. Tak ada yang lebih menyeramkan daripada seorang perempuan yang merasa dirinya ‘diserang’ oleh banyak pria (dan tak jarang juga oleh perempuan lain) dari berbagai arah. Yang merasa tempatnya hidup begitu enggak aman, sehingga dia harus mencari ke tempat lain. Bahkan, hingga ke waktu atau era yang lain.

Kok bisa? Karena Wright membuat filmnya ini sebagai semacam perjalanan waktu. Setiap kali Ellie tidur di kamar kosnya, dia seperti tertransport ke era 60an yang penuh kelap-kelip. Ellie melihat dunia itu lewat mata Sandie, gadis yang mengejar mimpi jadi penyanyi seperti Ellie yang punya keinginan untuk jadi seorang fashion designer. Tapi kehidupan Sandie si gadis berani yang tahu apa yang ia mau itu seketika jadi inspirasi bagi Ellie. Apalagi memang sejak awal Ellie sudah terobsesi dengan segala sesuatu yang berbau tahun 60an. Ellie rela pergi tidur lebih cepat karena ia udah gak sabar untuk merasakan lagi keglamoran Sandie dan era tersebut.

sohoLast-Night-in-Soho-Thomasin-McKenzie-Anya-Taylor-Joy
Dengan kontras warna biru dan merah itu, tadinya kukira poster Survivor Series Smackdown lawan Raw

 

 

Untuk 30 sampai 40 menit pertama, cerita akan fokus kepada kontras antara Ellie dengan Sandie. Ketika kehidupan kampus dan sosial Ellie tampak penuh orang fake dan toxic – mulai dari pengemudi taksi yang matanya belanja ke kaki Ellie hingga ke teman sekamar di asrama yang manis di depan saja, sehingga kini Ellie tidak bisa memastikan seorang anak cowok yang mendekatinya itu beneran tulus pengen jadi teman atau cuma pengen meminum lebih dari kola miliknya saja – kehidupan malam Sandie tampak lebih aman dan menjanjikan. Menyaksikan dari balik cermin, Ellie melihat Sandie dibantu oleh seorang pria, diberikan kesempatan casting, janji mau diorbitkan, dibela dari mata keranjang; benar-benar disupportlah!

As far as the genre goes, babak pertama film ini memang membuat kita meraba-raba. Selain kemampuan Ellie melihat hantu ibunya di dalam cermin dan perihal Ellie masuk ke era 60an setiap kali tidur (bagaikan mimpi teramat nyata), kita enggak yakin di mana letak horor film ini. Yang terasa kuat adalah misteri kejadian tersebut kenapa bisa terjadi. Implikasi yang dihadirkan adalah hantu Sandie yang membawa Ellie masuk ke era tersebut, karena Ellie punya ‘kemampuan’, tapi itu juga belum membuat film terasa seram. Last Night in Soho memang mengambil waktu selama itu untuk mendaratkan ceritanya ke horor yang dijanjikan. Namun itu bukan berarti film ini tampil membosankan.

Set dan artistiknya stunning semua. Kerja kamera dan tempo editing cepat yang sudah jadi cap-dagang Wright membawa kita melewati set up panjang dan semua kontras itu dengan penuh gaya. Pertama Wright menekankan kontras itu lewat warna. Eloise dan lingkungannya hadir dengan warna-warna biru hingga abu-abu pucat, sementara Sandie melangkah mantap menembus dunia dominan merah di balik dress pink ataupun jaket putih mengkilap. Ellie pada awalnya tampil polos, tidak seperti Sandie yang bibirnya selalu merekah merah. Warna-warna tersebut tentu saja menguatkan karakter mereka. Thomasin McKenzie memainkan Eloise sebagai karakter yang berusaha mandiri, yang berusaha optimis. Dia memang sedikit polos, dan somewhat kurang pede dan kurang agresif (perhatikan rasa bangganya ketika menyebut mengenakan baju rancangan sendiri memudar dengan cepat begitu melihat reaksi dari teman-teman barunya), tapi McKenzie berhasil membuat kita melihat dia sebagai gadis yang gak mudah menyerah. Kita bersimpati pada gadis yang dicap norak dan aneh oleh cewek-cewek seusianya ini. Sebagai Sandie, Anya Taylor-Joy, ditugaskan untuk menjadi antitesis dari karakter Ellie. Dan dia berhasil memainkannya dengan fenomenal. Sandie benar-benar tampak sebagai enigma dimainkan oleh Anya.

Bukannya mau nyamain diri ama sutradara sekelas Edgar Wright, tapi aku punya bayangan yang mungkin sedikit lebih tegas mengenai effort yang harus Wright keluarkan untuk mewujudkan visi kreatifnya di sini. Bikin dua aktor seolah mereka satu orang karakter, yang bergerak selaras dalam pantulan cermin, jelas bukan hal yang gampang. Aku pernah bikin film pendek dengan konsep serupa, dua pemain harus bergerak layaknya seseorang dengan pantulannya, dan hasilnya susah untuk sempurna. Akhirnya aku mengurangi adegan, dari yang banyak gerak menjadi cuma senyum doang hahaha.. Yang dilakukan Wright dalam film Soho ini bahkan lebih kompleks dari adegan sekadar karakter bercermin. Yang dengan budget yang banyak, tentu bisa dilakukan pake efek komputer. Wright di sini betul-betul membuat Ellie dan Sandie terlihat sebagai satu orang, lewat adegan tanpa cermin yang gak-putus. Adegan menari yang Ellie dan Sandienya muncul bergantian, dilakukan Wright tanpa efek editing, melainkan dengan efek praktikal yang menuntut ketepatan dari semua kamera dan juga para aktor.

In some sense, film ini mengingatkanku sama Malignant (2021), horor action campy dari James Wan. Kedua film ini bekerja pada goal yang sama. Pembangunan narasi horor yang membuat kita bertanya-tanya ini sebenarnya film tentang apa – which is add much to the mystery itself. Penggarapan yang mengunggulkan kepada gaya entah itu teknis kamera atau editing. Dan bahkan sama-sama bermain seputar karakter yang ketika tidur tertransport ke tempat lain. Keduanya adalah film yang ingin kita bersenang-senang atas nama horor dan misteri. Kalo perbandingannya dilanjutkan, aku mau bilang, pada akhirnya aku lebih suka Last Night in Soho ketimbang Malignant. Karena walaupun sekilas horor Soho terlihat lebih lemah, sebenarnya Soho punya bangunan cerita dan lapisan psikologis karakter yang lebih berbobot. Yang eventually membuat misteri dan horornya menjadi lebih impactful karena jadi benar-benar beresonansi dengan kehidupan kita di luar cerita.

soholastsohothumb-1634585969073
Apa jadinya film Edgar Wright tanpa soundtrack yang benar-benar mewakili mood?

 

 

Thomasin McKenzie semakin dituntut untuk menyuguhkan permainan yang menakutkan secara emosional, seiring dengan Elliekarakternya yang sudah semakin terattach dan peduli sama Sandie mulai melihat ada yang gak beres sama arahan karir cewek di masa lalu tersebut. Di sinilah set up yang disebutin nenek di awal tadi kembali weighing in ke dalam narasi. Bukan hanya karir dan mimpinya, tapi nyawa Sandie actually jadi ikut terancam oleh orang-orang yang ternyata berniat jahat kepadanya. Terbangun dari tidur, Ellie kini berusaha mati-matian untuk mencarikan keadilan bagi nasib Sandie. Elemen horor terbangun juga dari tidur, merayap di balik usaha Ellie. Gadis itu sekarang melihat hantu-hantu dari orang yang jahat kepada Sandie, seperti jadi mengejar dirinya. Mereka ada di mana-mana!

Eloise yang jadi takut tidur, heck bahkan dia jadi terlalu stress untuk bisa tidur, kehidupan akademis dan sosialnya merosot drastis, ditambah dengan dia menjadi percaya bahwa dunia tidaklah pernah jadi tempat yang baik-baik saja (tidak sekarang, tidak dulu, dan mungkin tidak di masa mendatang) — inilah horor sebenarnya yang digambarkan oleh cerita Last Night in Soho. Ini jauh lebih seram ketimbang wajah-wajah burem ataupun darah-darah muncrat dari penampakan hantu. Wright menunjukkan kepekaannya terhadap perubahan tempo lewat bangunan misteri di dalam narasi seperti yang ia tunjukkan di film ini. Bahwa dia bisa menjalin horor, baik itu lewat komedi ataupun drama, karena dia mengerti bagaimana membangun dan mendeliver. Gaya-gaya tadi bukan cuma supaya gak bosan, melainkan juga merupakan pengalih perhatian yang cantik, makanya gak jarang kita menemukan diri kita caught up by surprise setiap kali menonton film Wright.

Salah satu tema tersembunyi dalam film ini adalah soal nostalgia. Bagaimana orang bisa obses sama nostalgia, meskipun dia enggak ngalamin langsung hal nostalgia tersebut. Seperti Eloise yang ngaku suka 60an, padahal dia hanya tahu itu dari film, musik, atau media lain. Film ini menerjemahkan itu sebagai pelarian. Kemudian film menantang itu dengan pertanyaan “Bagaimana jika tempat tersebut sama saja dengan penyebab kita lari di awal? Do we still love it?” Maka, tidaklah bijak sebenarnya terlalu meromantisasi sesuatu yang kita gak pernah tahu, yang kita hanya rasakan sebagian kecil dari kebaikannya saja.

 

Hantu-hantu itu menyimbolkan ‘penyakit’ di masa lalu akan terus menghantui masa depan. Malah tidak akan berakhir atau tidak akan mati kecuali benar-benar ditindak, seperti yang diketahui Ellie bahwa ada satu pelaku dalam tragedi Sandie yang masih hidup di masa sekarang. Lalu, di puncak konflik Ellie, Wright membalikkan narasinya. Begitu jungkir-balik sehingga pesan tadi menjadi sedikit kabur. Menurutku, pilihan twist yang melibatkan revealing identitas satu karakter yang membuat role (pelaku dan korban) jadi kebalik inilah yang membuat Last Night in Soho jadi terbagi dua penontonnya. Gagasan yang diusung lewat pembalikan itu, aku bisa lihat, tidak mudah diterima bagi penonton. Especially karena menyangkut gender sebagai subjeknya. Jadi gak heran juga banyak yang menolak memberi skor tinggi, urung merekomendasikan, atau bahkan mengkritik keras film ini. Mungkin itu juga sebabnya kenapa film ini cepat kandas di bioskop.

Padahal menurutku memang fenomena itulah yang sedang diperiksa oleh film. Sedari awal “banyak orang jahat” itu sudah dilandaskan. Yang berarti bahwa ya, orang jahat ya bisa ada di mana-mana. Bisa siapapun. Seorang yang jadi korban ketimpangan atau kekerasan, tidak berarti mereka tidak akan bisa menjadi orang jahat. Tidak berarti setiap tindakan mereka bisa terjustifikasi. Pembunuh massal tetaplah pembunuh massal, tidak peduli dia hidup di era 60an atau di era woke kekinian.

 

 

 

 

Kekurangan film ini bagiku cuma, ceritanya belum berhasil betul memperlihatkan korelasi antara kerjaan Ellie – keberhasilannya sebagai siswa perancang busana – dengan misteri yang ia alami. Kita tidak dikasih lihat secara detil bagaimana kenyataan yang ia sibak itu berdampak kepada rancangan Ellie. Selebihnya, film ini sendiri bagai seni kontemporer. Misteri yang dengan balutan visual yang cantik sekali. Hadir dengan tetap berbobot, dan semakin gorgeous berkat penampilan akting yang flawless. Aku mungkin sedikit bias karean Thomasin dan Anya cakep-cakep, but they do understand the assignment, dan aku gak melihat ada ‘nada sumbang’ dari penampilan mereka di sini. Sedangkan untuk Edgar Wright, aku gak setuju sama yang bilang sutradara ini belum fasih di horor. Wright cuma punya formula sendiri, dan dia menerapkan horor ini ke dalam formula tersebut. Memang, hasilnya tidak seperti horor yang biasa. Ini adalah horor unik dengan implikasi gagasan yang tak kalah seram.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for LAST NIGHT IN SOHO

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa kita suka meromantisasi nostalgia? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

JANIN Review

“Abortion is the ultimate exploitation of women”
 

 
Cara terbaik menikmati Janin (penggalan ini seriously terdengar lebih seram daripada seantero filmnya yang hanya jumpscare-fest) adalah dengan menganggapnya sebagai horor peringatan untuk tidak melakukan aborsi ataupun memaksakannya, meskipun persoalan aborsi itu sendiri – sama seperti para tokoh-tokohnya – hanya dipajang ala kadar tanpa benar-benar ada pendalaman.
Randu sudah menyiapkan kamar khusus dengan perabotan bayi demi menyambut kelahiran putri pertamanya. Lengkap mulai dari crib hingga stroller. Namun sang istri, Dinar, malah merasa takut di dalam rumah – terutama di ruangan tersebut. Telinga Dinar mendengar senandung di sana, matanya menangkap sekelebat bayangan di sana. Sebagai seorang pria yang seharian bekerja di kantor, Randu terang saja tak percaya ada hantu di rumah mereka. Ia lebih percaya ‘bahaya’ itu datang dari tetangga baru mereka, Bu Sukma, yang sikapnya aneh. Jelalatan menatap perut Dinar – yang kalo ngobrol tangannya terus megang perut Dinar. Maka Randu menyewa jasa suster untuk menemani dan mengurus Dinar di rumah. Hal-hal mengerikan toh tetap berlangsung walaupun si suster pendiam sudah mulai bekerja di rumah mereka. Dinar dan janin yang dikandungnya jelas menjadi target serangan si hantu. Misterinya – bagi Randu – adalah siapa yang mencoba mencelakai keluarganya; Bu Sukma yang jika namanya dipenggal literally jadi Bu-Suk, atau si suster yang namanya membuat Randu tertegun.

Susan ternyata gedenya jadi suster, bukan jadi dokter

 
Ketika kita bicara horor, dan ceritanya berpusat pada masalah keluarga, seharusnya ini seperti menemukan minyak di lapangan. Sebuah kesempatan untuk menggali begitu banyak, sedalam-dalamnya. Karena di mana lagi kita menemukan ketakutan yang genuine, yang paling mendasar – paling manusiawi selain misalnya pada ketakutan seorang ibu kehilangan anaknya. Atau ketakutan seorang ayah menanti kelahiran dan actually harus grow up dan menyongsong tanggungjawab – David Lynch membuat cerita yang begitu mengganggu mental dari tema ini pada tahun 1977 lewat film Eraserhead. Janin tampak membicarakan horor serupa, yakni seputar ketakutan menjadi orangtua lewat tokoh-tokoh yang dikarunai jabang bayi pertama mereka. Hanya saja, film ini memulai konflik drama yang menjadi dasar horor tersebut dengan sangat terlambat.
Padahal film mengangkat isu yang cukup marak di kehidupan sosial kita. Mengenai aborsi. Dan kita melihatnya dari sudut pandang pria. Di Indonesia, aborsi masih jadi pembahasan yang cukup tabu, karena masih dipandang secara sempit dalam landasan moral atau agama. Pelaku aborsi ilegal akan dihukum. Pengecualian untuk keadaan yang diatur oleh undang-undang, misalnya pada kasus perkosaan. Ketika melahirkan anak akan menimbulkan gangguan psikis dan efek yang lebih buruk untuk ibu dan bayi. Intinya adala aborsi seharusnya didasarkan kepada consent wanita yang mengandung. Film Janin menunjukkan kepada kita konsekuensi mengerikan saat aborsi diambil alih, dipaksakan consent-nya oleh pria. Praktek yang banyak terjadi. Wanita dipaksa untuk aborsi, kemudian terjerat hukum, sedangkan si pria lepas dari hukum karena hubungan mereka bukan perkosaan.

Film Janin seperti memberikan hard justice bagi wanita-wanita yang menjadi korban seperti demikian. Mereka dijadikan hantu yang membalas dendam. Tapi dengan menjadikan tokoh pria yang memaksakan aborsi sebagai tokoh utama, film juga menantang kita untuk memikirkan kembali sebesar apa hak dan tanggung jawab pria dalam keputusan menggugurkan atau melahirkan anak. Karena kehamilan sesungguhnya juga personal bagi pria.

 
Kita harus mati-matian menahan jemu (sambil menggenggam erat jantung biar enggak copot) sebelum akhirnya sampai ke pokok permasalahan, ke gagasan menarik yang dipunya cerita. Menit keenam; orang berdiri di belakang satu tokoh – jederr! Menit ke empat-belas; Randu mengagetkan istrinya yang membukakan pintu rumah – jegarrr!! Menit ke dua puluh-dua; Hantu teriak tepat di telinga Dinar – jedooorr!!! Jumpscare demi jumpscare susul menyusul – inilah makna horor bagi film Janin. Tidak ada pengembangan karakter. Selama hampir satu jam (perlu diingat film ini hanya berdurasi delapan puluh-lima menit) kita diperlihatkan adegan yang formulanya sama berulang kali. Ada kejadian ganjil, Dinar takut, kita kaget saat ada yang dari belakang menyelamatkan Dinar, Randu enggak percaya waktu Dinar curhat tentang kejadian barusan. Selalu begitu kejadiannya. Tidak ada build up emosi yang membuat kita peduli sama yang ditakut-takuti – kita enggak benar-benar tahu siapa mereka. Horornya pun tidak ada build up selain musik yang tiba-tiba mengerikan dan kamera yang berpanning ke kiri, ke kanan, kemudian BLAARRR!!
Penulisan dialognya pun sebagian besar sangat konyol. Simak contoh percakapan yang dua tokoh lakukan di awal film, yang tampak diniatkan untuk membangun misteri soal ada yang gak beres pada janinnya sekaligus menetapkan ini adalah kehamilan pertama: “Ada yang gerak-gerak di perutku.” / “Kamu kan hamil, ya wajarlah.” / “Tapi…… kenapa baru sekarang ya?” Betapa lucunya. Sebaru-barunya jadi ibu juga, susah untuk menerima ada wanita enggak tahu soal kehamilan. Enggak ada yang seram dari ibu hamil yang merasa ada yang gerak-gerak di perutnya, kecuali film membuat gerakannya dengan penggambaran yang, katakanlah, ekstrim. Tadinya kupikir ini mungkin karena film dibuat dengan dan dari sudut pandang laki-laki, sutradaranya adalah Ook Budiyono. Menurut IMDB, ini adalah film pertama Budiyono. Tapi ternyata penulis ceritanya seorang perempuan, jadi agak aneh juga kenapa pendalaman masalah kehamilan dan aborsi dalam film ini terasa kurang dan sangat tidak personal. Dari arahannya sendiri, film cukup berusaha meskipun sangat standar – seperti menggunakan twist, dan bahkan cenderung menggunakan banyak shot-shot panjang. Seperti tokoh berkeliling kamar, ataupun berjalan di lorong kantor. Walaupun shot-shot panjang tersebut tidak mengandung bobot. Jika pun ada tujuan, itu hanya untuk komedi seperti adegan berjalan di kantor yang ternyata ditutup dengan punchline tokoh berjalan menabrak kaca.

Seharusnya anak Dinar itu namanya Diner aja, karena she’s about to be the dinner of that vengeful ghost!

 
Makanya ketika penjelasan datang, semua terasa sudah terlambat. Padahal ada bagian yang menarik, yaitu ketika ada yang terbunuh di rumah Randu sehingga kini Randu dan istrinya berada dalam pengawasan polisi. Ini unik karena film menyebutkan konsekuensi yang menandakan dunia mereka masih berjalan dengan sistemnya. Namun semua itu hanya disebutkan selewat. Tidak ada waktu lagi untuk mengembangkannya. Kita tidak punya kesempatan lagi untuk terinvest sama kejadian backstory yang melandasi karakternya. Karena segala aspek penceritaannya sebelum ini, menghalangi kita masuk ke dalam cerita. Randu dan segala alasannya, pada akhirnya tak berkembang dan hanya terlihat sebagai bajingan yang pantas untuk mati. Kita bahkan enggak mendukung istrinya, melainkan justru hantunya. Rasa bahaya dari ibu hamil yang diganggu hantu lantas sirna.
Dalam film tentang janin yang menakut-nakuti manusia, seharusnya film langsung saja karena asumsi akan otomatis mengarah ke soal aborsi. Film harusnya lebih menggali ke persoalan mengapa Randu memilih Dinar. Konfrontasi Randu dengan efek praktek aborsi yang ia pilih seharusnya lebih dibahas, karena film punya tokoh pendukung yang berkaitan langsung dengan peristiwa ini. Salah satu penanda naskah film ini sangat lemah adalah banyak tokoh yang enggak berhasil dikenai peran atau fungsi yang meyakinkan. Tokoh Bu Sukma dan suster itu praktisnya sama saja gak ngapa-ngapain karena mereka hanya device. Dan ada satu tokoh lagi yang ujug-ujug dijadikan hero padahal dia enggak melakukan apa-apa sebelumnya. Malah ada adegan tokoh ini nangis, dan kita diharuskan bersedih bersamanya – yang gagal total karena hingga momen penghabisan itu kita hanya tau satu hal tentang dirinya
 
 
Dengan elemen horor yang prematur dan sebaliknya daging cerita yang terlalu lambat muncul, film ini sudah seperti buah suatu perkawinan yang tidak diinginkan dari naskah yang dangkal dan pengarahan yang clueless.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for JANIN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Seberapa besar menurut kalian peran seorang pria dalam kehamilan/aborsi seharusnya?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

ROY KIYOSHI: THE UNTOLD STORY Review

“With great power comes great responsibility”

 

 

 

Menjadi seperti Roy Kiyoshi mungkin adalah impian segenap orang; punya kekuatan dan menggunakannya untuk membantu orang lain. You know, seperti pahlawan. Sejak nongol di acara televisi, Roy Kiyoshi sudah terkenal punya kemampuan indigo. Tapi punya acara tivi hits karena bisa melihat hantu dan ‘meramal’ peristiwa yang belum terjadi ternyata tidak serta merta merupakan hidup yang menyenangkan. Ada beban yang harus dipikul. Horor terbaru Jose Poernomo ini membahas tentang sisi gelap dari kehidupan Roy Kiyoshi sebagai seorang yang bisa melihat berbagai penampakan di dalam gelap. Tentang kehilangan yang harus ia terima, tentang bagaimana dia berjuang keluar dari kekalahan yang terus-terusan merundung.

Semakin banyak ‘kekuatan’ yang bisa kita lakukan, maka tanggungjawab yang kita pikul pun semakin berat. Sejarah menunjukkan banyak orang yang justru menjadi rusak oleh kekuatan mereka sendiri; Hitler, Napoleon, bahkan penduduk Atlantis diceritakan punah karena mereka terlena dan gak mampu memanfaatkan kemampuannya untuk kebaikan. Film ini menunjukkan dengan simpel; jika kita punya sesuatu yang lebih dibandingkan orang lain, maka gunakanlah kelebihan tersebut untuk kebaikan.

 

Kupikir cerita akan fokus kepada Roy Kiyoshi yang memerankan dirinya sendiri. But actually, cerita film ini seperti terbagi dua. Kita akan melihat Angel Karamoy sebagai Sheila yang baru mulai bekerja di kantor LSM yang menangani kasus kekerasan terhadap anak. Cerita Sheila ini praktisnya lebih menarik, dia lebih kuat sebagai tokoh utama. Sheila terobsesi sama kasus penculikan anak-anak karena dia juga punya adik yang hilang diculik. Ketika Sheila mengetahui ada pegawai di kantor yang bunuh diri saat tengah menginvestigasi serangkaian kasus anak-anak yang menghilang misterius, Sheila melakukan apa yang harusnya dilakukan oleh seorang tokoh utama cerita yang kuat. Dia masuk ke kasus tersebut dengan ‘paksa’. Kita akan melihat adegan penyelidikan kecil-kecilan saat Sheila semakin larut ke dalam misteri. Dan puncaknya adalah ketika dia menemukan hal ganjil dan kemungkinan pelaku semuanya adalah hantu.

Kisah Sheila ini bisa jadi satu cerita horor yang utuh, aku membayangkannya malah bisa seperti The Ring (2002) di tangan yang tepat, di pundak yang lebih bertanggung jawab yang tak memikul kepentingan apa-apa. Aku juga suka sama desain Banaspati, tokoh setan, dalam tokoh ini. Mukanya kayak hantu samurai Jepangnya, badan kurus tingginya menyala seperti bara api – cocok dengan mitologi jawa Banaspati yang memang setan berelemen api. Efek apinya memang agak cheesy tapi masih bisa dimaklumi dan lumayan bisa diasosiasikan sebagai sesuatu yang creepy. Tapi ini adalah cerita tentang Roy Kiyoshi. Maka every now and then kita akan ditarik pergi dari sisi Sheila untuk melihat Kiyoshi yang depresi, yang berhujan-hujan, yang menyusur garis pantai membeli minuman keras, menenggaknya di kediaman yang mewah, dengan tone warna yang keabuan, dengan narasi voice-over yang menceritakan gimana peliknya gundah di dalam hati sang anak indigo ini.

Di balik penampilan yang katanya cool, sesungguhnya ada pribadi yang tersiksa

 

Tentunya juga ada tanggung jawab tersendiri yang hadir ketika sebuah cerita dijual sebagai kisah nyata yang belum pernah diekspos ke publik sebelumnya. I mean, cerita tersebut mestilah meyakinkan sebagai kisah yang benar-benar bisa terjadi di dunia nyata kan. Well to be honest, aku susah percaya bahwa tokoh kita ini beneran punya adek yang hilang diculik hantu selama tiga tahun. Bisa jadi semua kejadian di film ini benar, yang mana masuk akal kenapa kejadian itu difilmkan. Siapa-lah kita mempertanyakan kebenaran hidup seorang yang melihat jauh lebih banyak makhluk halus daripada kita. Film tidak pernah menjelaskan mana elemen nyata atau mana yang tidak dalam cerita ini. Atau bisa jadi yang benar cuma bagian Roy Kiyoshi yang menutup diri sementara semua bagian yang diperankan Angel Karamoy hanya pengait cerita.

Pasalnya, setiap kali cerita berpindah ke bagian Kiyoshi, aku merasa pengen cepet-cepet pindah lagi ke bagian Sheila. Apa menariknya melihat orang yang sepanjang adegan gitu-gitu mulu. Mengasihani diri sambil minum alkohol. Cara yang aneh untuk membangun tokohnya sebagai seorang pahlawan. Tidak ada momen pembelajaran pada bagian Kiyoshi. Dia hanya depresi sebagian besar durasi – naskah mencoba membuat penonton bersimpati padanya hanya karena ada kejadian mengerikan yang terjadi di masa lalunya tanpa membuat tokoh ini melakukan sesuatu – dan ketika film udah mau habis barulah tiba-tiba dia bergerak menjadi penyelamat yang menolong Sheila, yang mengalahkan si setan Banaspati. Kita diniatkan untuk bertepuk tangan menyemangati pertempurannya yang udah kayak sekuen battle di anime – you know, ketika ada jagoan melawan monster. Tapi yang kurasakan hanya kekosongan pahit. Film tak berhasil membangun tokoh Kiyoshi sebagai jagoan. Baik Sheila dan Kiyoshi sebenarnya punya persoalan personal dengan si setan, mereka punya motivasi, tapi di akhir itu film mengesampingkan tokoh yang benar-benar melakukan aksi sedari awal. Dengan tak adanya emosi genuine yang kita dapatkan, filmnya semakin diperberat oleh kesan bahwa filmnya begitu panjang padahal enggak sampai sembilan-puluh menit. Sini kuberitahu penyebabnya apa:

Film ini tidak punya babak kedua.

 

Struktur naskah film standarnya berbentuk tiga-babak. Babak satu untuk set up. Babak dua untuk naiknya aksi dan tensi. Babak ketiga untuk penyelesaian. Pengalokasian waktunya biasanya sekitar 25% babak pertama, 50% babak kedua, dan 25% terakhir adalah babak ketiga. Sebagian besar film – kecuali yang eksperimental – ‘masuk’ ketika kita menerapkan pembabakan ini ke dalam ceritanya. Film Roy Kiyoshi, sungguh tak-disangka tak-dinyana, menolak untuk masuk ke dalam struktur tiga-babak. Film ini tidak punya rising action. Babak kedua sama datarnya dengan babak pertama. Baru di babak ketigalah klimaks itu hadir begitu saja.

Itu yang jadi Fitri aku mau ngasih saran untuk daftar Gadis Sampul deh, tiga atau empat tahun lagi

 

Dari selepas sepuluh menit pertama hingga tiga puluh menit terakhir, Kiyoshi tidak melalui perjalanan apapun. Tidak ada ‘cara mudah’, ‘intensitas naik’, ‘taktik baru’, dia hanya minum dan minum. Sheila masih mendingan. Di akhir babak pertama dia menemukan petunjuk kalo ada setan di balik ini semua, tapi bahkan bagi tokoh ini pun plot mengalir datar dengan tidak ada usaha lain selain bertanya dan bertanya hingga dia bertemu dengan kontak Kiyoshi. Pertemuan Sheila dan Kiyoshi juga terjadinya telat banget. Mestinya terjadi di babak kedua, paling enggak sekitaran mid-point, karena dengan begitu di babak tiga nanti keduanya sudah menjadi pribadi yang baru saat berhadapan dengan demon masing-masing. Tapi pada film ini, Sheila dan Kiyoshi baru bekerja sama di babak tiga. Bahkan stake waktu (Banaspati akan menculik korban baru tiga hari dari sekarang) pun baru muncul di babak akhir ini. Babak sebelumnya kedua tokoh lempeng-lempeng aja tanpa ada desakan narasi. Mereka menghabiskan begitu banyak waktu untuk enggak melakukan apapun terhadap perjalanan tokohnya. Jadi, babak ketiga film ini terasa sumpek. Setelah pertengahan yang kempes banget sehingga seperti babak set up yang diperpanjang, kita langsung masuk babak akhir di mana terasa seperti babak dua dan tiga dicampur menjadi satu. Makanya 30-20 menit terakhir itu rasanya lama banget. Begitu banyak yang terjadi, Kiyoshi aja sampe sempat-sempatnya bertapa di pedalaman, bikin aku melirik jam histeris “Ini durasi udah sepuluh menit lagi habis kenapa dia masih kayak latihan yang harusnya ada di sequence ke enam?”

 

 

 

 

Cerita Sheila sebenarnya menarik jika digarap dengan kompeten. Desain hantunya juga lumayan seram. Film ini cukup janggal, dalam artian yang menarik. Seperti misalnya adegan kredit pembuka yang dengan berani membawa kita bergerak dari kanan ke kiri alih-alih progresi kiri ke kanan. Lebih lanjut ke penghabisan, yang dilakukan film ini sesungguhnya mendobrak struktur cerita film, tetapi at this point aku sungguh meragukan pembuat film ini tahu apa yang sedang mereka lakukan. Mungkin bukan hanya buat horor, melainkan film ini sudah seperti wajah baru bagi penulisan naskah film Indonesia. Hanya saja, wajah itu enggak cakep.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for ROY KIYOSHI: THE UNTOLD STORY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Relakah kalian melakukan sesuatu yang kalian jago untuk orang lain, for free? Pernahkah kalian menahan diri untuk membantu orang karena kalian pikir akan membuat hal menjadi semakin ribet? Apakah menurut kalian membantu orang lain itu harus sesuai dengan mood?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

DREADOUT: Menjawab Ketakutan Para Fans – [Movie Preview]

 

Film horor Indonesia pertama yang diangkat dari game!

um… wait, let me rephrase that..

Game Indonesia pertama yang begitu sukses secara internasional akhirnya diangkat menjadi film!!!

panjang, but I like the sound of that better.

 

Karena DreadOut buatku, dan aku yakin buat penggemar game survival-horror lainnya juga, adalah game yang fenomenal. Aku malah pertama kali tahu game ini dari channel youtuber luar. Padahal game PC ini terlahir di Bandung, lho! Melalui crowdfunding, developer Digital Happiness berhasil mewujudkan khasanah mitologi horor lokal, terinspirasi dari mekanik game Fatal Frame (2001) dari Jepang, menggabungkan dua elemen tersebut membentuk dunia dan atmosfer yang nyata-nyata fresh nyeremin, seketika membuat para gamer di seluruh dunia berlomba-lomba untuk berpetualang motoin hantu bersama tokohnya, Linda. Jadi, mengatakan ini film pertama yang berani mengadaptasi dari game (lewatlah sudah adaptasi novel dan personal literatur) terdengar agak sedikit ‘mengecilkan’ di telingaku, lantaran, enggak setiap hari kita melihat ada game buatan Indonesia yang menarik perhatian dunia seperti yang berhasil dilakukan oleh game Dreadout. It was more than deserved to have its own movie. Dan lagi, buatku yang penggemar film, sekaligus penggemar game, also, horor adalah genre favoritku untuk keduanya, Dreadout adalah kulminasi dari apa yang namanya ultimate entertainment.

Fans sudah lama bermain-main dengan kemungkinan misteri Linda dengan The Lady in Red diangkat ke layar lebar. Beruntung produser Wida Handoyo
(Petak Umpet Minako)
yang kebetulan juga penggemar horor, dan pengembang DreadOut Rachmad Imron, peka dan actually listen to the fans, and long story short, ini teaser film DreadOut garapan mereka:

 

 

Tapi…. kok agak lain ya?

Seperti lumrahnya film adaptasi video game di luar negeri, DreadOut ini cukup ‘mengerikan’ buat fans gamenya. Karena ada ekspektasi, ada standar yang sudah di-set. Apakah film ini nantinya akan sesuai dengan ekspektasi. Kita takut filmnya nanti enggak sama. Takut kalo nanti hanya berupa proyek cari duit yang gagal paham mengenai apa sih yang membuat gamenya dicintai in the first place. Aku punya segudang pertanyaan yang menumpuk setelah melihat teaser tadi, to be honest, sebagian besar berupa keraguan.

Beruntung, Minggu tanggal 11 November lalu, aku dapat kesempatan duduk semeja bareng cast dan pembuat film DreadOut. Di antaranya ada Caitlin Halderman, Irsyadillah, Wida Handoyo, dan Rachmad Imron. Kita cuap-cuap seru seputar film ini. Pertanyaan pertamaku literally apakah pocong naik motor bakal ada dalam film hahaha.. Jadi ini dia, lima hal yang dikhawatirkan oleh para fans, dijelaskan dengan penuh passion oleh tim DreadOut:

 

Ceritanya kok beda?

Game DreadOut menceritakan tentang Linda bersama teman-teman sekolah dan ibu Guru mereka yang ‘terdampar’ di sebuah kota mati. Linda menemukan dia bisa melihat makhluk gaib lewat smartphonenya. Sebagai pemain, kita memerankan Linda; menguak misteri di kota, di sekolah kosong, di bangunan-bangunan angker, motoin hantu-hantu yang muncul sebagai cara untuk survive. Ada tema reinkarnasi pada plot game. Dari teaser, set versi film memang cukup mirip, hantu-hantunya bisa kita kenali, tapi ada sedikit perbedaan dari rangkaian adegan. Menurut sinopsis, film ini bakal bercerita tentang Linda dan teman-teman sekolahnya yang berkunjung ke apartemen kosong, dalam usaha mereka mencari konten yang bisa viral. Mereka menemukan portal ke dunia lain, dan semua kengerian terlepas dari sana. Tokoh-tokohnya pun ada yang tidak kita tahu. Seperti Irsyadillah, salah satu cast yang hadir malam itu, yang memerankan Beni – tokoh yang tidak ada di game.

Mbak Wida dan mas Imron menjelaskan, naskah film yang dikembangkan dalam empat tahun ini (gamenya rilis 2013) dikawal ketat oleh pengembang game. Perbedaan yang kita rasakan di teaser dikarenakan film DreadOut mengambil timeline sebelum kejadian yang dialami Linda di dalam game. IT’S A PREQUEL STORY. Film basically membawa kita berkenalan dengan Linda lebih jauh lagi, siapa dirinya, darimana dia mendapat ‘kekuatan’ bisa melihat makhluk halus lewat media tertentu. Film ini membahas akar dari mitologi semesta DreadOut, termasuk menggali lebih dalam hubungan Linda dengan Lady in Red dan The Three Sisters yang jadi bos terakhir dalam versi game.

 

 

Kok Kimo Stamboel sih?

Jika memikirkan sutradara Kimo Stamboel dan video game dalam satu frame konteks, maka aku akan kepikiran Mortal Kombat. Rasanya lebih klop. Kimo yang rekam jejaknya menggarap horor dengan aksi brutal berdarah-darah tampak long stretch jika dikaitkan dengan DreadOut; game survival yang senjata utama protagonisnya (cewek pula) adalah kamera. Hanya ada sedikit porsi aksi dalam game yang mengutamakan menguak misteri ini. Yang aku ingat hanya ada satu adegan laga di mana kita harus kabur dari kejaran teman Linda yang berubah menjadi semacam zombie. Jadi, sebenarnya ke mana arahan film ini akan dibawa? Apakah Kimo adalah pilihan yang tepat jika mengincar horor untuk remaja?

“Awalnya, memang film ini rasa mas Kimo banget” Mas Imron mengenang kisah pertama kali proyek DreadOut mendapat lampu hijau, “Sedari bikin gamenya dulu, saya memang sudah berangan-angan kalo ntar dijadiin film, sutradaranya kalo bisa Kimo Stamboel” Harapan tersebut kewujud, karena Kimo-nya sendiri yang menawarkan diri ikut kerja sama. Ada alasannya kenapa butuh empat tahun untuk merampungkan naskah. Masing-masing kepala bekerja untuk mencari jalan tengah yang paling baik. “Semuanya terasa kekeluargaan,” kata mbak Wida. Banyaknya re-write, brainstorming ide-ide, semua saling mendengarkan dan mengisi.

Rest assured, film DreadOut akan tetap punya ciri khas Kimo sebagai sutradara, ciri yang sudah menjadi trademark dan yang digemari oleh fans – mbak Wida bilang film akan jatuh di rating 17 – dengan tidak mengenyahkan elemen-elemen yang membuat gamenya begitu diminati. Elemen seperti memotret hantu tetap dijadikan sebagai poin utama.

 

 

Lindanya gimana, gak salah casting tuh?

Aku sendiri tidak pernah begitu mempermasalahkan soal casting, malah sebagai tukang review film, aku selalu senang jika ada pemain yang berani mengambil tantangan; yakni peran di luar kebiasaan genre film yang biasa dimainkannya. Apalagi bintang muda seperti Caitlin Halderman, yang masih punya banyak untuk dibuktikan.

Sebenarnya perihal ini, mbak Wida sama mas Imron-lah yang curhat, bahwa mereka mendapat banyak komen dari fans seputar pemilihan pemain regarding penampilan fisik. “Seperti ketika banyak yang protes Lara Croft dimainkan oleh Alicia Vikander,” ujar mbak Wida. Saat mencari pemain, mbak Wida ngescout talent dengan nonton film remaja, dan dia melihat ‘sesuatu’ dari Caitlin. Dia percaya aktris remaja tersebut bisa memberikan sesuatu buat Linda. Untungnya, Caitlin enggak menolak ditawarin main horor.

“Aku gak main gamenya, karena… alasan utamanya sih takut,” gelak Caitlin, “Tapi horor adalah pertama buatku. Aku biasanya main di drama, it’s a big opportunity buatku bisa main di horor, apalagi sutradaranya mas Kimo” Caitlin lebih lanjut menceritakan gimana Kimo ngepush para cast untuk memberikan penampilan yang berbeda, yang enggak standar. “Misalnya meja gerak sendiri nih, kalo di horor lain, kan, biasanya tokohnya ketakutan tapi takutnya itu takut bengong. Nah, mas Kimo mendorong kami untuk memberikan ekspresi takut yang benar-benar mendalam dengan gestur-gestur yang ekspresif,” sambil cerita Caitlin actually memperagakan dengan kocak mana yang takut bengong, mana takut yang nyata.

tips survive di horor game ala Linda dan Beni: Ikutlah menjerit saat yang main gamenya menjerit hhihi

 

Menjalani banyak latihan fisik yang intens, Caitlin bangga bisa melakukan sendiri stun-stun ‘keras’ yang diberikan kepada tokoh yang ia perankan. “Dilempar-lempar. Ditarik-tarik pake sling. Sampe kena celurit. Prop sih, tapi luka juga hahaha” Dari pengkarakteran sendiri, banyak ruang bagi Caitlin untuk menghidupkan Linda. Dalam game, Linda kan hampir enggak ada dialog – dia tipe silent character. Jadi tugas Caitlin-lah untuk meniupkan ruh kepada tokoh ini. “Nanti setelah filmnya keluar, penonton akan melihat Linda dalam film ini dan berpikir, ya inilah Linda yang sebenarnya” kata mas Imron.

 

 

Hantunya muncul semua gak?

Sayangnya, memang tidak semua hantu yang muncul di game bisa dihadirkan di film karena cerita yang mengambil set sebagai prekuel. The Three Sisters akan banyak mendapat sorotan sehubungan cerita yang menggali latar Linda. Tapi jangan khawatir, hantu-hantu lain yang ikonik seperti pocong-pocong bersenjata akan tetap muncul. Bahkan, menurut mas Imron, secara detil Kimo memasukkan throwback elemen-elemen yang ada di dalam gamenya sebagai reference atau ajang seru-seruan yang pasti langsung bisa dikenal oleh penonton yang pernah memainkan gamenya.

Pertimbangan kemunculan hantu-hantu ini adalah mereka tidak mau mengumbar terlalu banyak, para pembuat ingin menyimpan misteri untuk kesempatan yang akan datang.

 

Jadi apakah bakal ada sekuel? What next in line dalam franchise DreadOut?

Mitologi DreadOut memang luas sekali. “Kami memang sudah membuat cabang-cabang cerita dan lore di dunia game tersebut” kata mas Imron. Gamenya sendiri sudah dalam pembuatan sekuel. Harapannya memang filmnya juga bakal ada sekuel lantaran cerita yang begitu kompleks dari semesta ini. Makanya, film DreadOut ingin tampil netral; maksudnya mereka ingin DreadOut tidak hanya membuat penasaran para gamer, namun juga para penonton yang tidak bermain game. Pasar internasional juga turut menjadi inceran mengingat gamenya sendiri memang lebih banyak menuai untung dari pasar luar. “Yang diincar terutama adalah branding productnya” sambung mbak Wida. Mereka percaya para gamer pasti akan menonton film ini, tantangannya adalah bagaimana menarik appeal dari penonton casual. Melihat dari jajaran cast yang sudah punya fans base kuat – mereka juga memasang Jefri Nichol, Marsha Aruan, Hannah Al Rashid, Ciccio Manaserro, Susan Sameh – sepertinya jumlah penonton enggak bakal menjadi masalah buat film ini.

“Kalo game sehits DreadOut yang udah terkenal di luar negeri dibikin filmnya, masa iya sih penggemar game di sini pada gak mau nonton?”

 

 

 

Jadi apakah film ini bakal terhindar dari kutukan-film adaptasi game?

Well, kita hanya bisa menjawab pertanyaan itu setelah film DreadOut tayang bulan Januari 2019 nanti.

thank you, we’ll see you soon

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pada pernah main DreadOut belum? share dong momen terWTF kalian, hantu favorit, kejadian lucu dan segala macem hihi

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ASIH Review

“None of us wants to be reminded that dementia is random, relentless, and frighteningly common.”

 

 

 

Kuntilanak itu bernama Asih. Tapi pada saat masih hidup, dia bernama Kasih. Kenapa perubahan namanya itu penting banget untuk dikasih tahu dalam cerita, aku juga tidak tahu. Malahan, tadinya aku mengira spin-off dari semesta Danur (adapatasi dari cerita Risa Saraswati) ini akan membahas banyak mengenai origin si Asih, kayak, kita akan melihat kehidupan dia semasa masih manusia, lebih jauh mengungkap siapa dirinya sebelum peristiwa naas yang ‘mengubah’ dirinya menjadi hantu. Tapi ternyata informasi lebih dalam tentang Asih paling penting menurut film ini adalah bahwa nama aslinya bukan Asih. Jadi, kita tidak melihat Asih semasa hidup lebih banyak dari apa yang sudah kita lihat di film pertama Danur: I Can See Ghosts (2017).

Kisah tragis Asih menjelang kematian dan tie-in-nya dengan Danur pertama diputer kembali di menit-menit awal, membuat penonton yang baru pertama kali menonton semesta kisah ini mengerti apa yang harus dihadapi. Buat penonton yang ketiduran di menit awal tersebut, film akan mengulang flashback penjelasan siapa Asih di sekuen pengungkapan. Tujuh-puluh-delapan menit durasi cerita akan terasa semakin singkat lagi berkat ‘usaha’ mereka menjalin satu cerita yang utuh. Jadi, ini adalah cerita tentang Asih saat dia masih jadi ABH. Pada tahu ABH gak? Sama kayak ABG, namun ‘Gede’nya diganti dengan ‘Hantu’. Baru seminggu dia menjadi hantu, Asih menyerang keluarga pasangan Citra Kirana dan Darius Sinathrya yang lagi bersiap menyambut kelahiran bayi Amelia. Tak bisa kita sangkal memang, Shareefa Daanish sungguh menyeramkan dengan dandanan setan. Enggak butuh efek sound yang menggelegar sebenarnya, jika kita sudah punya penampakan Danish yang lagi in-character sebagai hatu. Tapi di samping fakta bahwa dia adalah hantu, dan hantu kudu mengganggu orang yang masih hidup, kita tidak pernah benar-benar diajak menyelami konflik personal para tokohnya; akar yang menjadi penyebab kejadian-kejadian dalam film ini terjadi.

Asih mungkin kurang asi, atau salah asuhan.

 

Mitos, pamali, superstition, apapun namanya, tahun 1980 adalah masa keemasan bagi kepercayaan gaib semacam itu. Tidak banyak yang mempertanyakan, apalagi menentang. Suasana ini dijadikan panggung cerita oleh film. Ari-ari bayi yang harus dikubur dengan cara tertentu di pekarangan rumah, bunyi ciap-ciap anak ayam di malam hari, elemen-elemen mistis ini dimasukkan ke dalam cerita demi membangun suspens. It is interesting. Dan cukup berhasil menguarkan keseraman. Film juga membuat ‘aturan’ sendiri, seperti diceritakan jika kita mendengar bunyi pukulan ronda yang jumlah ketukannya lebih satu dari pukul berapa malam itu, maka itu berarti bukan karena si Penjaga Malam sudah pikun. Melainkan itu sebagai tanda ada makhluk halus tak-diundang yang berada di sekitar daerah tersebut. Eventually, ketika bunyi pukulan tiang itu beneran terdengar oleh tokoh film, kita bakal ikutan menghitung ketokannya sambil menahan napas.

Tingkatan tertinggi yang bisa dicapai oleh film ini adalah mereka sebenarnya bisa membuat Asih sebagai cerita tentang ketakutan orang tua terhadap kepikunan (senile). Kita melihat tokoh nenek yang sudah mulai pikun merasa kesulitan menangani kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya. Nenek ini bingung, satu kali dia mandi lupa mengambil handuk. Kali berikutnya dia merasa sudah memindahkan bayi ke teras, tapi ternyata bayi beserta kereta dorong (yang dalam nada polos yang kocak ia sebutkan lebih tua daripada usianya) tersebut masih mandi matahari yang panas di halaman rumah. Terduga pikun atau bukan ini actually menciptakan friksi dengan anggota keluarga lain, khususnya tokoh Citra Kirana. Dan menurutku bisa dikembangkan menjadi bagaimana jika orang yang muda juga mulai merasa dirinya pikun alias dementia. Film ini punya potensi menjadi sangat cerdas memparalelkan hantu dengan dementia, dia bisa memiliki sudut pandang yang unik dengan menggali aspek tersebut. Tapi film tidak mengacuhkan aspek cerita ini, karena film hanya mengincar nilai hiburan.

Menurunnya kemampuan mengingat atau istilah seramnya kehilangan ingatan secara perlahan adalah salah satu hal paling menakutkan yang bisa menimpa manusia. Lebih mengerikan daripada menjadi hantu. Buktinya, kita percaya, hantu ada karena mereka masih penasaran sebab terpisah oleh sesuatu yang ia sayangi. Yang berarti bahkan sebagai hantu sekalipun, kenangan atau ingatan itu masih ada; kita mau percaya bahwa ingatan adalah satu-satunya yang dipunya oleh hantu. Kengerian dementia lebih besar daripada itu karena kita bisa lupa pada apa yang kita cinta, bahkan saat kita masih hidup.

 

 

Selain tokoh si nenek yang barely punya karakter. Karakternya adalah kepikunannya, tokoh-tokoh yang lain tampil total polos. Tokoh Citra Kirana hanya seorang ibu yang mengkhawatirkan keselamatan putri yang baru lahir. Tokoh Darius Sinathrya adalah suami yang tidak percaya kepada kekhawatiran istrinya. Si bayi pada ujungnya akan diculik, seperti pada cerita-cerita horor Awi Suryadi sebelumnya. Dan tentu saja, ada paranormal misterius, dan nanti akan ada tokoh utama yang kesurupan. Pretty basic, dengan struktur cerita yang ala kadar, plot yang kosong. Tapi nilai hiburan film ini memang meningkat. Dalam artian, film mulai mengembrace kekonyolan yang ada, mereka kini tampak mengincar status “so bad, it’s good”. Eksposisi dilakukan dengan komedi. Adegan satpam dengan penjual nasi goreng itu tak ada kepentingan dan kelanjutan selain untuk membuat kita tertawa sembari mereka menjelaskan info seputar mitos menyeramkan. Adegan para tokoh berpegangan di meja makan adalah adegan paling kocak seantero semesta Danur. Menginteferensi tone, memang, tapi film sesungguhnya sudah membangun selera humornya yang aneh ini sedari awal-awal cerita. Selain lelucon, kita juga akan diajak bermain-main dengan jumpscare yang kali ini timingnya lebih diatur dan volumenya lebih dinaikkan lagi.

aku harap bayinya gak masuk angin malem-malem dimandiin di luar.

 

Dan segitulah batas kengerian film ini. Loud dan ngagetin. Sebagian besar adegan seram berawal dari seseorang yang merasa melihat orang lain lagi lewat di lorong rumah. Atau mereka merasa ada yang ganjil gitu aja ketika lagi nyuci atau lagi sembahyang. Dan mereka lanjut teriak-teriak mencari penghuni rumah yang lain. Kejadian begini sungguh amat lemah, usaha yang minimal sekali dalam memancing kengerian dalam film horor. I mean, masih mending jika setting cerita adalah di hutan dan para tokoh tersesat sehingga mereka teriak mencari rekannya. Perlu diingat, Asih mengambil tempat di dalam lingkungan sebuah rumah, yang bahkan tidak terlalu besar. Terus-terusan melihat orang dewasa penghuni berteriak-teriak mencari orang yang bahkan enggak hilang di lingkungan ‘sempit’ tersebut seolah mereka bocah kecil yang nyasar di mall memanggil emaknya, sungguhlah sebuah pengalaman yang jauh dari menyeramkan.

Coba tebak apa yang terjadi begitu si tokoh menemukan orang yang ia cari?

Yup, dialog menjemukan “Ibu tadi lewat sana?” “Enggak kok.” Dan kita supposedly merasa merinding menyaksikan percakapan mereka yang begitu-begitu melulu seperti demikian. Jeng-jeng! 

 




Adegan ngagetin yang dimaksudkan sebagai adegan seram -> eksposisi yang disamarkan dengan komedi -> development karakter berupa tokoh yang tadinya tak percaya menjadi percaya. Begitulah siklus penceritaan film ini. Buat yang belum pikun, film ini terasa enggak benar-benar unggul dari dua film Danur sebelumnya; ceritanya masih kosong, nyaris tanpa plot. Menakjubkan dengan durasi begini singkat betapa banyak flashback dan pengulangan adegan disuguhkan, seolah filmnya kesulitan mengisi durasi. Tapi paling tidak, arahannya mulai berani mengembrace aspek konyol, demi misi mereka membuat film untuk hiburan hantu-hantuan.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ASIH.

 




That’s all we have for now.
Jika hantu ada karena ingatannya, maka apakah orang yang terkena dementia atau malah hilang ingatan tidak akan bisa menjadi hantu? 

Bagaimana reaksi kalian jika disuruh melupakan suatu hal yang berharga seperti Asih yang harus melupakan tentang anaknya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017



ALAS PATI: HUTAN MATI Review

“Good friends don’t let you do stupid things…alone”

 

 

Tentu kita akan melakukan hal-hal bego saat bersama teman-teman. Kita masih muda. Akan membosankan sekali jika kita gak mengambil resiko dan ga melanggar semua peraturan itu. Hampir seperti masing-masing kita berlomba untuk menjadi yang paling ngaco, kita bangga melakukan sesuatu yang tak banyak orang lain bisa. Masuk kelas tepat waktu layaknya murid normal? Well, kita akan buktiin bisa masuk telat, lewat jendela belakang, demi mendapat elu-eluan dari teman satu genk; Hebaaaat. Berani banget, ih. Kemudian teman-teman akan meniru, bola bergulir, dan menimbulkan efek yang semakin membesar. Dengan mencoba tampil beda, ingin mendapat pengakuan – dalam masa kekinian; mau dapat view dan follower banyak – tak sadar kita menjadi contoh yang buruk.

Kita tidak bisa menilai diri sendiri. Orang bilang, pergaulanlah yang membentuk kita. Tapi pada kenyataannya, kita tidak pernah selalu sepasif itu. Sedikit banyaknya, baik buruknya perbuatan, kita kerap memberikan pengaruh. Kedewasaan dan pengalamanlah yang bakal ngajarin kita untuk berpikir matang dahulu sebelum bertindak.

 

Dalam konteks tersebut, sebenarnya Alas Pati punya dasar cerita yang menarik untuk dikembangkan dari karakternya. Ini adalah tentang seseorang yang menyadari dia sudah memberikan pengaruh yang buruk dalam lingkaran pertemanannya, dan berhubung ini film horor, ia memplajari hal tersebut dari sebuah kejadian naas mengerikan yang literally terus menghantuinya.Nikita Willy dan teman gengnya sudah dikenal di kampus sebagai kelompok songong yang suka mengupload video-video viral berisi kenekatan ekspedisi mereka. Dimotivasi oleh dahaga akan ketenaran siber, juga uang yang didapat darinya, mereka pergi ke pedalaman Jawa Timur. Ke sebuah pekuburan adat tradisional di dalam hutan yang terkenal angker. Disebut tidak ada yang dapat kembali dari sana, tokoh utama kita semakin tertantang. Mereka menemukan tempat tersebut dan make fun of it. Tentu saja ada korban jatuh. Mereka kabur ke habitat asal mereka (yang kuasumsikan adalah Jakarta, karena di mana lagi kita banyak menemukan anak muda spoiled yang belagu, right?) . Tapi tidak tanpa makhluk-makhluk dan kejadian poltergeist menyeramkan yang ngikutin.

Respect. Satu hal yang tidak berani dipunya oleh anak muda

 

Pada awalnya, Alas Pati tampak bakal dibangun menjadi horor yang ‘berbudaya’’ dengan actually punya sesuatu yang ingin disampaikan. Set-nya udah kayak settingan sebuah game Fatal Frame yang baik; Mereka punya urban legend yang dikunjungi. Mencakup ritual di pemakaman di mana makam-makam didirikan di atas platform kayu di daerah terbuka di tengah hutan terpencil. Ada mayat-mayat yang seperti dimumifikasi dengan mata terjahit di sana. Bahkan tokoh kita menggunakan kamera dan teknologi lain untuk melihat hantunya. Aku sudah siap diterpa cerita trauma personal yang dikaitkan dengan pembahasan ritual Alas Pati itu sendiri. Tapi film Alas Pati tidak pernah membahas ritual tempat tersebut dengan lebih dalam, praktisnya hanya dijadikan alas cerita saja. Horor yang kita dapatkan, sebaliknya, adalah cerita horor biasa yang bisa saja terjadi kalo judul film ini diganti. Mereka bahkan enggak perlu ke hutan itu, trigger cerita ini bisa terjadi di mana saja. Satu-satunya pengikat tokoh-tokoh ini mesti kembali ke lokasi itu adalah karena Nikita Willy mengambil kalung dari salah satu mayat dan memakainya layaknya kalung sendiri. Dan kita enggak tahu kenapa dia melakukan hal tersebut, mengapa dia nekat mengambil kalung dari mayat.

Jika kalian suka film di mana tokohnya mempelajari suatu misteri, kemudian berjuang melawan misteri tersebut karena ternyata bersangkut paut dengan masa lalu kelamnya sebagai seorang manusia, maka sebaiknya kalian jangan mengharap banyak kepada film ini. Ya, memang, tokoh utama kita akan menyadari dan mencemaskan apa yang sudah ia lakukan membawa dampak buruk bagi teman-temannya, tapi kita tidak melihat ia memilih untuk bertanggung jawab sendiri. Dia tetap ‘kabur’dan ketika udah kepepet, dia mulai berpikir lurus demi batang lehernya sendiri. Tidak ada eksplorasi. Film melewatkan kesempatan besar, mereka bisa saja membangun mitos sendiri soal ritual Alas Pati, yang mana seratus persen akan membuat film ini menjadi horor yang solid. Bayangkan betapa berbobotnya film jika durasi diisi oleh tokoh-tokoh yang actually melakukan sesuatu. Take action alih-alih bereaksi terhadap kondisi diteror hantu melulu.

Babak kedua film ini hanya diisi oleh tokoh yang bergantian diteror hantu. Dan setiap sekuen tersebut berakhir mereka revert back ke denying apa yang terjadi dan kembali meyakinkan diri mereka untuk menutupi apa yang mereka lakukan. Makanya film terasa sangat membosankan ketika sudah di bagian tengah. Kita praktisnya sama saja melihat hal yang sama berulang-ulang kali. Film terlalu malas untuk menciptakan cerita yang berlapis. I mean, bukan saja elemen ritual yang dibiarkan dingin. Ada satu poin di mana ada seseorang yang mengupload video mengenai kejadian yang mereka semua tutupi dari orangtua dan publlik. Dengan panik mereka mencoba menurunkan video tersebut dari linimasa, menghapusnya dari internet, dan that’s it. Poin ini enggak ada reperkusinya. Entah bagaimana tidak ada orang yang melihat video tersebut. Tidak ada pembahasan kenapa video tersebut bisa terupload. Film just drop it, tidak berujung kemana-mana selain para tokoh jadi ribut saling tuduh.

Tapi paling enggak, peta yang mereka gunakan sudah jauh meyakinkan dari peta Ular Tangga (2017)

 

Film justru melompati hal-hal seru untuk diceritakan. Misalnya lagi saat perjalanan mereka menuju Alas Pati. Seluruh perjalanan ke tempat terpencil itu dibuat begitu mudah. Hanya ada satu kali mereka mencemaskan enggak bawa pengaman. Tapi kemudian kita dicut langsung menuju mereka sampai di lokasi. Membuat film ini tampak enggak kompeten, seolah cerita yang mau mereka usung jauuuuuhhh lebih gede dari kemampuan pembuat filmnya. Mereka tidak bisa membuat mitos seputar Alas Pati, mereka tidak bisa membuat misteri yang lebih eksploratif , mereka tidak bisa membuat perjalanan yang intens. Adegan di sepuluh menit pertama – yang ditutup dengan Nikita Willy melempar botol mineral tepat kena kepala temannya yang berlari menjauh, konyol! – sungguhlah berperan dengan super efektif sebagai tangisan minta tolong dari film untuk kita memperhatikan bahwa mereka gak bisa membuat cerita yang benar-benar terasa intens dan mencengkeram. Di menit tersebut kita melihat Nikita Willy ditantang main panjat tembok sama temennya; editingnya sungguh-sungguh begitu bland, kita tidak merasakan kompetisinya, yang dilakukan film ini hanyalah mereka merekam ekspresi meringis pemain dan kemudian memainkan musik rock sebagai penghantar emosi. There’s nothing pada kamera dan editnya yang menguar emosi.

Ketergantungan terhadap musik dan suara keras inilah yang bikin film ini sungguh tampak nyebelin. Usaha mereka cuma di bagian itu, dan mereka pikir itu sudah cukup. Bahkan saat menangani adegan inti yang pembuat film percaya bakal laku keras pun, film tampak begitu malas. Rambut yang dipakai hantu ‘beneran’ di sini clearly gak ada bedanya ama wig yang dipakai tokohnya si Stefhanie Zamora waktu ia nakut-nakutin temennya. Juga di bagian akhir film, ada adegan ngebut-ngebutan di mobil yang jelas malesin buat ditake ulang jadi mereka masukin ngasal aja potong-potongan adegan, alhasil itu plat mobil berubah-ubah dari B 459 PM menjadi B 9 PM dalam setiap shot.

 

 

 

 

Diibaratkan, film ini adalah teman kita di sekolah yang kerjaannya bolos, nyontek, sok ngartis, tapi punya penggemar banyak karena dia kece. Dia tidak melakukan apapun dengan potensi yang ia punya. Harapan kita tentu saja adalah semoga film ini gak lantas menjadi pengaruh buruk buat ranah perfilman horor tanah air.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for ALAS PATI: HUTAN MATI

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

GHOST STORIES Review

“The past can haunt you, but so can ghosts.”

 

 

Demi membuktikan poin yang mereka usung sebagai tagline, film ini sempet nekad mejeng pake poster dengan judul yang sengaja ditypo-in. Di negara aslinya, Ghost Stories awalnya dipromosikan sebagai ‘Ghost Storeis’. Karena memang demikianlah cara kerja manusia dalam memandang suatu hal. Kita hanya melihat apa yang kita ingin lihat. Masalahnya adalah, kita cenderung menciptakan sendiri apa yang ingin kita lihat, sebagai langkah yang lebih mudah alih-alih menghadapi apa yang kenyataan yang benar-benar ada. Aku, misalnya, menciptakan persona ‘manusia paling sial’ waktu kuliah dulu hanya karena aku gak mau mengakui bahwa aku nyatanya memang enggak secakap itu dalam berbagai hal. Jadi, secara tak-sadar aku menyalahkan kesialan.

Horor dari Inggris ini mengerti bahwasa hantu sesungguhnya adalah serpihan dari masa lalu yang kelam yang masih eksis di belakang kesadaran manusia. Arwah-arwah penasaran yang dilihat itu tak lain dan tak bukan ialah kesadaran terhadap trauma atau tragedi yang pernah dialami yang muncul ke permukaan, dan rasa bersalahlah yang membuat penampakannya menjadi mengerikan. Kita lebih suka memandangnya sebagai momok ketimbang mengakui kesalahan yang sudah kita lakukan.

 

Bagi tokoh utama film Ghost Stories ini, Profesor Phillip Goodman (merangkap sebagai sutradara, Andy Nyman, memainkan karakter ini dengan note dan penekanan yang tepat mengena), hal-hal supranatural hanyalah hoax berikutnya yang musti ia ungkap. Dia punya acara tivi khusus yang didedikasikan buat menelanjangi penipuan orang-orang yang mengaku bisa berkomunikasi dengan alam gaib. Goodman begitu bangga dengan keskeptisannya ini. Menurutnya, segala hal ‘mistis’ itu pasti ada penjelasan, sebab selalu ada cara untuk melihat sesuatu dari berbagai sudut. Namun sepanjang berjalannya cerita, kita akan belajar bahwa sikap skeptis Goodman tersebut nyatanya adalah sistem pertahanan si profesor terhadap realitas kehidupannya sendiri. Ada kenyataan yang berusaha ia tutupi, dan selagi dia bisa mengekspos sebanyak mungkin kebenaran di balik fenomena ganjil yang dialami seseorang, atau yang diakui dialami oleh mereka, Goodman merasa lebih baik terhadap dirinya sendiri. Tapi tentu saja, keinginan dan kestabilan sistem Goodman dengan segera mendapat tantangan. Dia dihadapkan kepada tiga kasus paranormal yang bahkan dia sendiri tidak bisa memecahkannya sehingga kasus-kasus ini menjadi hantu yang meneror Goodman dan kebenaran yang (tidak) ingin dia lihat.

Goodman ini kayak-kayak tokoh Reza Rahadian di film Gerbang Neraka (2017)

 

 

Tiga kasus yang ditangani Goodman akan kita saksikan menjelma seperti cerita pendek dalam dalam sebuah film antologi. Ditambah dengan cerita tentang dirinya sendiri, menonton Ghost Stories ini seolah kita menonton empat film pendek yang serem. Setiap cerita benar-benar tersulam sempurna, di mana cerita yang satu akan turut ngebangun cerita yang lain. Penonton yang jeli akan dapat menangkap petunjuk-petunjuk subtil berupa objek-objek yang muncul sepanjang penceritaan kasus; warna benda, jumlah, bahkan penggalan kalimat dialog, yang diakhir cerita akan berperan besar dalam mengungkap kebenaran. Ghost Stories, selain seram, juga merupakan horor yang pintar.  Aku benar-benar menikmati pengalaman horor yang diberikan. Ditambah pula, aku menyaksikan film ini sendirian di studio bioskop.

Pada kasus pertamalah aku merasa sudah hampir melambaikan tangan menyerah dan keluar minta ditemenin nonton sama kakak penjual tiket yang senyumnya manis. Atmosfer kesendirian di dalam ruangan yang gelap dihadirkan oleh film dengan begitu kuat ketika mereka menceritakan tentang seorang penjaga yang menghabiskan waktu jaga malamnya di bangunan bekas asylum buat cewek-cewek berpenyakit mental. Bunyi sesuatu di sudut kelam yang ogah kita lirik, derap tapak seseorang di tempat yang kita tahu enggak ada orangnya; kita akan tenggelam dalam efek-efek suara yang creepy abis semacam itu.

Kasus kedua menawarkan sajian mencekam yang berbeda. Horor pada cerita ini enggak terasa sedekat kasus pertama kepada kita semua, tapi nuansa unsettling itu tetap di sana. Membuat kita merinding ria menyaksikan tokoh-tokoh yang tampak ‘tak-seperti kelihatannya’ yang dijumpai oleh Goodman.  Yang ia tangani di sini adalah seorang anak muda yang melapor melihat suatu makhluk di dalam hutan, dan Goodman bertamu ke rumah si pemuda. Melihat sekilas orangtuanya, sebelum akhirnya naik ke lantai atas ke kamar kliennya yang penuh dengan gambar-gambar perwujudan setan, hasil riset si pemuda di internet. Alex Lawther sungguh sukses memainkan pemuda yang ngobrol langsung dengannya aja bakal bikin aku kencing celana. Ada banyak facial work dalam aktik Lawther yang begitu efektif mengeluarkan kesan mengerikan, padahal di cerita ini dia yang diteror.

Film ini merupakan penerapan ungkapan yang tepat dari “antara yang benar dan yang baik, pilihlah yang baik”. Jangan semena-mena menyepelekan keyakinan orang lain. Jangan bully mereka dengan kebenaran yang belum bisa mereka terima. Karena terkadang kita yang harus menyadari ada batas antara skeptis dan tak-percaya dengan apa yang disebut dengan turn a blind eye. Whether or not kita bersedia untuk dealing dengan hal-hal ini ataukah kita lebih suka untuk membloknya dan berpura semuanya tak pernah terjadi

 

Penampilan Martin Freeman pada kasus dan cerita ketiga seperti menyambung estafet ke-creepy-an dari Lawther. Tokoh yang ia perankan mengadu menyaksikan sendiri aksi poltergeist yang berhubungan dengan proses istrinya melahirkan. Cerita bagian ini memang tidak terlalu seram, karena pada titik ini kita diniatkan untuk sudah berada dalam sepatu Goodman. Ini sudah lewat point-of-no-return, Goodman sudah menerima ada beberapa hal yang tak bisa ia jabarkan, jadi kengerian di bagian ini datang dari ketika Goodman menyadari semua cerita tersebut pada akhirnya  bermuara kepada dirinya sendiri. Tone cerita di sini seketika menjadi sangat surealis. Apa yang terjadi kepada Goodman sungguh-sungguh disturbing, cerita-cerita tersebut sudah mengganggunya dalam level yang dalem.

“Jangan lihat ke belakang” serasa punya arti yang lebih dalem jika nonton ini sendirian di bioskop

 

Tak berlebihan memang jika aku menyematkan pujian sebagai horor terseram yang kutonton setelah berbulan-bulan kemaren aku hanya menyaksikan film hantu ala kadar buatan lokal. Ghost Stories mengerti bahwa tugas film horor bukan hanya sekedar menampilkan darah, adegan sadis dan kekerasan. Bukan sekedar menampilkan hantu – yang mengaum pula. Aspek-aspek tersebut memang membuat film horor menjadi menyenangkan, malahan dalam film Ghost Stories inipun kita bakal menjumpai aspek serupa; ada jumpscare juga, ada elemen tradisional seperti mati lampu, dan monster, dan hantu yang wujudnya mengerikan. Malah ada satu yang tampaknya bakal aku lihat lagi dalam mimpi burukku nanti malam. Bagusnya, Ghost Stories tidak melupakan apa yang membuat horor itu bakal terasa sampai ke jiwa penontonnya. Horor yang sebenarnya adalah horor yang datang dari derita dan penyesalan yang terjadi kepada kita, atau keluarga di masa lalu; dari sesuatu yang benar-benar mungkin dialami oleh kita semua. Film ini menarik hal tersebut dari sudut terkelam pikiran kita, mengeksplorasinya dalam penceritaan yang tersusun cermat.

Tapi, adegan pengungkapannya sendiri, aku tak ayal merasa sedikit dikecewakan.  Aku mengharapkan konklusi cerita yang bakal bikin aku bersorak “oh ternyata begitu” dan udah siap tepuk-tepuk tangan. Tapi nyatanya, melihat beberapa menit terakhir film ini, aku tidak banyak beranjak dari posisi duduk dan hanya mengangguk kecil “ya, masuk akal sih endingnya”. Aku bukannya enggak-suka, hanya saja setelah sedari awal melihat arahan yang berbeda (film Inggris kebanyakan unggul di arahan yang terasa sangat unik), aku sama sekali enggak mengharapkan film ini berakhir dengan ‘sama-seperti-film-lain’. Jacob’s Ladder (1990), Stay nya Ryan Gosling tahun 2005, bahkan Pintu Terlarang buatan Joko Anwar (2009) adalah beberapa film yang sudah lebih dahulu menggunakan pengungkapan yang serupa. Pintar, memang. Namun setelah cukup banyak, tidak lagi terasa istimewa.

 

 

 

Dengan imaji horor yang begitu kaya ditambah filosofi yang tak kalah seramnya, film ini menjelma menjadi sebuah tontonan yang bukan saja menghibur, melainkan padat berisi. Ini adalah tipe film yang tidak akan membosankan jika ditonton berulang kali. Malah justru setiap kali menontonnya akan memberikan pengetahuan dan kesadaran yang baru. Semua itu tercapai berkat penceritaan dan elemen-elemen subtil yang disematkan di antara trope-trope familiar. Yang bosen ama horor yang itu-itu melulu, disaranin deh tonton ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for GHOST STORIES.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DANUR 2: MADDAH Review

“You can’t hide the stench forever”

 

 

Kemampuan melihat makhluk halus mulai mendatangkan dampak buruk bagi kehidupan sosial Risa Saraswati (reprising her role, Prilly Latuconsina siap melakukan tantangan yang diberikan kepada perannya). Kebiasaannya ngobrol, hingga tak jarang histeris ketakutan sendiri di tempat umum, membuat adik kecilnya malu. Inilah yang membuat karakter Risa menarik. Di luar penglihatannya yang tak biasa, terutama sekali Risa adalah seorang kakak. Bagi adiknya, Riri. Bagi hantu anak-anak kecil yang jadi temannya. Risa harus figure out bagaimana menjadi sosok kakak sekaligus teman yang baik terhadap mereka, di saat yang bersamaan. Masalah Risa ditambah pelik oleh panggilan minta tolong dari keluarga tantenya yang baru pindah ke Bandung. Semenjak tinggal di sana, Paman Risa jadi bersikap aneh. Suka mengurung diri di pavilion. Suka nanemin kembang di depan pintu. Dugaannya tentu saja; Paman sedang selingkuh. Pertanyaan yang bikin merinding adalah; Sama makhluk mana? Sebab, di rumah mereka Risa menyium bau yang sudah familiar buatnya. Bau Danur.

Setan pelakor gak usah diajak main yeee~

 

Seharusnya seperti demikianlah cerita film sekuel Danur: I can See Ghosts (2017) ini. Narasi diniatkan untuk membahas tentang bagaimana kehidupan Risa setelah di film yang pertama dia menerima persahabatan dari hantu cilik. Gimana dampak kemampuan Risa terhadap orang di sekitarnya, Risa sekarang punya dua kehidupan sosial yang berbeda pada dua dunia, dan tentu saja soal ketakutan yang masih merayapinya.  Aku bisa melihat secercah dari plot yang mengeksplorasi Risa yang ingin  hidup normal, dia berusaha untuk mengabaikan kemampuannya, dia tidak ingin membuat malu sang adik, dan bagaimana film ingin memparalelkan sikap Risa terhadap kekuatannya kepada sikap Pamannya yang merahasiakan sesuatu. Sayangnya, elemen-elemen cerita ini tidak pernah terwujud dalam cara yang semestinya. Film malah berkembang menjadi horor generik, yang hanya berupa wahana jumpscare, dengan mengabaikan plot tersebut nyaris secara keseluruhan. Motivasi Risa hanya disebut dalam satu adegan, perkembangan karakter Risa juga hanya diperlihatkan dalam satu adegan, relationshipnya dengan Riri ataupun dengan Peter dan kawan-kawan tidak pernah diangkat dengan dalem. Danur 2: Maddah begitu ingin memperlihatkan hantu kepada kita, sehingga mereka membuat tokoh-tokoh manusianya tersuruk jauh di belakang. Kalo ada yang gaib dan tak-kelihatan dalam film ini, maka itu adalah karakterisasi tokoh-tokohnya.

Salah satu yang menjadi tantangan buat pembuat film ini, yang sudah ada sedari film pertama, adalah bagaimana mendeskripsikan danur (bau mayat) dalam bahasa sinematik. Dan sekali lagi, film ini juga gagal. Kesan apa itu Maddah, apa itu Danur, tidak pernah terasa kuat, selain hanya dialog eksposisi yang tak benar-benar meninggalkan kesan. Padahal film harusnya berpusat di sekitar sini. Bau sejatinya adalah aspek yang menjadi fokus pada cerita. Bukan hanya Risa harus mengenali bau ‘musuh baru’. Tapi ini juga tentang metafora dari sebuah hal yang disimpan lama-lama tetap akan tercium baunya.

 

Adegan pembuka yang adik Risa terbangun di pohon gede dari film pertama itu sebenarnya cukup serem. Actually ini adalah salah satu dari sedikit adegan menakutkan di film ini yang punya build up sebelum setannya muncul. Tapi ternyata adegan tersebut hanyalah adegan mimpi. Inilah kenapa kita tidak bisa punya film horor lokal yang bener-bener bagus. Mereka terbebani oleh arahan-arahan dan keputusan cerita yang bego seperti begini. Contohnya lagi, sekuen keluarga tante Risa menempati rumah baru mereka. Bagian ini sebenarnya ditangani dengan menarik, pakai long shot sehingga kesannya aktivitas yang sedang kita saksikan begitu hidup. Untuk berakhir mendadak dengan adegan standar film Indonesia; ngobrol di meja makan. Yang diobrolin pun enggak jelas faedahnya ke mana, disebut karakter development juga susah karena gak benar-benar memperlihatkan karakter.  Mau tahu kualitas penulisan dialog film ini seperti gimana?  Ada satu adegan Riri dan Tante yang dimainkan oleh Sophia Latjuba (praktisnya, mbak Sophia gak ngapa-ngapain di sini) lagi ngobrol berdua. Dalam penulisan film, inilah waktu yang tepat untuk mengembangkan karakter; dengan memberikan mereka dialog yang merepresentasikan karakter mereka, yang membahas hubungan mereka. Hanya saja, Riri dan Tante malah ngobrolin adegan yang persis sebelum ini kita saksikan, mereka hanya menceritakannya kembali – versi audio dari yang sudah kita saksikan. Dialog macam apa kayak gitu! Enggak menambah apa-apa buat karakter. Enggak menambah apa-apa buat majunya cerita.

Awi Suryadi adalah sutradara yang punya keistimewaan pada kerja kamera. Beberapa shot pada film ini diambil dengan sudut yang intriguing. Dia akan memiringkan kamera ketika tokoh beranjak mengecek bunyi-bunyian misterius yang efektif menambah kesan bingung dan mengerikan. Dia punya trik untuk menampilkan hantu di layar dengan sangat mengerikan, yang aku yakin bahwa film ini sebenarnya enggak butuh musik yang keras. Sayangnya banyak dari arahan Awi yang membuat kita mempertanyakan kepentingannya. Dalam bercerita, Awi masih setia menggunakan formula yang sudah diulang-ulangnya sejak Badoet (2015). Kita masih mendapati tokoh yang ‘kesurupan’, Paman Risa sedari awal sudah ‘dikendalikan’. Hantunya masih pakai musik khas. Terus ada pengungkapan jati diri hantu, yang sebelumnya tidak pernah ada build-upnya. Untuk kemudian penyelesaian datang dengan cara menghancurkan satu objek, tanpa benar-benar ada rintangan. Susunan formula tersebut dalam film ini boleh saja diganti, namun tetap saja aspek-aspek ini masih sama persis dengan Badoet dan film Danur yang pertama. Formula ini dikembangkan dengan begitu basic, stake dan rintangan tidak pernah terasa ada di sana

hantunya suka nyanyian dan musik, alam kubur tampaknya ceria juga deh..

 

Mereka menampilkan hantu di mana saja mereka bisa, menemani hantu itu dengan musik yang keras, dan berharap penonton ketakutan. Atau mungkin sekalian mereka berharap penonton jantungan sehingga mati di tempat dan gak bisa minta refund atas film yang dikerjakan dengan seadanya. Dan kalo hantunya belum selesai dimake-up, tokoh-tokoh film akan senang hati mengambil alih tugas mengagetkan penonton.  Fake jumpscare dan jumpscare dijadikan andalan oleh film ini. Di tengah-tengah kita malah akan disuguhi dua adegan ngagetin, yang sekali lagi, ternyata cuma mimpi. Kesel gak sih, kaget kita rasanya sia-sia gitu loh, jika yang ngagetin itu ternyata mimpi alias adegan yang tidak benar-benar terjadi. Tentu, mereka punya sosok hantu yang sangat seram. Ada dua hantu, actually. Yang satu namanya Ivanna – ini nih yang serem! Tinggi-tinggi gimana gitu, lehernya kayak panjang banget. Sedangkan yang satu lagi, si Elizabeth, mmm.. to bo honest, aku bisa lihat kenapa Paman Risa naksir sama hantu Belanda ini. Aneh gak sih, aku juga nganggap Elizabeth hantu yang cantik, meskipun di saat itu aku belum lihat seperti apa rupanya sewaktu masih hidup hhihi. Yaa, waktu pertama kali nongol gelayutan, Elizabeth gak sampai bikin aku melotot kayak di film kartun sih, tampilannya tetap seram, tapi untuk ukuran hantu, parasnya enggak jelek.

Anyway, film ini punya cara yang aneh dalam memperkenalkan hantunya. Saat pertama kali kita melihat Ivanna secara jelas, dia lagi gangguin Tante yang sedang dzikir abis sholat. Ini adalah adegan terseram yang dipunya film, karena beberapa detik kemudian Ivanna akan ngejumpscare kita – para penonton – secara langsung. Seram, tapi aneh, karena mestinya kan yang ditakuti adalah tokoh cerita. Kayak Valak yang diperkenalkan dengan menakuti Lorraine di ruang baca. Tapi pada film ini, hantunya semacam langsung berkenalan dengan kita. Such a strange way to introduce a ghost character. Adegan ini lebih cocok berfungsi sebagai trailer saja ketimbang dimasukkan sebagai bagian yang actual dari film.

 

 

 

Seharusnya ini membahas tentang gimana seorang yang berteman dengan hantu, bisa menjalin kehidupan sosial normal dengan kerabatnya. Seharusnya kita diperlihatkan lebih banyak dari Risa dan adiknya, dan teman-temannya. Tapi fokus film ini ada pada hantu dan keluarga baru, yang tidak diparalelkan dengan mulus kepada kebutuhan tokoh utama. Akibatnya, kita dapat film dengan motivasi dan plot yang perlu terawangan untuk bisa dilihat. Sebuah wahana jumpscare dengan sedikit hati pada cerita. Kosong sekali, penulisan film ini. Arahan yang tidak membawa apa-apa bagi penampilan tokoh, penceritaan, selain beberapa shot menarik dan aspek seram yang digali dengan terlalu standar. Film ini enggak berbeda banyak dengan film pertamanya, dan mengingat film pertamanya mengeset penilaian yang begitu rendah, kentara sekali film horor Indonesia akan jalan di tempat. Film ini adalah contoh nyatanya.
The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for DANUR 2: MADDAH.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

INSIDIOUS: THE LAST KEY Review

“We just have to find the ones that unlock the right doors.”

 

 

Berapa sering kita melihat film horor belakangan ini? Banyak. Terang saja horor akan terus ngehits selama manusia masih suka ditakuti-takuti. Selalu ada alasan untuk nonton film horor.Entah itu sendirian, ataupun mau seru-seruan bareng temen. Maka hantu-hantu itu tak akan pernah ‘mati’, franchise-franchisenya akan senantiasa direborn (lucu gak sih, ‘hantu reborn’ itu berarti kan dia udah gak jadi hantu lagi ya? Hihi) supaya enggak kemakan jaman dan dapat memuaskan penonton kekinian.

Namun, seberapa sering kita melihat film horor, bahkan sebuah franchise horor, yang BERPUSAT PADA TOKOH YANG SUDAH NENEK-NENEK? Belum pernah terjadi kukira. Sekarang sudah 2018, ini sudah film keempatnya, dan Insidious masih tetap kekeuh berpegang kepada akar cerita. Walaupun memang yang nonton kebanyakan adalah kelompok dedek-dedek jaman-now, franchise Insidious enggak necessarily ditujukan buat remaja. Tokoh utamanya selalu adalah orang dewasa, yang punya masalah-masalah dewasa, mereka berurusan dengan hal-hal kelam. Insidious selalu adalah soal trauma keluarga, masa lalu yang penuh kekerasan rumah tangga, dan film keempatnya ini pun melanjutkan tradisi tersebut.

Berdiri di tengah franchise ini adalah Elise, seorang parapsikologis, yang membantu orang-orang yang rumahnya dihuni oleh roh jahat. Insidious: The Last Key actually adalah prekuel dari film yang pertama, (dua episode ini nyaris berjalan beruntun) karena sebagaimana yang kita tahu Elise sendiri sudah jadi hantu di film yang kedua. Jadi, di film ini kita akan melihat kisah origin dari tokoh Elise. Kita akan melihat ia di masa kecilnya. Rumah Elise dulu di dalam kompleks penitentiary di New Mexico. Gimana kemampuannya melihat hal-hal goib menjadi penyebab utama Elise kecil dipukuli oleh bokapnya yang mendapat nafkah dari menghukum kriminal-kriminal. Masa kecil yang enggak bahagia, fisiknya menderita, mentalpun ikut didera oleh banyaknya makhluk halus yang ia lihat. Salah satunya terbebas dari pintu yang dibuka Elise, melepas teror yang berujung kepada Elise remaja kabur dari rumah. Masa lalu mencerminkan hidupmu yang sekarang, tahun 2010 Elise mendapat telepon dari seorang klien. “Alamat Anda di mana?” dan DEG! Permintaan mengusir hantu itu ternyata datang dari rumah masa kanak-kanaknya yang penuh dengan literally hantu-hantu masa lalu!!

“Who you gonna call? Spooky Buster!”

 

Bicara soal franchise horor, sebenarnya kita seperti mengulas tentang perosotan. Kalian tahu, seberapa curam filmnya menurun. Apalagi kalo udah sampe seri keempat; liat aja tuh entry ke empat Paranormal Activity. Atau Saw. Biasanya kualitas tersebut turun antara  karena filmnya  enggak mendapat inovasi apa-apa, ataupun karena sudah berkembang begitu jauh – jadi over-the-top, dari dasarnya. Film ini, untungnya, enggak jadi parah-parah amat. Film yang pertama dan kedua masih paling kuat, namun The Last Key tidak berada jauh di belakang film ketiga. Kekuatan film ini terutama terletak pada performa Lin Shaye yang diberikan kesempatan bersinar sebagai Elise yang akhirnya menjadi fokus utama narasi. Aku suka dengan tokoh ini lantaran dia terlihat begitu vulnerable. Di sini kita mendapat paranormal yang enggak sok-sok misterius. Elise tampak manusiawi, dia punya selera humor, dia punya banyak kelemahan, dan dia begitu self aware dengan kemampuan psikisnya. Membuat tokoh ini tampak keren.

Antara Elise yang kabur dengan ayahnya yang ringan tangan setiap kali Elise ‘mengadu’ ada hantu, sebenarnya mereka berdua memiliki persoalan yang paralel. Realisasi terhadap hal tersebutlah yang menjadi ujung perjalanan Elise sepanjang film. Bahwa dia, sama seperti ayahnya, sederhananya mengambil jalan yang termudah. Kita membenci hal-hal yang tidak kita mengerti. Meninggalkan rumah yang bermasalah, menghukum anak yang punya kemampuan aneh, adalah tindakan yang lebih gampang – yang menurut mereka lebih plausible, ketimbang mencoba untuk memahami masalah itu. Tetapi tentu saja kita tidak bisa benar-benar lari dari masalah, makanya Elise kemudian memutuskan untuk menerima rekues klien mengusir hantu dari rumah masa kecilnya.

                                            

Dari segi horor, film ini juga tergolong kompeten. Memang kita akan banyak terlonjak oleh suara-suara keras, film masih mengandalkan jump scare seperti halnya film-film Insidious sebelum ini. Namun, paling enggak, film ini cukup cerdas untuk memilih kapan harus menggunakan teknik tersebut. Film ini cukup bijak tidak membuat kita terkejut oleh binatang ataupun sapaan teman ataupun hal-hal biasa lain yang mengecoh. Ketika cerita membutuhkan tokohnya untuk melintasi lorong gelap dan melihat bayangan dan menyenternya, hanya untuk tahu bayangan tersebut adalah baju yang digantung, maka adegan tersebut dilakukan tanpa suara. Musik keras dan mengejutkan hanya kita jumpai ketika yang menyebabkannya beneran adalah hantu. Hal yang menyeramkan kerap muncul bikin jantung kita copot, tapi seenggaknya jika kita beneran mati saat itu kita tidak menjadi hantu penasaran lantaran yang membunuh kita beneran kemunculan hantu seram. Ada satu sekuen serem yang aku suka, yakni saat Elise masuk ke dalam pipa dan menemukan banyak koper-koper. Sutradara Adam Robitel cukup mumpuni mengarahkan adegan tersebut sehingga meski kita tahu bakal ada sesuatu yang ngagetin, scare yang terjadi masih mampu untuk bekerja di luar ekspektasi.

Babak pertama film bekerja dengan efektif sekali. Terutama di bagian masa kecil Elise, ini niscaya adalah bagian terkuat seantero film ini. Kita belajar mengenai keluarga Elise, yang tentu saja setiap anggotanya menjadi penting nantinya. Namun, as the story goes, film ini tidak terasa seperti dibangun atas fondasi naskah yang biasa. Menjelang ke transisi babak ketiga, penceritaan film ini menjadi semakin goyah. Ada beberapa aspek di babak ketiga yang enggak klop, karena sebelumnya ada pengenalan karakter baru yang dimaksudkan sebagai pengungkapan besar-besaran, di mana kita diharapkan untuk berpikir “wow aku sama sekali enggak nyangka” akan tetapi jatuhnya malah hampa. Akan ada semacam pergantian peran, juga ada karakter yang berubah dari baik ke jahat, dari jahat ke baik, hanya saja narasi yang menghantarkan ini tidak bekerja dengan benar. Dari sebuah drama berbalut misteri supranatural, cerita menjadi misteri kriminal, dan berakhir menjadi petualangan di dunia gaib, struktur pembabakan cerita tidak berhasil mengemban tugas membungkus ini dengan lancar.

Imogen adalah salah satu nama cewek paling keren yang pernah kudengar

 

Bicara soal revealing, bahkan tokoh hantu utamanya juga tidak tampak lagi begitu spesial. Untuk sekali ini aku tidak merasa penampilan Javier Botet benar-benar mengerikan. Maksudku, jika dibandingkan dengan The Crooked Man, dengan hantu Mama, presence Hantu Kunci di film ini terasa lemah. Letak masalahnya bukan di make up, sosok hantu yang dimainkan Botet pada film ini masih mampu bikin kita kencing di celana, melainkan di apa yang ia lakukan. Si Hantu punya jemari yang berbentuk anak kunci, dia menggunakan di antaranya untuk mengunci dada korban, apa sebenarnya makna dari apa yang ia lakukan? Segala kunci dan pintu-pintu itu semestinya membangun kepada sesuatu perumpamaan, tapi dalam film ini tampak sebagai bahan menakut-nakuti belaka.

The best that I can come up with adalah melihat Elise bergentayangan berusaha membuka pintu dengan kunci-kunci di tempat gelap itu mengingatkanku ke salah satu pelajaran menulis. Seorang penulis sejatinya kudu mampu membuka pintu-pintu di dalam diri dengan menggunakan kunci-kunci yang tepat. Kunci itu adalah pertanyaan yang kita ajukan kepada diri sendiri. Proses menulis adalah proses menyelami diri sendiri, mengeksplorasi apa yang kita rasakan, dan ini paralel dengan yang dilakukan Elise di dunia sana; Dia harus membuka pintu-pintu demi ‘mengenali’ dirinya sendiri sebagai cara untuk berkonfrontasi dengan masa lalu yang ia tinggal kabur.

 

Selalu bermasalah di bagian humor, tak terkecuali pada film ini. Elise ditemani oleh dua pria yang membantunya dalam urusan teknologi. Mereka ini semacam Ghostbuster dengan gadget-gadget unik yang kadang gak jelas kegunaannya, dan kedua cowok yang nemenin Elise bertugas mengoperasikan alat-alat tersebut. Itu tugas mereka dalam narasi. Dalam penceritaan, however, dua orang ini punya fungsi sebagai pencetus komedi. Tingkah mereka yang komikal, celetukan mereka yang nerd abis, lebih sering daripada tidak jatohnya awkward alih-alih lucu. Akan ada banyak lelucon yang bikin kita nyengir kuda karena candaannya garing. Eventually mereka berdua terlibat adegan flirt sama cewek, dan adegan-adegan konyol mereka membuatku merasa malu menontonnya.

 

 

 

Buat yang belum pernah menonton film dari franchise Insidious, film ini tidak akan membuat kalian menjadi fans, sebab ceritanya yang memang agak kurang rapi ini tidak benar-benar mengandung sesuatu yang baru. Horornya juga tergolong biasa. Namun, buat penonton yang udah setia ngikutin, film ini tidak tampil mengecewakan, dibuat dengan kompeten, dimainkan dengan meyakinkan, dan tetap memegang teguh akar yang membuat film-film pendahulunya disenangi.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for INSIDIOUS: THE LAST KEY

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017