“Losing your head in a crisis is a good way to become the crisis.”
Horor adalah salah satu genre film paling populer di Indonesia (jaminan laku, untuk sebagian besar waktu!) but here’s one thing about horror in Indonesian mainstream cinema: Kita punya banyak sutradara horor yang kreatif, keren, dan could legitimately scare the shit out of us, akan tetapi jumlah penulis naskah yang benar-benar paham dan mengembangkan cerita horor tidak banyak. Kondisinya memang setimpang itu. Bahkan dalam film-film Joko Anwar yang disepakati secara umum sebagai top tier horor di perfilman kita, ketimpangan itu terasa. While the scare was great, atmosfernya mencekam total, tapi ceritanya either karakterisasinya lemah, punya fantasi yang terlalu ribet, atau berakhir dengan ending yang gak ngeresolve apapun. Kebanyakan film horor kita masih dipandang sebagai wahana seru-seruan untuk penonton (khususnya remaja). Padahal cerita horor, dalam bentuk terbaik, bisa menjadi perjalanan personal yang membekas karena horor pada dasarnya menggali ketakutan yang bersumber dari perasaan-perasaan terburuk, terkelam, yang bisa dialami oleh manusia. Kan, sayang sekali kalo horor hanya digunakan untuk jerit-jeritan. Nah, bicara tentang sutradara horor yang keren, Kimo Stamboel juga adalah salah satu yang sudah dikenal berkat konsistensi menghadirkan warna dan gaya filmnya sendiri. Film sadis-sadis. Makanya kiprah Kimo untuk menggabungkan darah dengan supranatural selalu dinanti. Dengan Ivanna, tentu saja Kimo diharapkan memberikan dobrakan dahsyat buat seantero franchise Danur. But then again, horor hantu tanpa-kepala yang ia hadirkan di sini hadir tanpa tulang-punggung alias tanpa naskah yang kuat.
Ivanna versi Kimo sedikit berbeda dengan Ivanna yang pernah bikin kita jantungan di Danur 2: Maddah (2018) dulu, meski diperlihatkan lewat backstory dari foto dan buku diari bahwa keduanya adalah karakter yang sama. Ivanna adalah gadis Belanda yang hidup di tahun 1943, ia dan keluarganya menumbuhkan rasa cinta kepada Indonesia, sampai-sampai adik Ivanna dinamai dengan nama orang Indonesia. Tapi ada perbedaan yang mencolok, yaitu kepalanya. Ivanna di film ini berkepala buntung. Kalopun ada kepalanya, Ivanna di sini bukan diperankan oleh pemain sebelumnya, melainkan oleh Sonia Alyssa (Gadsam lain setelah Aulia Sarah di KKN yang mencuri perhatian lewat peran hantu!) Ivanna versi Kimo lebih violent. Dia balik menaruh dendam kepada orang-orang pribumi yang tadinya mulai perlahan ia kasih simpati, lantaran kebencian pribumi membuatnya tertangkap oleh prajurit Jepang yang lantas memenggal kepalanya. Backstory ini dilakukan Kimo lewat pengadeganan yang brutal dan naas (mind you, this is a 17+ movie) Kisah hidup Ivanna tak pelak jadi pengisi yang paling menarik yang dipunya film ini. Walaupun penempatannya dilakukan sebagai flashback eksposisi, tapi inilah bagian yang paling rich dan emosional yang dipunya oleh film. Pengennya sih mereka menggarap Ivanna lebih dalam, porsinya diperbanyak, tapi karena Ivanna adalah hantu yang jadi antagonis utama, it is kinda hard to do. Jadi, in a way, film ini masalahnya mirip ama film-film Marvel belakangan ini. Tokoh jahatnya jauh lebih menarik dan lebih berlapis karakterisasinya ketimbang protagonis utamanya.
Yang aku suka dari arahan film ini adalah Kimo took the time. Dia gak terburu-buru untuk langsung ke hantu-hantuan. Sutradara mengambil waktu untuk melandaskan semuanya, sambil bermain-main dengan aspek-aspek horor lain. Adegan openingnya saja kita udah lihat orang kena tembak tepat di wajah! Film berusaha mengeksplorasi dulu adegan penyerbuan rumah, bikin adegan-adegan seram dari atmosfer dan lingkungan. Selain juga tentunya memperkenalkan para karakter manusia, dan menghubungkan mereka dengan persoalan yang dialami oleh Ivanna. Di sinilah letak ‘sayangnya’. Sayang naskah film ini tidaklah mendalam. Rating dewasa yang dipunya film hanya merujuk ke adegan pembunuhan yang sadis, bukan kepada kematangan film pada tema ataupun dialog. Tidak ada esensi di balik pengenalan karakter lain. Mereka hanya orang yang berada di rumah tempat mayat Ivanna bersemayam (mayat yang telah dijadikan patung)
Protagonis utama cerita ini adalah Ambar (dimainkan oleh Caitlin Halderman, dengan tantangan bahwa karakternya bermata nyaris buta) yang baru tiba di panti jompo bersama adiknya. Tentu saja tempat itu normal pada awalnya. Ambar kenalan dengan para penghuni; dua penjaga panti, tiga elderly, satu remaja keluarga nenek di sana. Mereka bersiap-siap untuk lebaran esok hari. Namun malamnya, Ambar gak sengaja menemukan basement rahasia. Di situlah mereka pertama kali melihat peti berisi barang-barang peninggalan orang Belanda, dan patung alias mayat Ivanna. Malamnya teror pertama dimulai. Suara gramofon, suara orang-orang ngobrol, dan ada pembunuhan. Praktisnya, lebaran mereka semua jadi horor saat mayat seorang penghuni ditemukan dalam keadaan tanpa kepala. See, sebenarnya ada lapisan di ‘panggung’ ini. Ada setting lebaran, lalu penglihatan yang terbatas, semuanya diintegrasikan ke dalam narasi. Cukup untuk membuat film ini enggak standar misteri di bangunan berhantu. Malah sempat ada elemen whodunit saat penghuni saling curiga siapa yang membunuh (walau enggak lama, well ya karena Ivanna basically duduk di ruang tengah mereka). Tapi karena gak ada paralelnya antara Ambar dan Ivanna; Kenapa Ambar harus rabun juga gak benar-benar ditegaskan selain untuk kepentingan ‘membuat lapangan horor jadi menarik’. Film begitu supaya Ambar ada alasan bisa melihat flashback dan dia jadi bisa nyeritain apa yang terjadi kepada karakter lain. Dialog-dialog mereka memang jadi lebih mirip kayak ngasih informasi misteri ketimbang interaksi kayak pergaulan orang beneran. Maka film ini malah bisa jadi tampak agak lambat di awal. Karena segala set up jadinya pointless. Tanpa ada makna atau sekadar ikatan di baliknya, semuanya jadi kayak buang-buang waktu aja. Mending full bunuh-bunuhan aja, gak usah kenalin karakter-karakter.
Tadinya kupikir, cerita bertempat di panti jompo, dengan orang-orang tua dipertemukan dengan karakter remaja (bahkan ada anak kecil), bakal ngasih sesuatu komentar tentang gap generasi atau semacamnya – kayak di film X(2021), tapi ternyata enggak ada bahasan yang lebih mendalam di lingkup itu. Mati di sini memang seram dan menggemparkan, tapi ya hanya mati. Film sendiri bahkan tidak peduli amat sama karakter yang mati selain untuk showcase teknik gruesome. Kepentingannya hanya untuk melihat adegan mati. Benar-benar tidak ada development karakter di sini. Ambar di awal dan akhir cerita, adalah pribadi yang sama. Tidak ada belief ataupun sudut pandang yang ditantang. Heck, bahkan kupikir cast yang blasteran bakal berpengaruh ke persoalan Ivanna yang bule Belanda dengan pribumi. Enggak ada ternyata. Kasiannya, tanpa karakterisasi mumpuni, Ambar hanya jadi kayak perpanjangan gimmick penceritaan saja. Sebagai media flashback, sebagai mouthpiece eksposisi, sebagai pengasih solusi.
Untuk ngisi paragraf blok ini aja aku bingung. Biasanya kan ini tempat aku menguraikan pesan atau tema filmnya. What’s the movie really about. Aku gak tau apa yang didapat Ambar dari pengalamannya diteror Ivanna, atau juga apa yang ‘dipesankan’ Ivanna kepada kita. Yang bisa aku dapat dengan reaching adalah Ivanna jadi tragedi karena dia lose her head, secara simbolik ataupun beneran. Dia dipenggal, setelah sebelumnya sempat mengutuk sebagai respon kebencian yang ia dapat. Apakah Ivanna salah di sini karena mengutuk balik? Apparently so, karena antitesisnya di sini – yaitu si Ambar – menggunakan kepala yang lebih dingin ketika krisis hantu di panti. Ambar lebih resourceful, dan dia bisa menemukan cara untuk mengalahkan Ivanna.
Sutradara seperti Kimo mau ngambil proyek Danur Universe jadi big deal karena perbedaan gaya yang memang drastis. Ini sebenarnya mirip ama Thor yang diambil oleh Taika Waititi. Mengubahnya dari serius, ke kini jadi konyol. Kimo mengambil dari franchise yang biasanya gak sadis, dan membuat film yang penuh darah. Membuat film yang lebih dekat ke franchise The Doll, yakni horor slasher. Tapi tentu saja horor tidak terbagi menjadi film horor jelek dan film horor sadis. Sebagaimana superhero tidak terbagi menjadi film superhero jelek dan film superhero serius. Semuanya dalam kelas masing-masing. Ada film konyol yang jelek, ada yang bagus. Ada horor sadis yang jelek, ada horor sadis yang bagus. Menilai film ini juga mestinya seperti itu. Tidak dari sejauh mana ia berbeda dari akar franchisenya, tapi dari pencapaiannya di kotak dia berada sekarang. Jadi di mana kita menempatkan Ivanna sekarang?
Harusnya sih di kotak horor slasher, ya. Sesuai dengan spesialisasi sutradaranya. Tadinya kupikir Kimo bakal dapat kebebasan penuh menggarap ini sesuai visi dan gayanya. Dan memang kita bisa melihat perbedaan tersebut. Film Ivanna jauh lebih kelam dan berdarah dibandingkan film-film lain di franchise Danur. Namun entah mengapa, aku masih merasa film ini masih belum terbebas sepenuhnya. Ada banyak pilihan gimmick horor mainstream. Terutama jumpscare. Here we have horor dengan pembuat yang jago bikin adegan berdarah-darah, tapi sebagian besar adegan seram masih bergantung kepada fake jumpscare (jumpscare yang bukan terjadi karena ada hantu) bersuara keras. This film is just loud. Kalo bukan oleh suara-suara, ‘berisiknya’ film ini bakal datang dari penjabaran atau eksposisi mitologi Ivanna (padahal udah ada adegan flashback juga). Bukti berikutnya horor Ivanna kurang maksimal kudapat di ‘final battle’ Ambar dengan Ivanna. Mereka nyemplung ke sumur tua, dan… adegannya kering banget. Like, literally. Air padahal elemen dan estetik yang hebat untuk cerita horor. Bandingkan saja dengan ‘final battle’ di dalam sumur pada film Ring. Heran juga kenapa Kimo gak jor-joran di sini. Padahal biasanya adegan akhir horor, apalagi slasher, pasti bakal gila-gilaan. Pemain utama bakal didorong fisiknya di sini, dan air bisa jadi medium yang hebat untuk nunjukin perjuangan yang ditempuh. Gak mesti full underwater, yang penting bikin supaya perlawanan terakhir itu tervisualkan. Di Ivanna ini, Ambar bahkan lukanya lebih merah saat jatuh ke basement ketimbang ke dalam sumur.
Ini certainly film yang lebih fun di antara franchise Danur lainnya. Paling beda. Paling sadis. Paling kelam. Arahannya juga paling menonjol. Terasa punya gaya tersendiri. Dari pengadeganan yang ngasih depth, kejadian film gak hanya berlangsung kiri ke kanan atau sebaliknya tapi juga masuk ke depan layar; membuat panggung yang imersif, sampai ke gimmick penceritaan horor yang lebih beragam. Film mau mengambil waktu untuk memperkenalkan karakter dan membahas backstory. Jika saja naskahnya diberikan kedalaman yang serupa, jika skenarionya lebih mengeksplorasi karakter ketimbang memikirkan jumpscare dan pembunuhan berikutnya, tentulah film ini bisa jadi horor slasher – gabungan bunuh-bunuhan dan supranatural – yang cemerlang. Tapi melihatnya secara objektif sekarang, film ini style over substance, dengan beberapa gaya bahkan tidak tampil sebebas yang seharusnya bisa dilakukan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for IVANNA
That’s all we have for now.
Ivanna adalah gadis Belanda yang bersimpati kepada rakyat pribumi, tapi karena bangsanya penjajah, dia tetap dibenci. Bagaimana pandangan kalian soal ini, apakah pribumi-pribumi itu berhak membenci Ivanna yang bagaimana pun juga ada di sana sebagai bagian dari agenda penjajahan?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA