• Home
  • About
  • Movies
    • I CARE A LOT Review
    • STAND BY ME DORAEMON 2 Review
    • WRONG TURN Review
    • MONSTER HUNTER Review
    • JUDAS AND THE BLACK MESSIAH Review
    • MALCOLM & MARIE Review
    • DON’T TELL A SOUL Review
    • EARWIG AND THE WITCH Review
    • ALL MY FRIENDS ARE DEAD Review
    • SAINT MAUD Review
    • THE LITTLE THINGS Review
    • JUNE & KOPI Review
    • AFFLICTION Review
    • PIECES OF A WOMAN Review
    • ONE NIGHT IN MIAMI Review
    • NOMADLAND Review
    • MINARI Review
    • PROMISING YOUNG WOMAN Review
    • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
    • TARUNG SARUNG Review
    • SHADOW IN THE CLOUD Review
    • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020
    • ANOTHER ROUND Review
    • SOUL Review
    • ASIH 2 Review
    • WONDER WOMAN 1984 Review
  • Wrestling
    • Elimination Chamber 2021 Review
    • Royal Rumble 2021 Review
    • TLC: Tables, Ladders, and Chairs 2020 Review
    • Survivor Series 2020 Review
    • Hell in a Cell 2020 Review
    • Gold Rush: Clash of Champions 2020 Review
    • SummerSlam 2020 Review
    • The Horror Show at Extreme Rules (Extreme Rules 2020) Review
    • Backlash 2020 Review
    • Money in the Bank 2020 Review
    • WrestleMania 36 Review
    • Elimination Chamber 2020 Review
    • Royal Rumble 2020 Review
  • Books
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards CLOUD9
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: real-person

ONE NIGHT IN MIAMI Review

18 Monday Jan 2021

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2020, 2021, adaptation, crime, drama, friendship, funny, life, mature, real-person, review, spoiler, thought

“You can never have an impact on society if you have not changed yourself”

 

 

 

Satu malam yang disebut oleh judul film ini adalah malam tanggal 25 Februari 1964. Malam di Miami ketika Muhammad Ali menjadi juara dunia tinju untuk pertama kalinya. Sungguh malam yang bersejarah. Film ini lantas mengajak kita melangkah ke balik tirai peristiwa legendaris tersebut. Ke dalam relung-relung imaji alih-alih lembaran fakta-fakta solid. Penulisnya mengajukan skenario fiksi – skenario andai-andai – soal Muhammad Ali merayakan kemenangannya tersebut. Dalam skenario Kemp Powers ini (ia adaptasi dari naskah teater karyanya sendiri), Ali yang saat itu masih menggunakan nama Cassius Clay tidak menghabiskan malam besarnya dengan berpesta di tempat mewah. Melainkan duduk di dalam kamar hotel yang sederhana. Membicarakan soal perubahan besar yang perlu diambil untuk mengubah dunia 60an yang rasis itu menjadi lebih baik. Bersama tiga sahabatnya; Sam Cooke, Jim Brown, dan Malcolm.

Jika kalimat terakhir tersebut kurang berefek bagi kalian for some reasons – mungkin kalian masih terlalu muda untuk ngeh mereka-mereka tadi itu siapa, maka aku akan mengulanginya sekali lagi. Dengan lebih memperjelas tentunya. Cassius Clay alias Muhammad Ali adalah legenda tinju yang namanya bukan cuma gede di atas ring melainkan juga di layar televisi dan layar lebar. Jim Brown juga seorang atlet sukses, yang juga menjelma menjadi figur kenamaan di dunia olahraga futbol dan perfilman. Sam Cooke merupakan salah satu penyanyi terbesar di zaman itu. Dan ya, Malcolm adalah sosok luar biasa berpengaruh dalam gerakan Kulit Hitam, yang diabadikan oleh Spike Lee dalam film Malcolm X (1992). Empat karakter dalam film ini adalah empat tokoh yang larger than life. Prestasi dan gebrakan mereka punya catatan sejarah masing-masing. Pada zaman itu, mereka bukan semata punya penggemar atau pengikut. Melainkan itu membuktikan pengaruh mereka yang demikian besar. Mereka berjuang dengan cara, melalui keahlian, masing-masing untuk mengupayakan dunia yang lebih baik.

Skenario One Night in Miami mempertemukan keempat tokoh ini. Empat sahabat yang berkumpul dan berkelakar, hingga akhirnya mulai beradu argumen, dan saling mempengaruhi untuk kemajuan temannya. Dan sutradara Regina King memvisualkan segala kekompleksan dan emosi tersebut ke dalam tayangan yang mudah dicerna tanpa mengurangi bobot isu besar yang dieksplorasi. Isu yang masih relevan buat kita yang menontonnya di tahun 2021.

Influencer beneran adalah influencer yang ngumpul bukan untuk sekadar selfie dan party.

 

So yea, tantangan buat menghidupkan film ini enggak gampang. Apalagi buat sutradara debutan seperti Regina King. Bukan hanya King harus membuat adegan-adegan ngobrol tampil engaging, dia juga harus bisa memberi nyawa kepada setting dan terutama kepada empat tokoh legenda tersebut. Jangan sampai semuanya itu malah tampak sebagai parodi. Setelah menghabiskan nyaris dua jam durasi, kita akan bisa melihat bahwa pendekatan yang diambil oleh King berhasil dengan baik.

‘Antagonis’ di cerita ini sudah jelas, isu rasisme. Permasalahan kuat yang harus dihadapi oleh para karakter. Sehingga kini, break or make untuk film ini jelas tergantung dari cara King mempersembahkan karakter-karakter utamanya. King mengerti bahwa ia harus menguatkan emosi manusiawi supaya para tokoh itu beneran seperti karakter yang hidup. King juga paham konflik yang kompleks dari setiap mereka datang dari mana. Mereka adalah yang orang yang besar dari karir, tapi juga punya sesuatu yang ingin diperjuangkan atas kepentingan sosial bersama. Di menit-menit pertama, sebagai perkenalan, King menarik para karakter ke belakang. Kita diperlihatkan momen masing-masing mereka di luar sana, ketika karir maupun sosial mereka bertemu dengan berbagai bentuk ketimpangan warna kulit. Adegan pembuka paling menyentuh adalah bagian Jim Brown, yang berkunjung ke kediaman kerabat keluarga. Momen yang awalnya terasa hangat dan bersahabat itu seketika berubah menjadi dingin karena sang kerabat keluarga yang ramah itu ternyata tidak memperkenankannya masuk ke rumah atas alasan warna kulit.

Momen-momen awal yang seperti itu tadi sesungguhnya krusial. Karena film bisa-bisa bakal jadi seperti overdramatisasi saat memperlihatkan perlakuan timpang yang dialami oleh karakternya. King menghandle ini dengan membuat setiap karakter sedekat mungkin dengan tokoh aslinya. Referensinya tentu saja pada bacaan sejarah. Bagaimana tokoh itu bertindak. Apa hal yang ia suka. Film memasukkan banyak elemen asli ini untuk melandaskan rasa otentik tersebut. Seperti misalnya Cassius Clay yang punya pesona unik di atas ring. Sudah jadi rahasia umum kalo Muhammad Ali senang bertindak layaknya ‘heel’ di atas ring; suka belagu, beliau mencontoh gimmick gulat Gorgeous George yang ia anggap sangat menghibur bagi penonton. Film One Night in Miami bahkan memuat dialog soal kegemaran Clay nonton wrestling dan pengaruh Gorgeous George terhadap cara bertandingnya. Jadi film ini bukan hanya membayangkan diskusi dan dialog-dialog, tapi juga dibumbui oleh fakta-fakta dari para tokoh. Hasilnya dapat kita rasakan drama dalam film ini terasa hidup dan meyakinkan. Kita melihat mereka seperti Muhammad Ali beneran, Sam Cooke – Malcolm X – dan Jim Brown beneran. Bukan ‘beneran’ as in tampak seperti tokoh yang dimuliakan, melainkan benar-benar manusiawi oleh emosi, kebimbangan, passion, dan sering juga, amarah.

Menempatkan perdebatan mereka di dalam kamar merupakan tindak simbolik yang menunjukkan kepada kita bahwa keempat tokoh kulit hitam ini baru bisa bebas menjadi mereka, mengungkapkan isi kepala dan menumpahkan isi hati mereka, di tempat yang tertutup. Jauh dari mata-mata yang lain. Terpisah dari kehadiran kulit putih, kalo boleh dibilang. Kamera dengan luwes menangkap momen-momen. Yang juga menunjukkan arahan sutradara tidak demikian terbata ketika berpindah dari suasana di luar dengan saat di dalam. Permainan akting pun tak kalah luwesnya. Eli Goree berhasil mengenai sikap bahkan aksen dari Cassius Clay. Aldis Hodge bicara banyak lewat ekspresi Jim Brown yang memang lebih banyak diam, menimbang konflik dan pilihannya di dalam hati. Bagiku, adu-akting yang paling memorable adalah antara Leslie Odom Jr. dengan Kingsley Ben-Adir ketika Sam Cooke dan Malcolm terlibat debat. Adegan sungguh membuncah; baik emosi maupun pikiran. Jadi, Malcolm-lah yang membujuk mereka semua untuk berada di kamar itu. Malcolm ingin mereka untuk berbuat lebih banyak, untuk menggunakan influence mereka yang besar sebagai memvokalkan perjuangan kulit hitam. Nah, Malcolm dan Cooke debat seru saat Malcolm mempertanyakan musik Cooke – kenapa malah Bob Dylan yang kulit putih yang duluan menyuarakan kaum kulit hitam. Debat mereka ini sangat menarik bukan hanya dari akting, melainkan terutama dari argumen yang dilontarkan masing-masing. Nonton bagian ngobrol ini akan sama serunya dengan ngeliat adegan Cassius Clay tanding tinju di atas ring.

Satu lagi yang menarik dilakukan oleh film ini adalah soal agama. Poin vokal Malcolm di sini adalah mengajak ketiga sahabatnya masuk ‘Nation of Islam’. Kita lihat Cassius Clay belajar sholat. Kita melihat dia juga tampak bimbang; sekilas boleh jadi dia tampak bakal merindukan minum alkohol, tapi berkat penceritaan film ini kita tahu sebenarnya kebimbangan Clay bukan kepada agama dan aturannya itu tetapi lebih kepada motivasi sang sahabat. Dan secara garis besar, ini menunjukkan bagaimana film menangani elemen agama. Malcolm yang membujuk tidak pernah tampak seperti ngasih dakwah, melainkan lewat persuasi yang mengena langsung ke sisi manusiawi para sahabat.

Film ini bisa ngajarin kita cara yang baik menegor sahabat

 

 

Cassius, Cooke, Brown, dan Malcolm — mereka adalah aktivis, selain juga sebagai katakanlah selebriti. Beginilah influencer sejati. Film ini nunjukin masa saat influencer itu kerjaannya benar-benar berjuang mempengaruhi orang untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Bukan semata untuk dapat endorsement dan tinggi-tinggian follower. Dalam film ini kita akan melihat bagaimana Malcolm berusaha menyadarkan teman-temannya akan ‘power’ yang mereka miliki dengan punya banyak penggemar dan pengaruh sebesar itu. Menurutku, di samping soal isu rasisme yang memang sangat disayangkan masih diperjuangkan hingga sekarang, the biggest take away yang bisa kita peroleh dari film ini adalah soal menyadari impact yang bisa kita punya tersebut. Kita sekarang hidup di masa yang semua orang bisa jadi influencer yang punya pengikut berjuta-juta. Namun rasisme masih ada. Ketimpangan masih banyak. Either kita tidak menyadari impact yang bisa kita buat, atau we simply doing it wrong. Bujukan Malcolm kepada sahabat-sahabatnya di film ini bisa kita jadikan sebagai pembuka mata.

Film ini bicara tentang realizing impact yang bisa kita punya, dengan berani berubah demi itu. Dan sepertinya memang inilah yang susah. Nelson Mandela bilang kita tidak akan bisa berpengaruh besar terhadap sosial jika diri kita sendiri belum berani untuk berubah. Dan betapa benarnya itu semua, karena dalam film ini kita akan melihat perubahan pribadi itulah yang jadi penyelesaian cerita. Cassius yang akhirnya berani dan yakin masuk Islam – dia mengganti namanya. Cooke yang akhirnya berani membuat lagu-lagu yang berbobot. Bahkan perubahan ‘sekecil’ Jim Brown yang akhirnya berani berhenti sebagai atlet dan mengejar karir lain, pada akhirnya jadi titik balik signifikan dalam perjuangan masing-masing.

 

Harusnya, dengan pesan seperti ini, film berakhir dengan impact yang powerful. Tapi tidak terasa begitu. Jika kita bandingkan dengan Ma Rainey’s Black Bottom (2021); film yang juga diangkat dari teater play, film yang juga banyak ngobrol, film yang juga dari tokoh beneran, One Night in Miami ini terasa jinak. Imajinasinya bermain aman. Tidak ada aspek seperti ‘pintu yang tak bisa dibuka’ yang jadi gempuran dan klimaks buat konflik karakter dalam One Night in Miami. Seperti kurang nonjok. Film ini menutup diri dengan montase kejadian asli yang menimpa karakternya – terkait pilihan mereka. Tapi tidak terasa impactful karena malah hanya tampak seperti eksposisi – karena kita udah tahu mereka yang tokoh beneran ini bakal gimana. Kalo dilihat dari materi atau penulisan, film memang punya dialog-dialog yang menantang pikiran. Sehingga kurang nonjoknya ini sesungguhnya berasal dari masalah pacing. Building ke momen-momen-nya yang bisa diperbaiki lagi. Misalnya, momen Cassius menerima dan ikhlas mau ngumumin masuk Islam; dalam film ini terasa agak terlalu cepat – padahal tadinya mereka baru saja berargumen soal itu. Momen kayak gini yang mestinya bisa diperhatikan lagi build up dan temponya. Kreasi mengadaptasi juga bisa lebih ‘diberanikan’ lagi.

 

 

 

 

Membahas empat karakter sekaligus tampaknya memang sedikit terlalu banyak untuk proyek pertama penyutradaan. Tapi selain itu, film ini berhasil membangun sebuah skenario fiksi menjadi sesuatu yang kompleks dan tetap jujur dan menghargai sejarah di baliknya. Kekuatannya ada pada hubungan keempat tokoh, yang berhasil digambarkan sebagai sosok yang manusiawi. Film berhasil keluar dari jebakan parodi. Sehingga yang kita dapatkan adalah kisah persahabatan yang seperti real dan membuka banyak ruang untuk diperbincangkan. Bagi sutradaranya sendiri, film ini membuka ruang untuk banyak improvement untuk ke depannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ONE NIGHT IN MIAMI

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Jika boleh berandai, siapa empat orang tokoh atau aktivis atau influencer Indonesia yang akan kalian tempatkan di satu ruang untuk berdebat demi kemajuan Indonesia? Dan berdebat soal apa?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review

08 Friday Jan 2021

Posted by arya in Movies

≈ 2 Comments

Tags

2020, drama, funny, life, mature, Music, netflix, real-person, review, spoiler, thought

“You have to be determined to change the world … Even though nothing changes.”

 

 

 

Semua orang bekerja keras supaya jadi sukses. Semua orang ingin sukses, well, demi alasan yang beragam. Mulai dari tujuan yang noble seperti membahagiakan keluarga. Hingga yang sedikit lebih personal. Ada yang bekerja keras menjadi sukses supaya tidak perlu lagi memperkenalkan dirinya. Ada pula yang bekerja keras menggapai sukses supaya bisa mengubah dunia. Levee, karakter dalam film Ma Rainey’s Black Bottom yang diadaptasi dari teater, ingin sukses supaya bisa seperti Ma Rainey si penyanyi blues tersohor itu. Supaya produser musik kulit putih tunduk dan mendengarkan apa maunya. Karena Levee punya pandangan baru mengenai musik blues, that he knows better, dan dia ingin menaikkan derajatnya demi keluarga. Ya, Levee pengen sukses untuk ketiga tujuan tadi. Maka dari itu, cerita film ini akan berakhir mencekat bagi dirinya.

Keseluruhan cerita Ma Rainey’s Black Bottom berlangsung dalam kurun satu hari, dan practically sebagian besar berlokasi di satu tempat yang sama. Jadi ceritanya memang akan sangat contained. Cerita ini berlangsung di gedung rekaman musik. Ma Rainey yang terkenal itu akan ngerekam album, tapi dia belum datang. Sehingga kita dibawa ke basement, berkenalan dengan empat anggota band pemusiknya. Salah satunya adalah Levee, si peniup terompet. Pemusik muda berbakat, yang punya visi dan ambisi besar. Levee ingin menulis musik sendiri. Dia bahkan sudah menyiapkan satu untuk dipitch kepada produser rekaman ini. Ada sedikit ketidakcocokan antara Levee dengan Ma, mainly karena Levee sedikit mengubah aransemen lagu Ma, dan dia percaya gubahannya ini bakal lebih laku. Yang terang saja ditolak oleh Ma. Ketidaksamaan mereka berujung pada ‘rusuhnya’ proses rekaman.

Jika Levee bersedia melakukan apapun untuk mengorbitkan dirinya sendiri – termasuk enggak koperatif dengan band, maka Ma juga tidak kalah sukarnya untuk diajak bekerja sama, at least bagi produser rekaman. Namun begitu, ada begitu banyak yang bisa kita simak di balik gambaran kedua karakter ini. Lewat kisah Levee dan Ma Rainey yang lagi rekaman musik di Chicago 1920an ini, film secara khusus menyoal masalah rasisme yang masih terus bergulir, dan secara umum juga membahas dinamika keahlian yang dimiliki oleh seseorang dengan kuasa yang menyertainya.

Kayaknya Ma Rainey ini-lah yang mempelopori musisi harus banyak maunya kalo disuruh nyanyi

 

 

Karena film ini tadinya adalah naskah teater, maka memang akan banyak sekali dialog yang akan kita dengar. Tapi jangan khawatir, tak akan sedetik pun dari film ini yang bikin kita mengucek mata yang berair karena kebanyakan menguap. Sebab craft film ini dalam menghidupkan dialog-dialog, yang ditulis dengan cerdas dan menantang, adalah tingkat juara.

Pertama tentu saja soal permainan aktingnya. Semuanya bagus banget. Yang bikin was-was itu adalah karakter Ma Rainey, karena biasanya karakter yang berasal dari tokoh asli kayak gini ekstra sulit karena tuntutan perbandingan dengan versi aslinya. Karakter kayak gini punya kadar seimbang yang harus dicapai sehingga hasilnya tidak tampak seperti parodi, melainkan berhasil menghidupkan dengan respek. Viola Davis berhasil untuk membuat Ma versi dirinya tak tampak sebagai parodi ataupun tak tampak hanya sekadar bermain ‘pura-pura’. Meskipun permintaan Ma dalam film ini terdengar komikal, tapi lewat ekspresi Davis kita merasakan urgensi. Kita merasakan weight dan tensi yang real, bahwa karakter ini gak main-main ketika dia minta kola dingin sebelum rekaman (dan tak akan mulai rekaman sebelum ada kola). Kita juga dapat merasakan karisma sosok Ma Rainey tersebut. Secara desain naskah, karakter Ma ini dimaksudkan sebagai ‘antagonis’ dari Levee, tapi film ini tidak berniat untuk membuat semua hitam-putih. Sehingga tantangannya adalah membuat penonton melihat sesuatu di balik cara pandang Levee terhadap Ma. Dan film ini berhasil. Permainan akting para aktor sangat membantu mencapai dinamika yang diinginkan.

Menurut IMDB, ini adalah film terakhir Chadwick Boseman. Istilahnya, ‘swan song’ buat Boseman. Dan mengetahui hal tersebut, membuat film ini terasa semakin mencekat saja. Boseman main film ini sambil berjuang dalam pengobatan kanker, yang ultimately merenggut nyawanya. Aku tau aktor profesional selalu memberikan kerja maksimal dalam setiap pekerjaan mereka, tapi melihat aktingnya yang begitu intens – khususnya di satu adegan monolog mempertanyakan Tuhan – dalam film ini, I wonder apakah Boseman ‘tahu’. Karena emosi yang ia tunjukkan tampak amat, sangat real. Amarah dan terlukanya karakter Levee ini menguar kuat di balik sikapnya yang tampak konfiden akan perubahan besar yang bakal ia bawa melalui bakat musiknya. Sama seperti Ma tadi, walaupun tokoh ini didesain sebagai protagonis, tapi lewat akting yang benar-benar tepat memaknai naskah, Levee juga seringkali membuat kita khawatir, atau kita tidak merasa setuju dengannya. Range karakter ini juga luar biasa. Di awal kita akan melihat dia dengan senyum dikulum “aku tahu kapan harus tersenyum, aku bisa tersenyum kepada siapapun yang ku mau” dengan ambisi terasa kuat di balik sifat optimis, dan di akhir saat dia tampak menyangkal dan meluap, kita bisa merasakan penyesalan dan pembelajaran merebak di hatinya. Boseman berpindah dari arahan yang menyuruhnya untuk subtil ke meledak, dengan sangat precise. Tanpa terbata melainkan sangat meyakinkan. Tak pelak, perfilman benar-benar telah kehilangan aktor sehebat Chadwick Boseman.

Kalo kata Mr Sneecbly “You’re gonna be a footnote on my epic ass!”

 

 

Kedua, ya tentu saja tulang punggung film ini. Naskah. Penulisannya keren banget. Walaupun isinya orang-orang ngobrol – mau berdebat atau bercerita – tapi tidak monoton. Ada eskalasi yang terasa. Percakapan mereka pun sangat imajinatif. Misalnya ketika berbincang soal analogi ras kulit hitam dengan makanan. Benar-benar fantastis untuk disimak. Pun terasa kepentingannya sebagai menyuarakan struggle ras yang seperti tak akan ada habisnya.

Komentar tentang perjuangan ras memang jadi pilar utama film ini. Film ingin kita ikut duduk mengobrolkan soal bagaimana cara terbaik melakukan perjuangan tersebut. Levee dan Ma adalah ‘studi kasus’ yang mewakili dua bentuk perjuangan. Memahami perbedaan sikap kedua karakter tersebut akan membuat kita mengerti dengan gagasan yang ‘ditandingkan’ oleh film ini. Ma Rainey, yang dijuluki Mother of Blues. Dia reluctant menggunakan julukan tersebut. Karena musik blues, katanya, sudah ada dari dulu. Dan bahwa orang harusnya tahu dulu sejarah, jangan tau memainkan musiknya saja. Pernyataan dan sikap Ma inilah yang jadi kunci – yang paling membedakan Ma dengan Levee. Yang membuat Levee tidak akan bisa seperti Ma. Bahwa Ma berjuang bukan demi ambisi pribadi. Kita melihat Ma bersikeras keponakannya yang gagap ikut dalam rekaman album, kita melihat Ma bersikeras keponakannya dan anggota band dibayar tunai sehabis rekaman. Ma peduli kepada rombongannya. Ma peduli pada perjuangan bersama.

Sedangkan Levee, dia sudah siap untuk keluar, nyiptain musik sendiri, bikin band sendiri. Levee bahkan sulit ‘bekerjasama’ dengan Tuhan, karena dia gak percaya. Dia menggunakan uang hasil main musiknya untuk beli sepatu – sebagai bentuk ‘puk-puk’ terhadap dirinya sendiri. Levee sama seperti Ma, berjuang demi derajat ras yang lebih baik. Bedanya Levee bergerak demi dirinya sendiri terlebih dahulu. Dia bersikeras berjuang untuk mendobrak pintu, hanya untuk menemukan dirinya sendirian tak akan bisa mencapai ke mana-mana. Hal ini divisualkan oleh film lewat adegan yang bernuansa cukup sureal di mana Levee akhirnya berhasil membuka pintu di ruang latihan hanya untuk merasa semakin terkungkung, bukannya semakin bebas.

Setiap perjuangan yang kita lakukan adalah untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Tapi itu tidak berarti perubahan akan langsung terjadi. Makanya, penting bagi kita untuk berjuang dengan mengingat ke belakang. Supaya kita bisa mengingat ‘lebih baik’ itu untuk siapa. 

 

Sebagai kulminasi dari cerita, penampilan akting, arahan, dan penulisan itu sendiri, film berakhir dengan terasa sangat ironis. Perjuangan Levee sendirian itu dengan sangat mudah ditampik. Dia tidak accomplish apa-apa selain melukai kaumnya sendiri. Berbeda sekali dengan Ma yang pada akhirnya bukan hanya karirnya menjadi lebih secure, dia juga membawa ‘security’ bagi orang-orangnya. Yang berarti perjuangan mereka masih akan berlanjut. Eventually dunia akan berubah jika semakin banyak orang mengusahakan hal yang sama.

 

 

 

Film ini adalah proyek kedua dari Denzel Washington yang 2015 lalu mengumumkan bahwa dirinya akan membuat film berdasarkan naskah teater karya August Wilson. Aku suka banget sama film proyek pertamanya, Fences yang keluar tahun 2016. Dan film yang kali ini, aku dengan senang hati sekali memberitahu, bukan hanya mempertahankan prestasinya punya penampilan akting yang memukau, tapi juga ceritanya bahkan lebih emosional lagi. So yea, I also like this movie very much. Sutradara George C. Wolfe ditunjuk untuk menggarap cerita, dan yang ia bikin untuk kita adalah suatu tontonan yang begitu menghantui. Hingga lama setelah kita menontonnya.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for MA RAINEY’S BLACK BOTTOM

 

 

 

That’s all we have for now.

Pernahkah kalian merasa kecewa saat telah berjuang keras tapi merasa tidak mengubah apapun?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

MANK Review

14 Monday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2020, biopic, comedy, drama, filmmaking, funny, life, love, netflix, real-person, review, spoiler, thought

“Your job is to tell your story”

 

 

 

Diberikan kendali penuh atas semua keputusan kreatif cerita dalam sebuah pembuatan film sudah barang tentu merupakan mimpi basah setiap penulis naskah. Herman Mankiewicz, penulis naskah veteran di Hollywood tahun 40-an, kecipratan hak istimewa itu saat ditunjuk untuk berkolaborasi oleh produser muda Orson Welles. Di tengah-tengah Studio yang lagi struggling, Welles diberikan otonomi khusus untuk membuat film, dan Mank – panggilan Mankiewicz – yang terkenal karena talentanya, oleh Welles, diperbolehkan menulis apapun. Cerita apapun yang menarik. Dalam batasan waktu dua bulan. Asalkan, Mank setuju namanya tidak dicantumkan pada kredit. Sebagai seorang yang vokal terhadap kritik sosial, Mank setuju karena dia punya banyak observasi terhadap keadaan khususnya Hollywood saat itu. Namun keadaan memperlihatkan cerita yang sedang ditulis ternyata personal bagi Mank. Terlalu personal malah. Dan kejadian hasilnya, adalah sejarah dalam dunia perfilman.

Bagi penonton yang baru melek ke dunia, skenario cerita yang dimaksud oleh film ini adalah skenario Citizen Kane (1941). Film yang dipertimbangkan banyak kritikus dan penikmat sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat. Yang pernah ditulis. Film yang benar menggambarkan resesi setelah Great Depression yang melanda seantero Amerika. Mankiewicz dan Welles diganjar Oscar untuk film ini. Makanya film Mank yang dibuat oleh David Fincher ini enggak bisa lebih menarik lagi. Setidaknya sangat menarik bagi para penggemar dan pemerhati sinema. Karena Fincher menawarkan kita tempat duduk paling depan pada rangkaian peristiwa yang mendasari bagaimana film Citizen Kane itu bisa tercipta. Kita akan melihat insipirasi penciptaannya, langsung dari sudut pandang Herman Mankiewicz sendiri. Langsung, dari sosok yang terkenal bukan hanya lewat talenta tapi dari pemikiran dan aksinya yang kontroversial, bahkan untuk standar Hollywood itu sendiri.

Also it’s all very weird to me, karena selama ini ‘Meng’ buatku konotasinya adalah ‘pegulat dengan reputasi paling ditakuti bahkan oleh sejawatnya’

 

 

Tadinya kupikir, cerita film ini akan menarik karena berhubungan dengan batasan waktu. Dua bulan yang diberikan untuk Mankiewicz menulis, ditambah dengan kondisinya yang udah tua tapi tetep ngebut minum – dan rintangan tambahan berupa kaki Mankiewicz yang digips karena kecelakaan mobil, effectively membuat dia ‘terikat’ di tempat tidur, kukira akan dijadikan sebagai rintangan utama dalam proses kreatif menulisnya. Aku salah telah meragukan kehebatan sosok legenda Hollywood tersebut. Bagi Mankiewicz dalam film ini, itu semua bukan halangan untuk menulis. Namun lantas jika begitu, di mana letak konflik film Mank ini? Mankiewicz itu sendirilah yang membuat film ini jadi punya konflik yang menarik.

Mank juga bukan cerita tentang kejatuhan seorang penulis. Sedari awal film ini dimulai, kita sudah melihat karakter ini yang ‘bermasalah’. Toh dia sendiri sadar masa jayanya sudah hampir lewat. Kita bisa melihat meskipun orang-orang film di sekitar Mankiewicz menghormati dia karena ilmu dan kepandaiannya menulis, tapi orang-orang itu juga melihat Mankiewicz sebagai semacam bom waktu yang tau-tau bisa meledak. Dan tak ada yang sudi meledak bersamanya. ‘Penyakit’ candu alkohol dan lidah tajam Mankiewicz-lah yang jadi konflik dan hambatan dalam cerita ini. Citizen Kane yang ia bikin nantinya juga bukan tanpa kontroversi, sebab tokoh-tokoh di dalam film tersebut seperti tampak ditulis berdasarkan pada komentar atau pandangan Mankiewicz terhadap karakter-karakter yang berhubungan dengannya. Yang tidak semua dari mereka suka untuk terseret dalam pandangan Mankiewicz yang berani menyulut kontroversi.

Lewat naskah yang ditulis oleh mendiang ayahnya, David Fincher dengan berani memuat itu semua. Jika film-film biopik biasanya akan bersikeras untuk memperlihatkan sisi terbaik dari tokoh nyata yang sedang dibicarakan tersebut, maka Mank justru dengan bangga memperlihakan semua hal, termasuk saat-saat dia yang paling bobrok. Dalam film ini kita justru diminta untuk memahami seorang penulis tua yang seharian di tempat tidur, diam-diam minum alkohol, di lain waktu dia flirting dengan perempuan walaupun dia sudah menikah. Dia bahkan enggak sedewa itu dalam urusan perfilman; aku ngakak ketika dia menyumpahi The Wizard of Oz. And oh btw, dia menyebut istrinya dengan panggilan ‘Poor Sara’ haha bayangin. Fincher sepertinya ingin menubrukkan itu dengan latar Hollywood yang sebenarnya jadi komentar khusus. Bukan untuk memilih ‘the lesser devil’, melainkan karena justru si Mankiewicz yang dipandang sinis karena komentar dan tabiatnya itulah yang berani mengkritisi dan vokal terhadap arahan dunia kerjanya saat itu.

Film ini bertutur secara bolak-balik. Antara Mankiewicz di tempat tidur, yang dikejar deadline naskah, dengan Mankiewicz muda yang mengarungi studio-studio hitam putih Hollywood – berinteraksi dengan rekan kerja dan orang-orang film sekalian. Gips di kakinya itu yang bisa dijadikan pegangan jika kalian menemukan kesulitan untuk memahami mana Mankiewicz yang mana. Karena transisi yang dilakukan film ke dua periode tersebut sangat mulus. Konteks sebenarnya jelas. Mank bakal terflashback setiap kali akan menulis, karena dari pengalamannya itulah dia menarik cerita. Dan kita pun gak perlu menonton Citizen Kane terlebih dahulu sebelum bisa mengerti apa yang ia tulis. Sebab film benar-benar memanfaatkan sekuen-sekuen flashback itu untuk menghidupkan gambaran, memusatkan perhatian kita pada apa yang diperhatikan oleh Mankewicz. Sejarah dunia sinema terpapar gamblang di sini. Fincher bicara banyak soal politik di balik tembok-tembok studio. Bagaimana film dijadikan agenda kampanye. Dijadikan propaganda. Bagaimana studio-studio gede seperti MGM terpengaruh keuangannya oleh Great Depression. Ultimately, bagaimana itu semua membentuk iklim perfilman saat itu.

Mankiewicz punya concern terhadap itu semua. Seperti juga halnya dengan Fincher yang tampak punya peduli terhadap perfilman saat ini. Kini otonomi, atau kendali-kreatif itu sudah jadi bahkan lebih langka lagi bagi para pembuatnya. Karena studio atau PH sudah benar-benar ingin mengatur ‘produk’ yang mereka jual. Film sekarang dijaga ketat agendanya, tampilannya, bahkan jadwal penayangannya. Mank sendiri ‘terpaksa’ harus tayang di Netflix setelah cukup lama luntang-lantung mencari tempat yang mau menayangkan. Padahal setiap film mestinya adalah kisah personal. Dan pekerjaan film mestinya menceritakan kisah-kisah tersebut.

 

Menonton film ini mengingatkanku kepada dua film yang kutonton baru-baru ini; Black Bear (2020) karena sama-sama memperlihatkan proses kreatif menulis, dan Tenet (2020) karena kedua film ini sama-sama menakjubkan secara teknis. Hanya saja, sayangnya, Mank lebih mirip Tenet dalam pencapaian keseluruhan.

Magic film-film zaman sekarang adalah waktu beli tiket kayaknya penuh, tapi pas di dalam studio ternyata sepi

 

 

Penonton yang benar-benar awam, I mean, orang yang jarang banget nonton film – yang gak tau – apalagi yang gak apal aktor-aktor, niscaya akan percaya film ini adalah film jadul beneran. David Fincher paling berhasil di aspek ini. Tampilan Mank didesain selayaknya film 30an. Hitam-putih, tapi bukan hitam-putih tegas melainkan dengan kualitas yang jernih sehingga adegan-adegan flashback terkesan kayak dreamy, atau benar-benar dari ingatan. Visual hitam-putih itu dihadirkan lengkap dengan efek seperti retakan sekilas pada frame, dan ‘cigarette burns’ yang memang hanya ada pada film-film jadoel yang masih menggunakan film reel.

Pengadeganan pun dibuat sama persis dengan film-film 30an seperti misalnya komposisi; background film dibuat kontras dengan foreground (terlihat saat adegan naik mobil), atau juga shot-shot yang mengontraskan cahaya kepada karakter, sehingga menimbulkan garis siluet. Film modern yang warnanya udah full hd mana ada lagi yang menggunakan teknik itu. Fincher juga kerap membiarkan sebuah adegan terdiam dahulu untuk beberapa detik, memberi waktu kepada kita untuk mencerna dialog-dialog panjang yang mengisi adegan, untuk kemudian ngezoom ke karakter dan perlahan fade out. ‘Ilusi’ ke era jadul itupun turut diperkuat dengan artistik yang meyakinkan. Yang bahkan semakin diperkuat lagi dengan permainan peran dari para aktor seperti Gary Oldman (menyaru sempurna banget ke dalam sosok Mank), Lily Collins dan Amanda Seyfried (suka lihat tampang klasik merekaaa), Tom Burke dan Charles Dance dan masih banyak lagi yang interaksinya dan mannerismnya meyakinkan.

Semua aspek teknis film ini, seperti Tenet, sungguh mencengangkan. Gak heran nanti kalo ada unsur-unsur film Mank yang nyangkut di Oscar. Namun seperti masalah yang ada pada Tenet, film ini pun tetap saja terasa hampa. Padahal penokohannya ditulis dengan lebih baik. Aku juga bisa mengerti konteks ceritanya. Situasi dan settingnya adalah informasi yang menarik mengenai sejarah dalam dunia perfilman. Dan itulah masalahnya. Film ini terasa lebih kayak rangkaian informasi-informasi ketimbang sebuah perjalanan karakter. Dialog-dialognya memang menarik tapi kita tidak terasa tersedot masuk. Kita hanya menyaksikan saja. Kita tidak terinvest kepada karakter, karena stake waktu tadi basically dibilang enggak susah bagi karakternya, dan hanya itulah yang dipunya cerita ini untuk membuat kita terikat secara emosional kepada karakternya. Di sepertigaan akhir, ada usaha dari film menampilkan adegan yang bertujuan untuk membuat kita merasa semakin simpati – inilah bagian paling rendah dalam karir dan kehidupan profesional Mankiewicz – hanya saja dengan absennya sesuatu yang nyata yang bisa terenggut darinya, kita gak bisa bertambah simpati. Malah yang ada, adegan tersebut tampak cringe.

Simpelnya, film tidak membangun pertaruhan bagi Mankieweiz. Kalo dia gagal, dia tidak kehilangan apapun. Stake harga diri juga tidak terbangun. Karir Mank tidak pernah diperlihatkan terancam, karena sedari awal tokohnya sendiri sudah menepis dengan percaya masa emasnya sudah lewat. Jadi ini adalah karakter yang nothing to lose. Susah untuk terinvest ke karakter seperti ini. Bahkan saat debatnya minta masukin nama di kredit Citizen Kane pun kita tidak pernah benar-benar merasa mendukung tuntutannya tersebut. Adegan yang berfungsi selayaknya ‘final fight’ itupun tak jadi begitu dramatis.

 

 

 

Alih-alih surat cinta kepada perfilman jadul, film ini lebih mirip seperti cermin yang diberikan sutradara karena cinta dan pedulinya terhadap perfilman modern. Karena dari film ini kita bisa belajar banyak. Entah itu peristiwa dan situasi perfilman era 30-40an. Ataupun juga belajar dari gambaran proses produksi film pada era tersebut. Penonton yang cinta dan ingin belajar lebih banyak tentang perfilman, perlu untuk menonton film ini. Toh memang tidak digarap main-main. Aspek teknis dan unsur-unsurnya juara. Masalahnya cuma, film ini meskipun karakternya menarik dan kadang cukup lucu, tidak benar-benar terasa seperti perjalanan karakter. Film ini lebih seperti buku pelajaran, yang gak gampang untuk dibaca berulang-ulang.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MANK.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Setelah menonton Mank, apa perbedaan dan persamaan antara perfilman sekarang dengan perfilman tahun 1930 menurut kalian?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

RESISTANCE Review

23 Thursday Jul 2020

Posted by arya in Movies

≈ 4 Comments

Tags

2020, biography, drama, family, funny, kids, real event, real-person, review, spoiler, thought, war

“A good laugh heals a lot of hurts”

 

 

 

Terlahir sebagai orang Yahudi jelas bukan hal yang ingin kau gembar-gemborkan jika hidup di Perancis tahun 1940an. Dengan Gestapo ada di mana-mana, memang yang paling baik adalah menjaga kesehatan dengan – well, sama seperti kita sekarang -dengan memakai masker. Topeng. Nama palsu. Samaran. Marcel beneran merias wajahnya. Dia pasang ‘kumis-model-sikatgigi’ palsu. O tidak, dia tidak menyamar menjadi Hitler. Dia menjadi Charlie Chaplin. Dia tidak ingin membuat orang menderita. Dia ingin menjadi seperti idolanya; membuat orang tertawa.

Nama Marcel Marcaeu tercatat dalam sejarah bukan hanya sebagai seniman pantomim paling tersohor, melainkan juga sebagai seniman pantomim yang beneran ikut berjuang bersama gerakan Perlawanan Yahudi di Perancis. Film Resistance karya Jonathan Jakubowicz adalah cerita tentang perjuangan tersebut. Sebagai biografi sejarah, film ini memang tidak terlalu akurat karena menambahkan banyak bumbu-bumbu drama ke sekitar kehidupan Marcel. Tapi sebagai kisah kepahlawanan; film ini dengan tepat menggambarkan esensi perjuangan Marcel. And it is an unique one. Karena bagi Marcel, perjuangan itu bukanlah balik mengangkat senjata mengalahkan musuh. Menumbangkan mereka sebanyak mereka menumbangkan kita. Melainkan, berjuang berarti menyelamatkan sebanyak mungkin korban. Membangkitkan kembali semangat hidup mereka. Marcel Marceau tercatat sudah menyelamatkan ratusan anak-anak Yahudi korban Nazi, membawa mereka nyebrang ke perbatasan. Film ini tidak mengabaikan perjuangan tersebut. Sekaligus tidak lupa untuk menekankan, bahwa hal terpenting yang dilakukan Marcel si tukang pantomim – hal sesungguhnya yang ia lakukan dalam menyelamatkan kehidupan mereka – adalah telah membangkitkan kembali semangat hidup anak-anak tersebut dengan seni dan tawa.

Seni adalah eskapis, dan tawa adalah obat yang paling mujarab. Marcel menggabungkan keduanya, dan dengan itulah ia menolong banyak anak. Tawa membuat kita melupakan kebencian dan ketakutan. Tawa menutup luka-luka emosional. Tertawa bersama membuat kita lebih mudah merasakan empati terhadap orang lain. Itulah yang persisnya dibutuhkan oleh dunia, dan Marcel adalah master dari seni tersebut.

 

hiburan di kala duka

 

Jadi film ini memang sudah semestinya menyentuh saraf-saraf emosional kita dengan kehangatan yang dipancarkan oleh Marcel lewat usahanya berpantomim, menghibur hati para anak-anak yatim piatu korban Nazi emotionally, dan secara literal menyelamatkan mereka ke tempat yang aman. Misi film ini terang dan jelas. Melandaskan kecintaan Marcel terhadap profesinya, memperlihatkan konflik Marcel dengan ayahnya sehubungan dengan pilihan profesi alias passionnya tersebut – yang dianggap malu-maluin dan membuat kelaparan – serta tentu saja menguatkan hubungan Marcel dengan anak-anak yang ia lindungi serta hubungannya dengan Nazi yang jadi pendorong utama untuk menjadi lebih baik. Lika-liku Marcel secara personal haruslah diperdalam oleh film yang katanya biografi ini. Terlebih setelah ditetapkan bahwa Marcel berawal sebagai seorang yang mementingkan diri sendiri.

Durasi dua jam semestinya cukup untuk memadatkan itu semua. Namun entah kenapa, film seperti meme cowok yang berjalan bersama pacarnya, terpana menatap wanita lain. Alias, film ini seperti teralihkan perhatiannya membahas ke hal-hal yang seharusnya hanyalah pendukung bagi Marcel. Bahasan Marcel dengan ayahnya yang tukang daging misalnya, harusnya bisa lebih diperdalam, mengingat background sang ayah yang kompleks dan tak kalah mengejutkan. Yang tentu saja tak cukup dan terasa diburu-buru jika hanya dilakukan dalam lingkup satu babak cerita dan beberapa percakapan di antara mereka, seperti yang kita dapatkan dalam film ini.

Momen kunci yang menjadi hati cerita adalah relasi yang terbangun antara Marcel dengan anak-anak yang mereka jaga di penampungan. Pada beberapa waktu, film berhasil menghadirkan adegan yang benar-benar terasa genuine. Kekuatan pantomim berhasil menghubungkan hati para tokoh, digambarkan lewat pengadeganan yang menghanyutkan. Jesse Eisenberg tampak benar-benar berusaha mempersembahkan ‘the art of silence’ tersebut, meskipun sama seperti aksen frenchnya; performa Eisenberg goyah. Kita perlu lebih banyak adegan yang menceritakan Marcel berusaha berkomunikasi lewat pantomim. Terlebih jika tokoh Marcel sendiri memang seperti diniatkan untuk tampil sebagai orang yang cukup canggung dalam berkomunikasi langsung. You know, layaknya tipikal tokoh-tokoh yang diperankan oleh Eisenberg sebelum ini. Aku gak pernah yakin tokoh Marcel ini orangnya seperti apa. Saat ia bicara seringkali persona nerd dan social-awkward ala Eisenbergnya mencuat. Kemudian saat dia berpantomim, ketika aku yakin dia bakal magnificent, dia tetap sering tampak gak lepas dari gestur awkwardnya. Judgment kita soal performa pantomimnya masih belum bisa kuat, karena adegan berpantomim di film ini kurang banyak, sehingga kita jadi sukar menyimpulkan apa yang terjadi di sini. Apa ia benar-benar bermaksud melucu, apa anak-anak itu tertawa bersamanya, atau mereka menertawakannya.

Padahal pantomim mestinya adalah seni yang powerful nan beautiful. Ditambah dengan konteks perang, kekejaman Nazi dan mengerikannya perang, seharusnya semua bisa tersampaikan di sana. Tapi penampilan Marcel tidak pernah sedalam itu. Apalagi menyentuh ranah surealis. Film yang mengangkat seorang yang berpantomim, dan menyelamatkan orang-orang, tidak berhasil sepenuhnya untuk membuat kita konek kepada subjek ceritanya sendiri. Karena memang cerita tidak disusun untuk fokus ke sana. Film malah sepertinya tidak paham bagaimana menggali sisi dramatis yang genuine dari sana. Maka ditambahkanlah, dipusatkanlah, bumbu-bumbu yang dirancang untuk menjadi dramatis. Bumbu yang bahkan enggak ada di sejarah kehidupan tokoh aslinya. Bunch of time dihabiskan untuk mengedepankan kehidupan cinta Marcel dengan seorang tokoh fiktif, hanya untuk berakhir dengan tidak kemana-mana, selain film butuh sesuatu untuk ditangisi oleh Marcel (dan supposedly penonton). Film menghabiskan banyak waktu untuk tidak membuat kita fokus ke personal Marcel. Momen-momen penyadaran – dia yang tadinya selfish lalu berubah menjadi peduli dan sayang pada anak-anak – diceritakan terlalu cepat dan dengan tidak banyak kejadian penting. Ada loncatan periode di paruh awal film yang sungguh disayangkan karena mestinya digunakan untuk mengembangkan hubungannya dgn semua orang, sehingga perjalanan arcnya lebih kerasa.

Kita harusnya jadi punya respek lebih kepada pantomim setelah nonton ini

 

 

Bangunan ceritanya sendiri memang aneh. Pertama, menit-menit itu dipilih untuk memusatkan kita pada kesadisan Nazi. Kedua, cerita lompat ke saat aman, ada jenderal yang pidato di depan – menceritakan kisah Marcel (tontonan kita ceritanya adalah kisah yang diceritakan oleh jenderal ini. Setelah itu baru kita dibawa ke kehidupan Marcel. Bangunan penceritaan begini membuat yang bagian jenderal itu kayak tempelan. Dan opening film membuat kisah ini terset dalam tone yang berbeda. Seolah film ini adalah tentang kekejaman Nazi, bukan tentang orang yang berjuang dalam cara yang berbeda melawannya. Dalam film superhero, lumrah kita diliatin kebangkitan penjahat sebelum kita bahkan mengenal pribadi yang bakal jadi tokoh superhero. Ini dilakukan untuk membuild up tantangan yang bakal dihadapi oleh si hero. Membuat kita mencemaskan gimana kalo nanti dia yang sekarang ini ketemu sama si penjahat sadis tadi. Dalam cerita superhero, bercerita begini dapat bekerja dengan efektif karena si hero pada akhirnya memang akan beneran berinteraksi dan berhubungan langsung dengan kejahatan si penjahat. Resistance tampak mengincar efek ini. Yang sayangnya terasa setengah-setengah karena walaupun si Barbie Nazi berhasil dibuild up sebagai karakter yang jahat dan bengis (tidak ada yang mempertanyakan soal kekejaman Nazi di sini; itu seeksak satu tambah satu sama dengan dua), Marcel sebagai pahlawan tidak pernah merasakan langsung dan interaksinya dengan si Nazi yang ditampakkan justru interaksi humanis. Dampaknya hanya ke kita. Marcel tidak pernah benar-benar terasa ada yang dipertaruhkan.

Harusnya sekalian Marcel saja yang dibuat kabur saat Nazi menyergap persembunyian. Selain karena memberikan kepadanya kesempatan untuk merasakan bahaya, juga make more sense karena arcnya dia di awal memang seorang yang lebih mentingin diri sendiri. Sehingga bakal lebih dramatis ketimbang terjun nyelametin orang yang mau bunuh diri – yang jelas-jelas adalah adegan lebay yang diorkestrasi untuk memancing efek dramatis. Momen Marcel dan anak-anak itu diburu di gunung salju juga akan lebih berasa karena kali ini dia harus lari sambil menyelamatkan orang. Resistance pada akhirnya memang seperti jatuh pada perangkap biopic pahlawan; takut untuk memperlihatkan cela. Di saat tokoh jahat dengan leluasa diperlihatkan sebenar jahat karena gak bakal ada yang protes, tokoh baiknya dibiarkan untuk tidak dieskplorasi karena terbatas pada keinginan untuk menunjukkan yang baik-baiknya aja. Padahal pandangan Marcel terhadap Nazi, pandangan Marcel terhadap inti dari berjuang, pandangannya terhadap pantomim itu sendiri, itulah yang harus ditonjolkan. Jadi kita bisa melihat perubahan yang membuat kita menjadikan sang pahlawan itu inspirasi. Bukan sebatas apa yang ia lakukan. Namun cerita dan konflik di balik perjuangan. Konflik yang personal dan tumbuh natural, tentu saja. Bukan yang dirancang hanya untuk memenuhi struktur naskah.

 

 

 

Cerita mestinya fokus dulu pada pengembangan Marcel. Mulai dari Marcel, tidak perlu memperlihatkan ke kita kekerasan yang dihadapi anak-anak di awal. Bikin Marcel merasakan itu atau melihatnya langsung pada satu titik. Buang saja adegan dengan Jenderal yang bercerita itu; film ini gak butuh dua ‘intro’ yang hanya merusak tone dan bikin aneh bangunan cerita. Film ini punya potensi untuk menjadi indah dan menyentuh, dan untuk beberapa kecil bagian, film ini memang menyentuh. Melengkapi kisah powerful bertema Nazi dan anak-anak yang kita dapatkan di tahun 2020 ini. Sayangnya arahan malah membuat film ini jadi biopik yang hanya tok menyoroti kejadian, tanpa benar-benar mengeksplorasi. Tone cerita pun jadi setengah-setengah. Antara mau sadis atau enggak. Film ini seperti antonim dari pantomim itu sendiri; tidak indah, tidak nyeni, dan terlalu ribut oleh subplot-subplot yang diset untuk heboh. Bahkan untuk memahami tokoh dan pantomim itu saja, film ini masih seperti belum pasti.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for RESISTANCE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana pandangan kalian terhadap seni pantomim? Menurut kalian apa bedanya pantomim dengan badut?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

SHIRLEY Review

08 Monday Jun 2020

Posted by arya in Movies

≈ 4 Comments

Tags

2020, adaptation, biography, book, drama, family, life, love, mature, real-person, review, spoiler, thought, thriller

“Art wasn’t supposed to look nice; it was supposed to make you feel something.” 

 

 

 

Biopik atau film biografi biasanya ‘terkekang’ untuk menjadi sebenar-benarnya sesuai dengan kenyataan. Seperti film dokumenter, film biopik juga dituntut akurat; beda sedikit aja beberapa pihak yang berkaitan dengan sang tokoh bisa-bisa tersinggung. Film memang bukan media pemberitaan/jurnalisme, tapi tetap saja diharapkan untuk menyajikan fakta-fakta. Yang tentu saja semua itu dilakukan sebagai penghormatan untuk tokoh yang sedang diceritakan. Namun bagaimana jika tokoh yang diceritakan begitu unik? Bagaimana jika bentuk penghormatan yang layak terhadapnya adalah merancang kisah hidupnya sesuai dengan cara dan gaya yang kita tahu ia suka? Ya, tokoh seperti Shirley Jackson; pengarang novel misteri yang karyanya sudah banyak diadaptasi jadi film horor (salah satunya adalah The Haunting of Hill House yang recently jadi serial ngehits di Netflix), tentu akan bete kalo kisah hidupnya diceritakan dengan biasa-biasa saja. Makanya sutradara Josephine Decker yang biasa ngegarap film-film ‘eksperimental’ membuat Shirley ini sebagai biopik yang lain daripada yang lain. Bukan saja genrenya menyerempet horor, ceritanya pun dibuat mengaburkan batas antara fakta dan fantasi.

Shirley diangkat dari masa kehidupan sang pengarang saat proses kreatif penulisan novel misteri Hangsaman, sekitar tahun 50an. Publicly known, Jackson mendapat inspirasi dari kasus menghilangnya seorang mahasiswi yang pergi hiking dan tak pernah kembali. Selain itu dan fakta bahwa Jackson tinggal bersama suaminya seorang profesor literasi di kampus, cerita film ini dikembangkan dengan banyak elemen fiksi. Protagonis utamanya justru adalah seorang tokoh fiktif bernama Rose yang pindah ke kota yang sama dengan Jackson, ikut sang suami yang mulai bekerja di kampus sebagai asisten Stanley, suami Jackson. Rose tadinya berniat sekalian kuliah di sana, tetapi Stanley menggunakan karisma dan kata-katanya untuk ‘membujuk’ Rose tinggal di rumah bersama Jackson. Sekadar bantu-bantu selama novel terbaru itu selesai ditulis. Rose dan suami diberikan kamar sendiri, bebas dari biaya sewa. Namun itu berarti Rose harus memasak, bersih-bersih, dan mengerjakan segala pekerjaan rumah yang lain. Sementara para pria bekerja di kampus, dan Jackson, di kamarnya, mengerjakan tulisan. Rose dan Jackson kemudian tumbuh hubungan yang aneh, as Jackson mulai membayangkan Rose sebagai tokoh utama cerita yang ia tulis.

write me like one of those french girl

 

Kinda like Persona (1966) atau Portrait of a Lady on Fire (2019), heart dari film ini adalah hubungan yang terjalin antara Rose dengan Shirley Jackson. Namun dengan konflik yang lebih kompleks, kalo gak mau dibilang ruwet. Pada Shirley ini kita enggak dengan gampang bisa menyimpulkan relasi yang tumbuh dari mereka; ini bukan soal pekerjaan kayak suster dengan pasien atau pelukis dengan model, jadi apakah ini soal penulis dengan penggemarnya, atau semacam hubungan mentorship, atau malah rasa saling suka, film tidak benar-benar memfokuskan kita kepada satu hal. Karena si Jackson ini sikapnya benar-benar aneh. Look, Jackson memang pribadi yang eksentrik. Pada adegan pesta di rumah saat kita melihat tokoh ini pertama kali, dia sedang mengobrolkan kepada tamu-tamu penggemar novelnya perihal dia gak excited berkenalan dengan suaminya. Jackson adalah seorang yang lebih suka mengurung diri di rumahnya yang tertutupi sulur-sulur tanaman daripada harus ngumpul-ngumpul ke luar. Jackson literally harus ditarik dari kasurnya setiap pagi oleh sang suami. Dia gak gampang akur sama semua orang, dan terhadap Rose sikapnya jauh lebih ‘labil’. Di satu kesempatan dia menjadi teman curhat bagi Rose, dan di kesempatan berikutnya dia membuka rahasia Rose perihal tengah mengandung bayi.

Berbeda dengan kebanyakan biopik yang ‘mengagungkan’ tokoh real yang jadi bintangnya, Shirley justru membuat Shirley Jackson menjadi hampir mustahil untuk disukai. Bukan sekali dua kali, dia membuat protagonis kita meninggalkan meja makan menahan tangis. “Aku penyihir” kata Jackson kepada Rose, dan suatu kali Rose pernah ditipunya; dipaksa makan jamur yang ia sebut beracun. Kita bisa merasakan ada penyiksaan mental di sini. Namun Rose tetap mau deket-deket sama Jackson, karena Jackson membawa pengaruh yang kuat dan somehow positif kepadanya. Berkat Jackson, Rose jadi lebih vokal mengekspresikan diri dan mengutarakan kecurigaan yang muncul di hati. In a way, sikap Jackson membantu Rose dealing with her own domestic problems. Kita juga susah menyimpulkan kenapa Jackson seringkali bersikap ekstra-tidak menyenangkan kepada Rose. Kita lihat dia punya rencana tersendiri dengan Stanley suaminya, tapi tetap tidak jelas apakah dia murni jahat atau dia beneran peduli atau bahwa dia sedang menempa Rose sehingga bersikap sesuai dengan tokoh utama dari novel yang sedang berusaha ia selesaikan.

If anything, lewat tokoh-tokohnya ini film ingin menunjukkan kepada kita kekuatan sebuah seni (dalam hal ini seni tulisan). Seni bisa membebaskan seperti Shirley yang terlepas dari tekanan Stanley begitu Rose hadir menjadi inspirasi baginya. Seni bisa membuka kebenaran seperti Rose yang mulai mengetahui banyak hal-sebenarnya dan berani mengungkapkan diri saat dia terlibat proses mengarang bersama Shirley. Film ini bercerita dengan tidak mengindahkan aturan, karena – sama seperti seni – film ini bermain dengan perasaan, bukan dengan moral.

 

Kekompleksan film ini juga hadir dari banyaknya aspek yang bekerja membangun ceritanya. Dia juga bicara tentang powerplay antara dua pria dan dinamika suami-istri dengan sama banyaknya. Kita bisa menarik isu tentang pemberdayaan perempuan dari cara salah satu tokohnya yang memanipulasi dan berpegang pada pandangan tradisional bahwa cewek harusnya ngurusin rumah tangga aja. There’s also a baby at play, kelahiran-rahasia yang dikontraskan dengan kematian misterius yang menyelimuti daerah tempat tinggal mereka; kasus yang jadi inspirasi Jackson menulis in the first place. Ini semua membuat film terasa berat dan membingungkan. Shirley adalah jenis film yang tidak bisa kita nikmati kalo kita menontonnya dengan niat melepaskan penat.

Tapi bukan berarti film ini tanpa hiburan. Penampilan akting yang luar biasa, misalnya dari Elisabeth Moss jelas jadi salah satu faktor yang membuat kita betah menonton film ini. Begitu unpredictable, begitu raw, begitu kasar kayak kertas amplas, namun tokoh ini sangat mengundang karena kita ingin tahu apa yang sebenarnya bekerja di balik kepalanya tersebut. Tantangan akting dalam film padet dan berani-tampil-unlikeable seperti ini tentu saja sangat berat. Dialog-dialog yang kita temukan persis seperti dialog yang umumnya ada pada novel; tidak konklusif, mengundang pertanyaan, dan memaksa kita untuk menggunakan imajinasi. Namun Moss mampu mendeliver semua itu dengan muatan emosi yang saklek. Kita kira dia sudah jempolan di The Invisible Man (2020)? Well, di film ini Moss membuktikan dia masih punya banyak untuk kita kagumi. Mengimbangi Moss adalah Odessa Young, sebagai Rose yang lebih ‘inosen’, naif, dan lebih gampang menuai simpati. Namun bukan berarti perannya kalah urgen. Rose adalah karakter yang sama kompleksnya, malahan dia punya tugas ekstra mengemban plot yang lebih luas rangenya, dan Young melaksanakan misinya ini dengan sempurna.

Film tentang penulis yang penulisannya mencerminkan penulisnya.

 

Belum lama ini serial animasi Rick and Morty Season 4 mengeluarkan episode ke-enam yang benar-benar mindblowing karena episode yang alurnya membingungkan tersebut practically adalah depiction dari proses-kreatif kreator acara tersebut dalam mencari cerita baru. Kenapa aku membahas soal itu di sini, karena Shirley juga melakukan hal yang sama. Menceritakan proses kreatif seorang penulis kepada kita. Kamera akan bergerak dengan aktif menangkap drama, no… tepatnya, menjadi bagian dari drama mereka. Menempel pada setiap momen dengan intens, bahkan ketika adegan dengan seenaknya mulai melakukan lompatan oleh jump-cut antara momen yang nyata dengan momen yang merupakan imajinasi penulisan Jackson. Membuat garis batas di antara keduanya seolah sirna. Membiarkan kita terpana menebak mana yang mana. Dalam kondisinya yang paling intens, film akan membuat kita bingung membedakan mana yang Rose asli mana yang Paula alias Rose pada novel. Imajinasi itu seperti tanpa batas, hanya disekat oleh interaksi nyelekit dari tokoh-tokohnya.

 

 

 

Seperti si Shirley Jackson, film ini enggak peduli dirinya bisa kita sukai atau tidak. Pilihan ini tentu saja bukan tanpa akibat. Babak ketiga film merupakan bagian yang seharusnya menjadi paling emosional dari keseluruhan. Dan emosi ini besar kemungkinan tidak akan sampai kepada penonton yang sudah memutuskan untuk menyerah kepada Shirley. Ia tidak membuat hal gampang buat kita menyukainya. Desain ceritanya terasa begitu kacau. Antara adegan proses mengarang, interaksi antartokoh sentral, dan tema-tema seperti seni, kreativitas, psikologi orang, dan bahkan soal senioritas, menonton ini sekiranya dapat menjadi seperti chores alih-alih.. tontonan. Aku sendiri mengumpakan film ini seperti puzzle. Yang tersusun atas kepingan yang unik-unik yang jumlahnya banyak banget. Sehingga menyusunnya enggak akan menyenangkan, lebih enak menikmati kepingannya sendiri-sendiri.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SHIRLEY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Shirley jelas punya cara unik dalam mencari inspirasi. Bagaimana dengan kalian, how far will you go dalam berproses kreatif? Apakah kalian punya cerita unik seputar mencari ilham?

 

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

CAPONE Review

14 Thursday May 2020

Posted by arya in Movies

≈ 9 Comments

Tags

2020, biography, crime, drama, family, health, life, love, psychology, real-person, review, spoiler, thought

“… and guilt eats away at your sanity”

 

 

 

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Seberkuasanya -sepowerful apapun – bos mafia, suatu saat ia pasti akan menua dan ringkih dan jadi tak-berdaya jua. Al Capone, salah satu kriminal paling terkenal dalam sejarah, adalah salah satu bukti bahwa manusia tidak bakal ‘kuat’ selamanya. Drama biografi Capone, arahan sutradara Josh Trank, jadi rekaman seperti apa hari-hari terakhir sang kepala gangster selepas keluar dari penjara. Hari-hari terburuk, bahkan dalam seumur hidupnya yang penuh darah dan sengketa. Film ini akan memperlihatkan perjuangan Al Capone melawan dementia; perjuangan yang tak bisa ia menangkan.

Sungguh sebuah konsep yang menarik. Bukan sekadar tentang pensiunan yang berusaha menangkap kembali sisa-sisa glory. Bukan sekadar tentang orang tua yang mencicipi petualangan-muda untuk terakhir kali. Capone menawarkan kolam-baru untuk kita selami. Kita dibawa melihat sosok Al Capone dalam kondisinya yang paling rendah. Tinggal bersama keluarganya di rumah besar di Florida, Capone – yang dipanggil Fonse  – mulai kesusahan untuk mengingat berbagai hal, bahkan orang-orang di sekitarnya. Umur Fonse belum lagi lima-puluh, tapi dampak penyakit neurosyphillis yang bertahun-tahun ia derita membuat orang ini tampak sangat renta. Istrinya aja jadi kelihatan jauh lebih muda. Fonse bergerak tertatih, berbicara kayak zombie lagi menggerutu, dalam berdiam diripun ia menemukan masalah karena tidak lagi bisa mengendalikan pengeluaran; alias dia bisa muntah, ngompol, atau malah ngebom kapan dan di mana saja. Yang paling mengkhawatirkan adalah, Fonse mulai melihat halusinasi. Realita dan kenangannya melebur menjadi satu. Dia mulai melihat yang tidak orang lain lihat, dia mulai percaya pada hal yang nonexistent. Ini membawa bahaya bagi dia dan keluarga sebab Fonse menyebut dia menyimpan uang jutaan dolar di tempat yang tak mampu ia ingat, dan beberapa orang – termasuk polisi yang diam-diam mengawasinya – tidak ingin melewatkan kesempatan jika ternyata omongan Fonse tersebut benar adanya.

Dibacanya bukan “Fon-se'” loh ya

 

Jadi, ya, ini bukan tipikal film mafioso. Capone didesain supaya lebih humanis, maka itu berarti film ini dapat menjadi lebih kelam, depress, dan… menjijikkan. Film ini cukup bernyali, doesn’t want to be easy. Bagi Trank yang udah ‘sukses’ nge-tank Fantastic Four (2015), film ini boleh jadi proyek come-back atau penebusan diri. You know, Capone sejatinya ia jadikan pembuktian ia sedang kembali ke jalan yang benar. Film-film padet seperti ini, however, butuh untuk kuat dalam tiga hal supaya bener-bener jadi tontonan bergizi dan nikmat untuk dicerna. Pertama, segi ceritanya itu sendiri. Kedua, penampilan akting. Dan ketiga, cara penyampaian alias cara bercerita alias storytelling-nya. Tidak satupun dari ketiga aspek itu yang berhasil dimaksimalkan oleh Trank. Sehingga Capone pada akhirnya berakhir menjadi sebuah kekecewaan, karena buatku film ini sudah punya modal gede yakni konsepnya yang menarik.

Membahas ketiga aspek itu satu persatu, aku akan mulai dengan aspek cerita. Actually, di sini pencapaian Capone yang paling lumayan. Film mengestablish setidaknya dua hal penting yang berhubungan langsung dengan apa yang dirasakan oleh Fonse. Soal uang dan keluarga. Plot sampingan soal sekelompok orang yang mengincar uang yang ia simpan dan soal anak yang ia rahasiakan mengikat menjadi satu sebagai motivasi Fonse; ia tidak mau dua-duanya ketahuan karena ia tidak percaya siapapun. Terlebih sekarang, parnonya membesar karena efek dementia. Namun dementia itu bukan pelaku-utama, melainkan hanya berperan sebagai membesarkan. Journey Fonse sepanjang film sebenarnya adalah soal dia mencari akar dari parno alias ketakutannya yang berlebihan. Sebagai penonton, kita akan melihat ke dalam Fonse. Seringkali kita akan ditempatkan sebagai dirinya, ikut mengalami halusinasi dan mimpi-mimpinya.

Dan di dalam situlah kita akan mendapati si guilt ini, si Perasaan Bersalah. Semua halusinasi Fonse penting karena masing-masingnya merupakan episode dari beban seorang manusia yang berprofesi sebagai bos kriminal. Dia harus membunuh sahabat sendiri. Dia harus melakukan berbagai kejahatan. Di menjelang babak ketiga ada sekuen panjang Fonse balik ke masa lalu. Kita memasuki ini bukan sebagai Fonse yang gagah, melainkan sebagai Fonse yang tidak ingat pernah melakukan, sehingga ia melihat perbuatannya dari cahaya yang baru; cahaya yang lebih mudah bagi kita untuk merelasikan diri kepadanya. Kalian yang pernah nonton dokumenter Jagal atau The Act of Killing (2012), kalian akan menemukan kemiripan antara inner-journey Fonse dengan Anwar Congo yang jadi sudut pandang utama dalam dokumenter tersebut. Pembeda yang paling utama di antara keduanya adalah tanda-tanda penyesalan. Yang menjadi penting karena menentukan apakah penonton bakal bersimpati atau tidak kepada si tokoh utama, seberapapun horrible perbuatan mereka terdahulu. Fonse dalam Capone tidak punya luxury untuk merasakan hal tersebut, karena keadaan fisik dan terutama mentalnya yang tidak lagi memungkinkan.

Rasa bersalah mengerus pikiran dan akal sehat sedikit demi sedikit. Ketika melakukan perbuatan mengerikan di masa lalu, seseorang akan terus kepikiran, dan secara tidak sadar mengambil tindakan preventif untuk mencegah kejadian tersebut terulang lagi. Dan proses ‘pencegahan’ ini bergantung kepada pribadi masing-masing. Jika kita seperti Al Capone, yang hidup dari bisnis ilegal, yang dikelilingi sama seringnya oleh keluarga, anak buah, musuh, realita yang kita ciptakan untuk berlindung akan menjadi sama berbahayanya dengan yang mestinya kita cegah. Bahkan lebih.

 

Kita susah merasakan simpati kepada Fonse, meskipun tokoh ini ngompol, stroke, ngisep wortel alih-alih cerutu, ketakutan dan kebingungan sepanjang waktu, karena film membuatnya vulnerable seperti itu hanya karena dia sakit. Kita tidak sekalipun diperlihatkan perasaan genuine menyadari kesalahan. Drama film ini hanya datang dari Fonse yang sakit dan orang-orang tersayang yang setia padanya berusaha dealing with this, sementara Fonse makin curigaan dan liar kepada mereka. Sebuah film memang seharusnya tidak membuat tokohnya memohon untuk simpati kita, tetapi menjadikan si tokoh tersebut tidak pernah tampak sebagai manusia utuh – just this walking disease yang harus kita pedulikan karena banyak orang yang sayang ama dia – malah jadi kayak nyalahin penyakitnya ketimbang kontemplasi. Semua itu menjadi bertentangan dengan gagasan film mengenai kesalahan masalalu terus menghantui, karena karakternya bergerak karena penyakit. Membahas Fonse sekiranya bisa lebih baik jika dialihkan melalui sudut pandang tokoh lain, seperti istrinya yang mendapat porsi yang lumayan gede, tapi film ini pun gagal memberikan tokoh-tokoh seperti sang istri ini plot yang lebih berarti. Storyline mereka diperkenalkan, untuk kemudian diantepin gitu aja.

Hey, what’s up, Doc?

 

Perihal penampilan akting, akan berhubungan erat dengan aspek storytelling. Karena aktinglah subjek vokal yang menyampaikan cerita. Dalam cerita yang dalem membahas kejiwaan manusia, anehnya film di awal-awal memperlihatkan Fonse nyaris seperti parodi. Adegan openingnya malah kayak komedi kakek dan anak yang punya atmosfer kelam. Dan pembawaan Tom Hardy memainkan Fonse sama sekali tidak membantu. He was so over-the-top. Hardy memberikan suara yang komikal kepada Fonse. Jika tidak sedang bengong mengisap cerutu (dengan liur menetes ke dagu!) atau bergumam gak-jelas, Fonse akan ‘menyalak’ dengan suara yang seperti Moe Szyslak sedang audisi menjadi Goblin di bank Harry Potter. Dengan make up ‘penuaan’ yang terlihat kasar dan ‘Scarface’ yang gak-konsisten (make-up Johnny Knoxville jadi kakek-bangsat di Jackass tampak lebih meyakinkan), banyak tindakan yang dilakukan oleh Fonse yang jatohnya konyol alih-alih mengundang cemas dan menarik simpati kita kepadanya. Misalnya seperti ia tiba-tiba mengenakan pakaian wanita saat diam-diam berangkat pergi memancing. Dalam sekuen laga terakhir, Hardy mencoba sebaik yang ia bisa untuk menghasilkan sesuatu yang bukan cengiran dari penampilannya sebagai Fonse yang mengamuk dengan senapan mafia yang terbuat dari emas, menembaki orang sambil mengenakan piyama dan popok.

Hasil yang ditimbulkan selalu jauh dari harapan. Film seperti tidak benar-benar paham bagaimana menghormati penyakit yang mereka angkat. Ketika alur mulai memasuki ranah halusinasi mendominasi Fonse, treatment yang diambil film untuk membuat kita dapat membedakan mana yang nyata mana yang bukan adalah dengan memperlihatkan kekonyolan atau sesuatu yang dilebih-lebihkan. Sehingga penyakit itu tidak terasa mencengkeram lagi. Namun tentu saja dementia bukanlah penyakit yang hilarious. Melainkan menakutkan. Memiliki kerabat yang perlahan melupakan kenyataan, melihat atau percaya sesuatu yang mengerikan yang sebenarnya tidak ada, mestinya adalah pengalaman yang disturbing, mencemaskan. Masa-masa sebelum kakek tutup usia, beliau sering nunjuk-nunjuk dan bicara pada sosok tak-terlihat dan memperkenalkannya kepada kami sebagai kerabat yang sudah tiada, buatku adalah masa yang mengerikan, hanya dengan mengingatnya saja. Seorang tua yang halu dan membahayakan orang, dementia dalam film Capone beberapa kali terasa seperti memancing kelucuan, yang mungkin saja tidak disengaja, but it did feel that way – bahwa kadang film kayak lupa penyakit tersebut adalah masalah serius.

Adegan halusinasi dalam film ini memang diniatkan sekontras yang kita lihat. Kadang film terasa kayak dalam dunia yang dibangun David Lynch. Lengkap dengan adegan musikal yang creepy. Tapi kita tahu, Lynch tidak menjahit adegan dengan abrupt. Whereas in Capone, demi menguatkan sensasi linglung dan kebingungan seperti yang dirasakan Fonse, editing yang digunakan dengan sengaja cepat. Konstruksi adegan dengan sengaja dibuat saling tindih, dalam sense waktu. Sehingga perspektif menjadi gak jelas. Akan sering kita temui sekuen yang ternyata cuma ada di kepala Fonse. Namun sekuen tersebut ditampilkan begitu elaborate, dalam artian, kita melihat adegan seorang tokoh di suatu tempat, melakukan hal privet, tanpa ada Fonse di sana. Yang berarti gak masuk-akal adegan tersebut bisa terpikirkan oleh Fonse. Itu bukan kenangannya. Dan aneh sekali kalo dia membayangkan adegan tersebut di dalam kepalanya karena enggak ada sangkut paut langsung dengan dia. Jadi gak-jelas apakah adegan tersebut adalah real ‘kayfabe’ dari runutan cerita yang ditarik ke masa kini, atau cuma imajinasi. Film dapat jadi membingungkan seperti demikian.

 

 

 

Film ini menjadi susah untuk ditonton. Namun bukan karena dia berhasil menggambarkan dementia atapun karena membuat kita peduli terhadap tokoh kriminal sehingga melihatnya dalam cahaya simpati. Film ini sukar karena tidak tepat dalam banyak hal. Penceritaannya sering menyimpang jadi unintentionally hilarious. Tokoh utamanya dibawakan ke arah yang membuatnya nyaris jadi seperti parodi. Alur pun tidak membahas dalam, cenderung melewatkan dan tidak sampai tuntas menggali sudut yang sebenarnya menarik. The whole concept of this movie is intriguing. Jika tayang di bioskop, tentu film ini bakal jadi kandidat kuat masuk daftar kekecewaan terbesarku tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for CAPONE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Masalah ‘harta karun’ Al Capone yang sampai sekarang masih belum ditemukan, apa kalian punya mengenai hal tersebut? Apakah itu hanya legenda? Jika tidak, kenapa kira-kira hingga kini uang berjuta-juta itu belum berhasil ditemukan?

 

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

BAD EDUCATION Review

28 Tuesday Apr 2020

Posted by arya in Movies

≈ 7 Comments

Tags

2019, 2020, comedy, crime, drama, family, festival, mature, real life, real-person, review, school, spoiler, thought

“Teachers are the unsung heroes”

 

 

Pernah penasaran sama yang namanya ‘uang pembangunan’ di sekolah? Pernah kesal karena setiap bulan selalu ditagih tapi enggak pernah jelas untuk membangun apa? Well, Bad Education arahan Cory Finley bakal bisa memberikan salah satu jawaban atas pertanyaan tersebut. And while at it, drama komedi ini juga bakal menggugah simpati kita dengan pertanyaan lain, yakni benarkah seorang guru tidak memerlukan ‘tanda jasa’?

Karena film ini dibuat berdasarkan kisah nyata dari skandal penggelapan uang sekolah di Amerika. Seorang superintendent bernama Frank Tassone dikenal sebagai guru yang baik. Dia dicintai bukan hanya di kalangan guru dan sejawat, tapi juga oleh murid-murid di setiap sekolah yang ia tangani. Dia akrab dengan orangtua mereka. Tassone benar-benar peduli dan memperhatikan pencapaian akademik dan kepentingan sekolah. Penulis skenario Mike Wakowsky actually adalah mantan murid dari the real Frank Tassone. Dalam film ini Mike menuliskan sosok gurunya itu sebagai pria berpenampilan rapi yang ingin memajukan Roslyn High School sehingga menjadi peringkat satu senegara-bagian. Pria yang lembur di kantor demi menghapal nama murid dan orangtua. Yang mengingat prestasi semua murid tanpa terkecuali. Yang menggebah Rachel, salah satu murid di ekstrakurikuler jurnalistik, untuk mengerjakan tugas lebih dari yang ditugaskan. Rachel kala itu datang hanya untuk meminta komentar soal pembangunan Skywalk. Saran Tassone-lah yang menyemangati Rachel untuk menyusun laporan lebih dalam, sehingga siswi ini menemukan kejanggalan yang mengkhawatirkan pada laporan keuangan sekolah.

Seperti anggaran lem aibon yang mencapai 80 Milyar, eh tapi itu kasus di sekolahan kita yah

 

Skandal nyata yang bisa dibilang terjadi lumayan recent itulah – tahun 2002, tepatnya – yang dijadikan hook pada film ini. Ceritanya menelisik reaksi sekitar karena peristiwa tersebut sensasional sebab dilakukan oleh seseorang yang begitu kharismatik dan disukai, seperti sosok Frank Tassone. Di balik senyum penuh pancaran semangat dan motivasi, ternyata ia telah bertahun-tahun menggelapkan anggaran. Masuk ke kantong pribadi dan kantong orang kepercayaan. Film mengajak kita mengalami rasanya semua itu terjadi. Cerita dibuat semakin ‘seksi’ dengan mengubah sedikit kejadian dari dunia nyata; intensitas digenjot dengan membuat muridnya lah yang melakukan investigasi yang mengungkap semua – sementara pada kejadian nyata, murid dan koran sekolah hanya menyebutkan sekilas yang kemudian langsung dilalap oleh media luar. Secara skenario – pembangunan konflik dan sebagainya – ini adalah yang keputusan yang tepat. Menambah banyak bobot pada drama karena kita akan mendapat banyak interaksi antara Tassone dengan Rachel yang berfungsi sebagai device untuk mengeksplorasi kontras antara kebutuhan guru dan tanggungjawabnya terhadap pendidikan murid.

Bad Education actually adalah pelajaran berharga tentang keadaan dunia pendidikan bagi kita semua. Film tidak melupakan kemanusiaan yang menjadi literally aktor utama di balik skandal menghebohkan jagat pendidikan tersebut. Kita diberi kesempatan untuk melihat siapa sebenarnya Frank Tassone. Dan film melakukan ini tidak dengan cara ‘menipu’. Alias, tidak sekadar dibikin twist atau ‘ternyata’, kayak Tassone diperlihatkan sebagai orang baik di awal kemudian busuknya terungkap oleh koran. Tidak. Film menyetir cerita ini keluar dari jalur Tassone si Good-Looking Con Man. Melainkan menyorotinya dengan sebanyak mungkin kevulnerablean manusiawi. Film dengan subtil menanamkan karakter Tassone. Genuinenya dia terhadap kondisi pendidikan anak-anak diperlihatkan selaras dengan sifatnya yang memang hobi berbuat ‘curang’. Kita melihat dia cheat on his diet. Hingga ke Tassone cheat on his life-partner. Namun semua kecurangannya itu dipastikan oleh film berakar pada kepedulian Tassone terhadap murid-murid.

Salah satu elemen penting sebagai usaha naskah menampilkan kehidupan pribadi Tassone adalah soal hubungannya dengan Kyle, lelaki yang merupakan mantan muridnya saat masih mengajar sebagai guru bahasa Inggris. Ini bukan sekadar menonjolkan preferensi seksual atau sekadar supaya sama dengan kejadian asli, melainkan berfungsi sebagai penanda karakter. Sebab ketertarikan Tassone kepada Kyle bermula saat dia mengetahui mantan muridnya ini gagal sebagai penulis. Ini menunjukkan bahwa tokoh ini tak bisa menahan keinginannya untuk membantu muridnya, Tassone ingin membantunya sukses. Dan dia rela menghabiskan apapun untuk itu. Film juga menunjukkan perbedaan yang mendasar antara korupsi Tassone ini dengan korupsi salah satu sejawatnya yang lebih ke arah tamak. Memperbaiki rumah, belikan Playstation, beli perhiasan. Tassone tidak seperti demikian. Uangnya ia pergunakan untuk bepergian dalam acara pendidikan. Ia pakai untuk perawatan diri karena ia percaya sekolah butuh sosok seperti dirinya.

“I don’t give a damn about bad education”

 

Jadi ada keambiguan pada ‘penyakit’ dan keinginan tulus Tassone sebagai seorang pengajar/pendidik. He almost beg for a sympathy, sementara kita tahu apapun alasannya menggelapkan uang – mencuri uang – itu adalah perbuatan yang salah. Inilah yang menyebabkan film ini menarik menit demi menitnya. Membuat kita mempertanyakan diri sendiri bagaimana seharusnya perlakuan kita terhadap guru. Pekerjaan guru, mengajar, seharusnya mengutamakan kepada outcome; berhasil atau enggak dalam mencerdaskan anak-anak, memajukan pendidikan bangsa dan segala macam. Tapi bagaimana dengan income; bagaimana si guru tersebut. Tidakkah mengatakan mereka pahlawan tanpa tanda jasa tidak bakal jadi beban bagi mereka? Kita banyak mendengar guru dibayar kecil, gaji guru enggak seberapa. Tokoh Frank Tassone berargumen soal ini, sebagai pembenaran atas apa yang ia lakukan.

Monolog saat Tassone menumpahkan keluh kesah kepada orangtua murid yang merupakan tumpukan ‘kekesalan’ pribadinya, sekaligus bisa kita gunakan sebagai cermin terhadap dunia pendidikan. Tassone kurang lebih bilang, “Pernahkah Anda mengingat wajah guru yang duduk bersamamu, yang membimbing, mengajarkan berhitung dan membaca? Anda mungkin lupa. Tapi kami tak pernah lupa. Karena kalian hanya menganggap sekolah sebagai tempat pacuan kuda, anak-anak digempur, dan kamilah pengurus kuda-kuda itu.” Itulah akar dari permasalahan ini menurut dirinya; bahwa orang-orang abai kepada guru. Bahkan ketika dirinya terpaksa memakai duit sekolah dengan jumlah tak seberapa – awal dari semua ini – bertahun-tahun yang lalu, orang-orang gak ada yang peduli. Orang-orang hanya peduli pada kinerja. Sekolah yang mendapat peringkat empat. Mereka mendapat gengsi dan anak-anak yang pintar. Guru hanya mendapat tepuk tangan. Dan bagi Tassone, itu semua enggak cukup.

Pahlawan tanpa-tanda jasa berarti pahlawan yang mengerjakan kebajikan tanpa pamrih. Mereka harus kita apresiasi, diberikan pengakuan, penghargaan. Kita harus memberikan kepada mereka, tanpa diminta. Sebab begitu tanda jasa itu diminta, maka mereka bukan lagi pahlawan. Mereka bisa berubah menjadi penjahat yang mengambil sesuatu lebih dari haknya.

 

Entah pembelaannya itu tulus atau tidak, entah semua ucapan emosionalnya itu beneran atau cuma alesan, is it a classic ‘help me help you’ scenario? Film mengembalikan semuanya kepada kita. Korupsi, bagaimanapun salah karena telah merugikan orang banyak. Hanya, ada suatu pokok yang bisa kita renungkan di balik ini semua. Dalam konteks ini, penampilan akting menjadi penentu nomor satu kesuksesan bercerita. Dan, wow, Hugh Jackman benar-benar luar biasa memerankan sang superintendent. Kita percaya ketika dia mengajar dan menyemangati anak-anak murid. Namun kita juga merasa dicurangi ketika semua perbuatannya terungkap. Jackman berpindah dari orang yang dihormati, ke pasangan yang dicintai, ke tikus yang licik dengan sangat meyakinkan. Monolog yang aku sebut tadi, sebenarnya setelah itu dia melakukan monolog lagi berupa menjelaskan kepada anak kecil pengucapan kata ‘accelerate’. Penyampaiannya sangat menakjubkan, Jackman benar-benar menyelam sempurna ke dalam perannya. Dia tampak seperti orang yang punya passion mengajar beneran.

Meskipun begitu, di babak awal film ini sebenarnya berjalan kurang mulus. Penonton yang belum tahu bahwa film ini berdasarkan kasus korupsi dana sekolah, akan bingung ke mana arah alur cerita. Motivasinya kurang tertanam, film seperti berkubang pada set up yang menuntut kita untuk mendengar para tokoh lalu seperti terpecah dua saat Rachel si jurnalis sekolah muncul. Film akan membawa kita bergantian dari momen Rachel ke Tassone, dan untuk awal-awal terasa seperti ketidakmantapan sudut pandang. Sampai akhirnya kita tahu bahwa film ini berdasarkan satu event – kejadian terungkapnya kasus di sekolah – dan lantas film berkembang menjadi menarik. Dan terasa sangat relevan karena setiap kita pasti punya kecurigaan sekolah kita menarik uang untuk yang tidak-tidak.

 

 

 

Yang akan menghantam kita saat menonton film ini adalah perasaan terkhianati oleh orang yang paling kita percaya sedunia, dan kemudian gelombang intropeksi apakah kita yang menyebabkan dia jatuh dari kesempurnaan. Naskah mencoba mengulik semua kompleksitas berdasarkan kasus di kehidupan nyata pada dunia pendidikan. Kita dapat merasakan usaha untuk membuat cerita ini lebih dari sebuah peristiwa penipuan. Juga sekeras mungkin berusaha untuk ambigu, dan melihatnya dari sisi pelaku. Menonton ini nyaris dua jam, kita gak akan bosan karena diisi oleh topik yang memancing dan penampilan akting yang jempolan.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for BAD EDUCATION.

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian sistem pendidikan kita sudah benar-benar menghormati dan menghargai guru sebagaimana pekerjaan mereka?

 

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

JOJO RABBIT Review

13 Monday Jan 2020

Posted by arya in Movies

≈ 41 Comments

Tags

2020, action, adaptation, comedy, drama, family, life, love, novel, real-person, relationship, review, spoiler, thought, war

“When you know love then that is the time you forget hate”

 

 

Setiap film perang sebenarnya adalah film-film anti-perang yang menyamar. Buktinya ya kayak Jojo Rabbit ini. Kisah dalam film ini diadaptasi dari novel serius karangan Christine Leunens yang berjudul Caging Skies. Membahas tentang prejudis dan diskriminasi Yahudi oleh Nazi Jerman, sebagai pembuka mata bahwa perang yang mereka lakukan selama itu sesungguhnya sebuah kehilangan besar dari kemanusiaan yang satu. Oleh Taika Waititi pesannya tersebut disamarkan lebih dalam lagi. Jojo Rabbit dihadirkan dengan nada komedi, gagasannya difokuskan lagi olehnya menjadi sebuah pesan anti-kebencian. Yang membuat film ini menjadi lebih relevan lagi dengan keadaan dunia sekarang; dunia tempat di mana kebencian digunakan sebagai propaganda dan api untuk menakuti-nakuti dan mengontrol kepentingan politik beberapa pihak.

Tantangan pertama cerita ini adalah bagaimana cara membuat tokoh utamanya yang seorang kadet nazi yang udah benar-benar terpatri untuk membenci dan menghabisi setiap yahudi yang ia lihat menjadi simpatik. Sebagai film, tentu saja ini akan menjadi journey sangat menarik; perjalanan seorang yang penuh kebencian menjadi menyadari hal-hal indah yang membuat dia mengubah pandangannya. Dan menjadi berkali lipat menarik karena tokoh dalam Jojo Rabbit adalah anak kecil yang masih berusia sepuluh tahun. Waititi sudah berpengalaman menangani cerita dalem yang bertokoh anak-anak (tonton juga Hunt for the Wilderpeople yang keluar 2018) sehingga ia mengerti menampilan ‘penuh kebencian’ ini dengan cara dan takarannya sendiri.

bukankah kita semua adalah anak kecil yang polos di hadapan doktrin-doktrin kebencian?

 

 

Jojo Rabbit dibuka dengan set up Jojo si calon tentara Nazi yang dilatih di kamp pelatihan. Pelatihan di kamp yang kita bayangkan bakal intens dan penuh disiplin dan jenderal galak ternyata tampil lucu. Waititi menekankan posisi dan sudut pandang anak kecil untuk menggambarkan dan mengomentari doktrin kebencian yang menjadi api perang ini dengan sarkas. Informasi yang diberikan film persis seperti kita mengingatkan kepada anak-anak, simpel. Pisau itu berbahaya. Granat apalagi. Semuanya dihampar lewat pengadeganan yang lucu, lewat tokoh-tokoh yang ‘ajaib’. Namun dunia Jojo adalah dunia yang mengharuskan perang. Jojo hidup dengan pemahaman bahwa semua hal ironi (berbahaya namun sia-sia), semua peperangan dan kebencian terhadap yahudi adalah hal yang patriotis.

Opening film ini ‘meledek’ salam Nazi dengan menampilkannya diiringi lagu I Wanna Hold You Hand-nya The Beatles yang dibahasa-jermankan. Ada adegan petinggi-tinggi Nazi yang saling menyapa “Heil, Hitler!” setiap kali bertemu dilakukan Waititi dengan adegan satu menit dan salam itu terdengar lebih dari dua puluh kali. Tokoh Nazi dalam film ini gak ada yang sadar yang mereka lakukan itu tak lebih dari kebencian dan perbuatan kosong. Mereka bahkan gak ngeh kalo dunia mereka vibrant dan begitu berwarna, kota itu seperti bukan tempat yang kita bayangkan jika mengimajinasikan kebencian. Salah satu elemen penting yang dipunya film ini adalah percakapan antara Jojo dengan Hitler yang diperankan oleh sang sutradara sendiri. Aku membaca banyak kritikus ataupun penonton luar yang gak suka dengan portayal Hitler dalam film ini. Mereka mengatakan menjadikannya parodi, seperti tokoh kartun, adalah langkah tidak-sensitif oleh film; mengecilkan dosa dan perbuatan laknat Hitler itu sendiri. Dan hal tersebut tidak lucu. Well, mengkartunkan Hitler bukan pertama kali terjadi di sini. Charlie Chaplin sudah lebih dahulu mempermalukan sang diktator di tahun 1940 lewat film The Great Dictator. Lagipula, yang dilakukan oleh Waititi bukan sekadar menghumorkan. Karena ketika kita teliti, Hitler yang di film ini bukan Hitler ‘asli’. Melainkan Hitler yang ada di kepala Jojo.

Tokoh ini penting karena dia adalah perwujudan dari doktrin yang bersarang di dalam kepala Jojo – yang sama sekali belum tau dunia dan pilihan lain di luar mindset swastika yang dipaksakan kepadanya. Bagi Jojo, Hitler asli adalah tokoh idola, pemimpin yang harus dihormati, ditakuti. Yang tak boleh dilawan kehendaknya. Relasi antara Jojo dengan Hitler imajinasi tersebut bukan menunjukkan bahwa si Jojo gila, ngomong sendirian. Melainkan untuk menunjukkan anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, — eh salah, itu lirik lagu, maksudku anak kecil juga – ralat lagi; AJA! – bisa berpikir, bisa bergumul dengan pikirannya, mempertimbangkan rasa. Ia tidak menutup pintu debat. Ia, tanpa ia sadari, berani mempertanyakan sifat-sifat bentukan doktrin yang bersarang di benaknya.

Musuh terburuk kemanusiaan yang sesungguhnya adalah doktrin yang didasarkan pada kebencian. Doktrin yang membuat kita menutup mulut, mata, telinga. Menjauhkan kita dari argumen karena menyangka doktrin tersebut tidak bisa diperdebatkan. Padahal dunia tidak pernah sesatu dimensi itu. 

 

Film di balik quirkiness-nya menunjukkan kepada kita bahwa doktrin kebencian sudah meraga ke pribadi Jojo, namun belum ke jiwanya. Jojo masih punya harapan. Malah, semua orang sesungguhnya masih punya harapan. Jojo payah dalam latihan perang, dia ngebom dirinya sendiri. Jojo gak tega membunuh kelinci, sehingga giliran dia yang diejek kelinci – makanya judul film ini Jojo Rabbit. Simbolisme bermain di sini; kelinci adalah hewan yang berani, cerdas, kuat, dan panjang akal. Jojo sesungguhnya benar seperti kelinci. Hanya saja, semua sifat itu belum terbentuk karena masih ada dilema pada moralnya. Dilema yang terbentuk oleh doktrin Nazi yang penuh kebencian tadi.

Enter Elsa. Bukan Ratu Salju dari Arendelle. Melainkan gadis Yahudi dari balik tembok di atap rumah Jojo. Awalnya tentu saja Jojo jauh dari Elsa, takut malah. Elsa (Thomasin McKenzie mencuri perhatian dengan begitu wonderful) juga enggak punya keinginan untuk berakrab-akrab. Mereka musuh, Nazi dan Yahudi. Jojo menyalurkan semua kebenciannya dengan menulis buku tentang Yahudi, hasil observasinya alias imajinasinya atas apa yang diceritakan Elsa – hanya supaya Jojo tetap takut dan tidak mengadukannya kepada tentara. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa Jojo hanya mempraktekkan kebencian tanpa actually merasakan kebencian itu. As the story goes, dia merasakan sesuatu dan perlahan kebencian-buta itu memudar. Film menunjukkan kepada kita bahwa apapun yang kita perbuat akan kalah sama apa yang kita rasakan di dalam hati. Inilah kunci dari semua kebencian tersebut. Hati yang dipupuk oleh cinta (bagi Jojo itu berarti dari ibunya dan perasaan genuine yang tumbuh dari interaksinya dengan Elsa) jauh lebih bermakna daripada benak yang ditempa oleh kebencian. Perasaan ini bukan hanya tumbuh pada Jojo. Film dengan nekat memperlihatkan satu tindakan pahlawan dari seorang panglima Nazi yang diperankan oleh Sam Rockwell.

Besar kemungkinan film ini bakal dihujat karena ingin menggambarkan Nazi sebagai sosok simpatik. Namun justru di sinilah poin yang ingin diutarakan oleh film. Bahwa nun jauh di hati kita semua sama. Bukan hanya yahudi yang harus dilihat manusia, bukan sebagai monster bertanduk. Tentara Nazi juga. Pandangan mereka terhalang oleh doktrin kebencian, dan begitu juga kita. Padahal seharusnya kita semuanya cukup dengan merasakan rasa. Tidak ada gunanya saling menebar kebencian. Lebih baik tumbuhkan cinta dan benci itu akan hilang dengan sendirinya.

 

karena ini film dengan anak-anak, maka: “Make friends, not war!”

 

 

Soal feel itulah yang dihamparkan dengan kuat. Meskipun filmnya bernada satir, tapi kita akan merasakan banyak hal sekaligus ketika menonton film ini. Kita bisa meraksakan bangganya Jojo sebagai Nazi. Malunya dia ketika dianggap pengecut. Marahnya dia ketika dia enggak mengerti apa yang ia banggakan sebagai Nazi. Takutnya dia ketika berada di tengah-tengah peperangan beneran. Uwiiih, kerasa benar bagi Jojo perang itu jauh seperti latihannya, jauh seperti yang ia bayangkan – dan ia gak siap. Ia menolak. Adegan perangnya terlihat mengerikan deh pokoknya. Waititi juara di sini menyatukan berbagai tone cerita, membawa kita mengarungi masing-masingnya dengan mulus. Ketika Jojo rindu dengan hangatnya cinta sang ibu, kita juga akan terhenyak.

Wajar dan pantes banget makanya jika si Roman Griffin Davis mendapatkan penghargaan di debutnya sebagai aktor cilik ini. Setiap emosi berhasil ia sampaikan lewat ekspresinya yang juga sama luwesnya. Davis mengimbangi penampilan Scarlett Johansson yang berperan sebagai ibunya. Kita akan melihat sisi lain dari Johansson karena di sini dia memainkan peran yang sedikit berbeda dari yang biasa ia tangani. Masih sok galak, dan pinter sih, tapi there are lot more to it. Ada satu adegan monolog darinya yang keren karena butuh  banyak range emosi dan ekspresi. Hubungan Jojo dengan ibunya jelas adalah yang paling penting, bahkan mungkin inti dari journey Jojo. Film memperlakukan hubungan ini juga dengan unik. Memanfaatkan sepatu sebagai simbol adegan. Gestur sesimpel mengingatkan tali sepatu dijadikan bentuk cinta yang luar biasa. Di luar iti, aku gak mau bilang banyak, tapi kujamin; it’s beautiful. Kalo menurut kalian enggak indah dan menyengat di hati, boleh jitak pala Hitler.

 

 

 

Karikatur komedi itu tidak lagi terlihat sedangkal yang kita bayangkan, di menjelang akhir babak kedua. Film ini punya niat yang begitu, menyebarkan semangat anti-kebencian, dan bermaksud memekarkan bunga-bunga cinta di hati kita. Dan semua ini dilakukan oleh film dengan melewati begitu banyak emosi. Horor dan humor bisa jadi datang bergantian, namun tak sekalipun kita merasakan film terbata menceritakannya. Waititi mengambil resiko dan upaya yang besar dalam membentuk ulang cerita adaptasi ini. Alhasil, semua yang mestinya jadi aneh malah tampak begitu indah. Satir itu punya makna yang mengena. Semua itu karena film ini berhasil menyentuh hati kita.
The Palace of Wisdom gives 9 gold stars out of 10 for JOJO RABBIT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Kenapa doktrin kebencian bisa begitu tertanam pada diri manusia? Apakah membenci sesuatu memang lebih mudah daripada mencinta?

 

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

DOLEMITE IS MY NAME Review

30 Monday Dec 2019

Posted by arya in Movies

≈ 2 Comments

Tags

2019, biography, comedy, drama, family, filmmaking, friendship, funny, life, mature, netflix, real-person, review, spoiler

“Just do it”

 

 

 

Kalian yang pernah atau mungkin sering dikasih saran bikin film gak usah pake nunggu, kelarin naskahmu, kumpulkan teman-teman buat jadi kru, dan langsung rekam gambarmu; film Dolemite is My Name bisa dijadikan inspirasi untuk mewujudkan karyamu.

Film yang edar di Netflix ini adalah drama biografi komedian, penyanyi rap yang jadi sensasi di Amerika 70n karena ia dengan ‘seenak udel’ mengubah diri menjadi bintang dan produser film – yang semuanya ia kerjakan sendiri. Rudy Ray Moore bukan seniman, tapi ia bisa menjadi begitu banyak karena kemauan dan kegigihan untuk mewujudkan. Rudy mencoba semuanya. Di awal film kita melihat dia memohon kepada penyiar radio supaya album R&B yang ia rekam sendiri di ruang tamu tantenya diputarkan untuk didengar banyak orang. Permintannya ditolak. Kemudian kita melihat dia ngebanyol sebagai stand up komedi. Enggak ada yang ketawa. Ketika Rudy mendengar cerita tentang “little bad motherfucker called Dolemite” dari gelandangan yang sedang ia usir dari toko, seketika dia terinspirasi. Oleh cerita dan gaya bercerita si gelandangan. Jadi Rudy mengambil jas ngejreng, bergaya ala Goodfather WWE, dan hidup dalam persona Dolemite. Gaya Rudy cukup ampuh. Dari stand up, ia lantas menjual ribuan kopi album ngerap/bercerita. Rudy ingin menjadi bintang sebagai tanda bahwa ia eksis. Goal berikutnya adalah membuat film, tampil sebagai bintang film. Supaya lebih banyak lagi orang yang menonton dan terhibur olehnya. Selanjutnya adalah sejarah, film Dolemite yang ia buat sukses menjadi salah satu cult classic, fenomena dalam skena Blaxpoitation perfilman Amerika 70an.

His name is Dolemite, and selling is his game.

 

Sebagai kulit-hitam yang sebenarnya bukan gak punya talent, Rudy adalah jack-of-all-trades; dia bisa banyak hal tapi yang ia bisa itu gak ada yang menonjol. Dia seperti Anna di awal-awal Frozen yang sepanjang hidupnya melihat ‘pintu’ di depan wajahnya. Alias selalu ditolak. Jadi Rudy menciptaka… enggak, dia mendobrak sendiri pintu untuknya. Setelah terkenal sebagai Dolemite, Rudy masih menemui kesulitan mencari investor yang mau membiayai ceritanya. Setelah filmnya jadi pun, dia susah payah mencari bioskop yang mau memutarkan filmnya. Ini relatable banget. Aku paham dan merasakan sendiri sukarnya mewujudkan karya karena kita bukan siapa-siapa. Perjuangan Rudy memang terdengar cukup heroik. Namun ada komplikasi; film yang ia usahakan tersebut bukan film baek-baek. Karya-karya Rudy sebagai Dolemite bukanlah karya yang innocent, melainkan penuh kevulgaran, kata-kata kasar. Bentuk terendah dari sebuah hiburan. Oleh karena perjuangan dan yang diperjuangkan mentok banget inilah, film Dolemite is My Name terasa sangat menarik dan menghibur.

Proses Rudy dan teman-temannya mengerjakan film dengan profesionalisme yang terbatas jadi main-course buat komedi. Mereka mengubah hotel terbengkalai menjadi studio film, tempat suting, dan segalanya. Mereka bahkan gak punya listrik dan mencuri dari bangunan sebelah. Segala source mereka sangat terbatas, tapi Rudy ini nembaknya tinggi. Ada sekuen ngumpulin orang semacam sekuen yang biasa kita lihat dalam film-film heist. Banyak kelucuan datang dari dia berusaha meyakinkan artis beneran yang ia jumpai di klub untuk menjadi sutradara. Membawa anak muda pembuat film pendek untuk jadi DOP – karena gak ada satupun gengnya Rudy yang ngerti kamera, apalagi teknik-teknik mengambil gambar. Dia juga membujuk penulis teater untuk jadi penulis naskah; yang mengantarkan kita pada adegan brainstorming kocak. Film yang mereka kerjakan secara objektif memang sangat jelek, tapi Rudy paham pada menjual apa yang ingin ia jual. Sehingga tawa kita yang tadinya mengarah kepada Rudy dan para kru, perubahan berubah menjadi tertawa bersama mereka. Kita ikut merasa puas bareng mereka.

Jika mau sesuatu, ambil. Jika bisa sesuatu, lakukan. Jangan tunggu ‘waktu yang tepat’. Jangan tunggu persetujuan dari orang, selama itu tidak berkaitan dengan mereka. Jangan takut gagal, ditolak, dan diledek; karena tentu kita akan gagal, ditolak, dan diledek habis-habis. Tapi kita belajar dengan mencoba. Dengan melakukan apa yang ingin kita lakukan. Kita yang mengejar kesempatan, mencari jalan masuk. Jadi, ya, biarlah kayak iklan sepatu: just do it!

 

Nonton kisah Dolemite ini kayak nonton The Disaster Artist (2017). Bedanya, tokoh kita diberikan backstory yang lebih dalam. Dalam Disaster Artist, ‘kemistisan’ Tommy Wisaeu dipertahankan, kita tidak pasti dia dapat duit produksi darimana, kita enggak yakin siapa dia sebenarnya – bahkan umurnya saja misterius ada di kepala berapa. Itu jadi pesona pada film; sebagai bagian dari gimmick Wiseau sebagai seniman, sebagai brand yang dijual. Sedangkan dalam Dolemite is My Name, kita actually akan mengeksplorasi Rudy sebagai seorang manusia. Kita diberi ruang supaya mengerti cara berpikirnya, apa keinginannya. Hubungan Rudy dengan salah satu ‘artis’nya akan memperlihatkan kepada kita semua hal tersebut; ketakutan, passion, dan semangat Rudy. Jadi, film ini enggak sebatas pada tentang pembuatan film jelek-yang-jadi-ngehits. Melainkan juga lebih memfokuskan kepada manusia di baliknya.

Dolemite udah nyarutin orang sebelum Samuel L. Jackson

 

Makanya penggemar Eddy Murphy niscaya akan bersorak girang. Perannya sebagai Rudy si Dolemite yang bergaya crude namun tampak sedikit flamboyan ini enggak sembarang receh. Melainkan juga bisa dramatis dan penuh kemanusiaan. Sudah lama sekali Murphy gak meranin tokoh yang komplit sepertinya. Terakhir kali aku melihatnya bermain bagus di Mr. Church (2017), tapi di sana dia agak sangat serius. Murphy yang sudah lama ‘terjebak’ mainin komedi keluarga yang receh, akhirnya dapat pelampiasan dalam film ini. Rudy cheap, ego tinggi, ngomong jorok berirama (rapnya mirip kayak pantun), tapi memiliki makna dan kepentingan. Kita bisa merasakan passion Rudy bukan ke bersikap demikian, tapi ke pekerjaan menghibur orang. Di atas senyuman personanya, kita melihat mata yang penuh rasa lapar. Selain kesuksesan, Rudy seperti pengen menelan semua kesempatan yang bisa ia dapatkan. Ya, kita bisa bilang Rudy adalah loser, tak-bertalenta, yang oportunis. Namun dia punya modal tersembunyi; dia mengerti pada apa yang ia bisa dan apa yang tidak bisa ia lakukan. He works on both things, tanpa mengunyah lebih banyak dari yang ia bisa telan. And oh boy, how he has a ‘big mouth’

Pelajaran lanjutan yang bisa kita ambil dari Rudy Ray Moore adalah kendati kita bergerak demi passion dan mimpi, kita mengambil tindakan tanpa perlu dengar kata dan persetujuan orang lain, kita masih tetap perlu untuk mengisi diri untuk terus melakukan perbaikan jika ingin maju. Rudy membuat film hiburan untuk kaumnya, tapi dinilai rendah kritikus – he owns every words of them, dia bahkan senang melihat filmnya dikatain kasar dan receh. Rudy gak mau bikin film yang bagus, dia hanya bikin film yang menghibur teman-temannya.

 

Durasi panjang film ini pada beberapa bagian cukup terasa. Mainly karena sikap Rudy yang berfokus kepada mengembangkan apa yang bisa ia lakukan secara eksternal. Rudy kian terasa kayak pembuat film yang kita remehkan; yang mau lebih banyak ledakan, lebih vulgar, lebih banyak hal nonsense, sementara pengembangan dan innernya tidak banyak perubahan karena Rudy sudah paham betul kemampuannya. Ada satu dua adegan ia bimbang filmnya gak laku, tapi itu semua terlihat seperti cara film memancing drama saja. Tadinya kupikir film ini lewatin kesempatan gak bahas stake lebih banyak; soal Rudy ngambil ide dari gelandangan kurasa bisa jadi konflik yang pas untuk internal Rudy – mungkin dia bisa dibuat dituntut karena mencuri ide, atau malah dia mempekerjakan gelandangan supaya bisa mengambil lebih banyak ide komedi. Namun memang elemen itu jika dimasukkan hanya akan membuat  cerita semakin terlalu Hollywood. Dan aku yakin sutradara Craig Brewer mengarah pada tone yang lebih realistis karena bagaimanapun, sefantastis apapun perjalanan Rudy, ini adalah biografi. Dan di dunia nyata, memang gelandangan gak bisa gitu aja punya suara, ataupun gelandangan gak bisa gitu aja diajak kerja. Karena sekalipun mereka jago bercerita, belum tentu mereka bisa jadi kru atau penulis naskah. Emangnya Rey Palp,..Skywalker yang scavanger tapi ternyata bisa betulin Milennium Falcon – Han Solo yang punya pesawatnya aja gak bisa.

 

 

Jadi aku menghormati pilihan yang dilakukan oleh film ini. Walaupun di pertengahan film menjadi agak lambat. Stakenya kurang nendang, melainkan menjadi agak komikal karena Rudy-nya sendiri pengen begitu. In sense, film komedi ini sangat grounded – ia juga membahas manusianya dan tidak satupun mereka tampak eksentrik. Kita mengerti kebutuhan mereka terkait persona dan jualan. Meskipun begitu, fenomena film yang dibuat oleh para tokoh kurang terasa menguar buat kita terutama yang awam sama sejarah film Blaxploitation dan baru mendengar Dolemite untuk pertama kalinya di sini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DOLEMITE IS MY NAME.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Ada gak sih hal yang sudah lama ingin kalian lakukan tapi belum terlaksana dengan alasan tertentu?

 

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

HABIBIE & AINUN 3 Review

21 Saturday Dec 2019

Posted by arya in Movies

≈ 7 Comments

Tags

2019, drama, family, gadis sampul, life, love, real-person, review, romance, sequel, spoiler, thought

“The female is, as it were, a mutilated male, and the catamenia are semen, only not pure”

 

 

Serasa jadi cucu B.J. Habibie kita semua dibuat oleh Habibie & Ainun 3. Duduk manis di kursi masing-masing mendengarkan Eyang mengisahkan kepada seluruh keluarga kenangannya tentang seorang wanita hebat yang menjadi cinta abadi beliau; Ibu Ainun. Tentang pertemuan dan perpisahan-sementara mereka berdua demi cita-cita. Tentang masa kecil Ainun. Tentang perjuangan pendidikan Ainun. Tentang perjalanan cinta Ainun (di layar, sebelum cerita berlanjut cucu-cucu yang kecil dikirim keluar ruangan oleh Eyang karena sepertinya imaji Jefri Nichol bertelanjang dada dapat menjadi terlalu berlebihan buat mental mereka). Dan klimaksnya adalah tentang pilihan besar yang dibuat oleh Ainun atas nama kemajuan Indonesia.

Film ini worth untuk ditonton sedari penampilan pemainnya. Berkat keajaiban prostetik, Reza Rahadian disulap seperti sosok Habibie tua, untuk kemudian kemagisan aktingnya melanjutkan tugas sehingga aktor ini benar-benar tampak bergerak, bicara, bernyawa seperti Pak Habibie tulen. Melihat penampilan mengagumkan Reza di sini, kita akan paham kenapa film ngotot mempertahankan untuk tetap memakai Reza untuk Habibie muda; di mata mereka menggunakan efek de-aging CGI beresiko jauh lebih kecil dibandingkan mencari pemain yang belum tentu bisa memainkan sebaik yang dilakukan oleh Reza. Sedangkan Maudy Ayunda; meskipun fisiknya tidak banyak diubah, tetapi Maudy seperti menghidupi karakter Ainun luar-dalam. Ainun adalah pribadi yang pintar, ringan tangan dalam menolong orang, punya hati yang lembut di balik tekad yang kuat. Itu semua tampak effortless dibawakan oleh Maudy, seolah ia tercipta untuk peran ini. Di film ini Ainun akan menjalin hubungan dekat dengan dua pria, dan Maudy berhasil mengenai setiap emosi yang dibutuhkan sehingga kita mengerti perbedaan intensitas cinta yang mesti ia tampilkan.

Tambahkan kepekaan sutradara yang luar biasa terhadap memancing reaksi emosional dari penonton, baik melalui timing masuknya musik dan lagu ataupun melalui timing kamera; Film ini hadir sebaik yang bisa diusahakan oleh Hanung Bramantyo. Ini adalah yang terbaik yang bisa ia hasilkan darimateri sekuel yang ia tangani. Dan di sinilah masalahnya; materi kali ini tidak berhasil dipertahankan sebagai hal yang menarik. Malah terasa ada dua sudut pandang, dan dua kepentingan yang tak bisa bercampur padu.

Aku pribadi senang karena bukan hanya dua, melainkan ada empat alumni Gadis Sampul muncul di film ini

 

 

Proyek Habibie & Ainun 3 pertama kali disiarkan ke publik pada bulan April 2019 lalu, sebagai sekuel dari Habibie & Ainun (2012) dan Rudy Habibie (2016). Naturally tentu saja banyak peristiwa yang terjadi antara April hingga Desember 2019 saat perilisan filmnya. Di antaranya adalah wafatnya bapak yang pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia ini. Meninggalnya B.J. Habibie selain membuat satu negara berduka, juga mengubah course film. Dari yang tadinya film diniatkan sebagai murni kenangan beliau untuk ibu Ainun – Pak Habibie bertindak sebagai semacam supervisor yang memastikan tidak banyak fakta yang menyimpang muncul pada film, berubah menjadi untuk didedikasikan kepada beliau. Seperti yang tercantum pada poster film ini “Dedicated to the Memory of B.J. Habibie”. Ini akhirnya menjadi ‘konflik’ yang tercermin benar pada hasil film.

Dari judulnya memang kita seharusnya sudah mengerti tokoh Habibie yang ikonik dimainkan oleh Reza Rahadian akan mempunyai peran lebih besar daripada sekadar cameo. Namun perubahan keadaan di dunia nyata, memberikan efek peran Habibie dalam film ini menjadi lebih banyak dan lebih memusatkan cerita kepadanya. Misal pada babak pertama, kita kembali mendapat sudut pandang Habibie muda yang menceritakan kepada Ainun mimpi dan cita-citanya membuat pesawat. Menunda sudut pandang tokoh wanita utama, yakni Ainun, yang seharusnya ini adalah gilirannya untuk dijadikan fokus. Setelah tiga-puluh menit barulah kita mendapat sudut pandang Ainun, mengetahui keinginannya, dan apa yang menjadi hambatan baginya. Film seperti jadi tidak percaya penonton tertarik untuk mendengar cerita Ainun. And I think it is ridiculous. Maksudku, gimana penonton mau percaya pada cerita yang mereka bawa tatkala filmnya sendiri udah duluan nunjukin ketidakpercayaan terhadap cerita tersebut dengan tetap menjadikan Habibie – yang sudah punya dua film tersendiri – sebagai ‘jualan’ utama. Close up tetap pada wajah Reza tidak peduli saat versi muda wajahnya kadang tampak mengerikan oleh efek komputer. Namun, melihat ke belakang setelah film usai, hal ini sepertinya juga dikarenakan hanya ada sedikit porsi yang benar-benar menarik yang bisa diangkat dari cerita Ainun. Dan itu pun tampak sama tak-meyakinkannya dengan efek wajah muda Habibie Reza.

Narasi soal Ainun melingkupi dia menolak hanya menjadi bidan. Ainun ingin menjadi dokter. Ainun kuliah kedokteran di Universitas Indonesia pada tahun 1955.  Terlebih cerita ini adalah pada masa baru terbebas dari penjajahan, dan mayoritas Indonesia masih punya pandangan cukup terbelakang. Wanita masih belum diharapkan sekolah tinggi, apalagi menjadi dokter. Ainun ‘dijual’ oleh cerita sebagai minoritas di kampus. Namun dia cukup populer sampai-sampai mahasiswa dari fakultas lain membentuk fans club dirinya. Ainun populer karena tindakannya yang berani mengalah untuk lebih dari sekadar menang, karena ketenangan, dan karena kecantikannya. Cerita bersinar tatkala membahas Ainun dalam level yang lebih personal seperti ketika ia yang berusaha membuktikan stigma wanita tidak bisa menjadi dokter sehebat pria kemudian mencicipi kegagalan untuk pertama kali. Ketika mencoba menyisipkan soal kebangsaan pada susahnya menjadi wanita yang ingin menjadi dokter, cerita menjadi tak meyakinkan.

Jadi dokter itu susah, terutama buat wanita. Stigma ini udah melekat hari-hari awal perkembangan dunia pengobatan, bahkan filsuf Yunani Aristoteles mengkarakterisasikan wanita sebagai “jantan yang termutilasi”. Kepercayaan ini terus menurun di dalam kultur kedokteran. Bahkan diduga sebagai akar dari pandangan ilmiah yang menyokong wanita dari tulang rusuk, sehingga merupakan minor/inferior daripada pria.

 

Terutama karena film mati-matian membuat keadaan Ainun seperti Marie Thomas, dokter wanita pertama dari Indonesia. Seolah Ainun adalah mahasiswi kedokteran pertama yang visioner, akan tetapi hal tersebut malah dibahas dengan elemen-elemen pendukung yang enggak maksimal. Antagonis Ainun hanyalah satu orang senior cowok, yang oleh naskah ditulis punya ego comically tinggi dia masih menyangka dirinya lulusan terbaik padahal menyadari udah ketinggalan satu tahun dan kalah dalam lomba atas nama kampus. Perjuangan Ainun akhirnya mengalah masuk ke dalam balutan drama romansa. Kisah cinta Ainun dan Ahmad pada masa perkuliahan yang berusaha keras dibuat manis, tidak pernah terasa semanis yang diinginkan karena kita sudah tahu pada siapa Ainun akhirnya bersama. Kita sudah mengantisipasi perpisahan mereka. Beruntung naskah menyiapkan dialog-dialog quotable nan sensasional untuk scene putus. Sebagian besar penonton yang sudah disasar akan menikmati sekali adegan break up ini, karena memang dibuat dengan jor-joran. Terlebih karena film dibuat dengan teknologi dolby atmos.

Ainun kasidahan “Ahmad ya Habibie, Ahmad ya Habibie”

 

Tema perjuangan wanita di dunia laki-laki tidak terasa benar seperti narasi perjuangan perempuan. Melainkan lebih seperti narasi penghormatan seorang pria kepada wanita. Tentu saja ini adalah pesan yang bagus, hanya saja film masih terasa seperti dunia pria. Karena yang diperlihatkan oleh film adalah Ainun masih butuh untuk diselamatkan oleh pria. Ainun masih sebuah ‘piala’ yang dimenangkan dalam suatu kompetisi maskulin. Perjuangan Ainun meraih gelar dokter, perjalanan cintanya yang mengambil porsi besar dari bentuk perjuangan itu, menjadi sia-sia karena pada akhir film kita tidak melihat Ainun sebagai sosok tersendiri. Pidato valedictorian Ainun yang powerful sebagai puncak arcnya dengan cepat tergantikan oleh kebutuhan film memperlihatkan footage asli dari pemakaman Pak Habibie. Bahkan kisah cinta Ainun saja dibayangi oleh sudut pandang Habibie yang ditanyai oleh cucu-cucunya “Apa Eyang tidak masalah?” Semua daging cerita ada di Ainun, tetapi dari cara disampaikannya film lebih bertindak sebagai pengingat kepada kita bahwa dia Ainun ‘hanya’ istri Habibie.

Satu lagi ungkapan yang sudah ketinggalan zaman yang dipakai dalam konteks bertutur film ini adalah “Di belakang setiap pria yang hebat ada wanita hebat”. Ungkapan tersebut setidaknya sudah dipergunakan sejak pertengahan 1940an. Ungkapan ini perlu diubah karena seperti menyugestikan posisi wanita berada di belakang pria. Padahal semestinya pria dan wanita sejajar. Wanita hebat ada di sebelah pria yang hebat. Wanita hebat ada bersama pria yang hebat.

 

 

 

Cerita film ini mengalir dengan lancar, bahkan dengan gaya narasi yang seperti flashback. Desain produksi dan penampilan pemain mayoritas jempolan. Beginilah cara terbaik untuk menyajikan cerita yang harus memuat kenangan satu tokoh akan tokoh lain, sekaligus mengenang tokoh yang mengenang tadi, dan juga membangun cerita kehidupan tokoh yang dikenang oleh tokoh yang juga sedang dikenang. Agak tumpang tindih memang – ini mungkin adalah contoh film yang dipengaruhi oleh kejadian dunia nyata, dan sebenarnya tidak mengapa jika banting stir digunakan untuk mengenang B.J. Habibie sebagai tambahan dari mengenang Ainun lewat Habibie. Tapi ini juga menunjukkan bahwa kita tidak bisa mengenang seorang wanita hebat, tanpa menyertakan pria hebat yang didampingi olehnya. Meskipun mengusung gagasan pria dan wanita punya kesempatan yang sama dalam hal apapun, dan dari judulnya film ini memang tentang mereka berdua, akan tetapi cara film memposisikan penceritaan, menempatkan dan memperlakukan narasi tentang Ainun, tak pelak membuat kita bertanya; Apakah wanita masih minoritas di dalam dunia pria?
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HABIBIE & AINUN 3

 

 

That’s all we have for now.

So yea, apa menurut kalian wanita masih minoritas pada jaman kekinian sekarang? Nun jauh di lubuk hati, apakah kalian masih akan menonton film ini jika judulnya hanya “Ainun” saja?

Share  with us in the comments

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Recent Posts

  • I CARE A LOT Review
  • STAND BY ME DORAEMON 2 Review
  • Elimination Chamber 2021 Review
  • WRONG TURN Review
  • MONSTER HUNTER Review
  • JUDAS AND THE BLACK MESSIAH Review
  • MALCOLM & MARIE Review
  • DON’T TELL A SOUL Review
  • EARWIG AND THE WITCH Review
  • ALL MY FRIENDS ARE DEAD Review

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought thriller

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • Ketika mengincar seorang nenek kaya raya untuk dijadikan hak asuh perusahaannya, Marla hanya mau duit. Ia jelas tid… twitter.com/i/web/status/1… 4 hours ago
  • Morally, there's no superior gender. I CARE A LOT, my review: mydirtsheet.com/2021/02/27/i-c… #ICareALot 7 hours ago
  • RT @aitaikimochi: The FF7R Queen trio is finally all here 👑👑👑 https://t.co/vFRVZ7WsVZ 22 hours ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Create a free website or blog at WordPress.com.

Cancel

 
Loading Comments...
Comment
    ×
    loading Cancel
    Post was not sent - check your email addresses!
    Email check failed, please try again
    Sorry, your blog cannot share posts by email.
    Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
    To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
    %d bloggers like this: