TICK, TICK…BOOM! Review

Time is what we want most, but what we use worst”

 

 

Hidup itu berharga karena ada batasnya. Tanyai saja setiap vampir yang kalian tahu. Mereka pasti akan berkata hidup abadi itu membosankan. Karena tidak ada deadline, kau punya kesempatan sebanyak yang dimau. Tidak ada lagi urgensi di dalam hidup jika kita punya waktu yang tak terbatas di dunia. Heck, kita terpikir untuk pengen hidup seribu tahun lagi hanya karena kita tahu hidup ada masa kadaluarsanya. Jika kalian tidak punya kenalan vampir untuk memberitahu pentingnya waktu, maka kalian cukup menonton kisah hidup Jonathan Larson dalam biografi musikal Tick, Tick…Boom! yang merupakan debut penyutradaraan dari aktor, penyanyi, dan komposer Lin-Manuel Miranda.

Batas atau umur itulah yang sebenarnya memberikan excitement dalam hidup. Kita melakukan passion kita, mengejar impian kita, karena kita tahu kita mungkin tidak bakal dapat mencapai semua itu karena waktu kita bakal habis. Makanya kita semua pengen dapat tambahan waktu, padahal yang penting dari waktu tersebut bukanlah seberapa banyak yang kita punya. Melainkan apa yang kita lakukan untuk mengisinya.

 

Memang tepat bila disebut Miranda membuat film ini sebagai surat-cinta untuk pencipta teater musikal – yang disebut oleh karakter ceritanya sebagai “spesies yang terancam punah”. Cara bercerita yang digunakan Miranda ‘terdengar’ oleh kita sebagai sebuah ekspresi penuh rasa syukur dan cinta yang dipersembahkan kepada seni tersebut, dan kepada tokoh pembuat-pembuatnya. Khususnya kepada Jonathan Larson. Seorang sutradara teater musikal yang menelurkan karya fenomenal, tanpa pernah melihat karyanya tersebut dimainkan. Larson meninggal dunia pada malam sebelum show Rent ditampilkan. Agak tragis, tapi tak pelak sungguh menginspirasi. Tick, Tick…Boom! however, dihadirkan tidak berfokus kepada Rent karya Larson yang fenomenal itu, melainkan kepada sosok si Larson sendiri. Perjalanan yang ia tempuh sebelum ia bahkan punya, katakanlah, nyali untuk membuat Rent.

Menjelang ulangtahunnya yang ketigapuluh, Larson (peran musikal pertama bagi Andrew Garfield!) mulai galau. Krisis eksistensi menerpa dirinya. Larson merasa belum mencapai apa-apa. Dia yang kerja di diner, belum jadi orang. Mimpi-mimpinya di masa muda sama sekali belum kesampaian. Karya musikal yang ia ciptakan terus saja ditolak. Atau lebih parah, dicuekin. Bertekad untuk membuat sesuatu atas namanya, Larson kini memusatkan diri untuk proyek musikal rock, sci-fi, yang ia beri judul Superbia. Masalahnya, di proyek yang ia tahu bakal mengubah dunia itu, Larson justru merasa kesulitan. Dia gak mampu menulis babak kedua – babak paling penting – dalam musikal ciptaannya itu. Dalam kondisi ekonomi yang mulai menghimpit, sosial yang makin tercerai berai (bertengkar dengan pacar, dan ditinggal mati oleh teman-teman yang satu persatu direnggut HIV), dan umurnya sendiri yang ia pikir semakin kehabisan waktu, Larson berjuang menyelesaikan karyanya.

boomimage
Tik tik bum, bunyi bom waktu di dalam hati~

 

 

Untuk film pertamanya ini, Miranda mengadaptasi musical performance one-man show Larson sebagai pondasi dari drama musikalnya ini. Clearly, sang sutradara masih berpegang pada hal yang lebih dekat dengannya, yakni gaya teatrikal. And that’s okay, karena Miranda memang cukup berhasil bercerita dengan memadukan gaya teatrikal tersebut dengan gaya bercerita film. Kita melihat Larson tampil live di depan audiens, kemudian dia bercerita tentang lagu yang ia ciptakan dari kehidupannya itu. Cerita Larson tersebut lantas menjadi adegan drama yang kita tonton sebagai flashback. Dalam adegan-adegan drama itu pun nantinya Larson dan karakter-karakter lain akan sering burst out menyanyikan lagu, lengkap dengan koreografi dan set yang dibikin seolah sebuah live teater. Semua bingkai tersebut ditampilkan mulus. Lagu-lagunya catchy dan tampak dibawakan dengan natural. Lirik yang menggambarkan perasaan Larson saat itu pun mampu menghantarkan perasaan dengan lebih tepat, walaupun kesannya jadi fun. Misalnya musical number saat Larson terperangkap dalam kesibukan diner tempat dia bekerja di hari minggu. Atau adegan nyanyi saat dia ‘merayakan’ apartemen baru milik sahabatnya yang memilih kerja kantoran dengan melepaskan kerjaaan sebagai seorang aktor.

Tapi buatku, film ini paling the best saat berbingkai teater. Bagian musikal favoritku adalah ketika Larson dan penyanyi yang diperankan oleh Vanessa Hudgens melagukan momen-momen saat Larson dan pacarnya ribut soal kerjaan dan masa depan. Koreografinya unik sekali. Mereka duduk di atas kursi di depan panggung menghadap audiens. Sambil tersenyum mereka mendendangkan curhat. Semakin intens curhatnya, senyum mereka makin lebar, dan gerakan koreo mereka semakin cepat-cepat. It’s wild! Kalo sutradara tidak memilih untuk menyelang-nyelingi adegan musikal di teater itu dengan adegan drama Larson dan pacarnya berantem di rumah, kalo musikal itu disyut dengan benar-benar seperti adegan teater – without cut dan sebagainya – aku sudah pasti akan meloncat-loncat kayak anak kecil dihadiahi PS 5 oleh bapaknya yang galak. Namun tetap saja, tidak bisa dipungkiri bahwa yang disuguhkan oleh para aktor di film ini bukanlah akting sembarang akting.

Can we please stop dulu bicarain Spider-Man, dan fokus ke betapa luar biasanya Andrew Garfield dalam peran musikal pertamanya ini? Garfield adalah salah satu dari sedikit aktor yang kayaknya selalu ngasih aku surprise dari apa yang bisa ia lakukan terhadap perannya. I mean, waktu di Hacksaw Ridge (2016) aku surprise sama penampilan drama emosional yang ia tampilkan. Begitupun waktu di Silence (2017), dia kembali memberikan note yang distinctive dalam perannya. Sekarang di Tick, Tick…Boom! ini juga begitu. Dia berhasil menghidupkan sosok seniman larger-than-life. Dia menghajar setiap adegan musikal dengan penuh gelora. Bukan sebatas nyanyi dan tampil sedikit nyentrik, Garfield di sini juga harus mengenai nada-nada dramatis. Larson yang tenggelam dalam cipta karya sehingga bertengkar dengan orang-orang terdekatnya, akan dengan gampang terlihat sebagai pribadi egois. Tapi Garfield membuat kita bersimpati dengan karakternya ini. Membuat kita paham apa yang ‘tick‘ di dalam perasaannya. Penampilan akting Garfield membuat karakter ini semakin mudah untuk kita relasikan dengan kehidupan kita.

Siapa sih yang gak risau saat menemukan dirinya berkepala tiga tapi belum mencapai apa-apa. Aku rasa semua penonton butuh menyaksikan film ini, paling enggak sebagai guide memasuki usia tiga-puluh. Karena memang gak gampang, untuk menyadari bahwa hidup kita bukan semata terbatas, tapi sebanyak apapun waktu yang kita punya, segimana pun orang punya waktunya masing-masing, waktu itu gak akan berbuah apa-apa jika kita tidak mengisinya dengan hal yang kita cinta. Kisah hidup Jonathan Larson dalam film ini, kurang lebih, mengatakan tentang hal tersebut.

boomTherapy-in-Tick-Tick-Boom
Aku malah sempat kecewa saat masih hidup setelah usia 27, aku merasa gak cukup berbakat untuk sebanding sama the 27 Club artists.

 

 

Ada banyak hal yang bisa disukai dalam Tick, Tick…BOOM! kecuali pacarnya Larson. Urgh. Annoying banget. Dia sengaja banget nagih jawaban saat Larson lagi sibuk-sibuknya. Dia gak dateng saat show. Eh, pas shownya rame, dia baru muncul. Pacar apaan tuh. Tapi mungkin itulah mark keberhasilan dari karakter yang memang jadi inspirasi Larson ini. Kisah cinta mereka inilah yang harus dijadikan stake utama, karena narasi yang berangkat dari kisah nyata ini kan semua orang sudah tahu endingnya. Larson yang merasa dirinya diburu waktu, sendirinya, tidak akan lagi jadi cerita yang menarik jika film tidak menyelam ke dalam karakter-karakter yang punya peran dan menghidupi hidup Larson. Karakter-karakter itu, seperti pacar Larson dan juga sahabat masa kecilnya, memang ada dan disorot cukup banyak oleh cerita. Tapi permasalahan mereka tidak pernah dibahas lebih dalam dari sebuah adegan musikal berikutnya. Permasalahan dengan mereka berdampak kepada Larson, tapi film hanya memperlihatkan sebatas soal ‘terwujud sebagai lagu baru’

Bukan Larson saja yang terburu waktu. Demi menguatkan kesan deadline yang menghimpit, film ini sendiri akhirnya bercerita dengan nada yang seperti terburu-buru. Tidak pernah benar-benar diam sejenak untuk merenungi emosi ataupun berkontemplasi dengan karakternya. Seharusnya ada lebih banyak adegan seperti Larson berenang dan literally menyelam ke dalam pikirannya. Film ini, memperkenalkan kita dengan menarik kepada karakter-karakter dan masalah mereka, tapi tidak lantas mau keluar dari memperlihatkan para karakter sebagai manusia di luar yang kita lihat. Oh, ada teman yang terbaring kena HIV, Larson sedih, tapi setelah dijadikan satu lagu, masalah tersebut pindah juga ke masalah lain. Ke masalah untuk dinyanyikan berikutnya. Bisa jadi ini karena pondasi cerita adalah pertunjukan seni sehingga yang kita lihat juga masalah yang terkesan lompat-lompat seperti itu, tapi sebenarnya itu gak jadi soal jika film mau untuk melambat sedikit. Narasi tidak harus berjalan seperti diburu-buru. Kesan itu bisa dilayangkan lewat kerja kamera atau lewat editing saja.

 

 

 

Seneng sekali setidaknya ada tiga drama musikal bagus tahun 2021 ini. Meskipun aku gak suka musik, tapi aku selalu menyambut gempita film musikal karena biasanya emosinya memang menohok lebih dalam. Film ini misalnya. Fusion keren dari teater musikal dengan drama musikal. Penampilan akting yang mempesona dari Andrew Garfield turut mempermanis surat-cinta untuk seni teater dan salah satu seniman yang bekerja membuatnya, si Jonathan Larson itu sendiri. Ceritanya sungguh menginspirasi, super relatable, dan bakal bikin kita ikutan nyanyi dari hati. Pengennya sih film ini bisa sedikit lebih ‘tenang’ dan lebih berlama lagi menyoroti karakternya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TICK, TICK…BOOM!

 

 

 

 

That’s all we have for now

Jonathan Larson berjuang hingga akhir hayat atas nama seni. Menurut kalian apakah seni itu memang sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. arya says:

    Paling berat memang umur-umur segini, apalagi kalo ngeliat ke sekitar, pasti makin stress haha.. Tapi kalo dipikir-pikir alasan kenapa si Larson gakbisa nyelesaiin musikalnya apa ya, apakah karena dia terlalu nyantai gaknyadar umur atau dia terlalu stress mikirin bom waktunya sendiri?

  2. Farrah says:

    Mungkin gabungan keduanya kali ya mas, karena kan kayanya dia mulai garap musikalnya dr sekitar umur 22, dan menurutku awal2 masuk umur 20an tuh emg lagi ‘bebas2’nya; udah legal ngelakuin apapun, punya penghasilan sendiri, ‘lepas’’ dari orang tua… dan mungkin Larson a little bit too enjoy sampe lupa kalo everyones around him are moving too, dan ketika dia sadar tiba2 udah seminggu lagi masuk kepala tiga, langsung ticking the bomb deh..
    tapi pada akhirnya dia ‘cuma’ butuh 5tahun ya buat bikin Rent. Aku sesungguhnya penasaran Rent ini kayak gimana, krn aku buta bgt tentang broadway. Apalagi sampe tayang 12tahun kan.. Udah pernah nonton Rent mas?

    • arya says:

      Beluum… aku malah gak yakin broadway cocok untukku, soalnya nonton Hamilton ama In the Heights aja aku gak kelar.. bingung juga bedanya apa, ada beberapa musikal yang aku mampu tonton, ada yang enggak hahaha
      Iya sih, dan itu keliatan banget Superbia ditulisnya umur 20an alias waktu masih muda banget, waktu idealis masih tinggi.. rata-rata yang kutau nulis-nulis skenario, waktu awal-awal juga pasti ceritanya tinggi seperti Superbia itu. Dan ujung-ujungnya pasti kewalahan menyelesaikan, bahkan gak sedikit juga yang gak nyelesaikan cerita, termasuk aku xD Naskah thriller yang digarap dari ide bareng teman-teman kuliah sampai sekarang gak kelar, padahal udah dapat banyak masukan. Makanya pas nonton Larson agak gimana gitu, ngeri ticking bomb ku gimana datangnya

  3. Farrah says:

    Iya sih, kalo broadway kayanya udah another level lagi ya, maksutnya akupun gatau akan cocok apa enggak kalo beneran nonton, karena kadang nonton film musikal aja kalo kebanyakan nyanyi dan plotnya tipis, ga akan sampe selesai nontonnya hahaha
    Waah emang kayanya Superbia ini permasalahan umum seniman di awal2 ya karir ya, akupun lupa pernah baca di review film apa, yg jelas disini juga deh kayanya, soal seniman yg memang pada akhirnya harus mengesampingkan idealismenya, dan menyerah sama kemauan produser & pasar, karena memang dunia entertaiment ‘begini adanya’. Gak heran beberapa karya hebat macem Harry Potter atau even Squid Game butuh rejection bertahun-tahun, sampe pada akhirnya dapet approval. The struggle is real bgt ternyata

    • arya says:

      Lebih susah nyari ‘jodoh’ produser yang cocok ama karya di dunia seni film kayaknya ya ahaha.. Aku ngeliat ekspresi Larson pas ditelpon cuma dikasih tahu “gak sabar liat karyamu berikutnya” aja kasian.
      Harry Potter! inspirasi banget, mulainya dari coratcoret ide di scraps of paper, ditolak-tolak.. Kayaknya ntar di masa mendatang bakal ada film berdasarkan J.K. Rowling nerbitin Harry Potter deh xD

Leave a Reply