• Home
  • About
  • Movies
    • DARAH DAGING Review
    • JUMANJI: THE NEXT LEVEL Review
    • FORD V FERRARI Review
    • THE IRISHMAN Review
    • NIGHTMARE SIDE: DELUSIONAL Review
    • RUMAH KENTANG: THE BEGINNING Review
    • FROZEN II Review
    • BIKE BOYZ Review
    • THE FAREWELL Review
    • RATU ILMU HITAM Review
    • DOCTOR SLEEP Review
    • LAMPOR: KERANDA TERBANG Review
    • LOVE FOR SALE 2 Review
    • THE NIGHTINGALE Review
    • KELAM Review
    • SUSI SUSANTI: LOVE ALL Review
    • ZOMBIELAND: DOUBLE TAP Review
    • MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL Review
    • MY DAD IS A HEEL WRESTLER Review
    • PEREMPUAN TANAH JAHANAM Review
    • SIN Review
    • BEBAS Review
    • CINTA ITU BUTA Review
    • THE PEANUT BUTTER FALCON Review
    • JOKER Review
    • 6,9 DETIK Review
  • Wrestling
    • Survivor Series 2019 Review
    • Hell in a Cell 2019 Review
    • Clash of Champions 2019 Review
    • SummerSlam 2019 Review
    • Extreme Rules 2019 Review
    • Stomping Grounds 2019 Review
    • Money in the Bank 2019 Review
    • WrestleMania 35 Review
    • Fastlane 2019 Review
    • Elimination Chamber 2019 Review
    • Royal Rumble 2019 Review
    • WWE Evolution Review
    • Hell in a Cell 2018 Review
    • SummerSlam 2018 Review
    • Extreme Rules 2018 Review
  • Books
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: song

ROCKETMAN Review

14 Sunday Jul 2019

Posted by arya in Movies

≈ 6 Comments

Tags

2019, biopic, drama, family, fantasy, funny, life, love, musical, real-person, review, song, spoiler, thought

“Worry about loving yourself instead of loving the idea of other people loving you”

 

 

Tidak semua orang tahu nama asli Elton John adalah Reginal Kenneth Dwigth, karena musisi ini memang mengganti namanya secara legal karena kecintaannya terhadap musik blues. Biopic musikal Rocketman garapan Dexter Fletcher bahkan menjadikan soal nama tersebut sebagai poin vokal. Disebutkan dalam film ini, bahkan Elton John sendiri berusaha untuk ‘melupakan’ nama kecilnya. Karena, seperti yang ia ceritakan kepada kita dan lingkaran grup sharing  – film dimulai dengan sangat menarik kita melihat John datang sempoyongan lengkap dengan kostum setan dalam balutan gaya pop – bahwa hubungan dirinya sedari kecil tidak begitu baik dengan kedua orangtuanya. Terutama kepada ayah. Padahal bakat jenius dalam bermusik yang ia miliki merupakan turunan dari sang ayah. Dia seringkali dicuekin. Hingga dia tumbuh gede menjadi musisi sukses dan mengganti namanya. Orang-orang suka Elton John, yang ironisnya membuat dia sendiri semakin ‘benci’ dengan dirinya yang asli – si Reggie Dwight, anak kecil malang. Sungguh sebuah harga yang mahal untuk sebuah pengakuan!

Elton John is a larger than life persona. Tetapi Rocketman mendaratkan tokoh ini sehingga John kita rasakan tak ubahnya sama dengan kita semua. Tak-kalah menyedihkannya. Setiap hari kita melihat orang-orang di sekitar, dan juga kita sendiri, berusaha mengerjakan sesuatu supaya sukses dalam bidang masing-masing. Ada yang pepatah luar yang bilang “bekerja keraslah hingga suatu hari kau tidak perlu lagi memperkenalkan namamu kepada semua orang”. Film ini memperlihatkan kepada kita, melalui sudut pandang Elton John seorang musisi besar, sejauh mana seseorang mampu bertindak demi diakui oleh orang. John begitu putus asa pengen dilirik oleh ayahnya. John terkenal, tapi itu hanya ‘persona’nya. Dirinya yang di dalam, the real him, menjadi sangat tak-penting sampai-sampai John sendiri tak mau mengenali. Ketika dia membicarakan kemunduran dan masalah di pertemuan sharing pada adegan pembuka itu, barulah John memanggil kembali dirinya. Untuk melihat keindahan cerita film ini, aku sarankan kalian mendengarkan dengan seksama cara John menyebut dirinya dari awal cerita hingga akhir. Rasakan perubahan tone yang bergerak berlawanan dengan kejadian demi kejadian di mana dirinya semakin ‘hancur’ yang mengisyaratkan penyadaran yang perlahan terbit di dalam diri tokoh ini.

Jangan meroket ketinggian oleh puja-pujaan sementara kita lupa mencintai diri sendiri. Lupa sama diri sendiri. Jangan korbankan diri untuk mencari cinta dan pengakuan dari orang lain. Jadikanlah Elton John dalam Rocketman sebagai contoh kasus; kita akan berakhir tak bahagi dan semakin membenci diri sendiri. Lakukanlah apa yang membuatmu bahagia, demi dirimu sendiri.

 

Kita akan melihat dari kacamata Elton John, dan kalian semua tahu betapa fabulous-nya kacamata Elton John

 

Sehubungan dengan itu; penampilan Taron Egerton sangat memukau. Dia tidak sekadar menjadi Elton John. Quick fact: tidak akan ada seorang pun yang bisa menjadi Elton John like Elton John did. Egerton menyeruak ke dalam perannya ini dengan ‘keanggunan’ khusus ciptaannya sendiri. Seperti beginilah akting yang sebenarnya akting. Bukan masalah gigi palsu, atau wig, atau dandanan rambut yang disama-samain. Ketika kau memerankan karakter, kau menghidupi jiwa karakter tersebut dengan pendekatan personalmu sendiri. Seperti yang dilakukan Taron Egerton di sini. Egerton menyanyikan semua adegan musikal. Meskipun suaranya memang terdengar berbeda dari Elton John yang asli, tapi kita melihat dan mendengar jauh beyond semua itu. Kita tidak mendengar ada yang nyinyir mengatakan Taron Egerton merusak lagu legenda. Karena penampilan akting yang ia suguhkan membuat kita semua konek dengan jiwa tokohnya.

Dexter Fletcher sepertinya belajar dari kekurangan pada Bohemian Rhapsody (2018), sama-sama film tentang biografi musik legendaris, yang ia ambil alih setelah sutradara asli film tersebut keluar. Di Rocketman, dia tak lagi ragu untuk membahas hal-hal personal. Beserta isu-isu sosial yang menyertainya. Tak pernah film ini terasa terlalu mengkultuskan tokoh yang ia ceritakan. Elton John tergambarkan dengan lebih bebas ketimbang Freddie Mercury dalam Bohemian Rhapsody. Ketika disorot dari cahaya ‘lampu yang buruk’, tidak ada usaha overprotektif terhadap tokohnya, cerita malahan dengan berani menerjunkan kita ke dalam kepala sang tokoh. Dan ini membuat kita secara natural semakin peduli dan tertarik kepadanya. Mereka tidak menirukan seorang tokoh, melainkan memfantasikan seluk beluk sang tokoh. Makanya film ini terasa benar-benar hidup.

Cara bercerita mengemas semua arahan dan penampilan sedemikian rupa sehingga membuat Rocketman amat sangat menarik dan menyenangkan untuk diikuti. Visual yang dihadirkan benar-benar mengikat fantasi ke dalam realita. Atau, realita ke dalam fantasi? Aku gak tahu karena film benar-benar mengaburkan batas, membuatnya mengasyikkan untuk diikuti. Musik-musik yang diperdengarkan di sini benar-benar dimainkan, dinyanyikan, sebagai bagian dari sebuah penceritaan. Adegan bernyanyi bukan sekadar muncul ketika Elton John nampil di depan penggemar. Melainkan menyatu dengan kebutuhan emosional cerita. Seperti misalnya ketika John Kecil merasa sedih, kemudian dia lantas bernyanyi. Dan dia memandangi ayahnya. Kemudian kita mendengar ayahnya ikutan bernyanyi, menyuarakan apa yang ia rasakan. Semua orang di film ini bernyanyi. Menari dengan koreografi, sebagai bagian dari fantasi yang dirasakan jauh di dalam hati John. Membuat setiap poin-poin cerita film ini terasa segar, asik untuk disimak.

setelah nonton Rocketman, kita perlu menanyakan kepada diri kita sendiri: “Rami Malek who?”

 

Cerita seorang tokoh, dalam kasus ini musisi, memang perlu untuk mengambil langkah berbeda seperti yang dilakukan oleh film ini. Lantaran sebagian besar contoh film-film genre ini kita dapati selalu memilih untuk jadi biografi. Sehingga punya format yang sama. Format yang ‘membosankan’ kalo boleh kutambahkan. Film biopik seringkali akan dimulai sedari tokoh masih kecil, dan berlanjut remaja, dewasa, memasukkan semua fakta-fakta tentang si tokoh (apa-apa saja yang terkenal dari si tokoh). Yang pada kelanjutannya membuat ceritanya membosankan karena terlalu melebar sehingga terasa episodik, dan gak benar-benar kohesif dengan gagasan yang ingin disampaikan. Itu juga kalo gagasannya ada, sebab sering juga biografi atau cerita tentang seorang tokoh dipenuhi oleh kepentingan untuk pencitraan semata. Untuk kasus cerita tentang musisi, konflik yang ada pun sebenarnya kurang lebih sama. Mereka terkenal dan jauh dari orang yang dicintai. Mereka depresi. Party, mabok-mabokan. Terlibat narkoba. Penyimpangan seksual. Terjangkit penyakit mematikan. Semua itu adalah trope-trope biasa yang sering kita temukan pada biopik musisi apa saja. Pada Rocketman pun seperti demikian. Rentetan kejadiannya sangat seusai dengan formula tradisional. Akar masalah sedari kecil – montase sukses – terpuruk – sakit – bertengkar dengan orang yang paling dekat dengannya – kemudian menyesal dan berusaha bangkit sendiri.

 

 

Jika diceritakan dengan ‘lurus-lurus’ saja, film ini pastilah akan membosankan. Pacing ceritanya tak pelak memang bermasalah. Tapi film ini tetap hadir menyenangkan dan menarik lantaran dia diarahkan dengan cara yang berbeda. Biopik ini tidak bermaksud menjadikan dirinya sebatas meniru kejadian yang asli. Melainkan sebagai sebuah fantasi tentang sesuatu pada seseorang yang pernah terjadi. Inilah yang membuatnya hebat. Penampilan akting yang berkharisma dan penuh emosi. Adegan musikal yang menghipnotis. Tak ketinggalan pula gagasan, pesan yang berakar pada hubungan antaranggota keluarga. Semua hal tersebut sukses memopang sudut pandang seseorang tokoh yang begitu lain daripada yang lain. Sehingga semua orang bisa mudah terkonek dengannya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ROCKETMAN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Kenapa ya banyak musisi terjatuh di lubang depresi yang sama?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

DOREMI & YOU Review

20 Thursday Jun 2019

Posted by arya in Movies

≈ 13 Comments

Tags

2019, drama, family, friendship, funny, kids, life, love, musical, review, song, spoiler, teenager, thought

“The differences between friends cannot but reinforce their friendship”

 

 

“Hey sabar, jangan emosi!” bentak Putri kepada salah satu sohibnya – Imung – yang mulai merepet soal pelatih grup vokal mereka yang tak kunjung ditemukan. Waktu semakin mendesak, Putri dan Imung, beserta dua orang lagi – Anisa dan Markus – harus segera menemukan orang yang bisa melatih mereka supaya menang dalam kompetisi menyanyi Doremi & You. Mereka butuh duit hadiahnya untuk menggantikan uang kas kelas yang tak-sengaja hilang.

Persahabatan erat melekat di antara empat sahabat tersebut, surprisingly, tidak seceria adegan musikal yang menjadi pembuka film ini. They had a go at each other, rather easily. Mereka saling menyalahkan dengan sambil menyanyi. Akan ada banyak adegan perdebatan yang dilagukan. Aku sempat berpikir, anak-anak ini punya hubungan pertemanan yang sangat aneh. I mean, aku dan teman-teman dekatku juga kerap saling ‘serang’, tapi paling tidak, kami tidak melakukannya sambil bernyanyi dan menari haha. Putri, Imung, Markus, dan Anisa; Mereka juga tidak kelihatan terlalu kompak. Mereka tidak punya bahasa geng; mereka bicara dengan logat dan bahasa daerah masing-masing. Alih-alih bersepeda seragam, keempat pelajar SMP ini mengendarai sepeda yang bermacam-macam warnanya. Baju mereka pun begitu, bahkan seragam batik mereka aja warnanya beda-beda. Udah kayak Power Rangers deh. Masing-masing setia dengan warna mereka sendiri. Seperti atribut yang melekat dan tampak oleh kita, keempat tokoh ini dibuat colorful seperi demikian. Dan itulah yang pada akhirnya menjadi kekuatan mereka. Itulah, sodara-sodara sebangsa dan setanah air, statement yang sedang dibangun oleh film musikal ini.

Musik tersusun dari beragam jenis suara, sumber suara, irama, nada-nada baik yang tinggi maupun yang rendah, yang membentuk suatu kesatuan. Kita tidak bisa membuat musik hanya dari satu suara. Dibutuhkan perbedaan untuk membentuk suatu harmoni. Begitu pulalah hidup kita. Semua perbedaan yang ada, seharusnya diakui. Bukannya disembunyikan. Perbedaan mendorong kita untuk saling menngerti. Menggebah kita untuk saling berkompromi. Middle-groundnya lah yang disebut dengan persatuan.

bukan Laksamana Do Re Mi loh ya

 

Jadi, film ini mengandung gagasan yang sangat baik yang sangat relevan dengan statusnya sebagai film untuk keluarga. Anak-anak dan remaja yang menonton ini akan banyak mendapatkan pelajaran berharga seputar mengakui dan menghargai perbedaan. Karena mereka hidup dalam dunia yang semakin terbuka. Bahkan lebih beragam lagi dari dunia ketika zaman orangtua mereka. Tantangan untuk memelihara persatuan bakal semakin kuat, namun juga jika diusahakan maka hubungan persatuan yang terjalin bakal jadi lebih erat. Dalam keadaan paling kuatnya, sebutan ‘cina’ dan ‘arab’ bakal bukan lagi sebuah hinaan. Melainkan hanya nada berikutnya yang harus diharmonikan.

Doremi & You garapan B. W. Purba Negara mendorong kita untuk memandang perbedaan sebagai kekuatan, dari berbagai sudut. Untuk melakukan hal tersebut, naskah terus mengajukan pertanyaan seputar itu melalui masalah-masalah yang dijumpai oleh tokoh-tokohnya. Ketika satu pertanyaan terjawab, akan ada masalah baru yang membuat tokoh-tokoh film ini harus memikirkan dari sudut yang lain. Kenapa kita tidak mencoba merangkul yang beda itu? Bisakah kita bekerja sama? Bagaimana kita bisa menyatukan semua perbedaan menjadi suatu lagu yang enak didengar? Poin-poin itu yang menjadi penggerak narasi. Untuk menggambarkan hal tersebut, film akan bergantung kepada adegan nyanyi-nyanyi yang liriknya terdengar catchy, sekaligus sarat ama pesan dan ide yang ingin disampaikan. Perhatikan baik-baik setiap lirik pada bagian musikalnya, karena bagian itulah yang bakal bicara lebih efektif kepada kita.

Aku bilang begitu lantaran jika dilihat dari karakter-karakternya, maka film ini akan terasa sedikit aneh. Persoalannya bukan pada pemeranan, karena bintang-bintang film cilik ini menaklukan tantangan yang cukup berat. Mereka harus berakting, bernyanyi, sekaligus menari. Masing-masing diberikan porsi untuk unjuk sisi emosional, dan permainan akting para aktor di film ini seragam passable-nya. Fatih Unru yang paling menonjol dari segi drama, tapi tokohnya tidak diberikan banyak untuk dilakukan – kita tidak mendapat backstory tokoh Imung yang ia perankan. Dua teman Putri yang lain, diperankan oleh Toran Waibro dan Nashwa Zahira, diberikan masalah keluarga di rumah; yang satu punya paman yang tegas yang menentangnya berlatih musik di saat masa-masa menjelang ujian akhir – kegalakan tokoh ini seketika menjadi normal, yang satu lagi punya ayah yang bekerja sebagai badut sehingga dia tidak berani ketahuan ayahnya kalo ia sudah menghilangkan uang anak-anak di kelas. Dua tokoh ini yang menjadi penyuntik emosi. Masalah yang mereka hadapi ini yang kita pedulikan. Akan tetapi karena film butuh kita untuk lebih peduli kepada tokoh utama, maka masalah-masalah tersebut berakhir kempes gitu aja. Si Paman jadi ‘baik’ lagi saat udah beres ujian. Si ayah badut tak lagi dibahas. Padahal aku nyangkanya jalan keluar final cerita film ini adalah Putri dan kawan-kawan ngadain show bareng badut-badut untuk menggalang dana.

Anyway, tentu saja adalah hal yang benar untuk menjaga supaya tokoh utama kita tidak ter-outshine oleh tokoh lain. Adyla Rafa Naura Ayu (maaf kalo ada salah ketik, nama anak jaman sekarang susye-susye hehehe) punya kharisma yang cukup untuk membawa beban tokoh utama, dia tampak mudah terkonek dengan penonton-penonton seusianya. Hanya saja – yang aku tidak habis pikir adalah – tokoh Putri yang ia mainkan anaknya ngebos banget. Putri ini cerianya pas nyanyi doang. Di luar itu, sikapnya nyaris unbearable. Cara dan nada dia ngomong sama teman-temannya begitu menuntut. Nanya adeknya saja Putri harus sambil menggebrak meja. Susah untuk kita peduli kepada tokoh Putri, meskipun para penggemar Naura hanya akan melihat jauh ke balik tokoh ini – para penggemarnya bakal langsung melihat ke Naura jadi mereka gak bakal terganggu sama tokoh Putri. Tapi buatku, Putri seharusnya diberikan penokohan yang lebih baik lagi. Teman-temannya punya masalah di rumah, sedangkan Putri hanya berkutat dengan peraturan ‘enggak boleh main hp saat belajar’ dari ayahnya.

Ngomong-ngomong, aku gak ngerti maksud tebakan rubik dari si ayah

 

Putri gak peduli sama masalah teman-temannya. Ketika Anisa bilang udah dilarang ikutan sama paman, Putri masang wajah jutek tanpa empati. Dia bahkan enggak pernah diperlihatkan benar-benar peduli sama soal uang yang hilang. Journey tokoh ini memang semestinya berkembang dari dia yang cuek, yang menuntut untuk semuanya sesuai dengan yang ia mau menjadi dia lebih terbuka untuk merangkul, lebih berempati. Tapi tidak pernah ditampilkan seperti itu. Instead, Putri sampai akhir tetap orang yang hanya mau bertindak kalo sesuatu itu demi dirinya sendiri. Dan ketika dia menjadikan hal personal seperti demikian, maka hal tersebut akan menjadi terlalu personal.

Lapisan paling menarik dari tokoh Putri adalah tentang hubungan dia dengan Kak Reno yang diperankan oleh Devano Narendra. Kak Reno adalah murid SMA jutek yang Putri minta untuk melatih kelompoknya, meskipun sohib-sohib Putri menolak. Obviously, Putri has a crush on him. Seperti pada trope mentor senior-murid yang biasa kita lihat, lambat laun respek di antara mereka semakin gede, hubungan semakin akrab. Dan bahkan Reno pun diberikan motivasi dan backstory yang lebih daripada Putri; perbedaan selera musik Reno dengan ayahnya menjadi akar karakter ini. Reno actually menambah banyak kepada tema dan ide cerita, apa yang ia lakukan berperan gede untuk pertumbuhan tokoh Putri. Tapi Putri ini takes thing a little bit too personal sehingga somehow cerita di antara mereka berubah menjadi rivalry. Tapi tentu saja, kita harus ingat cerita ini dari sudut pandang Putri. Jadi persaingan yang diangkat bisa saja bukan persaingan sama sekali – bahwa kompetisi hanya ada pada Putri; teman-teman yang lain nyanyi di sana untuk tujuan yang berbeda. ‘Menariknya’ adalah kita tahu bahwa ketika mereka bersatu untuk menang, kita tahu antara Putri dan teman-temannya berjuang demi hal yang berbeda.

Film juga dengan bijaksana untuk membuatnya tampak seperti berada di antara Putri cemburu atau dia beneran marah karena merasa dibohongi secara profesional. Atau malah karena keduanya. Dan ini adalah interesting take yang diangkat pada sebuah cerita yang mainly ditujukan untuk penonton anak-anak dan remaja. Putri beneran fokus di sini, sampe-sampe dia seperti ‘memaksa’ teman-teman untuk tetap lanjut sehingga masalah uang yang hilang seperti nomor dua buatnya.

Jika kalian masih butuh bukti betapa egois dan ngebosnya Putri hingga akhir cerita, coba tebak apa nama grup vokal mereka? Yup, Putri and Friends.

 

 

 

Film ini mengajarkan soal menyingkapi perbedaan dengan cara yang unik. Seluruh warna-warni itu dijadikan kesempatan untuk arena bermain bagi departemen artistik. Lagipula, di mana lagi kita bisa mendapatkan analogi antara musik EDM dengan bubur ayam, kan. Genre musikal juga membuat ceritanya tidak gampang tampak membosankan. Menyenangkan melihat segitu banyak perbedaan dipersembahkan untuk mendukung satu gagasan. Meski begitu, toh, tokoh utamanya seharusnya bisa diperbaiki sedikit. Dia terlalu bossy dan personal di tempat yang salah. Cerita seharusnya bisa lebih diperketat lagi in favor of the characters, bukan hanya pada penyampaian pesan lewat nyanyi-nyanyian.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for DOREMI & YOU.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Kira-kira kalo kalian satu sekolah dengan Putri, kalian bakal mau gak jadi temennya dia?

Daan, pertanyaan paling penting yang pernah aku ajukan di sini:

Ada yang tau gak sih makna permainan rubik sang Ayah tadi? Gimana jawabannya bisa seperti yang ia sebut? Seems like random numbers to me. Serius, aku benar-benar gak ngerti.

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

PSP: GAYA MAHASISWA Review

31 Thursday Jan 2019

Posted by arya in Movies

≈ 4 Comments

Tags

2019, ansemble, comedy, drama, funny, real people, review, song, spoiler, thought

“As the old birds sing, so does the young ones tweet.”

 

 

Wah kalo ditanya bedanya, tentu saja anak muda zaman dahulu sangat banyak ketidaksamaannya dengan anak muda masa sekarang. “Anak zaman dulu sekarang sudah pada tua, anak sekarang masih mudaaa” ya ya itu jawaban simpel yang lucu yang bisa dilontarkan oleh orangtua kita. Jawaban yang lebih serius dari mereka mungkin seputar betapa anak dulu sopan-sopan, sedangkan yang sekarang pada ceplas-ceplos sekenanya. Orang-orang suka membicarakan perbedaan ini, membanding-bandingkan. Padahal ada satu yang selalu sama, dari sekian banyak perbedaan yang bisa dikulik, adalah anak muda selalu berpikir kritis. Dulu dan sekarang. Zaman lah yang membuat ‘kritis’nya itu menjadi berbeda. Sekarang, pemuda pemudi bisa langsung demo. Atau paling enggak, bisa langsung curhat ke media sosial, menjadikan viral, dan menghimpun kekuatan protes dari sana. Tidak demikian kondisinya dengan bertahun lalu, mainnya musti cantik, pemuda-pemuda menyalurkan aspirasi dan ekspresi lewat karya yang begitu subtil. Salah satunya lewat musik komedi. Dan begitu jualah titik awal terbentuknya grup Orkes Moral PSP – Pancaran Sinar Petromaks.

Bersama Warkop DKI, grup ini terkenal di tahun 80’an dalam kalangan remaja dan dewasa muda. Musik-musik parodi beraliran dangdut yang punya kemampuan menyentil itu adalah cap dagang PSP. Album mereka lumayan banyak, mereka juga punya film sendiri, namun tidak sepopuler Warkop. PSP: Gaya Mahasiswa ini tadinya kupikir bakal menjadi semacam biopik, tapi mungkin itu dinilai boring, jadilah ternyata mereka membuat film ini sebagai versi kekinian dari kisah-kisah lagu mereka. Actually, film ini dibuat punya self awareness yang tinggi. Kita melihat tokohnya mengenali nama PSP samaan ama nama konsol game handheld (konsol yang bahkan sudah dikata kuno juga ama anak jaman now). Kita menyaksikan tokohnya mengakui istilah orkes moral sudah tidak laku lagi sekarang ini. Dan mereka bersikukuh tetap dengan formasi mereka (delapan orang cowok kuliahan) karena that’s how they roll. In a sense, film ini adalah potret andai para personel PSP terlahir sebagai anak muda di era teknologi.

Era di mana ojek dan jodoh bisa dicari lewat aplikasi.

 

Omen (bertindak sebagai ketua grup), James, Ade, Monos, Rojali, Aditya, Andra, Dindin tinggal satu rumah kosan, belajar di satu kampus yang sama. Kita enggak yakin latar belakang masing-masing, karena itu tidak penting. Cerita dimulai ketika mereka sudah bergerak sebagai satu grup. Mereka sering manggung untuk nyari uang jajan, dan mereka senang dengan apa yang mereka lakukan. Karena sama-sama jahil, kedelapan orang ini terancam diskors dari kampus. Kafe langganan pun memutuskan tali kerja sama dengan mereka. Jadi, grup ini harus segera cari ide, mereka harus buktikan musik mereka, dan terutama mereka sendiri, tidak setidakberguna kelihatannya.

Aku mendapati komedi yang disebar bekerja dengan relatif sukses. Tidak ada yang jatohnya terlalu lebay atau gak masuk akal secara sensasional. Kedelapan bintang komedi muda yang memerankan personel PSP bermain dalam kapasitas yang cukup, range mereka gak banyak – hampir satu-dimensi, malah, tapi buatku masih bisa diwajarkan karena film ingin menguatkan mereka sebagai satu kesatuan.Film ini terasa all-over-the-place karena banyaknya elemen cerita. Dan terkadang, tone cerita jadi tidak bercampur dengan baik karenanya. Cerita dapat dengan mudah berpindah dari lucu-lucuan soal berusaha nyari kerjaan manggung, ke melihat persaingan nyari cewek, ke adegan dramatis mereka marahan karena terancam di-DO. Dari persoalan naksir ama ibu kosan baru yang cantik ke permasalahan pembegalan di jalan. Tema prasangka yang membayangi subplot begal itu sebenarnya bekerja juga terhadap gambaran besar cerita secara keseluruhan.

Bahwa terkadang kita terlalu cepat menilai orang dari penampilan luar, atau sekadar dari apa yang kita lihat. Tak jarang makanya orang-orang pada heran ketika melihat anak-anak muda yang hobinya nongkrong gak jelas, ternyata bisa berprestasi. Semua orang punya keahlian, setiap keahlian unik itu ada gunanya. Mungkin gunanya bukan untuk kita, bukan yang kita butuhkan di saat itu. Namun kita tidak bisa begitu saja gegabah menihilkan nilai seseorang.

 

Di akhir semua elemen itu toh ternyata terikat juga, dengan kesan feel-good yang tinggi, film ini pun tak menanggalkan nada komedinya – ada satu running joke yang awalnya lumayan cringey namun berhasil berbuah sangat manis. Walaupun begitu, ada yang terasa kurang. Film tidak terasa benar-benar accomplish apapun. Dengan stake yang sebenarnya tergolong kuat, dan ada lebih dari satu – ada kemungkinan mereka dikeluarin dari kampus dan dari kosan, bahkan bisa jadi mereka berpisah karena gak dapat kerjaan manggung lagi, film tidak pernah terasa benar-benar membuat kita percaya tokoh-tokoh ini punya masalah. Mestinya ada pembelajaran pada cerita, ada perubahan kondisi, tapi tidak benar-benar terasa oleh kita.

Ini adalah karena pada film ini yang berubah itu adalah yang berada di luar kelompok tokoh utama. Ini adalah cerita yang ingin menonjolkan para tokoh, maka mereka dibuat ‘sempurna’ dalam ketidaksempurnaan mereka. Apapun yang terjadi, anak-anak muda tersebut tidak salah. Dunia di luar merekalah yang diharuskan untuk melihat, memahami, dan menyadari keunggulan dan sisi positif dari mereka. Padahal film seharusnya bekerja dua arah, tokoh juga perlu untuk menyadari kekurangan mereka dalam mencapai keinginan. Mereka harus belajar memahami apa yang mereka butuhkan. Dalam film ini kita melihat geng PSP memecahkan masalah hoax dengan posisi mereka di luar lingkaran hoax itu sendiri; mereka tidak bersinggungan langsung dengan kejadian hoax dan dampaknya. Mereka bertindak seolah penyelamat. Masalah yang menimpa mereka pun tidak digambarkan sebagai ada yang ‘salah’ dari mereka. Omen dan kawan-kawan tidak diperlihatkan mengadakan perubahan terhadap diri mereka sendiri. Karena begitulah anak muda, terlihat serampangan, dan kita yang harus bisa melihat keserampangan mereka itu ada baiknya.

aku gagal melihat apa makna di balik Ade yang menerima cewek penggemarnya setelah tahu si cewek adalah anak dari ibu kos…?

 

Sesekali ada sekuen nyanyian, seperti lagu Fatimeh, yang mengingatkan kita akan esensi grup PSP yang sebenarnya. It’s fun dan gak bikin kita sampai menguap. Tapi selain untuk nostalgia para penggemar, dan menonjolkan musikalitas PSP, tidak banyak ‘daging’ dan kepentingan di dalamnya. Aku mengira dengan set mahasiswa – yang stay true ama kelahiran PSP sendiri – film akan banyak membahas mengenai kritik-kritik sosial di kehidupan jaman sekarang. Kupikir semangat mengkritisi itu yang akan dieksplorasi, you know, mahasiswa dengan kondisi pemerintah. Ada banyak yang mestinya bisa diangkat jadi bahan kritikan, namun sepertinya film memang diarahkan tidak benar-benar berada di jalur tersebut.

Yang berkaitan dengan seni juga banyak; aku tahu bukan salah filmnya jika mereka keluar terlalu cepat sehingga lebih duluan dari masalah RUU Permusikan yang sedang marak, tapi cerita toh bisa dengan mudah mengarah ke mereka dilarang atau dibatasi main musik oleh kampus. I mean, logisnya kalo kita bikin film tentang anak muda main musik, mustinya ada kalanya mereka dihalangi untuk melakukan kerjaan mereka. Film, menjauh dari musik, mengalamatkan kritik kepada sebaran hoax pada masyarakat, tapi ‘kasusnya’ sangat basic dan menjadikannya tidak actually menyelesaikan dengan kekhasan PSP itu sendiri. Di awal-awal kita melihat anak-anak PSP menyabotase seminar kampus yang kuasumsikan sebagai bentuk kritikan mereka terhadap ‘kebohongan’ yang dilakukan oleh rektor. Hanya saja menurutku, candaan di sini lumayan tasteless karena pada akhirnya jatoh seperti delapan mahasiswa itu mengolok-olok seorang orang cacat yang lebih tua. Dan hingga akhir cerita mereka tidak diperlihatkan menyesal atau menyadari apa yang sudah mereka lakukan tersebut.

 

 

 

Film menunaikan tugasnya dengan baik sebagai komedi lika-liku kehidupan mahasiswa Orkes Moral PSP di dunia kontemporer. Para penggemarnya bisa dengan asik bernostalgia. Tapi bagaimana dengan anak muda? katakanlah mahasiswa yang menonton film ini, yang belum pernah mendengar PSP sebelumnya? Film ini di mata mereka hanya akan bertindak sebagai hiburan, dengan kelakuan-kelakuan yang relatable, punya sedikit pesan moral. Ini sesungguhnya bukan hal yang buruk, melainkan prestasi yang lumayan. Hanya saja lampu moral tersebut mestinya bisa dipancarkan lebih kuat lagi. Aku tidak merasa ada banyak yang diwariskan oleh PSP kepada mahasiswa masakini lewat film ini. Mungkin ini memang bukan film yang ke arah sana, tapi membuat anak muda berpikir mereka benar, dan dunia salah karena telah berprasangka seperti suatu pengajaran yang baru setengah langkah.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for PSP: GAYA MAHASISWA.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
PSP menyanyikan lagu-lagu yang liriknya dibuat (atau diplesetin) sesuai dengan keadaan dan konteks jamannya. Kaitannya dengan musik dan kapasitas mengkritik yang ia punya, bagaimana menurut kalian soal rancangan Undang-Undang Permusikan yang santer baru-baru ini?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]

09 Sunday Sep 2018

Posted by arya in Music

≈ 1 Comment

Tags

#lyricbreakdown, 2018, life, mature, musik, pop, psychological, quotes, song, teenage, thought

 

Semua orang maunya terkenal. Setiap orang pengen diakui. Jadi, kita getol untuk berkarya. Kita bekerja dengan giat. Ada ungkapan yang bilang “Bekerjalah sampai kau tidak perlu lagi untuk memperkenalkan diri.”

Buat remaja kayak Alessia Cara enam-tujuh tahun yang lalu, muncul di televisi tak pelak adalah ultimate recognition. Sekarang, Alessia sudah ngantongin Grammy. Lagunya langganan nongkrong di Top 10. Apakah pemilik suara raspy yang enak banget didenger ini bahagia? Tentu saja! Siapa sih yang enggak. Tapi bukan berarti semuanya lantas terasa baik-baik saja baginya.

Hit single Growing Pains dari album terbaru penyanyi asal Italia ini dapat kita artikan sebagai curhatan Alessia mengenai kondisi mentalnya sekarang. Jika kesuksesan adalah kemeja, bagi Alessia – kita bisa lihat dari sampul albumnya – yang ia kenakan adalah kemeja yang kedodoran. Dirinya terbungkus di dalam sana. Berusaha menge-pas-kan diri. Kecil. Mungkin tak nyaman.

Aku gak tahu, aku merasa belum cukup sukses untuk bisa beneran masuk ke dalam sepatu Alessia. Namun begitu, aku pikir lagu ini relatable, mencapai, banyak orang. Karena kita semua mengalami perjalanan dari kanak-kanak hingga menjadi orang sukses. Hanya, percepatan perjalanannya saja yang berbeda.

 

 

[Intro]
You’re on your own, kid
You are 

Exactly.

 

 

[Verse 1]
Make my way through the motions, I try to ignore it
But home’s looking farther the closer I get
Don’t know why I can’t see the end
Is it over yet? Hmm 

Kita menempuh banyak hal dalam perjalanan kita meraih mimpi. Di mana terkadang kita merasa ada yang kurang; kita merasa kehilangan sesuatu. Namun semua itu kita acuhkan, karena fokusnya kita ke tujuan yang ingin dicapai. Tapinya lagi, semakin dekat kita dengan yang dituju, kita semakin merasa jauh dari hal-hal yang akrab dan nyaman bagi kita.

Alessia mengibaratkannya dengan sebuah rumah – di mana saat kita pergi kerja, kita akan meninggalkan rumah. Dalam sudut pandang Alessia, antara padatnya jadwal manggung dengan produktivitasnya menulis lagu, bahkan rumah sudah menjadi asing baginya. Orang yang bekerja juga sering merasa begini; saking sibuk di kantor jadi kurang akrab dengan anak-anak sendiri. Ada yang harus ditinggalkan demi mencapai tujuan. Hal inilah yang membuat rindu. Dan capek. Sehingga Alessia bertanya ‘kapan sampainya?’

A short leash and a short fuse don’t match
They tell me it ain’t that bad, now don’t you overreact
So I just hold my breath, don’t know why
I can’t see the sun when young should be fun 

Menurutku ini adalah bagian lagu yang sangat personal bagi Alessia Cara; Alasan dia menulis lagu ini. Alessia merasa dia tidak bisa benar-benar menikmati masa mudanya. Dia harus membagi antara pekerjaan dengan pribadinya. Yang tadinya ia menulis lagu untuk bersenang-senang, ia nyanyi dan ngerekam di youtube supaya dikenal orang, dan sekarang semua itu berubah menjadi tanggung jawab.

Ketika kita sudah berhasil mencapai apa yang kita impikan, saat orang-orang sudah melihat kita sebagai ‘sesuatu’, akan semakin sulit untuk mengekspresikan sesuatu yang kita rasakan hilang dari dalam diri, katakanlah mungkin kejenuhan atau apa, karena kita tidak ingin dicap sebagai orang yang tak tahu cara bersyukur. Aneh rasanya merasa hampa setelah meraih kesuksesan yang diimpikan, maka semua itu pada akhirnya hanya ditahan. Atau dalam kasus Alessia Cara; dijadikan sebuah lagu.

 

 

[Pre-Chorus]
And I guess the bad can get better
Gotta be wrong before it’s right
Every happy phrase engraved in my mind
And I’ve always been a go-getter
There’s truth in every word I write
But still, the growing pains, growing pains
They’re keeping me up at night

Apa yang membuat kita terus bertahan adalah keyakinan sesimpel semua akan indah pada waktuya. Kita tahu kita tidak bisa berhenti gitu aja, terutama jika kita memang suka dengan apa yang kita kerjakan. Kita mencoba meyakinkan diri bahwa perasaan sedih itu ya cuma ‘perasaan’. Meski rasa hampa itu terus membesar. Semakin menjadi-jadi saat malam tiba, ketika semua kesibukan berakhir dan kita terbaring di tempat tidur. Inilah yang dimaksud Alessia dengan liriknya yang tadi soal gimana rumah menjadi terasa jauh baginya – kenyamanan itu ketutup oleh perasaan sedih nan hampa yang semakin membesar.

 

 

[Chorus]
Hey, hey, hey, yeah, hey, yeah
Hey, hey, hey, yeah, hey, yeah
Hey, hey, hey, yeah, hey, yeah
Hey, hey, hey, yeah, hey, yeah
And I can’t hide ’cause growing pains are keeping me up at night

Di sini aku membayangkan betapa susahnya bagi seseorang yang merasakan semua itu dalam mencari tempat berlindung. Berusaha senang dengan “hey hey yeah”. Aku kebayang Alessia yang tak menemukan teman curhat yang bisa mengerti apa yang ia rasakan. Sekali lagi, hal kayak gini gak bisa diumbar begitu saja karena kita enggak mau terlihat sebagai tukang ngeluh – karir bagus kok malah sedih?

 

 

[Verse 2]
Try to mend what’s left of my content incomprehension
As I take on the stress of the mess that I’ve made
Don’t know if I even care for “grown” if it’s just alone, yeah

Dengan semua stress itu, menjadi anak-anak akan tampak sangat menyenangkan. Gimana saat masih kecil kita tak banyak tahu, dan ini yang paling penting; orang-orang lain banyak yang mengerti kita. Karena hidup saat bocah itu simpel. Kita ingin kembali melihat – dan dilihat – dunia seperti demikian. Karena, bertumbuh dewasa berarti kita semakin sendirian. Tak banyak mengerti kita. Mungkin kalian juga merasakan, lingkaran pertemanan itu semakin menyempit seiring bertambah usia, seiring bertambahnya pemahaman kita terhadap dunia. Kita mulai sibuk sendiri-sendiri. Alessia dalam lagunya ini mengatakan kalo tahu dewasa berarti sendirian seperti begini, kayaknya ia gak mau deh cepat-cepat tumbuh. 

 

 

[Bridge]
Starting to look like Ms. Know-it-all
Can’t take her own advice
Can’t find pieces of my peace of mind
I cry more than I want to admit
But I can’t lie to myself, to anyone
‘Cause phoning it in isn’t any fun

Aku suka gimana di bagian ini Alessia semacam bikin koneksi ke albumnya yang pertama, Know-it-All. Istilah yang literally cocok digunakan untuk orang dewasa, karena orang gede suka ‘sok tau’ dengan segala pengetahuan yang mereka punya. Ketika kita sukses,  kita akan senang membagi ‘rahasia kesuksesan’. I mean, bahkan belum sukses apa-apapun kita suka bikin kultwit, kita senang berbagi ide dan saran. Padahal yang sebenarnya tak jarang orang yang paling membutuhkan saran dan ide tersebut adalah diri kita sendiri di malam hari, di saat kita merasakan hampa dan sepi. Tapi Alessia bahkan tidak bisa mempercayai sarannya sendiri, sekali lagi, karena dia, sebenarnya ingin kembali ke dirinya yang dulu. Tapi toh, Alessia, juga kita pribadi, tidak bisa membohongi diri sendiri.

Can’t run back to my youth the way I want to
The days my brother was quicker to fool
AM radio, not much to do
Used monsters as an excuse to lie awake
Now the monsters are the ones that I have to face

Bahwa sekali maju, kita tidak bisa mundur. Alessia tidak bisa balik lagi menjadi dirinya saat masih mendengarkan radio bersama adiknya. Ke saat di mana kita mengarang cerita tentang monster biar enggak disuruh tidur. Sekarang, monster selalu hadir saat kita mau tidur. Monster bernama kesadaran dan pemahaman diri. Monster itu adalah diri kita sendiri yang kini sudah dewasa dan sedih menyadari apa yang sudah kita lewatkan – yang tidak bisa kita ambil kembali – dalam mencapai titik kehidupan kita yang sekarang.

 

 

[Outro]
No band-aids for the growing pains

Ini adalah realisasi bahwa perasaan hampa yang kita rasakan saat sudah dewasa, saat sudah jadi orang sukses; perasaan tersebut tak ada obatnya. 

 

 

 

Jika dilihat dari judulnya saja, Growing Pains sudah memiliki dua makna; Pains yang senantiasa terus membesar, atau betapa tumbuh besar itu menyakitkan. Setiap hari kita berjuang mendapatkan apa yang kita impikan. Setiap orang memilih karir yang disenangi oleh hati. Lagu ini membahas tentang rasa rindu terhadap hal-hal yang kita lewatkan dalam rangka mengejar cita-cita, perasaan yang menjelma menjadi suatu kehampaan yang menerjang di kala kita sendirian. Bukan berarti kita tidak bersyukur. Bukan berarti kita tidak bahagia. Adalah hal natural merasakan itu semua, terlebih jika seperti Alessia; kita sudah bekerja sejak remaja.

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa tidak tahu dan tidak suka ama siapa diri kalian saat sedang menatap langit-langit kamar sebelum tidur? Menurut kalian apa sih yang sebenarnya dirasakan oleh Alessia Cara? Bagaimana pendapat kalian tentang lagu ini?

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

SURAT CINTA UNTUK STARLA: Jawaban Surat Cinta itu Datang Juga – [Movie Preview]

10 Sunday Dec 2017

Posted by arya in Movies

≈ 3 Comments

Tags

2017, adaptation, drama, event, filmmaking, friendship, life, love, preview, promo, song, teenager, webseries

CFD (Car Free Day) di jalan Ir. H Juanda, Dago, Bandung kedatangan tiga makhluk kece.

Tengoklah kocaknya Romeo yang sibuk nyari makanan. Sementara tak jauh, ada Bimo yang cool banget diam-diam mengatur strategi dari balik kacamata hitamnya yang berbingkai bulat. Strategi apa? Enggak tahu juga, Bimo kelewat misterius, sih. Dan tak ketinggalan, Starla, yang dengan riang pecicilan ke sana ke mari.

Tunggu. Bimo? Starla?? Kok namanya familiar???

Yea, Minggu pagi 10 Desember itu para pengunjung Car Free Day di Dago dikunjungi oleh beberapa pemain film Surat Cinta untuk Starla. Ada Ricky Cuaca, Kevin Royano, dan Caitlin Halderman.

On Sunday, we wear black

 

Panggung mereka yang terparkir di pelataran depan Blossom Family Outlet pun dalam sekejap dipadati fans. Yang lagi olahraga naik sepeda, langsung spontan mengerem, cekiiittt – untung gak nabrak tiang. Yang lagi gerak jalan, lehernya pada muter ngelirik. Badan mereka maju berjalan, namun lehernya tetap di tempat. Hehehe enggak ding, emangnya film horor. Yang lagi ngumpul bareng teman-teman satu geng, serentak mencabut hape dari kantong dan mengarahkannya ke panggung, pada gak jadi selfie.

Maklum, kehadiran film Surat Cinta untuk Starla memang sudah ditunggu-tunggu oleh para fans. Adalah video lirik dari Virgoun (bukan nama zodiak loh ya) yang begitu fenomenal yang bertanggungjawab atas semua kehebohan ini. Lagu single itu sudah ditonton lebih dari 160 juta kali. Maka dibuatlah mini serinya yang bahkan lebih pecah lagi. Tujuh chapter webseri Surat Cinta untuk Starla semakin membuat penonton dan para fans haus. Mereka ingin melihat lebih. Mereka pengen kenal lebih dekat sama Hema dan Starla. Mereka, para fans itu, pantas untuk dapat kejelasan soal hubungan dan nasib kedua tokoh utama tersebut.

 

meski sempat kecewa Jefri Nichol berhalangan hadir, antusiasme penggemar enggak berkurang sedikitpun

 

“Film ini akan menjawab rasa penasaran penonton yang telah menyaksikan web serinya” jelas Ricky Cuaca yang biasa dipanggil Ricu. Ya, film Surat Cinta untuk Starla adalah surat jawaban yang dibuat sebagai balasan dari surat-surat cinta dari para fans. Ricu, Kevin, dan Caitlin lanjut menerangkan bahwa film ini adalah adaptasi yang not really an adaptation, lebih tepatnya adalah adaptasi lanjutan karena akan ada banyak penambahan dan beberapa perubahan.

Inti ceritanya sih sama. Tentang Hema, seorang cowok ‘pecinta alam’. Namun alih-alih manjat-manjat gunung, Hema menunjukkan obsesi kecintaannya pada alam dengan membuat surat cinta. Surat bukan sembarang surat, dengan mesin ketik yang ia bawa kemana-mana, Hema membuat desain untuk cetakan mural sebagai perwujudan surat cintanya kepada semesta. Kehadiran Starla suatu ketika di hidupnya, membuat Hema kepikiran sesuatu hal yang bahkan lebih indah daripada surat-suratnya yang biasa. Dan drama cinta remaja ini bukan hadir tanpa twist, perubahan sikap Starla yang begitu mendadak bakal menjadi konflik utama yang tak pelak bikin penasaran.

seni corat coret dinding akan berperan besar dalam cerita film ini

 

Penambahan yang dilakukan oleh sutradara Rudy Aryanto dan penulis skenario Tisa TS tentu saja bukan tanpa alasan. Para penggemar pun tidak perlu khawatir film ini akan jadi berbeda dengan apa yang membuat mereka jatuh cinta in the first place. Justru hal itulah  yang menjadi kelebihan film. Ricu yang udah tiga kali ikut main di film keluaran Screenplay Films melanjutkan, “Menampilkan sesuatu yang baru, tapi pada hal yang sudah terkenal. Jelas ini memberi kemudahan untuk memulai promosi.”

Lain lagi dengan Caitlin yang menganggap ini sebagai tantangan. Meneruskan kembali perannya di web seri, aktris yang selayang mirip Ariana Grande ini mengatakan film adalah jawabannya soal bagaimana memenuhi ekspektasi dari penggemar serial Youtube Surat Cinta untuk Starla, “Jangan sampai kualitas cerita versi film malah menurun dari versi mini seri.” Karakter Starla yang ia perankan memang mendapat sedikit perubahan dari versi web seri. Starla di film ini dibuat jadi lebih manja, sekaligus juga lebih setrong dan dewasa. Perihal mengenai apakah film ini juga bisa dinikmati oleh penonton yang sama sekali belum pernah mendengar lagu ataupun belum pernah menonton web serinya, Caitlin memberikan jawaban dengan senyum paling menenangkan yang bisa ia layangkan “Di film akan ada beberapa adegan flashback, jadi semua akan bisa tetap mengerti jalan ceritanya.”

Dan mengenai Bimo sebagai salah seorang peran baru yang belum benar-benar dieksplorasi di web seri, Kevin Royano dengan semangat menjelaskan, “Saya suka nonton miniserinya. Makanya saya senang ketika ditawari ikut main. Sosok Bimo yang saya perankan ini akan menjadi orang di balik konflik Starla dan Hema.” Kevin membuka kacamata gayanya, untuk kemudian melanjutkan, “Film ini, ceritanya lebih dalam dengan twist yang banyak”. Wuih jadi semakin penasaran!!

 

Kita sudah begitu sering mendapat drama remaja dengan karakter yang begitu-begitu saja. Surat Cinta untuk Starla menawarkan banyak pada lead characters yang diberikan sesuatu yang unik untuk dilakukan. Ditambah dengan potensi twist ditambah wahana baper, kita punya cukup alasan untuk menunggu film kolaborasi Screenplay Films dan Legacy Pictures ini sampai di bioskop seluruh Indonesia tanggal 28 Desember 2017. Sebentar lagi kok hehehe

 

ketiga pemain keasyikan diminta My Dirt Sheet ngebayangin apa yang karakter mereka lakukan kalo lagi jalan-jalan di car free day

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

NAURA DAN GENK JUARA Review

23 Thursday Nov 2017

Posted by arya in Movies

≈ Leave a comment

Tags

2017, adventure, drama, family, friendship, kids, life, musikal, review, song, spoiler, thought

“There are more important things in life than winning or losing.”

 

 

Bikin film anak-anak itu enggak gampang. Terutama, karena orang dewasa pembuat filmnya sudah lupa gimana caranya menjadi anak-anak. Nanti dulu bicara soal karena susah mengatur dan mengarahkan mereka, kita yang udah gede ini udah lumayan susye untuk tidak menyepelekan anak kecil. Kita bersikap terlalu manis kepada mereka, dengan alasan menjaga hati. Kita bicara dengan mengecilkan mereka, we’re sugarcoated everything for them, karena kita menganggap mereka tidak mengerti. Padahal kalo diingat-ingat lagi, sewaktu kecil kita justru paling keki kalo dianggap ‘anak ingusan’ sama orangtua.

Tidak ada penghargaan yang lebih besar buat anak kecil ketika mereka diperlakukan setara dengan orang dewasa, ketika mereka dipercaya untuk bertindak dan menyelesaikan masalah sendiri. Film Naura dan Genk Juara berusaha untuk memahami itu.

Para tokoh cilik film ini diberikan kesempatan untuk ‘menang’ di atas orang dewasa yang meremehkan mereka, bekerja sama memecahkan masalah sebelum orangtua menyadari, dan mereka melakukan semua itu dengan bersenang hati. Mereka nari dan bernyanyi!

 

Film ini ringan dan benar-benar menekankan kepada pentingnya persahabatan. Ceritanya dapat menginspirasi anak-anak. Naura berhasil menjadi ketua rombongan sekolah mereka di acara Kemah Kreatif. Ya, di film ini kita akan melihat anak-anak menggunakan teknologi untuk kegiatan yang kreatif dan positif. Karena pengalaman dan sifat memimpinnya, Naura kepilih walaupun proyek GPS pelacak binatang yang ia rancang masih kalah poin dari drone si Bimo . Peristiwa tersebut sempat menimbulkan tensi di antara mereka, membuat sekolah mereka agak tertinggal dari sekolah lain di perkemahan. Sebuah peristiwa penculikan hewan-hewan di penangkaran perkemahanlah yang membuat Naura dan Bimo dan Kipli dan teman-teman lain  bersatu. Mereka mengusut misteri sindikat penculikan, yang juga menyulik salah satu teman sekelas Naura, dan eventually anak-anak ini harus menggagalkan aksi pencuri sendirian, sebab para ranger pengawas sudah dikecoh oleh para penjahat.

“Jaket? Kaos kaki? Baju? Obat?” well Papa sih gak nanyain celana panjang, ketinggalan deh punya Naura

 

Sedikit lebih berwarna, akan sulit bagi kita untuk tidak membanding-bandingkan film ini dengan Petualangan Sherina yang tayang tahun 2000 waktu aku masih unyu-unyu. Keduanya sama-sama musikal. Keduanya berlokasi di hutan. Keduanya punya tokoh utama anak cewek. Sherina dalam film itu adalah seorang murid baru yang dikerjain oleh anak laki-laki badung, Sherina ini mandiri, kita ngeliat dia sengaja nempelin bandage luka di badannya biar kayak jagoan. Petualangan Sherina arahan Riri Riza terasa meyakinkan dan menarik karena hal-hal kecil seperti itu; Sesuatu yang tidak dimiliki oleh film Naura dan Genk Juara. Naura, sebagai tokoh utama, ditulis sebagai karakter yang…. actually, aku agak bengong kalo ditanya Naura ini anaknya bagaimana. Dia ingin sekolahnya juara. Dia bisa bernyanyi dengan baik, dia bisa ngedance dengan keren. Dia anak baik, and that’s it. Kita tidak tahu apa kebiasaannya, tidak ada yang memberi petunjuk tentang siapa tokoh ini lebih dalem lagi. Dia jarang membuat pilihan, dia tidak diberikan konflik internal. Semua yang ia capai diberikan begitu saja kepadanya. Naura bahkan enggak ‘berjuang’ demi alatnya sendiri, yang berantem membelanya malah temen yang lain. Di babak terakhir pun, Naura tidak secara langsung ikut ‘berperang’ bareng anak-anak yang lain. Plot karakter Bimo justru yang lebih menarik, malah menurutku kita bisa bikin cerita anak yang sedikit lebih kelam jika mengeksplorasi Bimo sebagai tokoh utama.

Petualangan Sherina membuat tokoh Sherina berbeda dari tokoh lain dengan memberinya karakter, hobi, motivasi yang kuat. Sedangkan film Naura dan genk Juara membuat Naura stands out dari anak-anak yang lain dengan memberinya hotpants. Pilihan pakaian tersebut merupakan bukti kelemahan penulisan film ini.

Tidak ada gunanya juara, jika kita tidak bisa melakukan sesuatu yang berguna lantaran kita sibuk memikirkan diri sendiri. Apa gunanya kita menang sendiri, sementara kemenangan tersebut tidak dishare bersama teman-teman. Atau lebih parah, tidak punya teman untuk dishare. Persahabatan adalah piala yang lebih berharga daripada piagam manapun di dunia.

 

Nilai lebih yang diberikan oleh sutradara Eugene Panji pada film ini adalah dia tidak ragu menghadirkan tokoh penjahat yang lebih menacing. Penjahat di sini enggak dibikin bego-bego amat. Mereka masih terlihat sebagai ancaman, dan kita melihat anak-anak itu benar-benar dibentak. Menurutku, ini adalah pilihan yang bagus karena biasanya tokoh penjahat di film anak, sepenuhnya dijadikan bagian komedi, sehingga stake dan bahaya itu enggak benar-benar terasa. Sekali lagi, karena kita biasanya memandang rendah kemampuan anak-anak, dalam hal ini mentalnya. Makanya banyak film anak yang punya masalah di tone cerita. However, film ini dengan elemen penjahat pun, tone-nya tetap berhasil tampil seimbang.

Lirik dan irama lagu-lagu dalam film ini catchy, gampang banget deh buat disukai. Tetapi, beberapa adegan musikal terasa terpisah dari narasi. Ada tokoh yang keluar-dari-karakter ketika bernyanyi. Tidak ada kesinambungan feel antara adegan nyanyi dengan adegan sesudahnya. Malah terkadang mereka bernyanyi gitu aja tanpa ada alasan, karena film enggak mampu merangkai adegan tersebut dengan baik ke dalam cerita. Sampai-sampai kita ngerasa ‘ini si Naura kerjaannya nyanyi doang sementara teman-teman di sekitarnya sibuk ngerakit alat-alat untuk proyek science.’ Kamera jadi tampak kebingungan antara ngesyut adegan anak-anak merakit atau Naura ngedance. Dan jadinya memang terlihat frantic banget. Apalagi di adegan opening di sekolah, editing film cepet banget berpindah dari anak-anak bikin percobaan ke adegan menari. Padahal menurutku, perlu juga dong memperlihatkan proses actual pembuatan percobaan-percobaan itu supaya anak-anak bisa tertarik untuk mencobanya di rumah, jadi bukan hanya nyobain narinya.

Satu lagi yang aku kurang sreg dari musikalnya adalah pemilihan lokasi. Serius deh, mereka syuting di hutan wisata, tapi nyanyi-nyanyi disyut di tempat yang itu –itu melulu. Ini bukan salah di kreativitas sih, menurutku, film hanya ingin tampil efisien – supaya syutingnya gampang or whatever. Yang jelas, film jadi sedikit membosankan.   Dan melihat banyaknya adegan iklan sisipan, sepertinya film ini punya sokongan dana yang enggak sedikit. Adegan pembukanya malah memperkenalkan kita dengan para tokoh lewat animasi tiga-dimensi yang halus. Actually, di menjelang babak ketiga kita bakal ngeliat satu lagi adegan animasi, kali ini kayak kartun klasik Jepang, yang aku gak paham entah apa maksudnya film memasukkan dua animasi dengan style yang berbeda.

ajarin kakak bikin hantu-hantuan dari asap dooongg

 

Aku sebenarnya gak suka membicarakan hal-hal lain di luar film, kayak gosip pemain, kehidupan pribadi si pembuat film, ataupun kontroversi seputar film. Karena ketika ngulas film, mestinya kita membicarakan tentang film itu thok! Apa yang bekerja pada unsur-unsurnya, apa yang tidak, mana yang kusuka, mana yang enggak sreg. Tapi mengenai film Naura ini banyak banget yang menanyakan, kita semua pasti sudah mendengar ada beberapa penonton yang enggak suka dengan penggambaran salah satu tokoh pada film ini, penggambaran yang dianggap melecehkan. Well, aku, bahkan pembuat filmnya pun sebenarnya enggak bisa berbuat apa-apa selain mungkin mereka menjelaskan dan menenangkan yang tersinggung. Ketika membuatnya, adalah langkah yang keren untuk membuat film terasa nyata oleh tokoh-tokohnya, tapi reaksi penonton tidak bisa dikendalikan sebab film adalah pengalaman personal.

Dan secara pribadi, dengan menonton langsung, aku tidak melihat hal-hal yang menyinggung dalam film ini. Malahan, di luar perkiraanku, film ini berhasil ngehindarin berbagai jebakan stereotipe, meski memang karakter-karakter yang ada berdimensi satu, di luar fungsinya sebagai pemantik komedi. Untuk kalimat istighfar dan takbir yang dipermasalahkan, aku menangkapnya bukan sebagai lelucon komentar budaya. Akan tetapi hanya sebatas seperti si tokoh kaget hingga latah, dan dalam latahnya itu ia mengucapkan Astaghfirullah. But still, mestinya kita-kita bisa mengambil tindakan positif. Gak musti langsung melarang orang menonton. Buat yang bikin pun, sepatah kata maaf juga sepertinya cukup untuk menenangkan. Karena seperti yang disampaikan cerita Naura – aku harus keluar dari karakter blog sebentar – tidak ada yang menang atau kalah kan di sini.

 

 

Buat yang susah nyari tontonan yang aman buat anak atau adiknya, film ini sangat bisa jadi pilihan tontonan keluarga. Anak-anak akan suka, sukur-sukur jadi kepancing untuk jadi ilmuwan nyiptain sesuatu yang berguna. Mereka bakal ingin seperti Naura yang jago nyanyi, tapi sebagian besar mungkin akan pengen terkenal seperti tokoh Naura yang diperankan oleh Adyla Rafa Naura Ayu. Karena tokoh film yang mereka ikuti di sini tidak benar-benar memberikan impresi dari sikapnya/ Dari wataknya. Penonton butuh tokoh yang bisa mereka cintai, bukan yang mereka sukai. Cinta itu datang dari tokoh yang terasa dekat, yang bercela seperti mereka. Film hanya tampil standar despite dirinya sangat dibutuhkan dalam scene perfilman tanah air yang kering hiburan untuk anak-anak.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for NAURA DAN GENK JUARA.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]

18 Saturday Mar 2017

Posted by arya in Music

≈ Leave a comment

Tags

#lyricbreakdown, 2015, 2017, life, metaphor, musik, philosophy, pop, quotes, song, teenager, thought

 

Jadi, sejak Moana (2016) aku jadi ngefans berat sama Alessia Cara. Aku suka suaranya. Aku actually lebih enjoy dengerin How Far I’ll Go versi Alessia, I think it’s more powerful. Pas bagian “What is wrong with me?” flownya terasa lebih enak. Kemudian aku mulai denger musik-musik punya Alessia Cara sendiri. I’ve listen to her Know-It-All album. Beberapa track dari album tersebut berakhir jadi suara-suara yang diputer berulang-ulang di kamarku. Kenceng-kenceng pula. Sampai Bibi Kosan yang suka nyanyi “naik-naik tagihan listrik, tinggi-tinggi sekalii” jadi sebel karena ngerasa kalah saing. Aku malah jadi nyusun skrip film pendek yang bisa dikatakan adaptasi bebas dari salah satu lagu Alessia. I can’t tell you which one as of right now, because I don’t want to jinx it haha. Tapi doakan saja lancar dan beneran jadi.

Ngeliat dari yang ditulisnya, Alessia Cara seems like an actual cool personality. Dia punya attitude. Apa yang bener-bener impressed me adalah gimana dalam lagu-lagunya, Alessia memasukkan perspektif ‘orang luar’ yang berusaha melihat ke dalam dunia ‘ini’, di mana si penyanyi merasa berlawanan dengan dunia tersebut. Liriknya terasa jujur dan akrab. Alessia menggambarkan gimana rasanya berada di dalam pesta yang sebenarnya dia enggak pengen dateng. Alessia bercerita tentang gimana anak-anak muda ingin masuk ke dunia dewasa so much and just find themselves not yet ready for it. Alessia menyerukan tentang kepercayaan diri, tentang self-acceptance, dan itu adalah topik yang sangat relatable. Terutama buat remaja, yang jadi pendengar utama musiknya. Dan buatku juga, I’ve been kind of a misfit nyaris seumur idup haha, and yea I wish aku punya lagu-lagu ini untuk didengar sewaktu aku masih sekolah.

 

Wild Things, menurutku adalah salah satu lagu Alessia Cara yang paling penting. Mestinya sih kalian pasti sudah pernah denger juga, it has been going around since 2015. Alessia sendiri, pada suatu sesi wawancara bilang kalo lagu ini adalah anthem yang diharapkan bisa gerakin orang banyak. Liriknya sendiri punya tone yang sangat ‘menghentak’. Dan kupikir, fakta aku yang enggak demen denger musik bisa tergugah buat ngebreak down liriknya, adalah sebuah prestasi!

 

Find table spaces
Say your social graces
Bow your head, they’re pious here

Ini adalah dunia menurut Alessia. Bayangkan meja di kantin sekolah yang berjubel murid kita bingung mau duduk di mana; Tiap meja punya aturan, ada aturan-aturan sosial yang kudu dipatuhi saat menjadi bagian dari crowd di meja tersebut. Atau bahkan dipatuhi just to be a part of the said table.

 

But you and I, we’re pioneers
We make our own rules
Our own room, no bias here
Let ’em sell what they are sellin’
There are no buyers here

But hey, kata Alessia, kita yang enggak dapet tempat justru bisa bikin tempat sendiri. Kita bisa duduk di mana saja kita suka, enggak harus di meja. Tidak ada prasangka atau aturan karena hidup adalah kebebasan. Kita harusnya sadar bahwa orang pasang citra atau berpendapat apapun sama merdekanya dengan memilih percaya atau enggak.

 

So gather all the rebels now
We’ll rebel rouse and sing aloud
We don’t care what they say no way, no way

Bagian ini memanggil kita, teman-teman ‘seperjuangan’, untuk just be happy menjadi diri sendiri. Untuk menyuarakan independesi kita tanpa mengkhawatirkan apakah kita terlihat keren atau pinter ataupun populer.

 

And we will leave the empty chairs
To those who say we can’t sit there
We’re fine all by ourselves

Supaya kita tidak pernah lagi mencari tempat di tengah-tengah sosial yang mengekang. Untuk enggak lagi berusaha keras fit in, karena satu-satunya penerimaan atau pengakuan yang penting adalah pengakuan terhadap diri sendiri.

 

So aye, we brought our drum and this is how we dance

Drum melambangkan beat, di mana setiap kita punya beat unik masing-masing. Kita punya gaya sendiri. Kita enggak perlu malu memperlihatkan siapa kita ke luar sana. Jadi ya kalo mau bikin sesuatu, mau nulis atau apa, ya bikin aja. Perkara ga ada yang baca atau ga ada yang suka mah gausah dipikirin.

 

No mistakin’, we make our breaks, if you don’t like our 808s
Then leave us alone, cause we don’t need your policies
We have no apologies for being…

808 bisa sebagai sebutan buat bunyi drum, juga bisa mengacu kepada kode polisi buat gangguan ketenangan. Either way, jika ada yang enggak suka dengan, katakanlah, gaya kita – jika ada yang merasa terganggu – maka mereka bisa bilang tapi jangan harap bisa mengubah gaya kita. Menjadi diri sendiri bukanlah kesalahan. Kita tidak perlu meminta maaf karenanya.

 

Find me where the wild things are
Oh my, we’ll be alright
Don’t mind us, yeah
Find me where the wild things are

Oke bagian chorus ini catchy banget. Beat drumnya ngentak, sorak “aye aye aye” di backgroundnya bikin kita ikutan nyanyi. Aku suka pas di “don’t mind us yeah”. But actually ‘find me where the wild things are’ adalah ungkapan yang melambangkan our-true self adalah passion terliar kita, pikiran terdalam kita. Kita perlu untuk menemukan hal tersebut sebelum akhirnya kita bisa bangga menjadi diri sendiri.

 

 

I lose my balance on these eggshells
You tell me to tread, I’d rather be a wild one instead

Kulit telur itu lapisan yang tipis banget, kondisi yang digambarkan oleh lirik ini adalah kondisi yang di mana si Alessia merasa capek terus-terusan mikirin perkataan orang terhadap apa yang ia katakan atau perbuat. Jadi, daripada disuruh to watch what she says atau apa yang ia lakukan, dia lebih memilih untuk ngikutin kata hatinya saja.

 

Don’t wanna hang around the in crowd
The cool kids aren’t cool to me
They’re not cooler than we are

Ini adalah part yang menarik karena actually lagu ini membuat kita merasa menjadi enggak-keren sebagai hal yang paling keren sedunia. Karena kita enggak nunggu dibilang keren oleh orang lain dulu. Jika kita respek diri sendiri, accepting siapa diri kita, kita akan sadar kita enggak bergantung kepada orang lain untuk bisa bahagia.

 

We will carve our place into time and space
We will find our way, or we’ll make a way, say hey, hey, hey
Find you’re great, don’t you hide your face
And let it shine, shine, shine, shine

Jika enggak ada tempat, kita bikin tempat baru. Jika enggak ada jalan, kita terobos dan bikin jalan sendiri. Kita hidup oleh tindakan yang kita pilih; bukan karena orang lain, melainkan demi diri sendiri. Kita mewujudkan passion kita dengan mengambil action sendiri, tidak peduli kata orang lain. Tidak ada cool atau enggak keren. Dan ultimately, kita enggak perlu malu dengan who we really are. Kita enggak perlu takut dikatain beda. Ekspresikan diri sebebas-bebasnya

 

 

 
Kalo ada yang iseng nanya apa persamaan film Logan (2017) dengan film Interchange (2017), maka aku akan menjawabnya: lagu Wild Things. Saat ngereview dua film tersebut, aku enggak-bisa enggak bikin koneksi antara apa yang dihadapi oleh tokoh utama dengan yang dinyanyikan oleh Alessia Cara. Karena jauh di dalam, kedua film ini juga bicara tentang accepting diri sendiri. Both Logan dan Adam berusaha mencari liberty dan ultimately, mereka justru menemukannya di dalam tempat tergelap di dalam diri. Passion kita, kepercayaan kita, adalah hal yang hidup liar di dalam , namun kita tidak boleh takut. Kita harus menerimanya, jangan disembunyikan; supir limo yang damai bukan jawaban bagi Logan, berhenti jadi fotografer enggak bikin Adam tenang. Kita mesti menjadi satu dengan our innerself yang liar, tidak peduli apa penilaian orang, karena dari situlah kedamaian dan kebebasan berasal.

 

 

 

That’s all we have for now.
If you like it, kalian bisa ngerekues di komen lagu apa yang kalian ingin liriknya kami breakdown selanjutnya.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Pesona Musik Iceland (Islandia)

11 Saturday Mar 2017

Posted by todysur in Music

≈ Leave a comment

Tags

2017, art, artikel, entertainment, funny, Iceland, Islandia, lagu, life, pop-culture, song, thought

 

Pernah dengar penyanyi atau grup band asal Islandia?
Mungkin sebagian pembaca masih asing dan sebagian mungkin sudah familiar.
Ada banyak sekali artis penyanyi maupun grup band yang berasal dari Iceland.

Dari barisan penyanyi sebut saja ada Björk, lalu di musik instrumen piano ada Ólafur Arnalds, di bagian post rock ada  Sigur Rós -yang pada tahun 2013 lalu pernah datang ke Jakarta, lalu tak ketinggalan ada Of Monster and Men.

Musik di Islandia banyak yang beraliran volk, pop tradisional, dan kontemporer.
M
usik tradisional Islandia berkaitan dengan bentuk-bentuk musik Nordic. Meskipun Islandia memiliki populasi yang sangat kecil, itu adalah rumah bagi banyak band terkenal dan dipuji banyak musisi.

Akan sangat panjang postingan ini jika saya menulis semua semua penyanyi dan grup band-nya,nanti malah ga dibaca,hehe
Jadi akan saya pilihkan yang populer saja.

 

1. Björk

Terlahir dengan nama Björk Guðmundsdóttir pada 21 November 1965.
Ia adalah penyanyi, penulis lagu, produser, DJ, dan aktris. Berkarier selama empat dekade (40 tahun), dia telah mengembangkan gaya musik eklektik yang menarik dan cukup berpengaruh. Genre musik Björk mencakup elektronik, pop, eksperimental, klasik, perjalanan hop, IDM, dan gaya avant-garde. Wajar jika dibeberapa lagu atau albumnya kita dengar dan menimbulkan kesan “semau gue”, nanyi semau gue, musik semau gue, dan karena itu memang ciri khas dari Björk. Rada pusing juga kalo baru pertama kali mendengar musik dan lagunya.

Dia awalnya dikenal sebagai vokalis dari band rock alternatif The Sugarcubes, yang pada tahun 1987 single “Birthday” menjadi hits di AS dan stasiun indie Inggris, serta menjadi favorit di kalangan kritikus musik. Björk memulai karir solo pada tahun 1993, menonjol sebagai artis solo dengan album seperti Debut (1993), Post (1995), dan Homogenic (1997).

Salah satu lagu terbaiknya-menurut saya- adalah Hyperballad, yang kemudian banyak dicover oleh banyak artis dan penyanyi termasuk salah satu grup band Indonesia, Mocca.

Ini adalah Hyperballad asli Björk.

Lalu ini Hyperballad versi Mocca.

yang manapun favorit kalian, semuanya enak-enak!

 

 

2. Ólafur Arnalds

Atau lebih dikenal dengan nama sebutan Óli, nama panggilannya, lahir 3 November 1986 adalah seorang musikus, komponis, multi-instrumentalis, dan produser rekaman.
Jenis musik yang dimainkannya saat ini adalah post-rock, neo-classical, indie, dan instrumental dengan label sinematik Erased Tapes.

Sebelumnya, Arnalds belum pernah mengkomposisi dan memainkan musik klasikal dan belum mempunyai pengalaman pada musik tersebut. Namun, ia tertarik pada musik klasik dan ia ingin mempelajari seluk-beluk tentang musik klasik tersebut. Maka, ia mulai mencoba eksperimen baru dengan mengkomposisi dan melantunkan musik klasikal yang juga diiringi lantunan biola dan selo oleh kuartet geseknya dan mulai meninggalkan musik metal maupun hardcore.
Dan sampai sekarang pun, ia masih aktif berkarier solo bersama kuartet geseknya yang kadang ikut mengiringinya bermain musik. Ia telah menenggelamkan diri sepenuhnya dalam dunia komposisi yang bersimfoni dan menghasilkan orkestra ringan. Arnalds mengeksplorasi crossover dari klasik ke pop dengan mencampurkan dawai dengan piano.

Lalu, sejak album debut Arnalds semasa karier solonya; yaitu Eulogy for Evolution dirilis pada 12 Oktober 2007, komponis muda ini terus mendapatkan banyak apresiasi. Diikuti juga oleh EP-nya, Variations of Static yang dirilis pada tahun 2008; yang juga memperoleh apresiasi, baik dari bidang kontemporer maupun klasikal dan berhasil  menyatukan idealisme kedua bidang tersebut.

Pada bulan April 2009, Arnalds mengkomposisi dan merilis lagu per hari, dan selesai dalam waktu tujuh hari. Ia langsung membuat setiap lagu tersebut tersedia melalui foundsongs.erasedtapes.com dan Twitter. Akhirnya, kumpulan rekaman lagu selama 7 hari tersebut dirilis sebagai album yang berjudul Found Songs. Trek pertama pada album tersebut dirilis pada 13 April 2009. Dengan kontribusi cover album dari para penggemar melalui Flickr, rilis secara modern tersebut membangkitkan kenangan dari tradisi yang tampak hilang dalam era digital seperti sekarang ini.

Ini salah satu lagu terbaik oli-menurut saya,

gimana? bikin ngantuk ya?  atau merasakan santai, relaksasi….

 

 

3. Sigur Rós

Sigur Ros adalah sebuah band yang beraliran post-rock dari Reykjavik, dan telah aktif sejak tahun 1994. Dikenal karena suara vokal falsetto frontman Jónsi ini, dan penggunaan bowed guitar (gitar yang digesek menggunakan bow/penggesek biola), musik Sigur Ros juga terlihat untuk menggabungkan dari elemen estetika klasik dan minimalis. Inspirasi nama band ini berasal dari nama adik Jónsi (vokalis), yaitu Sigurrós Elin.

Selama berkarier di dunia musik, sudah banyak album yang dikeluarkan dan menjadi hits internasional, berikut adalah discography albumnya:
1. 1997-1998 : Von and Von brigði
2.
1999–2001: Ágætis byrjun
3.
2001–2004: ( )
4.
2005–2006: Takk…
5.
2007: Heima and Hvarf/Heim
6.
2008: Með suð í eyrum við spilum endalaust
7. 2009 Hiatus (vakum)

8. 2011 : Inni (album Live)
9. 2012 : Valtari
10. 2013 : Kveikur

Sempat berganti personel, baik saat melakukan rekaman album maupun saat menjalani world tour nya. Dengan komposisi personel sekarang yang terdiri dari :
Jonsi pada vokal, Georg Holm pada bass, dan Orri pada drum serta perkusi.
Ada banyak lagu hits yang dihasilkan oleh Sigur Ros, antara lain : Hoppipola, Glosoli, Olsen-Olsen, Vaka, Festival, Kveikur, dan masih banyak lagi.
Saya berani jamin kalau kalian dengar lagu mereka, kalian pasti suka walaupun lagunya tidak berbahasa inggris dan banyak yang Vonlenska.

Apa itu Vonlenska? Vonlenska adalah bahasa non-literal yang membentuk lirik dimengerti dinyanyikan oleh band pada beberapa lagu.
Vonlenska tidak memiliki sintaks tetap dan berbeda dari bahasa yang dibangun yang dapat digunakan untuk komunikasi. Berfokus sepenuhnya pada bunyi bahasa; itu tidak memiliki tata bahasa, makna, dan bahkan kata-kata yang berbeda. Sebaliknya, terdiri dari emotif vocables non-leksikal dan fonem; berlaku, Vonlenska menggunakan unsur-unsur melodis dan ritmis bernyanyi tanpa isi konseptual bahasa. Pada album (), seluruh lagu di album ini dinyanyikan secara vonlenska atau tanpa lirik, (suka-suka vokalis menyanyikan seperti apa).

Contoh lagu yang vonlenska, Olsen-Olsen

Tahun 2013 yang lalu, Sigur Ros juga pernah mengunjungi Indonesia dalam rangka world tour nya. Dan saya termasuk yang beruntung bisa menyaksikannya langsung di Jakarta.
Luar biasa keren konser live mereka, full team membawa semua peralatan ‘bunyi aneh’ yang biasa kita temukan di lagu album mereka . Apalagi saat membawakan lagu hits Hoppipola.

Hoppipola Live Jakarta (2013)


Hoppipola Official Video

Sebenarnya masih banyak lagi lagu hits Sigur Ros yang saya yakin kalian pasti langsung suka, tapi kalau saya tampilkan semua, bisa habis kuota buat buffering videonya.
Jika kalian pernah menonton film 127 Hours, maka diakhir film itu ada lagu dari Sigur Ros yang dipakai sebagai penutupnya. Lagu itu judulnya FESTIVAL (yang terdapat di album Með suð í eyrum við spilum endalaust). Masterpiece lagu ini mulai di menit 4:35

 

 

4. Of Monster and Men

Of Monsters and Men terdiri dari lima anggota, band ini berasal dari Reykjavík dibentuk pada tahun 2010.
Para anggota vokalis / gitaris Nanna Bryndis Hilmarsdóttir, co-penyanyi-gitaris
Ragnar “Raggi” Þórhallsson, gitaris
Brynjar Leifsson , drummer Arnar Rosenkranz Hilmarsson
Kristján Páll Kristjánsson ebagai pemain bass.
Band ini memenangkan Músíktilraunir pada tahun 2010

Pada tahun 2011, Of Monsters and Men merilis sebuah EP berjudul Into the Woods. Album debut band ini pada 2011 adalah ‘My Head is an Animal, mencapai posisi No.1 di Australia, Islandia, Irlandia dan Rock AS dan Charts Alternatif, sementara memuncaki Nomor 6 di chart album US Billboard 200, No 3 di UK, dan Top 20 paling grafik Eropa dan Kanada. Singel “Little Talks” juga adalah salah satu sukses internasional, mencapai Top 10 di chart musik paling di Eropa, termasuk No 1 di Irlandia dan Islandia, dan No 1 di Lagu AS Alternatif.

Baru 2 album yang dikeluarkan oleh grup band ini. Dan ada beberapa lagu hits dari grup band ini antara lain adalah : Dirty Paws, Mountain Sounds, Hunger.
Jika kalian pernah menonton film ‘The Secret Life of Walter Mitty’ tahun 2013, maka akan kalian temukan lagu Dirty Paws ini menjadi OST film tersebut.


Of Monster and Men – Mountain Sound

dan ini satu lagi lagu hits mereka-versi saya:
Hunger

 

Ternyata musik Iceland sudah banyak yang menjadi international hits, menambah referensi musik ‘ajaib’ yang tidak itu-itu saja.

Dan yang saya senangi dari-hampir semua- musik Iceland adalah membawa imajinasi kita liar bebas bermain-main, membawa perasaan tenang dan sekaligus menyadari bahwa imajinasi kita tak terbatas. Mengamini perkataan Einstein ‘imagination is more important than knowledge’

 

 

—“Cogito Ergo Sum, Uncogito Ergo Sumsum.” (Aku berpikir maka aku ada, aku tidak berpikir maka aku mengada-ngada)

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

07 Tuesday Feb 2017

Posted by todysur in Music

≈ Leave a comment

Tags

#lyricbreakdown, 2017, classic, family, funny, kids, life, metaphor, science, song, thought


Row row row your boat
Gently down the stream ~
Merrily, merrily, merrily, merrily
Life is but the dream ~


 

Lagu anak-anak klasik ini terdengar simpel dan sangat mudah dinyanyikan, tetapi ternyata memiliki makna yang dalam (jika mau kita renungkan). Ayo kita coba (sedikit) renungkan bait per bait nya.

 

 

row-boat

 

Row row row your boat (dayung, dayung, dayung perahumu).

Diri kita dapat dianalogikan sebagai perahu, masuk akal jika kita menyadari bahwa 75% dari tubuh kita terdiri dari air. Maka diri kita adalah perahunya, jiwa kita yang menjadi nahkoda, kemana arah yang akan kita tuju. Menuju (melakukan) kebaikan ataukah menuju (melakukan) sebaliknya. You are a captain! Not a passenger. Take control of your life.

 

Gently down the stream (dengan lembut mengarungi arus).

Arus kehidupan memang deras, mampu menyeret kita hanyut kedalam arah yang tak tentu. Arus kehidupan perlu dijalani dengan ringan dan sabar tapi konsisten. Hidup yang penuh keterburu-buruan dan sikap mental yang perfeksionis bisa menyebabkan stress dan kelelahan mental yang berkepanjangan hingga akhirnya kehilangan kepekaan dan kemampuan untuk berpikir jernih dan jeli. Ikutilah arus kehidupan tanpa dihanyutkan olehnya. Janganlah bergerak ke atas melawan arus. Bisa dicoba bagaimana rasanya berenang melawan arus. Sudah bisa dipastikan tenaga yang harus dikeluarkan akan berlipat ganda dibanding dengan berenang yang mengikuti arus. Demikian juga dengan kehidupan.

 

Merrily, merrily, merrily, merrily (ceria, ceria, ceria, cerialah).

Kehidupan perlu dijalani dengan ringan dan ceria. Janganlah terlalu serius hingga menimbulkan stress dan depresi. Stress salah satu penyebab utama kematian. Bagaimana kita menyikapi atau menafsirkan apa yang terjadi pada diri kita. William Shakespeare pernah berkata bahwa tragedi adalah sebuah komedi yang tidak kita mengerti. Ini semua adalah tentang bagaimana menyikapi apa yang terjadi. Seorang peneliti dari Harvard, Shawn Acre pernah mengatakan bahwa 75% dari pekerjaan dan keberhasilan akademik dapat diprediksi dari tingkat optimistik.Optimis tidak hanya untuk kesehatan secara fisik, tetapi juga dapat memulihkan lebih cepat dari penyakit dan hidup lebih lama. So be Happy!

 

Life is but dream (kehidupan hanyalah sebuah mimpi).

Nikmatilah perjalanan hidup yang singkat ini. Apakah kita menganggap hidup ini penuh kepahitan atau penuh keindahan tetap kita harus menjalankannya. Bedanya bila kita menganggap hidup ini penuh dengan keindahan maka kita akan bergembira dan bersemangat dalam menjalaninya. Karena hidup ini terlalu sebentar, bagaikan mimpi, hingga akhirnya kita akan bertemu kembali dengan Sang Pencipta, Life after the death, in heaven.

 

 

 

Sudahlah jangan terlalu serius, lagu ini pernah diparodikan oleh Rowan Atkinson dan Peter MacNicol pada film Bean The Movie yang dirilis tahun 1997….

Row, row, row your boat,
Gently down the stream.
If you see a crocodile,
Don’t forget to scream.

 

 

 

 

 

—“Cogito Ergo Sum, Uncogito Ergo Sumsum.” (Aku berpikir maka aku ada, aku tidak berpikir maka aku mengada-ngada)

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

LA LA LAND Review

10 Tuesday Jan 2017

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2016, awards, drama, dreams, hollywood, life, love, mature, musical, relationship, review, song, spoiler, thought

“To (pursue) dream is to accept that you’re going to sacrifice more than you could have ever imagined.”

 

lalaland-poster

 

La La Land merupakan film yang paling berjaya di Penghargaan Golden Globe 2017 kemaren. Nyabet tujuh piala, loh! Dalam drama musikal modern ini, Ryan Gosling jadi Sebastian, seorang pemain piano yang punya passion begitu tinggi terhadap aliran musik jazz. Sementara itu, Emma Stone memainkan Mia yang bercita-cita menjadi seorang aktris. Mereka berdua bertemu dan mulai saling tertarik. Dan mereka kemudian menyanyi dan menari, menceritakan kisah perjalanan menggapai mimpi dengan begitu menawan.

Genre musikal bukanlah genre film yang paling aku sukai, in fact aku malah gak begitu larut dengerin musik secara umum. Namun hal ini bukannya jadi penghalang bagiku untuk menyukai La La Land. Because this is a well-made film. Aku sangat senang menonton film ini. Pertama, aku selalu cinta sama adegan-adegan audisi film dalam film, aku suka film yang menyorot backstage dunia sinema. Kedua, adalah dilihat dari kodratnya sebagai film musikal. The way film ini ngehandle adegan-adegan nyanyi. Begitu ada satu karakter yang mulai bernyanyi lantas menari, film ini membuatnya tampak sebagai progres alami. Kalian tahu, adegan tersebut tidak terasa dibuat-buat, kita instantly konek bahwa mereka bernyanyi dari hati, both literal dan metaphorically. MUSICAL NUMBERS DALAM FILM INI TIDAK PERNAH TERASA ANNOYING. Tidak pernah terasa pisah dari storytelling, tidak terasa seperti “yak, waktunya nyanyiii, semoga suka yaa”. Adegan openingnya saja – para pengguna jalan nyanyi bareng di jalanan yang macet – better dan lebih menyenangkan daripada opening Ini Kisah Tiga Dara (2016).

teletabis, teletabiiiiss!!

teletabis, teletabiiiiss!!

 

Dan oh, betapa cantiknya. Los Angeles, kota para bintang, sangat rupawan tergambar oleh film ini. It looks INCREDIBLE THE WAY IT IS SHOT. Arahan sutradara Damien Chazelle yang hingar bingar namun tetap membuat kita khusyuk menyaksikan adegan-adegan yang mengalun merdu. Editing yang cepat, take-take panjang yang indah, dan sekuens tarian yang elok, semuanya membuka lembar demi lembar cerita dengan mulus sekali. Film ini precise sekali, aku menjadi beneran sedih ketika tulisan ‘Fall’ (re: musim gugur) nongol tepat setelah Sebastian main di grup band electronic-garis-miring-modern Jazz.. Anyway, kalo kalian nanya adegan nyanyi favoritku, maka tentu tentu saja jawabannya adalah ketika Sebastian dan Mia menyanyi dan menari di bukit dengan latar senja LA yang jelita.

Dari scene ke scene, La La Land tampak amat sangat entertaining. Bahkan proses membuatnya pun seperti sungguh menyenangkan. How they played it. I mean, performances dalam film ini sungguh gemilang. Enggak salah kalo film ini diganjar, bukan hanya Best Director, namun juga Best dari penampilan kedua leadnya. Ryan Gosling is always so awesome, ditambah oleh sangat mesmerizing gimana dia memainkan piano itu. Dan Emma Stone memberikan performance terbaik dalam karirnya, sejauh ini. Menakjubkan pencapaian kedua aktor ini. Mereka membuktikan bagus di komedi, bagus di drama, dan bahkan bagus juga di musikal. Masih ingat adegan kocak Stone di Easy A (2010) ini?


When you look at that, kemudian nonton Emma Stone di film La La Land ini, you couldn’t help not to say: “Incredible.”

 

Namun demikian, apa yang paling aku suka, melebihi kualitas teknikal dan penampilannya yang luar biasa, adalah film ini mendorong penontonnya untuk mencapai impian mereka masing-masing; La La Land terasa sangat genuine dalam menyampaikan pesan tersebut, as if film ini dibuat oleh seseorang yang betul-betul paham dan mengerti gimana rasanya bertahan menggapai mimpi.

La La Land adalah surat cinta kepada orang-orang yang penuh passion.

 

Sebastian sangat passionate sebagai pemain piano jazz, akan tetapi dia tidak bisa memainkan apa yang ia suka. Kerjaannya malah mainin Jingle Bells di restoran mewah. Mia tunggang langgang bolak balik ikutan audisi, tapi tidak satu agensi pun yang nunjukin respek; audisinya terpotong singkat, tidak ada orang yang sungguh-sungguh memperhatikan usahanya. La La Land nunjukin gimana pretentious dan absurdnya dunia, khususnya dunia hiburan di LA. Namun apa yang sesungguhnya dilakukan film ini adalah mengguncang keras orang-orang yang punya passion di luar sana. Orang-orang yang punya mimpi. Orang-orang yang ingin sukses melakukan apa yang mereka cintai. Film ini menyuruh mereka untuk ambil tindakan dan lanjutkan kejar mimpimu, tidak peduli apa yang akan dikatakan oleh orang lain.

There is this one incredible scene. Sebastian dan Mia duduk dengerin band mainin Jazz di sebuah klub. Sebastian ingin Mia untuk mengerti keindahan musik ini. Dia ‘memaksa’ Mia untuk mendengarkan Jazz sebagaimana dirinya sendiri mendengarnya. Sebab Mia bilang baginya Jazz adalah sebatas musik yang menenangkan, musik lembut yang biasa ngiringin dia naik-turun di dalam elevator. Sebastian got so passionate about it, bisa dibilang kinda marah. Sebastian jengkel kenapa tidak ada yang mengapresiasi musik ini apa adanya – sebuah seni. I love how passionatenya Sebastian tergambar dalam adegan ini. As for the relationship, Sebastian dan Mia ini manis banget the way mereka saling support, masing-masing menggapai apa yang mereka cinta because they fall for each other.

jadi pengen bawa cewek jalan ke planetarium juga

jadi pengen bawa cewek jalan ke planetarium juga

 

Personally, aku merasa sangat related kepada both Sebastian dan Mia. Sebastian ingin mainin Jazz, punya klub sendiri, karena dia ingin ‘menyelamatkan’ that dying music genre. Mia ingin punya teater sendiri karena dia cinta bercerita. So they keep digging and digging. Terus menemukan dan mengejar mimpi. Namun kenyataan selalu berhasil menyusul ekspektasi. Mesti ada pengorbanan yang dilakukan. Ketika kita punya begitu banyak dan tidak bisa membuatnya seimbang, akan selalu ada pain yang involved.

Nyanyian Mia menjelang akhir, lagu yang magical banget itu, “Here’s to the one who dream, foolish as they may seem..” buatku terasa seolah dia bersenandung langsung di telingaku. Mendorong untuk terus. Because apa yang mereka lakukan, aku juga melakukannya. That’s what I’m doing here. Aku menulis review ini meskipun aku tahu tidak akan ada yang baca. Aku tetap saja nulis karena aku peduli sama film. Aku mau film terus menjadi bagus. Aku mau bisa bikin film yang bagus. No one would hire me to write so I’m trying to build my own platform – this blog. Kayak Mia yang gagal audisi lagi-dan-lagi, jadi dia menulis ceritanya sendiri. Aku ikutan Nulis Bareng Lupus karena ingin ‘nyelamatkan’ Lupus dari peremajaan-yang-berlebihan, I’ve told this ke mas Hilman Hariwijaya himself, tapi mereka mau beregenerasi dan move on, so I took the risk. And I failed. Tidak berarti berhenti mengejarnya. Yea, film ini punya banyak emotional note buatku, terutama di pertengahan hingga ke akhir.

Semua orang berjuang menggapai mimpi. Banyak yang saling bentur, passion dengan kerjaan. Idealisme dengan realita. Eventually, everything wil be. Kita bisa kapan saja berhenti ngelakuin hal yang tidak kita suka, namun tidak semua orang akan melihat appeal dari apa yang kita inginkan. Lalu bagaimana kita hidup? Dengan menjadi diri sendiri. Tokoh-tokoh film ini don’t shy away dari konsekuensi pilihan yang mereka jalani.

Cari makan, ya cari makan. Ngejar mimpi, ya ngejar mimpi. Sah-sah saja. Hanya saja, jangan bilang pengen ideal, tapi cari makan. Jangan bilang ingin cari makan, kemudian sok berdilema mau-tap- enggak-bisa menjaga kualitas karenanya. Selalu ada pengorbanan. Lakukanlah apa yang dicinta. Lakukan apa yang mesti kau lakukan demi yang dicinta.

 

 

 

Grand Piano (2013), Whiplash (2014), dan sekarang film ini; jelas sekali Damien Chazelle terinspirasi oleh musik. Dan sebagai filmmaker yang masih terhitung muda, tampak benar dia mengerti gimana rasanya menginginkan mimpi, passion, terwujud. Dia mengerti godaan, struggle, dan ultimately pengorbanan yang harus dilakukan agar mimpi tersebut menjadi nyata. Dan film ini sukses berat menceritakan semua tersebut dengan balutan musikal yang hebat. Adegannya mengalun seamlessly. Semulus para pemain menghidupkan perannya. This is one of the best directed movies tahun 2016. This is one of the best musical movies of all time.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for LA LA LAND.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...
← Older posts

Recent Posts

  • DARAH DAGING Review
  • JUMANJI: THE NEXT LEVEL Review
  • FORD V FERRARI Review
  • THE IRISHMAN Review
  • NIGHTMARE SIDE: DELUSIONAL Review
  • RUMAH KENTANG: THE BEGINNING Review
  • FROZEN II Review
  • Survivor Series 2019 Review
  • BIKE BOYZ Review
  • THE FAREWELL Review

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2016 2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • RT @AlexaBliss_WWE: “Once you figure out what respect tastes like, it tastes better than attention.” -P!nk https://t.co/fMcJow4T6u 16 hours ago
  • Selamat Kucumbu Tubuh Indahku atas Piala Citranya #FFI2019 Buat yang gak nonton di bioskop kemaren, salah sendiri… twitter.com/i/web/status/1… 20 hours ago
  • @rajalubis___ Hahaha gak masuk speech tadi ya 20 hours ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Blog at WordPress.com.

Cancel
loading Cancel
Post was not sent - check your email addresses!
Email check failed, please try again
Sorry, your blog cannot share posts by email.
%d bloggers like this: