• Home
  • About
  • Movies
    • STAND BY ME DORAEMON 2 Review
    • WRONG TURN Review
    • MONSTER HUNTER Review
    • JUDAS AND THE BLACK MESSIAH Review
    • MALCOLM & MARIE Review
    • DON’T TELL A SOUL Review
    • EARWIG AND THE WITCH Review
    • ALL MY FRIENDS ARE DEAD Review
    • SAINT MAUD Review
    • THE LITTLE THINGS Review
    • JUNE & KOPI Review
    • AFFLICTION Review
    • PIECES OF A WOMAN Review
    • ONE NIGHT IN MIAMI Review
    • NOMADLAND Review
    • MINARI Review
    • PROMISING YOUNG WOMAN Review
    • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
    • TARUNG SARUNG Review
    • SHADOW IN THE CLOUD Review
    • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020
    • ANOTHER ROUND Review
    • SOUL Review
    • ASIH 2 Review
    • WONDER WOMAN 1984 Review
    • SOUND OF METAL Review
  • Wrestling
    • Elimination Chamber 2021 Review
    • Royal Rumble 2021 Review
    • TLC: Tables, Ladders, and Chairs 2020 Review
    • Survivor Series 2020 Review
    • Hell in a Cell 2020 Review
    • Gold Rush: Clash of Champions 2020 Review
    • SummerSlam 2020 Review
    • The Horror Show at Extreme Rules (Extreme Rules 2020) Review
    • Backlash 2020 Review
    • Money in the Bank 2020 Review
    • WrestleMania 36 Review
    • Elimination Chamber 2020 Review
    • Royal Rumble 2020 Review
  • Books
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards CLOUD9
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: biopic

MANK Review

14 Monday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2020, biopic, comedy, drama, filmmaking, funny, life, love, netflix, real-person, review, spoiler, thought

“Your job is to tell your story”

 

 

 

Diberikan kendali penuh atas semua keputusan kreatif cerita dalam sebuah pembuatan film sudah barang tentu merupakan mimpi basah setiap penulis naskah. Herman Mankiewicz, penulis naskah veteran di Hollywood tahun 40-an, kecipratan hak istimewa itu saat ditunjuk untuk berkolaborasi oleh produser muda Orson Welles. Di tengah-tengah Studio yang lagi struggling, Welles diberikan otonomi khusus untuk membuat film, dan Mank – panggilan Mankiewicz – yang terkenal karena talentanya, oleh Welles, diperbolehkan menulis apapun. Cerita apapun yang menarik. Dalam batasan waktu dua bulan. Asalkan, Mank setuju namanya tidak dicantumkan pada kredit. Sebagai seorang yang vokal terhadap kritik sosial, Mank setuju karena dia punya banyak observasi terhadap keadaan khususnya Hollywood saat itu. Namun keadaan memperlihatkan cerita yang sedang ditulis ternyata personal bagi Mank. Terlalu personal malah. Dan kejadian hasilnya, adalah sejarah dalam dunia perfilman.

Bagi penonton yang baru melek ke dunia, skenario cerita yang dimaksud oleh film ini adalah skenario Citizen Kane (1941). Film yang dipertimbangkan banyak kritikus dan penikmat sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat. Yang pernah ditulis. Film yang benar menggambarkan resesi setelah Great Depression yang melanda seantero Amerika. Mankiewicz dan Welles diganjar Oscar untuk film ini. Makanya film Mank yang dibuat oleh David Fincher ini enggak bisa lebih menarik lagi. Setidaknya sangat menarik bagi para penggemar dan pemerhati sinema. Karena Fincher menawarkan kita tempat duduk paling depan pada rangkaian peristiwa yang mendasari bagaimana film Citizen Kane itu bisa tercipta. Kita akan melihat insipirasi penciptaannya, langsung dari sudut pandang Herman Mankiewicz sendiri. Langsung, dari sosok yang terkenal bukan hanya lewat talenta tapi dari pemikiran dan aksinya yang kontroversial, bahkan untuk standar Hollywood itu sendiri.

Also it’s all very weird to me, karena selama ini ‘Meng’ buatku konotasinya adalah ‘pegulat dengan reputasi paling ditakuti bahkan oleh sejawatnya’

 

 

Tadinya kupikir, cerita film ini akan menarik karena berhubungan dengan batasan waktu. Dua bulan yang diberikan untuk Mankiewicz menulis, ditambah dengan kondisinya yang udah tua tapi tetep ngebut minum – dan rintangan tambahan berupa kaki Mankiewicz yang digips karena kecelakaan mobil, effectively membuat dia ‘terikat’ di tempat tidur, kukira akan dijadikan sebagai rintangan utama dalam proses kreatif menulisnya. Aku salah telah meragukan kehebatan sosok legenda Hollywood tersebut. Bagi Mankiewicz dalam film ini, itu semua bukan halangan untuk menulis. Namun lantas jika begitu, di mana letak konflik film Mank ini? Mankiewicz itu sendirilah yang membuat film ini jadi punya konflik yang menarik.

Mank juga bukan cerita tentang kejatuhan seorang penulis. Sedari awal film ini dimulai, kita sudah melihat karakter ini yang ‘bermasalah’. Toh dia sendiri sadar masa jayanya sudah hampir lewat. Kita bisa melihat meskipun orang-orang film di sekitar Mankiewicz menghormati dia karena ilmu dan kepandaiannya menulis, tapi orang-orang itu juga melihat Mankiewicz sebagai semacam bom waktu yang tau-tau bisa meledak. Dan tak ada yang sudi meledak bersamanya. ‘Penyakit’ candu alkohol dan lidah tajam Mankiewicz-lah yang jadi konflik dan hambatan dalam cerita ini. Citizen Kane yang ia bikin nantinya juga bukan tanpa kontroversi, sebab tokoh-tokoh di dalam film tersebut seperti tampak ditulis berdasarkan pada komentar atau pandangan Mankiewicz terhadap karakter-karakter yang berhubungan dengannya. Yang tidak semua dari mereka suka untuk terseret dalam pandangan Mankiewicz yang berani menyulut kontroversi.

Lewat naskah yang ditulis oleh mendiang ayahnya, David Fincher dengan berani memuat itu semua. Jika film-film biopik biasanya akan bersikeras untuk memperlihatkan sisi terbaik dari tokoh nyata yang sedang dibicarakan tersebut, maka Mank justru dengan bangga memperlihakan semua hal, termasuk saat-saat dia yang paling bobrok. Dalam film ini kita justru diminta untuk memahami seorang penulis tua yang seharian di tempat tidur, diam-diam minum alkohol, di lain waktu dia flirting dengan perempuan walaupun dia sudah menikah. Dia bahkan enggak sedewa itu dalam urusan perfilman; aku ngakak ketika dia menyumpahi The Wizard of Oz. And oh btw, dia menyebut istrinya dengan panggilan ‘Poor Sara’ haha bayangin. Fincher sepertinya ingin menubrukkan itu dengan latar Hollywood yang sebenarnya jadi komentar khusus. Bukan untuk memilih ‘the lesser devil’, melainkan karena justru si Mankiewicz yang dipandang sinis karena komentar dan tabiatnya itulah yang berani mengkritisi dan vokal terhadap arahan dunia kerjanya saat itu.

Film ini bertutur secara bolak-balik. Antara Mankiewicz di tempat tidur, yang dikejar deadline naskah, dengan Mankiewicz muda yang mengarungi studio-studio hitam putih Hollywood – berinteraksi dengan rekan kerja dan orang-orang film sekalian. Gips di kakinya itu yang bisa dijadikan pegangan jika kalian menemukan kesulitan untuk memahami mana Mankiewicz yang mana. Karena transisi yang dilakukan film ke dua periode tersebut sangat mulus. Konteks sebenarnya jelas. Mank bakal terflashback setiap kali akan menulis, karena dari pengalamannya itulah dia menarik cerita. Dan kita pun gak perlu menonton Citizen Kane terlebih dahulu sebelum bisa mengerti apa yang ia tulis. Sebab film benar-benar memanfaatkan sekuen-sekuen flashback itu untuk menghidupkan gambaran, memusatkan perhatian kita pada apa yang diperhatikan oleh Mankewicz. Sejarah dunia sinema terpapar gamblang di sini. Fincher bicara banyak soal politik di balik tembok-tembok studio. Bagaimana film dijadikan agenda kampanye. Dijadikan propaganda. Bagaimana studio-studio gede seperti MGM terpengaruh keuangannya oleh Great Depression. Ultimately, bagaimana itu semua membentuk iklim perfilman saat itu.

Mankiewicz punya concern terhadap itu semua. Seperti juga halnya dengan Fincher yang tampak punya peduli terhadap perfilman saat ini. Kini otonomi, atau kendali-kreatif itu sudah jadi bahkan lebih langka lagi bagi para pembuatnya. Karena studio atau PH sudah benar-benar ingin mengatur ‘produk’ yang mereka jual. Film sekarang dijaga ketat agendanya, tampilannya, bahkan jadwal penayangannya. Mank sendiri ‘terpaksa’ harus tayang di Netflix setelah cukup lama luntang-lantung mencari tempat yang mau menayangkan. Padahal setiap film mestinya adalah kisah personal. Dan pekerjaan film mestinya menceritakan kisah-kisah tersebut.

 

Menonton film ini mengingatkanku kepada dua film yang kutonton baru-baru ini; Black Bear (2020) karena sama-sama memperlihatkan proses kreatif menulis, dan Tenet (2020) karena kedua film ini sama-sama menakjubkan secara teknis. Hanya saja, sayangnya, Mank lebih mirip Tenet dalam pencapaian keseluruhan.

Magic film-film zaman sekarang adalah waktu beli tiket kayaknya penuh, tapi pas di dalam studio ternyata sepi

 

 

Penonton yang benar-benar awam, I mean, orang yang jarang banget nonton film – yang gak tau – apalagi yang gak apal aktor-aktor, niscaya akan percaya film ini adalah film jadul beneran. David Fincher paling berhasil di aspek ini. Tampilan Mank didesain selayaknya film 30an. Hitam-putih, tapi bukan hitam-putih tegas melainkan dengan kualitas yang jernih sehingga adegan-adegan flashback terkesan kayak dreamy, atau benar-benar dari ingatan. Visual hitam-putih itu dihadirkan lengkap dengan efek seperti retakan sekilas pada frame, dan ‘cigarette burns’ yang memang hanya ada pada film-film jadoel yang masih menggunakan film reel.

Pengadeganan pun dibuat sama persis dengan film-film 30an seperti misalnya komposisi; background film dibuat kontras dengan foreground (terlihat saat adegan naik mobil), atau juga shot-shot yang mengontraskan cahaya kepada karakter, sehingga menimbulkan garis siluet. Film modern yang warnanya udah full hd mana ada lagi yang menggunakan teknik itu. Fincher juga kerap membiarkan sebuah adegan terdiam dahulu untuk beberapa detik, memberi waktu kepada kita untuk mencerna dialog-dialog panjang yang mengisi adegan, untuk kemudian ngezoom ke karakter dan perlahan fade out. ‘Ilusi’ ke era jadul itupun turut diperkuat dengan artistik yang meyakinkan. Yang bahkan semakin diperkuat lagi dengan permainan peran dari para aktor seperti Gary Oldman (menyaru sempurna banget ke dalam sosok Mank), Lily Collins dan Amanda Seyfried (suka lihat tampang klasik merekaaa), Tom Burke dan Charles Dance dan masih banyak lagi yang interaksinya dan mannerismnya meyakinkan.

Semua aspek teknis film ini, seperti Tenet, sungguh mencengangkan. Gak heran nanti kalo ada unsur-unsur film Mank yang nyangkut di Oscar. Namun seperti masalah yang ada pada Tenet, film ini pun tetap saja terasa hampa. Padahal penokohannya ditulis dengan lebih baik. Aku juga bisa mengerti konteks ceritanya. Situasi dan settingnya adalah informasi yang menarik mengenai sejarah dalam dunia perfilman. Dan itulah masalahnya. Film ini terasa lebih kayak rangkaian informasi-informasi ketimbang sebuah perjalanan karakter. Dialog-dialognya memang menarik tapi kita tidak terasa tersedot masuk. Kita hanya menyaksikan saja. Kita tidak terinvest kepada karakter, karena stake waktu tadi basically dibilang enggak susah bagi karakternya, dan hanya itulah yang dipunya cerita ini untuk membuat kita terikat secara emosional kepada karakternya. Di sepertigaan akhir, ada usaha dari film menampilkan adegan yang bertujuan untuk membuat kita merasa semakin simpati – inilah bagian paling rendah dalam karir dan kehidupan profesional Mankiewicz – hanya saja dengan absennya sesuatu yang nyata yang bisa terenggut darinya, kita gak bisa bertambah simpati. Malah yang ada, adegan tersebut tampak cringe.

Simpelnya, film tidak membangun pertaruhan bagi Mankieweiz. Kalo dia gagal, dia tidak kehilangan apapun. Stake harga diri juga tidak terbangun. Karir Mank tidak pernah diperlihatkan terancam, karena sedari awal tokohnya sendiri sudah menepis dengan percaya masa emasnya sudah lewat. Jadi ini adalah karakter yang nothing to lose. Susah untuk terinvest ke karakter seperti ini. Bahkan saat debatnya minta masukin nama di kredit Citizen Kane pun kita tidak pernah benar-benar merasa mendukung tuntutannya tersebut. Adegan yang berfungsi selayaknya ‘final fight’ itupun tak jadi begitu dramatis.

 

 

 

Alih-alih surat cinta kepada perfilman jadul, film ini lebih mirip seperti cermin yang diberikan sutradara karena cinta dan pedulinya terhadap perfilman modern. Karena dari film ini kita bisa belajar banyak. Entah itu peristiwa dan situasi perfilman era 30-40an. Ataupun juga belajar dari gambaran proses produksi film pada era tersebut. Penonton yang cinta dan ingin belajar lebih banyak tentang perfilman, perlu untuk menonton film ini. Toh memang tidak digarap main-main. Aspek teknis dan unsur-unsurnya juara. Masalahnya cuma, film ini meskipun karakternya menarik dan kadang cukup lucu, tidak benar-benar terasa seperti perjalanan karakter. Film ini lebih seperti buku pelajaran, yang gak gampang untuk dibaca berulang-ulang.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MANK.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Setelah menonton Mank, apa perbedaan dan persamaan antara perfilman sekarang dengan perfilman tahun 1930 menurut kalian?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

6,9 DETIK Review

28 Saturday Sep 2019

Posted by arya in Movies

≈ 3 Comments

Tags

2019, biopic, drama, family, gadis sampul, history, life, love, mother, real event, real-person, review, spoiler, sport, thought

“One day your life will flash before your eyes.”

 

 

Sementara Spider-Man sedang diperebutkan oleh Disney dan Sony, diam-diam ternyata Indonesia punya Spider-Woman loh! Julukan tersebut diberikan kepada Aries Susanti Rahayu yang sukses menjadi juara dunia dalam cabang panjat tebing pada Asian Games 2018 di Palembang. Dengan catatan waktu yang bukan main cepat. Prestasi yang sungguh luar biasa, mengingat asal dan perjalanan Ayu yang begitu penuh perjuangan. Kisah hidup salah satu atlet nasional kebanggaan Indonesia inilah yang diangkat oleh Lola Amaria dalam drama biopik 6,9 Detik. Biopik yang juga menyerempet dokumenter karena menggunakan penggalan adegan-adegan asli dari pertandingan panjat tebing Asian Games 2018 dan tokoh asli bermain  sebagai pemeran utama.

Seperti semua cerita perjuangan, cerita ini pun bermula dari rumah. Ayu yang tumbuh di desa di Grobogan, Purwodadi.  Dia dekat dengan sang ibu yang bisa menolerir ‘kebandelan’ Ayu yang suka bermain ala cowok. Kebersamaan mereka terpisah oleh ibu yang pergi bekerja ke luar negeri sebagai TKW. Meskipun tidak pernah sepi di rumah – Ayu tinggal bersama ayah, dua orang kakak, dan bu’ lik (bibi) – tapi Ayu selalu merindukan ibu. Olahraga menjadi pelampiasan buat Ayu. Dia yang pada dasarnya memang berani dan suka tantangan, menekuni panjat tebing yang diperkenalkan kepadanya oleh seorang guru di SMP. Ayu sebenarnya berbakat, hanya saja kehilangan sosok ibu membuatnya sempat menjauh dari jalan yang harus ia lalui. Semuanya terserah kepada Ayu untuk menyerah atau malah kembali ke siapa dirinya, menoreh prestasi, dan membuat bangga ibu pertiwi serta ibunya sendiri.

bakatnya sudah terlihat sejak dia suka bernyanyi ‘cicak-cicak di dinding’ waktu kecil

 

Kisah nyata kehidupan Ayu dibagi oleh film ke dalam tiga periode. Saat dia masih kecil di tahun 1999, saat dia ABG dan diperkenalkan dengan olahraga panjat tebing, dan hari-hari berlatih di tim nasional menjelang Asian Games. Bagian dia kecillah yang paling menyenangkan untuk ditonton. Di sini Lola Amaria benar-benar telaten merajut berbagai informasi dalam adegan demi adegan. Detil-detil kecil dipergunakan untuk menanamkan kepada kita pemahaman seperti apa si Ayu – apa yang ia inginkan, apa yang membuat dia menjadi seperti dirinya sekarang. Dengan kata lain, film sukses menetapkan motivasi perjuangan Ayu setelah dewasa nantinya. Film memperlihatkan ketidaksukaan Ayu terhadap kekalahan melalui dialog serta lewat adegan-adegan interaksi Ayu dengan sekitarnya. Juga ada narasi tentang penolakan Ayu terhadap kotak-kotak gender; dia yang suka bermain bersama anak-anak cowok, memainkan permainan ‘cowok’, menolak untuk disebut anak perempuan. Sayangnya, topik cerita yang satu ini tidak terasa berujung kepada apa-apa, karena film tampak ingin kembali berfokus kepada persoalan Ayu dengan ibunya. Namun bahkan persoalan itupun tidak benar-benar memuaskan pengeksplorasiannya.

Memasuki periode kedua cerita, film tidak lagi setelaten semula dalam bertutur. Dan ini menjadi masalah karena periode ini merupakan masa terendah dalam hidup Ayu, jadi kita harus dibuat benar-benar peduli pada dirinya. Seharusnya ini adalah bagian yang penting secara emosional. Ayu membuat pilihan-pilihan yang buruk selagi kesulitan menjalani latihan panjat tebing yang memang literally sulit dan menyita banyak tenaga. Jadi ini adalah bagian di mana Ayu ‘dihajar’ habis-habisan. Tapi film memilih untuk menceritakan kehidupan Ayu di periode ini dengan sangat cepat. Rentetan klip ala montase dengan narasi voice-over Ayu menulis surat kepada ibunya pada dasarnya mendiktekan kepada kita hal-hal yang dilalui oleh Ayu – pertama kali pacaran, masalah sama temannya, mencoba ke klub malam (ada sedikit adegan underage drinking di sini) Hubungan sebab-akibat tidak lagi diperlihatkan dengan sedetil bagian sebelumnya.

Cerita tak kunjung melambat, melainkan tancap gas ke periode terakhir. Ayu kini sudah dewasa, dia sekarang berjilbab. Walaupun mengetahui hal tersebut dari poster, aku tetap kebingungan mencari mana yang tokoh Ayu saat dewasa ini. Begitulah cepatnya cerita melompat-lompat. Pertanyaan utama yang diangkat dalam periode ini adalah mengenai sanggup atau tidak Ayu bertahan dalam lingkungan pelatihan yang keras. Dan somehow, masalah Ayu dengan ibunya di periode kedua tidak pernah dijelaskan dengan memuaskan. Mereka tau-tau sudah damai, dan sekarang ‘musuh’ Ayu adalah pelatih galak yang diperankan oleh Ariyo Wahab. Tadinya kupikir film ini mengaitkan ini dengan ketidaksukaan Ayu kalah, apalagi oleh anak laki-laki – kupikir hubungan mentorship Ayu dan Pelatih akan dieksplor sehingga lebih personal daripada sekadar murid dan guru; seperti hubungan mentorship antara Paige dengan pelatihnya di Fighting with My Family (2019) tapi ternyata tidak. Film seperti buru-buru ingin sampai di adegan Asian Games. Hanya sedikit ‘hati’ yang dimasukkan ketika membahas pelatih yang ekstra keras membimbing Ayu. Tokoh Pelatih tidak terasa sebagai manusia beneran, bahkan Ayu pun tak menyentuh kita secara personal.

Film ini kurang terasa dramatis sinemanya. Hanya seperti runtutan kejadian-kejadian yang silih berganti. Bahkan Fighting with My Family yang tentang olahraga bohongan, dengan tokoh atlet hiburan, saja terasa lebih manusiawi karena menggali sisi humanis bukan semata tokoh utama melainkan juga pendukung di sekitarnya. Sepertinya ini semua karena film tidak dimainkan oleh aktor beneran; Lola ingin menutupi kekurangan pemain yang ia punya – dalam hal ini si Ayu sendiri – maka ia tidak memberikan banyak kesempatan bagi pemain untuk menunjukkan sisi emosional

Lebih susah ngajarin atlet berakting ketimbang ngajarin aktor berolahraga

 

Namun, ada satu cara lain yang lebih menarik untuk melihat film ini. BAGAIMANA JIKA SEMUA KEJADIAN DI FILM ADALAH PANDANGAN FLASHBACK DARI AYU DEWASA – BUKAN FLASHBACK URUTAN CERITA? Begini, film ini dibuka dengan adegan Ayu dewasa yang tengah hendak bertanding di final Asian Games. Selagi menunggu aba-aba untuk mulai memanjat, dia menoleh ke barisan penonton dan melihat dua sosok anak yang merupakan dirinya sendiri saat masih kecil. Kemudian barulah film membawa kita ke masa lalu Ayu, yang dimulai dengan adegan mimpi si Ayu Kecil. Kejadian kemudian berjalan hingga kita kembali ke adegan pembuka, Ayu hendak bertanding. Jadi, periode-periode yang kita saksikan antara pembuka film dengan kelanjutan Ayu bertanding bisa diinterpretasikan sebagai flashback Ayu. Hanya ada di dalam kepala Ayu.

Makanya kejadiannya lompat-lompat. Seperti banyak terskip. Karena saat kita mengenang masa lampau, kita hanya akan mengingat momen-momen penting. Dan memang itulah momen-momen yang diperlihatkan oleh film. Ayu mengirim surat marah kepada ibunya. Ayu curhat pada ibunya. Baikan mereka tidak diperlihatkan karena yang Ayu ingat – yang paling penting bagi Ayu adalah momen ketika ibunya tak ada di saat dia butuh dan momen ketika ibunya hadir kembali saat dia butuh. Makanya lagi, banyak detil-detil yang aneh kita jumpai di sepanjang cerita. Seperti misalnya Agnes Monica yang ditonton Ayu kecil di televisi tahun 1999 tampak seperti Agnes Monica yang sudah lebih dewasa daripada tahun segitu (TV jelas menyebutkan Pernikahan Dini padahal tahun segitu Pernikahan Dini belum lagi tayang). Ataupun ketika saat dewasa kakak-kakak Ayu tampak lebih muda ketimbang dirinya. Itu karena Ayu sudah lama tak melihat kakak-kakaknya, mungkin begitulah tampang mereka saat terakhir kali Ayu melihat mereka. Ayu hanya mengingat dia mengidolakan Agnes Monica

Bagaimana jika Ayu mengalami semacam ‘Life Review Experience’ hanya saja dia tidak dalam keadaan nyaris meninggal, melainkan dalam kondisi emosi yang ekstrim lantaran sedang berada dalam momen terpenting seumur hidupnya?

 

Tapi jikapun benar begitu, pilihan ini mustinya tidak bisa dijadikan alasan. Ketika kita membuat film, kita kudu membuatnya dramatis secara sinematik. Toh sudah ada film yang seluruh ceritanya ternyata berupa flashback dari si tokoh yang masih mampu memberikan hubungan sebab-akibat yang runut, tak seperti terskip-skip, meskipun dengan urutan yang acak, seperti Stay (2005) atau Jacob’s Ladder(1990). Karena hubungan-hubungan antarkarakter mesti dijelaskan. Sesuatu yang diangkat harus dapat terlihat penuntasannya. Di situlah letak ‘drama’ yang penonton nikmati. Perjalanan yang turut dipelajari. Di situlah konfliknya, melihat karakter bertumbuh dengan pembelajaran. Kekurangan film 6,9 Detik yang paling kerasa adalah apa yang dialami Ayu tidak terasa earned. Kita tidak benar-benar merasa berjuang bersamanya. Lantaran kita juga tak benar-benar melihat dia berjuang menghadapi masalahnya. Bahkan kenapa mesti panjat tebing saja tidak pernah dijelaskan oleh film. Kita mengerti Ayu tidak suka kalah/gagal, tapi kita tidak diberikan penjelasan yang memuaskan kenapa dia mesti berjuang di panjat tebing – tidak di lomba lari, ataupun renang, atau apa kek.

Cara bercerita bisa dikreasikan, tapi film ini tidak banyak melakukan kreasi. Mungkin bisa berdalih karena budget yang kecil. Tapi tetap saja, film tidak mampu menghasilkan euforia kemenangan ataupun ketegangan. Menonton film ini seperti menyaksikan laporan profil seorang atlet nasional ketimbang sebuah cerita perjuangan dramatis. Kita tahu ujung film ini bahkan sebelum filmnya dimulai. Oleh karena itu seharusnya film ini berbuat sesuatu yang ‘seru’, seharusnya pengalaman menonton kita yang dijadikan sasaran utama dalam bercerita. Buat struktur cerita yang menantang, yang out of the box. Mainkan konsep yang unik. Cerita berupa flashback ini mungkin bisa lebih menarik kalo dibuat lebih vague dan dream-like lagi. Atau mungkin buat flashback Ayu itu terjadi saat dia beneran memanjat. Pada detik-detik perjuangannya itu , dia mengenang hidupnya. Like, cut-to-cut momen-momen hidup dengan slow motion Ayu memanjat, atau apa kek. Atau malah, bikin saja Ayu mecahin rekor 6,9 detik; walaupun tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya tapi setidaknya ada momen yang lebih pecah dan beneran live-it-up kepada judul filmnya.

 

 

 

Tadinya aku enggan mengulas film ini. Karena film ini punya maksud yang baik, sehingga aku merasa enggak enak harus bicara jujur tentangnya. Tapi setelah memikirkannya selama dua hari, aku menemukan cara untuk menikmati film ini. Membuatnya tidak separah penilaianku awalnya. Tapi tetap belum cukup. Film ini saat Ayu masih kecil, toh, memang tampil menyenangkan. Kejadiannya tergambar detil, karakter-karakternya hidup. Hanya saja semakin ke belakang, penceritaannya semakin lepas – terasa lompat-lompat. Adegan demi adegan berganti tanpa memberikan waktu untuk kita meresapi emosi. Itupun kalo memang ada emosi dalam cerita dan penampilan aktingnya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 6,9 DETIK.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian? Apakah kejadian di film ini memang pandangan flashback tokoh Ayu? Mungkinkah manusia bisa mengalami life review experience walaupun tidak sedang sekarat?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

KOBOY KAMPUS Review

25 Thursday Jul 2019

Posted by arya in Movies

≈ 10 Comments

Tags

2019, biopic, comedy, drama, friendship, funny, Music, musical, real-person, review, spoiler, thought

“I certainly can’t change it by sitting on my couch..”

 

 

 

Bikin dan ngurusin sebuah negara itu enggak gampang, terutama ketika kita enggak melakukan apa-apa terhadapnya. Tapi, lucunya, justru itulah yang dilakukan oleh para koboy kampus – sebutan lawas untuk mahasiswa yang lebih senang untuk tidak langsung menembak target lulus kuliah secepatnya – di ITB era pemerintahan Soeharto.

Para ‘koboy’ ini dipimpin oleh Pidi, mahasiswa seni rupa yang berpotongan gondrong. Melihat teman angkatannya berkoar-koar orasi mengkritisi presiden, Pidi terilham suatu cara lain untuk memprotes negara. Yakni membuat negara sendiri. Terciptalah Negara Kesatuan Republik The Panasdalam, nama yang sungguh merangkul perbedaan lantaran merupakan singkatan dari Atheis, Paganisme, Nasrani, Hindu-Buddha, dan Islam. Awalnya negara yang cuma seluas ruang lukis itu – actually ruang lukis itu memang jadi lokasi negaranya – hanya memiliki penduduk sebanyak lima orang. Tapi berkat ajaran Pidi sang Imam Besar, berkat alunan lagu-lagu ciptaannya yang kocak,  berkat kehidupan kampus sebagai alternatif dari berpanas-panas di luar turun ke jalan, negara The Panasdalam dengan cepat berkembang dan menarik minat mahasiswa Indonesia untuk berpindah warga negara masuk ke sana.

Negara yang penduduknya setiap kali makan dan buang air ke luarnegeri

 

Mengenai The Panasdalam dan Pidi Baiq sendiri, aku yang lahir di luar zaman dan daerah mereka, memang tidak begitu familiar dengan mereka. Aku tahu beberapa lagunya yang lucu-lucu kayak “Jane”, “Rintihan Kuntilanak”, dan “Tragedi Segitiga Merah Maroon”, aku juga tau Pidi yang menulis Dilan. Dan cuma itulah yang aku tahu. Tapi aku bisa relate dengan kehidupan koboy kampus yang ditampilkan oleh film ini. Kalo di kampusku dulu mahasiswa-mahasiswa golongan telat lulus alias terdistraksi melulu oleh maen, pacaran, atau hal-hal absurd tak-penting tapi diyakini bisa menyelamatkan dunia ini istilahnya adalah “king of injury time specialists”, dan aku salah satu anggotanya haha.. Makanya nonton ini aku jadi seperti menertawakan diri sendiri. Kehidupan kampus tergambar terang dengan rasa nostalgia. Dialognya mengalir jujur, sejujur jailnya mahasiswa dengan segala gagasan gila dan nilai ‘liar’ mereka. Dan memang dua hal itulah yang menjadi appeal utama dari film Koboy Kampus. —oh, bagi beberapa penonton mungkin ada satu lagi; anggota JKT48.

Selain itu, aku tidak merasa peduli dengan kejadian yang muncul silih berganti sepanjang durasi. Karena subplot-subplot yang dihadirkan tidak dilandasi oleh satu gagasan yang paralel. Mereka hanya ada untuk lapangan bermain komedi. Kita tidak pernah tahu dan mengerti siapa Pidi karena film tidak mengajak kita untuk menyelami dan mengeksplorasi motivasi dan sudut pandangnya. Malahan, film seperti takut untuk memperlihatkan cela tokoh ini. Untuk memperlihatkannya sebagai manusia yang setara dengan teman-temannya. Kita diminta untuk memandangnya seperti tokoh teman-teman memandangi dirinya; penuh kagum karena Pidi begitu lucu, bijaksana, cemerlang dengan ide-ide unik. Yang bahkan tidak benar-benar menambah banyak untuk elemen negara The Panasdalam yang ia dirikan.

Film sangat mengultuskan sosok Pidi. Dia tergambarkan sebagai ‘juru selamat’ lewat fatwa-fatwa yang dicetuskannya dalam The Panasdalam. Negara tersebut didirikan sebagai bentuk perlawanan Pidi. Jika ada hadist yang menyebut untuk mengubah kemungkaran, gunakanlah tangan – jika tidak mampu maka gunakanlah lisan, dan jika tetap tak mampu gunakan hati, maka negara buatan Pidi digambarkan berada bahkan di atas hadist tersebut. Perlawanan mereka adalah perlawanan cinta damai lewat lagu. Di kampus, di rumah, di kampus lagi, dia menyanyi sepanjang waktu. Disambut oleh anggukan kepala tanda setuju dan gelak tawa ‘rakyat-rakyatnya’. Jika ditambah dengan perawakannya, Pidi tampak seperti Yesus bergitar versi hippie. Yang hanya duduk sepanjang waktu menyanyikan protes, sementara dunia tampak membaik dan tambah menyenangkan karena semakin banyak orang yang terkagum sehingga menerapkan ‘ajarannya’. Untuk menekankan hal ini, film memasang satu adegan nyanyi yang menampilkan Pidi bersinar dalam latar yang seperti awan-awan. Haleluya!

Pidi tidak menciptakan negara. Dia menciptakan agama.

 

Dan apa sih skenario? Pidi jelas jauh berada di luar – di atas – semua aturan-aturan itu. Tokoh utama film punya kaidah untuk ditulis banyak melakukan sesuatu, dalam perjalanannya harus mengorbankan sesuatu yang penting bagi dirinya, secara konstan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menentang pemikirannya, tapi tidak demikian halnya dengan Pidi. Inilah yang menyebabkan susah untuk peduli kepada tokoh ini. Karena dia hanya duduk dan bernyanyi, tak tersentuh oleh permasalahan negara dan permasalahan sosial – perkuliahan yang dihadapi oleh teman-temannya. Tentu sah-sah saja jika tokoh utama ceritamu punya dan jago dalam satu kepandaian. Bernyanyi dan bermain gitar adalah kekhususan tokoh ini – kita tidak bisa mengharapkan dia ikutan melukis. Akan tetapi tokoh utama juga harus ditulis sebagai karakter yang aktif berbuat dan ditantang oleh sesuatu. Paterson dalam film Paterson (2017), misalnya. Dia pembuat puisi – that’s what he does as a character. Namun kita tidak mati kebosanan mengikuti kisahnya karena serutin apapun hidupnya yang bekerja sebagai pengendara bus kota, Paterson secara rutin ‘ditantang’ oleh sekitar. Dia aktif bergerak, mengajak anjingnya jalan-jalan, bertemu anak kembar, busnya pecah ban. Ada perjalanan inner melingkar – yang koheren dengan outer journey – yang ia hadapi, ada pembelajaran yang berlangsung dari Paterson yang berusaha untuk membuat rutinitasnya menjadi hal-hal luar biasa yang indah ia puisikan. Journey seperti demikian absen pada Pidi. Dia tidak setuju dengan keadaan negara, dia tidak setuju dengan perlawanan dari sebagian temannya, dia membuat negara baru untuk menunjukkan beginilah seharusnya – bentuk kritisi yang ia sampaikan, tapi ia tidak melakukan apa-apa dengan negara tersebut.

Dia memperlakukan Panasdalam sebagai eskapis dari masalah karena baginya keadaan politik atau masalah kuliah itu adalah masalah luar negeri. Sementara negara yang ia bangun sudah keren. Ada masalah kecil, dia tinggal bernyanyi. Padahal kita tidak bisa mengubah dunia hanya dengan duduk saja

 

Oh boy, betapa The Panasdalam adalah negara idaman. Tidak ada konsekuensi diperlihatkan di sini. Ini semester terakhir, sementara nilai kuliahmu amburadul? Well, di tahun itu mahasiswa bisa kuliah hingga empat-belas tahun. Cerita film ini mengambil kurun dari 1995 hingga lengsernya Soeharto di 1998, dan untuk sebagian besar cerita tokoh kita sudah disebutkan dalam “semester terakhir”nya. Soal biaya? Ah, tak sekalipun tokoh kita diperlihatkan susah uang. Keluarga? Apalagi. Keluarga Pidi mendukung anaknya. Jika ada teman yang keluarganya nyuruh lulus, bagi Pidi tak jadi soal. Pacar? Patah hati hal biasa karena kita toh masih mahasiswa untuk waktu yang lama. Pidi tak tersentuh sama semua itu.

kayaknya seru ya kalo diospek sama Candil, serius!

 

Memang, film ini membangkitkan pertanyaan demi pertanyaan yang tokoh kita tak peduli untuk menjawabnya. Kenapa si Inggris nelfon ayahnya cuma untuk ngabarin dirinya diangkat jadi Duta Besar Inggris The Panasdalam. Kenapa bibir Stefhani Zamora item. Kenapa Boris bisa sampe gak pernah ketemu sama Pidi. Tapi bisa jadi memang itulah sasaran film ini. Karena mereka mempersembahkan diri sebagai komedi yang absurd. Dan sebagai komedi, dia efektif membuat penonton di dalam studioku tertawa. Tapi sesungguhnya narasi yang dihadirkan, cara berceritanya, film ini lebih cocok sebagai sebuah buku novel – atau mungkin komik, yang tidak perlu (mau) terkait oleh kaidah-kaidah penceritaan.

 

 

 

Menonton negara fiksi dalam film ini seperti menyaksikan sebuah cult/sekte cinta damai yang berkembang menjadi sesuatu yang absurd. Harmless, tapi juga pointless. Seperti ceritanya yang berkembang tak jelas arah. Jika kalian berharap akan tahu siapa Pidi dengan menonton ini, kita tidak akan mendapat banyak selain dia adalah sosok pemimpin paling ideal yang bisa diimpikan seseorang yang pengen negaranya maju. Generasi tua bisa nyaksikan ini untuk unsur nostalgia. Generasi yang lebih muda bisa hadir untuk lebih banyak dialog ringan namun gemes seperti yang dijumpai pada dua film Dilan. Tapi jika kalian pengen film yang beneran kayak film, maka aku gambarin kalo aku sendiri merasa menyesal enggak titip absen aja pas acara nonton bareng film ini tadi.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for KOBOY KAMPUS.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Mahasiswa seperti apakah kalian dulu?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

ROCKETMAN Review

14 Sunday Jul 2019

Posted by arya in Movies

≈ 6 Comments

Tags

2019, biopic, drama, family, fantasy, funny, life, love, musical, real-person, review, song, spoiler, thought

“Worry about loving yourself instead of loving the idea of other people loving you”

 

 

Tidak semua orang tahu nama asli Elton John adalah Reginal Kenneth Dwigth, karena musisi ini memang mengganti namanya secara legal karena kecintaannya terhadap musik blues. Biopic musikal Rocketman garapan Dexter Fletcher bahkan menjadikan soal nama tersebut sebagai poin vokal. Disebutkan dalam film ini, bahkan Elton John sendiri berusaha untuk ‘melupakan’ nama kecilnya. Karena, seperti yang ia ceritakan kepada kita dan lingkaran grup sharing  – film dimulai dengan sangat menarik kita melihat John datang sempoyongan lengkap dengan kostum setan dalam balutan gaya pop – bahwa hubungan dirinya sedari kecil tidak begitu baik dengan kedua orangtuanya. Terutama kepada ayah. Padahal bakat jenius dalam bermusik yang ia miliki merupakan turunan dari sang ayah. Dia seringkali dicuekin. Hingga dia tumbuh gede menjadi musisi sukses dan mengganti namanya. Orang-orang suka Elton John, yang ironisnya membuat dia sendiri semakin ‘benci’ dengan dirinya yang asli – si Reggie Dwight, anak kecil malang. Sungguh sebuah harga yang mahal untuk sebuah pengakuan!

Elton John is a larger than life persona. Tetapi Rocketman mendaratkan tokoh ini sehingga John kita rasakan tak ubahnya sama dengan kita semua. Tak-kalah menyedihkannya. Setiap hari kita melihat orang-orang di sekitar, dan juga kita sendiri, berusaha mengerjakan sesuatu supaya sukses dalam bidang masing-masing. Ada yang pepatah luar yang bilang “bekerja keraslah hingga suatu hari kau tidak perlu lagi memperkenalkan namamu kepada semua orang”. Film ini memperlihatkan kepada kita, melalui sudut pandang Elton John seorang musisi besar, sejauh mana seseorang mampu bertindak demi diakui oleh orang. John begitu putus asa pengen dilirik oleh ayahnya. John terkenal, tapi itu hanya ‘persona’nya. Dirinya yang di dalam, the real him, menjadi sangat tak-penting sampai-sampai John sendiri tak mau mengenali. Ketika dia membicarakan kemunduran dan masalah di pertemuan sharing pada adegan pembuka itu, barulah John memanggil kembali dirinya. Untuk melihat keindahan cerita film ini, aku sarankan kalian mendengarkan dengan seksama cara John menyebut dirinya dari awal cerita hingga akhir. Rasakan perubahan tone yang bergerak berlawanan dengan kejadian demi kejadian di mana dirinya semakin ‘hancur’ yang mengisyaratkan penyadaran yang perlahan terbit di dalam diri tokoh ini.

Jangan meroket ketinggian oleh puja-pujaan sementara kita lupa mencintai diri sendiri. Lupa sama diri sendiri. Jangan korbankan diri untuk mencari cinta dan pengakuan dari orang lain. Jadikanlah Elton John dalam Rocketman sebagai contoh kasus; kita akan berakhir tak bahagi dan semakin membenci diri sendiri. Lakukanlah apa yang membuatmu bahagia, demi dirimu sendiri.

 

Kita akan melihat dari kacamata Elton John, dan kalian semua tahu betapa fabulous-nya kacamata Elton John

 

Sehubungan dengan itu; penampilan Taron Egerton sangat memukau. Dia tidak sekadar menjadi Elton John. Quick fact: tidak akan ada seorang pun yang bisa menjadi Elton John like Elton John did. Egerton menyeruak ke dalam perannya ini dengan ‘keanggunan’ khusus ciptaannya sendiri. Seperti beginilah akting yang sebenarnya akting. Bukan masalah gigi palsu, atau wig, atau dandanan rambut yang disama-samain. Ketika kau memerankan karakter, kau menghidupi jiwa karakter tersebut dengan pendekatan personalmu sendiri. Seperti yang dilakukan Taron Egerton di sini. Egerton menyanyikan semua adegan musikal. Meskipun suaranya memang terdengar berbeda dari Elton John yang asli, tapi kita melihat dan mendengar jauh beyond semua itu. Kita tidak mendengar ada yang nyinyir mengatakan Taron Egerton merusak lagu legenda. Karena penampilan akting yang ia suguhkan membuat kita semua konek dengan jiwa tokohnya.

Dexter Fletcher sepertinya belajar dari kekurangan pada Bohemian Rhapsody (2018), sama-sama film tentang biografi musik legendaris, yang ia ambil alih setelah sutradara asli film tersebut keluar. Di Rocketman, dia tak lagi ragu untuk membahas hal-hal personal. Beserta isu-isu sosial yang menyertainya. Tak pernah film ini terasa terlalu mengkultuskan tokoh yang ia ceritakan. Elton John tergambarkan dengan lebih bebas ketimbang Freddie Mercury dalam Bohemian Rhapsody. Ketika disorot dari cahaya ‘lampu yang buruk’, tidak ada usaha overprotektif terhadap tokohnya, cerita malahan dengan berani menerjunkan kita ke dalam kepala sang tokoh. Dan ini membuat kita secara natural semakin peduli dan tertarik kepadanya. Mereka tidak menirukan seorang tokoh, melainkan memfantasikan seluk beluk sang tokoh. Makanya film ini terasa benar-benar hidup.

Cara bercerita mengemas semua arahan dan penampilan sedemikian rupa sehingga membuat Rocketman amat sangat menarik dan menyenangkan untuk diikuti. Visual yang dihadirkan benar-benar mengikat fantasi ke dalam realita. Atau, realita ke dalam fantasi? Aku gak tahu karena film benar-benar mengaburkan batas, membuatnya mengasyikkan untuk diikuti. Musik-musik yang diperdengarkan di sini benar-benar dimainkan, dinyanyikan, sebagai bagian dari sebuah penceritaan. Adegan bernyanyi bukan sekadar muncul ketika Elton John nampil di depan penggemar. Melainkan menyatu dengan kebutuhan emosional cerita. Seperti misalnya ketika John Kecil merasa sedih, kemudian dia lantas bernyanyi. Dan dia memandangi ayahnya. Kemudian kita mendengar ayahnya ikutan bernyanyi, menyuarakan apa yang ia rasakan. Semua orang di film ini bernyanyi. Menari dengan koreografi, sebagai bagian dari fantasi yang dirasakan jauh di dalam hati John. Membuat setiap poin-poin cerita film ini terasa segar, asik untuk disimak.

setelah nonton Rocketman, kita perlu menanyakan kepada diri kita sendiri: “Rami Malek who?”

 

Cerita seorang tokoh, dalam kasus ini musisi, memang perlu untuk mengambil langkah berbeda seperti yang dilakukan oleh film ini. Lantaran sebagian besar contoh film-film genre ini kita dapati selalu memilih untuk jadi biografi. Sehingga punya format yang sama. Format yang ‘membosankan’ kalo boleh kutambahkan. Film biopik seringkali akan dimulai sedari tokoh masih kecil, dan berlanjut remaja, dewasa, memasukkan semua fakta-fakta tentang si tokoh (apa-apa saja yang terkenal dari si tokoh). Yang pada kelanjutannya membuat ceritanya membosankan karena terlalu melebar sehingga terasa episodik, dan gak benar-benar kohesif dengan gagasan yang ingin disampaikan. Itu juga kalo gagasannya ada, sebab sering juga biografi atau cerita tentang seorang tokoh dipenuhi oleh kepentingan untuk pencitraan semata. Untuk kasus cerita tentang musisi, konflik yang ada pun sebenarnya kurang lebih sama. Mereka terkenal dan jauh dari orang yang dicintai. Mereka depresi. Party, mabok-mabokan. Terlibat narkoba. Penyimpangan seksual. Terjangkit penyakit mematikan. Semua itu adalah trope-trope biasa yang sering kita temukan pada biopik musisi apa saja. Pada Rocketman pun seperti demikian. Rentetan kejadiannya sangat seusai dengan formula tradisional. Akar masalah sedari kecil – montase sukses – terpuruk – sakit – bertengkar dengan orang yang paling dekat dengannya – kemudian menyesal dan berusaha bangkit sendiri.

 

 

Jika diceritakan dengan ‘lurus-lurus’ saja, film ini pastilah akan membosankan. Pacing ceritanya tak pelak memang bermasalah. Tapi film ini tetap hadir menyenangkan dan menarik lantaran dia diarahkan dengan cara yang berbeda. Biopik ini tidak bermaksud menjadikan dirinya sebatas meniru kejadian yang asli. Melainkan sebagai sebuah fantasi tentang sesuatu pada seseorang yang pernah terjadi. Inilah yang membuatnya hebat. Penampilan akting yang berkharisma dan penuh emosi. Adegan musikal yang menghipnotis. Tak ketinggalan pula gagasan, pesan yang berakar pada hubungan antaranggota keluarga. Semua hal tersebut sukses memopang sudut pandang seseorang tokoh yang begitu lain daripada yang lain. Sehingga semua orang bisa mudah terkonek dengannya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ROCKETMAN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Kenapa ya banyak musisi terjatuh di lubang depresi yang sama?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

WAGE Review

09 Thursday Nov 2017

Posted by arya in Movies

≈ 2 Comments

Tags

2017, biopic, comparison, drama, hero, history, life, musik, real life, review, spoiler, thought

“Music can change the world because it can change people”

 

 

Karya musik tidak bisa sepenuhnya kita hargai tanpa mengenal penciptanya. ‘Mengenal’ bukan sekedar tahu nama loh. Melainkan mengetahui dari mana dia ‘berasal’. Apa yang sudah ia laluli sehingga bisa dapat ilham mengarang lagu. Selama ini, kita mungkin hanya tahu siapa nama pencipta lagu Indonesia Raya, lagu Ibu Kita Kartini. Kalo ada sepuluh orang yang kita tanyai, mungkin sembilan orang bisa menjawab “WR Supratman” dengan benar. Jika pertanyaannya dilanjut menjadi apa kepanjangan dari WR itu, mungkin hanya setengah dari sepuluh tadi yang bisa menjawab. Jika ditambah lagi pertanyaannya menjadi siapa yang tahu perjuangan apa yang dilakukan WR Supratman dalam menciptakan kemudian mengumandangkan lagu tersebut? Kesepuluh orang tadi kemungkinan gede hanya bisa diem. Aku sendiri dulu sempat kesel kenapa Indonesia Raya enggak diciptain lebih pendek,  empat baris aja gitu, supaya gak perlu berlama panas-panasan setiap kali upacara bendera. Dan setelah nonton film Wage, serta merta aku merasa durhaka pernah berpikiran seperti demikian.

dan kalo pertanyaannya nyuruh nyanyi, aku mundur duluan

 

Dalam film Wage, kita akan melihat hidup komponis ini sedari kecil. Supratman cilik sudah suka dengan musik, dia tertarik pengen mainin alat musik. Akan diperlihatkan banyak sisi kehidupan tokoh kemerdekaan ini yang belum kita tahu; bahwa dia pernah gabung ama band jazz, bahwa dia pernah mengadu nasib jadi jurnalis, bikin cerita roman.  Oleh seorang Belanda, dia diberi nama Rudolf, dan diajarkan main biola – alat musik pamungkasnya. Dengan biola, Supratman berhasil menciptakan musik yang mempengaruhi banyak orang.  Sampai-sampai pemerintah Belanda merasa terancam. Musiknya menghimpun keberanian rakyat, Supratman dianggap penghasut. Sebagai orang yang berbahaya. Fokus cerita sebagian besar adalah soal ‘perang dingin personal’ antara Supratman dengan polisi utusan Belanda, seorang yang berdarah campuran Belanda-Indonesia, yang ditugaskan untuk menangkapnya.

Ketika aku mendengar bahwa Wage disebut sebagai film noir, seketika itu juga aku tertarik. Alasannya simpel; Kita tidak bisa membuat sebuah cerita tentang pahlawan ke dalam cerita yang hitam – ke dalam cerita antihero. I mean, how could you. Noir bukan semata tentang pri berjas, berstelan rapi, yang merokok. Ultimately, film noir bukan film yang berakhir bahagia. Noir adalah cerita yang penuh muslihat, tentang kemunduran seorang tokoh. Jika bicara tentang cinta, maka film noir akan menyebut cinta satu nafas bersama kematian. Aku tertarik karena kupikir Wage akan diarahkan sama sekali berbeda dengan biopik kepahlawanan Indonesia yang sudah ada. Kupikir pembuat filmnya punya satu sudut pandang unik yang dengan nekat dia jadiin film. Kupikir sutradara John De Rantau mampu mengubah kepahlawanan menjadi anti hero yang bakal bikin kita tercenung. I know, it’s a hard thing to achieve. Dan ternyata memang, Wage enggak bisa. Menyebut film ini sebuah noir sesungguhnya adalah mislead. Wage lebih sebagai sebuah DRAMA YANG TERINSPIRASI OLEH GAYA NOIR.

There’s just no way kita bisa melihat Supratman sebagai antihero dalam film ini. Sepuluh menit pertama kita dibuat bersimpati dengan melihatnya kena cambuk, melihatnya menangis ditinggal meninggal oleh sang ibunda. Ada beberapa sekuens di babak awal yang memperlihatkan Supratman sebagai pemuda pemusik yang pesta pora, dia literally bobok di atas uang, namun kemudian film dengan cepat menetapkan Supratman sebagai pihak putih. Dia dibuat sadar, dia beribadah, dan dia bertekad untuk membantu kemerdekaan Indonesia dengan caranya sendiri; lewat musik. Ini adalah perjalanan karakter yang progresif.

Musik yang hebat dapat mengubah dunia. Musik dapat menggerakkan massa, menjadi alat pemersatu bangsa seperti yang sudah dibuktikan oleh Wage dan Indonesia Raya. Karena musik adalah bentuk ekspresi seni yang punya keuntungan mudah dipahami dan diresapi. Ini adalah bahasa universal yang bisa menginspirasi banyak orang karena kita mendengarkan musik dengan cara yang sama.

 

Kita memang melihat perjuangan Supratman menciptakan lagu, tapi film menunjukkan aspek ini dengan sedikit berbeda dari yang kubayangkan. Kita melihat Supratman terinspirasi oleh suara denting-denting penempa besi, kita lihat dia berulang kali merevisi nada di catatan partitur. It’s nice ngeliat detil dan usaha seperti demikian, namun yang sebenarnya pengen kita lihat adalah usaha dia sebagai komponis yang ingin memperdengarkan lagu. Kita ingin lihat dia menentang aturan, kita ingin lihat dia sembunyi-sembunyi bermain musik, kita ingin lihat his ups-and-downs, perjuangan mati-matian. Rendra Bagus Pamungkas sangat hebat menghidupkan tokoh ini, sehingga semakin disayangkan naskah tidak memberinya banyak hal untuk dilakukan. Sebagian besar waktu, Supratman kita temukan diberi saran oleh teman-temannya. Dia disemangati. Padahal tokoh ini punya api yang berkobar di hati, film menyia-nyiakan ini.

Lihat saja betapa menariknya Wage setiap kali dia mempertemukan Supratman dengan polisi Belanda yang terus mengikutinya, Fritz. Aku gak yakin banget, tapi sepertinya Fritz bukan tokoh sejarah asli dan murni diciptakan oleh film. Dan Teuku Rifnu Wikana benar-benar total menjual peran tersebut. Meskipun scoring film terkadang membawanya ke ranah ‘over-the-top’, namun Teuku Rifnu berhasil mengrounding tokoh ini. Fritz adalah tokoh yang paling menarik, dia setengah Belanda – setengah Indonesia, dia ditugaskan mengikuti Supratman, menangkapnya at once begitu kaki Supratman melanggar batas. Tetapi Fritz merasa lebih banyak dari yang diperlihatkannya. Dia tahu enggak segampang itu mememenjarakan Supratman, dia mengerti reperkusi tindakan tersebut. Fritz pintar, dinamikanya dengan Supratman yang juga cerdas dan berkemauan keras adalah penyelamat kebosananku saat nonton. Tindakan Fritz kadang menjadi jalan selamat buat Supratman. Dari sekian banyak yang ia lakukan (atau tidak ia lakukan), kita tidak pernah pasti Fritz sengaja melakukannya, ataupu apakah darahnya bergejolak jua diam-diam mendengarkan lagu-lagu Supratman.

Violin Hero!

 

Adegan antara Supratman dengan Fritz itu layaknya emas di tengah-tengah hamparan batu-batu yang bopong. Di waktu-waktu ketika bukan percakapan mereka yang jadi pusat, dialog-dialog film ini terasa sangat tak-bernyawa. Eksposisi selalu tak terhindar dalam film sejarah, hanya saja mestinya bisa dikemas dengan lebih menarik. Pada Wage, dialog-dialog sejarah itu terasa disadur flat out dari buku sejarah. Kita tidak merasakan apa yang mereka obrolkan, situasinya tidak tergambar, emosinya tersampaikan dengan datar. Mereka kayak ngobrolin teks-teks di buku sejarah, tanpa ada bobot emosi yang meyakinkan di dalamnya.

Film ini juga gemar membangun sesuatu tanpa berujung apa-apa. Ada adegan rapat Kongres Pemuda lagi ribut membahas bahasa persatuan, dan mereka memainkannya lebih seperti kepada untuk tujuan humor – you know, bahasa-bahasa daerah saling cekcok, kan lucu tuh kedengerannya – lantaran kita tidak diberikan penyelesaiannya. Gak dibahas lagi.  Pertemuan Supratman dengan tokoh Prisia Nasution malahan hanya dibuild sekali – Prisia ngeliat Supratman main biola – dan kali lain kita melihat mereka, mereka sudah seperti pasangan. Dan Prisia tidak muncul lagi dalam adegan manapun setelah itu. Banyak aspek yang dibangun hanya untuk jadi latar belakang saja. Contohnya lagi ketika Supratman ngasih harga tinggi buat nampil di kafe, dia keren sekali saat menolak itu, tapi kemudian kita malah melihat dia tau-tau jadi jurnalis berita maling ayam. Katanya dia mulai bosan main musik. Aspek-aspek cerita didorong ke background, dan itupun tidak rapi keiket.

Adegan yang paling bikin aku penasaran adalah gimana mereka bakal nampilin debut Supratman dengan Indonesia Raya di Kongres Pemuda II, kalian tahu, adegan yang sering jadi pertanyaan saat ujian sejarah di sekolah. Build up menuju ke sana padahal bagus banget. Kita lihat Supratman dilarang begitu nada pertama mulai digesek. Kita melihat mereka membicarakan, menego agar bisa ditampilkan, dan akhirnya Supratman benar-benar berdiri di depan semua orang memainkan Indonesia Raya untuk pertama kali. Syaratnya satu; tanpa lirik. Kita semua tahu gimana kejadiannya di buku sejarah. Film lantas ngeclose up dawai, menunjukkan tetesan air, hal-hal yang jadi inspirasi Supratman mencipta. Dan ketika lagu tersebut actually dimainkan, kita mendengar lagu yang ada liriknya. I mean why? Kenapa gak musik aja seperti di kejadian nyata. Kan bisa juga nanti setelah itu baru dimasukin lagu berlirik. Seolah malah film ini sendiri yang gak yakin sama kekuatan musik. Seolah film ini gak yakin sama kekuatan Indonesia Raya tanpa lirik. Seolah film gak yakin penonton enggak tahu kalo itu adalah lagu kebangsaan jika tampil tanpa lirik.

 

 

Orang-orang akan lebih banyak menonton film Indonesia lain yang tayang barengan film ini. Padahal mestinya ini adalah film sejarah yang benar-benar penting untuk diketahui. Relevan dan juga baru banget, belum pernah ada yang mengangat sudut pandang lagu kebangsaan. Namun sepertinya sudah tiba waktunya bagi pembuat film biopik tanah air untuk mengerti (dan berani!) bahwa biopik enggak mesti menceritakan dari kecil. Bahwa mereka bisa saja mengambil satu peristiwa penting dalam sejarah dan memfilmkannya. Mereka bisa bikin sesuatu yang lebih menarik dan fokus jika misalnya mereka mengeksplorasi dari Kongres Pemuda Dua saja; bikin contained ruang tertutup kayak 12 Angry Men (1957) di mana selisih di adegan rapat dan Supratman berusaha lagunya dimainkan demi persatuan. Atau kalo memang mau bikin film noir, sudut pandang Fritz sebagai tokoh utama akan bisa lebih pas – karena tokohnya dengan gampang ditulis sebagai antihero yang terpengaruh oleh lagu Supratman, believe in him, tapi tetap memihak kepada Belanda. Ada begitu banyak yang bisa mereka lakukan, namun film ini memilih untuk tetap di jalur yang tak membawa perubahan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 god stars for WAGE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

KARTINI Review

19 Wednesday Apr 2017

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2017, biopic, drama, family, gadis sampul, history, indonesia, life, love, relationship, review, spoiler, thought, woman

“I know why the caged bird sings”

 

 

Bicara Kartini berarti kita bicara emansipasi. Perjuangan kesetaraan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, untuk menentukan pilihan, untuk mendobrak sistem patriarkal yang mengakar, dan terutama untuk mengatakan “Memang kenapa bila aku perempuan?”. Aku pikir kita semua udah tahu bahwa tinggal waktu saja kisah kepahlawanan Kartini ini jatuh ke tangan sutradara Hanung Bramantyo. Hanung paling demen ngegarap cerita yang protagonisnya berontak melawan sistem, dia paling jago memercik drama (dan, kalo perlu, sedikit kontroversi) kemudian memperkuatnya lagi dengan elemen yang relevan. Kartini dan Feminisme sangat cocok sebagai lahan Hanung.

Namun kali ini, lebih daripada mengandalkan sensasi – akan gampang sekali mengingat ide soal kepahlawanan Ibu Kartini sudah sering mendapat kontroversi di jaman modern ini – Hanung mengarahkan film biopik ini ke jalan yang lebih EMOSIONAL DAN MANUSIAWI. Dalam Kartini kita akan melihat karakter-karakter menjadi fokus utama. Kita akan melihat hubungan Kartini dengan keluarga, bersama kakak-kakak cowoknya, dan bersama kedua adiknya; Roekmini dan Kardinah. Kita akan melihat gimana Kartini berteman dengan Belanda yang menyemangatinya untuk menulis. Gimana dia mengisi hari selama masa pingitan sebagai persiapan menjelang mengemban status Raden Ajeng. Dan, yang paling personal baginya, gimana Kartini menyingkapi soal poligami, in which dia adalah produk dari – serta akan kembali jadi pemain dalam tradisi jawa tersebut. Urgensi datang dari Kartini dan adik-adiknya yang mengembangkan kerajinan ukiran Jepara, membuka sekolah bagi anak-anak pribumi, sementara sebenarnya mereka sedang menunggu waktu satu persatu ‘dipetik’ untuk menjadi seorang istri.

Dian Sastro apa Dian Iaya nih?

 

Ketika melihat trailer film ini untuk pertama kalinya di bioskop, aku merasa tertarik. Kalimat yang diucapkan Kartini di akhir trailer tersebut, tentang kebebasan ibarat burung, membuatku kepikiran kenapa film ini enggak dikasih judul Trinil aja ya? Dan setelah menyaksikan filmnya secara utuh, I still think that way; judul Trinil akan memberikan kesan yang lebih impresif dan benar-benar klop dengan ceritanya. Dalam review Surat Cinta untuk Kartini (2016) aku nyebutin cerita Kartini yang dipanggil burung trinil oleh ayahnya dalam majalah Album Ganesha Bobo. Kartini adalah pribadi yang enerjik, periang, punya bakat membandel, dan dalam film ini, begitu melihat Kartini dan dua adiknya nangkring di atas tembok, aku langsung menggelinjang; That’s her, that’s Kartini si burung Trinil yang aku baca waktu kecil!

Betapa menyenangkannya demi mengetahui diri kita sudah membuat perubahan hari ini. Dan that feeling alone harusnya udah bisa membuat kita terbebas dari boundary apapun yang memasung kita. Kartini, menyadari bahwa kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya bebas. Karena batas-batasan itu akan selalu ada, dan perjuangan sejatinya bukan untuk menghilangkan pembatas melainkan untuk membebaskan pikiran. Perjuangan Kartini adalah perjuangan gagasan, meskipun tubuhnya terkurung, gagasan positifnya akan terus terbang memberikan pengaruh positif kepada generasi demi generasi.

 

 

Kualitas produksi film ini top-notch sekali. Ini adalah film yang cantik. Gambarnya disyut dengan perhatian pada maksud dan detil. Set dan kostumnya sangat meyakinkan. Londo-londo itu terlihat classy sekaligus modern sebagai kontras dari pakaian bangsawan Jawa yang terlihat kaku dan mengurung. Kartini berada di tengah-tengah mereka. Kita memang enggak tahu seperti apa pembawaan Ibu Kartini aslinya, namun Dian Sastro udah pas meranin Kartini sebagai wanita yang berjiwa mandiri dan ‘pemberontak’. Tapi enggak exactly in a way kayak dia bilang “aku enggak butuh lelaki.” Ini adalah film yang membahas hubungan emosional yang terbangun. Motivasi Kartini adalah supaya dia, adik-adiknya, dan para wanita tidak perlu lagi capek berjalan-jongkok dan ‘latihan makan ati’ seperti yang dialami oleh ibu kandungnya. Supaya para wanita tidak hanya jadi pilihan melainkan bisa punya pilihan. Tembok pakem wanita-jaga-badan-dan-nunggu-kawin itu musti runtuh, begitu tekad Kartini. Semua itu tercermin dari gimana dia ‘menggembleng’ dua adiknya, yang oleh film ini diperlihatkan sebagai ‘murid pertama’ yang dimiliki oleh Kartini. Dian Sastro excels at playing this kind of role. Membuat kita ingin melihat lebih banyak tindak ‘pemberontakan’ Kartini. Kita akan melihat darimana asal tekad dan semangat Kartini, dan semua itu dimainkan dengan sangat heartwarming.

Hal berbeda yang dapat kita saksikan adalah Hanung memasukkan elemen imajinasi ke dalam cerita. It’s the power of books, people! Dengan membaca buku, kita bisa berkunjung ke mana saja kita mau. Adegan ketika pertama kali Kartini membaca buku adalah adegan yang sangat menyenangkan. Kita melihat dirinya melihat apa yang ia baca terwujud di depan mata. Sepanjang film, setiap kali Kartini membaca, entah itu buku ataupun surat balesan dari korespondensinya di Belanda, kita akan dikasih lihat visual Kartini sedang ngobrol dengan si penulis. It was shot very beautifully and actually menambah banyak hal buat pengembangan tokoh Kartini.

Tiga Gadsam foto buat cover lagi kaah? hhihi

 

Dengan jajaran pemain yang masing-masing saja kayaknya sudah pantes buat nulis buku sendiri tentang kepiawaian berakting, film ini enggak bisa untuk enggak menjadi meyakinkan. Lihat saja tatapan dingin Djenar Maesa Ayu, tapi masih terlihat bayangan mimpi yang kandas dari matanya. Pembawaan dan intonasi Deddy Sutomo yang terang-terang sedang conflicted antara acknowledging kemampuan putrinya dengan adat yang ia junjung. Aku bahkan ngakak ketika Kardinah bilang perasaannya enggak enak seolah ia tahu bakal dijodohin di akhir hari. Bahasa Jawa mereka sampaikan tanpa gagap. Kapasitas penampilan yang kelas atas membuat kadang beberapa musik dalam pengadeganan toh terasa sedikit eksesif. Maksudku, film ini sebenarnya bisa untuk enggak banyak-banyak masukin pancingan emosi karena setiap adegan, dari segi performances, sudah terdeliver dengan begitu compelling.

The bigger picture of this movie adalah gimana kehidupan Kartini bisa menginspirasi banyak orang, bukan hanya wanita. Namun, film ini masih kelihatan artificial ketika mengolah elemen-elemen dramatis. Kayak, film ini berusaha terlalu keras buat menghasilkan air mata dari penonton. Dibandingkan dengan porsi bagian cerita yang lebih ringan, menit-menit awal yang jadi set up terasa terlalu menghajar kita dengan emosi. Kita melihat Kartini kecil dalam momen yang menyedihkan, baik visual maupun tulisan mendikte kita untuk sedih. Kemudian narasi melompat dan kita dapat Kartini dewasa dengan segala attitude ingin-bebas. Ini masalah yang sama dengan pengarakteran Jyn Erso pada Rogue One (2016), di mana kita hanya melihat sad part of her childhood untuk kemudian kita melihatnya lagi setelah dewasa dengan kemampuan yang tinggi. Aku pikir akan lebih baik jika film ini mengajak kita untuk mengintip kehidupan sekolah Kartini kecil, you know, just to see seperti apa sih pintarnya Kartini itu hingga dikenal baik di kalangan meneer Belanda. Karena sepanjang film kita akan mendengar para tokoh ngereferensikan betapa pintarnya Kartini di sekolah.

Pun pada babak akhir kita akan merasa diseret oleh emosi. Tidak ada yang benar-benar menarik pada babak ketika sampailah giliran Kartini dilamar seorang Bupati. Kita semua – paling enggak kita-kita yang masih melek waktu pelajaran sejarah di sekolah – tahu tepatnya apa yang akan terjadi. Cara film ini bercerita mendadak kembali terlalu artifisial, sehingga adegan-adegan emosional itu rasanya kering. Pancingan-pancingan dilakukan, ada elemen sakit, ada tokoh yang jadi antagonis sekali, ada yang berubah baik hati, semuanya datang gitu aja, it did felt rushed. Banyak film yang enggak berhasil menjembatani dua tone narasi, dan film ini termasuk ke dalam kelompok film yang gagal tersebut. Alih-alih membahas dari perspektif yang lebih kompleks – dan film ini sebetulnya bisa melakukan itu – film ini lebih memilih untuk menyederhanakannya menjadi semacam pihak yang baik sama Kartini dan pihak yang jahat. Although, menarik gimana ‘yang jahat’ dalam film ini enggak necessarily adalah laki-laki.

 

 

 

Habis gelap terbitlah terang. Kemudian gelap lagi. Begitulah kira-kira garis besar menikmati film ini. Perbedaan antartone film ini sangat drastis, karenanya momen-momen dramatis yang kerap dihadirkan terasa artifisial. Set up film mestinya juga bisa diperkuat lagi karena gedenya toh apik tenan. Selain masalah tone dan hook yang dibuat terlalu pengen jadi dramatis, aku tidak melihat banyak masalah. Film ini  tahu ingin jadi apa, dan bekerja baik mewujudkan dirinya. Ia menyenangkan oleh interaksi antarkarakter. Potret penuh emosi dari kehidupan sosok pahlawan yang kita peringati setiap bulan April. Aku merasakan dorongan untuk keluar dari bioskop dengan berjalan jongkok just to pay my respect kepada pengorbanan perempuan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KARTINI.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Rudy Habibie Review

21 Thursday Jul 2016

Posted by arya in Movies

≈ 6 Comments

Tags

2016, biopic, comparison, drama, funny, indonesia, life, love, prequel, relationship, review, sequel, spoiler, thought

“Ask not what your country can do for you. Ask what you can do for your country.”

 

RudyHabibie-Poster

 

Sehabis nonton Habibie & Ainun tiga tahun yang lalu, I was pleasantly surprise. Film itu melebihi perkiraanku regarding masalah penceritaannya. They handled the romance well. Drama yang berhasil menjaga kualitas film itu sendiri dan juga nama besar Pak Habibie. Aku sampe ngasih rating tinggi loh, ini nih reviewnya. Kalo ada orang yang lebih gede dari negara, maka Habibie pastilah termasuk ke dalam golongan orang tersebut. Dengan kejeniusan dan prestasi dan kharisma yang beliau miliki, wajar dong kalo kita penasaran seperti apa sih masa muda mantan presiden ini.

Film Rudy Habibie, walau dikasih embel-embel Habibie & Ainun 2, sebenarnya hadir sebagai prekuel dari apa yang sepertinya direncanakan sebagai trilogi kehidupan Habibie. Film kali ini mengambil kisah seputar masa kuliah di Jerman. Kita akan lihat darimana beliau berasal, latar belakang desire-nya, apa yang mendasari pribadinya yang berbeda dengan banyak orang. Film ini mengupas tentang kehidupan Habibie muda -masih dipanggil dengan nama depan, Rudy- yang ingin mendirikan industri dirgantara di nusantara serta masalah-masalah pergaulan, percintaan, dan politis yang ia hadapi dalam mewujudkan keinginannya tersebut.

Production value Rudy Habibie was a top-notch. Bahkan penampakan adegan pembuka yang meledak-ledak cukup bisa dipercaya. Senjata utama film ini – yang aku yakin jadi alasan lahirnya sekuel-sekuel—adalah akting dari Reza Rahadian. Dalam film ini dia membuktikan penampilan yang konsisten. REZA UDAH KAYAK JOHNNY DEPP VERSI INDONESIA. Dia mampu memerankan banyak variasi karakter, dengan range emosi dan dalam genre yang beragam pula. Sosok Habibie yang di-portray olehnya menguarkan semangat yang bagai pinang dibelah dua dengan yang asli. Sebagai tokoh utama, Habibie yang diperankan Reza adalah ‘hero’ yang hebat. Compelling sekali. Dia harus membuat banyak pilihan, dia punya attitude sendiri. Tak ketinggalan juga pesona, Habibie tidak serta merta manusia yang mulia kayak dewa. Dia punya ‘bengkok-bengkok’ yang membuatnya menjadi tokoh yang menarik karena tak jarang mengundang tawa.

“kantuik balapuik!”

“kantuik balapuik!”

 

Film ini terasa lebih berwarna ketimbang Habibie & Ainun. Punya karakter-karakter pendukung yang lebih semarak, interaksi antara mereka sebenarnya cukup menyenangkan. Sayangnya sebagian besar masih terasa sebagai plot-device saja. Buktinya, ada karakter yang bolak-balik pindah kubu tapi tetap tidak terasa ngaruhnya apa. Chelsea Islan, yang kebagian peran jadi bule Polandia pecinta Indonesia, nunjukin kalo dia juga sanggup tackle peran yang gimana aja. Enggak salah memang The Palace of Wisdom menobatkan Chelsea jadi Unyu op the Year 2015 lalu hihihi (click here to see the complete awards). Ada satu lagi penampilan yang mencuri perhatianku, yaitu Verdi Solaiman yang jadi Romo Mangun. Singkat tapi adegan percakapannya dengan Rudy di gereja adalah salah satu momen terkuat di dalam film ini. Kita juga liat ada tokoh Presiden Soekarno dan Ainun muda, yang sama-sama for some reason enggak diliatin wajahnya. Aku jadi teringat Winter’s War kemaren yang cuma nunjukin sekilas punggung Putri Salju lantaran Kristen Stewart cukup waras untuk menolak tampil dalam film berantakan itu.

Aku suka gimana film ini menuliskan bagaimana mulanya Rudy bisa tertarik kepada pesawat. Ada konflik internal yang coba digali di sana, mengingat desa semasa kecilnya dihujani bom serangan udara. Film ini kayak gabungan elemen dari dua anime Studio Ghibli, Grave of the Fireflies (1988) dan The Wind Rises (2013). You know, sekuens pengeboman terus kehidupan pemuda dengan cita-cita bertema pesawat. Dan sesungguhnya itu enggak jelek. Rudy Habibie punya materi yang cukup untuk menjelma menjadi sebuah tontonan keluarga yang seedukatif, sama menyenangkan dan menarik. Namun Rudy Habibie ternyata FILM YANG AMBISIUS, dia merangkum banyak aspek cerita yang memang punya appeal buat penikmat film tanah air. Ada romansa, ada gencet-gencetan senior, dan tak ketinggalan masalah agama.

Menggunakan dan mengeksplorasi agama sebagai sebuah drama, Hanung Bramantyo -lah jagonya.

 

Dengan durasi panjang dan aspek cerita yang banyak – to my horror – film ini diarahkan untuk menjadi DRAMATIS TO THE MAX. Adegan sedih, bahkan sampai guyonan dan bagian-bagian yang motivational pun acapkali jatoh over-the-top. Sebenarnya ada beberapa yang kuat, kayak adegan gantiin bapaknya sebagai imam sholat. Adegan tersebut ikonik, kita belum pernah melihat yang semacam gitu sebelumnya, tapi presentasinya dibuat terlalu soppy. Pakek slow-motion, terus musik sedih genjer-genjer, seolah mengomandoi penonton harus merasakan perasaan yang bagaimana. Lebay. Film ini berusaha amat keras untuk membuat setiap sesuatu yang enggak sedih jadi berkali lipat emosional. Seolah mereka mengira kalo enggak pake musik atau perlakuan yang over, adegannya jadi kurang kuat.

Dan sudah jadi kebiasaan rumah produksi ini untuk memakai lagu soundtrack yang terus diulang-ulang sepanjang film. Adegan flashback-nya juga, adegan yang itu-ituu melulu. Menjengkelkan. Aku jadi penasaran pengen liat gimana sih perlakukan naskah dan wujud naskah sebuah film yang banyak adegan yang repetitif kayak gitu. Apa memang diketik lagi? Atau di-copy paste dari halaman sebelumnya aja? Bacanya bosen dong. Persis kayak musik jaman sekarang yang bisanya bikin lagu cumak dengan nge-loop suara.

Aku sampe enggak yakin lagi ini cerita tentang mata air atau tentang air mata.

Aku sampe enggak yakin lagi ini cerita tentang mata air atau tentang air mata.

 

Ada banyak rintangan yang menghalangi Rudy. Dia susah uang. Dia diremehin. Tidak ada yang berani membantunya karena dianggap tidak patuh negara. Agendanya kurang populer, semua obstacle datang silih berganti. Tapi the way this movie handles them, it is RATHER EPISODIC. Konflik-konflik terasa instan, baik kedatangan maupun penuntasan. Contoh gedenya adalah momen kenalan Rudy dengan Ilona, very abrupt. Makanya meski momen pisahnya dirancang tearjerker banget, kita tetap kurang sedih, plus fakta bahwa kita tahu Rudy akan berakhir dengan siapa.

Meminjam istilah filmnya, diliat-liat Rudy Habibie punya konstruksi ‘fakta1-masalah1-solusi1’ terus disambung dengan ‘fakta2-masalah2-solusi2’ dan yang ketiga, keempat, seterusnya. Enggak terasa begitu koheren dengan bigger picture yang berusaha diceritakan. KERJA TERBAIK FILM INI ADALAH SAAT MENGEKSPLOR PERSETERUAN POLITIS yang dihadapi Rudy sebagai ketua Perhimpunan Pelajar. Butuh waktu lama bagi kita untuk mengerti fokus cerita ini adalah tentang Rudy Habibie dan kecintaannya kepada tanah air. Kita bisa lihat terkadang Rudy tidak selalu sejalan dengan keputusan Pemerintah. Semua pilihan yang ia hadapi; entah itu soal ikut Ilona atau enggak, ataupun datang ke Praha atau enggak, tetep bikin seminar atau enggak, atau juga simply soal bikin ruang ibadah bareng teman dari negara lain, adalah main plot yang ngajarin di mana dia harus memposisikan diri, menjadi better man as ultimately Rudy dihadapkan dengan tawaran menjadi warga negara Jerman.

Patriostisme adalah membela negara setiap saat, dan mendukung pemerintah saat mereka berhak menerimanya. Kita harus membuka mata dan telinga. Warga negara yang baik bukanlah warga yang patuh kepada pemerintah. Warga negara yang baik adalah warga yang berpikir. Berpikir apa yang bisa dilakukan untuk negara.

 

 

Kisah hidup yang pantas untuk disaksikan siapapun yang punya KTP, bisa menginspirasi banyak orang untuk menjadi citizen yang baik. Untuk jadi pribadi yang bisa terbang tinggi kayak pesawat. Sandungan masalah film adalah konflik-konflik yang diolah dengan kurang koheren menyamarkan poin kuat dari penceritaan filmnya, not necessarily in a good way. Narasi yang terasa kayak berepisode membuat build-ups tidak bekerja dengan terlalu baik. Apa yang sebenarnya adalah suguhan penampilan akting luar biasa menjadi ada cela oleh arahan yang terlalu mendramatisasi segala kejadian. Sometimes it works, most of the times it doesn’t. Film ini mencoba menjadi sesuatu yang melawan kodratnya sebagai drama yang harusnya lebih menyenangkan. Kayaknya yang bikin ragu filmnya bakal galaku kalo enggak dibuat superdramatis. Lebih mudah dinikmati ketimbang film pertamanya, namun juga aku jadi enggak yakin aku bakal tertarik untuk ke bioskop saat film yang ketiga keluar.
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for RUDY HABIBIE

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Surat Cinta Untuk Kartini Review

21 Thursday Apr 2016

Posted by arya in Movies

≈ 2 Comments

Tags

2016, biopic, drama, fantasy, gadissampul, history, indonesia, life, love, periodpiece, review, thought, woman

“Treat me for just who and what I am.”

 

SuratCintaUntukKartini-Poster

 

R.A. Kartini adalah sosok ikonik yang melambangkan perjuangan wanita Indonesia. Kita semua tahu sejarahnya. Bagaimana Ibu Kartini memperjuangkan kesetaraan perlakuan dan derajat kaum wanita di tengah jaman penjajahan. Bagaimana Ibu Kartini mendirikan sekolah untuk anak-anak pribumi sehingga mereka bisa mengenyam pendidikan. Semua ada di buku.
Yang kita enggak tahu adalah seperti apa sih pribadi seorang Kartini. Diliat dari fotonya sepertinya beliau orang yang pendiam dan thoughtful. Sambil duduk nunggu studio nya dibuka, aku jadi teringat majalah favoritku waktu kecil. Nama majalah itu Album Ganesha Bobo, sayang sekarang udah enggak terbit padahal isinya bagus banget. Ada rubrik khusus tentang kehidupan bermacam tokoh sejarah yang diceritakan dalam bentuk komik, full color pula! Di majalah itu aku pernah baca, Kartini digambarkan sebagai seorang anak yang periang, aktif, kerjaannya manjat-manjat pohon. Enggak bisa diem hingga ia dijuluki burung Trinil oleh ayahnya.

So I was excited going into this movie. Aku gak sabar pengen lihat Kartini nya ditulis seperti apa. Salah satu dari yang kusuka dari Guru Bangsa:Tjokroaminoto (2015) adalah banyaknya kehadiran tokoh-tokoh ‘free-spirit’ yang enggak ‘bertanggung jawab’ terhadap alur sejarah. Dan ternyata, to my favor, Surat Cinta Untuk Kartini dibuat dari sudut pandang tokoh-tokoh bebas ini! Tokoh utamanya adalah tukang pos duda bernama Sarwadi, yang menjadi begitu tertarik dengan sosok Kartini setelah satu kali ia mengantar surat ke kediaman putri nigrat Jepara tersebut. Film ini membuat kita sama penasarannya dengan Sarwadi terhadap Kartini. Dia jadi ngebet pengen berjumpa dengan Kartini lagi. Ngantar-ngantar surat jadi alasan utama bersua. Sampai-sampai Sarwadi membawa Ningrum, putrinya, untuk belajar kepada Kartini.

Inilah yang terutama bikin aku suka sama film ini. THIS WAS A PSEUDO-BIOPIC.  Kisah fiksi berdasarkan sejarah. Bukan hanya menceritakan siapa Kartini, tapi juga membahas tentang bagaimana ide dari seorang Kartini mempengaruhi banyak orang lain. Bagaimana orang jatuh cinta kepadanya, gimana orang-orang menjadikan beliau inspirasi. Ini adalah cerita yang emosional dan menyentuh. A vibrant of characters.

Abis surat terbitlah kode.

Abis surat terbitlah kode.

 

Sebagai sebuah period piece, visual film ini direncanakan dengan matang. Banyak benda di luar zona waktu kita berseliweran, memperkuat kesan tahun 1903an.

Kita melihat Kartini dari mata Sarwadi. Orangnya cantik, misterius, rebellious, dan hey dia juga dipanggil Trinil. Film ini dengan lihai memasukkan data historis sebagai penunjang cerita. As for the performances, Rania Putrisari berhasil merefleksikan segala pesona dan trait Kartini dalam debutnya ini. Seneng deh ada satu lagi finalis Gadis Sampul yang menembus layar gede. Shot Kartini sedang menulis “Habis Gelap Terbitlah Terang” menjelang akhir film sungguh fenomenal. Kartini versi Rania punya senyum tiga-jari yang bukan hanya menangkap hati Sarwadi, tapi juga hati kita-kita yang nonton. Paling menonjol jelas adalah Sarwadi yang dimainkan oleh Chicco Jerikho. Sebagai tokoh utama, karakter ini punya wide array of emotions. Kadang dia komikal, kadang meledak begitu masalah-masalah yang tidak ia mengerti terlalu membebaninya. Ini adalah penampilan terbaik Chicco yang pernah aku saksikan.

Mengenai masalah yang tidak dimengerti, aku juga punya beberapa regarding this movie. Meski memang aku suka dengan cara narasi film ini beranjak, lewat cerita seorang guru kepada murid-muridnya, it was playful, ngingetin sama The Book of Life (2014) sih, tapi buat film Indonesia ini suatu langkah yang seger. Ini adalah film drama romansa, I get that, tapi pendekatan yang diambil dari sudut pandang pria yang jatuh cinta kepadanya seperti begini, kindof membatasi peran Kartini. Kepentingannya seolah terkurangi. Kita tahu Kartini terkenal karena ke’aneh’annya, literally tokoh yang diperankan Ence Bagus bilang demikian, namun kita enggak pernah benar-benar melihatnya. Kita tidak cukup diberi bukti seperti apa sih Kartini yang kuat itu? Kita dilihatin kepada Kartini secara personal justru saat dia dicap enggak mau membela hal-hal yang sudah ia perjuangkan oleh Sarwadi. Di awal malah Kartini curhat dia ingin ngajar tapi gak punya tempat, lalu semua masalahnya hilang berkat pilihan-pilihan Sarwadi yang jadi pusat cerita. Dan murid-murid TK di opening cerita itu, mereka protes dengar cerita dari Ibu Guru dan baru anteng setelah Pak Guru datang membagi sebuah cerita yang lain daripada yang lain.

Untuk sebuah film yang menyinggung soal kesetaraan, film ini masih pro pria dan masih memandang wanita sebagai makhluk yang layak untuk diselamatkan.

 

Melepaskan diri dari tradisi dan adat istiadat. Memperjuangkan kelas sosial. Kisah cinta rekaan antara Sarwadi dan Kartini mencoba menyentuh kita lewat perbedaan keadaan hidup yang mereka hadapi pada saat itu. Formula yang terbukti ampuh sebagai emotional core dari cerita. Keinginan Kartini untuk bikin sekolah, keinginan Sarwadi mencari ibu bagi Ningrum anaknya. Tantangan demi tantangan mereka hadapi, they were personal dan dieksekusi dengan baik sehingga kita menjadi peduli. Anehnya (atau hebatnya) film ini adalah mampu membuat kita root untuk Sarwadi dan Kartini bersatu meski kita sama-sama tahu cerita ini tidak akan berakhir seperti itu. Ada sejarah yang harus dipatuhi.

Mungkin ini sebabnya Surat Cinta Untuk Kartini terasa episodic. Kejadiannya kayak lepas-lepas. Kita bisa keluar studio sebentar kemudian masuk lagi dan tetap bisa mengikuti cerita karena satu adegan tidak banyak berdampak terhadap kejadian di adegan lain. Film ini enggak yakin mau memperlakukan ceritanya seperti apa. Sekali waktu mengambil rute komedi, dengan sakit galau nya Sarwadi, misalnya. Lain kesempatan, sangat menyentuh sehingga kita enggak berani bilang film ini cukup lucu.
Atau untuk memperlakukan wanita, for that matters. Ingin memperlihatkan kekuatan wanita namun masih banyak tokoh cewek nya yang tiang garam. Berdiri saja; untuk terlihat manis, atau sebagai obvious plot device. Kedua adik-adik Kartini bahkan enggak dapat penggalan dialog yang berarti. Ningrum yang di akhir berkembang cukup mengejutkan, literally awalnya jadi alat biar Sarwadi bisa dekat dengan Kartini.

 

 

Memberikan warna baru dalam penceritaan sejarah, at times film ini menarik untuk disimak. Sebuah tontonan drama cinta yang enggak ada salahnya untuk ditonton bersama ibu, apalagi tayangnya tepat di Hari Kartini. Akan tetapi untuk sebuah cerita tentang tokoh yang menyuarakan kesetaraan gender dan kekuatan wanita, film ini terlalu berdilly-dally hanya untuk sampai pada kesimpulan di depan wanita yang kuat masih ada pria kuat yang mempercayainya. Film ini seolah menjerit meminta kita untuk memperlakukannya sebagai apa adanya, hanya saja kita tidak pernah dibuat yakin bagaimana.
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for SURAT CINTA UNTUK KARTINI.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember in life, there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Jenderal Soedirman Review

30 Sunday Aug 2015

Posted by arya in Movies

≈ 2 Comments

Tags

2015, action, biopic, drama, family, history, indonesia, politic, review, thought, war

“All war represents a failure of diplomacy.”

 

JenderalSoedirman-Poster

 

Bergerak diam-diam, hit-and-run, menggunakan element of surprise adalah cara paling tokcer dalam menyerang oposisi yang punya advantages lebih dari kita. Batman adalah yang pertama terpikirkan ngomongin soal taktik begini. Or you would think high of yourself kalo kamu udah namatin game Assasin’s Creed. Sesungguhnya itu semua bukan apa-apa dibandingkan sosok pahlawan jenderal besar yang namanya udah diabadikan jadi nama jalan gede di kota-kota tanah air kita. Tokoh yang udah bikin Belanda bingung dengan siasat kucing-kucingannya. Bapak Gerilya Sedunia; Jendral Soedirman.

 

Buat yang gak apal-apal pelajaran sejarah atau rajin tidur di kelas,

“…must… help….. Leo Dicaprio…ngrokZZzzzz”

“…must… help….. Leo Dicaprio…ngrokZZzzzz”

Soedirman adalah tokoh pahlawan nasional yang memilih untuk berjuang masuk hutan saat Agresi Militer Kedua oleh Belanda. Sebagai seorang soldier, Beliau enggak sudi untuk ngikut Presiden Soekarno bertempur di balik meja sama kumpeni gitu aja. Film Jenderal Soedirman ini menceritakan just about that. Tentang perjuangan yang Jenderal Soedirman lakukan di dalam hutan bersama pasukannya- yang berjumlah dan bepersenjataan kurang dari Belanda. Tentang struggle demi kemerdekaan dan ideologi. Juga tentang konflik batin yang pasti selalu ada dialami oleh para tokoh-tokoh setiap cerita peperangan. It’s not merely a flat-out biopic, dan itulah yang aku suka dari film ini.

Durasi dua jam terbayar cukup lunas dalam nyeritain pergolakan yang dialami oleh, bukan hanya Soedirman dan pihak Indonesia, pihak Belanda as well. Aku suka gimana filmmaker points out persamaan yang dimiliki oleh Jenderal Soedirman dan General Spoor. Dan pay-off nya di akhir cerita- saat Beliau mulai menerima bahwa victory lebih penting dari posisi, bahwa perang terjadi justru karena kegagalan dalam berdiplomasi- it was so good dan carefully directed. Semua yang terjadi saat final scene tersebut; adegan Presiden minta difoto ulang-Jenderal dipeluk lagi, perfectly menutup cerita dengan strong, ninggalin penonton with so many emotions.

“saya kembalikan jabatan panglima tertinggi” *merindiiingg gaes*

“saya kembalikan jabatan panglima tertinggi.” *merindiiingg gaes*

 

Film ini juga bukan hanya sekedar reenactment sejarah. That would be boring. Kita diajak juga untuk mengenal beberapa orang pasukan Jenderal Soedirman yang udah ikut berjuang bersama Beliau di hutan. Kehadiran tokoh-tokoh yang aku sebut free-spirit itu (see my Guru Bangsa Tjokroaminoto review here) sukses bikin kita makin masuk ke dalam cerita. Tokoh-tokoh yang ga ada dalam sejarah ini lebih mudah to relate to dan ngasih tone ringan yang acceptable in order to drive cerita ke cahaya yang gak begitu serius. Si Karsani misalnya. Aku bahkan ga tau siapa yang meranin tapi he was there to play with our emotions. Efektif, meski kadang delivery dan jokes nya over the top.

Yea, there are major acting problems on this movie. Lebih banyak miss dibanding hit. Baim Wong meranin Presiden Soekarno adalah satu dari sedikit hit yang aku rasakan, while Nugie dan Mathias Muchus enggak begitu berdampak meranin Bung Hatta dan Tan Malaka respectively. Aktor bulenya was so-so. Namun yang paling enggak cocok adalah Adipati Dolken, yang tampak terlalu ‘mulus’ memerankan pejuang kelas kakap semacam Jenderal Soedirman. They do need starpower supaya bisa bikin penonton remaja tertarik mengikuti cerita sejarah, dan Adipati adalah satu dari bintang remaja top saat ini. Hanya saja peran Soedirman terasa terlalu tinggi buatnya. Muka memandang ke depan, suara diberat-beratin, butuh lebih dari itu untuk menciptakan karakter Soedirman yang kharismatik. I dunno, mungkin tata riasnya yg kurang atau apa, ada shot yg ngeliatin punggung tangan Soedirman sekilas; it was too clean. Begitu juga dengan pemeran lain. Penampilan mereka kurang mencerminkan pejuang yang udah spent great amount of time di dalam hutan. Enggak ada banyak perubahan dari adegan mereka masuk hutan sampai keluar lagi.

Banyak yang dihadapi Soedirman dan anak buahnya di dalam sana. Berlindung dari serangan bom dari udara oleh pesawat CGI (yang cukup seru btw). At some point, bukan saja Belanda yang harus mereka waspadai. Kelaparan, kedinginan, bahkan krisis kepercayaan juga menghantui perjuangan mereka. Film ini sayangnya hanya sekilas menyinggung hal-hal tersebut. Menurutku itu merupakan wasted opportunity fatal, karena cerita seharusnya bisa dibikin lebih dalem lagi jika semua itu dikembangin maksimal. The themes were there, but they just didn’t give much exploration for those. Tentang keraguan beberapa anak buah untuk terus ikut berjuang, misalnya. Atau sedikit psikological approach nyeritain tentang pengkhianat di antara mereka, pasti bakal jadi subplot yang menarik. Dan bisa buat ngembangin sisi manusiawi Jenderal Soedirman sendiri. Lagi sakit, memang, I’d say Soedirman harusnya bisa tampil lebih berpengaruh daripada cuma batuk-batuk dan sembunyi berdoa biar enggak ketahuan.

I guess it’s safe to say that we all want to see sepak terjang Soedirman lebih banyak

I guess it’s safe to say that we all want to see sepak terjang Soedirman lebih banyak

 

Gerilya esensinya adalah serang dan sembunyi bukan karena takut, melainkan karena penuh perhitungan. Begitu juga diplomasi; dipilih bukan karena takut atau enggak percaya kepada kekuatan sendiri, diplomasi adalah langkah yang diambil dengan penuh perhitungan demi menghentikan peperangan. The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 Bintang Tanda Jasa buat Jenderal Soedirman.

 

 

 

……Anyway, aku jadi kepikiran kisah pejuang dan pahlawan kita kan saling tied-in, tuh, satu sama lain. Film ini sendiri, secara timeline, takes place setelah event di film Tjokroaminoto. Keren kali ya, kalok cerita perjuangan kita dibikin ala-ala Avengers gitu, jadi nanti tokoh-tokoh kemerdekaan itu beraksi di satu film bareng hahaha…..

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

We be the judge.

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Guru Bangsa Tjokroaminoto Review

11 Saturday Apr 2015

Posted by arya in Movies

≈ 5 Comments

Tags

2015, biopic, culture, drama, hero, history, indonesia, politic, review

“Growth is painful, change is painful, but nothing is as painful as staying stuck somewhere you don’t belong.”

 

badancokro1

 

Sebenarnya saya pengen iri sama anak sekolahan jaman sekarang (lucu ya, iri kok pengen..). Mereka punya berbagai macam media yang bisa digunakan sehingga belajar bisa menjadi kegiatan yang fun. Film misalnya, bisa banget dipakek untuk bermacam-macam pelajaran; bahasa, ilmu alam, ilmu sosial, dan tentu saja sejarah. Sesuatu yg dulu sering saya lamunin saat guru sejarahku ngedongeng di kelas, “Ah that would be easy kalo ceritanya dipentaskan.”
Pengen iri, tapi kenyataannya malah miris. Saat nonton Guru Bangsa Tjokroaminoto kemaren, selain saya studionya hanya diisi oleh delapan orang yang semuanya jauh lebih tua daripada saya. Dalam bayangan saya, harusnya banyak pelajar yg rebutan nonton ini. Semangat ’45 menyaksikan sejarah yg mereka pelajari di buku dihidupkan kembali. Ke mana mereka? Oh, ternyata yang muda-muda itu lagi sibuk antri mau nonton film hits. Penasaran pengen liat akting terakhir si anu, kata mereka. Little did they know, di film yang saya pikir wajib mereka tonton ini ada (salah satu) penampilan terakhir dari seorang seniman besar yang lebih dekat dengan kita.
B9x_3gBCYAAL-mc
R.I.P. Alex Komang

 

 

Selain almarhum, jajaran pengisi peran di dalam film ini memang bukan main-main. Sebut saja Reza Rahadian yang kebagian peran sulit meranin Sang Guru Bangsa himself. Sulit karena I think Reza kali ini harus memainkan peran dari nol, mengingat rasa-rasanya gak ada yang tahu persis seperti apa pembawaan Tjokroaminoto yang sebenarnya. Di film ini, beliau tergambar sebagai sosok yg tegas dan lantang, kharisma dewa, berani-not everyone sees his way but he always stand up for his belief, dengan tetap memperlihatkan sisi vulnerable begitu sudah menyangkut keluarga dan “sudah sampai di manakah hijrah kita?”.
Di film ini juga ada Christine Hakim, Sudjiwo Tedjo, Chelsea Islan, Deva Mahenra, Tanta Ginting, Ibnu Jamil, Ade Firman Hakim, Alex Abbad, Putri Ayudya, para bule Belanda, dan pemeran pendukung lain yang menampilkan akting terbaik mereka.

Tjokroaminoto digarap dengan sangat serius, hasilnya; film ini berhasil bercerita dengan sangat baik. Setting nya jadul abis, membuat kita mudah membayangkan beneran lagi melihat Surabaya di jaman penjajahan. Durasi yang sepanjang film India dan alur mengalir lambat itu enggak menjadi masalah buat bisa mengikuti cerita film ini dengan khusyuk. Karena sutradara segede Garin Nugroho ini sepertinya memang tahu betul apa yg dia lakukan. The plots are build up with nice pay-offs at the end, misalnya metafora kapas di awal yang sukses bikin terenyuh penonton di akhir kisah. Treatment film ini juga dilakukan dengan magnificent. I can’t figure it all, karena ada begitu banyak fun things yang bisa ditonton dalam film ini, yang enggak bisa saya ingat semua dalam sekali lihat. Dialog, lokasinya, posisi dan gestur para pemain, saya tahu itu semua mewakili satu makna tertentu.
CYMERA_20150411_170928

 

Perjalanan hidup Tjokroaminoto tak lepas dari kata ‘hijrah’. Berpindah dari suatu kondisi ke kondisi lain yang lebih baik. Demikian prinsip Pak Tjokro dalam usahanya meningkatkan status dan kepentingan rakyat di tengah-tengah rezim penjajahan Belanda, dengan tidak melupakan keluarga tercintanya. Hidup dimulai dari Basmallah, titik, dan terus berkembang menjadi bentuk-bentuk yang lebih kompleks, begitulah kata seni batik. Mendirikan Serikat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Serikat Islam, kita semua tahu apa yang sudah beliau lakukan demi bangsa ini. Belanda aja pada segen, kok. Ekspektasi pertama saya adalah ceritanya bakal fokus ke ‘pemberontakan’ dari murid-muridnya saja (I certainly would love a movie about that too!). Film ini membahas rapi semua yang dilakukan HOS Tjokroaminoto sampai saat dia ditangkap Belanda. Yang paling menggelinjang buat saya adalah fakta bahwa Tjokroaminoto adalah orang yang sudah membimbing tokoh-tokoh besar di negara ini. I found it was so cool beliau adalah bapak kos bagi mereka. I was also enjoy menebak-nebak siapa meranin tokoh yang mana. Revealing di epilog film bakal bikin malu orang-orang yang pengetahuan sejarahnya cetek kayak saya ini. Dan Soemaun, gilak I think he was perfectly portrayed sebagai pemuda yang benar-benar ‘mengerikan’, we can sense some darkness the moment we laid eyes on him. Salut buat yang meranin tokohnya! Sedangkan buat Belanda, well I kinda feel them pas salah satu panglima nya ‘curhat’ di awal-awal film haha.

 

Adegan favorit saya tentu saja adegan joget Terang Bulan itu. So out of place, but also so playful. Juga ada scene lagu-lagu lain, opera, dan puisi-puisi. Film ini menyenangkan seperti itu!
Yang bikin tambah menarik adalah hadirnya karakter-karaketr yang saya sebut ‘free-spirit’, kayak Stella, Bagong, Mbok Tun, dan Si Dasi Kupu-Kupu. Mereka ini adalah karakter fiktif yang enggak terikat sejarah. Mereka ada sebagai simbol dan jembatan buat kita yang nonton. They represent us, mereka mewakili rakyat beserta konflik yg sertamerta muncul bersamaan dengan peristiwa2 penting yang terjadi.
hqdefault

 

 

Film sejarah belum pernah semenarik ini while it did manage to stay accurate. Tapi mungkin saya harus narik napas dulu sebelum nonton film ini untuk yang kedua kalinya. Enggak segera. Tapi saya pasti akan tonton lagi.
Ayo dong hijrah dari tontonan ‘komedi omong’ ke yang enggak sekadar ngomong!!

The Palace of Wisdom gives epic 8 out 10 golden stars for Guru Bangsa Tjokroaminoto.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners
….and there are losers.

 

We be the judge.

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

Recent Posts

  • STAND BY ME DORAEMON 2 Review
  • Elimination Chamber 2021 Review
  • WRONG TURN Review
  • MONSTER HUNTER Review
  • JUDAS AND THE BLACK MESSIAH Review
  • MALCOLM & MARIE Review
  • DON’T TELL A SOUL Review
  • EARWIG AND THE WITCH Review
  • ALL MY FRIENDS ARE DEAD Review
  • SAINT MAUD Review

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought thriller

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • Di hari pernikahannya, Nobita Dewasa malah menghilang! Tentu saja ini membuat Doraemon dan Nobita di masa kini berg… twitter.com/i/web/status/1… 10 hours ago
  • @EmirAuliya Some say Big Show nya yg turn heel kepada WWE hahaha Good for him tho.. mungkin dia udah lama kepengen… twitter.com/i/web/status/1… 17 hours ago
  • @dysanaufar 'Big Surprise' xD 18 hours ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Blog at WordPress.com.

Cancel

 
Loading Comments...
Comment
    ×
    loading Cancel
    Post was not sent - check your email addresses!
    Email check failed, please try again
    Sorry, your blog cannot share posts by email.
    Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
    To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
    %d bloggers like this: