LICORICE PIZZA Review

“Aren’t grown up people just little children at heart?”

 

 

Selama enggak masalah sama adegan perempuan dewasa memperlihatkan dadanya kepada cowok remaja, atau sama candaan berbau rasis, Licorice Pizza memanglah sebuah tontonan kisah cinta sepasang darah muda yang manis. Dan untuk sebagian besar waktu, film ini tidak membesarkan dirinya lebih daripada tentang itu. Buatku, romance komedi bersetting di sebuah kota dalam bayang-bayang 70an ini adalah yang paling less-urgent di antara sepuluh nominasi Best Picture Oscar 2022. Karena pesonanya yang terletak pada cinta dalam bingkai personal, bukan pada menelisik kejadian-sekarang dan agenda-agenda yang relevan. Film ini lebih terasa seperti fantasi, atau ingatan ke masa muda, like, menontonnya seperti mendengar seorang teman yang menceritakan pengalaman cinta pertama yang sampai sekarang terus membara. Licorice Pizza dibuat seperti rayuan manja yang mengajak kita memanggil kembali jiwa muda yang masih ada di dalam sana, yang gak akan pernah pergi meskipun kita semua merasa sudah waktunya untuk bertumbuh. 

Paul Thomas Anderson selaku penulis naskah dan sutradara memang menyusun narasi Licorice Pizza ke dalam bentuk yang terasa seperti per episode, seolah sedang merekoleksi memori. Gary bertemu dengan Alana di sekolah, tapi mereka bukan teman sekelah. Mereka bahkan enggak seumuran. Alana saat itu lagi kerja, jadi asisten tukang foto untuk sekolahannya Gary. Seperti layaknya cowok remaja yang curious sama kakak-kakak cantik, Gary langsung naksir Alana. Dia bahkan malam itu bilang ke adiknya bahwa dia telah menemukan perempuan yang bakal jadi istrinya. Jadi, Gary terus mengejar Alana. Alana yang nyadar gap-umur, berusaha untuk gak nunjukin perasaan, tapi toh Alana selalu ada bersama Gary. Mulai dari jadi ‘babysitter’nya hingga jadi rekan bisnis kasur-air yang dibangun Gary. Di sinilah kesan ‘episodik’nya itu dimulai. Mereka berdua akan bertemu berbagai macam orang, yang bakal bikin hubungan mereka naik-turun, karena tentu saja akan ada cemburu-cemburuan juga di sana.

pizzaimage-w1280
Dan bakal banyak sekali lari-larian

 

Feeling yang dihasilkan memang begitu otentik. Dunia 70an itu ditangkap lewat lensa dan pencahayaan yang mainly consist of semburat keemasan, sehingga benar-benar terasa mewakili era lampau yang dikenang dengan nuansa fantasi. Setting waktu tersebut juga sangat mewarnai narasi. Suasana politik, kebiasaan masyarakat, keadaan ekonomi, hingga tren kasur air itu sendiri semakin menghidupkan dunia tempat para karakter berinteraksi. Tentu saja gak cukup hanya di panggungnya saja. Para karakter itu sendiri juga dihidupkan dengan maksimal. Dua karakter sentral, Gary dan Alana, haruslah natural dan punya chemistry semempesona dunia mereka. Anderson mempercayakan leads-nya ini kepada dua aktor yang sama sekali belum pernah berakting di film-panjang. Dan baik itu si Alana Haim (penyanyi pop yang memboyong keluarganya untuk memerankan Alana dan keluarga di dalam cerita) maupun Cooper Hoffman (putra dari mendiang aktor Philip Seymour Hoffman) benar-benar membuktikan bahwa Anderson bukanlah sedang gambling; melainkan membuat sebuah investasi tajam nan teruji. Akting mereka berdua sungguh meyakinkan, hampir seperti merekalah karakter tersebut. 

Gary orangnya supel, temannya banyak, ‘pengagumnya’ juga. Gary dikenal bukan saja oleh sepantarannya, tapi juga oleh orang-orang yang lebih dewasa. Pembawaannya memang lebih dewasa dibanding umurnya. Beda ama Alana yang lebih tertutup, ketus, belum pernah pacaran, penuh keinsecurean, di umur yang sepuluh tahun lebih tua itu galau dan cemburunya bisa melebihi anak remaja seusia Gary. Dinamika mereka memang bersumber dari jarak umur tersebut. Tapi naskah tidak membuat kita mempertanyakan mereka akhirnya jadian atau enggak. Itu sudah diestablish sejak menit-menit pembuka. Tidak ada pertanyaaan; mereka berdua saling suka. Naskah film ini adalah soal drama yang mereka ‘pilih’ untuk lalui walaupun mereka saling suka. Bahwa mereka kidding with their feelings, atas nama bertindak dewasa. Akting dan karakterisasi mereka, aku apresiasi. Namun I just can’t love them seperti seharusnya seorang penonton film kepada karakter cerita. Karena fokus narasinya tersebut. Ceritanya yang dreamy dan fantasi, tapi bukan tentang bagaimana mewujudkannya menjadi nyata – bisakah hubungan tersebut jadi nyata. Melainkan udah fixed, gak ada ruang pertanyaan lagi di cerita ini. Persoalan hubungan yang mestinya ‘bermasalah’ tersebut dianggap gak ada gitu aja.

Iya, mungkin aku sedikit iri sama Gary dan Alana. Jika gender-rolenya dibalik, they were me. Di dunia nyata jika dibalik, hubungan seperti Gary dan Alana tidak akan dianggap sweet dan keren. Yang ada malah akan dituduh mau ‘grooming’, pedo, dimarahin ortunya, ataupun hal-hal lain yang bisa diantagoniskan sebagai konten Tiktok. Gary dan Alana sama sekali gak genuine buatku karena gak bakal begitu di dunia nyata. Tapi mungkin juga di situlah poinnya. Semua akan berbeda, tergantung gender yang melakukan. Tergantung sudut pandangnya. Nah di sinilah masalah film ini buatku. Sudut pandang atau perspektif dari Gary maupun Alana tidak pernah digali dengan luas. Mereka tidak kita kenal di luar romance atau perasaan cinta mereka. Gary praktisnya tidak punya development. Karakternya sama dari awal hingga akhir, dia tidak perlu membuktikan diri dia bisa dewasa, karena dia sudah seperti itu sejak cerita dimulai. Dia tidak pernah menganggap jarak umur mereka sebagai masalah. Dengan begitu, karakter ini jadi tidak ada mengalami pembelajaran.

pizza5902
It’s my dream, (Tho) Mas. Not her!

 

Jadi, tinggal si Alana. Perlu diingat, ini bukan kayak cerita drama cinta yang si jutek akhirnya luluh dan jatuh cinta kepada yang terus memberikan perhatian kepadanya. Alana sedari awal sudah tertarik, cuma dia enggak menganggap Gary dengan serius karena dia menganggap Gary masih bocah. Ada beberapa kali adegan Alana menyipitkan mata, melihat Gary yang bahkan belum bisa nyetir itu gak ngerti politik ataupun situasi ekonomi. Plot dan pembelajaran Alana adalah dia akhirnya menyadari bahwa umur itu cuma angka. Kedewasaan sikap dan kematangan mental gak tercermin di umur. Dia harus ngakui bahwa dia bisa lebih ‘bocah’ ketimbang Gary. Untuk mencapai pembelajaran tersebut, film tidak ngasih jalan lewat eksplorasi dalam-diri si Alana, melainkan dari luar. Dari karakter-karakter pria dewasa yang ia temui – yang ternyata jauh lebih parah ketimbang Gary. Dan itu bukannya Alana gak aware sama sikap para cowok. Alana ini pinter. Tapi somehow dia kayak desperate. Dia cuek aja sama male gaze ataupun sikap merendahkan lain. Dia slow aja bikinian sendiri di tengah pesta yang semua orang berpakaian lengkap. Flirtation alias tarik ulurnya kepada Gary membuat karakter ini jadi gak konsisten. Ditambah dengan Alana gak pernah berinteraksi dengan orang untuk dirinya sendiri (di luar berkaitan dengan Gary), karakter Alana ini jadi dangkal dan annoying buatku.

Tapi dari Alana ini kita bisa menyimpulkan bahwa film memang ingin memperlihatkan bahwa umur tidak pernah jadi soal. Hanya angka. Semua orang punya sisi kekanakan dalam dirinya. Betapapun jauhnya kita bertumbuh, menjadi diri yang ‘baru’ dengan tempaan pengalaman dan sebagainya, bisa kembali ke sisi ‘anak’ di dalam diri merupakan kenyamanan tak terhingga. Inilah kenapa Alana akhirnya lari kembali kepada Gary, dan sepenuhnya menerimanya. Dan ngomong-ngomong soal lari, film ini memang menyimbolkan perasaan bebas khas anak-muda tersebut dengan adegan-adegan berlari.

 

Permasalahan drama cinta selalu sama. Film tidak berhasil ngasih alasan kenapa sepasang karakter sentral itu harus berakhir jadian. Licorice Pizza ngeskip ini gitu aja, walaupun dalam cerita seperti ini pembelajaran barulah akan ada dan terasa kuat bagi dua karakter jika mereka enggak berakhir bersama. Enggak lagi menarik menonton tarik ulur anak remaja dengan orang dewasa. Maka keputusan film bercerita dengan episodik jadi tepat, untuk konteks pengembangkan minimalis seperti ini. Makanya cameo-cameo dalam film ini selalu jadi scene-stealer. Bukan semata karena mereka diperankan aktor gede seperti Sean Penn, Bradley Cooper, atau Maya Rudolph. Tapi karena Gary dan Alana tidak ada atau minim sekali perkembangan. Peran-peran kecil para aktor gede tersebut jadi suntikan fresh, yang bikin kita ‘melek’ lagi setiap kali Gary dan Alana mulai terasa repetitif. Penonton mengapresiasi mereka di atar peran yang seksis ataupun candaan yang problematis. 

Orang-orang banyak menghujat Don’t Look Up (2021) karena komedi receh yang diperankan aktor ternama yang main di situ. Walaupun komedinya tepat menyinggung keadaan di era pandemi, orang-orang tetap menganggapnya trying too hard. Dan memilih untuk gak mengakui kepintaran penulisannya. In short, people just hate it meskipun recehnya itu gak menyinggung kecuali tepat konteks dan sasaran. Aku menganggap sikap orang-orang itu aneh, karena di film Licorice Pizza ini tak kalah banyaknya karakter-karakter receh yang dimainkan aktor gede, dengan joke yang actually benar-benar menyinggung seperti soal rasis untuk orang Jepang dan sebagainya. Kenapa Licorice Pizza ini gak dapat ‘hujatan’ yang sama? Menurutku malah harus lebih lagi, karena sekalipun karakter itu juga memainkan sindiran terhadap dunia 70an, tapi jika dipertahankan untuk ditonton dan jadi lelucon di tahun sekarang, ya itu baru namanya too hard buat jadi lucu. Film ini mengadakannya hanya karena hal tersebut ada sesuai ingatan pembuat, dan inilah yang mengurung naskah dan karakter, membuatnya jadi tak bisa berkembang. 

 

 

 

Jadi sebenarnya film ini bukan tentang kisah menjadi dewasa, melainkan kisah terus menjadi remaja. Ceritanya sendiri benar-benar seperti rekoleksi ingatan manis tentang cinta di masa muda. Film ini keren dan hidup sekali dalam menggambarkan perasaan. Baik itu perasaan tentang dunianya, maupun perasaan cinta yang dirasakan karakternya. Hanya saja, cuma perasaan cinta itu saja yang dipunya dan terus digali. Karakternya seperti gak punya concern lain di luar flirt dan bikin cemburu-cemburuan. Makanya buatku film ini gak sekelas sama nominasi Best Picture yang lain. Film ini kelasnya tuh di cinta-cintaan remaja film kita yang biasa, dan film ini ada di bagian puncak kelas tersebut berkat pencapaian teknis dan juga aktingnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for LICORICE PIZZA.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa cowok muda menyukai perempuan yang jauh lebih dewasa dipandang lebih keren dan manis dibandingkan kalo cowok dewasa suka perempuan yang jauh lebih muda? 

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. Guzh says:

    Film ini paling manis di 2021 kok, malah cameonya berasa mengganggu dan berlebihan. Scene-stealer ya menurutku ya gary dan alana yang bermain sangat natural, terlebih alana yang aktingnya sangat manis semanis filmnya. Selalu suka film2 PTA, sangat kuat di penceritaan. Wajar dpt jg beberp nominasi di ajang penghargaan. 8/10

Leave a Reply