THE LITTLE MERMAID Review

 

“We realize the importance of our voices only when we are silenced”

 

 

Banyak kelakuan dari Princess Disney yang simply not fly buat cewek jaman sekarang. Banting tulang ngurusin rumah, sampai ada cowok yang ngelamar? Kuno.  Ngefriendzone-in cowok sampai dia ngasih satu perpustakaan penuh buku-buku? Matre. Rela ninggalin rumah dan orangtua cuma demi cowok yang disuka? Huh, apalagi ini, kelihatannya kok clingy banget. Lemah. Untuk mengupdate value-value itulah, remake diperlukan (selain urusan cuan, tentunya). Setelah sekian lama Ariel dikatain princess yang paling ngeyel “gak punya masalah tapi lantas dicari sendiri”, kini Rob Marshall berusaha menghadirkan ulang cerita sang Putri Duyung dengan beberapa perubahan, terutama untuk menekankan kepada journey Ariel bukan sekadar perjalanan mengejar pangeran. Melainkan cerita seorang perempuan yang suaranya ingin didengar. Suara yang mendamba dunia yang lebih besar.

Remake live-action Disney sendiri, biasanya ada dua jenis. Yang mengangkat sudut pandang baru. Dan yang dibikin beat-per-beat persis sama dengan animasi originalnya, dan ditambah dengan beberapa perubahan. Rob Marshall membuat The Little Mermaid sebagai jenis yang kedua. The Little Mermaid versi baru ini alur, pengadeganan, dan dialog-dialog dasarnya sama persis dengan film animasinya tahun 1989 dulu. Ariel adalah putri duyung yang tertarik sama dunia manusia. Dia suka ngumpulin barang-barang manusia, meskipun dilarang oleh ayah yang menyuruhnya untuk gak usah dekat-dekat manusia. Karena berbahaya. Tatkala sedang melihat kapal yang lewat, yang actually hancur diserang badai, Ariel yang baik hati menyelamatkan seorang pria. Pangeran bernama Eric. Ariel jatuh cinta kepada Eric, membuat ayahnya – sang raja laut – murka. Ariel yang lagi down, jadi sasaran empuk muslihat Ursula. Penyihir laut yang menjanjikan putri duyung itu kehidupan sebagai seorang manusia. Dengan suara merdu Ariel sebagai bayarannya.

Tadinya mau minta jiwa si Flounder, but look at those fish eyes! By God, there’s no soul in there!!

 

Penambahan dilakukan di sana-sini guna menguatkan dan memperdalam konteks cerita. Ursula yang diperankan dengan legit fun oleh Melissa McCarthy, misalnya. Backstorynya diubah supaya Ariel bisa lebih terkoneksi sehingga lebih mudah bagi kita untuk percaya duyung remaja itu mau saja melakukan perjanjian dengan dirinya. Di cerita ini, dia adalah bibi Ariel yang diasingkan oleh King Triton. Ursula dibikin lebih ‘dekat’ dan ‘relate’ kepada Ariel. Tapi Ursula adalah contoh kecil penambahan backstory di sini ternyata benar menambah kedalaman bobot cerita. Contoh besarnya adalah backstory Eric. Di film aslinya, Eric ini generik sekali. Dia cuma cowok yang jatuh cinta sama perempuan bersuara merdu yang menyelamatkan nyawanya. Relasi Ariel dan Eric pun aslinya memang hanya sebatas ketertarikan secara fisik. Namun di film ini, ikatan keduanya jauh lebih grounded dan beralasan. Eric dituliskan sebagai anak angkat Ratu, yang suka melaut tapi juga mulai dilarang-larang karena berbahaya. Eric juga punya koleksi barang-barang laut karena dia penasaran sama dunia di bawah sana, paralel dari Ariel yang punya satu gua penuh koleksi barang-barang manusia yang ia pungut dari kapal-kapal yang karam. Kesamaan dengan Eric tersebutlah yang jadi ‘alasan’ Ariel jatuh cinta kepadanya. Kesamaan ide, pandangan, bahkan tantangan.

Menurutku penjabaran backstory itulah yang terbaik yang ditawarkan oleh film, karena dengan ini romance mereka terasa lebih berarti. Mereka bukan lagi sekadar orang-orang cakep yang jatuh cinta. Karakter-karakter tersebut jadi punya lebih banyak bobot untuk kita pedulikan. I mean, bahkan adegan di dunia manusia terasa lebih menyentuh dan genuine ketimbang Ariel di laut, saking groundednya interaksi Ariel dan Eric, sebagai dua manusia yang share interest terhadap dunia masing-masing. Momen-momen itu yang gak dipunya oleh film aslinya, yang memang karena diset untuk tontonan anak-anak, membuat romansa mereka simpel dan gak dalam.

Untuk mencapai itu, yang diubah oleh Marshall sebenarnya adalah tema ‘Voice’. Suara. Bandingkan opening film asli dengan film live-action ini. Para pelaut di dua film ini membicarakan duyung dalam ‘nada’ yang berbeda. Yang animasi, ngeset up para duyung sebagai makhluk majestic bersuara indah. Bahkan Sebastian si kepiting literally adalah pemimpin konser, dan putri-putri Triton (termasuk Ariel) adalah penyanyinya. Suara, di film animasi, merupakan lambang inner-beauty. Ketika Ariel khawatir dia tidak bisa mengucapkan cinta kepada Eric karena suaranya diambil, Ursula mengusulkan untuk menggoda dengan kecantikan fisik. Di film live-action ini, suara duyung pada adegan awal diset sebagai sesuatu yang mengerikan. Suara godaan yang menggiring pelaut menuju karam. Suara ini leads ke persoalan prejudice antara manusia ke duyung, yang berakibat duyung juga menganggap manusia berbahaya. Film Rob Marshall punya konteks dua kubu yang saling membenci, dan Eric dan Ariel jadi penengah karena mereka membuka diri untuk melihat dunia yang lain. Suara jadi power bagi Ariel, yang naasnya harus ia buang jika dirinya mau diterima. Dia harus patuh kalo mau diterima Ayah. Dia harus tak-bersuara jika mau diterima manusia.

Kata-kata Triton kepada Ariel di akhir menyimpulkan segalanya. Bahwa suara kita adalah hal penting. Satu-satunya cara supaya apa yang ada di dalam kita, didengar. Jangan bungkam hanya supaya kita diterima. Kita gak bisa hanya diam kalo menginginkan perubahan.

 

Aku yakin itulah yang jadi alasan kenapa mereka nge-race swap Ariel. Meskipun bilangnya bukan perkara ras, tapi konteks film ini butuh Ariel sebagai seseorang yang menyuarakan hal yang tak bisa ia miliki. Lagu pamungkasnya menyebut “part of that world” untuk menekankan bahwa ini juga tentang orang-orang yang mendambakan kesempatan yang lebih besar, minoritas yang ingin setara.  Jadi secara konteks tersebut, Ariel akan lebih believable jika dibikin sebagai a color person. Like, bayangkan saja jika yang mengeluhkan suaranya yang tak didengar, yang pengen masuk ke ‘dunia orang’ itu, seorang putri raja berkulit putih. Gak akan believable, dia malah akan terdengar manja – just like Ariel di animasi yang setelah sekian lama banyak orang yang menganggapnya cuma mendambakan cowok manusia. Apalagi di iklim sekarang, memasang Ariel yang seperti itu hanya akan terdengar tone-deaf. Jadi ya, aku pikir Disney harus mengganti sosok Ariel dengan sosok yang pantas menyandang permasalahan tersebut. Dan dapatlah kita Halle Bailey, yang secara gestur dan suara benar-benar menakjubkan sebagai Ariel. Ngecast aktor yang bisa nyanyi menambah efek magis pada film ini. Yang bahkan, arahannya saja seringkali tidak bisa mengikuti.

Ku cuma penasaran, itu lehernya apa gak terkilir, rambutnya apa tidak berat di-whip saat basah-basah begitu?

 

Begini-begini, lagu Disney kesukaanku (of all time!) adalah Part of Your World.  Saking sukanya aku bahkan nyimpen slot save khusus di game Kingdom Hearts 2 di part mini game Part of Your World supaya aku bisa mainin lagu itu terus-terusan. Anyway, I think versi Halle seperti menggambarkan perasaan yang lebih mendobrak. Momen tangan Ariel menggapai lewat lubang juga dibuat begitu intens (kalo di horor, udah kayak tangan mayat yang menerobos keluar dari kuburannya) Hanya saja, karena film ini sama persis beat-to-beat dengan versi original, secara kronologi dan bangunan intensitas, keseluruhan adegan nyanyi Part of Your World itu jadi kerasa aneh. Karena di film aslinya, lagu itu adalah suara hati Ariel sehabis di ultimatum Ayah. Di titik itu dia belum kepikiran mau ke dunia manusia. Tekadnya itu baru muncul saat setelah menyelamatkan Erik. Jadi momen itu, Ariel lagi nelangsa. Jodie Benson tepat menyanyikannya dengan sense of longing yang sedih yang nanti berubah naik saat di batu karang. Flownya enak. Part of Your World versi Halle didesain untuk lebih kuat, sehingga gak cocok lagi ditempatkan di ‘posisi’ yang sama. Film ini harusnya mengubah susunan adegan. Yang kita lihat di sini, emosi Arielnya jadi gak mulus naik. Dia udah jor-joran di lagu itu, tapi puncaknya (di batu karang) seperti tertunda adegan penyelamatan.

Memang paling baik jika adaptasi atau remake berani mengubah. Film ini sepertinya tahu itu tapi gak berani mengubah total. Buktinya mereka berani mengganti Scuttle dari burung camar menjadi burung Gannet yang bisa menahan napas cukup lama di dalam air. Demi membangun aspek Ariel yang dilarang ke permukaan (aspek ini tidak ada di film originalnya). Supaya momen pertama Ariel ke permukaan tidak terganggu, kan gak lucu kalo dia ke permukaan hanya karena pengen ngobrol sama si Scuttle. Pengennya sih, film ini lebih banyak komit ke penambahan/perubahan, seperti begitu. Karena banyak perubahan yang jadi kurang berefek karena film terlalu ngotot sama ngikutin originalnya. Kayak lagu Part of Your World tadi. Contoh lainnya adalah pasal perjanjian Ariel dengan Ursula. Film ini menambahkan klausul Ariel disihir supaya dia lupa akan batas waktunya, dia dibikin lupa harus berhasil mencium Eric(with true love dan full consent!) dalam waktu tiga hari. Hal itu ditambahkan supaya Ariel dan Eric bisa menumbuhkan cinta genuine – which is great. Tapi film juga gak mikirin gimana Ariel bisa ingat, sehingga jadilah kita mendapat banyak adegan Sebastian dan Scuttle berusaha membuat Eric mencium Ariel. Yang akhirnya hanya membuat Ariel tidak banyak beraksi selayaknya tokoh utama. Sampai-sampai for some reason, kita malah mendapat Awkwafina nge-rap dengan suaranya yang cempreng itu. Disney, why do you hate us?

Film lantas sadar mereka butuh mengembalikan Ariel kepada action. Jadilah di final battle dengan Ursula, film mengubah… well, film tidak mengubah full sesuai dengan kebutuhan untuk memperlihatkan aksi Ariel sebagai tokoh utama yang akhirnya bisa mengalahkan Ursula. Melainkan, film hanya mengubah satu detil dari adegan di versi asli. Yaitu alih-alih membuat Eric yang melayarkan kapal supaya tiangnya menusuk si Ursula raksasa (dan dalam prosesnya membuat Eric- dan manusia secara umum – worthy di mata ayah Ariel), film ini malah membuat di momen itu Ariel si putri duyung yang menggunakan garpu untuk menyisir rambutnya tiba-tiba paham gimana kapal bekerja, dan dia-lah yang mengarahkan kapal untuk menusuk Ursula. Dan kita semua diharapkan untuk tepuk tangan dan bersorak “Hore, hidup perempuan berdaya!” Well, aku suka kalo perempuan dibuat berdaya, tapi tidak seperti ini cara mainnya. Adegan battle itu harusnya disesuaikan dengan yang ingin diangkat. Film yang sudah dirancang dengan konteks baru harusnya lebih banyak melakukan pengadaptasian, tidak cukup hanya dengan ngikutin beat-to-beat film aslinya.

Tapi aku yakin anak-anak pasti suka ngelihat duyung-duyung di sini. Kalo kalian punya adik atau keluarga yang masih kecil dan suka tontonan hewan dan manusia, di Apple TV+ ada loh tontonan yang pas dan seru berjudul Jane, tentang anak kecil yang menyelamatkan hewan-hewan langka, pake kekuatan imajinasinya! Tinggal klik ke link ini yaa untuk subscribe https://apple.co/3OL4MkQ

Get it on Apple TV

 

 

 




Perubahan film harus lebih total. Padahal mereka udah berani ganti sosok protagonis dan karakter lain. Mereka nekat pakai hewan laut yang realistis, misalnya, tapi mereka gak berani untuk mengubah atau melakukan adegan dengan berbeda. Adegan yang lebih cocok untuk konteks yang mereka pasang. Like, lagu Under the Sea saja ujung-ujungnya tetap menampilkan hewan laut yang bertingkah ‘ajaib’. Film tetap diarahkan beat-to-beat sama, supaya bisa meniru momen-momen ikonik. Film gak pede dengan perubahan atau penambahan yang mereka lakukan. Padahal secara konteks, film ini lebih kuat loh. Berhasil memperdalam bahasan dan karakter. Ariel saja  berani ke permukaan, masa film ini gak berani sih mengarahkan adegan-adegan ke ‘uncharted water’.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE LITTLE MERMAID

 




That’s all we have for now.

Kasian ya si Halle Bailey, dia masih banyak dihujat perihal dicast jadi Ariel. Menurut kalian kenapa sih kita susah menerima sesuatu yang tidak familiar bagi kita? Menurut kalian penolakan public kepada Halle sebagai Ariel sebenarnya terdorong oleh apa?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



PETER RABBIT 2: THE RUNAWAY Review

“Beautiful trees still rise from ugly seeds”

 

Peter Rabbit is a bad seed. Di antara kelinci-kelinci peliharaan Bea, Peter yang paling bandel. Dalam film pertamanya saja (rilis tahun 2018) Peter ngebully Thomas McGregor, manusia yang jadi musuh bebuyutannya, yang punya alergi buah blackberry dengan melempar blackberry tersebut hingga tepat masuk ke mulut. Prank yang begitu kelewatan, sampai-sampai Sony Pictures harus meminta maaf kepada publik perihal adegan tersebut. 

Agaknya, insiden itulah yang jadi inspirasi bagi sutradara dan penulis naskah Will Gluck untuk cerita sekuel dari karakter kelinci yang awal fenomenanya berasal dari buku kanak-kanak di Inggris ini. Gluck mengedepankan tema Peter sekarang aware bahwa dia dicap bandel oleh orang lain. Gluck ingin membuat pesan yang menyuarakan tentang mengenali self-worth, kepada penonton. Karena bandel tentu saja tidak berarti jahat. Like, bandel pada kendaraan justru berarti hal yang bagus. Sehingga untuk benar-benar menghidupi tema tersebut, Gluck pun mengonsep film kedua ini sebagai film yang bandel. Enggak cukup hanya dengan menjadi meta, Peter Rabbit 2 kini melompat melewati batas aturan dunianya sendiri.

PETER-RABBIT-2-TRAILER-e1619535931978-1280x720
Kenapa ya kelinci sering digambarkan sebagai karakter bandel dalam fabel-fabel?

 

Semenjak gencatan senjata, yakni peristiwa sakral Bea menikah dengan Thomas, kelinci berjaket biru tokoh utama kita ini memang berusaha bersikap manis. Tidak lagi dia mengganggu kebun sayur milik Thomas. Peter bahkan menjaga kebun tersebut dari hewan-hewan lain. Sayangnya, belum semua orang dapat melihat perubahan sikap Peter. Image nakal dan bandel tetap melekat kepadanya. Buktinya, saat Bea dan Thomas bertemu dengan produser yang tertarik untuk membesarkan buku karangan Bea tentang Peter dan kawan-kawan menjadi sebuah franchise raksasa, Peter mendapati karakternya di dalam cerita itu akan tetap dibuat sebagai karakter yang bandel. Peter lantas jadi pundung dengan semua orang. Peter minggat, dan di jalanan kota London itulah Peter bertemu dengan seorang kelinci tua. Kelinci yang percaya kepadanya. Kelinci yang bertindak selayaknya ayah baginya. Kelinci, yang mengajaknya untuk bergabung ke dalam misi mulia merampok makanan di Farmer’s Market.

So yea, ada lebih banyak yang terjadi pada film kedua ini. Peter Rabbit 2: The Runaway memang mengadopsi istilah sequel is bigger. Yang kita ikuti bukan saja petualangan Peter menjalankan misi, tapi juga persiapan seperti pada film heist beneran. Mengumpulkan teman-teman, bikin rencana, dan lain sebagainya. Sesekali kita juga akan dibawa berpindah mengikuti Bea yang harus mengarang buku cerita sesuai dengan pesanan. Paralel di sini adalah Peter dengan Bea. Keduanya sama-sama bertemu dengan orang yang mereka kira nurturing, peduli, dan mengembangkan diri mereka yang sebenarnya. Padahal sebenarnya Bea dan Peter sedang dimanfaatkan. Film sudah menyiapkan banyak sekali lelucon slaptick – bahkan lebih banyak daripada film pertama – supaya tone cerita tidak menjadi terlalu sentimentil. Seperti misalnya ketika Peter yang berjalan sendirian bersedih hati, film menggunakan banyak treatment komedi seperti Peter terjatuh ke semen basah dan sebagainya. Komedinya naik bertahap menjadi lebih kreatif saat menggunakan musik latar sebagai candaan. Aku ngakak di adegan tupai nyanyiin lagu Green Day, dan bagaimana si tupai penyanyi itu jadi running joke yang muncul bikin Peter heran setiap kali dia menggalau. “Kok elu bisa tahu isi hati gue?” kurang lebih begitu pertanyaan si Peter kepada Tupai hahaha

Sebagai cerita yang memang berasal dari materi untuk anak-anak, film ini perlu untuk menjadi total menghibur. Ini lompatan nekat pertama yang dilakukan oleh film. Peter Rabbit dan teman-teman yang di buku aslinya adalah dongeng sederhana untuk dibacakan sebagai cerita pengantar tidur, kini dibuat total konyol, enggak banyak beda ama film kartun ala Looney Tunes. Dan supaya stay true dengan tema aware kepada true self, film memperlakukan komedi tersebut dengan cara meta. Yang artinya, para karakter dalam film ini dibuat mengenali perbuatan mereka yang disejajarkan dengan mengenali hal di dunia nyata kita, para penonton mereka. Semacam breaking the fourth wall cara-halus. Peter di film ini menyebut tindakan mereka sudah semakin mirip adegan kartun, misalnya. Atau ketika ada karakter yang menyebut betapa menjengkelkannya suara Peter terdengar. This rings so true karena suara James Corden yang mengisinya memang benar-benar annoying. Film membuat karakternya sendiri mengacknowledge ini dengan beberapa kali mempraktekkan dan mempertanyakan suaranya.

Kemetaan tersebut tidak hanya dilakukan sebagai selingan komedi. Namun juga actually dijadikan bagian dari plot. Ini kita lihat pada porsi Bea. Dia disuruh menulis cerita yang lebih fantastis. Kelinci-kelinci pada ceritanya disuruh supaya enggak hanya berkutat di perkebunan di rumah saja. Melainkan harus bertualang di kota, di pantai, bahkan kalo perlu hingga ke angkasa. Kelinci-kelinci tersebut disuruh melakukan berbagai aksi, seperti kebut-kebutan ataupun berkeliling dunia menyelamatkan teman-teman mereka. Film sudah menyiapkan punchline untuk plot poin tersebut dengan membuat ‘Peter dan kawan-kawan yang sebenarnya’ benar-benar melakukan hal yang jadi materi untuk buku karangan Bea. Peter akan benar-benar ngebut-ngebutan untuk menyelamatkan teman-temannya yang tersebar ke berbagai penjuru

peter00278774
Untung aja gak beneran sampai ke angkasa raya

 

Untuk mendaratkan cerita (dan semuanya) supaya enggak benar-benar sampai ke luar angkasa, film mengikat permasalahan Peter berakar pada masalah keluarga. Dalam hal ini, permasalahan seputar relationship seorang anak kepada ayah. Dan juga sebaliknya; permasalahan bagaimana menjadi ayah kepada seseorang yang dianggap sebagai anak. Peter yang tampak bandel bagi Thomas, dan masalah Peter yang langsung marah dikatain bandel despite usahanya untuk jadi lebih baik — ini adalah masalah ayah dan anak, written all over it! Mereka berdua hanya harus menyadari itu, sehingga Peter sebenarnya tidak perlu lagi mencari father figure ke tempat lain. Dan inilah sebabnya kenapa karakter Thomas McGregor – yang di film pertama merupakan semacam antagonis utama – kali ini lebih mencuri perhatian ketimbang Bea, atau Peter sekalipun.  Thomas memang masih kebagian porsi konyol juga (dia lari ngejar mobil itu ‘kartun’ banget dan favoritku adalah pas adegan menangisi rusa – comedic timing Domhnall Gleeson dapet banget!) tapi fungsi karakternya kali ini terutama adalah sebagai sarana penyadaran untuk Bea dan Peter. Dia menunjukkan cinta yang kuat. Meskipun masih sering bertengkar dengan Peter, tapi semua itu ada alasannya. Adegan Thomas ngobrol dengan Peter di menjelang babak tiga akan jadi hati untuk film ini.

Masalah Peter memang berakar dari absennya seorang ayah di dalam hidup. Peter jadi percaya dirinya berbeda, seorang ‘bad seed’. Tapi meskipun memang benar, Peter bandel, dan ayahnya seorang pencuri seperti yang diceritakan si Kelinci Tua, tidak berarti Peter harus tumbuh menjadi bener-bener bad. Karena kualitas seseorang tidak ditentukan dari bibitnya.

 

Wait, Thomas ngobrol dengan Peter??

Ya, sayangnya ini adalah hal yang aku merasa perlu untuk disebutkan sebagai spoiler, karena ini adalah satu lagi lompatan maut yang dilakukan oleh film. Untuk menjadi sebandel Peter, film merasa perlu untuk melanggar aturan buku Peter Rabbit, yakni hewan-hewan lucu itu tidak bicara kepada manusia. Film pertama menghandle aturan ini dengan lebih baik, mereka mencari celah supaya komunikasi bisa tetap terjadi. Namun, film kedua ini, mereka langsung saja seperti sebuah cara gampang untuk mengomunikasikan feeling antara Peter dan Thomas. Ya, secara konsep memang masuk, tapi tidak berarti tampak bagus dari kacamata penulisan skenario. Atau bahkan dari kacamata para fans hardcore, yang bisa aku bayangkan pada surprised. Karena kekhasan Peter Rabbit sendiri jadi ilang. Yang jelas, dari penulisan, aku memang berharap momen ‘wejangan’ seperti ini tidak digampangkan atau tidak dibikin ada begitu saja. There should be more clever and sweet ways untuk membuat hewan dan manusia membicarakan perasaan mereka dan memecahkan masalah bersama.

Film memang lantas jadi full over-the-top. Benar-benar melanggar bukunya, dengan adegan yang dipersembahkan sebagai meta itu tadi. Dengan pesan yang gak jelas lagi apa sasarannya. Peter Rabbit memang menjadi franchise sukses di dunia nyata, sementara di film ini kita melihat karakter Bea (yang merupakan nama asli penulis Peter Rabbit) enggak suka Peter Rabbit menyimpang dan jadi semata produk jualan. Tapi film di akhir memperlihatkan Peter Rabbit dan Bea benar-benar bertualang, melakukan hal menyimpang yang ia tolak sebagai buku berikutnya. Sehingga becandaan metanya ini jadi kabur, apa tujuannya. Kenapa film malah melakukan hal yang semestinya adalah ‘salah’ menurut kompas ceritanya. Dan ini membuat film jadi pretentious.

 

 

 

Orang Jawa bilang lihatlah sesuatu dari bibit, bobot, dan bebetnya. Well, untuk bobot, film ini punya muatan yang berharga sebagai tontonan keluarga. Yang membuatnya bisa konek dengan anak-anak, maupun orang tua. Untuk kriteria bebet, film ini punya konsep yang lebih unik dibandingkan film pertamanya. Tampil lebih berani, melompati banyak resiko untuk menjadi berbeda; menjadi lebih besar daripada bibitnya. Hal ini dapat jadi hal yang positif, jika menjadi berbeda dan lebih besar itu mengarah kepada kepastian menjadi better. Sayangnya film ini malah terlihat seperti menertawai bibitnya sendiri. Mencoba jadi beda tapi tidak berhasil memperjelas poin utama dari konsep yang mereka lakukan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PETER RABBIT 2: THE RUNAWAY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Ngomong-ngomong soal bibit-bobot-bebet, apakah menurut kalian menilai seseorang dari tiga kriteria tersebut masih relevan di masa sekarang ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

CRUELLA Review

“The worst enemy to creativity is self-doubt.”

 

Antagonis/penjahat perempuan dalam film-film Disney kebanyakan adalah feminis. Mungkin inilah sebabnya kenapa Disney memutuskan untuk berbondong-bondong bikin live-action dari sudut pandang mereka. Karena, memang, di zaman sekarang para antagonis tersebut dinilai lebih real dan punya kualitas yang lebih merepresentasikan perempuan; mereka mandiri, kuat, berambisi, tau apa yang mereka mau – dan bekerja keras untuk itu. Dan gak takluk pada keseragaman standar kecantikan. Perempuan kekinian tidak lagi duduk dan ‘menunggu diselamatkan oleh pria’ seperti Princess-Princess cerita Disney. Perempuan masa sekarang gak ragu untuk memegang kendali kehidupan mereka, persis seperti Maleficent, Ursula, (to some extent) Elsa, Ibu Tiri Cinderella. Dan ya, Cruella de Vil.

Cruella de Vil adalah antagonis utama dalam franchise 101 Dalmatians. Karakter ini terkenal dengan penampilannya yang nyentrik, serta motivasinya yang benar-benar kejam; menculik anak-anak anjing dalmatian untuk dijadikan mantel bulu! Kelihatan hampir mustahil membuat karakter dengan motivasi seperti itu menjadi semacam pahlawan, kan? But hey, everybody is a hero in their own story. Maka Disney mengajak kita untuk melihat Cruella de Vil sebelum dia bahkan dipanggil dengan nama seserem (dan sekeren) itu.

Film Cruella garapan Craig Gillespie memang diposisikan sebagai prekuel. Nama aslinya ternyata adalah Estella. Dan film ini – mengutip dialog si Estella itu sendiri – adalah tentang “Gadis jenius berubah menjadi gadis bodoh yang membunuh ibunya sendiri, dan kemudian menjadi kesepian” Estella tumbuh di jalanan, yatim piatu, keluarganya hanya dua orang cowok Jasper dan Horace, beserta dua ekor anjing peliharaan. Bakat dan minat yang besar terhadap fashion design membawa Estella bekerja untuk Baroness, designer terkenal favoritnya. Ternyata bos dan idolanya itu orangnya kasar banget. Tapi sebagaimana rambutnya terlahir berwarna hitam-putih yang dianggap sebagian besar orang aneh itu, Estella juga punya dark side di dalam dirinya. Sifat buruk si Baroness dia jadikan panutan, untuk membangkitkan kembali sisi gelap tersebut. Estella – kini Cruella – muncul sebagai penantang bagi Baroness. Upstaging semua penampilan Baroness, dan bahkan sepertinya juga mengungguli perilaku kejamnya.

cruelladownload
Dressed to kill!!

 

Awal penciptaannya memang karakter Cruella de Vil diadaptasi oleh Disney ke dalam film animasi sebagai semacam karikatur dari feminis. Seorang businesswoman yang comically kejam, terutama sama binatang-binatang. Dia punya anak buah yang bego sebagai kontras. Film live-action yang kali ini berusaha memberikan kedalaman kepada karakter ini. Ada banyak aspek yang bisa kita relasikan dari Estella. Misalnya berupa bagaimana dia adalah karakter yang ditekan oleh bosnya sendiri. Atau bagaimana soal dia adalah orang yang berbakat, tapi tidak dimengerti oleh banyak orang – tidak banyak orang yang mengapresiasi talenta yang ia miliki. Atau terutama soal itu semua tadi karena dia tidak diberikan rasa nyaman untuk menjadi dirinya sendiri. Aspek paling menarik dari karakter Cruella di film ini adalah karakternya yang punya dua persona. Untuk jangka waktu yang lama sekali, dia percaya bahwa ‘Cruella’ tidak baik baginya. Dia harus jadi Estella yang baik. Tapi ternyata Estella yang baik itu justru bukan dirinya yang sebenarnya. Melihat Estella berusaha mengembrace sisi gelapnya, dan melihat hidupnya berubah seketika  – for better or worse – setelah dia melakukan itu, membawa beragam emosi kepada kita penontonnya. Dan film memang terus berusaha membuat kita bersimpati kepada Estella.

Monolog Emma Stone di depan air mancur menjelang babak ketiga ketika dia sudah enggak ragu-ragu lagi tentang Estella atau Cruella, adalah momen yang powerful. Karena itulah momen saat keraguan karakternya akan diri sendiri hilang. Dan ultimately itu jugalah yang membuat Cruella begitu berbahaya. Karena dia tahu siapa dirinya, apa yang ia mau, dan apa yang ia bisa untuk mendapatkan itu. Sebagaimanapun klisenya, tapi Cruella menunjukkan menjadi diri sendiri – gak peduli apakah itu baik atau buruk bagi orang lain – adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan kepada diri kita sendiri.

 

Estella alias Cruella diberikan masalah yang sangat personal. Rivalry-nya dengan Baroness tidak dibuat sekadar persaingan orang-jenius-gila untuk menguasai bisnis fashion, ataupun memperebutkan kalung berharga. Melainkan diberikan backstory yang berkaitan dengan persoalan keluarga. Estella menyalahkan dirinya sendiri atas kematian sang ibu, padahal sebenarnya semua itu adalah ulah Baroness. Saat Estella mengetahui hal tersebut, di situlah saat film ini mulai menggali lapisan emosional, yang mengangkat konflik cerita ini. Memberatkannya dengan bobot sehingga karakter cartoonish tersebut kini bisa kita lihat sebagai manusia yang mungkin enggak begitu berbeda dengan kita. We all love our moms, tapi apakah membuka pintu neraka demi melindungi pintu surga itu adalah langkah yang benar?

Dengan muatan demikian, film ini jadi lumayan dark untuk jadi tontonan konsumsi anak-anak. Kisah hubungan anak dengan ibu ini dihiasi intrik demi intrik, mulai dari yang bisa digolongkan crime kecil-kecilan hingga ke percobaan pembunuhan. Dan ya di sini memang ada pembunuhan yang dilakukan dengan tidak benar-benar tersurat. Karakter utama kita bergerak dengan motivasi dendam, yang jelas butuh banyak penjelasan oleh orangtua kalo anak mereka diajak nonton dan mempertanyakan soal ini. Selera humor film ini juga cukup gelap. Kita memang mendapatkan kekonyolan semacam kejadian chaos yang lucu dari tikus di dalam nampan makanan, tapi sebagian besar keseruan rivalry Cruella dan Baroness berupa vandalisme atau hal-hal yang jelas akan ‘gak lucu’ kalo dilakukan oleh anak-anak. Tapi buat orang dewaa, memang film ini bisa terasa fun banget. Aku peduli sama cerita film ini lebih dari yang aku duga, karena aku memang bukan penggemar 101 Dalmatians. Tadinya aku juga mikir film ini bakal agenda-ish, mengingat betapa ikon feminisnya si Cruella de Vil itu sendiri. Di menit-menit awal memang film kayak ngarah ke sana.. tapi kebelakangnya ternyata tidak. As i said, film ini ternyata cerita yang sangat personal bagi karakter Cruella.

Jadi kualitas baiknya, film ini punya cerita yang intriguing. Visualnya juga cakep, penuh oleh fashion-fashion yang unik (dan punya statement, as we see much style Cruella used inspired by punk; yakni style yang juga melawan conformity). Dan juga punya penampilan akting duo Emma yang jadi sentral, yang menyatu banget, memperkuat kostum dan karakter yang mereka perankan. Emma Stone tak pernah tergagap bermain sebagai Estella dan Cruella. Begitu juga dengan Emma Thompson yang benar-benar menunjukkan betapa Baroness itu gorgeus sekaligus vicious.

cruella10694172_052521-wls-hosea-cruella-4p-vid
Are you ready for Emmaverse??!!

 

Penampil dan look yang sangat bisa berbicara itu ternyata bagi film masih belum cukup. Film ini masih mengandalkan musik atau lagu latar untuk menyampaikan perasaan. Lagu-lagu populer tahun 70an itu akan terus dimainkan, bahkan untuk adegan yang gak perlu ada lagunya. Okelah kalo pada sekuen aksi, atau dimainkan saat montase sebagai pengikat mood. Namun ini, Estella masuk butik aja ada soundtracknya. Lagu yang too much ini jadi membuat film seperti tidak bisa menciptakan tone cerita sendiri.

Sebagai sebuah prekuel, film ini membiarkan kita mengikat sendiri untaian-untaian cerita yang mereka lepas. Membiarkan kita mencoba memasukakalkan Estella yang di sini menjadi Cruella dan kemudian menjadi Cruella de Vil yang sudah kita kenal dari dua film animasi dan satu live-action jadul. Dan sesungguhnya itu adalah pe-er yang berat untuk kita semua. Karena sesungguhnya antara membangun simpati untuk Estella dengan actual cruel things yang dilakukan Cruella pada kisah originalnya tersebut gak pernah benar-benar add up atau terikat dengan masuk akal. Misalnya seperti ketika film memperlihatkan kita alasan kenapa Cruella jadi suka membuat mantel bulu dari anjing dalmatian. Jawaban yang diberikan film ini tidak akan memuaskan karena yang diperlihatkan di sini adalah bahwa itu semuanya cuma ‘gimmick’. Cuma sesuatu yang dijual si karakter atas nama ‘brand’nya sebagai Cruella de Vil. Dan itu ganggu continuity ketika disambungkan dengan film originalnya.

Lagipula lucu sekali toh. Film ini sendiri dibuat karena orang-orang ingin tau kenapa Cruella di 101 Dalmatians bisa jadi begitu jahat sampai-sampai ingin membunuh anak anjing untuk diambil bulunya. Tapi jawabannya ternyata cuma “Don’t worry, itu cuma taktik marketing brand.” Dan lantas film lanjut dengan seolah melempar lagi pertanyaan “Or is it?”. Pada akhirnya memang tujuan film ini enggak jelas karena bangunan karakter Cruella-nya itu sendiri enggak jelas. Karakternya dibuat mengundang simpati, kita jadi ngerti kenapa dia harus begini kenapa dia harus begitu, sehingga bahkan nama ‘Cruella’ itu tidak sesuai lagi karena kita tidak melihatnya sebagai orang yang kejam (yang kejam malah si Baroness). Lalu film berusaha membuat dia tampak kejam lagi dengan benar-benar vague terhadap sikapnya terhadap identitas Cruella yang ia pakai. Tapi mungkin, memang itulah salah satu kerelevanan film ini. Bahwa semua hal memang cuma pencitraan. Pura-pura jahat untuk branding. Marketing yang jenius. 

Or is it?

 

 

 

Yang bener-bener cruel alias kejam di sini itu adalah si filmnya ini sendiri. Punya penampil luar biasa, punya looks yang gaya, tapi masih merasa belum cukup. Dan malah lebih mengandalkan lagu soundtrack yang dimainkan sebagai latar. Punya cerita menarik, tapi implikasinya benar-benar dark. Dia menjadi seru dan menghibur lewat ke-dark-annya tersebut. Sementara karakternya sendiri – yang adalah karakter antagonis yang namanya literally ada kata ‘kejam’ – tidak benar-benar dieksplorasi atau ditampakkan sebagai orang yang kejam. Melainkan sebagai karakter yang mengundang simpati karena dia sudah melalui begitu banyak, ditipu, nyaris dibunuh dan sebagainya. Mungkin menuliskan karakternya seperti itulah hal paling kejam yang dilakukan film ini kepada kita.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for CRUELLA

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian melihat Cruella sebagai orang baik, atau orang jahat di sini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MULAN Review

“You’re created not to conform”
 

 
 
Mulan adalah seorang anak yang gesit. Berani. Dia jago bela diri. Kekuatan chi-nya tergolong kuat, selevel dengan kekuatan seorang warrior. Namun Mulan tidak membuat orangtuanya bangga. Karena ada satu masalah. Mulan ini ‘cah wedok!
Anak cewek gak pantes lari-larian ngejar ayam di atas genteng. Kata ibunya, anak cewek ngasih kehormatan bagi keluarganya ya dengan bersikap lemah lembut, anggun, elegan, kalem, sopan, dan patuh, supaya kalo udah gede bisa langsung dijodohin. Bukan dengan berperang mengangkat senjata. Seperti yang persis dilakukan oleh Mulan begitu titah dari kaisar datang mengharuskan setiap keluarga ‘menyumbang’  satu pria untuk jadi pejuang memberantas pasukan pemberontak di garis depan peperangan. Menggantikan ayahnya yang sudah terlalu tua dan pincang untuk berperang, Mulan pergi diam-diam di tengah malam. Mengambil pedang, baju zirah, dan kuda sang ayah. Melanggar tiga kode kehormatan seorang pejuang. Setia, Berani, dan Jujur.
Aku masih terlalu kecil untuk dapat menyadari pentingnya cerita Mulan sewaktu menonton versi animasinya dulu. For me it was; cewek yang nyamar jadi cowok dan ada naga lucu, I’m sold! Jadi menonton Mulan versi live-action ini kurang lebih seperti benar-benar pengalaman baru bagiku, karena sekarang aku melihatnya dengan pemahaman dan konteks yang lebih mendalam daripada nonton animasinya dulu. Disney patut diapresiasi karena melakukan tindakan yang berani. Mereka tidak mengambil adegan per adegan dengan sama persis ama versi animasi. Mulan kali ini diarahkan untuk jadi lebih serius. Tidak ada lagi naga yang bisa bicara di sini, bahkan adegan musikal juga gak ada. Sayangnya, tidak semua pilihan yang diambil oleh Disney di film ini membuahkan hasil yang manis.

Yang lucunya, kesan pertamaku saat menonton ini adalah betapa Mulan ini seperti cerita Kartini, jika Kartini bisa kung-fu.

 
 
Film Mulan kali ini beneran terasa seperti film-film kung-fu. Sutradara Niki Caro tampak mengincar ke gaya yang lebih realis, walau dengan masih menggunakan elemen-elemen fantasi sebagai device dalam cerita. Absennya naga diisi oleh penyihir dengan segala kekuatannya mulai dari menjelma jadi makhluk lain hingga jurus-jurus berantem yang penuh muslihat. Padahal tokoh penyihir ini menarik, dia punya kesamaan dengan Mulan. Dan tentunya hubungan di antara keduanya jadi elemen fresh yang dipunya oleh cerita. Namun ternyata tokoh atau karakter ini memang hanya device saja. Tak banyak berbeda dengan beberapa penampakan burung phoenix sebagai simbol dari kekuatan Mulan. Jadi aku tidak yakin gaya realis itu benar-benar tercapai. Film ini juga malah menggunakan efek-efek cahaya yang membuat film semakin lebih ‘bo’ongan’ lagi. Misalnya, lensa blur/flare yang digunakan saat menyorot Mulan pada salah satu momen di pertarungan terakhir. Efek di momen itu berfungsi untuk membuat Mulan tergambar menjadi sosok yang bahkan lebih spesial lagi. Namun sesungguhnya dijadikan ‘spesial’ itu justru hal terakhir yang dibutuhkan oleh Mulan.
Gagasan cerita ini boleh saja berakar dari pandangan bahwa perempuan itu sejajar dengan laki-laki. Dalam pengembangannya, Mulan jadi mengusung banyak pesan moral yang sangat relatable buat semua penonton, tak terbatas pada penonton perempuan saja. Adegan ketika Mulan bangkit, dia membuka semua penyamaran; menggerai rambut dan kini hanya bertempur dengan robe merah tanpa armor apapun bisa kita terjemahkan sebagai pesan untuk menjadi diri. Untuk tidak lagi meredam diri, tidak mengikuti tuntunan sosial yang mengeja kita harus seperti apa, dan jadi siapa diri kita.

Kita tidak diciptakan untuk mengikuti aturan ‘cewek harus begini, cowok bagiannya itu’. Tentu, ada batasan alami yang tidak bisa dilanggar oleh keduanya. Namun batasan tersebut tidak pernah berarti kita harus mengecilkan diri jika kita bisa melakukan sesuatu melebihi dari harapan atau kebiasaan sosial. Kita bisa jadi apapun yang kita ‘mampu’. Masalahnya justru pada seberapa ‘mau’ kita?

 
Maka menjadikan atau menampilkan Mulan sebagai makhluk spesial, justru menjauhkannya dari kita. Sebab pesannya jadi seolah Mulan bisa setara seperti itu ya karena dia bukan manusia sembarangan. Padahal gak semua orang kayak Mulan; gak semua orang dianugerahi chi yang luar biasa dan disuruh meredam kekuatannya sedari kecil. Inilah pilihan paling aneh yang dibuat oleh sutradara Niki Caro yang jadi sumber masalah pada film ini: Membuat Mulan spesial alih-alih manusia biasa seperti pada animasinya dulu. Mulan kuat sedari awal. Momen-momen latihan perang tempat dia nyamar jadi cowok itu tidak lagi dalem dan emosional karena dari sudut pandangnya, cerita kali ini simply adalah soal dia bohong saja. Tidak seperti pada versi animasi. Di sana Mulannya adalah soal orang normal yang bekerja keras biar dapat diterima, biar dia membuktikan dirinya mampu mendobrak dinding yang menolak mengakui ekualitas itu. Mulan terasa seperti kita semua yang berjuang keras untuk bisa berhasil. Sedangkan pada Mulan yang baru, ini adalah soal orang yang gak boleh maju karena gender-nya tidak mengharapkan dia untuk begitu, jadi dia ngerepres siapa dirinya. Perkembangan tokoh di sini adalah tentang Mulan yang belajar untuk berani mengakui siapa dirinya di hadapan semua orang, melawan semua pandangan sosial yang mungkin mengekangnya. Perbedaan besar antara Mulan versi animasi dan versi live-action ini adalah soal normal dan spesial tersebut. Pada Mulan yang sekarang ini pesannya jadi terlemahkan oleh agenda ‘spesial’ itu. Bagaimana dengan ‘kerja keras’ itu sendiri?

Kamulah makhluk Tuhan yang paling sakti

 
Semua aspek dalam film ini terasa tidak natural. Tadi aku sempat nyebut mirip Kartini, dan memang Mulan (si Yifei Liu yang meraninnya aja kadang-kadang sekilas mirip Dian Sastro hihi) mengalami ‘kekangan’ yang sama – bahkan ia juga disuruh kawin. Namun tentu saja wanita yang tidak boleh mengecam pendidikan tinggi terasa lebih alami ketimbang wanita tidak boleh berjuang dengan kung-fu jurus tenaga dalam. Dampaknya cerita Mulan jadi tidak dramatis. Stakenya enggak kuat karena kita tahu Mulan tidak dalam bahaya, toh dia sedari kecil sudah jauh lebih hebat daripada siapapun di layar. Film juga dengan lincahnya melompati adegan-adegan yang mestinya bisa membantu Mulan untuk lebih beresonansi ke kita. Dalam film ini tidak lagi kita mendapati adegan sedramatis Mulan mengambil pedang diam-diam, memotong rambutnya, bimbang sebelum memutuskan pilihan paling penting sehubungan dengan kehormatan keluarga. Adegan Mulan memilih untuk menggantikan ayahnya dalam film ini terasa sangat datar, dengan pengadeganan sesederhana Mulan menunjuk kamera dengan pedang itu lalu kemudian fade out bentar dan voila dia sudah siap berangkat dengan baju zirah terpasang.
Karena ini basically udah jadi film kung-fu, maka mau tak mau kita harus membandingkan aspek action-nya dengan film kung-fu hebat semacam Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000), which triumphantly kick Mulan action’s in the ass. Ada beberapa momen keren, tapi adegan-adegan berantem di film Mulan ini dilakukan dengan terlalu cepat dan terlalu banyak editing. Sehingga kesannya hingar-bingar. Di sini juga film menunjukkan kekurangtajaman matanya terhadap penggalian kesan dramatis. Mulan berpindah tempat gitu aja, tidak benar-benar diperlihatkan perjuangan dan pemikirannya soal strategi seperti ketika dia begitu saja (dan begitu mudahnya) dapat taktik melongsorkan gunung es. Yang sekali lagi juga menunjukkan membuat Mulan seorang yang berkekuatan spesial hanya membuahkan kegampangan pada cerita. Film semakin tak alami, apalagi dengan beberapa batasan produksi yang harus dipatuhi oleh film. Seperti soal violence, atau darah: agak aneh menyaksikan film yang basically tentang perang, dengan banyak adegan aksi berantem pake jurus-jurus kung-fu fantastis, tetapi terasa jinak karena didesain untuk tampil ‘aman untuk tontonan keluarga’. Ataupun batasan seperti bahasa. Dengan cast nyaris semuanya Asia (ada Jet Li!), dan bersetting di Asia, terdengarnya aneh saja film memilih menggunakan dialog bahasa Inggris. Normalnya, bahasa enggak pernah jadi masalah buatku, hanya saja di momen menangnya Parasite – film berbahasa asing – di Best Picture Oscar kupikir film-film akan lebih terbuka atau setidaknya lebih berani dalam menggunakan bahasa.
 
 
 
Pilihan yang diambil oleh Disney untuk membuat film ini jadi sedikit berbeda dari versi animasinya pada akhirnya menyebabkan film ini terasa tidak alami. Tokoh utamanya yang sedari awal kuat dan spesial menjadikan development flawed-nya – dan gagasan cerita – kurang ngena, kalo gak mau dibilang tereduksi dan gak fit lagi. Hubungan tokoh utama dengan tokoh-tokoh lain sesama prajurit juga dikurangi sehingga semakin menjauhkan si tokoh dengan ‘kenormalan’ yang beresonansi dengan kita. Versi animasinya masih jauh lebih superior, bercerita dengan lebih baik, dan terasa lebih natural. Disney seperti mengulangi kesalahan yang sama pada sebagian besar live-action-nya yang gagal: membuat sebuah fantasi menjadi realis.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MULAN.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian adakah batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar ketika kita membicarakan perihal sesuatu yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SONIC THE HEDGEHOG Review

“Home is something you run toward”
 

 
 
Lari film live-action dari tokoh video game ikon perusahaan Sega ini memang sempat diperlambat sedikit. Tadinya akan ditayangkan tahun 2019 yang lalu, akan tetapi begitu materi promosi pertama keluar; mereka nampilin penampakan Sonic yang desainnya jauh banget berbeda dari desain karakter yang asli, film lantas dicerca habis-habisan oleh fans. Sutradara baru Jeff Fowler menunjukkan bahwa ia benar-benar peduli dengan proyek yang ia tangani dengan mendesain ulang rupa Sonic menjadi seperti yang sudah kita kenal. Film ini mundur hingga ke 2020, dan berkat tindakan berdedikasi dari studio dan pembuatnya itulah kita mendapat sajian komedi dan aksi dari video game yang bukan sekadar ‘menguangkan nostalgia’ melainkan benar-benar menghibur. Dan dijamin tidak akan ada lagi keluhan dari penggemarnya mengenai karakter si Sonic ini sendiri, meskipun kisahnya sedikit berbeda dengan versi game (namanya juga adaptasi)
Sepanjang sepuluh tahun masa hidupnya, Sonic si landak biru elektrik (beneran bisa nyetrum!) disuruh untuk terus berlari. Supaya enggak kelihatan oleh musuh-musuh yang mengejarnya dari planet asal. Jika ketahuan, Sonic harus melempar cincinnya untuk membuka portal, berteleport kabur ke tempat lain. Kini Sonic bersembunyi di Bumi, di kota kecil bernama Green Hills (sayup-sayup terdengar sorakan nostalgia pemilik konsol Sega). Di tempat inilah Sonic merasa sangat kerasan. Dia merasa akrab dengan para penghuni, meskipun hanya dengan ‘mengintip’ aktivitas mereka setiap hari. Sonic kesepian. Dalam galaunya, Sonic gak sengaja bikin mati lampu seisi kota. Kekuatan listriknya tercium oleh pemerintah, yang mengirim ilmuwan mesin edan, Dr. Robotnik untuk memburu Sonic. Mau gak mau Sonic harus segera meninggalkan ‘rumah’, hanya saja saat jatidirinya ketahuan oleh seorang polisi lokal favoritnya yang bernama Tom, Sonic kehilangan cincin teleportasi yang begitu esensial untuk keselamatannya.

Pelari Film

 
Jika bagi Robotnik yang superpintar semua orang tampak sangat bego, maka bagi Sonic yang ngebut semua orang tampak bergerak lamban. Bahkan nyaris seperti diam di tempat. Film bermain-main dengan aspek kecepatan Sonic. Kita melihat berbagai aplikasi dari kekhususan Sonic dalam berbagai adegan dengan range mulai dari lucu-lucuan kayak adegan kartun – Sonic bisa berlari ke Samudra Pasifik untuk kemudian balik lagi karena menyadari ia gak bisa berenang, dalam beberapa detik – hingga ke adegan berantem yang fun ala Quicksilver di MCU dan X-Men atau ala Dragon Ball ketika Sonic marah dan mengumpulkan kekuatan listrik dari bulu-bulu landaknya yang tajam. Ada pembelajaran yang dilalui oleh Sonic, seperti dalam game yang setiap levelnya membuka ability/kemampuan baru untuk kita pelajari demi eksplorasi lebih luas dan mengalahkan musuh yang lebih tangguh. Film berusaha keras menempatkan Sonic yang supercepat ke dalam situasi yang membuatnya tidak bisa begitu saja menjadikan kecepatan sebagai jawaban.
Aku gak begitu gandrung main game Sonic. Terutama karena waktu kecil aku gak punya Sega; I’m more of a Nintendo and PlayStation boy, jadi aku jarang memainkan gamenya. Aku lebih mengenal Sonic lewat serial kartunnya yang dulu sempat tayang di televisi. Dan bahkan dengan sebegitu saja, film ini berhasil membawaku mengarungi euforia nostalgia. Banyak sekali referensi-referensi yang ditabur ke dalam film ini. Semuanya dilakukan dengan seksama, sepenuh hati, misalnya momen sepatu Sonic. Timingnya juga diperhatikan, seperti penggunaan sound-sound di game pada momen cerita yang pas. Film ini membuat detil kecil itu berarti. Sonic sendiri juga lucu sekali. Sifatnya bisa dijadikan teladan bagi anak-anak yang nonton, sedangkan sikapnya yang polos-tapi-cerewet membuatnya jadi seperti sahabat impian bagi anak-anak. Ben Schwartz menghidupkan karakter ini dengan kehangatan natural khas tokoh pahlawan anak. Makanya nonton filmnya jadi lebih menyenangkan meskipun Sonic harus berbagi porsi dengan tokoh manusia. Tokoh Robotnik alias Eggman yang terkenal nyentrik dan ‘bermulut ringan’ sudah paling pas dimainkan oleh the one and onlyJim Carrey. Tentu, tokoh ini ia mainkan dengan over-the-top; Carrey actually melakukan banyak improvisasi gerakan dan perkataan, karena begitulah penjahat dalam film kartun. Sonic the Hedgehog tidak berusaha menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Inilah yang membuatnya mencuat. Lebih menyenangkan ketimbang Pokemon Detective Pikachu (2019)yang entah apa sebabnya memilih menggunakan tokoh utama yang gak suka Pokemon… honestly, sampe sekarang aku masih heran sama film itu.
Mengadaptasi semesta kartun, Hollywood punya kebiasaan ‘memaksakan’ ada tokoh manusia, supaya penonton bisa lebih mudah relate. Seringnya adalah tokoh manusia itu tetap kalah menarik karena toh kita menonton bukan untuk melihat mereka, kan sebenarnya. Kita pengen menyaksikan Sonic, atau Pikachu, atau Smurf, hidup. Dalam film ini, tokoh manusia yang dimaksud adalah si polisi Tom yang diperankan karismatik oleh James Marsden. Walaupun aksi dan cerita tetap berpusat pada Sonic, film berhasil membuat Tom tetap menarik. Hal ini tercapai berkat penulisan tokohnya yang punya motivasi yang berkonflik pandangan Sonic. Konfliknya ini beda jenis dengan konflik Sonic dengan Robotnik; yang lebih in-the-face, berfungsi sebagai ancaman yang bikin anak kecil greget menontonnya. Konflik Sonic dengan Tom bersifat lebih emosional, ia berperan dalam pembangunan karakter; aspek yang lebih diapresiasi oleh penonton yang lebih dewasa. Sonic mendambakan kehidupan menetap, punya rumah, gak harus pindah, meskipun practically ia bisa ke mana saja asal ia mau, dia lebih memilih untuk tinggal di Green Hills sebab dia yang selama ini menonton kehidupan di sana sudah merasa begitu terattach dan menjadi bagian dari kota. Sedangkan Tom, polisi muda di kota kecil yang kehidupannya biasa-biasa saja, sudah sangat siap pindah ke tempat yang lebih menantang di mana ia bisa menjadi penyelamat beneran. Dua pandangan ini bertemu dalam mobil yang menuju San Fransisco, mereka berdebat, dan akhirnya menjadi teman baik karena masing-masing pendapat saling mengisi satu sama lain.

Dalam game Sonic, level disebut dengan istilah Zone. Dalam film Sonic, ‘Zone’ inilah yang persoalan Sonic. Zone as in safe zone, atau mungkin comfort zone. Sekilas, gagasan film terdengar aneh. Tom seperti mewakili perjuangan keluar dari comfort zone, sudah jadi rahasia umum untuk sukses kita harus berani keluar dari zona nyaman. Sonic seperti menentang ini, Sonic seperti menyugestikan untuk berkubang di zona nyaman.  Tapi sebenarnya bukan itu masalahnya, film lebih bicara soal zona aman. Yakni rumah. Ketenangan domestik. Sonic, Tom, dan kita semua semestinya tetap terus berlari demi mencari rumah. Keluar dari zona nyaman kalo perlu demi mencari ini. Tempat, di mana pun itu, yang berisi orang-orang yang kita sayangi.

 

saking cepatnya, Sonic bisa main baseball, jadi dua tim, menghidupkan banyak karakter sendirian

 
Secara plot, however, malah justru si Sonic yang perubahannya lebih sedikit ketimbang Tom. Polisi ini berubah jadi gak ingin pindah karena dia menyadari yang ia butuhkan. Sedangkan Sonic di akhir cerita memang mendapatkan yang ia inginkan, ia menyadari tak perlu pindah planet. sembari tetap butuh berlari mencapai yang ia inginkan tadi. Film belum benar-benar melingkar ketika membahas plot Sonic. Penyebabnya adalah karena kita hanya melihat Sonic pindah satu kali. Dia tidak lagi dikejar-kejar musuh aslinya selain pada adegan awal. Ini membuat Sonic tidak punya rutinitas yang bakal berubah di akhir cerita, karena yang kita lihat adalah Sonic di Bumi, harus pindah, lalu resolusi adalah dia diterima di Bumi — tidak ada breaking rutinitas (dari nyaman di Bumi kembali ke Bumi) seperti pada formula naskah biasanya.
Dan bukan sekali itu saja – tidak lagi membahas pengejar di awal – film melupakan hal yang mereka angkat. Babak satu berakhir pada poin yang cukup menegangkan bagi kedua karakter. Sonic diburu Robotnik, dan Tom; masuk berita dan dianggap sebagai teroris yang menghalangi pemerintah. Aspek Tom sebagai teroris ini tidak dapat follow-up lagi pada naskah, kita tidak melihat dia kesusahan masuk ke mana-mana, dia tidak kelihatan seperti orang yang dicari oleh negara. Pengejar mereka tetap satu, Robotnik. Tentu, ada dalih bahwa pemerintah juga sebenarnya tidak suka dengan Robotnik – mereka bisa bisa saja tidak percaya dan cap teroris itu disiarkan langsung oleh Robotnik sendiri – tapi dengan ditonton oleh orang banyak di televisi, seharusnya ada reaksi yang lebih genuine dari plot poin ini. Namun alih-alih itu, babak kedua film dihadirkan dengan cheesy, penuh selipan tren dan budaya-pop, bahkan untuk film yang esensialnya adalah kartun minggu pagi. Kita malah melihat mereka bersenang-senang di bar, menuhin bucket list Sonic yang ingin melakukan hal-hal normal dengan cara edan. Pada beberapa momen film menjadi bahkan kelewat cheesy, yakni saat mereka menggunakan iklan sponsor seperti restoran Olive Garden sebagai punchline.
 
 
 
Meskipun begitu, ada banyak cara yang lebih buruk dalam mengisi hari bersama si kecil, atau menghibur masa kecilmu; nonton film anjing yang anjingnya CGI misalnya. Setidaknya film ini lebih berdedikasi dan menghormati tokoh Sonic itu sendiri. Ceritanya menutup dengan teaser sekuel yang menggugah. Aksi dan interaksi antartokohnya menyenangkan. Beberapa cheesy karena film ini memang berada di jalur kartunnya. Punya bejibun referensi terhadap game, dan budaya pop masa kini sebagai penyeimbangnya. Jadilah film ini sangat menghibur, meski dengan naskah yang belum maksimal.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for SONIC THE HEDGEHOG

 
 
 
That’s all we have for now.
Desain Sonic sempat diganti karena netijen protes. Bagaimana kalian memandang fenomena ini? Baikkah jika penonton punya kontrol besar terhadap suatu karya? Haruskah pembuat film mendengar protes bahkan sebelum filmnya jadi? Atau apakah semua ini hanya taktik jualan sedari awal?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ALADDIN Review

“Freeing yourself by freeing others.”

 

 

 

Meminta sejuta permintaan lagi ketika diberikan jatah tiga permintaan, sekilas memang terdengar seperti ide yang cemerlang. Karena dengan begitu kita bisa punya permintaan tak-terbatas, kita bisa meminta apa saja yang kita kehendaki. Duit, ketenaran, kekuasaan, pendamping yang cakep; Dengan segala permintaan tersebut, kita dapat hidup sebebas-bebasnya! Tapi jika dipikirkan dengan akal yang sehat, toh tidak bakal ada yang namanya kekuatan atau kebebasan tak-terbatas. Walaupun kita punya permintaan sebanyak bintang di langit. Hal itu karena kebebasan kita eventually akan bertubrukan dengan orang lain. Hak asasi yang kita junjung pada akhirnya akan dibatasi oleh hak asasi orang lain. Dan semestinya tidak ada kekuatan yang lebih besar yang bisa kita minta untuk menghapus hak asasi dan kebebasan orang tersebut.

Aladdin, sama seperti versi animasi originalnya tahun 1992, berkata bahwa setiap orang punya hak untuk mendapat kebebasan. Setiap masalah yang timbul dalam film ini, selalu berasal dari satu kebebasan tokoh yang dilanggar. Film ini menunjukkan masyarakat yang ideal harusnya adalah masyarakat yang mencapai suatu keadaan di mana kehendak dan kebebasan penduduknya berada dalam posisi yang seimbang dengan kesempatan, juga kekuatan dari penguasa.

 

Secara cerita, Aladdin garapan Guy Ritchie memang sama persis dengan film originalnya. Konfliknya juga kurang lebih sama. Aladdin si pengutil jalanan jatuh cinta kepada Jasmine yang seorang putri sultan. Namun harapan belum sirna bagi Al, lantaran dia menemukan lampu ajaib berisi jin superlebay kocak yang bisa mengabulkan tiga permintaan. Aladdin meminta untuk menjadi pangeran supaya bisa berkelit dari hukum dan pandangan sosial berupa Putri mesti menikahi keluarga kerajaan.Namun di luar niat awalnya, permintaan Aladdin kemudian menjadi semakin egois, dan keadaan menjadi tidak bisa lebih berbahaya lagi saat lampu jin ajaib tersebut jatuh ke tangan penasehat kerajaan yang jahatnya luar biasa.

kata Aladdin jangan mau diperalattin

 

Tak pelak, sebagian besar dari kita mungkin sudah sangat akrab dengan jalan cerita Aladdin. Bahkan film live-actionnya ini sendiri tahu persis akan hal tersebut. Makanya kita melihat mereka memulai cerita dengan cepat; Literally lewat montase yang diiringi oleh lagu “Malam di Araaaaaab, seperti siangnyaaa”. Film mengasumsi semua penonton mereka hapal tokoh-tokoh cerita di luar kepala. Kita tidak diberitahu lagi kenapa Jasmine menyamar masuk ke pasar. It could be a right thing, karena Aladdin sendiri juga saat itu belum tahu siapa Jasmine, dan cerita bertahan di sudut pandang Aladdin. Tapi ini sedari 1992 adalah cerita yang kompleks soal kebebasan individu yang bisa saling berkontradiksi. Cerita Aladdin butuh untuk memperlihatkan banyak sudut pandang, karena setiap tokoh di dalamnya – yang berasal dari kelas sosial yang berbeda – berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan.

Aladdin si tikus jalanan yang untuk makan saja harus mencuri punya kebebasan semu dalam hidupnya; hanya karena tidak ada yang peduli kepadanya. Masyarakat memandang rendah dirinya. Aladdin boleh saja punya waktu yang luang, bisa semau-gue seenaknya, tapi dia tidak punya privilege. Tidak ada kesempatan untuknya menjadi lebih dari yang ia punya sekarang. Jika dia punya mimpi, dia tidak ada daya dan kesempatan untuk mewujudkan mimpi tersebut. Keadaan Aladdin ini bertimbal balik sama keadaan Jasmine. Putri yang punya semua materi tetapi amat sangat terbatas dalam gerakan. Pasangan hidupnya saja ditentukan oleh hukum istana. Jadi, kaya raya juga tidak menjamin kebebasan. Sebab tanpa kebebasan untuk bergerak, segala privilege itu pada akhirnya menjadi sia-sia. Bukan hanya tokoh manusia, Genie si Jin justru yang paling terkekang daripada semua. Genie bisa apa pun, mulai dari mengubah monyet menjadi gajah hingga membuat Aladdin bisa menari. Genie adalah tokoh terkuat, sihirnya tiada banding, tapi dia adalah pelayan. Tidak bisa bergerak sebelum diperintah. Dia bahkan tidak bisa membebaskan dirinya sendiri dari dalam lampu. Gelang yang ia kenakan bagi kita adalah perhiasan, namun baginya adalah belenggu. Dari Jasmine dan Genie kita tahu, kekayaan dan kekuatan bukan lantas ekual kebebasan

Selama dua jam lebih delapan menit durasi film ini, para karakter belajar mengenai apa sebenarnya makna kebebasan. Bagaimana cara mereka bisa bebas. Film animasi yang original hanya berdurasi sekitar sembilan-puluh menit. Plot-per-plot film tersebut berjalan dengan sangat ketat. Kita dapat mengerti keparalelan perjalanan para tokoh tersebut. Kita mengerti dosa terbesar Aladdin ialah percaya bahwa dengan menjadi kaya – berpura-pura menjadi Pangeran merupakan jawaban masalahnya. Aladdin tidak mengerti Jasmine jatuh cinta bukan karena statusnya, Aladdin gagal melihat Jasmine tidak mau dibeli dengan patung unta emas dan selai, melainkan Jasmine tertarik oleh kebebasan mengendarai permadani terbang. Maka Aladdin yang tak pernah punya apa-apa, menjadi sayang untuk meninggalkan apa yang sudah ia dapatkan dari lampu. Aladdin menganggap teman-temannya, Genie sebagai barang kepunyaan. Tahu gak apa yang terjadi pada barang-barang kepunyaan kita? Barang bisa hilang, bisa dicuri. Aladdin nyatanya hanya selangkah lagi menjadi seperti Jafar yang tidak menghormati kebebasan orang – dia pakai ilmu hipnotis untuk memuluskan rencananya! Bagi Jafar; kekuasaan adalah yang terpenting, dia tidak mengerti bahwa tanpa kebebasan maka kekuasaan tiada artinya.

Ketika kita menggunakan kebebasan orang untuk kepentingan diri sendiri, menganggap kita memiliki mereka, maka semua hal tersebut akan menjadi bumerang bagi diri kita. Jafar, contohnya. Aladdin juga hampir, jika ia tidak segera belajar untuk peduli sama Genie. Makanya, ‘membebaskan’ orang sejatinya adalah tiket menuju kebebasan diri kita sendiri. Tidak akan ada yang bisa benar-benar hidup bebas tanpa terganggu sampai semua hak dan kepentingan setiap orang diperhatikan.

 

Semua poin tersebut ada pada Aladdin versi live-action ini. Hanya saja dengan begitu lowongnya durasi, film memasukkan elemen-elemen baru. Salah satu yang paling menonjol adalah karakter si Jasmine. Wanita mandiri ini diberikan motivasi yang lebih kuat, yang lebih relevan. Dalam film ini, Jasmine juga punya keparalelan dengan tokoh Jafar. Jasmine dan Jafar essentially menginginkan hal yang sama. Dan memang sih, membuat film ini punya sesuatu yang fresh. You know, karena jaman sekarang film harus nunjukin karakter wanita yang kuat. Tapi, elemen ini gak begitu klop banget sama tema ‘membebaskan orang’ yang jadi nyawa utama film. Karena Jasmine ingin membuat things better untuk dirinya dengan usahanya sendiri. Di duapertiga film ada adegan Jasmine dengan Jafar yang membuatku speechless (yes, pun is very-well intended!) Terasa seperti dijejelin banget supaya ceritanya bisa diperpanjang. Naomi Scott bukannya jelek meranin Jasmine. In fact, aku bakal dirajam kalo bilang Scott jelek, di mana pun. Scott terlihat berusaha maksimal menghidupkan Jasmine versi baru ini. Hanya saja, penambahannya kayak setengah niat. Mestinya jika memang punya gagasan baru yang hendak diceritakan, ya bangun saja cerita baru berdasarkan gagasan tersebut. Jadikan Jasmine dan motivasinya sebagai sudut pandang utama. Jangan kayak ditambahin sekenanya seperti kayak ngisi lubang kosong.

Nostalgia bukan berarti kita punya free-pass buat tereak ikutan nyanyi di bioskop “Sambiiiiitt, Pangeran Ali!”

 

Sekiranya hal tersebut bersumber pada masalah pelik ketika kita menggarap remake dari sesuatu yang sangat sukses; Kita ingin membuatnya menjadi sesuatu yang baru sekaligus masih tetap stay true sama original. Paradoks. Dan sebagus-bagusnya kita mengrecreate, tetap saja yang bagus tadi itu sebenarnya hanya ‘nyontek yang dibolehin’. Serupa pula terasa pada adegan-adegan nyanyi pada film ini. Lagu A Whole New World, lagu Prince Ali; karena berusaha untuk enggak tampak dan terdengar sama-sama bgt ama versi aslinya, film mengubah susunan adegannya, sehingga pace lagunya jadi terdengar aneh. Lagu-lagu itu terasa singkat, sudah beres sebelum sempat membekas. Dan arahan adegan musikalnya sendiri pun lumayan aneh. Alih-alih banyak bermain dengan kamera, film malah bermain dengan kecepatan frame. Ada beberapa lagu dengan tari-tarian yang gerakannya seperti dipercepat. Sungguh aneh mengapa sutradara melakukan hal tersebut, masa iya sih karena waktu?

Tadi aku sempat bilang dosa terbesar Aladdin adalah percaya ia harus terus berbohong sebagai pangeran yang kaya. Aku mau ralat. Dosa terbesar Aladdin adalah membiarkan Mena Massoud dicast menjadi dirinya. Mentang-mentang Aladdin dalam film ini sama persis dengan versi animasi, Massoud jadi berdedikasi sekali menirukan gestur-gestur Aladdin animasi untuk menghidupkan Aladdin ‘beneran’. Yang mana menjadikan Aladdin terlihat bego, canggung, dan kaku. Yang jadi Jafar juga sama parahnya, malah lebih. Marwan Kenzari dengan tongkat hipnotisnya sama sekali tidak tampak meyakinkan sebagai manusia yang licik dan berbahaya. Jafar juga bego sekali dalam mengaplikasikan ilmu mindahin orang yang ia punya. Ironisnya, orang yang bertubi-tubi dicemo’oh saat trailer film ini rilis, justru menjadi penyelamat film ini. Jika gak ada Will Smith, niscaya film ini akan garing sekali. Dan aku bukan penggemar Will Smith. He’s not a better Genie than Robin Williams. Smith cringey ketika menjadi jin biru, tapi mendingan dan benar-benar mewarnai film ketika dia sudah masuk ke wujud manusia alis mode: om jin.

 

 

 

 

Film ini berjuang terlalu keras untuk menghidupkan animasi ke dunia nyata. Between CGI, adegan nyanyi yang dipercepat framenya, kamera yang sebagian besar hanya ngintilin jalan, dan permainan akting yang kaku; dunia film ini tidak pernah mencuat seperti dunia beneran. Yang mana berarti maksud mereka bikin live-action kurang kesampaian. Agrabah dan masyarakatnya hanya terasa seperti latar – lapangan untuk berparkour ria. Semuanya terasa kurang hidup. Bahkan Arab-nya sendiri agak-agak keindian yang membuktikan keignoran Hollywood – I mean, bahkan di WWE pun superstar Arab dan India biasanya dikasih moveset yang sama (Camel Clutch) seolah mereka gak tahu bedanya apa. Film terasa kesulitan bergerak antara harus sesuai dengan versi asli dengan harus tampak baru. Maka mereka fokus memoles alih-alih membangun. Semua yang bagus dalam film ini sudah pernah kita lihat sebelumnya. Dan mereka lebih seperti pertunjukan yang melakukan reka ulang alih-alih menghidupkan. Still, alot of people will enjoy it. Tapi nyatanya, setelah semua perayaan dan kembangapi di ending itu, ternyata ada satu yang belum punya kebebasan untuk menjadi dirinya sendir; ya film ini sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for ALADDIN. 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian kebebasan orang lain itu penting? Apakah kamu pernah merasakan kebebasan kamu dibatasi?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

POKEMON DETECTIVE PIKACHU Review

“The absent are never without fault, nor the present without excuse.”

 

 

 

Setiap anak pengen punya Pokemon. Kecuali Tim Goodman. Selidiki punya selidik, sifat keterkurangtertarikannya itu ternyata berkat ayahnya yang seorang detektif. Tim tumbuh menjadi pemuda yang antipati terhadap monster-monster lucu tersebut lantaran sang ayah lebih memilih menghabiskan banyak waktu memecahkan kasus-kasus bersama pokemon di kota ketimbang bareng dirinya. Keabsenan berubah menjadi misteri yang memanggil Tim untuk datang ke kota Ryme tempat ayahnya bekerja. Setelah sebuah kecelakaan besar, ayah Tim beneran menghilang. Jasadnya tidak pernah diketemukan. Satu-satunya harapan yang mengisyaratkan beliau mungkin masih hidup adalah pokemon partnernya, Pikachu, selamat dari kecelakaan tersebut. Pikachu yang memakai topi ala Sherlock Holmes itu bergerak lincah, sehat, berbicara lancar, mengajak Tim untuk bekerja sama memecahkan misteri. Tunggu. Berbicara?

Pikachu yang satu ini, bukan cuma listriknya loh yang menyengat

 

 

Pokemon Detective Pikachu secara teknis adalah adaptasi dari video game Pokemon berjudul Great Detective Pikachu yang rilis di Jepang tahun 2016 buat konsol handheld Nintendo 3DS. Jika boleh kutambahkan, film ini mengadaptasi game pokemon yang paling boring di antara game-game pokemon lain. Pokemon menjadi fenomena pop-culture yang dahsyat, ia punya serial anime yang sampai sekarang masih berlanjut, ia punya game kartu, Nintendo sendiri punya countless game pokemon RPG yang semuanya tentang anak yang keliling dunia menangkap pokemon, melatihnya untuk ditandingkan dengan pokemon peliharaan tokoh-tokoh lain. Kita bisa bilang pokemon ini adalah sabung ayam versi lebih cute dan lebih keren. Tak perlu lulus sekolah detektif untuk kita bisa melihat kesuksesan game mobile Pokemon Go-lah yang membuat film live-action ini menjadi kenyataan. Studi film tahu bahwa pokemon ini ada pasar yang menguntungkan. Kecanduan dari menangkap berbagai macam pokemon, kemudian melatih mereka untuk menjadi lebih kuat, berevolusi menjadi  even better, kemudian ngeclaim bragging right mengalahkan trainer yang lain, itulah inti yang menyebabkan pokemon menjadi begitu hits. Jadi, keputusan mereka malah mengangkat film dari game yang tanpa aksi, hanya berkeliling mencari petunjuk, memang cukup aneh buatku.

Berlawanan dengan pertanyaan yang diusung oleh film mengenai kenapa Tim bisa mengerti perkataan Pikachu, melihat film ini pertanyaan yang muncul di benakku malahan adalah apakah pembuatnya mengerti perkataan/permintaan para penggemar?

 

Tapi hey, paling enggak film ini mengerti cara memvisualkan para pokemon tersebut dengan benar, baik itu sesuai dengan bentuk maupun kemampuan yang sama persis dengan versi game dan animenya.

Sutradara Rob Letterman yang sebelumnya berhasil menghidupkan monster-monster mengerikan dalam Goosebumps (2015) memang mengerti untuk tidak mengkhianati penggemar secara visual. Pokemon benar-benar tampak hidup, seperti layaknya binatang di dunia nyata. Kita seolah bisa merasakan halusnya bulu Pikachu, keras dan bersisiknya badan Charizard, hanya dengan melihat mereka. That’s how good the visual in this movie. Di samping alasan nostalgia, kupikir kenapa pokemon-pokemon dalam film ini lebih didominasi oleh generasi pertama (yang muncul di kartun dulu) padahal secara timeline, film ini mengacknowledge generasi pertama itu sebagai masa lalu adalah karena desain pokemon-pokemon jadul lebih kelihatan cocok dengan dunia nyata ketimbang pokemon generasi baru yang kelihatan lebih seperti mainan ketimbang makhluk beneran. Untuk beberapa menit awal, kita akan dimanjakan oleh imajinasi hidup bersama pokemon, melihat pokemon di alam liar.

Tapi kemudian film seperti menyempitkan dunianya. Kita diajak masuk ke dalam kota Ryme – kota megapolitan yang visualnya juga luar biasa grande – di mana pokemon-pokemon itu dipasangkan dengan manusia. Literally, satu manusia masing-masing punya partner satu pokemon. Kayak konsep digimon. Meskipun toh seru juga melihat kerjasama manusia dan pokemon, seperti pemadam kebaran dengan barisan Squirtle, tapi keajaiban yang kita lihat di luar kota seperti menguncup. Ryme seperti tiruan yang aneh dari kota Zootopia. Dunia di dalam kota ini juga tidak pernah benar-benar dijelaskan cara kerjanya seperti apa. Apakah partner pokemon diassign sesuai pekerjaan, atau boleh bebas memilih, misalnya. Keseruan menangkap pokemon liar digantikan oleh melihat pokemon berjalan bersisian dengan manusia. Ketika film membawa kita mengikuti Tim dan Pikachu ke arena pertarungan underground, ataupun ketika ada sekuen aksi yang berhubungan dengan kekuatan pokemon, itulah saat sebenar-benarnya hiburan terasa. Aku berharap adegan seperti demikian jauh lebih banyak porsinya. Tapi di lain pihak, aku toh tidak bisa memberikan nilai 3 buat film ini hanya karena aku tidak mendapat pokemon yang aku inginkan. Kita tidak bisa ‘mengajarkan’ kepada film mana cerita pokemon yang benar, pembuat film sah-sah saja jika ingin mengangkat cerita pokemon dari gagasan dan versi pilihan mereka.

That being said, mari kita lihat bagaimana film ini memperlakukan ceritanya.

Jargonnya bukan “Gotta catch ’em all” lagi karena poligami itu enggak baik

 

Cerita film ini tepatnya adalah cerita buddy-cop dengan Pikachu dan Tim sebagai pusatnya. Bagian terbaik film ini jelas adalah suara Ryan Reynolds dalam tubuh mungil berwarna kuning berekor zig-zag. Meskipun kadang-kadang suara dan tubuh itu mentok banget, namun Pikachu yang dibawakan Reynolds akan jarang sekali membuat kita krik..krikk.. oleh komedinya. Aku terbahak keras ketika Reynolds menyanyikan lagu tema serial kartun Pokemon. Misteri yang Pikachu dan Tim hadapi sih sebenarnya enggak begitu membuat penasaran, tapi kita mendapat banyak momen humor jenaka darinya. Misalnya ketika Pikachu dan Tim menginterogasi Mr. Mime. Elemen investigasi film ini memang tidak digambarkan serius-serius amat, malahan cenderung ‘mudah’. Tidak ada teka-teki cerdas yang harus mereka pecahkan. Tidak ada petunjuk-petunjuk tersembunyi yang harus mereka temukan. Pikachu juga tidak pernah benar-benar menemukan kesulitan dari amnesia yang ia derita akibat kecelakaan. Mereka tidak benar-benar memecahkan misteri, sebab film mengandalkan hologram canggih sebagai device eksposisi yang secara praktis menihilkan tantangan kedua tokoh.

Fokus diniatkan kepada tokoh manusia. Film membuat Tim sebagai tokoh yang bisa kita sebut sebagai anti- dari tokoh-tokoh utama Pokemon sebelum ini. Dia enggak mau punya partner pokemon. Kebohongan personal/Lie yang ia percaya adalah dia tidak butuh pokemon, yang berakar dari Luka masalalu/Wound ditinggal oleh ayahnya. Perjalanan inner Tim adalah soal dia yang ‘terpaksa’ mandiri harus menyadari bahwa dia sebenarnya butuh banget sosok yang mensupport dirinya. Ini berkebalikan dengan tokoh-tokoh di serial dan movie anime yang seringkali harus belajar untuk percaya kepada kemampuan diri sendiri, bahwa mereka bukanlah bukan siapa-siapa tanpa pokemon, bahwa kehadiran partner pokemon adalah bukti kekuatan mereka sendiri. Dengan kata lain, film ini sebenarnya menarik karena punya tokoh yang melawan pakem semesta pokemon itu sendiri. Pokemon Detective Pikachu ingin menonjolkan drama antarmanusia dengan pokemon sebagai asesorisnya. Masalahnya adalah; tokoh-tokoh manusianya ini tidak pernah dibuat lebih menarik daripada para pokemon.

Tim merupakan tokoh yang sangat menjemukan, sekaligus ngeselin. Dan itu bukan semata karena permainan akting bland Justice Smith yang semakin kebanting dipasangkan dengan Reynolds, melainkan juga karena tuntutan naskah. Ini tentang Tim mencari ayahnya, arc tokoh Tim ini secara garis besar bergerak dari dia yang tadinya tidak peduli sama sang ayah berubah menjadi peduli. Untuk menggambarkan hal tersebut, kita dapat tokoh yang sebagian besar waktu tidak benar-benar termotivasi. Pada menjelang pertengahan, bukan saja Tim tidak tahu di mana ayahnya yang mungkin saja telah mati, dia juga tidak peduli. Ini membuat kita juga susah peduli sama tokoh ini. Dalam cerita pokemon, film malah memberikan kita tokoh utama yang gak suka pokemon, yang enggak peduli dia punya partner atau tidak – sesungguhnya itu adalah problem yang nyata buat cerita. Kita tidak benar-benar bersama si tokoh utama, karena aku yakin semua yang nonton film ini suka ama pokemon, atau paling tidak menonton karena pengen melihat pokemon. Tim, dia sebodo amat ama pokemon. Tokoh ini tidak memandang pokemon dengan ketertarikan. Satu tokoh manusia yang lumayan menarik buatku adalah Lucy, jurnalis magang yang pengen menguak misteri hilangnya ayah Tim demi karirnya sendiri. Tapi itupun menarik sepertinya karena aku agak bias lantaran si Kathryn Newton ini orangnya manis banget.

Dan cerita tentang anak dan ayah ini pun pada akhirnya lebih menimbulkan kecanggungan ketimbang menawarkan kedalaman. Tidak banyak yang bisa kita gali. Tim, meskipun pandangannya terhadap ayah sudah berubah, namun kita tetap tak bersimpati karena di akhir cerita dia masih bukan seperti kita-kita. Tim tetap tidak punya partner pokemon, dan dia masih tidak peduli sama hal tersebut. Hubungannya dengan Pikachu akan menjadi sangat awkward, karena sebagaimana yang diperlihatkan oleh film ini, semua perjalanan itu sebenarnya adalah tentang Tim dengan ayahnya. Menurutku akan jadi sentuhan yang bagus jika film ini mempasangkan Tim dengan Cubone yang berusaha ia tangkap di awal cerita.

 

 

 

 

 

Dibuat untuk mewujudkan imajinasi penggemar Pokemon tentang dunia di mana manusia dan pocket monster hidup berdampingan. Visualisasi mosnter-monsternya keren. Pikachu-nya lucu, meski mungkin lucunya berbeda dengan yang dibayangkan. Sekuen aksinya seru, dan literally kita pengen nambah (karena porsinya minim). Para penggemar pokemon akan menikmati film ini, asalkan bisa berpikiran terbuka terhadap pilihan yang dilakukan oleh film. Pokemon-pokemon yang dipimpin oleh Pikachu itu tetap menjadi bagian terbaik film, hanya saja cerita berpusat kepada tokoh manusia – terutama ayah dan anak – yang tidak pernah ditampilkan lebih atau malah semenarik tokoh pokemonnya. Enggak akan gampang untuk kita mengatakan “I choose you!” kepada film ini karena ia menghadirkan tokoh utama yang membosankan.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for POKEMON DETECTIVE PIKACHU.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa makna ketidakhadiran seorang ayah dalam sebagian besar hidup anaknya? Apakah film ini menawarkan solusi soal keabsenan seorang ayah yang menjadi tema/inti utama cerita? Apakah menurut kalian Tim akan bertemu dengan ayahnya jika kecelakaan di awal cerita tidak terjadi? Apakah kalian punya solusi sendiri mendekatkan anak dengan ayahnya?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

DUMBO Review

“Put your heart, mind, and soul into even your smallest acts”

 

 

 

Dumbo, gajah kecil yang punya sepasang telinga begitu lebar sehingga bisa dikepakkan seperti sayap, sejak tahun 1941 (animasi originalnya) sudah membawa serta perasaan penonton untuk terbang bersamanya. Film animasi tersebut begitu uplifting. Itu adalah masa-masa di mana Disney masih berupa studio yang purely menggarap ‘sihir; dalam setiap gambarnya. Dipenuhi oleh tokoh-tokoh hewan yang bisa bicara, Dumbo tatkala itu adalah perlambangan seorang manusia cacat – terlahir berbeda dari golongannya –  yang dikucilkan, kemudian dipisah dari ibunya; dari satu-satunya orang yang lahiriah menerimanya. Tim Burton, dalam versi live-action animasi klasik Disney ini, membuat cerita Dumbo lebih literal. Dihadirkan tokoh-tokoh manusia yang punya keparalelan dengan apa yang dialami oleh Dumbo (dan ya, dibacanya ‘dambo’ bukan kayak lele, you dum-dum!)

Tokoh utama dalam film ini adalah Colin Farrell yang berperan sebagai Holt Farrier, seorang pria yang baru pulang dari medan perang. Tanpa sebelah lengannya. Holt disambut oleh kedua anaknya (dua-duanya dimainkan dengan joyless banget, sepertinya lantaran dua aktor cilik ini terlalu dipusingkan sama aksen amerika mereka), dan kemudian mereka pulang ke rombongan sirkus. Ke kehidupan lama Holt. Tapi kemudian dia menyadari lengan bukanlah satu-satunya yang pergi darinya. Istri Holt sudah tiada. Kuda partner sirkusnya sudah dijual. Dan bahkan sirkus mereka sudah tidak serame biasanya. Merasa malu dan juga kehilangan atraksi, Holt ikhlas ditempatkan sebagai pengurus gajah. Dan saat itulah Dumbo lahir. Dua makhluk tak-sempurna ini bertemu, dan kita bisa menebak Holt bakal belajar satu-dua hal dari gajah kecil yang ia jaga tersebut.

dan kita juga akan melihat Batman dan Penguin reunian

 

Menghidupkan cerita klasik ini ke dalam napas yang modern sudah barang tentu akan menjadi suatu pertanyaan. Dalam kasus Dumbo, pertanyaan tersebut sekiranya bukan ‘kenapa’, melainkan ‘bagaimana’; Bagaimana caranya gajah lucu tersebut dijadikan live-action – bagaimana caranya cerita hewan-hewan yang menyimbolkan manusia tersebut bisa dimanusiakan lebih lanjut. Bagaimana Tim Burton bisa membawa hati cerita ke dalam visual yang sudah jadi cap dagangnya; gaya aneh nan kelam. Turns out, si gajah Dumbo tetaplah Dumbo yang kita kenal. CGI berhasil membuat gajah ini menjadi satu-satunya yang bernapaskan simpati, lihat saja ketika dia dirias seperti badut – ekspresinya tergambar kuat banget di situ. Dumbo, walaupun harus membagi spotlight dengan tokoh manusia, tetap adalah hati dari cerita, literally. I mean, di samping Dumbo, aku tidak lagi merasakan emosi pada tokoh-tokoh yang lain. Dan ini sebenarnya cukup aneh, lantaran film ini mengedepankan tokoh manusia tapi malah kita gak merasakan apa-apa buat mereka. Tapi setiap kali Dumbo muncul di layar, entah itu ketika dia ketakutan disuruh lompat, atau ketika dia mengunjungi ibunya yang dikurung karena dituduh gila, atau ketika dia terbang, kita yang menonton akan seketika terisi oleh joy, perasaan lega, haru, sedih.

Meskipun tokoh-tokoh hewannya tergantikan oleh tokoh manusia (Timothy si tikus cuma jadi cameo, will probably piss a lot of people off), tapi tetep masih terasa respek yang kuat terhadap film aslinya. Burton menebarkan reference dan dialog-dialog yang bakal membawa kita bernostalgia. Aku sendiri, aku enggak sabar pengen melihat gimana sutradara ini menghidupkan adegan ‘Pink Elephants’ yang serem itu. Adegan ini ikonik banget; Dumbo gak sengaja minum alkohol sampai mabok dan di depan matanya bermunculan gajah berwarna pink, beraneka rupa, berparade sambil bernyanyi. Dan aku suka dengan cara Burton memasukkan Pink Elephants ini ke dalam film yang baru. Alih-alih mabok – jaman sekarang mah orang bakal langsung ketrigger kalo ada adegan anak kecil mabok, I mean membuat ceritanya tetap bersetting di sirkus hewan aja kayaknya udah melanggar moral banget buat standar modern kita – Dumbo melihat Pink Elephant dalam bentuk gelembung-gelembung sabun sebagai bagian dari pertunjukan yang ia lakoni. Visual sekuen adegan tersebut memang keren banget, creepy-fantasy masih kerasa, dan itu salah satu yang kusuka dari film Dumbo ini.

Dalam film aslinya, Dumbo barulah terbang di sepuluh menit terakhir. Dengan kata lain, terbang itu adalah bagian dari resolusi akhir cerita tokohnya. Bagaimana Dumbo menemukan sisi positif dari keadaannya, dan dia tidak perlu lagi bergantung kepada pemikiran orang – dia bisa terbang tanpa bantuan bulu. Dalam film baru ini, Dumbo sudah dilatih terbang di babak pertama. Arc Dumbo sebenarnya kurang lebih sama, kali ini yang ditekankan adalah ketergantungan Dumbo terhadap bulu yang ia pikir ajaib tersebut. Tapi sebenarnya ini riskan; saat pertama kali mengetahui dirinya mampu terbang, Tim Burton berhasil mencapai ketinggian emosi yang sama dengan saat kita melihat Dumbo terbang di menjelang akhir film animasi jadulnya. Build upnya dilakukan dengan benar, ada stake Dumbo bisa celaka jika gagal, dan melihatnya terbang di atas penonton sirkus – menyemprotkan air ke wajah anak-anak yang tadi menertawakan dirinya adalah perasaan yang menggelora. Namun semakin ke belakang, efek melihat Dumbo terbang akan semakin berkurang. Burton sadar akan hal ini, maka dia berusaha memvariasikan tantangan dari adegan pertunjukan terbang yang berulang, tapi memang tidak pernah efeknya sekuat adegan yang pertama. Dan masalah utamanya menurutku terletak pada posisi Dumbo di cerita

I snorted then I fly

 

Dumbo harus beratraksi terbang bersama Eva Green yang menungganginya. That’s pretty much what happened as a film; tokoh-tokoh manusia di filmnya menunggangi Dumbo. Gajah lucu itu, ceritanya yang mestinya polos, terbebani oleh kepentingan cerita tokoh-tokoh manusia yang begitu random. Tokoh Eva Green adalah salah satu yang paling random; pertama kali dimunculkan dia kayak jahat, tapi lantas baik kepada anak-anak Holt, kepada Dumbo, tidak ada transisi dari tokoh ini jahat ke semakin baik. She’s just change. Yang paling aneh buatku adalah dia udah baik tapi masih tetep nendang Dumbo. Film Dumbo yang dulu hanya satu jam lebih empat menit, dan di film ini keseluruhan durasi tersebut seperti dipadatkan di paruh pertama, sehingga paruh kedua film bisa diisi oleh cerita baru yang melenceng jauh dari poin cerita Dumbo itu sendiri. Eva Green yang jadi Colette adalah salah satu performer dari sirkus korporat yang membeli sirkus tempat Holt bekerja; bayangkan Disney yang membeli studio lain, merangkulnya dalam satu payung – dan bayangkan taman hiburan, hanya saja bernuansa seram dengan salah satu wahana berisi hewan yang didandani seperti monster. Sirkus korporat yang dipimpin oleh Michael Keaton hanya mau mengeksploitasi Dumbo saja, karena beberapa hari setelah akuisisi, troupe sirkus Holt dipecat. Dan cerita pun berubah menjadi misi penyelamatan Dumbo dan ibunya oleh rombongan sirkus yang berontak karena diberhentikan secara sepihak.

Setidaknya ada tiga logika film yang enggak masuk buatku. Pertama adalah soal putri Holt yang menolak untuk tampil di sirkus, dia pengen jadi ilmuwan, dia ingin beraksi dengan otaknya. Tetapi justru dialah yang punya ide untuk membuat Dumbo menjadi bintang sirkus supaya mereka punya uang untuk membeli kembali ibu Dumbo yang dijual kepada sirkus korporat, dia yang melatih dan melakukan berbagai percobaan kepada Dumbo supaya si gajah bisa terbang. Kupikir-pikir, gadis cilik ini pastilah jadi evil-scientist ntar gedenya, meskipun tujuannya baik tapi tetep aja dia mengeksploitasi kan.

Kedua adalah sirkus kecil Medici Brothers tempat Holt berada itu sendiri. Dalam film aslinya, Dumbo dikucilkan oleh sesama gajah. Di film ini si Medici yang diperankan oleh Danny DeVito-lah yang pada awalnya gak mau menerima Dumbo. Menjelang akhir tokoh Medici ini actually yang paling menarik, tapi di awal-awal ini aku gak mengerti mengapa pemimpin sirkus enggak seneng sama sesuatu yang freak? Bukan hanya Dumbo, si Holt yang buntung juga tidak disambut antusias – bukankah sirkus mestinya seneng punya freakshow? Begini aku memandang elemen mereka; Sirkus Medici yang menampilkan pertunjukan ‘palsu’ sedang sulit keuangan, sehingga pemimpinnya pengen menyuguhkan sesuatu yang asli. Namun bayi gajah mereka terlahir ‘cacat’ sehingga ia takut dituduh menjual gajah palsu oleh publik. Lengan buntung Holt pun disamarkan dengan lengan palsu ketika muncul di arena. Pengucilan yang diterima Holt dan Dumbo seperti maksa dan enggak cocok sama poin pengucilan pada Dumbo original.

Tentu saja ini membawa kita ke logika cerita ketiga yang tidak aku mengerti. Apa sih arc Holt dan pesan atau gagasan yang ingin disampaikan oleh film ini. Plot tokoh Holt seperti ngambang begitu saja, di pertengahan dia seperti malu dikenali sebagai kapten yang lolos dengan lengan buntung alih-alih gugur di medan perang. Tapi di akhir film kita melihat dia tampil, dengan lengan robot. Aku benar-benar gak bisa ngikat poin A ke B. Apa yang ia pelajari? Dan putrinya tadi; di akhir film anak cewek ini melakukan pertunjukan gambar bergerak seperti bioskop. Bagaimana ini lebih baik daripada melakukan pertunjukan yang asli? Di akhir cerita memang seperti berkata bahwa semua orang menjadi lebih baik ketika mereka diberikan kesempatan untuk melakukan kemampuan mereka yang sebenarnya, tapi menunjukkan hal tersebut dengan cara yang aneh. Aku sampe sekarang masih gak abis pikir gimana caranya Dumbo dan ibunya naik kapal sampai ke hutan.

Mungkin film ini ingin menunjukkan bahwa ada hal yang tidak mungkin di dunia, dan hanya bisa dimungkinkan dengan ilmu pengetahuan. Biarkan otak kita yang beraksi sehingga kita bisa mencapai lebih jauh, bisa terbang lebih tinggi.

 

 

Film ini benar-benar membuatku merasa rendah hati. Mendaratkanku ke tanah. Aku tidak menyangka setelah sekian lama membuat review, aku menemukan film anak-anak yang aku tidak mengerti logikanya. Aku actually memikirkan film ini selama tiga hari, aku pengen nonton lagi karena aku pikir ‘masa sih film ini begini?’ Tidak ada yang salah dengan si gajah Dumbo. Adorable, penuh emosi, dan membuat kita peduli. Hanya saja, tempat dunia di mana dia dijadikan tunggangan inilah yang begitu rush out, yang begitu acakadut. Dan cerita membuat tokoh-tokoh manusia merebut spotlight dari Dumbo. Secara gaya aku lumayan suka, it’s really dark seperti yang bisa kita harapkan dari Tim Burton. Alih-alih ngejual ibu Dumbo untuk profit, pihak sirkus korporat lebih memilih untuk membunuh dan menjadikannya sebagai bahan sepatu. Anak kecil bisa-bisa trauma begitu mereka menyadari dialog subtil yang dimiliki oleh film ini. Aneh ketika sebuah fabel – cerita hewan – diparalelkan secara literal dengan kehadiran tokoh manusia. Maksudku, itu seharusnya membuat fabel tersebut jadi lebih sederhana kan? Tapi ternyata cerita film ini malah lebih terbebani.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for DUMBO.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian ada alegori tersembunyi dalam film ini? Mengapa menurut kalian memakai hewan untuk sirkus dianggap tidak manusiawi? Apakah ada bedanya dengan memakai hewan sebagai objek riset dan kelinci percobaan untuk penelitian?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

CHRISTOPHER ROBIN Review

I’ll fly before I change

 

 

 

Dasar Silly Old Bear. Begitu biasanya Christopher Robin menutup setiap percakapan dengan menggoda Winnie the Pooh, boneka beruang yang jadi sahabatnya. Pooh yang kerap bicara dengan perutnya sendiri yang selalu lapar. Jika ditanya hari apa yang menjadi hari favoritnya, Pooh akan menjawab “Hari ini.” Memang kebangetan lugunya, makanya jadi lucu.  Tapi lantas, Pooh juga menganggap Christopher yang membawa tas kerjaan ke mana-mana, sedangkan putrinya yang ia bilang paling berharga selalu ia tinggal, bersikap tak kalah lucu. Hmmm, mungkin kata-kata tadi sudah berbalik arah. Mungkin kinilah saatnya giliran Pooh menggoda Christopher dengan “dasar, Silly old Human”

Christopher Robin sudah siap meninggalkan masa kecilnya yang memang sangat menyenangkan, setiap hari dia masuk ke lubang pohon di belakang rumahnya, untukk bermain-main dengan Pooh dan teman-teman boneka hewan yang lain di Hutan Seribu Acre. Film ini dibuka dengan Pooh, Piglet, Eeyore, Tigger, Rabbit, Owl, Kanga, dan Roo mengadakan pesta perpisahan untuk Christopher yang di usianya yang ke Sembilan itu harus masuk Boarding School. Berjanji untuk berteman selamanya, Christopher menutup pintu di depan teman-teman semua. Dan dia gak pernah menoleh balik. Selepas dari ‘Boring School’ (kata Pooh, loh), Christopher menikah, masuk militer, dan bekerja di perusahaan koper. Ia kepala keluarga sekarang, mana ada waktu untuk bermain-main. Dia tahu dia harus serius karena mimpi itu enggak gratis. Saking sibuknya kerja, Christopher enggak ada waktu untuk putrinya; Madeline, yang ia suruh untuk dewasa lebih awal dari dirinya di usia 9 tahun. Apalagi untuk mengunjungi Pooh, faktanya, sudah tiga puluh tahun, Christopher tidak memikirkan teman-teman yang ia tinggalkan di Hutan tersebut. Menyebabkan Pooh merasa kesepian. Beruang itu nekad masuk ke lubang tempat Christopher biasanya muncul, dan sampailah Pooh ke London. Ke  tengah-tengah kehidupan nyata Christopher Robin.

jangan garuk-garuk pantat dong, Pooh, norak tauk!

 

 

Bertumbuh di waktu Winnie the Pooh lagi masih cukup hits, susah bagiku untuk gak ikut-ikutan suka sama beruang ini. Karena memang ceritanya bagus, tokoh-tokohnya lucu. Aku nonton kartunnya di VCD, aku punya majalahnya, punya edisi komik dari film-filmnya, aku bahkan nontonin serial balita My Friends Tigger and Pooh while I’m babysitting my baby brother (ternyata, serial itu tidak dianggap kanon oleh film ini, bayangkan kecewaku hihi). Cerita Winnie the Pooh favoritku adalah cerita Tigger yang mencari keluarganya – dia melatih Roo melompat supaya bisa dijadikan adiknya, dan kemudian Pooh dan teman-teman yang lain berdandan ala Tigger, mereka sampai memasang per di kaki masing-masing bisa bisa melompat kayak Tigger, semua menyamar menjadi keluarganya supaya Tigger senang – cerita Pooh selalu menghangatkan hati seperti demikian. Film Christopher Robin pun tak luput dari akrab dan bikin hati kita berbulu lembut dan hangat seperti demikian. SEMANIS MADU, DEH! Di cerita-cerita yang dulu, Christopher Robin adalah tokoh yang paling jarang dibahas, anak cowok ini biasanya muncul di awal, kemudian di akhir – sebagian besar untuk ‘menyelamatkan’ Pooh dan teman-teman yang begitu polos. Makanya, film live-action ini terasa benar perbedaannya. Kita akan melihat Pooh dan teman-teman dari mata Christopher Robin yang semakin dewasa ke titik di mana dia mengakui dia sudah ‘memecat’ Pooh and the genk sebagai teman. Sense pertumbuhan kuat sekali, cerita tidak berdalih dari majunya waktu; dari konsekuensi kehidupan nyata yang dihadapi oleh orang dewasa.

Tetapi, apa sih ‘Kehidupan Nyata’ itu? Kalo ‘Nyata’ kenapa kita memandangnya dengan tanpa senang hati; kenapa Christopher malah jadi jarang tersenyum? Jangan-jangan kebahagiaan itu memang sesederhana balon merah yang dipegang oleh Pooh

 

 

Hubungan antara Christopher dan Pooh selalu adalah inti hati dari cerita ini, dan dengan pertumbuhan yang dialami oleh sang pemilik, kita merasakan hubungan tersebut turut berubah. Lewat animasi komputer yang menawan (lihat bulu-bul.. ah benang-benang tubuh Pooh begitu detil saat dia berjalan menyisir padang bunga), kita akan melihat perubahan di mana kini Christopherlah yang butuh ‘pertolongan’ Pooh. Satu perfectly throwback scene yang kocak adalah ketika Christopher nyangkut di liang dan Pooh berdiri di sana ngeliatin. Memang sih, cerita tentang orang dewasa yang melupakan masa kecilnya sudah sering kita lihat. Ada sedikit kemiripan elemen dengan Toy Story (1995), bahkan kita bisa bilang film ini banyak miripnya ama Hook (1991) di mana Peter Pan yang sudah manusia normal kembali ke Neverland. Poin ini, tak pelak, mengurangi keistimewaan Christopher Robin. Membuat kita terlalu cepat memutuskan, dan tidak benar-benar melihat kesubtilan pesan yang dimiliki oleh film; yang memberikannya sedikit jarak dengan film-film serupa.

Film ini tidak menyuruh orang dewasa untuk meninggalkan pekerjaannya. Melainkan meminta bapak-bapak, ibu-ibu, siapa yang punya anak, untuk melihat apa yang mereka tinggalkan saat dewasa, untuk mengingat kembali seperti apa mereka saat masih kecil. Christopher Robin tidak dibuat berhenti bekerja dan memilih untuk bersenang-senang sepanjang waktu. Yang kita lihat adalah perjalanan Christopher Robin, seorang yang sudah menjadi begitu tak-menyenangkan akibat tekanan pekerjaan, dalam menyadari bahwa dirinya yang sekarang masih sama dengan dirinya tiga puluh tahun lalu. Tumbuh menjadi dewasa bukan berarti kita berubah menjadi orang lain, meninggalkan diri kita yang sebenarnya. Dan eventually, kita akan melihat gimana Christopher Robin, yang setelah menyadari dia adalah dirinya yang dulu, menjadi lebih baik dalam pekerjaannya – dia jadi punya ide yang cemerlang untuk mengatasi masalah perusahaan.

Film ini dilarang tayang di Cina karena presidennya ngamuk dikatain mirip ama Pooh; sensitif atau kekanakan? You be the judge

 

 

Doing nothing pada film ini enggak semestinya kita artikan literal sebagai solusi berupa  gak usah ngapa-ngapain. Something, dikatakan oleh film ini, berasal dari nothing. Ini merefleksikan gimana segede apapun pekerjaan kita sekarang, kita semua berawal dari seorang anak kecil yang polos. Dan anak kecil polos yang kita berusaha untuk kita lupakan itulah yang membuat kita menjadi seperti sekarang. Kita sewaktu kecil bukannya enggak-berarti apa-apa. Monster yang kita ciptakan sewaktu itu, Heffalump dan Woozle itu bukanlah makhluk fantasi yang akan hilang ketika kita sudah bekerja. Mereka menjadi ‘nyata’, karena benar, life got real. Begitu juga dengan apa yang bikin kita bahagia semasa kecil; masih akan terus bikin kita bahagia hingga uzur nanti. Jadi kenapa mesti malu dengannya? Kenapa Christopher mesti malu dia bisa menggambar dan punya boneka? – hal inilah yang dipelajari oleh dirinya, yang membuatnya sadar dan memandang hidup penuh tanggung jawabnya sekarang sama indahnya dengan masa-masa yang ia habiskan di Hutan Seribu Acre.

Selalu sediakan ruang untuk pengembangan diri, kenali kesalahan dan belajar darinya, terus bertumbuh menjadi manusia yang lebih baik lagi. Akan tetapi, jika untuk menjadi dewasa berarti adalah mengubah diri menjadi orang lain – menjadi sesuatu yang bukan diri sendiri, maka aku menolak untuk menjadi dewasa.

 

 

 

Sama seperti madu yang dimakan oleh Pooh, cerita manis ini bisa dinikmati kapan saja. Kepolosan Pooh akan selalu lucu, bukan hanya slapsticknya, melainkan juga dialog “Doing nothing is impossible. But I do nothing all day.” Gold banget! Dengan animasi yang memenuhi harapan dan fantasi kita, film ini punya semua yang kita harapkan dari cerita Winnie the Pooh; menyenangkan, hangat, lucu, sempurna buat keluarga. Lebih diarahkan buat orang dewasa sih sebenarnya, tapi anak-anak kecil tentunya bakal terhibur juga; Tontonkan mereka ini supaya bisa melihat bahwa orangtua mereka – yang di mata mereka mungkin selalu serius dan galak – nyatanya dulu pernah jadi anak-anak juga, yang bermain, berkhayal, sama seperti mereka. Meski begitu aku juga dapat melihat hal-hal yang jadi turn-off buat beberapa orang, seperti ceritanya yang udah sering, formulaic, dan gak benar-benar menjelaskan Pooh dan teman-temannya itu kalo bukan bagian dari imajinasi, kenapa mereka bisa ada di sana. Tapi buatku, terlalu nge-nitpick melihatnya dengan begitu; Toh film ini bekerja dengan baik dalam konteks dan dengan konsep yang ia miliki tersebut.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CHRISTOPHER ROBIN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

GHOST IN THE SHELL Review

“Eyes are the window to the soul”

 

 

Film adaptasi dari anime — yang actually saduran dari manga klasik – ini punya beban yang berat bertengger di pundaknya. Elemen filosofis dan pencapaian teknikal membuat versi originalnya yang keluar tahun 1995 dinobatkan sebagai salah satu anime terbaik yang pernah dibuat. Banyak film-film sci-fi yang membahas tentang artificial intelligence dan sebagainya openly admit dipengaruhi oleh elemen dalam cerita Ghost in the Shell. Jadi, garapan Rupert Sanders ini bener-bener has a lot to live up to. Sehingga sampai detik pantatku mendarat mulus di kursi bioskop, aku masih terombang-ambing antara gembira dan ragu-ragu. But mostly aku takut, lantaran aku gak mau Hollywood merusaknya sehingga ini menjadi Dragon Ball kedua. Dan serius, jika kalian mengaku penggemar sinema, hobi nonton film, dan peduli sama film yang bagus, sempatkanlah buat menonton anime Ghost in the Shell; for the film is so influential, aku tersinggung ketika tadi di bioskop ada ignoramus yang nyeletuk “niru Matrix, ya.”

Dunia dalam film ini sudah begitu modern, sampai-sampai teknologi dan manusia sudah nyaris menjadi satu. Tren masyarakatnya adalah masang hologram gede sebagai cara iklan, nyambungin diri ke net yang bahkan lebih canggih dari internet yang kita punya, dan memodifikasi sebagian tubuh – atau malah seluruhnya – dengan bagian robot. Tokoh utama kita, Mira Killian, adalah Mayor di pasukan elit Section 9 yang khusus menangani kasus kriminal, terutama kriminal siber yang sedang berkembang dengan pesat. Diciptakan sebagai ‘weapon’, Mira tidak punya unsur tanah di tubuhnya. Dia diberitahu bahwa dia adalah yang pertama dari progam penginstallan kesadaran manusia yang disebut ghost ke dalam tubuh-tubuh buatan yang istilahnya adalah shell. Namun apakah setiap yang punya ghost diyakini sebagai manusia? Mira mengenali kenangan di dalam dirinya. Dan sembari berusaha menangkap teroris siber berinisial Kuze yang menimbulkan kekacauan dengan ngehack ghost robot dan orang-orang, Mira sets out buat mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

Ghost in the Shell termasuk jejeran film yang membuat kita mempertanyakan tentang eksistensi, tentang kesadaran,tentang apa yang membuat manusia itu ‘manusia’. Apa yang memisahkan kemanusiaan dengan teknologi? Apa yang terjadi jika keduanya bersatu? Apakah sesuatu yang diciptakan bisa menyebut dirinya sebagai manusia karena dia punya kesadaran? Dan bagaimana dengan kenangan, apakah kemampuan mengingat kenangan adalah bagian dari kesadaran? Well, ada banyak benda-benda yang bisa menyimpan kenangan, dan mereka enggak hidup. Apakah Major Mira Killian termasuk salah satu di antara benda-benda tersebut.

 

 

Sebagai adaptasi live-action, film ini sukses mengemban predikatnya. Dia tetap setia dengan versi orisinil. It has the same formula, dengan beberapa penambahan yang signifikan pada beberapa elemennya. Jadi, yaah, kupikir aku akan berusaha mengulas film ini sebagai sebuah cerita yang berdiri sendiri, aku akan coba untuk enggak nyangkut pautin dengan film buatan Mamoru Oshii.

Peningkatan yang pertama kali langsung bisa kita rasakan adalah pada visualnya. Film ini sangat GLORIOUS OLEH PENAMPAKAN EFEK-EFEK VISUAL. Adegan ‘pembuatan’ shell Major bener-bener indah sekaligus surreal dengan bentrokan warna merah disusul putih. Kota masa depan tempat mereka tinggal terlihat meriah. Desain kotanya yang semarak oleh teknologi mentereng mencerminkan kebutuhan manusia untuk tampil ‘mengkilap’, seperti yang dijadikan tema cerita. Sehingga kita bakal mengharapkan ada sedikit saja jejak kemanusiaan dari penghuninya. Ketika itu beneran kejadian, ketika tokoh setengah robot kita ngelakuin hal sesederhana memberi makan anjing jalanan, ataupun pergi berenang tengah malem, kita bakal ngerasain hentakan euphoria tanda cerita berhasil mengenai saraf berpikir kita.

Scoringnya juga sukses bikin film terasa dark dan bikin uneasy.
Ghost in the Shell menyuguhkan beberapa sekuen aksi tembak-tembakan yang seru. Robot geisha itu creepy banget. Pertempuran melawan robot laba-laba bakal menghujani kita dengan peluru-peluru emosional. Sekuen aksi yang paling captivating adalah ketika Major menyimpan senjata apinya, membuka mantel, mengaktifkan kamuflase optik, dan mulai menghajar orang yang dikendalikan oleh Kuze. Adegan berantem ini difilmkan dengan menarik; lokasinya, koreografinya, kerja kameranya, semuanya terlihat mulus dan engaging. Dengan pace yang cepet, porsi aksi lumayan mendominasi film ini as kita dibawa dari konfrontasi satu dengan konfrontasi lain. Dan di antara aksi-aksi tersebut kita akan dibawa melihat Mira lebih dekat sebagai seorang karakter, kita akan ngikutin inner journeynya, kita akan melihatnya berinteraksi dengan tim serta partnernya, Batou. Kita akan melihatnya membuka misteri di balik Kuze dan belajar apa faedah dia ada di dunia, entah sebagai robot atau manusia.

“doakan saya yaaa”

 

Masalahnya adalah, segala kelebihan yang kutulis di atas (selain robot geisha yang sepertinya bakal hadir di mimpi burukku malam ini) actually berasal dari elemen orisinil yang dimasukkan kembali ke dalam versi live-action ini. Film ini just recreating them all seperti yang dilakukan oleh Beauty and the Beast (2017) terhadap animasi klasiknya. It’s a great job, aku tepuk tangan karena mereka berhasil melakukannya dengan baik. Namun tidak seperti Beauty and the Beast, penambahan elemen yang dilakukan oleh Ghost in the Shell actually terasa ngedeteriorating eksistensi ceritanya secara keseluruhan. Sebagaimana kita sudah setuju untuk menghormati film ini sebagai unit yang berdiri sendiri, I have to point out beberapa poin dan elemen baru di dalamnya yang enggak benar-benar bekerja dengan baik. Dan yea, aku harus melakukan beberapa perbandingan untuk mempertegas poinku.

Enggak semua sekuen aksi benar-benar berbobot. Misalnya pada bagian di klub, kebanyakan memang terasa sebagai filler buat manjang-manjangin waktu. Karena adegan tersebut pun tidak digunakan untuk ngeflesh out karakter-karakter sampingan. Anggota tim Major tidak mendapat sorotan yang berarti. Malahan ada satu tokoh, pada cerita original dibuat ‘penting’ bagi Major karena dia satu-satunya yang masih seratus persen manusia, namun di film ini trait tersebut hanya disebut sepintas sahaja.

Major lah yang mendapat permak backstory yang signifikan. Dia bisa mengingat sedikit hal dari kehidupannya saat masih manusia. Major clearly galau mengenai, bukan identitas, melainkan ‘apa’ dirinya. Tapi penulisan karakternya di sini terlihat cengeng, I mean, dia come off lebih sebagai manusia yang enggak mau dipanggil seorang robot. Dia meminta belas kasihan kita. Scarlett Johansson adalah ‘shell’ yang tepat untuk tokoh ini. Penampakan wujudnya mirip banget sama yang anime. Namun, ‘ghost’ karakternya agak enggak klop. Cara berjalannya enggak pernah tampak natural, kayak dibuat-dibuat, walaupun memang enggak ada masalah dalam adegan aksi. Ketika, katakanlah, momen berkontemplasi, pembawaan Scarlett membuat Major tidak seperti robot dengan perasaan; dia terlihat seperti manusia yang menyembunyikan perasaan. Dalam versi anime, karakter ini diarahkan sehingga kita merasa terdiskonek dengannya; Major malah tidak berkedip, tapi dari gambaran ekspresi dan visual storytelling kita bisa memahami apa yang ia rasakan, kita bisa rasakan betapa intriguednya Major kepada setiap aktivitas manusia. Dalam film ini, tidak ada arahan supaya Scarlett enggak ngedip, perasaan Major terlampiaskan semua lewat kata-kata yang ia lontarkan, tanpa pernah terasa dalem dan filosofis.

Identitas mereferensikan aku, atau saya. Di mana otak mengenalinya sebagai ‘diri’. Tapi apakah sebenarnya aku itu? Apakah personality? Apakah aku adalah perasaan – apakah aku adalah jiwa? Well, orang bilang mata adalah jendela jiwa. Ada alasannya kenapa Major di sini memiliki mata yang hidup, tidak seperti pada versi anime.

 

 

Dosa terbesar yang menyebabkan FILM INI DANGKAL ADALAH KARENA DIA MEMBERIKAN JAWABAN. Baik itu jawaban terhadap apa yang terjadi; bahkan tulisan pembuka di awal memaparkan secara gamblang, tidak seperti opening teks di versi anime yang lebih kiasan. Maupun jawaban terhadap pertanyaan filosofis yang diajukan oleh tema ceritanya. Ini membuat Major menjadi karakter generik, kita bisa melihat ke arah mana arcnya berlabuh. Jadi gampang melihat apa yang terjadi selanjutnya. Setelah Major ketemu Kuze, film menjadi biasa saja dan kehilangan semua hal yang engaging. Ini berubah menjadi ‘kebaikan’ melawan ‘kejahatan’. Kuze, meskipun keren, tidak pernah menggugah kita dengan pertanyaan apa yang membuat manusia itu ‘manusia’. Kita sudah sering melihat elemen ‘melawan sang pencipta’ dan ‘menciptakan dunia sendiri’ sebelumnya. Major menjadi seperti Alice di Resident Evil. Padahal jika dibiarkan terbuka tanpa-jawaban, maka tentu cerita akan menjadi lebih menantang, membuat kita merasakan euphoria memikirkan jawaban, seperti yang sudah dibuktikan oleh film orisinilnya.

Apakah robot ada gendernya hanya karena dibuat menyerupai cowok atau cewek?

 

 

They go with a different goal this time, yang mana masih bisa kita apresiasi. Para fans lama pun mestinya bisa dibuat menggelinjang dengan revelation di akhir cerita yang mengambil referensi kepada cerita anime. But I think they should’ve not tampering too much with the formula. Ini adalah film full-action dengan kontemplasi dan nostalgia saling berbagi ruang di antaranya. Bahkan meniliknya sebagai film yang berdiri sendiri pun, penilaianku tetap sama. Sukurnya enggak separah, malahan jauh lebih bagus daripada Dragon Ball Evolution sih. Meski begitu, film harusnya bisa menjadi lebih berbobot lagi. Tidak banyak karakter dengan penampilan yang memorable. Dan lagi, sulit untuk tidak membandingkan karena hal yang bagus dari film ini adalah hal-hal yang sudah pernah kita lihat pada film tahun 1995. Mereka seperti memindahkan ghost cerita ke dalam shell yang lebih mentereng belaka. Dengan banyak hal bagus dan filosofis yang tertinggal saat proses perpindahan tersebut.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GHOST IN THE SHELL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.