CHRISTOPHER ROBIN Review

I’ll fly before I change

 

 

 

Dasar Silly Old Bear. Begitu biasanya Christopher Robin menutup setiap percakapan dengan menggoda Winnie the Pooh, boneka beruang yang jadi sahabatnya. Pooh yang kerap bicara dengan perutnya sendiri yang selalu lapar. Jika ditanya hari apa yang menjadi hari favoritnya, Pooh akan menjawab “Hari ini.” Memang kebangetan lugunya, makanya jadi lucu.  Tapi lantas, Pooh juga menganggap Christopher yang membawa tas kerjaan ke mana-mana, sedangkan putrinya yang ia bilang paling berharga selalu ia tinggal, bersikap tak kalah lucu. Hmmm, mungkin kata-kata tadi sudah berbalik arah. Mungkin kinilah saatnya giliran Pooh menggoda Christopher dengan “dasar, Silly old Human”

Christopher Robin sudah siap meninggalkan masa kecilnya yang memang sangat menyenangkan, setiap hari dia masuk ke lubang pohon di belakang rumahnya, untukk bermain-main dengan Pooh dan teman-teman boneka hewan yang lain di Hutan Seribu Acre. Film ini dibuka dengan Pooh, Piglet, Eeyore, Tigger, Rabbit, Owl, Kanga, dan Roo mengadakan pesta perpisahan untuk Christopher yang di usianya yang ke Sembilan itu harus masuk Boarding School. Berjanji untuk berteman selamanya, Christopher menutup pintu di depan teman-teman semua. Dan dia gak pernah menoleh balik. Selepas dari ‘Boring School’ (kata Pooh, loh), Christopher menikah, masuk militer, dan bekerja di perusahaan koper. Ia kepala keluarga sekarang, mana ada waktu untuk bermain-main. Dia tahu dia harus serius karena mimpi itu enggak gratis. Saking sibuknya kerja, Christopher enggak ada waktu untuk putrinya; Madeline, yang ia suruh untuk dewasa lebih awal dari dirinya di usia 9 tahun. Apalagi untuk mengunjungi Pooh, faktanya, sudah tiga puluh tahun, Christopher tidak memikirkan teman-teman yang ia tinggalkan di Hutan tersebut. Menyebabkan Pooh merasa kesepian. Beruang itu nekad masuk ke lubang tempat Christopher biasanya muncul, dan sampailah Pooh ke London. Ke  tengah-tengah kehidupan nyata Christopher Robin.

jangan garuk-garuk pantat dong, Pooh, norak tauk!

 

 

Bertumbuh di waktu Winnie the Pooh lagi masih cukup hits, susah bagiku untuk gak ikut-ikutan suka sama beruang ini. Karena memang ceritanya bagus, tokoh-tokohnya lucu. Aku nonton kartunnya di VCD, aku punya majalahnya, punya edisi komik dari film-filmnya, aku bahkan nontonin serial balita My Friends Tigger and Pooh while I’m babysitting my baby brother (ternyata, serial itu tidak dianggap kanon oleh film ini, bayangkan kecewaku hihi). Cerita Winnie the Pooh favoritku adalah cerita Tigger yang mencari keluarganya – dia melatih Roo melompat supaya bisa dijadikan adiknya, dan kemudian Pooh dan teman-teman yang lain berdandan ala Tigger, mereka sampai memasang per di kaki masing-masing bisa bisa melompat kayak Tigger, semua menyamar menjadi keluarganya supaya Tigger senang – cerita Pooh selalu menghangatkan hati seperti demikian. Film Christopher Robin pun tak luput dari akrab dan bikin hati kita berbulu lembut dan hangat seperti demikian. SEMANIS MADU, DEH! Di cerita-cerita yang dulu, Christopher Robin adalah tokoh yang paling jarang dibahas, anak cowok ini biasanya muncul di awal, kemudian di akhir – sebagian besar untuk ‘menyelamatkan’ Pooh dan teman-teman yang begitu polos. Makanya, film live-action ini terasa benar perbedaannya. Kita akan melihat Pooh dan teman-teman dari mata Christopher Robin yang semakin dewasa ke titik di mana dia mengakui dia sudah ‘memecat’ Pooh and the genk sebagai teman. Sense pertumbuhan kuat sekali, cerita tidak berdalih dari majunya waktu; dari konsekuensi kehidupan nyata yang dihadapi oleh orang dewasa.

Tetapi, apa sih ‘Kehidupan Nyata’ itu? Kalo ‘Nyata’ kenapa kita memandangnya dengan tanpa senang hati; kenapa Christopher malah jadi jarang tersenyum? Jangan-jangan kebahagiaan itu memang sesederhana balon merah yang dipegang oleh Pooh

 

 

Hubungan antara Christopher dan Pooh selalu adalah inti hati dari cerita ini, dan dengan pertumbuhan yang dialami oleh sang pemilik, kita merasakan hubungan tersebut turut berubah. Lewat animasi komputer yang menawan (lihat bulu-bul.. ah benang-benang tubuh Pooh begitu detil saat dia berjalan menyisir padang bunga), kita akan melihat perubahan di mana kini Christopherlah yang butuh ‘pertolongan’ Pooh. Satu perfectly throwback scene yang kocak adalah ketika Christopher nyangkut di liang dan Pooh berdiri di sana ngeliatin. Memang sih, cerita tentang orang dewasa yang melupakan masa kecilnya sudah sering kita lihat. Ada sedikit kemiripan elemen dengan Toy Story (1995), bahkan kita bisa bilang film ini banyak miripnya ama Hook (1991) di mana Peter Pan yang sudah manusia normal kembali ke Neverland. Poin ini, tak pelak, mengurangi keistimewaan Christopher Robin. Membuat kita terlalu cepat memutuskan, dan tidak benar-benar melihat kesubtilan pesan yang dimiliki oleh film; yang memberikannya sedikit jarak dengan film-film serupa.

Film ini tidak menyuruh orang dewasa untuk meninggalkan pekerjaannya. Melainkan meminta bapak-bapak, ibu-ibu, siapa yang punya anak, untuk melihat apa yang mereka tinggalkan saat dewasa, untuk mengingat kembali seperti apa mereka saat masih kecil. Christopher Robin tidak dibuat berhenti bekerja dan memilih untuk bersenang-senang sepanjang waktu. Yang kita lihat adalah perjalanan Christopher Robin, seorang yang sudah menjadi begitu tak-menyenangkan akibat tekanan pekerjaan, dalam menyadari bahwa dirinya yang sekarang masih sama dengan dirinya tiga puluh tahun lalu. Tumbuh menjadi dewasa bukan berarti kita berubah menjadi orang lain, meninggalkan diri kita yang sebenarnya. Dan eventually, kita akan melihat gimana Christopher Robin, yang setelah menyadari dia adalah dirinya yang dulu, menjadi lebih baik dalam pekerjaannya – dia jadi punya ide yang cemerlang untuk mengatasi masalah perusahaan.

Film ini dilarang tayang di Cina karena presidennya ngamuk dikatain mirip ama Pooh; sensitif atau kekanakan? You be the judge

 

 

Doing nothing pada film ini enggak semestinya kita artikan literal sebagai solusi berupa  gak usah ngapa-ngapain. Something, dikatakan oleh film ini, berasal dari nothing. Ini merefleksikan gimana segede apapun pekerjaan kita sekarang, kita semua berawal dari seorang anak kecil yang polos. Dan anak kecil polos yang kita berusaha untuk kita lupakan itulah yang membuat kita menjadi seperti sekarang. Kita sewaktu kecil bukannya enggak-berarti apa-apa. Monster yang kita ciptakan sewaktu itu, Heffalump dan Woozle itu bukanlah makhluk fantasi yang akan hilang ketika kita sudah bekerja. Mereka menjadi ‘nyata’, karena benar, life got real. Begitu juga dengan apa yang bikin kita bahagia semasa kecil; masih akan terus bikin kita bahagia hingga uzur nanti. Jadi kenapa mesti malu dengannya? Kenapa Christopher mesti malu dia bisa menggambar dan punya boneka? – hal inilah yang dipelajari oleh dirinya, yang membuatnya sadar dan memandang hidup penuh tanggung jawabnya sekarang sama indahnya dengan masa-masa yang ia habiskan di Hutan Seribu Acre.

Selalu sediakan ruang untuk pengembangan diri, kenali kesalahan dan belajar darinya, terus bertumbuh menjadi manusia yang lebih baik lagi. Akan tetapi, jika untuk menjadi dewasa berarti adalah mengubah diri menjadi orang lain – menjadi sesuatu yang bukan diri sendiri, maka aku menolak untuk menjadi dewasa.

 

 

 

Sama seperti madu yang dimakan oleh Pooh, cerita manis ini bisa dinikmati kapan saja. Kepolosan Pooh akan selalu lucu, bukan hanya slapsticknya, melainkan juga dialog “Doing nothing is impossible. But I do nothing all day.” Gold banget! Dengan animasi yang memenuhi harapan dan fantasi kita, film ini punya semua yang kita harapkan dari cerita Winnie the Pooh; menyenangkan, hangat, lucu, sempurna buat keluarga. Lebih diarahkan buat orang dewasa sih sebenarnya, tapi anak-anak kecil tentunya bakal terhibur juga; Tontonkan mereka ini supaya bisa melihat bahwa orangtua mereka – yang di mata mereka mungkin selalu serius dan galak – nyatanya dulu pernah jadi anak-anak juga, yang bermain, berkhayal, sama seperti mereka. Meski begitu aku juga dapat melihat hal-hal yang jadi turn-off buat beberapa orang, seperti ceritanya yang udah sering, formulaic, dan gak benar-benar menjelaskan Pooh dan teman-temannya itu kalo bukan bagian dari imajinasi, kenapa mereka bisa ada di sana. Tapi buatku, terlalu nge-nitpick melihatnya dengan begitu; Toh film ini bekerja dengan baik dalam konteks dan dengan konsep yang ia miliki tersebut.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CHRISTOPHER ROBIN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017