KKN DI DESA PENARI Review

 

“We need to remember across generations that there is as much to learn as there is to teach.”

 

 

 

Semua hal yang populer, perlu untuk dibuatkan menjadi film. Kalimat itu benar mutlak, kalo kalian punya pemikiran seperti studio/PH gede. Maka dari itulah film-film yang kita dapati sekarang, semakin banyak yang dibuat dari cerita yang entah itu remake dari film lain, adaptasi dari novel atau sastra, adaptasi komik – atau game – atau lagu – atau bahkan ‘adaptasi’ dari apapun.  It is just easier (dan less riskier) menjual sesuatu yang udah ketahuan ada pembelinya. Cerita original bukannya gak ada peminat ataupun gak ada yang mau bikin. Hanya memang munculnya agak jarang karena ‘perjuangannya’ lebih panjang untuk bisa lolos difilmkan. Harus dipopulerkan dahulu. Caranya? Ya beragam; bisa digimmick-kan, bisa dengan ambil aktor atau pembuat yang lagi hits, atau yang lucunya – ‘terpaksa’ dijadiin buku dulu. Sehingga jadi gak dianggap original lagi.

Di detik ini, udah susah untuk  mastiin apakah cerita KKN di Desa Penari adalah cerita original yang didesain untuk viral dulu sebelum digarap jadi film, atau memang karena viral maka difilmkan. Wallahualam. Yang jelas, thread Twitter yang muncul di 2019 itu memang sensasional. Semua orang yang kukenal, bilang sudah membacanya. Kalo sudah serame itu, kehadiran filmnya memang tinggal menunggu waktu (dan damn Covid memastikan kita menunggu untuk waktu yang bertambah-tambah). Hanya saja, here’s the thing about adaptation. Ekspektasi bakalan tinggi. Menyadur alih-medium itu gak gampang. Tantangan sutradara Awi Suryadi di proyek KKN ini berat. Karena jika ternyata film ini kalah seram ama threadnya yang berhasil viral itu, maka ya berarti storytelling-nya kalah telak dan juga berarti studio filmnya gak mampu ngehandle cerita seram yang bagus.

Seenggaknya buatku nonton film ini terasa original, karena aku gak baca thread-nya sebelum ini

 

Genre Horor, sejak meledak oleh Hollywood di 70-90an, suka mengangkat kisah remaja yang terdampar di hutan atau tempat asing, dengan pembunuh atau makhluk menyeramkan mengincar. Sekelompok remaja yang modern dan bebas akan dikontraskan hal-hal yang belum pernah mereka jumpai sebelumnya. Biasanya awal masalah dimulai ketika ada satu orang yang melanggar ‘aturan’ di tempat tersebut. Horor itu sendiri adalah simbol dari nilai-nilai yang diantagoniskan oleh sosok remaja. Aturan, orang tua, tanggung jawab, dan sebagainya. Cerita KKN di Desa Penari fits that mold perfectly. Enam orang mahasiswa harus KKN supaya bisa lulus, tapi sialnya desa yang mereka pilih adalah desa yang sungguh misterius. Lokasinya jauh di dalam hutan, penghuninya orang tua semua, banyak sesajen di mana-mana, dan sesekali terdengar suara gamelan entah dari mana. Tadinya kupikir bakal keren sekali, film horor lokal yang gak sekadar niru formula horor barat melainkan punya identitas lokal. Para mahasiswa bener-bener ada alasan kuat untuk berada di TKP. Bukan alasan sepele kayak liburan, ngevlog, atau semacamnya. Dan sebagai yang pernah ngerasain KKN, ya cerita ini relate. Anak KKN mana sih yang gak punya pengalaman horor sepulang dari desa yang ditugaskan.

Pengalaman horor tersebut erat kaitannya dengan cueknya remaja dengan aturan desa yang aneh dan gak logis, atau juga dengan kebiasaan di sana yang berbeda sekali dengan di tempat asal. Singkatnya, only natural bagi cerita seperti ini untuk memakai formula fish-out-of-water. Dalam KKN di Desa Penari, ‘fish’nya adalah Nur dan lima orang teman. Mereka gak boleh sompral. Gak dianjurkan pake pakaian terbuka. Terutama gak boleh masuk ke wilayah hutan yang disebut penduduk desa Tapak Tilas. Tentu saja aturan-aturan tersebut tetap terlanggar juga oleh teman-teman Nur. Keberadaan mereka jadi ternotice oleh lelembut penguasa di situ, Badarawuhi, yang langsung menempel ke teman yang cewek, merayu teman yang cowok, dan bikin perjanjian sama teman yang satu lagi. Sebelum mereka semua diambil, Nur yang punya ‘pelindung’ berusaha mengarahkan teman-temannya kembali ke ‘jalan yang benar’.

“Sebagai yang waktu kuliah dulu sering harus tinggal di daerah pelosok (bukan hanya saat KKN), aku memang sependapat sama film ini. Bahwa semuanya adalah soal respect. Betapapun gak logisnya aturan dan tahayul di hutan, ikutin aja. Bukan soal percaya atau gak percaya. Melainkan soal menghormati yang punya tempat, alias penduduk lokal. Dialog di ending saat orang desa merasa bersalah atas tragedi yang menimpa Nur dkk, sementara Nur juga merasa bersalah karena lalai menjaga kepercayaan benar-benar menunjukkan bahwa di mana pun, kapan pun, siapapun, sebenarnya sama-sama ingin saling menjaga.”

 

Cukup banyak sebenarnya poin-poin kejadian menarik yang dikandung oleh film ini. Aku suka bagian ketika para mahasiswa dihidangkan kopi hitam oleh tetua desa. Adegan tersebut digunakan sebagai set up untuk menghantarkan ke bagaimana para karakter nanti tahu siapa di antara mereka yang sedang ketempelan makhluk halus. Soal makhluk halus, film ini punya cukup banyak (emangnya film superhero doang yang bisa punya villain lebih dari satu!) Yang paling berkesan memang si Badarawuhi yang tampil magis dan merinding sekali dibawakan oleh Aulia Sarah berbusana penari tradisional. Setidaknya film ini got it right dengan membuat karakter-karakter hantunya terasa berada di level yang berbeda dengan karakter manusia. Sekuen di ‘hajatan’ juga aku suka, meskipun agak klise, tapi kejadian seperti itu paling relate buat cerita-cerita nyasar di hutan. Dan adegan di sana digambarkan dalam ‘nada’ yang paling berbeda dibandingkan dengan rest of the movie, sehingga jadi terasa sangat fresh.

Nada atau tone sebagian besar durasi itulah masalah yang pertama kali kurasakan saat masuk ke film ini. Terasa begitu monoton. Film tidak menampilkan banyak emosi atau suasana lain selain mood yang seram nan angker melulu. Para karakter mahasiswa tampak cemas, bingung, takut sepanjang waktu. Mereka udah kayak kurcaci di cerita Snow White, karakterisasinya hanya terdefinisikan oleh satu emosi. Si Jutek, Si Alim, Si Misterius, Si Pelawak. Nur, misalnya, dia kayak gak boleh bersuka ria atau bercanda oleh naskah. Kerjaannya cuma mencemaskan yang lain, dan ngingetin ibadah. Kita pengen melihat lebih banyak interaksi mereka, entah itu sesama mahasiswa ataupun dengan penduduk – you know, sekadar untuk ngingetin kalo mereka itu ada di desa untuk KKN. Ada tugas, ada goal. Poin-poin menarik yang kusebut di atas tadi mestinya bisa disebar dengan natural, bikin cerita benar-benar ada flow. Toh KKN beneran kan gak serem-sereman sepanjang waktu. Kita butuh untuk melihat para karakter sebagai manusia normal, mereka harusnya  ngalamin banyak hal di tempat itu. Cerita ini punya banyak elemen dan lingkungan yang bisa digali, tapi sutradara Awi Suryadi terpaku pada keadaan film yang sekarang sudah jadi sebuah adaptasi thread viral.

Keviralan tersebut malah jadi beban, ketimbang sesuatu yang membebaskan kreativitas. Alih-allih menjawab tantangan dia bisa bercerita lebih hebat daripada thread Twitter bercerita, Pak Sutradara lebih memilih untuk ngikutin apa yang sudah tertulis. Dan dia tidak melakukan hal selain itu. Makanya film ini nadanya jadi monoton. Karena ‘adaptasi’ dalam konteks KKN di Desa Penari ini bagi pembuatnya adalah tentang mewujudkan semua bagian-bagian mengerikan yang bikin ceritanya viral. Bukan adaptasi yang menafsirkan ke dalam bahasa film. Film ini hanya berisi scare demi scare. Struktur naskahnya tidak dipedulikan lagi. Di paruh akhir, baru para karakternya mengerti konflik dan apa yang harus mereka lakukan (mencari bangle Badarawuhi) Menit-menit awal aja aku udah ngakak karena film ini actually punya dua adegan opening, dan dua kredit pembuka. Dua kali kita ngeliat adegan baru-tiba-di-desa, naik motor masuk ke hutan – pembukaan pertama ceritanya masih survei desa, yang kedua baru beneran datang KKN dengan formasi lengkap. Dan di dua adegan pembuka yang mirip itu gak ada informasi yang berbeda. Benar-benar gak perlu – dan bisa saja dibikin jadi satu. Gak usah ngikut cerita di Twitter. Ketika jadi film, mestinya cerita bisa ditambah, misalnya, adegan mereka di kampus  ditunjuk KKN bareng. Dikasih tahu kalo ini kesempatan terakhir mereka untuk lulus sebelum di DO, misalnya. Menurutku adegan seperti itu harusnya ada supaya siapa para mahasiswa dan situasi mereka bisa benar-benar terbuild up dan kita jadi peduli.

Gabut amat KKN tapi kerjaannya kesurupan melulu

 

Ketawaku malah jadi lebih gede lagi ketika sampai di menjelang akhir. Tau-tau film ini membuat seolah Nur dan yang lain adalah tokoh asli, dengan ada adegan yang membuat film jadi kayak sebuah mockumentary. Gimmick ‘kejadian dari kisah nyata’ yang dipakai oleh thread Twitter-nya turut diadaptasi mentah-mentah oleh film ini, menghasilkan konsep tontonan yang benar-benar gak konsisten. Jika memang mau membuat ini jadi semacam mockumentary, menjual ini sebagai seolah kisah nyata, kenapa bangunan bercerita filmnya tidak dibentuk seperti itu sedari awal. Bisa dibilang, tidak ada tindak adaptasi yang dilakukan di sini, karena hanya tumplek plek kayak memvisualkan setiap kejadian seram. Tanpa dikomandoi ritme dan alunan alur cerita. Pun dalam memvisualkan juga gak bisa dibilang istimewa.  Kalo para bocil yang baca thread KKN dikasih kamera dan disuruh mengadegankan yang mereka baca, aku yakin hasilnya gak akan jauh dari adegan yang kita saksikan di film ini.  Sebegitu standarnya yang dilakukan pembuat film untuk menghidupkan ceritanya. Gak ada yang spesial. Pan kanan – pan kiri. Jumpscare. Kamera miring dikit. Drone. Menari. Jika MCU punya machination alias template pada arahan actionnya, maka film ini nujukin film horor kita punya template khusus adegan horor, dan  KKN ini ngikutin semuanya.

Konfrontasi terakhir dengan si ratu jin ular penari? Beuh, jangan ditanya! Konklusi Nur dengan ‘pelindung’nya? Jangan disebut! Karena memang film gak ngasih development apa-apa untuk protagonis utama kita. Tissa Biani pastilah ngerasa gabut banget meranin Nur. Dia cuma meringis karena bahunya berat. Gak ada aksi, gak ada pilihan, nyawaya pun tak pernah terancam bahaya. Cara dia menemukan bangle Badarawuhi pun cuma ‘kebetulan’ sekali. Nemunya gak susah. Nur cuma karakter moral, yang kadang tampak segala tahu. Siapa dia, backstorynya gak pernah digali. Di babak akhir dia cuma nangis merasa bersalah. Yang save the day justru karakter lain, yang namanya bahkan bisa tidak kusebutkan di sini tanpa banyak pengaruh apa-apa.

Dengan sering mundur tayang, film ini padahal punya banyak waktu untuk revisi. Jika gak bisa suting ulang, paling enggak editingnyalah diberdayakan. Tapi sekali lagi mereka membuktikan bahwa mereka tak peduli sama film ini selain untuk jualan. Karena yang actually mereka lakukan cuma merilis dua versi; reguler dan uncut. Aku tahu sex sells, tapi maan mereka membuatnya sangat obvious cuma mau menjual filmnya dengan adegan dewasa. Di bulan puasa! Padahal bisa aja rilis bersamaan dengan dua ending; taktik ini padahal di luar juga cukup langka. Yang benar-benar melakukannya pada rilis teater bersamaan (bukan di platform lain setelah filmnya turun) paling bisa diitung jari, misalnya Clue (1985) dan Unfriended: Dark Web (2018) Atau si KKN ini, since kayak pengen banget ngikutin threadnya, kenapa gak rilis dua sudut pandang yang berbeda (bersi Nur dan versi Widya)? Samar-samar terdengar tembang berisi jawaban: ya karena butuh kerja keras, bego!

 

 

 

Yea, this is bad. Namun bukan jelek dari materinya. Kita masih bisa merasakan potensi dan hal-hal menarik terkait horor remaja di desa di dalam sana. Afterall, threadnya bisa sukses tentu salah satunya berkat cerita yang bisa relate sekaligus bikin penasaran. Film ini terasa bad karena yang sekarang ini terasa kayak produk  jualan komplementer, pelengkap dari keviralannya. Pembuatnya enggak melakukan banyak untuk menghidupkan dan mengangkatnya ke dalam film. Karakter gak ada plot. Pengadeganan super standar. Bercerita dengan nada monoton, cuma wahana scare. Aku harap beberapa tahun ke depan, cerita ini diadaptasi oleh pembuat yang benar-benar peduli.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for KKN DI DESA PENARI.

 

 

That’s all we have for now.

My Dirt Sheet dan CineCrib sempat ngobrolin soal pengalaman seram selama KKN, di Episode Talks Youtube

Apakah kalian punya atau pernah mendengar pengalaman horor saat sedang KKN?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Comments

  1. AKU INGIN (@minumairakua) says:

    ini parah banget sih bang wkwkkw, bener bener cuman plek ketiplek sama utas twitter, padahal kan medium tulisan sama film 2 hal yang beda. bener bener sepanjang film cuma berupaya untuk nakut nakutin kita aja.

    • Arya says:

      Ringan banget kerjaan pembuatnya nih hahaha, mentang-mentang udah viral. Cuma tinggal pasang kamera bikin adegan horor aja. Mbok ya paling enggak rapihin ya narasinya, kan yang di threadnya agak lompat-lompat gimana gitu. Eh enggak juga, di filmnya sama aja gak rapi

    • Khajjar RV says:

      Tampilan blognya baru yaa? Lama ga buka hehe. Buka demi baca reviewnya KKN Desa Penari aja. Dan ya, jadi males nonton lihat rangkingnya, only two out of ten golden stars, wkwkwk.

      • Arya says:

        Iyaa, blognya pindah rumah, jadi sekalian aja dihias ulang biar kayak rumah-rumah pas lebaran hihihi
        At this point, nonton film ini cuma buat bantuin naikin angka penonton biar phnya dapet rekor muri lagi aja xD

  2. Farah says:

    Masss punten oot, review Dr Strange gak ya??? Udah bolak balik cek blog nunggu review blm ada soalnya hahaha, penasaran scorenya brp

        • Farah says:

          Yaaa begitu dehhh hahaha ayo nonton mas!!! Jujur selama ini aku kan udah bbrp kali baca mas Arya blg gak terlalu tertarik buat nonton trailer film, karena biasanya trailer & film itu completely two different things, sampe ke bagian produksinya pun beda, cmiiw. Dan aku cm mau blg, setelah nonton Dr Strange, aku kapok nonton trailer hahahahaha, paling sakit kalo dijatohin sama ekspektasi sendiri soalnya :’)

          • Arya says:

            Wahahaha, iya sih apalagi film luar. Trailernya bisa kayak paling horor, eh pas filmnya ternyata lebih ke drama. Jadi kayaknya ini penilaian mbak Farah berarti Strange tidak seseru trailernya ya

    • Arya says:

      Bakal nonton koookk, ini masih liburan belum ke bioskop lagi hahaha.. minggu-minggu ini sih kayaknya mulai kembali beraktivitas ke bioskop xD

  3. lizzy says:

    Hehehe, kyknya jg ga jadi nonton di bioskop deh. Klu memang hanya nyomot narasi yg ada di thread waktu itu, kyknya kurang afdol filmnya. Dan bener kata mas Arya, seenggaknya perbaiki narasi sehingga ceritanya ngalir dan ga patah-patah. Penasaran nonton, tp males juga haha. Nunggu di tipi aja deh.

  4. Irfan Satya Aji says:

    Kaya nyalin PR temen pagi-pagi sebelum kelas mulai ya mas. Plek ketiplek cuma mungkin ditambahin dikit-dikit sana sini wkwk

    Ketularan Milea ni kayanya, yang penting film laku :’)

    • Arya says:

      Ketika ‘bikin film’ udah jadi 80% kerja untuk promo/marketing dan 20% actual storytelling. Beginilah kalo hype ke bioskop diambil dari gede-gedean jumlah penonton, filmmaker pasti kebawa males.

      Hahaha iya sih, kayak nyalin PR. Makanya juga aku kurang antusias nungguin remake-remake film luar dari Falcon untuk line-up tahun ini. Takut hasilnya kayak nyalin PR juga.

      • Irfan Satya Aji says:

        Padahal materinya tu menjanjikan bgt, sangat relatable krn mayoritas pasti ikut KKN. Film ini sebenernya udah ga perlu jor-joran promo sana sini, orang udah ngehype duluan. Sayang effort untuk storytellingnya malah jd ikutan ga jor-joran.

        Ada rencana nonton Gara-gara Warisan mas? Kemarin aku br aja nonton dan aku rasa cukup bagus buat jadi “tombo” abis KKN 🙂 hehe

        • Arya says:

          Nah itu dia masalahnya, KKN padahal dari materinya aja udah menjanjikan. Cuma pembuatnya lebih milih untuk menjual tren/viralnya, bukan materi. Lakunya sekarang ini bukan lagi soal bagaimana materi itu diceritakan, tapi soal bagaimana materi itu dijual. Padahal kalo digarap benar-benar sebagai film, hasilnya pasti lebih baik, dan aku yakin gak bakal sedikit yang nonton. Pasti banyak juga yang nonton. Buatku sayang sih, mestinya KKN ini bisa jadi cerita original yang laris, eh tapi kan sekarang posisinya cuma ada di ‘cerita dari thread viral yang laris di lebaran’. Gak spesial.

          Pengeeen, semua film lebaran maunya sih ditonton, semoga bertahan ampe minggu depan.

          • Irfan Satya Aji says:

            Setuju mas, filmnya malah jadi cuma pelengkap keviralan threadnya ya. Padahal film kan bisa jadi medium yg jauh lebih mumpuni buat bikin materi cerita threadnya lebih kena lagi.

            Hanya saja, banyak dari temen2ku yg nonton juga banyak yg ngerasa puas sm film ini. Terutama justru krn bisa mencakup semua threadnya (ya iya lah, kan persis sama) haha

          • Arya says:

            Miris sih sebenarnya kalo diliat-liat, cerita/materi di jaman sekarang butuh untuk diviralin dulu baru bisa lulus untuk difilmkan. Produser mainstream bener-bener gak mau ambil resiko memfilmkan cerita. Bahkan viral thread aja belum cukup, mereka masih merasa perlu untuk bikin gimmick rilis dua versi rating. Jitu sih strateginya, buktinya filmnya juga ramai banget. Tapi ‘nilai’ film itu sendiri menurutku ya jadi turun.

            Ntar lama-lama bisa kayak makanan/jajanan. Kan sering tuh kita nemuin makanan yang viral padahal rasanya gak istimewa2 banget. Orang-orang cuma beli (dan jual) tren/hypenya kok. Bukan tentang produknya lagi.

          • irfan says:

            iya lo, masih kepikiran aja buat ngeluarin versi uncut dg adegan lebih “maksimal”. apa itu menunjukkan pasar indonesia memang masih mudah terpancing hal-hal kaya gitu ya mas?hehe

            seneng sih liat bioskop rame, bagaimana pun juga aku mendukung bioskop untuk ga kalah sm platform2 ott. hanya saja dg penonton yg kaya gitu, hype akan lebih diutamakan daripada produknya itu sendiri.

            aku malah pengen nonton srimulat nih, aku dulu waktu kecil takut bgt kl paul udah keluar wkwk

          • Arya says:

            Haha iya kan, begitu keluar taktik itu, filmnya jadi kayak langsung yakin gak mundur lagi. Senjata pamungkas beneran dah, bisaan mancing selera rakyat.

            Kita yang ‘mendukung bioskop’ itu sebenarnya, kalo aku sih, bukan exactly bioskop rame membludak yang diinginkan. Tapi lebih ke, mendukung supaya bioskop tetap hidup oleh film-film bermutu. Tapi kalo ntar bioskop rame terus tapi film yang tayang di situ film yang jualan hype semua, sementara film-film bagus yang original dan dinilai susah laku bakal makin sudah dapat tanggal tayang dan makin sedikit dapat jatah layar sehingga mereka lari ke platform, ya aku bakal balik dukung platform aja kalo gitu hahaha

      • Irfan Satya Aji says:

        Bener juga sih mas. Katakan lah in next 20 years, waktu anak cucu kita tau kl film terlaris Indonesia adalah film ini dg 8juta+ penonton, dan ternyata kualitas filmnya under par gini yaa sangat disayangkan sih.

        Dan film “asal laris” kaya gini bakal makin banyak di bioskop2 kita *sad*

        Btw aku udah nonton versi regular dan uncut nya kemarin. OMG for the sake of adegan yg ga penting2 amat aja smp dibikin 2 versi wkwk.

        • Arya says:

          Oya? apa sih beda adegannya yang regular ama uncut? aku penasaran tapi temen-temenku gak ada yang nonton versi regular.

          Kalo dibandingin ama hollywood, box officenya gak ada yang kualitasnya di bawah banget haha.. dan mereka punya Avatar nembus box office, cerita original kan itu. Di kita sepuluh besar semuanya dijual sebagai bukan-original. Apa memang sebenarnya yang salah justru kita-kita penonton yaa hahaha, asik ikutan hype aja xD

          • Irfan Satya Aji says:

            Cuma beda di adegan desahan bima di kamar sm kissing scene di kolam aja mas :’) aku ga tau harus komen apa wkwk

            Haha serba salah sih mas, krn hype nya udah segitu besarnya, meskipun kita tau review filmnya jelek, tetep aja FOMO biar tau kaya apa filmnya.

            Usaha film original di indonesia emang berat, udah screen timenya bentar, marketing kalah kuat, mungkin kitanya sebagai penonton juga kurang effort buat mau nonton haha

          • Arya says:

            Ya ampun cuma motong dua adegan itu aja ya? Kirain yang unrated ada tambahan momen-momen apa gitu dibanding yang regular. Enak banget ya jualan film di Indonesia. Tinggal mute suara desah, bisa dijual dua versi film dalam waktu bersamaan – yang tentu saja menambah ke hype. Kalo di luar, kalo gak salah ada aturan film yang sama gak boleh tayang 2 versi beda-rating secara bersamaan di bioskop. Harus nunggu 90 hari kalo mau ganti rating. Makanya horor2 versi director’s cut atau uncensored keluarnya di dvd atau platform lain.

            Itulah, kita ngerasa butuh effort mau nonton film bagus, karena bawaannya angker duluan sama berat dan terlalu serius dan sebagaimananya. Kalo film jelek, kita gak perlu pikir dua kali untuk ke bioskop buktiin sejelek apa. Kenapa ya? Perkara duit, kayaknya enggak juga. Pengalamanku di komunitas film, sering juga pemutaran film2 bagus yang gratis, tapi yang ikut nonton juga dikit.

      • Iksan says:

        Semua sekarang pakai buzzer dr politik sampai film hahahaha, kalo pinter ya g bakalan pakai buzzer dong logikanya

        • Arya says:

          Ada temenku yang pernah jadi buzzer film gitu, wah memang katanya semua udah diatur ama klien. Mereka harus naikin keyword apa, jam berapa, dan segala macam. Begonya, sering juga para buzzer cuma ngopi paste yang disuruh, atau copas press release. Dan dibiarin, karena engagementnya tetap naik. Berarti sebenarnya yang bego penonton2 juga sih hahaha, kok bisa-bisanya taktik yang gak perlu pinter itu selalu berhasil

  5. Albert says:

    Oh, aku kelewat review KKN ini. Udah jadi film Indonesia terlaris ini 7juta penonton kalahin Warkop mas. Ya Warkop aku juga ga seneng sih. Ga sia2 mereka nunda 2 tahun sih ya dari segi penonton. Hahaha. Film ini tayang bareng Kuntilanak 3 sama Gara2 Warisan. Yang Kuntilanak itu jadi film fantasi niru2 Harry Potter + Xmen. Jelek juga sih. Yang Gara2 Warisan aku suka. Kayak gabungan Cek Toko Sebelah + Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Cukup berhasil drama sama komedinya.

    • Arya says:

      Semoga Kunti-three dan GaraGara Warisan cepet masuk ott, aku gak kebagian nonton di bioskop ahahaha

      Nunda dan dilepaskan di waktu yang tepat xD

        • Arya says:

          Tapi bikin penasaran sih yang katanya fantasy + horor + anak-anak itu. Tapi ya gak sampai bikin sepenasaran kuntilanak beneran yang gentayangan di atas pohon depan jendela kamarmu hihihi

  6. Dewi says:

    Ga habis pikir sm endingnya,napa dah jd jelassin soal mbah dok
    Seharusnya scene itu bisa dijelaskan oleh mba uyut pas si nur pingsan jd relate sm adegan
    Berasa bgt loncatnya kejauhan
    Kalo menurut gw sie,ending seharusnya pas bima dan ayu sekarat lalu dibawa pulang sm keluarganya (kecewa ga ada adegan keluarga ayu dan bima di film,krna sumpah gw nungguin scene itu)
    Lalu masukkin deh pesan moral
    Jd closure yg bagus
    Beneran deh nie film gregetnya kurang bgt
    Berasa lagi makan mie instan tp ga pake saos

    • Arya says:

      Bener sih, latar karakter-karakter mahasiswanya sama sekali enggak ada, mereka ini kayak gak punya hidup di luar kejadian KKN. Film lucunya malah masukin adegan mereka minta identitas dirahasiakan, lah buat apa, itu kan gimmick eksistensi materi ceritanya aja, ngapain itu dijadiin adegan film.

  7. Avant Garde says:

    Wah, tampilan blognya baru wkwkwk…. Lebih fresh….
    aku udah liat yutub yg kolab sama cinecrib kemaren bang, baca ini dan dengar teman2 yg udah nonton kompak pada bilang B aja habis nonton jadi gak pengen nonton

    • Arya says:

      Kali ini pake warna ijau dan abu biar kayak slytherin ahahaha

      Honestly, gak nonton juga gak bakal kehilangan sesuatu yang menarik, tapi kalo gak nonton mungkin bakal kehilangan kesempatan menjadi bagian dari sejarah box office Indonesia XD

  8. Wahyu Dhany kurniawan says:

    Bagus banget reviewnya, dan sangat setuju..
    Storytelling emang jadi problem paling besar menurut saya jg di film ini.
    Akting dan sinematografi cukup ok utk level film indonesia (namun kadang ada bbrp keterlibatan dari figuran yg bikin moodnya agak2 sinetron)

    Soal cerita yg patah2 dan gak ngalir, mungkin paling gampang dideskripsikan : kalau yang belum baca tritnya pasti bingung hehe. Soalnya scene nya lompat2, karena menyadur dari keterbatasan trit twitter, jadinya hanya bisa fokus ke hal2 yang penting, tapi gabisa membangun hal2 kecil dulu utk nanti jadi foreshadowing ke scene2 utama.

    Tapi entahlah, saya hanya netizen julid, kalo disuruh bikin juga mungkin hasilnya lebih buruk

    Maju terus perfilman indonesia!!

    • Arya says:

      Terima kasih sudah bacaa

      Hahaha kita-kita yang netizen mah kalo bikin film ya pasti buruk, karena gak punya pengetahuan dan pengalaman. Beda kalo udah jadi filmmaker. Semua filmmaker pasti punya ilmu, tapi ya seringnya ilmunya rela dipinggirkan demi kemauan industri dsb. That’s why muncul yang namanya kritik, kan. Kritik bukan untuk bego-begoin filmmaker atau untuk jelek-jelekin selera penonton, tapi basically salah satunya cuma untuk basically mengingatkan bahwa film A sudah semelenceng apa dari film-yang-benar.

Leave a Reply