INSIDE OUT 2 Review

 

“Why do we lose ourselves in anxiety?”

 

 

Alarm pubertas telah berbunyi. Riley sudah bukan anak kecil lagi. Maka siap – gak siap, Joy dan para Kru Emosi di dalam Riley pun harus ikut bertumbuh dewasa supaya bisa mengendalikan perasaan-perasaan Riley. Menyiapkan gadis cilik itu kepada fase berikut dari hidupnya. Itulah alasan kenapa sekuel dari Inside Out (2015) ini ada. Karena manusia bertumbuh, dan akan selalu ada cerita dan tantangan baru yang dihadapi. Nonton Inside Out yang mewujudkan emosi ke dalam karakter lucu, setidaknya membuat kita mampu memahami apa dan kenapa, kita mengalami perasaan tertentu. Bangunan dunianya yang begitu immersive dan kreatif  membuat menyelami psikologi karakternya – yang kemungkinan besar merupakan cerminan dari apa yang pernah kita alami –  serasa menempuh petualangan yang sendirinya juga seru dan emosional. Jika di dalam kepala Riley ada Joy, Sadness, Anger, Disgust, dan Fear yang memegang panel kendali, maka di dalam sekuel Inside Out ini ada sutradara Kelsey Mann dan tim penulis sebagai komando dari the rest of the crew untuk menghadirkan kepada kita lanjutan ‘pelajaran psikologi perkembangan anak’ dengan cara yang sama menyentuh dan menghiburnya.

Remaja adalah fase mencari jati diri. Makanya saat menginjak remaja, perasaan kita akan semakin kompleks. Begitu juga dengan Riley. Anak itu sekarang semakin giat menekuni olahraga hoki. Dia gabung tim di sekolah bersama dua sahabat. Dia juga punya idola di olahraga tersebut. Itulah identitas Riley yang dijaga oleh Joy dan para Kru Emosi. Anak baik, atlet hoki, bersama dua sahabatnya. Tapi remaja juga berarti sebuah fase perubahan. Dan as perasaan Riley campur aduk oleh potensi satu tim bersama idola dan potensi gak bakal satu sekolah lagi dengan sahabatnya, perubahan besar terjadi di ruang kendali Emosi. Panel kendalinya semakin sensitif. Ruangan pun semakin besar, karena Joy dan teman-teman kedatangan anggota baru. Empat Emosi yang tampak lebih intense (Sebenarnya lima, tapi yang satu lagi baiknya disimpan saja karena memang masih hanya lucu-lucuan buat anak tua). Ada Embarassment, si besar dan, ehm, pemalu yang ngeliatnya lebih kasihan daripada ngeliat si Sadness. Ennui, yang lebih sarkas daripada Disgust, Ada Envy, yang walaupun kecil tapi lebih enerjik daripada Anger. Dan ketua mereka, si oren Anxiety, yang pecicilan dan khawatirnya ngalah-ngalahin Joy dan Fear. Si Anxiety claim dia sudah menyiapkan banyak skenario untuk membantu Riley mengarungi masa pelatihan di kamp. Anxiety percaya Riley yang beranjak remaja butuh identitas baru, supaya survive di babak hidupnya yang baru. Dan Joy serta kru Emosi yang lama, dianggap sebagai pengganggu. Sehingga Anxiety membuang mereka, serta identitas lama Riley. Joy harus memimpin teman-temannya mencari jalan kembali ke ruang kendali, demi mengembalikan Riley seperti yang dulu.

review inside out 2
Aku masih mikir, cocoknya nama Joy itu ditranslate sebagai Ria aja daripada Riang

 

In a way, Joy di film ini ngalamin jadi seperti Sadness di film pertama. Dibuang dan merasa tidak dibutuhkan. Ada dialog sedih banget tatkala Joy ngerasa remaja seperti Riley butuh less joy di dalam hidup mereka. Bedanya Joy dengan Sadness di film pertama; Joy enggak pasif. Di sinilah kerja keras tim penulis di ruang komando film mengulik naskah supaya Joy yang karakter utama tetap memegang kendali cerita. Karena, Joy di sini bereaksi atas tindakan Anxiety yang membuang mereka.  Sekilas memang seperti, yang bikin plot bergerak adalah kedatangan Anxiety dan Emosi yang baru, serta tindakan mereka yang membuat Joy dan kawan-kawan tersingkir. Tapi naskah berjuang untuk membuat Joy tetap berada di kursi kemudi, dengan membuat Joy punya false-believe lain, yang telah dilakukannya sebelum Anxiety datang. Yaitu, memilih kenangan dan feelings yang positif-positif saja untuk membangun self-sense atau identitas Riley. Seiring cerita berjalan, development Joy adalah menyadari bahwa believe-nya itu pun tidak tepat. Bahwa sebenarnya dirinya sama saja dengan Anxiety, bedanya Anxiety hanya mencemaskan hal-hal yang belum terjadi dan membangun self-sense Riley dari kewaspadaan tersebut. Dan akhirnya memang, Riley yang merasa orang baik sehingga clueless dan kurang sadar akan kekurangan atau kesalahan dirinya sendiri, jatoh sama kurang bagusnya dengan Riley yang meragukan dirinya sendiri. Yang jadi stake di sini memang Riley, yang menjadi kehilangan jati diri. Sehingga bisa-bisa jadi depresi.

Persis seperti itulah remaja seusia Riley. Dioverwhelm oleh perasaan gak pede, dihantui oleh kecemasan untuk gagal karena merasa dirinya tidak akan pernah good enough, hingga sampai kehilangan jati diri karena cemas tidak diterima oleh sosial. Film ini really nails problematika mereka dan mentranslasikannya ke dalam bahasa petualangan fantasi. Bersama Joy, Anxiety, dan teman-teman Emosi yang lain kita akan menyadari, bahwa self sense kita adalah hal yang kompleks. Bahwa yang membentuk diri kita bukan elemen kebaikan semata. Kita harus ingat kesalahan yang kita perbuat, hal malu-maluin yang pernah kita lakukan, kita harus merasa cemas, cemburu, takut, sedih, harus tahu apa kelemahan kita, karena itulah yang membentuk siapa diri kita secara utuh. Dan kunci untuk menjadi bahagia, adalah mengetahui siapa diri kita sendiri – seutuh-utuhnya.

 

Naskah boleh saja masih menggunakan formula yang mirip dengan film pertama – basically cuma semacam pembalikan, dan alih-alih accept kesedihan, Joy di sini accept dirinya harus berbagi ruang juga dengan Anxiety, tapi bukan berarti film ini sebenarnya sudah kehabisan ide. Justru sebaliknya. Film ini ternyata masih punya banyak kreasi untuk bikin dunia di dalam Riley itu begitu menarik dan punya sistem yang kuat. Lihatlah bagaimana film membawa kita ke tempat-tempat di film pertama, dan mengubah tempat itu sesuai dengan keadaan Riley sekarang. Pulau-pulau relationship Riley sekarang benar-benar mencerminkan pribadi remaja (lebih mikirin persahabatan, dan mulai ‘tertutup’ pada keluarga). Kontrol panel yang dibikin makin sensitif. Dipencet dikit tapi reaksinya ke Riley sungguh dahsyat, seperti gambaran kartunis betapa intensnya perasaan kita di usia segitu (senggol dikit, bacok!) Ada satu momen ketika Joy dan kawan-kawan kembali ke Taman Imajinasi Riley. Tempat yang dulunya sangat magical, kini seperti kantor. Imajinasi Riley sekarang digunakan untuk menggambarkan berbagai skenario kegagalan yang harus diantisipasi oleh Anxiety. Ini udah kayak visualisasi ringan dari kuote terkenal Deepak Chopra “The best use of imagination is creativity. The worst use of imagination is anxiety” yang memang deep abis. Kita menyalahgunakan kreativitas kita untuk hal-hal yang kounterproduktif, bayangkan!

Selain tempat-tempat lama yang sudah berubah, film juga membawa kita berkunjung ke tempat-tempat baru yang tak kalah kreatif. Ada secret vault yang literally brankas tempat rahasia memalukan Riley tersimpan. Di dalam sini banyak karakter baru yang ajaib dan kocak. Ada juga fenomena dengan word play yang tak kalah unik, seperti brain storm. Badai alias hujan bohlam-bohlam ide turun, menghambat petualangan Joy. Yang paling bikin aku ngakak adalah jurang bernama Sar-Chasm. Jurang yang membuat apapun yang disampaikan, akan terdengar seperti sarkas oleh gaung yang ada di sana.

Selain ngajarin psikologi, film ini ternyata juga ngajarin bahasa hihihi

 

Cerita tentang emosi atau perasaan yang jadi karakter, serta secara konteks menyelami perasaan karakter remaja dan melihat bagaimana ‘cara kerja’ semuanya, seperti ini tentu saja gak akan bisa berhasil jika tidak dibarengi dengan visual yang sama ekspresifnya. Mungkin bagi sebagian kita, Pixar sudah tidak perlu diragukan lagi. Tapi tetap saja menurutku, di film ini Pixar menghadirkan kualitas yang bukan cuma berhenti di ‘standar yang penting ekspresif’. Karena selain ekspresif, animasi di sini juga lumayan fluid. Film mulai bermain-main dengan variasi gaya animasi, tergantung dari karakter dan tidak terbatas dilakukan pada karakter-karakter Emosi. Karakter-karakter lain, misalnya karakter dari video game, dibikin punya visual dan gaya animasi – serta gerakan sesuai dengan ‘gimmick’ video game yang glitchy. Ada juga karakter dari kartun, yang oleh film ini bukan saja digambar dengan gaya 2D tapi juga poke fun ke salah satu tipikal acara kartun anak populer yang suka ngobrol breaking the fourth wall kepada pemirsa cilik di rumah. Dan juga tentunya si Riley sendiri. Aku suka desain karakternya yang menurutku kali ini lebih ‘berkarakter’. Jerawat di dagunya itu, menurutku sentuhan kecil yang nice banget ke bentukan karakter ini. Sehingga selain problemnya, dirinya sendiri juga terasa semakin real. Riley di sini semakin terflesh out, Kita mungkin akan melihat sebagian kecil diri kita sewaktu remaja ada pada Riley.

 

 




Inside Out pertama sembilan tahun yang lalu itu merupakan satu dari langka sekali film yang berhasil dapat skor 9 di sini. Dan honestly, aku yang gak terlalu doyan sama sekuel ini, gak antusias-antusias amat menyambut filmnya yang kedua. Tapi ternyata film ini punya alasan tepat untuk hadir, dan actually masih punya banyak ide untuk menggambarkan dunianya. Naskahnya mungkin masih ngikut cetakan yang pertama, tapi penceritaan berhasil membuatnya tambil lebih gede. Seperti juga karakternya yang makin gede, sehingga punya masalah emosional yang lebih gede pula. Untuk mengimbanginya, film juga menaikkan volume komedi, desain karakter yang lebih comic, sehingga film masih mampu menggapai penonton cilik yang udah gak exactly seusia karakter manusianya. Sementara untuk kita yang sudah cukup dewasa, film ini benar-benar sebuah gambaran imajinatif yang seru dan terukur untuk melihat kenapa sih remaja ngalamin hal yang mereka rasakan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for INSIDE OUT 2

 

 




That’s all we have for now.

Waktu itu aku pernah ikut gamequiz di internet, ‘Emosi Inside Out Apakah Kamu?’ dan aku dapat Disgust. Waktu itu pas masih cuma ada lima karakter emosi sih, kayaknya cocok-cocok aja. Tapi sekarang kayaknya aku lebih cocok si Malu-maluin deh haha.. Bagaimana dengan kalian, menurut kalian karakter emosi apa yang paling dominan pada diri kalian?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



Comments

  1. Farrah says:

    Lgsg otw ke bioskop pas tau skornya 7.5 hahahahahahaha

    Jujur seru bgt, bener kata mas Arya, topiknya fun enough for the kids, tapi quite deep buat penonton dewasa, formulanya tuh pas, tipikal pixar. Salah satu cerita coming of age yg fresh ya

    Detailnya juga menarik, kalo aku suka sama sungai unconscious mind sih, kayak kok bisa kepikiran gitu

    Btw penasaran mas, yg bikin gak dapet skor 8 apa yaa? Karakternya kah yg gak maksimal? Aku coba baca ulang nggak nemu kekurangan soalnya di review

    • Arya says:

      Karena masih ‘mirip’ ama yang pertama haha.. Basically, kalo dulu ttg accept kesedihan, yang sekarang ini ttg accept kesalahan, hal memalukan, dan perasaan negatif lainnya. Bukan kekurangan sih sebenarnya, cuma limit yang kuset sendiri aja; untuk nembus di atas 7 kudu bener-bener fresh alias gak mirip film lain, at least kalo ceritanya mirip maka sudut pandang atau journey dan resolusinya beda

Leave a Reply