“I ask them why is it so hard to keep a promise”
Di tengah maraknya film horor yang menjual kesadisan, superhero yang berwarna kekerasan, dan drama yang mengutamakan keganjenan, film Indonesia memang agaknya cukup kekeringan cerita untuk anak-anak. Film yang totally aman dan berguna untuk ditonton anak-anak. Film yang benar-benar berangkat dari sudut pandang anak-anak. Film yang berani menunjukkan permasalahan yang bisa dialami oleh anak-anak. Film yang karakter anaknya beneran ditulis seperti anak-anak. Awal tahun ini, ada sih satu, cuma terlewat olehku karena at that time aku masih belum boleh ke bioskop. Untungnya, Visinema sekali lagi mengangkat cerita anak-anak. Keluarga Cemara 2 – kali ini ditangani oleh Ismail Basbeth – dijadikan drama yang lebih berfokus kepada suka duka petualangan Ara dalam menagih sekaligus mempertahankan janji.
Oh man, ngomongin soal dijanjiin hal-hal saat masih kecil… Kalo semua janji orangtua dan oom-tante kepadaku waktu masih kecil dulu beneran mereka pegang, aku sekarang bakal punya snack kentang sekontener, mainan serta buku komik satu truk, serta permen segudang uang Gober Bebek, dan banyak lagi! I’ve lost count karena sudah capek menghitung janji. Lebih banyak yang gak ditepatinnya ketimbang yang beneran diwujudkan. Janji-janji tersebut di mata orangtua mungkin sekadar supaya anak mau mengerjakan tugas atau mau menjaga sikap. You know, supaya anak melakukan sesuatu untuk kebaikan sendiri. Tapi bagi si anak, janji itu berarti demikian besar. Buat orangtua yang gak percaya; tonton saja Keluarga Cemara 2. Di film ini Ara merasa jauh dari keluarganya yang mulai sibuk hingga melupakan janji mereka. Emak sibuk ngurus Agil, sedangkan Abah sibuk sama kerjaan baru di peternakan sehingga janji benerin kamar Ara masih ditangguhkan. Kamar? Ya, Ara kini tidur sendiri karena kakaknya, Euis butuh privasi sebagai remaja SMA yang mulai pacar-pacaran. Untuk alasan itu jualah Euis tidak bisa lagi memenuhi janjinya kepada Ara untuk pulang sekolah bersama-sama. Ara jadi sedih. Yang Ara punya sekarang cuma anak ayam yang ia pungut di jalan. Dan Ara bersama teman sekelasnya nekat berjalan ke kampung sebelah yang jauh, demi mencari keluarga si anak ayam yang tersesat. Yang jelas saja bikin panik keluarga Ara di rumah!
Motivasi Ara memang terlihat sepele. Ingin nganterin si anak ayam ke keluarganya yang hilang. Dan memang seperti itulah kebanyakan orangtua memandang perbuatan atau sikap anaknya. Sebagai hal yang sepele. Makanya mudah mengobral janji. Menganggap pada anak semua adalah main-main. Lihat betapa kekinya Abah ketika Ara bilang dirinya bisa bicara sama ayam, dan ayam itu bilang rindu pada keluarga. Abah menganggap imajinasi Ara sudah keterlaluan. Ayam mana bisa ngomong? Tapi ayam si Ara bisa. Buktinya bukan karena Mang Romli waktu kecil bisa bicara dengan kodok, ataupun bukan karena kita actually dibuat oleh film mendengar suara ayam-ayam memanggil nama Ara (yang awalnya dikira hantu oleh Ara) Melainkan karena ayam Ara punya makna di baliknya.
Ayam itu bagi Ara adalah pengganti sosok sahabat yang selama ini dia lihat pada kakaknya. Semenjak kakaknya sibuk pacaran dan mereka tidur di kamar yang berbeda, Ara jadi kesepian. Also, anak ayam ini juga jadi bentuk sikap dari Ara. Anak perempuan ini tau gak enaknya diingkari janji, maka ia bertekad untuk benar-benar menemukan keluarga si anak ayam, seperti yang ia janjikan. Setelah sebelumnya ia sempat gak mau berjanji kepada abah dan kakaknya, karena dia enggak mau jadi seperti mereka yang ingkar janji. Ketika kita mensejajarkan pandangan kepada level Ara, semua tidak lagi terasa sepele. Yang karakter ini lalui sepanjang durasi merupakan problematika trust yang cukup merenyuhkan hati. Kita bisa merasakan begitu pentingnya bagi seorang anak seusia Ara untuk dipercaya oleh orang lain (khususnya orang dewasa) dan in turn bisa menaruh kepercayaan kepada orang dewasa. Apalagi Ara ini anak tengah, yang biasanya paling butuh untuk dinotice sebab posisinya di antara sodara pertama yang punya banyak masalah dan sodara bungsunya yang ‘mencuri’ perhatian dari dirinya. Ara butuh banyak atensi, tapi justru itu yang tidak ia dapatkan. Memerankan karakter seperti demikian, aku takjub Widuri Sasono tidak kehilangan aura anak kecilnya. Kita harus berterima kasih juga kepada naskah yang benar-benar mencoba menggali perspektif Ara sehingga karakter ini tidak nestapa semata. Widuri memperlihatkan passion dan semangat pada karakternya ini, while also memberikan emotional journey. Menurutku amazing sekali di tengah jejeran cast seperti Ringgo Agus Rahman, Nirina Zubir, dan bintang muda yang hits Adhisty Zara, film mempercayakan peran utama kepada karakter anak kecil, dan Widuri membuktikan dirinya bisa membawa cerita.
Tapi tau gak kenapa aku gak pernah menagih janji-janji masa kecil kepada orangtua dan oom-tante? Karena seiring bertumbuh aku sadar bahwa janji-janji itu bukannya tidak mau ditepati, tapi karena situasi tertentu, beberapa janji memang tidak mungkin untuk ditepati. Momen penyadaran seperti itu tidak aku temui pada cerita Ara di Keluarga Cemara 2.
Tiba di bagian akhir, film seperti jadi ragu dan kembali seperti kebanyakan film untuk anak-anak; sugarcoating things. Di akhir cerita, tidak banyak pembelajaran yang dialami Ara, dia ‘cuma’ memaafkan Euis dan Abah. Dia ‘hanya’ mencoba mengerti kenapa mereka gak menuhin janji tanpa belajar tentang ‘janji’ itu sendiri. Kenapa aku menyimpulkan begini? Karena film membuat Ara berhasil memenuhi janjinya kepada si anak ayam. Sesuatu yang bahkan dalam konteks imajinasi/fantasi pun merupakan hal yang mustahil untuk dilakukan. Menurutku, pembelajaran mestinya bisa lebih kuat jika Ara dibikin gagal saja. Dengan begitu, Ara akan natural mengerti bahwa janji bisa tidak terwujud karena situasi. Yang tentu saja mencerminkan masalah janji Abah yang sibuk atau janji Euis yang memang sudah pada masa butuh privasi. Pembelajaran Ara untuk bisa sampai di titik yang diperlihatkan akhir cerita bisa lebih tegas. Ara bisa sekaligus belajar tentang kehilangan, tanggungjawab, dan lain-lain yang menyertainya.
Aku punya dua adik sepupu cewek yang jarak umur mereka sama seperti Euis dan Ara, dan yang terjadi pada Euis dan Ara pada film ini persis terjadi juga kepada mereka. Adik yang secretly ngefans ama kakaknya, sehingga terus berusaha nyari perhatian sang kakak, dan ujung-ujungnya kena marah karena si kakak lagi pengen sendiri. Atau karena adiknya simply bertingkah annoying kayak si Ara yang mainin lagu atau merebut sisir. Jadi aku bisa bilang penggambaran relasi kakak-adik usia segitu dilakukan oleh film ini dengan otentik. Aku juga nonton film Ramona and Beezus (2010), adaptasi novel anak dibintangi Joey King dan Selena Gomez. Ramona juga harus pisah kamar ama kakaknya, karena si Beezus udah beranjak gede dan butuh privasi. Kalo Keluarga Cemara 2 dibandingkan dengan film itu, Keluarga Cemara 2 cenderung lebih muram. Kalah ceria. Hanya Ara yang menghidupkan suasana. Euis di sini bener-bener gak asik. Beezus juga punya masalah cinta sama cowok di sekolah, tapi aku masih melihat dia menggoda adiknya, ngejailin adiknya, bersikap enggak satu note-lah pokoknya. Euis di Keluarga Cemara 2 adalah gadis yang impossible diajak ngobrol. Cemberut dan dingin selalu, bahkan sama teman gengnya dia gak tampak asyik.
Abah dan Emak juga begitu. Sekali lagi, dibandingkan dengan Ramona and Beezus yang masalah keluarganya juga soal duit dan kerjaan, Abah dan Emak lebih depresif. Kurang momen ceria. Padahal kalo dilihat-lihat dari cerita, enggak mesti juga dikasih stake ekonomi, apalagi di akhir juga tidak terlalu dikembangkan. Cerita harusnya stick aja kepada Ara, stakenya bisa diambil dari Ara yang hilang dan semacamnya. I mean, cerita keluarga yang hidup di desa toh gak harus bersusah-susah, yang penting kan kesederhanaan dan kehidupan di sananya terpotret. Menilik dari peran-peran yang lain, akar masalah film ini sebenarnya sama juga dengan kebanyakan film Indonesia lain. Mengotak-ngotakkan fungsi peran. They did free it up buat Ringgo sebagai Abah, yang harus bermain dengan nada dramatis alih-alih komedi. Tapi karakternya tetap terasa terbatas karena yang lain masih ada di kotak. Euis, Abah, Emak ‘dilarang’ ceria karena porsi ceria dan jenaka sudah diberikan kepada Romli dan Ceu Salma. Porsi Asri Welas di sini lebih banyak daripada di film pertama (mungkin karena masuk nominasi FFI hihi) meskipun karakternya tidak berperan banyak selain untuk memantik kelucuan, juga tidak berbeda banyak dengan tipikal peran komedi yang diperankan Welas biasanya. Mengingat baru-baru ini kita mendapat dua film yang berani mendobrak pengotakan fungsi peran seperti demikian (Ngeri-Ngeri Sedap dan Srimulat) maka film Keluarga Cemara 2 ini jadi terasa sedikit ketinggalan zaman.
Janji untuk memberikan film Indonesia yang bermutu mestinya tidak sesusah janji Euis untuk diwujudkan oleh filmmaker tanah air. Buktinya, film yang kita bahas kali ini sebenarnya sudah hampir bisa mewujudkannya. Film ini tampil dengan hati. Menyuguhkan kisah keluarga dari perspektif anak kecil yang relate dan genuine. Ini masih jauh lebih baik dibandingkan film-film lain yang katanya untuk anak-anak. Hanya, pembelajaran karakternya mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik lagi. Lebih nendang lagi. Karakter-karakter lainnya pun mestinya bisa lebih dihidupkan lagi ketimbang sekadar fungsi-fungsi. Sebagai franchise reboot-an – aku gak tau mereka merencanakan apakah ini untuk trilogi atau untuk berapa film lagi – kupikir franchise ini cukup solid, walaupun yang film kedua ini terasa lebih kecil dan gak lebih wow dibanding film pertamanya. Tapi aku suka mereka mempersembahkan ini dengan perspektif karakter yang berbeda. Pergantian sutradara yang tadinya kupikir cukup aneh (jarang ada film pertama yang sukses secara jumlah penonton, mengganti sutradara untuk sekuel) tapi setelah melihat filmnya yang angkat sudut pandang berbeda, jadi agak make sense. Mungkin film ketiga nanti bisa dari sisi Agil? Please…? Tingkah baby Agil udah scene stealer banget di sini hihihi
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for KELUARGA CEMARA 2
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian anak-anak lebih menghargai janji daripada orang dewasa?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Kemaren liat trailer film KC2 ini di postingan feed ig bene dion dan film ngeri2 sedap, trailernya juga wara wiri di story lalu kepikiran bagus nggak ya kaya film KC1? akting zara di KC1 aku suka…
dulu pas film KC 1 aku nonton karena banyak yg bilang bagus, kalo yg ini kayaknya bisa diskip ya bang, mau nungguin pengabdi setan 2, cek toko sebelah 2 sama petualangan sherina 2 aja 🙂
Buat pemanasan ke Sherina 2 cocok sih ini, karena lumayan ngingetin ke vibe yang pertama hahaha
Bang, request dong review The Man from Earth (2007).
Wah film lama, yuk review bareng aja mau gak? xD
Gimana caranya, bang?
Caranya dengan wawancara via email. Nanti kukirim pertanyaan-pertanyaan yang menggali perspektifmu terhadap film itu seperti apa, trus dijawab. Jawaban-jawaban itu nanti kugodok dengan perspektifku, trus dijadikan artikel seperti lagi ngobrolin filmnya.
. I mean, cerita keluarga yang hidup di desa toh gak harus bersusah-susah, yang penting kan kesederhanaan dan kehidupan di sananya terpotret.
Ini lho alasan utama saya tidak menyukai franchise film ini. Sederhana tidak sama dengan susah. Justru dengan menggambarkan potret yang apa adanya suasana desa, penonton bisa melihat bahwasanya ada realitas lain dan juga bahwa bahagia itu tidak hanya dari satu sudut pandang. Semisal kalau kita jualan opak kenapa orang kota mengganggap kita hidup susah, bisa jadi karena kehidupan di desa memang seperti itu. Dengan berjualan adalah profesi utama mencari nafkah. Potret saja makna kehidupannya dari kebiasaannya. Hilangkan dulu sudut pandang kota ketika membuat film tentang desa. Yang ujung2nya cuma dianggap sebagai ‘kesusahan/kemiskinan’.
Baru-baru ini ada kajian soal film horor Indonesia masih cenderung memandang desa/tempat terpencil sebagai sesuatu yang ‘angker’. Gak usah jauh-jauh ke horor, di drama keluarga aja ternyata ada juga pandangan seperti itu ya. Kalo di film pertama, mungkin masih bisa, soalnya ‘kesusahan’ itu bisa timbul dari perasaan terpaksa seseorang yang biasa hidup di kota melakukan hal-hal yang berbeda di desa. Penyesuaian hidup bisa dianggap kesusahan pada awalnya. Tapi kalo soal itu sudah finish dan sekarang lembaran baru, mestinya bahasannya udah gak ke situ lagi. Sudah saatnya mereka dipotret sebagai penduduk desa apa adanya. Jangan pakai perspektif orang yang harus struggle di desa lagi.