SLEEP CALL Review

 

“Nobody is coming to save you”

 

 

Telponan sama gebetan sampai pagi ternyata ada istilahnya. Sleep call. Romantis sih memang, kita yang lelah dan sumpek setelah beraktivitas seharian kini ada di kamar, curhat bertukar cerita, mendengarkan suara orang yang bikin kita nyaman, sampai akhirnya kita ketiduran. At least ku dulu gitu sih, terakhir kali ngerasain ‘sleep call’ itu pas jaman BB. Telponan sampai pagi, karena dulu video belum lancar kayak sekarang hahaha. Tapi film Sleep Call buatan Fajar Nugros ternyata bukan film romantis. Melainkan sebuah thriller psikologis. Genre yang masih langka banget di perfilman Indonesia, tapi juga merupakan genre favoritku. Muholland Drive (2001) karya David Lynch-lah yang membuatku jadi tertarik sama film, membuatku mulai nonton film katakanlah religiously. Dan dalam film Sleep Call ini, aku merasakan ruh dan bentukan cerita psikologis serupa film itu. Jika perjalanan Diane dalam Mulholland Drive sesungguhnya adalah gambaran yang menyingkap true nightmare di balik gemerlap Hollywood, maka Sleep Call sesungguhnya adalah wake-up call bagi orang kecil seperti Dina bahwa no matter what, Jakarta itu keras!

Dua film itu sama-sama tegas dan lugas. Blak-blakan memperlihatkan Jakarta, seperti Hollywood, merupakan tempat mengais kehidupan penuh oleh kesempatan, tapi juga tanpa ampun. They could make us jika kita mau put on an act, atau tempat itu will definitely break us. Dina terlilit utang. Untuk bisa melunasi pinjaman onlinenya, dia terpaksa harus kerja jadi karyawan pinjol. Such an irony. Dina harus bermanis-manis supaya orang mau minjem ke perusahaannya, dan pada gilirannya, dia juga harus galak supaya peminjam takut dan mau membayar hutang mereka. Inilah yang Dina gak bisa. Dia gak bisa marah sama pengutang, karena dia berada di posisi yang sama. Performa kerja yang buruk, relasi dengan sahabat dan sesama karyawan lain yang hambar, dan kebutuhan hidup yang terus menekan, satu-satunya tempat tenang bagi Dina adalah ‘tempat’ yang ia kunjungi setiap jam 10 malam. ‘Tempat’ di mana dia bercengkerama dengan seorang cowok bernama Rama. Dina percaya Rama dan dunia ‘maya’ itulah yang bakal menyelamatkan dirinya. Tapi keadaan semakin buruk, nyawa-nyawa mulai melayang, saat realita menghantam sampai ke dunia aman Dina tersebut.

Dan pada akhirnya, senyum-lah yang justru paling susah dilakukan oleh orang-orang kecil seperti kita dan Dina

 

Seperti yang dilakukannya di film Inang (2022), Fajar Nugros kembali bermain-main dengan peran meta. Bermain dengan ekspektasi dan pengetahuan penonton akan cast yang ia pilih untuk memerankan karakter-karakter. Laura Basuki jadi meta saat memerankan Dina karena di mata penonton Laura Basuki punya image yang kuat sebagai perempuan yang innocent. I mean, di film ini kita nanti akan melihat makhluk Tuhan selembut Laura Basuki harus marah-marahin orang. Dia meletakkan simbol polos di tengah dunia yang keras sehingga bagi penonton, terasa ada lapisan ekstra, misalnya, ketika karakter Dina yang tadinya merasa kesulitan akhirnya bisa meledak marahin orang. ‘Anjing-anjingin’ orang. Efek sebuah kota begitu keras sampai-sampai ‘menghancurkan’ karakternya yang terus ditekan jadi lebih mudah terdeliver kepada kita. Selain Laura dan Dina, film ini juga menyiapkan satu karakter meta lagi, tapi lebih berfungsi untuk komedi. Yang komedi tersebut juga berjalan dua lapis. Pertama dari image aktornya tadi, dan kedua dari eksistensi karakter religius ini dalam dunia pinjol yang keras tersebut.

Inilah yang akhirnya membedakan Sleep Call dengan Mulholland Drive yang menggambarkan ‘politik belakang layar’ Hollywood dan kebimbangan (and later, kejatuhan) karakternya lewat adegan-adegan yang semuanya dream-like dan surealis . Fajar Nugros memilih untuk memotret kerasnya ibukota terhadap jelata dengan lebih gamblang. Seringkali juga menyentil lewat komedi. Polosnya Dina saat menagih utang ke rumah duka.  Celetukan sesama karyawan pinjol – dengan latar beragam – dalam ‘membenarkan’ kerjaan mereka. Komedi-komedi ini membangun ke momen-momen yang lebih kelam, seiring berlanjutnya cerita. Puncaknya, ya adegan-adegan thriller. Sleep Call memotret dengan intens, dan seperti yang diperlihatkan langsung di pembuka (as a stolen prologue), film ini gak ragu untuk jadi berdarah-darah demi memvisualkan efek dramatis dari tema gimana kerasnya kehidupan membuat seseorang jadi ‘edan’. Bahkan adegan yang lebih metafora seperti cerita Ramayana (dengan karakter yang jadi garisbawah karakter-karakter dalam Sleep Call) yang didengar oleh Dina juga tidak dibuat surealis seperti Klub Silencio di Hollywood versi Mulholland Drive. Momen surealis film Sleep Call justru hadir ketika menggambarkan Dina di ruang-ruang amannya bersama Rama. Film mengontraskan dunia ini dengan dunia nyata lewat antara pencahayaan, yang jadi ungu-ungu neon, ataupun dari ruang dan setting yang lebih ‘terbuka’. Film tidak benar-benar menuntun kita, sometimes cerita akan berjalan dengan abrupt, tapi tanda-tanda visual yang dilakukan film tersebut menjadi pegangan yang cukup untuk membuat kita bisa mengerti.

Menjaga hal untuk tetap tampak real dan dekat membuat film ini tentu saja lebih accessible bagi penonton. Sementara latar soal fenomena dating online mampu mengangkat concern yang aktual tentang resiko dan bahayanya dunia maya, latar tentang pinjol-lah yang mampu membuat film ini unik, merakyat, dan terasa urgent. Bahwa, ngerinya, cerita seperti di Jakarta Dina ini, mungkin sedang terjadi di luar sana, yang bahkan tidak terbatas pada Jakarta, atau bahkan pada orang kecil saja. Senyum – marah. Nyata – maya. Kaya – miskin. Duality-duality yang menghiasi cerita seperti membangun kepada komentar sosial yang ingin disampaikan oleh film ini.  Dan karenanya, sesekali kita juga bisa merasakan ada vibe-vibe seperti film Parasite (2019) atau malah Hunger Games merayapi film ini. Ada satu adegan yang benar-benar memperlihatkan jurang antara dua kelas sosial tersebut. Yang memperlihatkan saat si Kaya hanya menganggap si Miskin sebagai hiburan.

Orang-orang miskin harus saling bunuh demi bisa survive. Orang-orang kaya mempekerjakan mereka untuk saling bunuh tersebut. Dan di dunia yang begitu keras membagi manusia ke dalam dualitas ini, kita tidak bisa mengharapkan ada penyelamat yang datang. Pada akhirnya, seperti Dina, kita harus menyelamatkan diri sendiri.

 

Pandangan tersebut saat dibawa oleh film ke dalam perspektif karakternya, membuat cerita menjadi kisah personal seorang perempuan, bukan saja semata soal miskin dan kaya. Duality bertambah satu. Gender. Cerita Ramayana tadi seketika jadi epos usang, yang oleh karakter utama cerita hanya jadi harapan kosong. Film menuai bobot dramatis lebih lanjut dari sini. Semuanya bakal terhimpun menjadi satu penyadaran dan akhir yang dramatis  dari perjalanan karakternya. Sehingga film ini terangkat, bukan hanya sekadar soal ‘ternyata’

WAKE UP!!

 

Karena memang, lubang betmen pada genre psychological thriller ini adalah cerita jadi cuma tentang ternyata si karakternya adalah apa. Lupa memuat journey dan pengembangan inner dari si karakter. Kembali kita ambil contoh Mulholland Drive; film tersebut memang bergerak dalam bangunan untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, siapa sebenarnya Betty dan Diane, dan Rita dan Camilla, dan banyak lagi. Tapi melalui proses pengungkapan dan visualisasi dunia surealis tersebut kita bisa melihat journey satu orang sebagai perspektif utama cerita. Ketika dia menyadari dia sebenarnya ‘apa’, kita memahami kenapa dia bisa menjadi seperti itu. Kita tahu journey naas yang ia alami. Hollywood failed her. Sleep Call, seperti sudah kusebut di awal, punya dasar bentukan cerita yang sama. Di akhir cerita kita sadar – just as Dina sendiri sadar – ‘apa’ sebenarnya Dina. Tapi film tidak stop di sekadar dia ternyata ‘apa’, karena kita di akhir cerita paham journey yang membuat Dina sampai ke titik itu. Kita paham Jakarta, nyata dan maya, broke her. Perubahan karakternya yang kita antisipasi – dari polos jadi beradaptasi dengan kerasnya dunia – jadi punya dramatic irony setelah kita melihat apa yang dia lakukan di akhir.

However, karena itulah aku merasa film ini agak overkill saat membentuk backstory dari journey Dina. Harusnya ada batasan jelas kapan Dina, biar gak spoiler amat katakanlah, ‘rusak’. Membuatnya ternyata sudah mulai ‘rusak’ sedari awal, seperti yang dilakukan oleh film ini, malah mengaburkan journey yang ia alami dalam frame waktu cerita film ini berlangsung. Mengurangi efek dramatis soal tidak ada tempat untuk dia menaruh harapan, karena sekarang kita jadi ragu apakah hubungan dengan Rama selama sleep call itu ada simply karena Dina sudah ‘rusak’ atau itu adalah bentukan yang kompleks dari proyeksi dirinya yang berjuang mengarungi dunia nyata yang keras dan kejam – which is I believed yang inilah yang sebenarnya diniatkan oleh film. Tapi ya, film ini sendirinya jadi agak sedikit terlalu terlena dengan elemen thriller dari karakter utamanya.

 

 




Film ini adalah apa yang terjadi ketika filmmaker yang tahu persis apa yang mau dibicarakan, yang sudah mulai punya bentuk khasnya, tapi tetap membuka diri untuk tantangan baru. Tahun lalu Inang dibuatnya sebagai sebuah elevated horor, tapi agak kurang pada galian psikologisnya. Film kali ini, bukan saja beneran sebuah psychological thriller, tapi menurutku film ini punya keunikan untuk bisa menantang Mulholland Drive. Keputusan untuk membuat momen-momen paling naas karakter lebih gamblang alih-alih surealis mampu membuat film terasa urgent dan lebih mudah konek pada penonton kita. Beat-beat cerita dan journey karakternya berhasil terasa dramatis dan intens. Film ini juga menggunakan komedi dengan baik untuk memperkuat delivery temanya. Genre ini naturally punya lubang jebakan, dan film ini berhasil melangkahi itu karena ini bukan sekadar cerita ‘ternyata’. But I did feel film ini agak overkill dengan backstory sehingga mengurangi efek dramatis dari journey psikologis karakternya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SLEEP CALL

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah penceritaan psikologis seperti yang dilakukan oleh film ini mudah untuk diikuti, atau sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



Comments

  1. Aaron says:

    Pas ending agak sedikit flat namun juga kaget dengan twist si pasien secara tak langsung jadi narator hidupnya Dina. Aku setuju dengan bagian kaburnya timeline kapan persisnya Dina rusak? Apa sedari kecil karena mempertahankan dirinya dan ibunya semata? Kenapa Bu Linda baru bisa merasakan kehadiran Dina setelah pakai baju pramugari? Agak mengganjal soal potensi plot hole pembunuhan, apa alter ego dari Rama mainnya rapi sampai Dina gak dicurigai? Film ini juga nebar false trick kalau Bayu itu Rama, meskipun bisa juga dibuat begitu. Vibes merakyat di Inang sukses dibawa ke film ini, sesuatu yang tidak dimiliki PH spesialis horor sebelah. Golden comedy scene pas latihan membujuk ibu yang berduka supaya mau bayar hutang.

    • Arya says:

      Vibes merakyat dengan golden comedy scene ini kayaknya cuma bisa dicapai oleh sutradara yang punya naluri komedi deh. Liat aja film-film barat, yang comedian become director, trus bikin horor. Pasti concern2 cerita mereka tu ke merakyat seperti film ini haha..

      Iya kan, aku ngerasa agak terlalu overkill aja film bikin soal Dina ternyata itu.. soal sejauh apa sebenarnya hubungan Dina sama Rama yang asli, kan juga dibikin over dan kurang jelas karena ada Rama versi dunia nyata, Rama di dunia maya yang sleep call bareng Dina, dan Rama yang bentukan imajinasi Dina

  2. Sarah says:

    Sebenernya dari awal film emang dina ini halusinasi gasi mirip film (pintu terlarang)ny jokan , karena scene dina selalu ada di rsj dan pointny ada di akhir film klo dina itu ya pasien rsj . Cuma disini yang jadi narator kisahny dina yaa sesama pasien juga yg dongeng komik kosong itu .. suer ini film paling real bngt sama kejadian dunia nyata saat ini..

  3. Sarah says:

    Sebenernya dari awal film emang dina ini halusinasi gasi mirip film (pintu terlarang)ny jokan , karena scene dina selalu ada di rsj dan pointny ada di akhir film klo dina itu ya pasien rsj . Cuma disini yang jadi narator kisahny dina yaa sesama pasien juga yg dongeng komik kosong itu .. suer ini film paling real bngt sama kejadian dunia nyata saat ini

    • Arya says:

      Nah iya, makanya aku bilang agak overkill, karena kalo dia ternyata sudah gila selama berjalannya cerita, berarti semua masalah itu cuma halusinasi. Kecuali ada yang menegaskan at some point cerita yang kita tonton pernah beneran terjadi

      • Aaron says:

        Mas, tapi semua kejadian di kantor pinjol sepertinya real deh, terutama bagian Bella bilang get well soon Dina karena ngehalunya udah kelewatan. Ada penjual makanan yang jadi saksi halusinasi Dina juga. Di akhir cerita bisa jadi Dina dikirim ke RSJ karena diduga terlibat kasus kematian korban itu. Mungkin pas kedatangan Dina ke RSJ itu di kepala Dina saja suasananya begitu. Dina seperti alternate version dari Wulan di universe yang berbeda, lahir di keluarga abusif, mental abusif sampai berakhir bengis. Bedanya, Wulan versi yang lebih sober.

        • Arya says:

          Nah, maka cerita kan berarti progres Dina menjadi ‘rusak’ gara-gara urusan hidupnya itu. Di lapisan ini sebenarnya cerita udah enak, Dina jadi halu karena hidupnya keras.
          Tapi overkill dan batasan kurang jelas itu datang dari ternyata Dina dari kecil udah ada bakat psikopat (ada satu adegan tersirat yang aku sedih banget dia kayak bunuh kucingnya hahaha). Menurutku lapisan ini ganggu enaknya lapisan yang tadi. Karena ternyata Dina mmg udah gak beres, sedari sebelum cerita dimulai, sehingga journey emosional dia dan segala macam di lapisan tadi itu jadi kayak, yah kalopun misal semua itu halusinasi juga tak lagi ada bedanya, gitu haha

          • Aaron says:

            Ya bisa jadi akan lebih impactful kalau lewat interaksi sleep call, Dina menjadi Rama bagi dirinya sendiri. Menurutku, adegan itu malah menyiratkan Dina membunuh bapaknya bukan malah kucing. Karena tak tahan melihat Ibunya digebukin kali Mas. Kalau adegan itu dihilangkan juga gak merusak jalan cerita, malah memperlihatkan trauma masa lalu itu gak tuntas. Membuat Dina kerap merasa tak berdaya sama laki-laki

          • Arya says:

            Aku nganggepnya kucing karena Dina gede selalu ngisi piring makanan kucing tapi sebenarnya dia udah gak melihara kucing, jadi kayak, mungkin dia memang punya dua alter di mana yang satunya dia gak ingat kucingnya udah dia bunuh haha

  4. Anto Arief says:

    ulasan yg selalu cakep. ga percuma abis nonton lgsg mampir sini dan bener aja udah nulis ulasannya.

    yg bikin penasaran itu kenapa Fajar memutuskan sengaja pakai dialog/skrip bahasa Indonesia baku?

    sama kalau buat saya yg kurang berani adalah endingnya terlalu dijelaskan secara gamblang siapa pelakunya. padahal hint2 nya udah cukup banyak. kalau dibuat lebih tersirat sepertinya lebih menarik menambah unsur thriller dan teka-tekinya.

    • Arya says:

      Wah thankyou mas Anto mampir lagi

      Bahasa baku mungkin biar kesan gak nyamannya dapet? Atau mungkin memang love language mereka yang begitu, kayak kalo chat-chat flirt sama teman maya biasanya juga ku kebawa bahasa baku biar kesannya ‘misterius’ aja hahaha

      Setuju sih, beberapa adegan flashback ke Dina jalan bareng ternyata dia jalan sendirian, menurutku juga sebenarnya tidak perlu-perlu amat, penonton kayaknya ngerti-ngerti aja

  5. Albert says:

    Kalau menurutku Dina itu seperti kepribadian ganda. Jadi dia tidak ingat pas dia bunuh2nya, makanya dia masih mencari pembunuhnya juga, si cowok teman sleepcallnya itu. Betul ga sih? Sebetulnya aku juga masih bingung cerita Dina di pinjol itu nyata atau halusinasi. Hahaha.

  6. Jonathan Tjoedoko says:

    aku kok lebih suka yg pertama ya

    cerita nya lebih dapet, plot nya oke, build up karakter Irene juga asik, atmosfer horor nya juga dapet, gk kaya yg di kedua ini.

    film jadi lebih fokus Sophie aja, Valak nya kurang serem, iya dia sekarang makin kuat, tapi malah gk menakutkan bagi ku. aku setuju sama adegan-adegan yang berasa kurang nonjok

    atmosfer horor disini yang ku maksud, tempat sekolah nya kurang terasa ‘terpencil’, masih rame anak2, ga kayak yg pertama kan di kastil tua gitu.

    jangankan Irene, father Burke aja segampang itu “dibuang” sama film ini. “kemana father Burke?” “udah mati.” “kok bisa?” “kolera”. padahal bisa aja father Burke ini dibuat jadi korban dari Valak x Maurice waktu opening scene itu, setidaknya dia mati secara terhormat, bukan cuma mati karena kolera. lagian masuk akal juga kalo Valak bales dendam ke father Burke, bukan cuma random bunuh orang demi mencari kitab suci, eh relic suci

    Sidekick nya suster Irene aja gk begitu digali latarbelakang nya ya kan

    kalo sampe Loraine dan suster Irene ini orang yang sama sih parah banget ya, sekarang apa2 semua suka dijadikan satu universe walaupun itu ga masuk akal. tapi kalau emang ada hubungan darah, masih bisa dimaklumi deh

    aku sempet nonton Insidious Red door, agak boring sih menurutku, lagi2 cuma IP lama yg berusaha di extend masa hidupnya. haha

    orang-orang pada nonton the nun 2 ini gara-gara apa sih? mau liat Valak? Maurice ? atau suster Irene?

    • Arya says:

      Hahaha itu jelek banget sih memang cara mereka gak nampilin Father Burke. Masa ‘cuma’ kolera doang. Gak ada kaitan cerita sama sekali mah, mendingan gak usah diangkat juga sekalian. Iya, padahal lebih berfaedah kalo Burke yang jadi korban Valak. Atau kalo perlu diliatin dia jadi korban pertama sebagai prolog, misalnya

      Pengen dijumpscare Valak sih sepertinyaaaa

Leave a Reply