JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM Review

 

“Words and ideas can change the world”

 

 

Siapa sih yang gak mau kisah percintaannya seperti di film-film? Ketemuannya cute, jadiannya sweet, berjalan dengan naik turun penuh passion hingga happily ever after. Jika berakhir tragis pun, kisah cinta di film akan tetap romantis. Bahkan nerd seperti aku bakal get the girl! Padahal kehidupan nyata bukannya tidak romantis, loh. Kita semua mendambakan skenario jatuh cinta ala sinema karena film memang sekuat itu. Sebagai medium bercerita, film punya daya untuk mempengaruhi orang, punya kemampuan untuk memantik percikan perubahan pada seseorang dalam memandang hidup. Yandy Laurens jelas percaya ini.  Percaya kalo kehidupan nyata tidak kalah romantis, melainkan cuma butuh dorongan kecil dari sebuah film yang dirasakan lewat karakter-karakternya. Percaya bahwa efek film bisa sedahsyat itu, asalkan si film itu diberikan kesempatan untuk tetap personal dan menjadi dirinya sendiri. Jika pasangan dalam film biasanya mengatakan cinta lewat bunga, maka karakter yang diciptakan Yandy dalam drama komedi romantis dengan struktur ajaib ini bilang, say it with a movie,

Semua film, at one point, pasti personal bagi pembuatnya. Aku mengetahui ini waktu dulu masih sering ikut kelas penulisan skenario serabutan di mana-mana. Every aspiring screenwriters ingin memfilmkan secuil kisah hidup atau pengalaman mereka. Ingin mengatakan sesuatu di balik cerita yang mereka tulis. Ini bagus, hal-hal personal ini yang mestinya dipertahankan supaya film bisa relate dan genuine, sehingga bisa konek kepada penonton. Problem with personal stories adalah, kita pikir cerita kita itu bagus. Pengalaman atau kisah hidup atau pandangan kita itu layak untuk difilmkan karena orang-orang butuh cerita kita, karena cerita kita sedemikian penting sehingga bisa mengubah dunia ini.  Bagus, karakter utama, dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-Film juga punya ‘idealisme’ seperti begitu. Bagus yang seorang screenwriter, ingin membuat film romantis berdasarkan perasaannya terhadap Hana, teman semasa SMA dulu. Dia menulis film dari kisah pertemuannya dengan Hana yang masih berkabung atas kematian suami empat bulan yang lalu. Lewat naskah film yang ia tulis, Bagus ingin mengutarakan cinta sekaligus mencoba untuk membuka pintu hati Hana yang kini masih tertutup rapat untuk cinta yang baru. Jadi Bagus berjuang, pitching ceritanya di depan produser. Supaya beneran difilmkan dan Hana nonton. Naskah yang ia perjuangkan itu ultimately jadi membuka mata Bagus terhadap apa yang sebenarnya lebih perlu untuk ia lakukan.

The power of filmmaking; bukan cuma penontonnya, tapi juga bisa mengubah pembuatnya jadi pribadi yang lebih baik

 

Seperti yang sudah dikesankan oleh judulnya, film ini memang dibangun dengan struktur yang sangat meta. Film tentang karakter yang menulis cerita film, yang actually berdasarkan kisah hidupnya. Ada banyak layer; cerita di dalam cerita di dalam cerita. Konklusinya nunjukin meski dunia nyata si karakter mungkin gak seromantis di dalam cerita yang karakter bikin – karena di dalam cerita film, semuanya harus dilebih-lebihkan biar dramatis, toh dunia nyata dia itu film juga bagi kita. So mindblowing, makanya film ini ngasih pengalaman unik banget saat ditonton. Apalagi saat direview.

Serius deh. Ini actually salah satu film yang fun banget, bikin aku ber-“loh-loh” ria saat berusaha menelisik di balik layer-layernya satu persatu. Ada beberapa kali di babak awal aku ngerasa film ini jelek. Pretentious dengan gimmick hitam putih. Juga dengan penulisan yang sok asik dengan istilah-istilah film menurut ‘netijen’. Like, adegan yang nyebut penulis subtitle bahasa indonesia di film bajakan; adegan itu kayak maksain banget karena masa’ nonton film adaptasi dari sinetron Indonesia bisa pake ada subtitle segala. Ataupun masih terlalu ‘telling’ dengan dialog Hana bilang dirinya seolah ikut dikubur bersama suami, padahal cukup ditunjukin visual surealis Hana ikut berbaring di dalam peti mati yang memang ada later in the story. Di situlah aku nyadar. Bahwa yang jelek di depan itu, bukan film ini. Tapi film/naskah buatan si Bagus. Bahwa itu semua adalah bagian dari karakterisasi si Bagus sebagai tokoh utama. Gimana dia malah memposisikan karakter Hana sebagai yang harus punya development di dalam ceritanya, nunjukin bahwa Bagus belum melihat ‘false-believe’nya sendiri. Belum melihat bahwa dia itu egois, merasa benar, dan even gak sejago itu dalam nulis naskah film. Di babak selanjutnya, film akan mengacknowledge kekurangan-kekurangan Bagus, dan itu bakal dijadikan poin untuk pembelajaran bagi karakternya. Yang bikin makin seru, nanti juga ada adegan-adegan saat Bagus dipertanyakan oleh aktor dan kru yang terlibat di dalam pembuatan film dari ceritanya. Dan Bagus seringkali gak bisa jawab, karena dia realized they are right, Hana was right, and he is wrong.

Dan yang dibuat oleh Bagus itu belum lagi sebuah film. Melainkan ‘baru’ sebuah naskah. Tapi powernya sudah ada. Film hanya satu dari sekian banyak medium. Gagasan dan kata-katalah yang sebenarnya mengubah dunia. Kata-kata Hana yang ia jadikan dialog di naskah, membuka mata Bagus.  And in turn, gagasan Bagus dalam bentuk naskah, berhasil menyentuh Hana. Membantunya ‘terlahir kembali’ dari duka nestapa.

 

Makin ke belakang, bakal banyak momen-momen film ‘menjawab’ kejanggalan yang kita rasakan pada cerita buatan Bagus. Momen-momen itu juga bakal ngingetin kita kalo semua yang kita tonton adalah visualisasi dari naskah buatan Bagus. But it’s not that easy. Karena film ini juga punya selera humor. Selain mengiyakan pertanyaan kita, selain membimbing penonton melewati istilah-istilah penulisan skenario (hey free writing lessons!!) dan sedikit seluk beluk tentang gimana sebuah film bisa akhirnya dapat lampu hijau untuk produksi, serta proses syutingnya itu sendiri, konsep atau struktur meta film juga dibangun dengan meng-subvert ekspektasi kita sebagai penonton. Mana yang beneran terjadi di kehidupan Bagus dan Hana, mana yang cuma karangan Bagus. Garis itu jadi begitu abu-abu – hitam putih seperti yang ditampilkan film ini – sehingga nontonnya jadi seru, lucu, serta juga hangat oleh dinamika Bagus dan Hana, entah itu di mana Bagus dan Hana yang asli ‘dimulai’.

Sementara kita sort ulang mana yang actually dilakukan oleh film, dan mana yang dilakukan oleh film buatan si Bagus sebagai karakter yang harus punya perkembangan, yang tidak bisa kita deny kehebatannya adalah akting. Monolog Hana yang meledak di depan Bagus saat perempuan itu akhirnya tahu cerita apa yang sebenarnya ditulis oleh sahabat sekolahnya itu (selama ini Hana diberitahu Bagus menulis cerita tentang florist, padahal bukan) dan akhirnya tahu intensi Bagus di balik naskah itu, boleh jadi hanya ada di naskah karangan Bagus – bahwa itu kejadian yang tidak pernah terjadi di kehidupan nyata Bagus – tapi Nirina Zubir tetap nyata-nyata went out and totally slayed her lines like that. Itu adegan jadi momen bravo banget di bioskop. Penonton di studio ku pada diem takjub semua, setelah sebelumnya memang banyak yang terkikik-kikik oleh candaan terhadap perfilman yang tersebar di dialog-dialog film. Ringgo Agus Rahman juga tepat terus memposisikan dirinya yang memainkan berbagai ‘versi’ Bagus. Benang merah yang jadi inner journey karakternya tetap bisa dia pertahankan.

It’s meta funny film ini take jabs at bikin remake dari sinetron, while sutradara dan dua aktor sentralnya actually terlibat di film Keluarga Cemara

 

Jadi tampilan hitam putih yang sebagian besar mengisi film ini bukan sekadar gimmick, bukan cuma kode estetik Bagus yang pengen memahami duka Hana, dan mestinya bukan semata batas kejadian di naskah Bagus dengan kejadian di hidup asli Bagus. Melainkan didesain oleh film ini sebagai device untuk menampilkan journey karakter Bagus. Tampilan hitam putih jadi cara film untuk menyarukan kejadian nyata yang dialami Bagus, yang digodoknya dengan kejadian reka yang berarti gimana sudut pandang dan sikap Bagus memandang kejadian nyata yang dia alami. Dengan kata lain, mestinya bagian hitam putih di dalam film ini adalah visualisasi nurani Bagus dalam menilik gimana dia harus approach Hana dan duka perempuan tersebut. Mungkin aku salah, tapi I think konsep film ini kurang lebih diniatkan begitu.

Yang membuatku jadi menghubungkan film ini dengan Asteroid City (2023) buatan Wes Anderson. Sama-sama tentang dealing with grief, sama-sama lewat konsep hitam putih, Asteroid City di teater play, sedangkan film ini di penulisan/pembuatan film. Ketika Asteroid City gak takut untuk ‘membuka’ mana yang play mana yang dunia reka, dengan eventually membenturkan hitam-putih dan dunia warna demi memastikan karakter utama kita benar-benar terlihat mengalami development dan berbuat ‘kesalahan’, film tersebut berakhir dengan lebih tight, somehow lebih ‘misterius’, dan less gimmicky.  Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, however, rasanya tuh berpikir, masih takut untuk ketebak. Hitam putih dan warna, pada akhirnya jadi batas nyata dan reka. Karena begitu kita sampai ke momen warna/nyata, development yang kita lihat hanya pada Hana yang nyata. Penonton diniatkan untuk menyetujui bahwa development Bagus yang nyata telah terjadi di bagian hitam putih, tapi at the same time, film menegaskan batas nyata dan reka tadi. Kita gak melihat Bagus nyata struggle dengan pembelajaran, proses pemikiran dan penyadaran Bagus yang sebenarnya. Menurutku momen bentrokan dunia hitam putih dan warna seperti yang dilakukan Asteroid City bisa membantu film ini mencapai hal yang sama untuk karakter Bagus.

But still, struktur meta dan penulisan rom-com ini brilian. Eksistensi film ini, brilian. Like, kita bisa lihat sendiri di cerita ini betapa susahnya Bagus ‘menjual’ naskahnya ke produser. That’s really mirror real life. Itu nyaris seperti parodi dari gimana produser di industri film kita sekarang. Adegan-adegan Bagus dengan produser, poke fun begitu banyak fenomena industri kayak takut barengan tayang ama Marvel, ubah cerita jadi ada horornya, angker sama tampilan hitam putih karena jadi kayak film nyeni yang berat, udah kayak sketch Pitch Meeting di YouTubenya Screen Rant tapi lebih grounded dan relate karena keadaan yang disinggung sangat dekat. Kocaknya pun jadi lebih berasa. Aku ketawa like a sinefil snob di studio hahaha.. Makanya keberadaan cerita kayak gini, bisa-bisanya nangkring di bioskop, dengan jumlah penonton yang gak sedikit, jadi sebuah kebrilianan yang patut kita rayakan. Dan lestarikan.




Cerita yang personal akan selalu dapat tempat di hati penonton. Film ini punya itu, mengerti kekuatan itu dan gagah berani mengambil banyak risks. Film mengambil cara bercerita yang paling meta. Pembuatnya tentu saja sangat personal dengan urusan perjuangan gimana cerita asli bisa sampai mendapat lampu hijau untuk produksi.  Tapi dia tahu punya senjata kuat, yaitu bahasan topik cinta dan grief yang benar-benar mampu menggebah perasaan manusiawi. Sedikit extra pada konsep, tapi ini tetap sebuah presentasi cerita yang menyenangkan, menghangatkan, bahkan membuat kita menertawakan sesuatu yang kita sayangi.  This movie feels like love itself.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM

 

 




That’s all we have for now.

Hana sempat bilang bahwa romance hanya milik anak muda. Bagaimana pendapat kalian tentang itu?

Share di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru, bisa coba serial Monarch: Legacy of Monsters, dari universe Godzilla yang selain tentang monster juga tentang keluarga. Yang penasaran, langsung aja subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



Comments

  1. Aaron says:

    Mas, gak review film Srimulat Hidup Memang Komedi (rangkuman babak 1 & 2) ? Jadi penasaran sama film ini karena reviewnya pada bagus semua, corenya romance tapi dikemas dengan gaya berbeda seperti menyaksikan behind the scene pembuatan filmnya plus kehidupan personal pembuatnya

  2. soearadiri says:

    Ya, di menjelang akhir pas film berganti ke mode nyata/warna jujur sempat bingung sejenak. lah kok gini, tapi beberapa penonton di samping langsung takjub, “oooh”, seketika saya langsung menyadari film ini tentang apa (penting banget untuk tidak melewatkan bagian pembuka). tapi dengan menjadikannya demikian proses development Bagus memang jadi agak terdegradasi, dan Pilihan naskah untuk hanya menceritakan proses developement itu hanya lewat monolog flashback itu agak kurang. Saya sebenarnya agak berfikir bahwa konsep seperti ini kurang lebih seperti film2 yg menggabungkan dua genre dalam satu film. seperti (kebanyakan) genre Fanstasy, western, dan space opera yg diimajinasikan oleh karakter dunia nyata yg sedang mengalami struggle dalam hidupnya. seperti A Monster Call, dan Pans Labyrinth. saya berfikir film ini akan lebih Captivating jika berjalan beriringan antara yg nyata dan film. tapi yup, film ingin ceritanya tidak tertebak. But Overall, ini film terasyik di tahun ini. dan sayabangga Indonesia memiliki film seperti ini

    • Arya says:

      Nah iya, itu maksudku, nyata ama cerita di film ini mestinya beriringan, khususnya Bagus yang harus kelihatan tegas beriringan. Karena ini kan journey-nya dia.
      Seru sih memang, setiap kali ada momen-momen langka film kita berani pakai konsep dan gaya yang unik dan berbeda kayak film ini. Top!

      • soearadiri says:

        ya kan? kek sayang banget gitu. untungnya iya, proses development karakter Hana nya dapet banget. dia mengalami duka dan menemukan dirinya mungkin gk akan bisa move on, atau bahkan gk mau seperti yg ada di Naskah Bagus (mengetahui fakta bahwa speech epik Hana, ternyata “cuma” Naskah, saya jadi agak merasa terkhianati hehehe), tapi dia bisa bangkit dan siap menerima cinta bagus, tapi sayangnya pilihan itu ia buat bukan karena usaha bagus ngejar2 dia atau bahkan karena dia tersentuh mau dibuatkan film berdasarkan kisahnya oleh Bagus, melainkan karena pilihannya sendiri. dan again, hal itu makin membuat karakter bagus semakin lemah.

        Yandi bakalan jadi sutradara yg karyanya bakal saya tunggu2 sih, apalagi kalau premis dan konsepnya menarik terus kayak gini

        • Arya says:

          Haha sebenarnya aku lebih suka cerita ini selesai di lapis kedua aja, ketika Bagus menyadari false dia sendiri ketika naskah buatannya dia direct jadi film. Tapi ya itu ternyata gak nyata juga haha, masih Bagus-di-dalam-cerita, masih ada lapis ketiga. The real truth. Even adegan Cheline yang pas kebut-kebutan aja kan gak ‘nyata’, kita gak pernah tahu karakter Cheline di dunia nyata mereka beneran kayak gitu atau bukan.

          Dengan actually bikin 3 lapis, sebenarnya posisi naskah ini jadi sulit. It’s either bikin karakter Bagus lemah karena Na berubah sendiri seperti yang Mas bilang, atau ya film balik ke Bagus bikin naskah yang begitu ‘mansplaining’ soal cara berduka sehingga Na bisa berubah. Karena yang dibaca Na itu kan baru naskah, pure gagasan Bagus, belum jadi film. Ini gak kayak di Fabelmans ketika si bully tergerak hatinya melihat image dia dari film/video tangkepan Sammy.

          • soearadiri says:

            Hahahaha adegan naik motor galon itu gokil sih, satu studio riuh pas adegan ini.

            saya sih menangkap begitu karena pas film beralih ke mode warna/nyata, karakter Hana sperti sudah menjadi pribadi yg ikhlas, dia bahkan gk marah seperti yg ditakutkan Bagus. She literally said; its ok-kisah hidupnya akan difilmkan. sepertinya emg benar, film kurang menekankan bahwa ini juga tentang Bagus. padahal di poster promonya ditunjukkan karakter Hana dan Bagus sedang ada didalam bioskop, tapi kenapa adegannya tidak ada, dan film hanya berakhir mengulang adegan pembuka

          • Arya says:

            Aku malah nebak mungkin ada rewrite, karena selain poster teaser yang gak ada adegan itu, sinopsis mereka di imdb juga beda ama yang produk akhir yang kita tonton. Ga kenapa-kenapa sih, cuma kalo ada rewrite atau semacamnya, ngarep besok2 mereka keluarin versi director cut gitu2 ahahaha *ujung-ujungnya ni film ttp bikin nagih*

          • Farah says:

            Ikut nimbrung krn baru selesai nonton. Excitementku juga turun lagi pas ceritanya berubah ke dunia nyata sampe akhir :’)

            Pdhl emosinya udah dapet banget pas ending Bagus sama Hana ngobrol karena kecelakaan di dunia fiksi, waktu berubah ke realita, aku jadi bingung timelinenya gimana, dan bener, merasa terkhianati hahaha, karena udah attached banget kan, mana pas ending juga dijelasin kalo banyak adegan di dunia fiksi yang harus dirubah karena request produser, entah akan jadi gimana adegan yg beneran dirilis di’film’nya Bagus, sedangkan yang tersisa ya Bagus & Hana dunia realita, yg pengembangannya cuma kerasa sedikit (makanya pas adegan terakhir di supermarket, aku kaget loh, karena kayak, hah segini doang pembahasam Bagus & Hana realitanya??)

            Tapi tetepppp sih, seru banget filmnya, bangga juga, ternyata industri film lokal udah sampe sini. Pengen banget nonton lagi kalo udah masuk streaming

          • Arya says:

            Bangga dan seneng, karena walaupun kita lagi di tengah musim ‘semua akan bikin horor pada waktunya’, ternyata masih ada produser yang ‘berani’ ngasih lampu hijau untuk film out of the box kayak gini

  3. Avant Garde says:

    Minggu lalu nonton ini, biasanya kalo di solo penontonnya pada adem ayem (tipikal orang solo) tp pas film ini orang2 pada heboh, komen… ketawa dan kayaknya ada yg nangis hehe… Gak sabar sama film ke-3nya imajinari

      • Sarah says:

        Film ketiga imajinari itu yg judulny agak lain, gasi ? . tayang feb tahun depan …
        Jujur agak syok pas tau si hana ternyata jadian ma bagus , pdhl di scene berwarnany kan gak diceritain konsep mereka jadiany gmn masa iya ujuk ujuk suka ma bagus karena cuma baca naskah karangan bagus aja .. tapi terlepas itu lumayan cakep lah film ini

        • Arya says:

          Haha iya, berhenti di Hana sudah bisa kembali tidur di kasur aja udah cukup mestinya. Gak perlu sampai liatin beneran jadian. Toh namanya juga kan pulih/move on bertahap, pelan-pelan dulu

Leave a Reply