ASTEROID CITY Review

 

“Sometimes you have to accept things the way they are and move on”

 

 

Belum lama sejak Wes Anderson bikin kita takjub dengan film yang ternyata bukan film, melainkan majalah! (baca review  The French Dispatch di sini) Sekarang sutradara maniak gambar simetris dan warna palet kontras ini hadir membawa film yang tak kalah ajaibnya. Kali ini dia membuat film dari theater play. Dari proses orang bikin pertunjukan sandiwara teater. Asteroid City, begitu quirky, kisah yang diceritakannya bahkan enggak real di dalam konteks dunia cerita itu sendiri. Nah lo, belum apa-apa sudah aneh kan? Hihihi

Biasanya kan, kita tahu cerita dalam film adalah sebuah fiksi, namun bagi para karakter di dalam film, cerita dan dunia mereka adalah nyata.  Asteroid City tidak seperti itu. Yang dikisahkan adalah tentang seorang ayah, berprofesi sebagai fotografer, yang menyimpan rahasia dari anak-anaknya bahwa ibu mereka telah meninggal tiga minggu yang lalu. Si Augie justru membawa anaknya jalan-jalan. Tiga putrinya yang masih kecil-kecil mau dibawa ke rumah kakek, sementara putra sulungnya mau dianter ke kemah ilmiah di Asteroid City; tempat di tengah gurun yang jadi pusat wisata dan penelitian antariksa lantaran dulu pernah kejatuhan asteroid. Kita bertemu Augie dan keluarga saat mereka sampai di kota tersebut. Di malam pembukaan kemah, alien (like, literally alien dan UFOnya) turun ke tengah-tengah mereka, dan mengambil asteroid simbol tempat Kota. Kejadian itu membuat Augie dan orang-orang nyentrik lain yang anaknya ikut kemah (termasuk seorang selebriti), harus dikarantina di Asteroid City, sampai pemerintah dan mereka semua bisa memasukakalkan peristiwa kemunculan makhluk luar angkasa tersebut. Sementara kita, para penonton, punya satu hal lagi untuk dimasukakalkan, yakni apa sebenarnya film ini. Karena kisah di Asteroid City tadi itu  sebenarnya cuma drama teater. Augie dan putranya dan si selebritis dan karakter-karakter lain, cuma peran yang dimainkan oleh aktor-aktor teater. Kita juga akan diperlihatkan lewat gambar hitam putih sebagai penanda, adegan-adegan yang menunjukkan pembuatan Asteroid City, aktor-aktor yang berlatih, penulis yang mencari inspirasi, serta sutradara yang sering didatangi pemain yang kebingungan atas peran yang ia mainkan. Jadi seperti ada dua bagian yang bercampur; bagian cerita di Asteroid City yang berwarna, dan bagian cerita dari dokumentasi belakang panggung yang hitam putih. Dengan garis utama yang dibiarkan blur.

Film ini adalah Barbenheimer yang sebenarnya, karena di sini ada Margot Robbie dan ledakan bom atom

 

Boleh gak sih film dibikin seperti itu? Ya boleh-boleh saja, asal bangunan penceritaan dengan konsep uniknya tersebut bekerja dalam sebuah konteks, dan tentu dengan tidak meninggalkan development karakter. Asteroid City, buatku, terasa even better daripada The French Dispatch karena punya development karakter yang lebih kuat. Memang, karakter di dua film ini typical karakter Wes Anderson banget, dalam artian mereka sama seperti lingkungannya yang berwarna kontras dan simetris; tampak artifisial.  Tapi di balik quirk yang aneh dan kekakuan mereka, kita masih bisa merasakan genuine, relatable feelings. Dan di film ini, feelings tersebut lebih terasa, dan ditulis dengan lebih mencuat. Kita bisa meraba karakter development itu dari menarik garis paralel antara perspektif utama. Menarik persamaan dari karakter Augie, dan aktor yang ceritanya memerankan Augie (keduanya diperankan oleh G-Man Jason Schwartzman). Mereka berdua sama-sama mencoba memasukakalkan perasaan yang mendera. Perasaan bingung, Augie bingung dengan perasaan dukanya yang seperti tak mendapat tempat di dunia yang begitu random malah memberikannya alien dan cinta. Aktor yang meranin Augie bingung kenapa tiba-tiba ada alien di dalam cerita yang ia mainkan. Sehingga keduanya berusaha mencari jawaban atas bingung tersebut. Augie, mencoba dengan memotret alien dan Midge, aktris yang ia jumpai di sana. Sementara si aktor berusaha nanya ke penulis dan sutradara.

Tapi alien, si aktris, penulis, dan sutradara itu bisa apa. Toh Wes Anderson tidak memberikan jawaban terhadap itu. Augie dan para karakter lain – fiksi ataupun karakter aktor – dibiarkan ‘menjelajah’ kejadian aneh tersebut. Hidup mereka dibiarkan random.  Dan itulah poin film ini. Wes bukannya tidak mau ngasih jawaban, melainkan supaya para karakternya, supaya kita juga, melepaskan diri dari menuntut penjelasan. Satu-satunya yang mendapat balasan di sini adalah perasaan Augie terhadap si aktris, yang menandakan kepada kita bahwa dalam cerita ini Wes Anderson mementingkan perasaan, emosi yang dialami oleh para karakternya yang kaku, dibandingkan dengan rasionalisme. Maka logika, gak maen di sini. Logika enggak dimasukkan ke dalam perhitungan karya film ini (at least, sampai kita membedahnya ke dalam bentuk lain misalnya seperti tulisan review ini)

Terkadang hal dapat terjadi secara random tanpa penjelasan. Misalnya hal yang kebetulan, yang terjadi dalam kesempatan yang acak. Terkadang ada juga hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Hal-hal seperti perasaan. Cinta, penyesalan, duka. Kita cuma bisa menerima perasaan dan kejadian tersebut, dan move on melanjutkan hidup. 

 

Saat kita sudah mengerti akan itulah, film lantas seperti mendobrak sendiri ‘peraturan’ dalam dunia ceritanya. Yang tadinya kita sangka sebagai ‘kejadian beneran’ dan ‘cerita’ ternyata tidak demikian adanya. Karena membedakannya begitu berarti kita masih memakai logika. Memisahkan bagian cerita jadi dua kotak itu dengan melihat tanda-tanda seperti, warna hitam putih untuk menunjukkan dunia yang butuh penjelasan (dunia nyata) dengan warna cerah untuk dunia reka (dunia sandiwara di kota Asteroid), ternyata hanya perangkap bingkai yang dimiliki oleh film ini. Wes ingin meleburkan keduanya, maka dia membuat ada satu karakter – host dari bagian dokumentasi – yang masuk ke dunia warna. Lalu ada beberapa aktor di dunia hitam putih yang tiba-tiba berwarna. Batasan nyata dan reka menjadi tidak ada, semua jadi tampak sama-sama artifisial, semua jadi abstrak seperti karya seni itu sendiri. Dan satu hal tentang seni, itu adalah seni merupakan cara pembuatnya berkomunikasi. Sampailah kita kepada lapisan berikutnya pada Asteroid City sebagai sebuah sinema. Sebuah karya seni, dengan Wes Anderson sebagai penciptanya. Dan sama seperti foto alien yang dipotret Augie, film sebagai seni hanya memotret. Potret itu sendiri nantinya disebar dan diterjemahkan dan disimpulkan dengan bebas oleh orang-orang yang melihat. Apakah alien di foto ini hoax? Atau apakah berarti umat manusia dalam bahaya?

Hampir seperti kartun, pake ada Road Runner segala

 

Seniman membuat karya. Dia tidak perlu memasukakalkan karyanya. Wes Anderson tidak perlu untuk melogiskan Asteroid City. Tadi dia dengan gampangnya meminta kita untuk tidak menonton ini dengan menuntut penjelasan. Melainkan untuk merasakannya secara subjektif saja. Namun bagaimana proses dia membuat ini? Asteroid City dalam level terdalam sebenarnya adalah gambaran proses kreatif seorang seniman seperti Wes Anderson dalam membuat karya. Konflik antara membuat yang bisa diterima akal dengan mempertahankan cita rasa seni itu sendiri. Percakapan aktor Augie menuntut penjelasan dengan sutradara yang menepis soal logisnya jalan cerita, curhat si aktor terhadap perannya, berakar dari si kreator itu sendiri yang bergulat menciptakan sesuatu yang bisa diterima, bisa dirasakan, alih-alih semata logis untuk dipikirkan. Dari film ini kita bisa menyimpulkan bahwa Wes Anderson pada akhirnya percaya bahwa seni tidak akan bisa tercipta jika manusia sebagai pembuat hanya berkutat pada hal-hal yang masuk akal. Karakter di dalam film ini kaku karena mereka strive untuk hal logis. Untuk kemudian diperlihatkan tokoh-tokoh di Asteroid City butuh alien yang gak masuk akal, butuh hal sensasional supaya hidup mereka yang kaku bisa cair. Anak-anak yang belajar planet-planet itu, jika tidak kedatangan alien, mungkin tidak akan pernah bicara tentang filsafah hidup dengan si koboy, Putra Augie dan teman-temannya yang science freak tidak akan sempat ngerem dan naksir-naksiran jika alien tidak datang ke sana. Augie dan ayahnya akhirnya bisa berdamai dengan duka saat membiarkan putri-putri cilik itu melakukan ritual penguburan ala penyihir. Karena saat mereka mengembrace ketidakmasukalan sikap anak-anak itulah, pintu bagi Augie untuk menyentuh emosi mereka terbuka. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan mengandalkan akal pikiran. Karena justru akal pikiran yang mengandalkan imajinasi.

“You can’t wake up if you don’t fall asleep” adalah yel-yel yang kita dengar diteriakkan oleh para aktor saat pembuatan teater Asteroid City. Kata-kata yang ternyata ‘masuk akal’ sekali ke dalam konteks film tadi. Kata-kata yang terjemahan literalnya adalah semacam menyebut untuk bisa terbangun, kita harus tidur dulu itu seperti menyiratkan pesan bahwa ya kita harus berkhayal dulu baru bisa disebut tersadar. Inilah kunci seni menurut Anderson. Untuk bisa menyentuh kesadaran emosional, serta kemelekan akal pikiran, maka kita harus berani untuk berimajinasi terlebih dahulu. Seliar-liarnya.

 

 




Tak ada yang dijelaskan oleh film ini. Tidak ada jawaban tentang apa maksud aliennya. Karena film sebagai seni tidak perlu menjelaskan dirinya sendiri. Tugas itu ada pada kritikus. Sebuah film tetap perlu disampaikan maksudnya karena film bagaimanapun juga adalah komunikasi antara si pembuat dengan penonton. Komunikasi itu terjaga bukan dari pembuatnya menggunakan bahasa yang masuk akal atau gampang dicerna.  Justru menurut film ini bahasa yang paling efektif itu adalah perasaan, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Komunikasi itu terjadi, terjaga, saat ada penyampaian bahasa dan perasaan tersebut. Ada yang menerima, setidakmasukakal apapun bahasanya. Film ini aneh, karakternya kaku, kejadiannya gak masuk akal, komedi dan karakternya yang diperankan oleh banyak bintang gede itu amat nyentrik. It’s rather unsual and hard to watch, yes. Film ini adalah alien bagi kita, seperti alien bagi karakter di Asteroid City. Sesuatu yang mungkin penting untuk melanjutkan hidup yang seringkali sudah jadi tak berasa.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ASTEROID CITY

 

 




That’s all we have for now.

Jika film adalah seni yang tak harus menjelaskan, bagaimana dengan tulisan kritik atau ulasan? Menurut kalian kritik itu tulisan apa sih, berita, opini, karya ilmiah, atau bisakah dia disebut sebagai karya seni juga?

Share pendapat kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari gurun ke Apple TV+ , karena ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

Leave a Reply