47 METERS DOWN Review

“For whatever we lose, it’s always ourselves we find under the sea”

 

 

“Kayak di kebun binatang, cuma bedanya kalian yang dikurung di kandang.”
Kata-kata dari pemandu tersebut sedikit berhasil menetramkan cemas di hati Lisa, memantapkannya untuk masuk ke dalam kandang yang bakal direndem di laut lepas perairan Mexico. Aman, kok. Lisa dan Kate, adiknya, memang lagi liburan. Mereka ingin bersenang-senang, foto-fotoin Hiu Putih dalam habitat aslinya. Pengalaman sekali seumur hidup buat Lisa itu menjelma jadi benar-benar harafiah, sebab derek yang menahan kandang karatan satu-satunya pelindung mereka dari gigi hiu tiba-tiba patah. Mengirim Lisa dan Kate empat-puluh-tujuh meter ke dasar lautan, terjebak di sana. Seolah terpaket rapi di dalam kandang kotak persis hadiah yang menunggu dibuka oleh hiu-hiu yang kelaparan.

“under the sea~ where the sharks singing, waiting your body, under the sea~”

 

Konsep cerita yang keren. Terkurung di bawah laut. Tuntutan oksigen yang membuat keadaan para tokoh jadi punya urgensi yang tinggi. Dan hiu-hiu. Wow. Aku selalu tertarik sama film yang ada hiu-hiunya. Tapi hiu yang di bawah laut loh, ya. Bukan hiu yang menclok di angin tornado ataupun hiu yang terbang di angkasa. Aku terperangah aja ngeliat warna merah pekat dikontrasin sama biru jernih lautan. Film 47 Meters Down juga punya visual yang JERNIH NAN EERIE seperti begitu. Jika tahun lalu kita sudah berenang di perairan dangkal bersama hiu lewat film The Shallows (2016), maka kali ini kita akan menyelami kengerian lebih jauh lagi. Pemandangan dan suasana dasar laut yang mencekam akan jadi suguhan yang film ini harapkan bisa mengisi mimpi buruk kita sehabis menonton. Visually, film ini berhasil mencapai level kengerian itu.

Bawah laut adalah tempat yang membuat manusia paling merasa manusiawi. Kita akan merasa takut, merasa kecil, merasa cemas tak-berdaya oleh kegelapan tak berujung. Dan tentu saja ada harapan, sebagaimana karakter film ini kehilangan sesuatu dan balik menemukan dirinya di dalam sana.

 

Untuk mencari jawaban dari pertanyaan “Kenapa sih setelah Jaws (1975), kita enggak lagi menemukan film tentang hiu yang benar-benar keren sehingga bisa bikin kita ketagihan dan penasaran dan pengen punya hiu serta sekaligus jadi ngeri berenang di laut?” sebenarnya enggak susah-susah amat. Kita enggak perlu jauh-jauh menyelam ke lantai samudera. Kita cuma perlu menyelami sekian banyak sekuel dan film-film rip off gagal, dan menanyakan kepada diri sendiri; apa yang membuat kita terus bertahan ngikutin cerita meski ketakutan semakin merayap dengan perlahan. Itu semua bukan karena pertengahan terakhir di mana hiu anatagonis Jaws keluar menyerang terang-terangan. Dalam 47 Meters Down, kita melihat Lisa dan Kate kegirangan ketika melihat hiu mendekat datang setelah ember umpan dilempar ke air. Itu adalah mentality orang yang lagi liburan; mereka pengen lihat hiu. Namun saat kita menonton film; mentalitynya adalah kita pengen ngeliat karakter. Kita nonton Jaws bekali-kali, it’s not exactly because we want to see the shark, kita nonton demi melihat karakter manusianya struggle, overcoming their fears, dan mengarungi journey bersama mereka. Mengalahkan musuh yang disimbolkan sebagai hiu.

Sayangnya, sebagian besar dari pembuat film mengenyampingkan faktor karakter. Mereka memperlakukan film hiu layaknya wahana. Kita yang menontonnya udah persis kayak lagi shark diving, nontonin aksi hiu dari balik kandang. Namun lebih parah, lantaran tak jarang, nonton film hiu berarti kita harus ngikutin perjalanan karakter yang ‘bego’, yang annoying, yang mengerikan – dalam makna yang buruk, yang ditulis dengan sangat sederhana. Seperti karakter-karakter yang kita temukan dalam 47 Meters Down. Lupakan tokoh minor/sampingan, mereka cuma ada di sana karena tokoh kita benar-benar butuh orang sebagai pemandu. Tokoh sentral kita, dua kakak beradik Lisa dan Kate, dituliskan punya sifat yang berseberangan. Kate ini anaknya berjiwa petualang banget, dia udah pernah scuba diving dan pergi ke mana-mana sebelumnya. Sebaliknya, Lisa sang kakak, lebih ‘pasif’, dia belum pernah ngelakuin hal-hal ‘fun’ sebelumnya. Sebenarnya formula bikin karakter yang udah benar, hanya saja film ini mengolah mereka dengan cara yang sangat over dan mereka dibikin, yah; ‘bego’

One thing about karakter adalah mereka harus diberikan motivasi yang kuat supaya kita peduli. Saat mereka sudah terjebak di bawah laut, jelas, motivasinya adalah pengen hidup. Yang jadi masalah adalah motivasi kenapa Lisa mau ngelakuin scuba diving bersama hiu pada awalnya. Cewek ini baru aja diputusin ama cowoknya karena Lisa ini terlalu bosenin dalam ngejalanin hubungan. Jadi, Lisa ingin melakukan sesuatu yang exciting, terus difoto buat dikasih liat sama cowoknya, like, “Nih liat, keren kan liburan gue! Jeles kan, lo!? Jeles, kan!!!” Motivasi yang sangat menggerakkan hati sekali, bukan? Bikin kita semua peduli banget kan? Iya, kan!!!

Anyway, ada sih satu momen tokoh yang aku suka. Yakni ketika Kate yang tetap terlihat tenang setelah kandang mereka karam, kemudian barulah dia mengeluh takut saat menghubungi kapal, dan itu dilakukannya saat sudah jauh di luar jangkauan pendengaran transmisi baju selam Lisa. Tokoh Kate yang diperankan hampir fierce oleh Claire Holt memang diniatkan untuk lebih likeable, tapi buatku treatment kecil seperti demikian adalah sentuhan bagus yang sangat dibutuhkan oleh film ini.

Kakaknya boring banget sampesampe aku yakin adeknya sengaja nyabotase kandang biar copot dari kapal

 

 

Kedua tokoh ini punya kebiasaan ngejatuhin benda-benda yang mereka pegang, terutama benda yang penting. Dan itu ngeselin banget. Kualitas penulisan mereka pun klop banget ama penampilan aktingnya; berasa FTV. Eh, ada gak sih di barat sono istilah FTV? Yang jelas, Mandy Moore memainkan Lisa dengan over-the-top sekali. Bahkan, jika kita menonton percakapan kedua kakak-adik di film ini tanpa ngeliat gambar, suaranya doang, maka kita bisa salah menyangka lagi mendengar potongan dialog dari film Barbie.

“Lisaa, aku sudah berhasil menghubungi kapal!”
“Benarkah!? Waaah”
Lokasi adegan: dasar laut gelap dengan keberadaan hiu yang mengancam.

Enggak ada sedikitpun kesubtilan dari bantering mereka. Perasaan thrillernya enggak kebawa di dalam dialog film yang sebagian besar ditulis seperti demikian. Ada satu lagi; setelah adegan Lisa selamat dari kejaran hiu dengan bersembunyi di dalam gua, dan kalimat pertama yang terucap dari mulutnya adalah “The shark almost got me..” Well, I was like, no shit lady! Dan aku bersumpah aku seakan bisa mendengar ekspresi “huhuuu” keluar darinya di akhir kalimat tersebut.

 

Film ini menganggap dirinya lebih seram daripada yang sebenarnya. Padahalnya sebenarnya yang dimaksud horor oleh film ini adalah suara musik yang keras. Hiunya sendiri tampak mengerikan, meyakinkanlah sebagai makhluk hidup. Hanya saja, hiu-hiu tersebut tidak melakukan banyak selain sekali-kali muncul tiba-tiba entah dari mana ngagetin kita semua. Sejujurnya aku malah lebih percaya Lisa dan Kate akan mati kehabisan oksigen ketimbang mati dimakan hiu, sebab hiu dalam film ini were so bad at biting preys. Serangan mereka seringkali luput, dan yang kena pun pada akhirnya enggak berarti apa-apa. Tentu saja, semua itu berkat kehadiran endingnya, yang entah kenapa film ini merasa perlu untuk ngetwist. Sedari awal aku sudah susah peduli sama tokoh utamanya, dan setelah twist ini muncul, aku gak bisa untuk lebih gak peduli lagi.

 

 

 

 

Aaah, that sinking feeling yang kurasakan saat antusias perlahan terus menurun setelah sepuluh-menit pertama set up yang biasa – malahan ala FTV – banget…. Ini adalah jenis film yang punya konsep bagus namun dalam eksekusinya sukar untuk dikembangkan. Tokoh-tokoh film ini enggak bisa punya banyak ‘kegiatan’ setelah mereka karam di bawah laut dan tersebutlah hiu-hiu putih di sana. Narasi butuh banget karakter yang kuat, namun film ini memandang hal tersebut sebelah mata. Dibuatnya penokohan dan dialog yang over-the-top, dengan penampilan akting yang juga gak terlalu bagus dan meyakinkan. Hasilnya adalah film thriller yang tidak mencekam, film horor yang tidak seram, dan film hiu yang tidak punya ‘daging’ di dalamnya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 47 METERS DOWN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

  1. arya says:

    memang gak pernah dan gak punya sih haha, tapi kan itu irrelevant; bukan masalah kita belum pernah scuba atau belum pernah ke luar angkasa biar bisa relate dan peduli sama karakter film. Karena kan, dalam setiap film yang penting dan bisa direlasikan adalah inner journeynya, dan film ini gagal ngasih motivasi yang kuat ke karakternya

Leave a Reply