“Sometimes, nothing is better than something”
Ungkapan “Uang adalah sumber segala kejahatan (alias sumber masalah)” itu sebenarnya kepotong. Makanya terasa kurang tepat. Bukan uangnya yang bikin seseorang berubah menjadi ‘jahat’ – yang membuat orang sampai rela meninggalkan keluarga maupun sahabatnya sendiri. Melainkan adalah kecintaan terhadap uang itu sendiri. Semakin banyak kita punya, kita akan makin merasa tidak cukup. Kita cinta dengan gagasan mempunyai banyak uang maka hidup akan semakin mudah, dan ini menghilangkan batasan dalam diri kita. Orang yang cinta pada uang, ia juga akan senang membelanjakannya, lantaran ia suka terhadap apa yang bisa ia lakukan dengan uang sebanyak itu.
Itu sebabnya kenapa tokoh Lukman Sardi memilih untuk membesarkan keluarganya dalam kondisi prihatin. Ia merahasiakan kekayaan yang dimiliki kepada istri dan tiga anaknya. Mereka sekeluarga hidup pas-pasan selama bertahun-tahun sebab Bapak ingin menumbuhkan rasa cinta di dalam dada anggota keluarganya terhadap masing-masing, terhadap karib kerabat mereka, bukannya kepada uang. Pelajaran amat berharga sebenarnya yang coba beliau ajarkan. Namun, kematian yang begitu mendadak sampe-sampe film tak sempat menjelaskan kenapa; malah menggoda sekiranya Bapak belum benar-benar tiada, memotong pelajaran tersebut. Membawa Tika, Duta, Dodi, dan Ibu langsung ke ‘praktek lapangan’; Bapak meninggalkan warisan berupa duit bermilyaran, seketika mereka semua berubah hidupnya menjadi milyarder kaya raya!
Ternyata memang lebih enak hidup yang terus berangan punya duit banyak ketimbang hidup yang selalu terjaga lantaran takut harta yang dimiliki hilang.
Performa para penampil dalam film ini seragam menggelitiknya. Raline Shah yang menjadi Tika, si sudut pandang utama, didampuk untuk melakukan banyak permainan akting di luar penampilan-penampilan yang biasa ia lakukan. Ia harus belajar bagaimana menjadi seorang miskin – ini sendiri adalah fakta yang sangat lucu bagi kita semua. Sebagai Tika, Raline harus menggapai nada-nada emosi yang punya rentang cukup luas. Dia yang pertama kali menemukan Bapak meninggal – Tika punya momen-momen unik dengan ayahnya, dia yang punya keinginan untuk menjadi orang kaya, dia juga diberikan kesempatan untuk menjalin hubungan asmara. Meskipun di awal-awal kurang meyakinkan – kurang dapat dipercaya – tampil sebagai orang susah, tetapi dengan gemilang Raline, juga para aktor lain memainkan tokoh-tokoh yang berbuat norak dengan harta bendanya. Derby Romero sebagai seniman dalam keluarga, dia diberikan bentrokan soal seni, idealisme, dan duit yang menarik sayangnya tidak diberikan porsi yang banyak. Justru Ibu yang diperankan oleh Cut Mini yang mendaratkan nada tawa tertinggi lewat her take on ibu-ibu sosialita – yang melakukan sesuatu kini atas nama citra. In some sense, para aktor ini bisa jadi memainkan parodi dari diri mereka sendiri, dan memang tak ada hal yang lebih lucu dan mengena ketika seseorang bisa menertawakan dirinya sendiri. Last but not least, pemeran anak Fatih Unru mencuri perhatian; ia mampu mengenai nada-nada emosi berentang luas dengan lebih baik dari rekan-rekan aktor yang lebih berpengalaman. Tokoh Dodi di tangannya terasa enggak over-the-top, dan bisa jadi karena tokoh ini disebutkan ditulis berdasarkan pengalaman masa kecil sang penulis skenario, Joko Anwar, yang suka berandai-andai jadi orang kaya
Kelucuan film ini menguar deras dari tingkah polah keluarga tersebut dalam mengarungi hari-harinya sebagai pemilik uang berlimpah. Film bersenda gurau dengan tingkah-tingkah norak para tokoh. Saksikan transisi si Ibu dari yang tadinya melotot melihat harga teh di restoran mewah menjadi seorang pembelanja yang dengan jumawa membeli semua perabot yang sempat disentuh dan difoto oleh anak-anaknya. Juga sebuah sentuhan bagus membentrokan keadaan tiga kakak beradik yang tadinya menyusup ke acara nikahan buat numpang makan dengan keadaan mereka punya segalanya, bahkan mobil satu seorang meskipun tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menyetir. Kita tertawa oleh komedi mengenaskan saat mereka menghabiskan uang yang mereka punya lebih cepat daripada akun lucu-lucuan berlari mengejar jumlah follower.
Film ini memang sangat terasa seperti kebalikan dari Keluarga Cemara (2019) yang tayang beberapa minggu sebelumnya. Bukan saja dari premis orang miskin yang ternyata menjadi kaya alih-alih keluarga Ara yang kaya kemudian jatuh miskin. Melainkan juga dari bagaimana cerita ini berpusat. Jika cerita Keluarga Cemara menegaskan bahwa mereka sebenarnya bukan soal harga uang; film tersebut menyetir ceritanya keluar dari kait-kait trope kemiskinan yang tertindas, maka Orang Kaya Baru benar-benar meletakkan materialistis sebagai poin vokal untuk menyampaikan pesannya. Emosi kita bakal dipancing demi melihat anak yang sol sepatunya copot dikerjai oleh teman sekelasnya. Kita menyaksikan Tika dituduh mencuri telepon genggam teman di kampus. Uang dan materi benar-benar on-point dalam film ini. Karena ia ingin membangun karakter-karakter sehingga menjadi masuk akal begitu mereka memuja kekayaan nantinya.
Dan itulah sebabnya kenapa elemen drama dari film ini tidak semuanya terasa mengena. Kita menyaksikan tokoh-tokoh yang menyalami ‘demon‘ mereka dan berakrab-akrab dengannya. Tentu, sebuah hal yang lucu – dan mungkin melegakan -melihat orang miskin yang biasanya dibully jadi punya kesempatan untuk melampiaskan hati mereka. Menyenangkan menyaksikan mereka akhirnya mencicipi indahnya dunia. Tapi antisipasi serta merta tumbuh dalam diri kita; kita paham tokoh-tokoh itu menyongsong kebangkrutan, jadi ketika mereka melakukan suatu ‘pemborosan’ kita tidak lagi benar-benar ikut sedih bersama mereka. Kita ditinggalkan untuk berharap mereka melakukan hal yang benar, dan mungkin untuk kedua kalinya keajaiban datang menyelesaikan masalah keuangan yang kali ini disebabkan oleh mereka sendiri.
Namun film malah terus menge-loop masalah tersebut, hingga film berakhir. Tidak ada penutup yang definitif hingga kita tak yakin harus terus tertawa atau bengong saja. Jika dalam menggarap horor atau thriller, Joko Anwar masih bisa menutupi kekurangan penulisannya dengan twist; terutama twist semacam ‘ternyata cuma mimpi/imajinasi’ yang membuat ceritanya jadi tampak cerdas, maka ranah drama komedi seperti Orang Kaya Baru ini sesungguhnya lebih susah untuk ia bermanuver. Film seperti berjuang untuk menutup cerita dengan menarik, dan pada akhirnya pilihan yang diambil malah tidak definit sebagai pembelajaran terhadap karakternya, or even if they have learned anything at all. Tika yang hidup pas-pasan dan diremehin sehingga berpikir lebih gampang hidup sebagai orang kaya. Kemudian dia jadi kaya, hidup mewah seolah sudah punya semua jawaban hidup. Namun pertanyaan hidupnya berubah; kenapa sekarang masalah itu timbul dari orang-orang di dekatnya. Kemudian dia miskin lagi, dia dekat kembali dengan sahabat dan keluarga. Uang mengontrol kehidupan dan sikap Tika, kita tidak pernah benar-benar diperlihatkan ada perubahan dari dirinya yang didorong oleh ‘kekuatan dari dalam’.
Paling efektif bekerja sebagai komedi yang memotret – dan dalam nada tertingginya, mengkritik – pandangan dan kehidupan sosial antara si kaya dengan si miskin. Tone antara drama dan komedi itu pun acapkali berbaur dengan mulus, berkat penampilan yang tak-biasa, yang luar biasa menghibur, dari para pemainnya. Terutama Fatih Unru dan Cut Mini. Hanya saja porsi dramanya terasa tidak terasa benar-benar menyentuh, dalam artian sungguh bikin kita sedih. Karena kita sudah mengantisipasi apa yang terjadi. Juga lantaran tidak benar-benar ada stake ataupun konsekuensi dari ‘kegagalan’ yang dihadapi oleh para tokoh. Lebih lanjut, ini disebabkan oleh penulisan naskah yang sengaja dipilih untuk tidak konklusif. Menonton ini seperti kita sedang bermimpi indah, kemudian jadi buruk, kemudian indah lagi, yang tak selesai-selesai.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for ORANG KAYA BARU.
That’s all we have for now.
Dulu kalo sedang rebutan mainan dengan adik, Ibuku sering bilang “lebih baik enggak ada daripada ada!” Bagaimana menurut kalian; apakah lebih baik miskin daripada kaya raya? Mengapa kebutuhan rasanya semakin meningkat begitu kita punya rezeki berlebih?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.
Pertanyaan terakhirmu kok susah dijawabnya yaa?
aku sih belum bisa jawab karena belum pernah ngerasain punya rezeki berlebih… eh… apa setiap ngerasa kurang itu justru artinya kita sedang dapat rezeki lebih cuma gak nyadar aja???
Karena semakin kaya, semakin lapar mata melihat kenikmatan dunia.
Filmnya menghibur , kocok perut, bikin ngakak, tapi dramanya gak terlalu blend well sama komedinya. Endingnya gak selesai dengan rapi dan terlampau singkat. Masalah yang dihadapi para tokoh menjelang ending kayak nguap gitu aja. Apakah Duta akhirnya bisa lunasin termin pembayaran, Tika sama temannya didiskualifikasikah dari lomba gak ada kelanjutannya, Dodi pindah sekolah atau gimana. Terus video di akhir itu maksudnya gimana ya? Gantung banget penjelasannya sehingga cerita gak nutup. Overall, masih menghibur dengan akting para cast terutama Cut Mini. Drastis banget dari orang miskin jadi OKB.
Kalo buatku akhirnya itu mereka masih banyak duit, tapi tetep aja gak jadi ‘insaf’ – masih foya-foya ; kelihatan dari ibu yang langsung pamer kalung lagi. Duta dikasih hint kalo dia jual idealismenya sih, si anggota dewan muncul berkampanye – dia nerima duit untuk lunasin termin dari si bapak dewan. Tapi memang selebihnya gak nampak terselesaikan, ‘gitu aja’ gitu haha
mentang-mentang mampu, semuanya mau ya ahaha
Iya ya, waktu nonton ada adegan subtil saat pementasan teater yang mendadak lancar. Duta menjual idealismenya tapi menurutku kurang halus penyampaiannya. Yang bikin kocak, si anggota dewan udah bukan ngomong sepatah dua patah kata, tapi malah pidato dan ricuh. Keluarga mereka masih ada uang, tapi tujuan si lawyer datang terakhir kali buat apa juga gak jelas. Akhir kata, film ini ceritanya gak nutup dengan baik. Signature Joko Anwar kali ya?
Perbedaan twist ala joko anwar dengan ala shyamalan; twist shyamalan membuat kita melihat keseluruhan film dengan cara yang berbeda, twist jokan biasanya membuat bagian tengah cerita – apa yang sudah kita lalui jadi kurang penting, atau malah teranulir sama sekali. Kayak di OKB ini, di Duta itu misalnya; dia udah jual idealisme, film udah membuatnya seolah sedih, namun pas di akhir dengan kocaknya ditutup dengan Duta dan keluarga jadi kaya lagi dan mereka akan melalui lagi proses yang sama – membuat nilai drama di tengah jadi hilang
Jokan keknya berusaha nulis ending yg open, biar setelah filmnya kelar penonton bisa diskusi. Tapi emang selama ini selalu kurang mulus.
open endingnya selalu kayak dia sendiri bingung ngakhirinnya gimana hahaha
dia itu kek ambisinya tinggi, secara konsep ak paham apa yg mau jokan raih tapi sayangnya keseringan ga sampe.
ide-idenya sih unik, sekaligus merakyat – relatable, cuman memang pilihan endingnya itu yang bikin rasanya gak nyampe ahahaha
Berarti endingnya itu mereka kaya lagi ya mas? Ga ngerti sih cepat banget dari kaya jadi miskin terus dapat video lagi hahaha.
Iya menurutku begitu, jadi miskin lagi terus dapat video yang mengisyaratkan duit bapak masih ada – om om yang ngaku adik bapak itu becandaan si bapak hhaha
Wah udah tobat belum tuh foya2nya? Hahaha
ini yang dibikin open.. tapi sugestinya sih belum hhihi
aku malah escape room yang belum haha.. nunggui streamingan aja deh kayaknya xD
oke mas hehehe ….
akhirnya hari ini nonton setelah dpt kesempatan ke kota haha, dan endingnya itu bikin kerut dahi, khas joko anwar banget 🙂
saking khasnya sampe mengeclipse sutradara sendiri ya haha, orang ngobrolin OKB pasti ngomonging Joko Anwarnya
semacam garansi mas kalo filmnya JA pasti bagus haha
idenya tuh “dapet ajaa” ya haha
betul….