“Love is like God: both give themselves only to their bravest knights”
“Aaaaaaaaave Mariiiiiii~~aaa…aamm”
Loh kok Maryam, kan lirik lagunya Maria?
Maria dan Maryam, toh, sebenarnya adalah sosok orang yang sama. Cuma yang satu penyebutan di kitab Kristen, satunya lagi penyebutan umat muslim. Maka naturally aku tertarik nonton film ini; judulnya udah kayak sebuah collab banget. Tapi ternyata garapan Robby Ertanto ini enggak benar-benar memfokuskan kepada toleransi antarumat beragama seperti yang disugestikan oleh judulnya. Namun begitu, Ave Maryam dapat juga kita jadikan sebagai jendela mengintip toleransi kemanusiaan yang lain. Toleransi dalam cinta.
Tokoh utama cerita, Maryam (Maudy Kusnaedi – mungkin – dalam peran paling berani yang pernah diterimanya) adalah seorang biarawati yang bertugas mengurusi suster-suster sepuh di biara mereka di Semarang. Dengan nama berbau Islam, dan mengucapkan alhamdulillah, tokoh ini sekilas tampak dalam krisis kepercayaan. Namun sebenarnya poin film ini ialah untuk menunjukkan tidak ada perbedaan antara Katolik ataupun Islam secara manusia. Sehingga pesan yang ingin disampaikan tak-terbatas pada agama yang jadi latar ceritanya. Apa yang terjadi kepada Maryam, bisa saja terjadi kepada setiap maria, atau siapapun di luar sana. Tantangan beragama terhadap pemeluknya yang taat itu sama pada agama manapun. Pada satu poin dalam hidup, setiap kita mungkin akan mengalami ujian siapa yang lebih kita cintai; Tuhan atau sesama manusia. Seperti Maryam yang kemudian jatuh cinta. Enggak tanggung-tanggung, dia jatuh cinta kepada Romo Yosef (kalo pemuka agamanya sekeren Chicco Jerikho, Valak juga bakal jinak kali’). Kedua insan ini harus merenungkan kembali apa yang sebenarnya mereka cintai.
Untuk dapat melihat lebih jelas maksud dari gagasan yang berusaha diangkat oleh film yang lumayan berat ini, kita perlu mundur jauh dulu demi mendengar kata Sigmund Freud tentang hubungan atau kecintaan manusia terhadap tuhan.
Freud mengemukakan teori bahwa tuhan hanya ada dalam pikiran para pengikutnya. Tercipta dari kebutuhan akan sosok ‘ayah’ yang melindungi. Hidup ini keras. Orang dewasa tentu gak bisa lagi bergantung kepada orangtua untuk keselamatan, jadi kita – kata Freud – mencari sosok ‘orangtua’ lain yang bisa memberikan perlindungan, ketentraman, menghadirkan keamanan, membimbing ke jalan yang benar. Bagi Freud, tuhan merupakan gambaran manusia akan sosok paling sempurna, paling ideal, dari seorang ayah yang harus diikuti dengan taat. Cewek-cewek akan rela menjadi biarawati, meninggalkan keinginan duniawi supaya selangkah lebih dekat dengan tuhan. Cowok-cowok memilih jadi pastur, meninggalkan privilege hidup bebas demi sabda-sabda dari sosok yang bahkan tidak bisa dilihat.
Hal tersebut adalah akar dari konflik cinta-terlarang yang menjadi fokus utama film Ave Maryam. Seorang biarawati tidak boleh jatuh cinta, apalagi kepada seorang romo. While Maryam sendiri pada awalnya berusaha mengelak; dia menghindar ketika diajak jalan oleh Yosef, dia ingin merahasiakan – memendam saja rasa tersebut – literally hanya melihat Yosef dari balik terali jendela, Yosef bertindak sedikit lebih frontal dalam mengekspresikan cintanya. Dia menitipkan surat untuk Maryam kepada suster lain. Yosef tidak mengerti – atau malah ia menentang ketentuan seorang romo dan biarawati tidak boleh jatuh cinta; di salah satu adegan menjelang akhir kita melihat Yosef mempertanyakan alasan kewajiban mematuhi sesuatu yang tidak bisa dilihat. At that point, aku berpikir film sekiranya akan dapat bekerja lebih dramatis, lebih maksimal jika kursi tokoh utama diberikan kepada Yosef alih-alih Maryam. Karena bahkan adegan pengakuan di bilik penebusan dosa pada menjelang ending yang benar-benar emosional itu tampak lebih menohok kepada Yosef. Paralel dengan amarah yang ia lontarkan sebelumnya. Realisasi baginya, bahwa tidak harus melihat sesuatu untuk mencintai, mematuhi, dan yakin kepadanya. Sepanjang narasi kita akan belajar siapa Yosef, kenapa dia yang free-spirited memilih untuk menjadi romo. Sedangkan Maryam, kita tidak banyak diberikan pengetahuan siapa dia, dari mana asalnya, kenapa dia memilih untuk jadi biarawati. Kamera membawa kita melihat seperti apa Maryam seolah dari pinggir ruangan; kita tidak pernah merasa ikut bersama Maryam, oleh kamera yang menangkap latar cantik itu kita hanya diposisikan sebagai observer. Kita melihat di awal dia fokus terhadap tugasnya, dan saat dia jatuh cinta kita menyaksikan tugas-tugas tersebut mulai gagal ia kerjakan. Kita paham bagaimana cinta tersebut mulai mempengaruhi cintanya terhadap tuhannya. Sebagai landasan motivasi, kita diperlihatkan adegan mimpi Maryam dengan jendela di pantai yang sepertinya menunjukkan Maryam ingin kebebasan. Tapi film tidak menggali lebih dalam perihal alasannya merasa gak-bebas, kenapa dia sendiri melanggar komitmen atas nama cinta yang bahkan rasa cintanya terhadap Yosef pun tidak tergambar semeyakinkan Yosef tampak mencintai dirinya.
Cinta itu sama seperti Tuhan. Tak bisa dilihat, tapi terasa. Tak bisa dipegang, tapi ada. Kita cuma harus berani meyakini keberadaannya.
Perjalanan tokoh Maryam ini terasa abrupt. Mendadak. Tentu, adegan paling manis dan menarik yang dipunya oleh film ini terkait dengan penggambaran jatuh cinta kedua tokohnya adalah adegan di restoran di mana Maryam dan Yosef ‘ngobrol’ melalui tayangan yang diputar oleh restoran tersebut. Penggunaan dialog yang sangat pintar dan unik. Tapi selain itu, rasa cinta yang disebut-sebut Maryam itu tak pernah terasa benar-benar ada. Dia hanya diajak ke toko roti, dikirimi surat yang isinya ngajak ketemuan, I mean, darimana cintanya kepada Yosef tumbuh? Adegan pengenalan Yosef pun tidak tampak spesial. Dia tiba di gereja mereka begitu saja. Kamera tidak memperlihatkan seperti apa istimewanya Yosef di mata Maryam. Dari yang kutonton malah terasa seperti Maryam tersugesti oleh anak kecil pengantar susu yang pertama kali menyebut Yosef “tampan”. Dari Maryam ‘cuek’ ke dia cinta, buatku seperti sebuah loncatan narasi. Durasi film ini terlalu pendek untuk sebuah cerita hubungan dua manusia yang dilarang saling jatuh cinta. Dan setelah cinta, tau-tau Maryam menangis, lalu dia menyesal, what’s happening here? Ada momen penyadaran Maryam yang completely terskip. Ada adegan kunci yang tidak film ini masukkan. Aku duduk di bioskop dari awal hingga akhir, tapi tetap saja rasanya entah ada sekuen yang terlangkau, atau Maryam baru saja mengalami mood-swing paling drastis yang bisa terjadi pada wanita. Apa yang terjadi di pantai di malam ulangtahun Maryam?
Buat yang udah baca sinopsisnya sebelum menonton ke bioskop (untung aku bacanya sesudah menonton, sebelum nulis review ini), Ave Maryam at best adalah sebuah false advertising. Kita tidak melihat separuh yang diinfokan oleh sinopsis sepanjang hamparan durasi filmnya. Dan buatku sebuah kegagalan jika sinopsis malah bertindak sebagai komplementer ketimbang ringkasan singkat dari actual filmnya. Ave Maryam sepertinya tak-cukup berani. Maryam seperti mendambakan kebebasan tapi kita tidak melihat bentuk ‘kekangan’ selain larangan jatuh cinta itu. Film sepertinya khawatir akan membuat lingkungan gereja jatohnya antagonis, tapi mestinya mereka bisa mengambil pelajaran kepada Lady Bird (2017) yang berhasil membuat tokoh utamanya tampak terkekang walaupun asrama katolik yang penuh aturan tempatnya berada tidak sekalipun tampak ‘jahat’.
Aku bingung juga kenapa teman-teman banyak yang memuji dan memberi nilai tinggi kepada film ini. Hampir seperti aku dan mereka menonton film yang berbeda. You know, aku tidak bisa begitu saja meyakini film ini bagus hanya karena dia ikut festival, atau karena banyak yang muji, apalagi hanya karena ada Joko Anwar. Aku harus menonton sendiri, dan menilai berdasarkan apa yang aku lihat. Hanya apa yang aku lihat. Narasinya berjalan dengan lumayan mendadak. Pacingnya enggak lambat-lambat amat, cuma memang setiap shot kayak enggak benar-benar ada yang penting selain visual yang cantik. Kejadian-yang-berhubungan dengan tokohnya yang mendadak cepet. Menghindar, suka, tobat – diceritakan dengan abrupt, sebelum masing-masingnya sempat mekar sempurna. Seperti ada yang hilang – seperti ada yang tak kulihat. Hanya kepada tuhan kita bisa percaya tanpa harus benar-benar melihat sosoknya. Dan film ini, aku yakin sekali, bukan tuhan.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for AVE MARYAM.
That’s all we have for now.
Kenapa sih masalah percintaan terkait aturan agama harus selalu rumit? Bukankah jika cinta kepada Tuhan, naturally orang juga mencintai sesama manusia? Menurut kalian kenapa kita bisa begitu ngotot cinta sama satu orang?
Tell us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
Kupikir ketinggian film ini buat aku. Ternyata ada juga yang ga suka. Aku bertanya2 juga apa yang terjadi di pantai itu. Rasanya kok seperti… Ah ga berani juga omongnya hahaha.
aku juga aneh, kok pada ngasih nilai tinggi padahal jelas-jelas poin kuncinya kepotong
Karena adegan kuncinya dipotong ya hanya bisa duga2 ya mas.
“Sayangnya dinamika itu berakhir dini, tepat saat situasi makin menarik dan intensitas emosional mencapai titik tertinggi (berkulminasi pasca adegan yang saya yakin takkan muncul di versi bioskop komersil”
Itu saya kutip dari blog lain yg nonton di festival mas. Dugaanku di pantai itu udah lewat batas mereka jadi maryam menyesal dan mempertanyakan imannya.
iya, buatku aneh kalo ngasih tinggi dengan menduga-duga adegan kuncinya.. wah, berarti memang titik tertinggi filmnya yang gak kita lihat di bioskop ya, sayang sekali
Film ini dipotong 12 menit dari aslinya. Jadi kita gak tau awalnya Maryam itu sebenarnya dari Islam. Lalu kita juga kurang tau kenapa Romo Yosef itu memilih untuk jadi Romo karna ada beberapa adegan yang dipotonh
Pengen banget sih sebenarnya nonton film yang ‘aslinya’, versi yang mereka tayangkan ini just not working
Ahahahaa. Gapapa kok mas klo ga bisa menikmati film ini , jadi kasih 3 dari 10 dan ga usah bingung knapa banyak yg blg film ini bagus.
Bukan salah dirimu dan bukan salah orang yg bisa menikmati film ini juga. Film itu masalah selera pribadi, tidak bisa dipaksakan.
Tapi kalau ada adegan 12 menit yang disensor di bioskop kita tau dong mas?
masalahnya pada bilang bagus padahal sama-sama gak nonton adegan kunci yang kepotong itu hahaha, bisa nilai bagus darimana? jelas-jelas filmnya cacat kena potong 12 menit.. itu di review aku sengaja gak nyebut disensor karena mau nekanin hanya mereview dari yang terlihat, bukan dari meraba bagus karena ada yang disensor atau mereview dari reputasinya
. Adapun bila yg membuat rating film nya drop, bukan dr salah filmmakernya. Regulation and LSF yg punya key parts disni. Dan objectively aku ngrasa ga fair kalau kasih nilai hanya based on ketidaklengkapan adegan tsb. Come on, We are all mature. Kalo buatku sih cukup digambarkan seperti itu saja. arahnya Kemana and why she feels that guilty seharusnya kita pahami.
Bahkan film jelek pun enggak salah filmmakernya, intensional ataupun tidak. It’s okay jika ada film yang tidak pengen memuaskan semua orang, atau ada film yang malah sengaja jadi sereceh-recehnya. Film itu objek yang ‘memohon’ kepada kita untuk mengapresiasinya dengan sejujur kita melihatnya. Salah itu adalah ketika film jelek kita bilang bagus karena kita suka sama filmnya – padahal apa salahnya suka sama film jelek, tinggal bilang ‘filmnya jelek tapi aku suka’. Salah itu adalah ketika film bagus kita bilang jelek karena kita gak ngerti cerita atau maksudnya – padahal tinggal bilang filmnya bagus tapi aku gak suka’.
Buatku, ya aku gak bisa bilang bagus kalo perkembangan tokoh cerita film itu mendadak, kayak yang kulihat pada film ini. Bagian yang terpotong itu, entah satu atau 12 menit tak pernah jadi soal karena tidak ada di produk yang kita saksikan, maka janganlah dimasukkan ke pertimbangan penilaian. Jadi ya, dari yang kutonton, Ave Maryam ini secara objektif berada di level tiga – di level yang sama dengan film-film yang pengembangan karakternya masih mentah, yang masih terasa seperti draft sekuen-sekuennya. Yang gak aku lihat di sini adalah perkembangan, motivasi, alasan, di atas adegan yang literally dipotong. Jadi ya aku heran ketika banyak yang ngasih nilai tinggi padahal banyak yang tidak kita lihat di film ini. Dan itulah menurutku yang salah; ketika kita menilai yang tidak kita lihat.
Sutradarany sendiri udah konfirmasi durasi 73 menit. Yg ngomong di-cut 12 menit salah info dari web satu festival film yg emang ngepampangin info yg salah.
Yg di-cut 1 menit doang, yg pantai aja kok.
kalo cuma satu menit, berarti cepet sekali memang datangnya penyesalan si maryam itu ya?
Over all, aku suka banget sama film ini. Film yang sederhana tapi punya makna mendalam. Untuk keberanian sutradara, saya acungi sepuluh jempol kalau bisa. Akan sangat sensitif ketika mengangkat isu tentang percintaan dalam hidup membiara, karena pasti akan ad pihak pro dan kontra, hanya saja mereka memilih diam dan menghargai karya sutradara dan teamnya. Masalah yang diangkat memang menjadi permasalahan paling sering terjadi dalam hidup membiara, mengapa saya berani bilang paling sering, ya karena banyak cerita yang saya dengar persis dengan kejadian dalam film Ave Maryam ini. Tidak banyak dialog dalam filmnya, tapi mimik wajah, emosi, dan setiap perbuatan merujuk pada makna yang mendalam. Sekali muncul dialog, langsung mengejutkan hati saya. Setiap kalimatnya tertata rapi. Saya sangat menghargai karya film ini.
Untuk pemotongan adegan di pantai, kalian bisa tanya langsung ke sutradaranya. Saya sudah bertanya dan beliau jawab. Saya bukan tidak mau bantu menjawab, hanya saja itu bukan hak dan porsi saya. Bagi yang kurang suka dengan film ini ya tidak apa-apa, itu hak kalian. Semua orang punya pendapat dan pandangan yang berbeda. Hanya saja, adegan kecil yang menunjukan perbedaan dalam film ini menjadi efek besar bagi penontonnya :). Ya, adegan Dinda mengantar susu kepada Suster Maryam.
Finally, congratulation kak Robby Ertanto dan team yang sudah membuat film ini. Saya berharap ada Ave Maryam 2 ya. Tuhan memberkati 🙂
wah sepertinya mbak maria paham banyak soal kehidupan membiara, kalo di kehidupan nyata biasanya ‘kasus’ kayak Maryam dan Yosef ini mendapat perlakuan seperti bagaimana di lingkungan biara, mbak? apa ada hukuman, atau mungkin dikucilkan? Pernah ada yang ketahuan gak sih, kayak di film ini?
setuju nih gue juga bingung lihat beberapa kritikus ngasih ini film rating tinggi banget sampe ada yg kasih 9, imdb sekarang masih di angka 8++ (dengan 60an suara masuk) yg menurut gue ini di angka 6 lah at best. gue salah satu penyuka film slow pacing macem Paterson (2016) dan gue juga sangat menggemari film dengan latar sejenis kaya First Reformed (2018) dan Ida (2014) yang sungguh masterpiece pada tahunnya tapi ekspektasi tersebut ga gue dapatkan di sini. sama seperti mas arya di mana ku kira ave maryam adalah sebuah film yg berhubungan dengan dua agama dan nyatanya berpondasi pada cinta terlarang dan setuju juga kalo dasar film ini gak ditopang dengan baik oleh perjalanan lingkungan si maryam. yg katanya film yg sangat cantik, gue pribadi sih terpukau dalam beberapa shot tapi selebihnya agak biasa aja dan banyak shot2 yg kurang berarti. prilaku biarawatinya juga terkadang terasa aneh wkwk contoh pas ulangtahun udah dirayain pake kue terus udah tiup lilin langsung pada balik ke kamar aja gaada potong kue dulu wkwkw. yg bikin seneng cuma ibu Tutie Kirana yg mampu menyuport adegan-adegan kosong tadi jadi lebih dalem dengan penuturan kata-katanya (good job juga di film Mantan Manten). btw mau klarifikasi, baca di suatu lapak katanya durasi aslinya 73 menit kok bukan 85 menit, itu ada kekeliruan dari website JAFF, udah dikonfirmasi sama sutradaranya, tapi mungkin ada satu adegan yg gak lulus sensor yaitu ya yg di pantai itu dan harusnya itu bukan durasi yg panjang sih.
hahaha iya juga ya, abis tiup lilin udah aja, mungkin maryam pulang kemaleman banget jadi pada ngantuk xD
Paterson aku suka, slow tapi bangunan cerita ama emosinya kerasa terbentuknya. Kalo Maryam ini, adegannya slow tapi gerak ceritanya cepet, tau-tau jadian, tau-tau nyesel haha..
Ooo jadi paling sekitar 3 menitan yang kebuang ya, tapi tetep momen kunci itu kayaknya ya, apa yang terjadi di adegan gak lulus sensor itu yang menyebabkan dia nyesel, atau gimana nyesel itu datangnya, sayang banget kita gak bisa ngeliat ini
iya sih haha emg harusnya udah jam tidurnya kali ya.
nah iya biasanya film2 slowpaced yg bener2 ngena tuh pasti punya arti dari ke-subtle-an yg mereka punya. gak semua film dengan formula sejenis bisa berhasil tereksekusi macam paterson. nah di ave maryam masalah besarnya itu ada di naskah, kalo aja ditulis lebih merinci dan gak bolong-bolong pasti potensi besar ini bisa membuat film ini menjadi unggulan. sekarang tinggal menunggu film keluaran festival lainnya di bulan ini yaitu Kucumbu Tubuh Indahku dan 27 Steps of May semoga tidak mengecewakan hehe.
ya itu hanya Tuhan yg tahu sepertinya, kita yg bisa menyaksikan hasil sensoran di bioskop hanya bisa menerka-nerka lol.
aku agak heran juga, kenapa filmnya 90 menit aja gak nyamoe, ternyata memang kurang pengembangan naskahnya.
jadi makin gak sabar sih nunggu 2 film itu haha
Sempet ngira gw yg ga enak body, ga fokus, ato kumat pe’a-nya, saking ga nangkep apapun abis nonton ini di festival film tahun lalu.
lebih kaget lagi pas tayang reguler pujaan setinggi langit dr segala arah.
Makin yakin penilaian gw ngaco-bin-ngablu.
Puja kerang ajaib, abnormalnya gw seenggakny ada temennya *ampun bang*
Man, I agree wholeheartedly with you on this one!
First of all, kamu hebat sekali ya bisa nempel di dinding, di meja, dan di lantai.
Second, berarti kamu nonton versi fullnya ya, plis tell me apa yang terjadi di pantai, gimana momen penyesalan datang kepada Maryam? kenapa setelah senang-senang dikasih kue, dia malah sedih?
nah, aku juga penasaran apa yg disensor.. karena menyangkut isu agama Katholik kah? … menarik nih kalo di awal dibilang kalo Maryam mengucap alhamdulillah, berarti awalnya muslim yak
ya belum tentu juga sih kalo cuma ngucapin doang, paling yang bisa kita simpulin dari adegan dia ngomong itu adalah maryam orangnya terbuka dan tolerir – dia gak beda-bedain orang
Setau gue di sinopsis jelas ditulis Maryam adalah seorang eks muslim, makannya dia ngomong banyak pujaan islam, sebagai keluarga yang udah banyak kawin campur dan banyak orang convert banyak hal-hal yang gue pelajari kebawa sama karakter nya Maryam, cara doa Maryam di adegan terakhir ini sangat islami sekali, dia Prefer sebut Allah daripada bapa, sebutan asmaulhusna dalam bahasa Indonesia, istilah tuhan maha Pengasih maha penyayang setau gue ga lazim di pake di Katolik, tapi emang masi banyak misteri sih, kalo gue bisa nonton lagi gue mungkin akan paham, gue penasaran sama buku yang Maryam baca itu apa, kayaknya itu penting… Buat gue niatan film ini bagus banget, tapi emang mungkin masi perlu pengembangan cerita atau, ya kudu liat simbol nya dengan lebih jeli
nah itu yang mestinya diperlihatkan oleh pembuatnya – sinopsis itu yang harusnya mereka visualkan, jangan dijadikan pelengkap atau keterangan karena tidak mampu mereka gambarkan di filmnya. Nonton berapa kali pun kita gak bakal paham jika tidak baca sinopsisnya. Film ini seharusnya bercerita dengan lebih baik dari ini. Mestinya berikan waktu yang lebih banyak untuk membangun backstory dengan lebih menarik, mengeksplorasi tema dengan lebih dalam. 75an menit itu terlalu singkat sih untuk film sepenting ini
Beberapa reviewer bilang film ini juga cantik bat, kepo akutu. Tapi.. tapi.. ternyata Kak Arya ngasih bintang 3. Hmmmm..
*aku sendiri belum nonton btw.
“Atau Maryam baru saja mengalami mood-swing paling drastis yang bisa terjadi pada wanita?”
Plis, cengar-cengir baca kalimat ini akutu. Wkwk~
cantik sih memang gambar dan warnanya, tapi…. *langsung mood-swing drastis* hihihi
selamat pagi mas, wah seneng saya njenengan nonton ini juga jadi bisa sharing thoughts di sini 😀
jujur aku kaget mas baca di review njenengan kl ternyata banyak yg memberi nilai bagus utk film ini. krn memang jujur terlalu banyak hal yg tidak terjelaskan dg baik di dalam film ini. kita seperti tidak dapat mengetahui secara pasti seperti apa maryam itu. rasanya antaradegan lompat2 dg begitu cepat dan gagal membuat penonton (at least saya, entah orang lain wkwk) merasa peduli dg hubungan maryam dan yosef. we don’t feel attached with them.
saat yosef datang rasanya maryam juga tidak begitu merasa attracted. juga kemampuan musik yosef yg sepertinya terlihat kurang majestic hingga membuat maryam tertarik. setelah kemudian sepertinya cinta sudah tumbuh, adegan pantai lanjut turun dr kereta dan pengakuan dosa, jadi kaya tau-tau seneng, kemudian ingin pulang kampung trus tau-tau ragu, eh tau-tau menyesal.
i don’t feel the love of these two. and instead of being sympathy, annoyed is what i get :’)
annoyed krn seharusnya film ini bisa menjadi bagus 🙂
di grup wa-ku cuma dua orang yang ngasih di bawah 5, selainnya di atas 6 semua, makanya aku mikirnya jangan-jangan yang kutonton beda ama mereka hahaha.. soalnya bener-bener bingung cinta dua tokoh ini tuh ga kerasa – apa mungkin cuma nafsu, tapi film juga ga berani nunjukin itu kan..
aku malah gatau gimana pastinya kerennya yosef direct musik itu di mata maryam, buatku kamera pun terlalu lempeng. I mean, setelah Roma dan banyak lagi film yang kameranya ‘maen’ tahun lalu, film ini belum ada rasa haha
yang adegan kereta itu aku ngakak sih, soalnya malah kayak Maryam nangis ditinggal kereta xD
nah iya kan, kita tu kaya bingung apa yg maryam lihat smp akhirnya dia suka sm yosef. dan suka sm yosef di sini kan stakenya gede, secara mereka adalah suster dan romo. kl di sinopsis dr xxi kan terpesona krn musiknya, well kita sbg penonton ga dikasih liat how good romo yosef deals with his music.
buatku hal yg menarik adalah settingnya di semarang, buat orang asli sana mah seneng2 aja banyak gedung yg dipake syuting di sana haha
dan jangan lupa mas, hotel mumbai sm homestay hehe. aku pengen nonton greta belom sempet2 haha
keren ya kayak di eropa gitu settingnya haha
siiipp
Aturan agama memang selalu rumit karena manusia pembuatnya juga suka rumit.
Benar sekali, bila seseorang mencintai Tuhan, secara otomatis dia akan mencintai sesama manusia, siapa saja, tanpa pandang bulu.
Mengapa seaeorang ngotot mencintai satu orang saja, bagi saya ketika nenonton langsung menyadarinya dari kata2 Maryam di bilik pengakuan dosa, bahwa Yosef dapat mengisi kekosongan jiwanya.
Selamanya menjadi akar masalah dalam kerumitan hubungan antar manusia, ketidakmampuan seaeorang memenuhi kebutuhan dirinya sendiri khususnya dalam hal mental dan emosional.
Menurut saya, seandainya manusia mengasihi dirinya sendiri sebagaimana dikatakan Yesus, “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Di sini berarti kasih terhadap diri sendiri yang dimaksud adalah seperti kasih Tuhan terhadap manusia. Kasih yang penuh, lengkap, sempurna. Maka segala kerumitan yg terjadi karena ‘kekosongan dalam jiwai” niscaya tidak terjadi.
jadi, ketika seseorang mampu mengasihi secara sempurna dirinya sendiri, seperti ketika dia mengerti sepenuhnya kasih tuhan kepada dirinya, maka barulah dia bisa mencintai orang lain tanpa harus merasa kekosongan dalam jiwanya – dan di bilik pengakuan itu sepertinya Maryam sudah mengerti hal tersebut, begitu kira-kira ya kak? Wah, membuka sekali komennyaaa
Film dengan tema yang menarik, cuma disayangkan berakhir serba tanggung karena minimnya penceritaan hampir di setiap adegan. Niat menciptakan dialog minim tidak dibarengi dengan eksplorasi adegan yang bisa menyampaikan pesan ke penonton dengan baik.
setuju sekali, hampir tidak ada yang bisa kita pegang sebagai narasi di film ini, dialognya minim, kameranya juga ada di sana gitu aja
Kali ini kita gak sepaham buat kasih score film ini, huhu.. tapi gapapa, aku tetep ngefans review2nya Bang Arya. Aku menikmati semua dari film ini, efek audio visual maupun ceritanya. Mungkin karena aku ‘agak’ ngerti dengan kehidupan selibat, secara aku orang Katolik, dan sangat terbuka dengan segala yang terjadi. Sebagaimana manusia biasa yang musti jatuh – bangun – jatuh – bangun mengikuti panggilan hati untuk mengabdi Tuhan dengan setia. Yang paling paling sangat kukagumi adalah, komunitas Sr. Maryam tidak mengucilkannya, tetap merengkuhnya walaupun dia sedang goyah dan akhirnya jatuh.
Mungkin di situlah letak kekurangan fatal film ini. Dia tidak punya kapasitas menceritakan, menggambarkan, keadaan yang melingkupi Maryam. Penonton yang ‘belum pernah masuk’ gereja katolik tidak mengerti dinamika lingkungan di sana karena film tidak melandaskan. Sedikit sekali interaksi mereka. Dari komen-komen aku menyimpulkan, yang ngerti hanya penonton yang tahu kehidupan selibat. Latar Maryam yang menarik itu, yang dia dari keluarga Muslim, tidak tampak di film – kita tahunya dari sinopsis. Baca sinopsisnya actually lebih menarik ketimbang nonton langsung, buatku ini jadi ‘dosa besar’ film ini.
Iya betul, aku juga menyadari itu, memang agak membingungkan bagi penonton yang gak tau kehidupan selibat dalam agama Katolik. Perlu part khusus buat njelasin. Atau memang ada tujuan lain dari film ini ya? bikin orang penasaran pengen tau tetang kehidupan selibat. hehhe, Who knows. Kukira ini lebih cucok jadi film festival aja ya, daripada film komersil. hehe
bener, kalo udah dibikin sebagai film festival mestinya ditampilkan sebagaimana adanya aja, it just doesn’t work kalo kemudian tampilan itu disesuaikan sana-sini untuk ditonton komersil
mungkin yg bisa mengapresiasi kedalaman cerita film ini adalah org2 yg mengerti “aturan” menjadi romo dan suster. bagaimana kewajiban2nya, bagaimana perjanjiannya dengan dirinya sendiri dan dengan Tuhan saaat memutuskan jadi romo/suster. bagaimana manusia dengan yg selalu hidup berdampingan dengan nafsu memilih “mematikan” dirinya sendiri utk melayani Tuhan
Nah itu semua yang mestinya yang disampaikan oleh film dengan cara bercerita yang tepat dan khas, dan bangunan narasi yang benar-benar kuat, supaya semua penonton bisa mengerti