THE MAIN EVENT Review

“You never know how strong you are until being strong is the only choice you have.”
 

 
 
The Main Event adalah film pertama kolaborasi Netflix dengan WWE (kedua, jika kita menghitung serial yang dibintangi oleh Big Show – featuring Mark Henry, Rikishi, dan Mick Foley nyanyiin lagu I Want It That Way-nya Backstreet Boys – yang rilis beberapa hari duluan). Film komedi yang ditargetkan sebagai tontonan keluarga sayangnya lebih tertarik untuk menjual brand WWE ketimbang menyampaikan cerita.
Seperti Paige, Leo Thompson juga seorang penggemar berat gulat. Namun tidak seperti Fighting with My Family (2019) – yang merupakan cerita yang grounded dari perjuangan seorang penggemar mengejar mimpi sehingga sukses menjadi superstar – The Main Event diarahkan oleh sutradara Jay Karas seperti kartun di minggu pagi. Leo pengagum Kofi Kingston. Dia ke sekolah pakai kaos Kofi, membahas acara Raw bersama dua teman sekelasnya. He acts, talks, and breaths wrestling, tapi tidak diperlihatkan dia pengen jadi pegulat. Leo menolak ikut kelas gulat, dia lebih suka menggambar, sehingga dia pun dibully. Akar dari semua itu adalah karena Leo punya masalah di rumah. Ibu pergi meninggalkan Leo dan ayahnya, sehingga hubungan kedua orang ini jadi berjarak dan harus dijembatani oleh nenek yang bermimpi jadi influencer. Makanya, Leo tumbuh jadi anak yang gak pedean. Kemudian Leo menemukan sebuah topeng ‘antik’ (alias bau) peninggalan seorang pegulat legendaris. Topeng yang saat ia pakai (karena begitulah reaksi normal seorang fan jika menemukan memorabilia dari sesuatu yang ia sukai) membuat Leo berubah menjadi kuat. Kontan Leo jadi superpede. Dia jadi berani ngobrol sama anak cewek yang ia taksir. Leo juga jadi jumawa ikutan kontes WWE NXT di tivi. Ia menjelma menjadi Kid Chaos dan akan bertarung melawan pegulat-pegulat beneran demi hadiah uang untuk membantu masalah keuangan keluarganya!

Akhirnya kita tahu apa tepatnya yg diteriakkan oleh Sheamus saat entrance-nya. Terima kasih, The Main Event. Sungguh pelajaran yang berharga!

 
Tentu, ada pesan berharga yang bisa dipetik oleh kita dan adek-adek dari cerita film ini. Mengajarkan untuk berani menjadi diri sendiri, untuk percaya kepada kekuatan yang dimiliki. Dan kekuatan tersebut bukan kuat fisik, melainkan kelebihan-kelebihan apapun yang kita punya. Topeng ajaib Leo adalah simbol yang obvious terhadap sesuatu yang kita ‘kenakan’ untuk berlindung dan memanggil rasa percaya diri. Mau itu citra, identitas internet, atau bahkan literally alat tertentu yang dipercaya membuat kita menjadi lebih baik, film ini membukakan mata kita bahwa semua hal tersebut bukanlah exactly yang membuat kita kuat. Seperti Leo, kita harus belajar untuk tidak bergantung kepada semua itu dan jadi diri sendiri.

Kids, untuk bisa jadi pegulat sukses kayak Kofi, John Cena, Roman Reigns, The Rock, Rey Mysterio, kita gak butuh topeng ajaib. Melainkan, yang kita butuhkan adalah proper training. Latihan bertahun-tahun. Para superstar itu, bukan persona atau gimmick mereka yang menjadikan mereka juara. Dalam bisnis gulat, mereka dipercaya untuk menjadi juara karena sikap, kepribadian, dan hati yang kuat – di atas memiliki kekuatan fisik yang oke. Jadilah ‘kuat’ seperti mereka.

 
Naskah film ini, however, terkontaminasi oleh agenda promosi WWE yang ironisnya gagal menangkap esensi bisnis itu sendiri. Pada hatinya, film ingin memperlihatkan bahwa pribadi dengan hati yang kuat adalah kebanggaan tak-ternilai, bahwa itulah kualitas yang harus dimiliki oleh seorang superstar WWE. Kita boleh saja masih anak-anak, tapi dengan ‘kekuatan’ tersebut kalian bisa jadi juara. Produk aktual yang kita tonton, menyimpang dari itu semua. Dengan alasan ‘film untuk anak-anak’, maka ditambahkanlah elemen fantasi ke dalam cerita seputar olahraga-hiburan ini. Sehingga yang sedari awal bukanlah olahraga tulen (WWE sejak lama selalu dipandang sebelah mata karena dicap ‘boongan’) malah tampak semakin palsu, cringe, dan konyol, dan teutama tidak mencerminkan WWE itu sendiri.
Kekonyolan benar-benar ditonjolkan di sini. Saat Leo memakai topeng, saat itu jualah film seperti ikut memakai topeng Spider-Man, Shazam, dan The Mask. Secara bersamaan! Wujud Leo tidak banyak berubah seperti Shazam setelah teriak atau seperti Jim Carrey setelah mengenakan topeng kayu hijau itu. Leo, hanya seperti anak-anak yang pakai topeng. Namun semua orang di gedung NXT itu enggak ada yang curiga dia hanya anak kecil. Leo bisa mendaftar jadi pegulat, tanpa ada cek apapun. Pertama kali mengenakan topeng, Leo persis Peter Parker saat mendapati dirinya punya kekuatan super. Leo bisa menendang pohon sampe rubuh. Di atas ring, dia bisa lompat dari satu turnbuckle ke turnbuckle lain. Dia bisa mengalahkan serangan kentut super (Otis di sini kocak jadi kayak Bakuterian si manusia bau di Dragon Ball). Jika kalian belum pernah nonton gulat profesional, bayangkan saja adegan gulat di menjelang ending The Peanut Butter Falcon (2019). Kemudian lipat gandakan elemen fantastis di adegan tersebut, maka kurang lebih seperti demikianlah gulat digambarkan oleh The Main Event. Sah-sah saja sebuah film tampil konyol dan all-over-the place seperti ini. Asalkan, ada syaratnya loh!- asalkan konteksnya bener.
Perbandingan yang cocok untuk menjelaskan ini adalah The Mask (1994). Mulai dari penampilan akting Jim Carrey hingga ke efek, dan ke aksi penumpasan crime, film itu sekonyol-konyolnya cheesy. Tapi jelas; dasar dunia film itu merupakan cabang dari kartun Looney Tunes. The Mask berasal dari komik. Sepanjang film ditanamkan pemahaman terhadap hal tersebut dengan banyak referensi kartun. Malah ada adegan tokohnya nonton kartun dan kemudian ada adegan si tokoh mempraktekkan yang ia tonton. Itu dihadirkan supaya kita membuat koneksi ke dua logika dunia yang ada – film dan kartun. Sedangkan pada The Main Event ini, jelas, koneksinya adalah WWE. Film ini adalah drama keluarga, tujuan journey tokohnya adalah memperbaiki hubungan dengan ayah dan teman-teman – serta menjadi dirinya sendiri. Semua itu ditempatkan di lingkungan WWE. Tapi kekonyolan yang dihadirkan mengincar ke arah kartun, sehingga gak masuk. Karena WWE bukan kartun Bugs Bunny.
Membingungkan bagaimana film ini memandang WWE; Apakah yang buat sama sekali belum pernah nonton WWE dan menganggapnya kompetisi anak-anak alias kartun? Atau memang WWE yang pengen menampakkan dirinya seperti demikian, sudah dari dulu WWE dikritik semakin melupakan kulitnya demi rating dan mainstream appeal. Pertandingan gulat mestinya scripted, tapi kita tidak pernah melihat mereka ‘gladi resik’, kita tidak melihat booking-membooking. Mereka memastikan curtain ke balik layar WWE tertutup rapat. Instead, kompetisi yang dimasuki Leo ditampilkan seperti pertarungan beneran – dengan kekuatan aneh dan konyol ber-CGI yang dimiliki oleh pesertanya. Leo ini juga bisa nangkap maling di kafe. Dia bener-bener jadi superhero di manapun ia berada. Dan ini konyol. Membiarkan Leo bergulat – tidak satupun dari orang dewasa itu bisa menebak ataupun mengkhawatirkan ada anak kecil di atas ring – seakan menyiratkan sebuah perusahaan yang careless sama employee. Pada pertandingan terakhir diperlihatkan identitas Kid Chaos ketahuan oleh semua orang, dan bukan saja match tetap berlangsung, tapi juga Leo berhasil menang. Ini menyampaikan pesan yang benar-benar mixed tentang WWE dan gulat profesional, dan juga tentang anak kecil bahwa mereka bisa menang kalo nekat.

Terakhir kali ada adegan di-bawah-umur beraksi di atas ring dan bapak si anak panik marah-marah di pinggir ring, dunia gulat mengenalnya dengan Mass Transit Incident. Google it up, dan merindinglah.

 
 
Mendidik tapi dengan takut mengajarkan konsekuensi. Journey Leo di sini menjadi cheesy dan gak otentik karena tidak sekalipun dia dihadapkan dengan konsekuensi nyata. Permasalahan dia dengan temannya selesai begitu saja. Permasalahan dia dengan ayahnya tidak pernah dituntaskan. Secara karakter, Leo yang sudah belajar untuk tidak bergantung kepada topeng ajaib, tidak wajib untuk mendapat reward terlebih jika reward itu berupa kemenangan yang mustahil. Film ini harusnya memperlihatkan lebih banyak soal perjuangan Leo menggunakan gulat untuk mendapatkan kembali teman-temannya, menjalin hubungan kembali dengan ayahnya – inilah reward bagi karakter Leo yang sesungguhnya. Namun dalam film ini, semua itu didapatkan Leo begitu saja karena semuanya mencemaskan dia bertanding melawan orang yang lebih besar. Ya iyalah he insert himself ke kompetisi dewasa!
Cerita untuk anak-anak enggak harus sekonyol seperti ini, apalagi jika ada drama lebih berbobot diletakkan di belakangnya. Tahun kemaren, gulat Jepang mengeluarkan film My Dad is a Heel Wrestler. Film anak-anak tersebut juga ada agenda promosi company gulat (NJPW), tapi berhasil untuk masih bisa respek sama bisnis sekaligus sama anak-anak itu sendiri. Ceritanya tentang anak yang mengetahui antagonis di tayangan gulat yang ia dan teman-teman tonton ternyata adalah ayahnya sendiri. Si anak malu, dan berusaha berdamai dengan hal tersebut. Film itu dengan nada lucu dan manis memperlihatkan sisi dalam bisnis gulat, dan pengaruhnya kepada keluarga, dna hubungan ayah-anak yang terselesaikan dengan memuaskan. Dibandingkan dengan film seperti demikian – the fact bahwa cerita yang kuat dan hormat sama bisnis gulat itu ada dan terbukti lebih bagus – maka film The Main Event ini akan terasa hanya sebagai sebuah promosi yang malas.
Kalo tega nge-nitpick, aku akan bahas soal kalo bertopeng kenapa jagoannya bukan Rey Mysterio; dan jika harus Kofi, kenapa momennya bukan/tidak menyebut Kofi pas jadi juara dunia; bukankah jadi narasi yang besar karena Kofi adalah juara dunia berkulit hitam pertama di era modern WWE. Itu semua buatku hanya memperkuat bukti film ini salah kaprah soal WWE, dan hanya berangkat dari ke-available-an bisnis.
 
 
 
Sebenarnya dari judulnya yang gak kreatif dan sangat generic aja (udah ada beberapa kali term ‘main event’ dijadiin tajuk acara oleh WWE) udah keliatan film ini gak niat. Melainkan cuma ingin menjual ‘pernak-pernik’ saja. Jualan superstar dan kaos sekalian, kalo bisa. Banyak sekali superstar yang muncul dan ikut main dengan peran yang cukup besar. Tapi bahkan aku yang penggemar WWE aja, dalam lima-menit awal sudah geli-geli awkward menonton film ini. Dialognya in-the-face banget nyebut-nyebut WWE terus. Saat Leo pakai topeng, suaranya akan memberat, tapi personality-nya jadi pede dan asik, kemudian yang keluar dari mulutnya adalah kalimat-kalimat alias catchphrase yang sudah hits di kalangan gulat. Tadi aku membuat perbandingan antara film ini dengan The Mask, tapi, please… pretty please with sugar on top, jangan coba membandingkan akting Jim Carrey dengan akting Seth Carr saat memakai topeng. In fact, akting dalam film ini semuanya hanya average at best. Akting tokoh-tokoh ciliknya malah nyerempet annoying. Film ini punya pesan yang cocok buat anak yang bertumbuh. Akan tetapi promosi lebay, elemen cerita dan storytelling yang niru-niru, membanting sisi positifnya keras-keras. Dan tak mampu bangkit lagi. Satu. Dua. Tiga. Ding-ding-ding!
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE MAIN EVENT.

 
 
 
That’s all we have for now.
Salah satu yang gak resolved dalam film ini adalah soal ayah yang belum bisa ngasih tahu Leo soal ibu yang meninggalkan mereka. Menurut kalian bagaimana cara yang paling tepat memberitahukan hal seperti ini kepada anak? Apakah ayahnya harus jadi juara dunia dulu?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

Leave a Reply