“I thought that you would be the hero come in save the day, but you’re the villain.”
Anak terlantar dipelihara oleh negara. Begitu kata buku UUD 1945 yang kuhapalin pas pelajaran PPKN. Surat Kecil untuk Tuhan menuliskan anak-anak jalanan sepeti Angel dan abangnya, Anton, dipelihara oleh Om Rudy. Sosok yang Angel sangka pahlawan, yang memberi mereka atap dan makanan. But he was unforgiven. Om Rudy bukanlah jawaban dari surat yang ditulis Angel untuk Tuhan. Oleh Om Rudy,, mereka disuruh mengamen di jalanan yang tak berbelas kasih. Dan dihukum keras jika uang setoran kurang. Bahkan saat Angel tertabrak mobil sehingga musti dilarikan ke rumah sakit, Om Rudy enggak mau repot-repot membayar biaya pengobatan. Mengakibatkan Angel harus terpisah dari abang yang berjanji untuk terus menjaga dirinya.
Sounds depressing enough? Atau malah terdengar familiar?
Clearly, film ini berhasil menerapkan pelajaran berharga soal bercerita dari salah satu nominasi Oscar, Lion (2017). Surat Kecil untuk Tuhan membagi porsi narasinya menjadi dua, ketika Angel kecil di jalanan dan paruh terakhirnya adalah tentang Angel yang sudah dewasa dan bekerja ngurusin kasus-kasus kekerasan terhadap anak, baik di rumah tangga maupun di luar sana di perempatan. Aku suka gimana film ini berusaha sekuat tenaga untuk tidak menggunakan alur bolak-balik, meski memang ada sisipan adegan kenangan yang tidak mampu ia hindari. Ini adalah resiko yang mereka ambil, karena membuat film seolah baru dimulai di babak kedua; motivasi Angel baru jelas banget di poin ini.
Terkadang ketika berhenti di lampu merah, kita suka dilema sendiri. Melihat anak jalanan yang mestinya lagi kepergok nyontek dan disetrap di depan kelas itu, malah nyanyi-nyanyi dengan alat musik rombeng. Mau ngasih duit, ragu. Ntar duitnya pasti dipalak. Atogak dipakai buat yang enggak-enggak. Mau membantu kok pikir-pikir. Benarkah dengan tidak membantu, kita bisa membantu mereka. ‘Gimana dengan pihak yang ‘mempekerjakan’mereka, salahkah mereka membesarkan dan mendapat balas jasa?Manakah yang lebih ‘for the greater good?’
Film ini mampu memantik pertanyaan moral dengan eksplorasi perspektif anak jalanan yang terasa fresh. Apa yang dilakukan dengan baik oleh film ini adalah menanamkan bibit-bibit karakter semenjak paruh di mana mereka masih muda. Sehingga ketika kita melihat dan bertemu dengan mereka kembali setelah time jump, perkembangan karakter mereka – menjadi seperti apa mereka sekarang – terasa masuk akal. Kita akan melihat Angel dengan gigih berusaha mengungkap sindikat anak jalanan yang dipimpin oleh Om Rudy, kita mengerti darimana dorongan tersebut datang, apa yang membuat semua itu sangat personal dan begitu urgen dilakukan oleh Angel. Relationship antarkarakter juga terjalin dan tergambarkan dengan kuat. Semuanya diberikan pay-off yang ampuh menarik-narik heartstring kita. Karena film ini tahu persis dirinya adalah drama yang secara natural sangat emosional. Aku suka adegan ketika Angel Dewasa yang diperankan oleh Bunga Citra Lestari untuk pertama kalinya bertemu kembali dengan Om Rudy. They played it off so good. Mata BCL sukses banget mancarin rasa takut yang masih bersisa dari masalalu itu. She barely could say any words. Lukman Sardi sebagai Om Rudy juga terlihat takut di balik tokohnya yang tenangnya menguarkan aura menacing.
Penampilan akting yang mengisi paruh kedua film mampu membuat kita melupakan rasa bosan, karena memang bagian ini lebih serius. Dan serius digabung dramatis biasanya adalah gabungan yang ampuh untuk bikin kita nyalain hape. Setelah gede actually adalah film di puncak paling menarik, sebagian besar lantaran film Indonesia memang kelihatannya masih kepayahan mencari aktor anak kecil yang mampu bermain dengan meyakinkan. Penampilan yang paling juara dalam film ini datang dari Joe Taslim yang memerankan pacar Angel yang berprofesi sebagi dokter jantung. Joe Taslim sangat kharismatik dan bersimpati di sini. Tokoh Martin pun mendapat backstory dan eksplorasi yang berbobot sehingga dia benar-benar punya purpose untuk ada di sana. Bukan hanya sebagai device, he actually adds much. In fact, malahan tokoh lead kitalah yang paling kurang konsisten di sini. Aku merasa aneh aja sama aksen Inggris dari Bunga Citra Lestari. Tokohnya gede di Australia, sudah cukup aneh dia enggak develop any accent. Ditambah pula at one time, dia menjawab telepon dengan ”who is it?” yang terdengar aneh alih-alih natural dan lebih cocok dengan kehidupan profesionalnya dengan jawaban “who is this?”
Tentu saja ada bagian ‘pertarungan’ di pengadilan. Film ini menghandlenya dengan memasukkan elemen di mana Angel harus mengumpulkan dan meyakinkan saksi-saksi yaitu orang-orang yang berasal dari masa lalu tragisnya. Sudut pandang dari saksi-saksi tersebut memberikan suntikan perspektif yang semakin menambah kadar dramatis. Yang mana, juga menimbulkan masalah kepada narasi sebab film ini mengarah kepada JALUR YANG HITAM-PUTIH. Yang jahat benar-benar jahat, yang baik benar-benar tertindas. Ruang thought-provoking semakin menyempit, kemakan oleh porsi dramatis yang terus dibesar-besarkan. Tadinya aku mengira film ini paling enggak jadi kayak versi dramatis dari anime The Boy and the Beast |(2015), taunya enggak. Malah dramatisnya lebih seperti Grave of the Fireflies (1988) digabung dengan Lion.
Kita tidak akan pernah kehilangan orang yang tulus menyayangi kita. Sebab, once there, mereka tidak akan pernah pergi dari sana.
Ini adalah film tentang pencarian kebenaran, namun TONE YANG DIOLAH DENGAN TERLALU OVER membuat film ini tidak bisa mencapai level Lion. Baik over di bagian editing tone visual, maupun pada tone cerita yang kerap amat sangat sappy, kalo gak mau dibilang cengeng. Dalam Lion, kita tidak melihat Saroo kecil ujan-ujanan. Dalam Surat Kecil untuk Tuhan, dalam 15 menit pertama, Angel dan Anton terus saja kehujanan, dengan lagu Ambilkan Bulan, Bu yang diaransemen ulang menjadi sangat sedih dimainkan nyaris non-stop. Film ini terus ngepush drama seputar tema kekerasan terhadap anaknya sampai-sampai aku tidak lagi mempertanyakan kenapa film ini tidak diberikan rating sensor yang lebih dewasa. Aku malah jadi keheranan kenapa film ini dijadikan tontonan lebaran keluarga in the first place.
Menjelang akhir akan ada pengungkapan yang disertai dengan adegan yang, sebenarnya, sangat kontroversial. As in, bisa bikin trauma anak kecil yang menontonnya. Walaupun enggak digambarkan eksplisit banget, namun tetep aja ekuivalen ama adegan kontroversial serial 13 Reasons Why (2017) yang tayang di Netflix. Because we talk about children here. Surat Kecil Untuk Tuhan menunjukkan anak kecil yang – sulit untuk tidak mengasumsikan dia – disuntik mati. Asumsi lain yang timbul dari sekuen itu adalah penonton disajikan adegan anak kecil yang dibedah hidup-hidup off-screen, dan di layar kita melihat reaksi orang dewasa yang muntah menyaksikan tindak kriminal tersebut. Aku langsung ngeliat ke arah keluarga beranak dua yang nonton di sebelahku; mamanya nutupin mata anak yang gede, sementara papanya menutup mulut sendiri sambil menggendong anak bungsu mereka dengan memposisikan si anak membelakangi layar.
Beberapa menit kemudian adegannya nampilin anak bawah umur merintih diperkosa. Dan kedua orangtua di sebelahku tadi saling berpandangan.
Punya emosi yang sangat kuat, film ini mengexamine moral kita terhadap anak jalanan lewat perspektif orang pertama yang benar-benar menawarkan sesuatu yang baru. Tema kekerasan anak bergulir kuat, da terus diamplify. Penampilan yang di bawah standar dengan cepat tergantikan oleh performa yang sangat meyakinkan yang menatap kita straight to our heart. Bisa saja menjadi thriller yang hebat, yang thought provoking, jika dirinya tidak memfokuskan diri membuat penonton banjir air mata sebagai tujuan utama. Film ini berani mengambil resiko dalam penulisan, namun not so much pada departemen arahan. Tonenya terlalu cengeng, enggak tegar seperti film Lion, film yang banyak dibanding-bandingkan terhadapnya. Karena tentu saja orang akan mudah sedih melihat anak-anak yang menangis di bawah hujan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SURAT KECIL UNTUK TUHAN.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We? We be the judge.