GURU NGAJI Review

“…. we all have the urge to be a clown”

 

 

Tiada yang lebih membahagiakan bagi Mukri selain menjadi guru yang mengajari anak-anak kecil di desanya mengaji. Bagi Mukri, guru ngaji adalah pekerjaan yang mulia. Tapi toh dia masih belum bisa membayar utang, duitnya masih kurang, apalagi buat ngajak istri dan anaknya jalan-jalan ke Istiqlal. Jadi guru ngaji, Mukri dibayar pake sembako. Maka ia pun berusaha di lapangan pekerjaan lain, dengan bayaran berupa duit beneran. Mukri menjadi badut di sebuah Pasar Malam. Kerjaan yang Mukri lakukan dengan sama cakapnya, hanya saja ia khawatirkan akan mengundang malu kepada keluarga. Jadi, Mukri tutup mulut rapat-rapat soal badut ini. Sebagian besar waktu di Guru Ngaji, kita akan melihat Mukri yang berjuang juggling di antara dua pekerjaan. Toh yang namanya diam-diam, suatu saat akan ketahuan juga. Mukri pun harus bersiap menghadapi reaksi dari warga kampung dan keluarganya mengenai pekerjaannya satu lagi yang selama ini ia rahasiakan.

Kesederhanaan yang terhampar membuat film terasa begitu dekat. Sederhana bukan berarti gak cantk loh. Polesan warna membuat film ini meriah, bahkan ketika tempat bukan di lingkungan Pasar Malam. Film ini punya humor, punya cinta, dan punya hati. Para pemain juga membawakan peran mereka dengan tidak sekalipun menjadi over-the-top. Donny Damara menghadirkan sosok ayah yang berjuang di balik masker badutnya dengan sangat meyakinkan, gesture-gestur seperti Mukri yang tidak pernah menatap mata bosnya di Pasar Malam turut memberi lapisan dan kedalaman bagi karakter ini. Guru Ngaji terasa benar-benar down-to-earth sehingga jadi mudah untuk dinikmati semua kalangan. Film ini bicara tentang gimana pandangan orang lain, pandangan dunia luar, masih menghantui orang-orang seperti Mukri. Padahal tidak ada yang salah dengan cari makan. Tidak ada yang ganjil dari berusaha membuat orang yang kita cintai bahagia. Mukri, mungkin memang dibuat sedikit terlalu ‘baik hati’, tapi apa yang terjadi kepada tokoh ini – terhadap pilihan yang dibuatnya – bisa kita jadikan cermin ketika kita dihadapkan pada pilihan yang serupa.

Kita semua berusaha keras untuk membuat yang tersayang bahagia. Tertawa. Kita semua jadi ‘badut’ demi mereka. Untuk apa malu karenanya?

 

Sebenarnya, film punya set up yang menarik. Kita diperlihatkan dua dunia kerjaan Mukri, yang semuanya punya universe sendiri – Mukri bersosialisasi dengan orang-orang dengan ragam kepercayaan dan sudut pandang yang berbeda. Untuk kemudian kita diperlihatkan ke kehidupan rumah tangganya, kita lihat istrinya yang jualan kerupuk tapi matanya ijo lihat kain jilbab baru yang ditawarkan teman, kita lihat anak Mukri dibully karena pinter. Set up di babak awal film mengisyaratkan seolah-olah Mukri nantinya harus berkronfontasi dengan keluarga, dia harus memilih satu di antara dua, yang bakal membawa kita ke false resolusi sebelum akhirnya Mukri menyadari apa yang sebenarnya ia butuhkan. Aku menunggu-nunggu adegan yang bakal jadi realisasi besar bagi Mukri. Namun Guru Ngaji berjalan dengan sangat lempeng. Konflik-konflik yang dihadirkan beres dengan gampangnya. Konfrontasi itu datang untuk selesai dengan sekejap. Mukri punya keinginan, tapi sedari awal dia sudah tahu apa yang dia butuhkan. Sehingga kita tidak menemukan Mukri sebagai karakter yang banyak belajar. Sisi emosional film datang dari luar seperti Mukri digebukin orang, baju badutnya dirampas, alih-alih dari dia sendiri yang memilih untuk menjadi badut. Seperti jalan cerita filmnya sendiri, Mukri juga sangat lempeng. Istrinya jelas-jelas bohong gak bayar utang, Mukri masih punya tenaga untuk mengikhlaskan. Dan pada akhirnya masalah soal kegilabelanjaan istrinya ini pun dimaafkan begitu saja di akhir cerita.

“usaha maksimal!” kata Deadpool, eh salah… kata badut!

 

Film seperti bingung dalam menggali masalahnya. Mukri akhirnya dikasih ultimatum enggak boleh lagi mengajar ngaji karena warga desa resah sama kerjaannya sebagai badut. Mukri sedih. Di sinilah letak anehnya. Sebagai guru ngaji dia cuma dibayar sembako, enggak dapet respect pula. Saat jadi badutlah baru ia mendapat terima kasih ditambah duit yang ia perlukan untuk bayar utang dan mewujudkan cita-cita, jadi di mana sebenarnya letak masalah? Menurutku, mestinya di titik ini film bisa membelokkan karakter Mukri menjadi lebih menarik. Aku menunggu konflik gede saat Mukri yang dilarang jadi guru ngaji malah tampil sebagai sinterklas di publik. Tapi momen tersebut tidak pernah datang. Film tampak tidak pasti dalam bagaimana mengakhiri kisah Mukri, penyelesaian film terasa sangat dragging, ada banyak momen ketika kita berpikir ceritanya sudah habis ternyata belum, karena mereka menggali di tempat yang salah, serta tidak menanamkan hal-hal yang penting untuk karakter Mukri sedari awal.

Sedikit banyak aku bisa relate sama pilihan yang dihadapi Mukri. Currently aku punya dua pekerjaan, yang satu buka kafe eskrim yang menghasilkan uang, satu lagi sebagai blogger kritik film di mana aku dibayar pake nonton gratis. Jikalau aku dilarang nonton dan diharuskan buka kafe saja setiap hari, aku akan bisa dapat lebih banyak uang, tapi aku tidak akan bahagia karena itu bukan diriku yang sebenarnya. Passionku di menulis, dan buatku itu akan menjadi pilihan yang sulit. Namun pada kasus Mukri, aku tidak dibuat benar-benar percaya bahwa menjadi guru ngaji begitu penting bagi Mukri. Karena sedari awal, film sudah menetapkan perihal duit sebagai stake. Hanya ada satu anak yang kita lihat diajari mengaji oleh Mukri. Sementara saat membadut, dia bikin tertawa banyak anak-anak. Jadi, jika pilihan guru ngaji dihilangkan, aku tidak melihat ada masalah bagi Mukri untuk jadi badut saja – dia dibayar dan membuat bahagia anak-anak.

Cerita berakhir bagi Mukri dengan gampang. Jalan keluar datang dari partner badut yang bermurah hati dan dari anaknya yang jago mengaji. Perihal anak, sebenarnya gak jadi soal asalkan relationship Mukri dengan anaknya dieksplorasi secara fokus sebelumnya. Tapi tidak. Kita bahkan tidak melihat Mukri mengajar anaknya sendiri mengaji. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada Mukri dari ia mulai di awal hingga cerita berakhir. Kerjaannya tetap guru ngaji dan badut. Dia tetap pribadi yang ikhlas. Kalo aku yang punya cerita, aku akan memutar sedikit narasi dan menjadikan Mukri naik kelas sebagai ustadz di desa pada akhir cerita, di mana dia menggabungkan pengetahuan agama dengan showmanship natural yang dimilikinya sebagai badut.

atau malah bikin Mukri turn heel dengan marahin anaknya gaboleh jual ngaji di tivi hhihi

 

Secara berkala kita akan dibawa ke lingkungan Pasar Malam tempat Mukri bekerja, untuk melihat satu subplot yang heartwarming tentang perjuangan cinta partner badut si Mukri, Parmin (penampilan paling emosional dalam karir Ence Bagus). Bagian cerita ini sangat likeable, porsi komedi yang pas hadir dari bagian ini. Akan kocak sekali melihat Yanto (Dodit Mulyanto, seperti biasa sukses deliver komedi dengan ciri khasnya) unjuk gigi dengan motor dan handphone, sedangkan Parmin hanya gigit jari dan terus bermimpi ingin punya motor juga demi merebut hati si cantik Rahma (peran pertama Andania Suri tanpa adegan nangisnya!!) Parmin actually belajar lebih banyak dari Mukri, kita akan melihat dia belajar untuk berani stand up buat dirinya sendiri dan menyadari bahwa dia tidak butuh motor untuk dapat cewek. Meskipun film tetap menggambarkan perubahan Parmin ini dengan ‘aneh’. Maksudku, pertama kalinya Parmin stand up for himself dengan menggunakan sepeda sebagai alat. Dia juga membelikan Rahma helm, yang mana tetap adalah sebuah materi. Dan menggunakan sulap untuk practically ‘nembak’ Rahma – padahal sulap literally adalah sebuah trik. Jadi, adalah sebuah stretch untuk kita bisa percaya apa yang dipelajari Parmin jika kita melihat hal yang ia lakukan sebagai bukti perubahan/pembelajaran karakternya.

Salah satu aspek mengharukan dalam film ini adalah ketika gimana baik Mukri maupun Parmin yang siap menghapus wajah sedih banyak masalah mereka dengan riasan badut yang tertawa, demi tugas mereka sebagai penghibur. Sayangnya, aspek ini juga tidak benar-benar dieksplorasi oleh film. Yang mana adalah satu lagi kesempatan untuk genuinely menjadi emosional yang dilewatkan. Lihatlah betapa kuatnya adegan ketika Mukri masih berdandan badut duduk merenung di belakang rumahnya, kita perlu melihat adegan ‘bentrok’ seperti ini lebih banyak lagi.

 

 

Seujug-ujug film akan menyuarakan pesan toleransi, kerukunan dan saling pengertian dalam kehidupan beda agama, menjadikan paruh akhir film terasa berjubel, tanpa jelas ujungnya di mana. Film ini sederhana, meski ia ceria dalam warna. Kisah komedi dan mengharukan dibuat seimbang sehingga tidak mengganggu tone cerita. Membuat film ini gampang untuk disukai banyak orang. Hanya penyelesaian yang terlalu cepatlah yang membuat cerita menjadi tidak terpatri dengan kuat. Secara teknis, kita masih mendapati editing yang enggak tight, latar yang enggak klop antara frame satu dengan frame berikutnya, juga beberapa obvious dubbing dan stuntmen yang cukup mengganggu telinga serta mata. Jika kalian merindukan film dengan suasana down-to-earth seperti ini, gak ada salahnya coba menyaksikan langsung ke bioskop.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GURU NGAJI.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Leave a Reply