“Too often, the thing you want most is the one thing you can’t have.”
Antologi Rasa, dalam kapasitasnya sebagai kisah kepahlawanan orang-orang yang terjebak dalam ‘zona teman’, boleh saja mendorong orang untuk jadi lebih berani ngungkapin perasaan mereka atau jadi cermin supaya orang bisa lebih peka pada apa yang dirasakan oleh sahabat mereka yang diam-diam mendamba. Tapi sebagai film, Antologi Rasa tidak pernah berkembang menjadi sesuatu yang spesial dengan absennya lapisan cerita, dengan tokoh utama yang pasif dan terlihat canggung dengan kedua tokoh ‘pasangannya’, pun doesn’t break any grounds dengan arahan dan tekniknya. Aku tidak merasakan apa-apa saat menonton ini. Ya, bahkan dengan pemandangan wisata dan kota-kotanya.
Atau… mungkin memang akunya saja yang sudah mati rasa di dalam sana.
With that being said, Antologi Rasa adalah cerita tentang Keara (Carissa Perusset sungguhlah temuan yang fresh sekali dari si empunya cerita) yang merasa ia sangat mencintai Ruly, yang wajahnya selalu terbayang setiap dia memejamkan mata. Tapi begitu ia membuka matanya, senyum cengengesan Harris-lah yang dengan ge-er selalu menyambutnya. Keara gak tau sih kalo Harris yang ia lebih suka panggil Rasyid itu cinta banget ama dia. Ketika Ruly batal ikut trip, Harrislah yang menemani Keara cuci mata di Singapura. Tapi tanpa Ruly yang biasanya jadi designated person mereka saat klubbing, di kota seberang ini Keara dan Harris mabok tanpa ada yang mengawasi. Terbangun dari hangover dan rasa kesalnya kepada Ruly, Keara mendapati dirinya tercelup ke dalam masalah perasaan yang pelik di antara mereka bertiga. Bisakah cewek ini mengenali mana cinta mana yang sekadar suka, sebelum cinta sejatinya tersebut pergi merelakan demi kebahagian dirinya.
Meskipun begitu nyampe plot poin pertama pertanyaan yang muncul di benakku adalah “kapan film ini usai?” alih-alih jadi peduli sama konflik cerita, toh setidaknya film ini punya struktur cerita yang lebih bener ketimbang Critical Eleven (2017) saudaranya yang sesama adaptasian dari novel Ika Natassa. Jika mau diungkit, memang kedua film ini punya unsur yang sama; sama-sama ada pesawatnya, sama-sama kisah cinta yang dewasa, sama-sama dihidupi oleh tokoh yang gak masalah bergaya hidup lebih bebas daripada aturan agamanya. Buatku pribadi, ada satu lagi kesamaannya; aku tidak bisa membawa diriku untuk menyukai ini. Film cukup bijak untuk memperlihatkan ketiga kehidupan Keara; pribadi, personal, dan profesional. Yah, walaupun hobi fotografinya tidak menambah banyak ke dalam cerita. Aku bisa mengerti apa yang cerita ini pengen sampaikan, aku mengerti tahapan perubahan yang dialami Keara – karena film ini punya naskah yang mengeset itu semua dalam sekuens-sekuens yang normal – yang works sebagai sebuah struktur drama. Akan tetapi penyajiannya, kesatuan yang membentuk tampilan film ini dalam bercerita; membosankan – tidak pernah menantang.
Menit-menit pertama, yang diceritakan dengan gaya narasi benar-benar mentah seperti masih dalam bentuk novel. Tokoh yang melafalkan deskripsi seseorang sementara kita melihat langsung orang tersebut. Tokoh yang menyebutkan suatu kegiatan, sementara kita sudah lihat lebih dulu. Atau bahkan kita tidak melihat apa yang sedang ia sebutkan. Film bisa menghemat banyak waktu, bisa lebih mengefektifkan durasi jika pengenalan dilakukan lewat visual. Karena dialog itu terlalu gampang, dan mubazir jika kebanyakan, seperti yang kita lihat di sini. Selain itu, ia juga merasa teramat sangat perlu untuk menyampaikan rasa lewat lantunan lagu-lagu dengan lirik yang dipas-pasin, yang muncul setiap kali tokoh dalam keadaan yang emosional. Film Antologi Rasa mengincar terlalu rendah, tidak mengambil resiko apa-apa. Dalam cahaya yang lebih positif, bisa dikatakan film ini hanyalah sebuah tontonan berikutnya yang bisa kita nyalain untuk mengisi hari kasih-sayang.
Pemandangan demi pemandangan cantik ditangkap oleh kamera. Para pemain juga udah kayak antologi dari insan-insan paling sedap dipandang seantero muka bumi. Tetapi betapa dangkalnya kalo kita hanya membicarakan penampilan. So I won’t pull any punches; bahwasanya performa akting di sini tidak ada yang memuaskan. Bahkan Herjunot Ali yang paling berpengalaman di antara para cast tampak kesusahan membangun chemistry, memancing kehidupan yang natural dari lawan-lawan mainnya. Interaksi antara tiga tokoh ini; baik itu Keara-Harris, Keara-Ruly, maupun Harris-Ruly, tampak begitu canggung. Seperti menyaksikan orang-orang yang dipaksa bersosialisasi di luar keinginan mereka. Mereka tidak membawakan dengan lepas. Saat pusing, atau mabok, mereka seperti dikomandoi – enggak natural. To be fair, sekiranya aku jadi Carissa pun sepertinya akan bingung juga harus bagaimana ketika tokoh Keara tidak dibuat jelas antara dia merasakan cinta atau hanya tidak mau ditinggal sendiri. Tiga tokoh yang mejeng di poster dengan gaya blocking yang mengingatkanku pada barisan Power Rangers itu sesungguhnya punya masalah yang sama; mereka jatuh cinta kepada orang yang tak-bisa mereka miliki. Ini adalah masalah yang sangat emosional, begitu konfliknya pasti perasaan di dada masing-masing. Tapi bangunan yang disiapkan untuk mewadahi semua itu sangat sederhana. Perubahan karakternya tidak dikembangkan dengan maksimal.
Dua tokoh cowoknya berakhir seperti jerk ketimbang simpatis. Mereka dua-duanya menggunakan rasa cinta mereka yang tak bersambut itu sebagai pembenaran untuk took advantage of her. Keara di film ini didominasi oleh pria – dia berpindah dari satu cowok ke cowok lain, bukan karena pilihan, melainkan karena kondisi kerapuhannya yang dimanfaatkan. Bertengkar dengan Ruly, Keara mabok dan ‘jatoh’ ke tangan Harris. Tidak mau menerima Harris, Keara menjauh dan didekati oleh Ruly, orang yang selama ini ia idam-idamkan. Mungkin ini cara film untuk menunjukkan betapa berbahayanya ketika kita terus mendamba cinta alih-alih menerima cinta yang datang. Tapi tetap saja keseluruhan film ini terasa seperti cerita seorang cewek pasif yang gak melakukan apa-apa terhadap prinsip “cewek nunggu dilamar” yang dipanjang-panjangkan. Terasa outdated karena kita tahu lebih menarik jika Keara enggak tunduk sama kalimat tersebut dan segera mengambil aksi.
Adalah sebuah hubungan yang sangat menyiksa jika kalian jatuh cinta dengan seseorang yang kalian berteman baik dengannya, tetapi dia tidak tahu/ tidak bisa membalas perasaan kalian. Akibatnya kita akan merasa kehilangan diri sendiri, karena untuk terus bisa ‘berteman’ kita akan dibuatnya rela memberikan apapun, termasuk kebahagiaan diri sendiri. Kita akan meyakinkan diri ‘tak apa tak berbalas’ asalkan masih tetap bisa ngobrol, bertemu, bercanda. Kita akan lupa bahwa kita pantas untuk mendapatkan lebih baik daripada itu – seperti yang dikonfirmasi Keara ketika dia bertanya “better what?”.
Film ini sedikit ada miripnya dengan cerita film pendekku Lona Berjanji (2018). Sama-sama tentang cewek yang tak melihat cinta di dekatnya. Yang melihat ke arah yang salah. Meskipun kualitas teknis filmku tersebut jauh lebih amatir, aku pikir protagonis cewekku lebih menarik karena dia yang beraksi mencari cinta, justru dia merasa ‘lemah’ disodorkan perhatian yang sudah ia salah sangka sebagai cinta. Tapi cinta tentu saja tidak membuat kita lemah. Akhiran filmnya pun Antalogi Rasa ini kalah nyali dengan filmku yang kayak buatan anak sekolahan. Keara seperti tak punya pilihan selain mana di antara dua yang ‘lesser evil’; taking advantage bisa dengan yakin dimaafkan asalkan pelakunya lagi mabok asmara. Di akhir film, Keara practically memohon untuk satu tokoh tetap cinta kepadanya. This is so… I mean, masa sih gak ada cara lain untuk memperlihatkan Keara akhirnya enggak lagi menunggu ‘ditembak’ – masa iya gak ada cara ‘nembak’ yang lebih ber-dignity yang bisa dipakai Keara. She’s deserved that after all of the emotional humiliations she’s been through, don’t you think?
It gets better at the end, but the whole journey feels pretty uninteresting. Dengan konflik yang dewasa, dan penuh pancingan emosional, sayang ceritanya berjalan selempeng emosi yang dihantarkan oleh para pemainnya. Padahal dia mengangkat masalah yang lumayan menarik, juga relatif relatable, aku sempat mendengar ada yang sesenggukan juga di studio saat menonton. Buatku, however, ini cerita yang rasanya biasa-biasa saja, didukung oleh performa dan arahan yang juga sama hambarnya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for ANTOLOGI RASA.
That’s all we have for now.
Pernah naksir ama sahabat sendiri? Apa sengaja sahabatan sama ama yang ditaksir biar ada alasan deket-deket karena gak berani nembak? Kenapa kita suka ama sahabat sendiri? Menurut kalian siapa sih yang menciptakan friendzone?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
Setelah baca review ini, aku semakin yakin untuk jadi #TimDilan untuk film valentine haha
nonton, jangan? #TimMilea ahahaha
setelah kecewa dengan filmnya yang pertama (aku nonton di Hooq, terlalu sayang waktu kl ke bioskop), aku memang tidak berharap banyak dengan film ini.
mungkin subjektif ya, semenjak si penulis novel gak suka Posesif dan sangat menyanjung The Greatest Showman instead of La La Land, aku sudah gak terlalu tertarik dengan opininya soal film dan semua yang berhubungan dengan itu. Eh maaf jadi curcol.:D
nunggu Ave Maria aja dah.
hahaha dari beda seleranya udah kelihatan ‘cara pandang’ pembuatnya juga beda ya, gapapa sih curcol
sama nih penasaran ama Ave Maria
Baca review ini setelah nonton….
Setuju bgt 4/10 karena….ini salah satu novel favorite aku yg udah 6 tahun lalu aku baca sampe udah berkali2 baca sangking sukanya tapi pas liat herjunot, refal, carissa meraninnya rasanya sedikit kecewa karena kakunya mereka… sedih sih liatnya, ini bela2in nonton karena banyak orang bilang “unexpected” gitu sama filmnya. Mungkin bagi yg gak pernah baca novelnya kali ya makanya banyak yg bilang unexpected T-T
aktingnya kurang banget yaa.. Aku juga belum baca novelnya, tapi buatku unexpectednya adalah ‘tak disangka’ cerita ini difilmkan dengan cara yang begitu biasa ahahaha..
Saya sampai nguap beberapa kali nontonnya. Sayang sekali garapannya tidak kece padahal film sempat dipostpone dari yg seharusnya tayang akhir 2018 jadi awal 2019. Saya pikir bakal ada perubahan yg cukup signifikan tapi ya sudahlah. Putar filmnya versi saya aja di dalam otak.
ahahaha ayo bikin film tandingan, mereka boleh punya duitnya tapi soal imajinasi; penonton/pembaca boleh diadu xD
Kwkwkw, kirain bakal ada perubahan dari novel ternyata eh ternyata, penyutradaraan Baginda Rizal Mantovani ternyata masih medioker apalagi akhir-akhir ini kita disungguhkan dengan film horor sampah beliau, sudah cukup bagi saya sepertinya menonton film karya-karya beliau.
Btw, Herjunot Ali ini sebenarnya gimana sih hubungan kerjanya dengan Soraya atau Hit Maker? Beberapa peran utama harus banget deh dia yang peranin, kadang-kadang terlalu maksa juga harus doi yang peranin, aktingnya gimana ya flat gitu, atau jangan-jangan doi punya saham di Soraya Intercine Film, perekrutan doi jadi peran utama rada ketebak, ketika karakter Keara dan Ruly diumumkan terlebih dahulu, karakter Harris dipendam lama sama Soraya sebelum akhirnya diumumkan beberapa bulan kemudian, dalam hati saya dah nebak, nih yang masih rahasia palingan dikasih ke Junot, eh ternyata benar kwkwkw
Novelnya sendiri terlalu hedon dan kebarat-baratan , saya pikir penulis skenarionya bekerja keras menerjemahkan dalam film, eh ngga taunya sama persis novel ngga ada perubahan, mungkin kalau sedikit berinovasi memasukkan unsur lokal atau lebih membumi kedalam film mungkin lebih cocok dengan drama Cinta negara berkembang macam kita, kwkwkw, sebagai catatan novelnya perasaan ngga bagus-bagus amat, saya aja pusing bacanya, bahasa yang terlalu gado-gado, hedonisme, dkk di goodreads ratenya ngga terlalu Bagus, saya pun aneh kok bisa difilmkan, hmm kan Ika punya fans base sendiri, di youtube film ini direview pedas dan dikasih skor sekitar 4 juga, hehehe maaf kepanjangan.
wkwkwk Baginda… sudah harus turun dari tahta sutradara filmkah sepertinya? hmm…
Mungkin kontrak Junot sama Soraya ini per jangka tahun kali ya, jadi setiap ada film baru dia dipake kalo gak Soraya rugi karena udah bayar haha gatau juga, atau mungkin lama-lama ntar dia bisa kayak Stan Lee di Marvel, setiap film Soraya ada peran/cameo Junot xD
Dunia penulisnya udah ‘ketinggian’ ya, tapi penggemarnya banyak kan, penasaran dari kalangan mana fans2 ceritanya, soalnya kayaknya orang2 hedon juga ga gitu suka baca novel lokal deh
wah, main-main ke yutube aahh
sudah nonton dan nguap dari setengah jam pertama. narasinya bener cerewet abis plek banget dari novelnya hiks. ga heran beberapa orang keluar dari studio kemaren setelah satu jam film berjalan.
awalnya saya pikir perasaan saya yg udah kaku. soalnya di twitter banyak bgt fansnya.
oiya, banyak yang keluar di studio kamu nonton? hmm… antara karena beneran filmnya terasa kaku atau gak cocok sama lifestyle ceritanya kali ya
aku sempat ‘minder’ juga ngasih 4, karena di twitter memang pada banyak yang muji haha
wahahaha kegiling dia sama pendatang baru yaa, kasian juga gak dikasih ruang berkembang
halu hedonnya yang dijual berarti ya ke yang hidupnya pengen bisa seperti itu, hidup tanpa konsekuensi hhihi.. heran juga sih, kenapa banyak cewek yang suka padahal di cerita ini tokoh ceweknya bucin banget, tokohnya outdated hanya lingkungannya aja yang gemerlap kekinian
Dari rating di Goodreads saja, sudah gak berharap banyak sama film ini walaupun gw harap at least ceritanya bisa diimprove karena sebenarnya novelnya sendiri juga not that good. Tapi ternyata sama saja hasilnya. Soraya ini rada aneh dalam setiap produksi pasti gak pernah maksimal casting pemerannya. Satu lagi, budget buat hire penulis kompeten sepertinya ada di level terendah.
duitnya ke pemandangan doang ya hahaha.. bisa jadi naskah juga gak luwes, alias dikawal ketat oleh penulis aslinya, karena kelihatan berceritanya kurang seperti bahasa film
Bisa jadi sih ya? Saya lumayan kepo ikutin dari awal pemilihan cast sampai proses syuting, Ika Natasha ini selalu ada di foto yang di publish Soraya, saya kayanya beneran curiga deh, dia mengawasi dengan ketat, pantes filmnya tidak luwes seperti kebanyakan film, malah terkesan kaya sebuah novel yang ada visualnya, banyak kok kritik di twitter yang penonton awam ngga ngerti filmnya, malah fans militan dia suruh baca bukunya dulu, what the hell? Buku dan film adalah media yang berbeda harusnya sih bisa berdiri sendiri tanpa dikaitkan, mungkin ya kalau dibikin kaya pendekatan narasi film Wonder, kan masing-masing karakter diberi ruang narasi, harusnya sih ya, hehehe
ohiya bener, film Wonder tuh contoh yang bagus buat cerita yang ada ruang narasi untuk tiap karakter, Antologi belum serapih itu ya, masih kerasa kayak narasi yang lain menindih tokoh utama bukannya mendukung. Harris misalnya, masih bikin aku merasa mestinya dia tokoh utama. Kalo di Wonder kakaknya punya sudut yang kuat namun aku tetap melihat Auggie sebagai tokoh utama.