“Know when your time is up”
Lihatlah betapa banyak nama-nama beken terpampang di poster. Mereka semua memainkan peran yang berbeda-beda, tapi sesungguhnya dalam The Dead Don’t Die ini mereka semua menjadi zombie. Now, mungkin kalian udah ngambek dan mengira aku membocorkan cerita. Tapi enggak. ‘Menjadi zombie’ yang kumaksud – meskipun ada beberapa yang beneran jadi zombie – tepatnya adalah para tokoh yang dimainkan oleh aktor-aktor tampak seperti zombie semua. Tak berjiwa. Dan lucunya, justru terkadang hal tersebut yang menjadi kekuatan horor komedi yang satir ini.
Para tokoh tinggal di kota kecil bernama Centerville. Suasananya kurang lebih mirip kota Twin Peaks dalam serial buatan David Lynch. Penduduknya saling mengenal satu sama lain. Mereka semua sudah hidup di sana sejak kecil. Setiap peran dengan tepat dipasangkan kepada ciri khas para aktor; Tilda Swinton memainkan pendatang aneh yang jago pedang, dia bekerja sebagai perias mayat. Steve Buscemi sebagai si kasar rasis yang kalo ngomong bisa gak berhenti. Yang paling cocok tentu saja adalah Bill Murray dan Adam Driver yang dipasangkan sebagai rekanan polisi; komedi deadpan mereka benar-benar memberi nyawa kepada film. Murray bisa sesederhana kayak membaca naskah, tapi yang ia ucapkan akan terdengar begitu kocak. Apalagi jika sudah ditimpali oleh Driver yang tokohnya di film ini seperti ngebreak the fourth wall but not really. Dunia film ini ramai oleh tokoh-tokoh yang unik. Tak ketinggalan ada ‘orang gila’ yang tinggal menyendiri di hutan untuk melengkapi maraknya tokoh. Mereka semua penting, karena film ini memang lebih tentang interaksi manusia ketimbang aksi. Bahkan ketika intensitas narasi mulai naik, film tetap lempeng memperlihatkan bincang-bincang para tokoh.
Jadi, di kota mereka itu ada fenomena aneh. Satu hari, siangnya lama sekali. Hari berikutnya, giliran malam yang kecepetan turun. Televisi dan radio memberitakan semua itu merupakan pengaruh pergeseran sumbu bumi atau apalah. Petaka yang menyertai kejadian itu adalah munculnya zombie. Atau tepatnya, ‘beberapa’ zombie. Yang bergentayangan di jalanan pada malam hari. Memangsa manusia. Para polisi jagoan utama kita harus berusaha mengamankan kota dari wabah zombie matrelialistis. Ya, zombienya pada matre, karena bukannya meraungkan “braaiiinnns!”, mereka malah meneriakkan benda-benda kesukaan semasa hidup.
Sutradara Jim Jarmusch terkenal dengan film-film yang teramat subtil. Salah satunya adalah Paterson (2017), film tentang keseharian seorang pembuat puisi, yang juga dibintangi oleh Adam Driver. Paterson mungkin film yang paling sering kusebutin dalam review-review, karena filmnya begitu sederhana tapi mengandung makna yang kompleks. Kayak puisi beneran. Tidak semuanya perlu dikatakan. Makanya pas nonton The Dead Don’t Die ini aku kaget. Meskipun memang lebih banyak ngobrolnya, tapi kenapa film ini blak-blakan sekali. Tidak ada kesubtilan yang menjadi ciri khas pembuatnya.
Zombie-zombie matre itu; sudah bisa kita simpulkan melambangkan kita. Manusia sebenarnya sedang disindir karena hidup sudah seperti zombie. Begitu mengejar duniawi dan materi sehingga dibilang hidup kagak, dibilang mati juga enggak. Film terus mengulang lagu The Dead Don’t Die dari Sturgill Simpsons, yang liriknya mengumandangkan yang mati sebenarnya tidak lebih mati daripada orang yang masih hidup. Tokoh film menyebut para zombie meneriakkan hal yang mereka suka. Dan di akhir film malah ada narasi yang menerangkan simbolisme itu secara terbuka. Nonton film ini akan sangat pointless karena pesan seperti itu sudah sering di film-film zombie. Dan di film ini tokohnya gak ngapa-ngapain selain membuktikan kebenaran dari pesan tersebut. Maka lantas aku bertanya-tanya, apakah pesan yang obvious itu cuma decoy?
Untuk menjawab itu mungkin sebaiknya kita memulai dari sudut pandang cerita. The Dead Don’t Die dengan begitu banyak tokoh memang sering berpindah-pindah sudut pandang. Beberapa ada yang gak-jelas seperti tokohnya Swinton. Ada juga yang gak berbuntut kemana-mana, seperti tiga tokoh remaja di rumah sakit. Tiga tokoh ini tidak diperlihatkan lagi di akhir cerita padahal cukup banyak waktu diinvestasikan buat sudut mereka di awal-awal. Grup remaja lain – yang dipimpin oleh Selena Gomez – juga tidak berbuah apa-apa selain candaan yang sepertinya bermaksud menyindir cinta-cintaan remaja, yang sayangnya enggak lucu. I mean, mereka membuat senyuman Gomez bersparkle kayak kartun ketika ada seorang cowok yang tampak naksir kepada dirinya. Cheesy sekali, malah. Film bekerja terbaik saat membuat kita tetap bersama pasangan tokoh utama; Murray dan Driver. Komedinya on-point, mereka juga banyak berkeliling sehingga perbincangan mereka akan sulit untuk menjadi membosankan. Salah satu hal kontras dari dua tokoh ini adalah Murray percaya semua akan baik saja, sementara Driver bersikukuh dengan pendapat semua akan berakhir dengan buruk. Dan alasan dia percaya itu karena, well, dia literally bilang dia membacanya di naskah. Dia juga menyebutkan lagu yang terus diputar setiap kali ada yang menghidupkan radio atau tape atau CD adalah lagu tema film ini. Dan tokohnya Murray terdiam, bingung untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab dengan pertanyaan kenapa naskah bagian dia cuma memuat dialog antara mereka berdua saja.
Jadi film membawa kita melalui beragam rentang sudut pandang; dari yang benar-benar clueless hingga yang seolah mengerti apa yang sedang terjadi. Jika ini adalah sebuah film ‘biasa’ dengan konsep break the 4th wall untuk komedi, dan para tokoh beneran para aktor yang sedang suting film, maka The Dead Don’t Die akan menjadi film yang buruk karena berjalan tak tentu arah. Namun, film ini berada di atas itu semua. Ia mengaburkan konsep tersebut. Murray bukan Murray, meski dia sadar sedang berada dalam sebuah film. Ternyata di sinilah letak gaya film ini. Rasanya memang aneh, tapi ini seperti sutradaranya sedang bereksperimen dengan genre, dengan gagasan, dengan konsep, dengan teori kemetaan itu sendiri, dan kita penontonnya ditarik untuk ikut serta.
Film seperti ingin memancing kita untuk protes. Untuk tidak menikmati film ini dan melakukan sesuatu terhadapnya. Ia tampak seperti menguji gagasan yang diangkat bahwa manusia sekarang sudah seperti zombie. ‘Menghukum’ kita yang tergiur datang karena tertarik melihat nama-nama pemain yang dipajang. “Haa… Selena… Gomezzz”, “Tilda…. Swin..tooonn”. Toh kita bukan ‘zombie’ yang memburu dan melahap film semata karena pemainnya saja kan. Kita diminta untuk memikirkan yang kita tonton. Bukan untuk menjadikan film ini tugas yang berat. Melainkan supaya kita bersenang-senang dengannya.
“Khawatirlah. Bersiap. Ini akan berakhir dengan buruk”
Kalimat yang diucapkan oleh tokoh yang diperankan Adam Driver menjadi sakral. Sebab merupakan kunci yang diberikan oleh film. Durasi hanya 100-an menit, yang akan diakhiri dengan buruk, jadi apakah kita akan tetap menonton bulat-bulat dan merasa rugi sendiri. Kita harus bersenang-senang dengan waktu yang diberikan. Buatlah sesuatu dari yang kita tonton. Make fun of the characters on screen. Apapun. Kita lakukan apapun untuk mengisi waktu yang sedikit itu. Mungkin terbaca sedikit long reach, aku mengada-ada biar ada yang bisa ditulis, tapi bagiku memang itulah poin film ini. Mengisi waktu sebaik-baiknya. Dan ini paralel dengan tema ‘kiamat’ yang jadi lapisan terluar film.
Dalam cerita ditunjukkan hewan-hewan sudah terlebih dahulu kabur sebelum para zombie bangkit. Sama seperti di dunia nyata saat bencana alam hendak terjadi; burung-burung terbang bermigrasi, hewan-hewan keluar, just recently babi hutan di Sumatera diberitakan berenang nyebrang selat menuju Malaysia. Binatang selalu lebih dahulu sadar yang bakal terjadi. Sedangkan manusia, ya kita melihat tanda-tanda. Tapi berapa orang yang benar-benar bersiap. Yang memanfaatkan waktu yang tersisa. Kebanyakan kita tidak mampu mengenali waktu cuma sedikit, malah mungkin sudah hampir habis. Hanya berdiri ‘diam’. Parahnya berlagak seperti zombie mengejar sesuatu yang bahkan tak benar-benar diperlukan.
Film ini memang tentang manusia yang sudah menjadi zombie keduniaan. Tapi pesan tidak berhenti sampai di sana. Film melanjutkan bahwa yang terburuk dari menjadi zombie adalah ketika tidak menyadari diri kita sudah mati. Waktu telah habis untuk mengejar sesuatu yang fana. Kita semua bakal mati. Waktu kita hidup terbatas. Jadi isilah dengan hal yang berguna. Yang bisa dijadikan persiapan. Karena setelah mati, yang ada hanya keabadian.
Jarmusch sungguh bernyali gede dengan membuat film ini. Dia mengambil horor komedi yang sudah lumrah, dengan pesan yang sudah ‘pasaran’, dan menggarapnya dengan cara yang menantang kita untuk tidak menyukainya. Dia bahkan mencari cara baru untuk membaut yang subtil menjadi semakin subtil dengan menyebutkannya terang-terangan. Benar-benar pemikiran yang rumit untuk film yang tampak gak-jelas seperti ini. Komedinya bisa sangat lucu dan bisa juga jadi sangat cheesy, dan sepertinya itu semua sudah diniatkan. Aku sendiri sebenarnya belum yakin, suka atau tidak sama film ini. Kita tahu dia dibuat oleh ‘bahan-bahan’ berkualitas tinggi. Namun rasa yang dihadirkan tetap aneh. Kalo alien bikin kue, dan kita mencicipinya; mungkin seperti nonton film inilah rasanya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE DEAD DON’T DIE.
That’s all we have for now.
Kalo kalian jadi zombie di film ini, kata-kata apa yang akan kalian sebutkan? Untuk saat ini, aku kayaknya “nintendo switch!” deh hhihi
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.