UNHINGED Review

“Just because you’re angry, doesn’t mean you have the right to be cruel.”
 

 
 
Hidup di kota itu keras, Bung! Tuntutan hidup kian tahun kian meningkat. Biaya hidup meroket. Saingan kerja semakin banyak. Orang-orang mulai mencari kerja sampingan. Waktu pun terasa terus menyempit. Begitu juga dengan kesabaran manusia penghuninya. Maka tak heran, orang-orang sekarang jadi gampang marah. Mudah tersinggung. Stress kerjaan dan tekanan hidup sehari-hari membuat orang jadi seperti bom berjalan. Semua orang merasa dirinya mengalami hari yang buruk. Sehingga begitu bersinggungan dengan masalah orang lain sedikit, langsung tersulut dan meledak. Jalanan jadi tempat bom-bom ini meledak. Kita mendengar (dan boleh jadi melihat langsung saking seringnya) orang-orang bertengkar di jalanan, karena hal sepele.
Unhinged karya sutradara Derrick Borte tidak menyelami hidup sumbu-pendek tersebut lebih jauh. Meskipun memperlihatkan latar belakang yang sekiranya bisa disimpulkan sebagai penyebab sosial yang semakin pemarah dalam bentuk kilasan berita-berita di media sebagai penghantar di awal cerita, film ini tidak benar-benar langsung membahas ke persoalan tersebut. Melainkan langsung menyodorkan contoh kasus yang menjadi suri teladan terhoror yang bisa kita dapatkan saat hidup dalam sosial yang penuh amarah seperti sekarang ini. Film ini menyugestikan mayat-mayat di berita kriminal yang kita dengar siang hari ini, boleh jadi merupakan buah dari sebuah persoalan yang semestinya bisa diselesaikan dengan seucap kata maaf.
Rachel, tokoh utama film ini, mengklakson seseorang di lampu merah. Sebuah mobil yang gak maju-maju padahal lampunya udah ijo. Rachel yang udah terjebak macet sebelum ini, yang telat bangun sehingga dipecat, yang berjuang menata hidupnya sendiri dan rumah tangga sebagai single mother, basically menghardik pengemudi mobil tersebut dengan klakson-klakson kasar. Rachel gak tahu kalo di dalam pick up gede itu adalah Russell Crowe, yang tokohnya adalah pria dengan segudang masalah hidup yang tak kalah bikin stress. Ah, kalo saja Rachel tahu subuh tadi si pria bertubuh tambun itu baru saja menghabisi nyawa keluarganya mantan istrinya – membakar rumah mereka sebagai exit dramatis, di tengah guyuran hujan sebagai pemanis –  pasti akan lebih sopan dan mau ketika dituntut untuk meminta maaf. Sayangnya, tidak. Dan sudah terlambat bagi Rachel untuk melontarkan maaf yang tulus itu saat Sang Pria memburu dirinya, mengincar keluarga dan anak Rachel yang sudah terlambat ke sekolah, membahayakan nyawa mereka semua, demi memberikan pelajaran seperti apa sih hari yang buruk itu sebenarnya.

Giliran dikasarin nangiiss!

 
Sebagian besar durasi film adalah kejar-kejaran mobil yang sangat intens dan seru di jalanan. Kata Unhinged yang menjadi judul film ini mengacu pada kata sifat yang bermakna perilaku manusia yang sudah kehilangan kendali atas moral, alias perilaku yang unnecessarily berbahaya yang timbul sebagai reaksi terhadap lingkungan sekitar. Dan unhinged tersebut bukan hanya menunjuk kepada tokoh si Russell Crowe. Hampir seluruh pengguna jalan dalam film ini, termasuk Rachel, bisa terjerumus ke dalam kategori unhinged. Film ini menciptakan dunia yang jalanannya benar-benar bikin stres serta penuh oleh perilaku berbahaya dari pengendara. Melihat kecelakaan-kecelakaan yang terjadi sebagai dampak dari kejar-kejaran Rachel dengan karakter si Crowe membuat kita miris duluan. Ada satu pengemudi yang nabrak, kita kasian, tapi sekaligus kita tahu bahwa si pengemudi itu ngendarain mobil sambil main hape atau ada juga yang sambil benerin make up.
Permainan dinamika moral seperti inilah yang membuat Unhinged asik untuk ditonton. Kita tahu Rachel adalah yang dikejar, tapi kita juga melihat bahwa dialah yang ‘nyari masalah’ duluan. Buatku malah si Rachel ini annoying banget. Membuatku teringat kepada emak-emak di jalanan yang suka ngotot duluan. Si Pria Gede pun tidak dilepas untuk menjadi monster psikopat begitu saja, sebab naskah malah membuat kita terlebih dahulu mengetahui si karakter ini punya hari yang lebih parah daripada Rachel. Tidak ada tindakan yang mutlak dapat kita benarkan ataupun kita persalahkan. Satu lagi treatment menarik yang diberikan kepada tokoh jahat di film ini adalah perihal bahwa dia sama sekali tidak takut polisi. Tidak takut ketangkep. Jika pada film-film lain tokoh jahat atau tokoh kriminal biasanya beraksi sembunyi-sembunyi alias takut ketahuan – kebanyakan yang diangkat adalah soal penjahat itu actually lebih takut daripada calon korbannya -, maka pada film ini kriminalnya justru membunuh di siang bolong. Di depan mata orang banyak. Dengan kasual dia bilang kepada Rachel “cari televisi, akan ada video apa yang kulakukan kalo kau tak percaya” yang menandakan bahwa dia fully aware sedang direkam dan diviralkan oleh smartphone-smartphone yang mengintip ketakutan. Dia tak peduli. Dia sudah nothing to lose, dan inilah yang membuat karakter tersebut menjadi terasa sangat berbahaya.

Tidak ada alasan apapun di dunia yang membuat kita jadi bisa berbuat kasar dan gak sopan terhadap orang lain. Kita bisa menyalahkan pemerintah atau bahkan hidup yang gak adil, namun itu bukan berarti kita wajar untuk lepas kendali. Melainkan kita harus ingat bahwa yang dibutuhkan oleh dunia yang semakin hari semakin keras ini justru adalah setitik kecil tindak kebaikan hati. Secercah kesopanan dan pengertian terhadap sesama. So sort your life out, don’t blame anyone, and just be nice!

 
Selain dinamika moral tadi selebihnya Unhinged berjalan lurus dan blak-blakan saja. Memenuhi statusnya sebagai thriller aksi dengan kecepatan tinggi. Film ini tidak lupa untuk memberikan momen kecil yang memperlihatkan si tokoh utama belajar dari kesalahan yang sudah mentrigger semua kerusuhan di cerita. Ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa Rachel sudah mengakui kesalahannya tanpa membuat kita jadi membenarkan perbuatan tak-bertanggung jawab yang juga ada di film ini. Keberhasilan tertinggi film ini memang pada relasi ancam mengancam antara Rachel dengan pengejarnya. Namun masalah kemudian hadir karena cerita ini butuh untuk memenuhi durasi, dan sebagaimana thriller umumnya, butuh banyak ‘korban’ dan elemen-elemen lain supaya tensi dan pertaruhan karakter terus meningkat. Saat berupaya mengisi hal-hal tersebutlah, Unhinged perlahan merosot dari cerita dan moral karakter yang compelling menjadi sesuatu yang terlalu sensasional sebagai gambaran kejadian nyata (film ini toh memang menilik kepada keadaan masyarakat kita yang semakin kasar dan pemarah)

Emak-emak bermotor lebih galak daripada polisi

 
 
Mulai dari pilihan blo’on yang dipilih karakter (supaya alur cerita tetap bisa jalan dan film gak tamat sebelum 90-menit), hingga ke karakter yang udah kayak superpower, ada begitu banyak hal yang tampak tak masuk di akal tercuatkan oleh cerita. Level kekerasan yang ditunjukkan juga tak konsisten. Misalnya, pukulan pria segede karakter si Crowe ini di satu titik langsung membuat pria dewasa tak berkutik, tapi di lain kesempatan seorang wanita bisa makan bogem tersebut berkali-kali tanpa banyak damage yang terlihat. ini diikuti oleh aksi film ini yang mengalami kemunduran saat berpindah dari aksi di jalanan ke aksi berantem manusia melawan manusia. Final konfrontasi pada babak ketiga film ini terlihat generik, seperti pada film-film thriller 90an. Lengkap dengan one-liner cheesy pamungkas yang ‘diludahkan’ oleh protagonis ke penjahat. Semakin merosot lagi karena kejadian-kejadian yang menghantar kita ke sana mulai bergantung pada banyak unsur kebetulan. Penjahat yang kebetulan berhenti di depan rumah tempat protagonisnya bersembunyi. Protagonis yang tau di mana persisnya dia harus menunggu si penjahat muncul. Film mulai tampak memaksakan kejadian. Polisi diminimalis, baik jumlah maupun perannya, supaya bisa dapat berjalan (dan supaya kita memaklumkan kenapa penjahat terang-terangan seperti itu butuh waktu lama banget untuk terlacak dan tertangkap). Dan satu-satunya pembelaan cerita untuk hal tersebut adalah mereka sudah mengimplikasian ‘kelangkaan’ polisi itu pada montase berita-berita di awal film.
 
 
 
Dunia memang sudah edan, dan film ini tidak membiarkan kita untuk meratapi keedanan tersebut. Melainkan menyuruh kita untuk melihat dengan melotot ngeri seberapa edannya dunia tersebut bisa terjadi. Di jalanan, orang-orang yang salah bisa lebih galak. Malah, kalo kau tidak galak, maka kaulah yang salah. Film ini jadi tontonan yang menghibur karena mengarah kepada dampak mengerikan dari perbuatan tersebut. Tapi kemudian poin dari film ini menjadi mengecil tatkala film seperti mulai memaksakan kejadian dengan pilihan-pilihan bego dari karakter dan beberapa peristiwa kebetulan. Ceritanya terlepas dari frame ‘problem-nyata’, dan dengan bobot yang sudah minim karena arahan tadi, film sekarang hanya punya ‘menghibur’ sebagai garis finish.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UNHINGED.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Benarkah masyarakat sosial kita turut menjadi masyarakat yang pemarah yang tidak ramah? Kenapa menurutmu orang-orang suka berantem di jalanan?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Leave a Reply