“If you want something done, do it yourself”
Musik adalah magic. Untuk banyak orang, musik merupakan obat personal. Nada-nada yang dapat membawa beragam emosi dan mampu merepresentasikan banyak perasaan. Seperti sihir, musik bisa mempengaruhi orang tanpa-pandang bulu. Bahasanya adalah bahasa jiwa, sehingga menyentuh tanpa-limitasi. Film animasi terbaru dari Studio Ghibli berjudul Earwig and the Witch ini literally memasukkan musik dan sihir sebagai tema ceritanya. Ya, kalian gak salah membaca. Film ini memang tidak terlihat seperti animasi Ghibli yang biasa, dan itu karena sutradara Goro Miyazaki bereksperimen dengan menyulap animasi kali ini ke dalam efek komputer sepenuhnya. Jadi, dengan begitu kita bisa bilang ada tiga hal-ajaib yang bekerja membentuk film ini. Keajaiban musik, keajaiban komputer, dan keajaiban sihir/fantasi itu sendiri. But, why oh why, saat ditonton film ini malah terasa jauh dari keajaiban film-film Studio Ghibli yang biasa?
Goro Miyazaki seperti gagal memenuhi janji akan keajaiban-keajaiban yang sudah disiapkan. Seperti pada cerita, misalnya. Set up film ini sudah demikian menarik. Ini adalah kisah seorang anak perempuan di panti asuhan yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang penyihir. Adegan opening film ini mempertontonkan aksi sang ibu – penyihir berambut merah – di atas sepeda motor, melaju karena dikejar-kejar oleh sebuah mobil kuning. Si Ibu lantas menyihir sehelai rambut-merahnya menjadi cacing, yang dilemparkan ke kap depan mobil yang tengah dalam proses menunjukkan gerigi-gerigi yang siap menerkam. It is magical and fantastic. Ketika si penyihir menitipkan bayi dalam gendongannya di depan sebuah panti asuhan, kita excited untuk melihat ke depannya bakal seperti apa. What kind of magic would the baby girl had? Petualangan seperti apa yang bakal anak itu lewati?
Ternyata, enggak ada lagi petualangan seheboh itu kita jumpai hingga akhir cerita. Setting cerita film ini berpindah dari panti asuhan ke rumah; settingnya actually menyempit. Jadi ceritanya, beberapa tahun kemudian, si anak (diberi nama Earwig oleh sang ibu, tapi diganti jadi Erica Wigg oleh matron panti) diadopsi oleh pasangan yang tampak aneh dan nyeremin. Erica dibawa tinggal di rumah mereka. Sebenarnya masih bisa menarik, karena pasangan yang mengadopsi Erica ternyata bukanlah pasangan. Mereka bahkan bukan ‘manusia’ biasa. Mereka adalah dua orang penyihir yang tinggal serumah. Harapanku di titik itu masih menyala. Kupikir rumah tersebut bakal jadi tempat fantastis dengan segala sihir dan keanehannya. Kupikir rumah tersebut akan jadi panggung bagi Erica untuk bertualang, mengeksplorasi kekuatan sihirnya sendiri. Tapi sekali lagi, film ini mengayunkan ekspektasi kita, tanpa menyambutnya. Ekspektasi kita jatuh berdebam di tanah!
Earwig and the Witch actually adalah salah satu film panjang terpendek dari Studio Ghibli. It’s clocked at 1 hour and 22 minutes. Dan sekarang aku jadi menyadari bahwa satu-satunya keajaiban dari film ini adalah membuat durasi sependek itu menjadi terasa lama. Film ini di tengahnya diisi oleh plot poin yang repetitif dan dipanjang-panjangain, baru kemudian kita sampai di bagian akhir yang mulai menarik, dan film ini udahan. Berhenti tepat ketika apa yang tampak seperti plot poin berikutnya datang. Sebagian besar film dihabiskan di ruangan, dapur penyihir; tempat Erica disuruh-suruh nyiapin bahan-bahan (motongin kaki kodok, menyilet kulit ular, atau sesekali ke halaman belakang motongin akar-akar herb). Jika bukan karena si kucing yang bisa bicara dan pintu yang menghilang, aku bisa-bisa lupa kalo yang kutonton ini bukan film Cinderella yang Cinderellanya tengil abis.
Ya, percikan menarik film ini memang hanya datang dari Erica itu sendiri. Yang karakternya dibikin pinter tapi bandel. Desain Erica aja dibikin mencuat dari anak-anak lain; dia punya dua ikat rambut yang berdiri seperti antena serangga (mungkin ini salah satu alasan kenapa dia diberi nama sama seperti nama serangga). Erica benci diadopsi dan dia berusaha untuk enggak terpilih setiap kali ada keluarga yang datang ke panti. Alasan Erica gak suka diadopsi bukan karena dia gak mau ninggalin teman-teman dan sayang sama semua orang di panti. Melainkan karena baginya hidup di panti itu enak, karena banyak yang bisa disuruh-suruh. Dia mendapatkan pelayanan dari orang-orang, dikasih makanan enak (dia punya pie kesukaan), dan bebas bermain-main sepanjang waktu. Kita melihat Erica melanggar jam malam dan kemudian ngeles sehingga membuatnya semakin disayang oleh matron panti. Erica ini manipulatif banget. Dia punya sahabat bernama Custard, yang fungsinya untuk ia suruh-suruh. Erica bahkan gak pamit sama si sahabat begitu dia diadopsi. Karakter Erica penuh oleh flaw, dan ini membuatnya menarik. Dia cerdik, berani, mandiri, tapi ia menggunakan semua itu untuk memastikan dirinya mendapat pelayanan maksimal. Maka, ketika dia diadopsi dan ternyata malah disuruh jadi asisten (baca: babu) si penyihir galak nyiapin ramuan-ramuan, motivasi Erica tersebut jadi mendapat tantangan. Inilah yang jadi whole story. Erica disuruh-suruh, dia dendam, dia akhirnya belajar sihir sendiri (dibantu ama kucing hitam, ‘familiar’ si penyihir), dan tak lupa dia menggunakan manipulasi untuk membuat si penyihir galak bertengkar dengan penyihir cowok yang jangkung dan misterius. Tujuan akhir Erica adalah supaya dia jadi dapat pelayanan maksimal dari kedua orangtua asuhnya – seperti ketika dia dilayani di panti.
Terlalu sibuk kian-kemari memikirkan rencana bikin mantra dan ramuan balas dendam demi membuat para penyihir tunduk melayaninya, Erica gak menyadari bahwa dia sebenarnya lebih dari sekadar capable dalam melakukan semuanya sendiri. I think the best take away yang bisa kita ambil dari karakter bandel dari Erica ini adalah bahwa dia enggak manja. Dia mandiri banget malah. Karakter ini menunjukkan kepada kita kekuatan dari determinasi dan mengerjakan segalanya sendiri. Being best at who we are. Sekiranya Erica sadar itu, pastilah dia enggak akan lagi merasa perlu untuk dilayani oleh orang lain.
Plot/arc Erica benar-benar aneh, bahkan untuk standar Jepang yang terkenal suka hal aneh itu sendiri. Film ini memberikan apa yang diinginkan oleh si protagonis, dan yang diinginkannya itu bukanlah hal terpuji. Dari cerita ini terbangun, sepertinya bakal ada pembelajaran yang bakal didapat oleh Erica, tapi cerita gak pernah sampai ke sana. Karena suddenly fokus cerita berpindah, ketiga karakter ini jadi bersatu karena musik, dan kita melihat flashback yang intriguing tentang hubungan sebenarnya antara si dua penyihir galak dengan ibu Erica. Dan film usai. Erica sama sekali tak tahu atau malah tak tampak peduli dengan siapa dirinya sebenarnya. Dia hanya peduli dengan penyihir berambut merah karena si penyihir adalah vokalis band yang ia suka. Dan masalah di antara para penyihir dewasa di opening itu, kita hanya dibiarkan menduga-duga. Film berakhir dengan abrupt sekali. Aku gak tahu cerita materi aslinya sepeti apa (film ini diadaptasi dari cerita anak karangan Diana Wynne Jones) Aku juga gak tau apakah film ini memang diniatkan bakal ada sambungannya, atau malah bakal jadi film serial. Karena benar-benar menggantung, belum ada resolusi atau apapun dari ceritanya.
Sepertinya itu semua ada hubungannya dengan permasalahan pada gaya animasi yang dipilih oleh sang sutradara. Desain karakter dan dunia film ini sebenarnya oke-oke aja. Gaya Goro Miyazaki memang selalu ‘polos’ kayak karakter From Up on Poppy Hill, bahkan petualangan Tales from Earthsea. Malah si Earwig ini bisa dibilang karya Goro yang desain karakternya paling nyentrik. Melakukan animasi yang sepenuhnya komputer alih-alih hand-drawn boleh jadi memang diniatkan sebagai gebrakan, tapi itu juga dapat menciptakan masalah baru, baik itu di biaya maupun dari pengerjaan. Film-film Ghibli kan biasanya penuh fantasi. Jikapun settingnya di lingkungan sehari-hari, kejadiannya pasti dibuat seemosional mungkin. Maka aneh aja, ketika mereka mengusung cerita fantasi, membuatnya jadi 3D, tapi ternyata momen-momen fantasi itu sedikit kali ditampilkan. Kenapa ‘mengurung’ cerita di dalam rumah ketika kini kau bermain dengan visual yang unik – yang di luar kebiasaan? Ketika ini adalah waktumu untuk membuktikan mampu bikin fantasi yang lebih wild dan fun dari ayahmu? Menurutku, bagi Goro sendiri, film ini jelas merupakan tantangan sekaligus pembuktian. Sehingga dia besar kemungkinan bukannya enggak mau untuk membuat film ini wah, melainkan ya karena keterbatasan teknis. Entah itu biaya, atau simply belum jago amat bikin animasi komputer.
Akibatnya film jadi gak banyak adegan fantasi, enggak banyak mengeksplor magic di luar ramuan-ramuan. Cerita pun gak bisa tuntas, aku pikir ini mungkin memang sengaja dipotong dengan harapan kalo laku, mereka bisa menyelesaikan cerita. Dan mereka berusaha melakukannya dengan elegan, sehingga film ini masih punya awal-tengah-akhir (meskipun enggak memuaskan dan plotnya terasa kayak gak benar-benar ada), memejeng ‘ending extra’ lewat kredit penutup (yang pakek animasi 2D seperti biasa, but actually nampak lebih hidup daripada keseluruhan film yang kita lihat ini) dan masih dianggap berdiri sendiri ketika hasil film ini flop dan gak bisa menyambung biaya.
Clearly, ini bukanlah yang terbaik yang dipersembahkan oleh Studio Ghibli. Dulu aku sempat bikin list Top-8 film Ghibli favorit, dan kehadiran film ini gak membuatku harus mengupdate apapun dari list tersebut. Walaupun filmnya punya karakter yang menarik, tapi ceritanya terasa bland dan belum sampai ke titik akhir. Tidak seimajinatif dan se-petualangan yang kita kira. Visual animasi komputernya pun tidak menambah apa-apa, malah jadi seperti penghalang utama yang menyebabkan film ini gak bisa bermain maksimal.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for EARWIG AND THE WITCH
Flashback yang memperlihatkan Ibu Erica dan dua teman penyihirnya sempat memperlihatkan seolah ada cinta romantis di antara beberapa dari mereka (atau malah semua?) Apakah kalian punya teori sendiri tentang itu? Apakah mereka terlibat cinta segitiga? Sebenarnya siapa ayah Erica?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA