Terhitung hingga ulasan ini beres ditulis, ada empat puluh delapan pertandingan Hell in a Cell yang telah diselenggarakan oleh WWE sejak pertama kali diciptakan 24 tahun yang lalu. Dari otak Jim Cornette-lah pertandingan kandang neraka ini berasal. Cornette melakukan ‘lempar batu sekali, dua burung kena’ saat menciptakan itu.
Konsep Hell in a Cell ini originally bukan sebagai gimmick pertandingan semata, melainkan juga untuk memperkenalkan karakter baru. Idenya adalah mereka ingin munculin karakter baru yang seram dan kuat di luar batas wajar manusia sebagai counterfeit dari karakter Undertaker. Musuh-abadi dari pegulat dengan kekuatan supernatural tersebut. Jadi membangun situasi untuk mendukung ‘ilusi’ karakter baru tersebut, supaya penonton dalam sekali lihat bisa langsung percaya bahwa monster ini adalah ancaman yang legit untuk Undertaker. Jadi, mereka membuat kandang, menempatkan Undertaker dengan Shawn Michaels (juara saat itu yang suka bermain curang dengan dibantu oleh rekan-rekannya) untuk bertanding di dalam, dan ngebuild up kandang tersebut sebagai struktur kuat yang akan menjamin tidak akan ada yang bisa mengganggu dua superstar yang bertanding di dalamnya. Dan datanglah Kane. Monster dengan topeng, dengan lampu merah redup dan ilustrasi api seolah dari neraka. Mencabik pintu kandang dengan gampangnya. The rest are history. Cornette sukses berat membentuk Kane, dan Hell in a Cell itu sendiri sebagai yang akan diingat oleh penonton selamanya.
Kenapa aku malah membahas kejadian berpuluh tahun lalu alih-alih langsung ngereview pay-per-view yang baru saja kita saksikan? Well, tentu saja untuk membandingkan. Yang tentu saja berkaitan erat dengan menilik keadaan produk WWE sekarang ini. Hell in a Cell jadi studi kasus yang menarik, karena jelas sekali dari sejarahnya tersebut, pertandingan ini benar-benar dibangun dengan konsep yang baik. Pertandingan WWE di tahun segitu benar-benar terkonsep dengan baik. Di era modern ini, sebaliknya, Hell in a Cell hanya terasa sebagai environment. Gimmick tanpa ada bobotnya. Malah, Hell in a Cell berubah menjadi pay-per-view yang selalu ada setiap tahun; tidak lagi dilangsungkan karena kebutuhan skenario. Kayaknya langka sekali sekarang ada match Hell in a Cell yang benar-benar memanfaatkan struktur kandang itu sendiri, entah itu untuk storyline seperti yang dilakukan Jim Cornette pada awalnya, atau sekadar untuk hardcore-hardcorean seperti yang dilakukan oleh Undertaker dan Mick Foley.
Beruntungnya kita, dalam acara yang disebut sebagai pay-per-view terakhir yang berada dalam kandang Thunderdome ini (bulan depan WWE akan kembali tampil di depan penonton di dalam arena), dua match Hell in a Cell yang diberlangsungkan sangat mewakili HIAC di era kekinian dan di era lampau!
Pertama adalah main eventnya; Drew McIntyre lawan Almighty Bobby Lashley. Pertandingan Hell in a Cell mereka sangat terkonsep. Udah kayak match di jaman dulu itu. Di sini, kandang itu benar-benar kembali difungsikan sebagai ‘penangkal gangguan’. Dibuild-upnya adalah supaya Lashley tidak bisa dibantu oleh MVP, manajernya. Karena stake McIntyre juga dibuat gede; ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menantang kejuaraan. Jika dia kalah, maka dia tidak bisa lagi menantanng kejuaraan ini selama masih dipegang oleh Lashley. See, ada desain di baliknya, ada stake dalam cerita. Inilah sebabnya kenapa partai ini berhasil membuat aku tertarik untuk nonton lagi. Not gonna lie, belakangan ini memang minatku untuk ngikutin Raw dan Smackdown berkurang jauh. Aku bahkan gak bergairah untuk mengulas WrestleMania Backlash bulan lalu – karena aku benar-benar benci sama namanya hahaha… Cerita Lashley dan McIntyre – walaupun pertandingan mereka kerap diulang-ulang – tak pelak membuat aku penasaran juga sama eksekusi konsepnya.
For the most part, the match was really great. Cerita dan konsep itu dengan cepat dipick up oleh kedua superstar yang memainkan ‘tarian’ dengan tempo cepat. Dan, katakanlah, brutal. Karena memang banyak menggunakan senjata-senjata, seperti kursi, kendo stick, meja, steel step, dan lain-lain. Mereka juga mainnya keras banget, jadi semakin terasa urgennya pertandingan ini. Terutama bagi McIntyre yang berhasil bikin dia kelihatan perlu banget untuk menang. Konsep Hell in a Cell itu dimainkan dengan baik saat ternyata justru McIntyre-lah yang membuat kandang itu bisa ‘dijebol’ oleh MVP. Sayangnya, cerita yang dimainkan di sini mulai terasa payah saat masuk ke pilihan ending. Dan inilah salah satu penyakit dari penulisan WWE jaman sekarang ini.
Mereka tau mereka punya talent-talent yang luar biasa. Mereka terbukti bisa memanfaatkan talent tersebut untuk match yang seru. Namun seringkali match akan berakhir kentang karena WWE gak punya visi storyline yang jelas. Mereka hanya mengulang formula yang sama. Sehingga banyak match WWE jadi terkesan jelek, berkat ending yang tidak memuaskan. McIntyre dan Lashley udahan lewat pin yang simpel. Begitu juga dengan Cesaro dan Seth Rollins yang matchnya kita saksikan cukup seru. The right person is winning, hanya saja cara kalahnya selalu entah itu terasa tidak konklusif, atau tidak membantu apa-apa terhadap superstar yang kalah.
Contoh terparah dari kasus ini dapat kita lihat pada pertandingan antara Rhea Ripley melawan Charlotte. Man. Aku gak ngerti kenapa WWE terus saja memprotek Charlotte padahalnya harusnya mereka ngepush Rhea, si juara, yang actually disukai oleh penonton. Dalam match ini keliatan banget, Charlotte dibikin kuat sementara Rhea tampak seperti orang yang seperti berusaha keras untuk membuktikan diri berada di level Charlotte. Storyline kayak gini oke saat Rhea baru debut tahun lalu. Tidak sekarang. Match mereka berakhir awkward oleh DQ yang seolah Rhea terdesak banget. Partai mereka ini harusnya jadi final buat feud mereka, dengan dilangsungkan di Hell in a Cell. Tapi kita semua tahu, alasan match ini tidak di dalam kandang dengan aturan no-dq itu adalah karena WWE enggan membuat Charlotte kalah bersih.
Partai Hell in a Cell kedua (meskipun lebih tepatnya pertama, karena jadi partai pembuka) tidak punya konsep. Persis kayak HIAC modern kebanyakan. Hanya pertandingan dengan senjata, di dalam kandang. Kandangnya tidak digunakan maksimal, paling cuma untuk benturin-benturin musuh dan dipanjat-panjat dikit. Namun toh, pertandingan ini tetap asik untuk diikuti karena Bayley (I called her ‘Lady Loki of WWE’) dan Bianca Belair benar-benar sudah matang dalam permainan karakter masing-masing. Terutama Bayley, karakternya sudah fleksibel banget. Sehingga, kalah pun gak bakal melukai karakternya. They know this dan benar-benar bermain sesuai keunggulan masing-masing. Kita melihat penggunaan rambut Belair dalam cara yang lumayan kreatif. Begitu juga dengan taktik heel Bayley yang gak kalah kreatifnya. Jika ini bukan Hell in a Cell, aku akan berikan nilai tinggi untuk match ini. Really. Satu-satunya hal bego di sini cuma Michael Cole yang sekali lagi membuktikan dia ngomentari match itu sambil baca skrip doang. Bayley belum ngambil double kendo stick aja, si Cole udah bilang duluan hahaha…
WWE memang masih jadi tempat tujuan jika kita mencari hiburan gulat yang gak sekadar aksi, tapi juga kuat di karakter. Cuma memang, nonton WWE ini kudu siap sebel aja. Karena bookingannya yang seringkali menurunkan nilai match-match yang tadinya sudah bagus. WWE bagus dalam gimmick match, tapi mereka terlalu cuek dan gampang banget mengorbankan konsep dan gulat itu sendiri. Match Alexa Bliss dan Shayna Baszler misalnya, it’s nothing melainkan cuma untuk nunjukin Alexa kini punya ilmu hipnotis/merasuki orang. Dua HIACnya ada yang kuat di konsep, tapi eksekusi malesin, dan ada juga yang menghibur tapi gak ada konsep. Pada akhirnya memang, gulat standar (tapi dimainkan dengan penuh passion dan chemistry) seperti yang disuguhkan – berkali-kali kepada kita – oleh Sami Zayn dan Kevin Owens lah yang menjadi MATCH OF THE NIGHT
Full Results:
1. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP HELL IN A CELL Bianca Belair bertahan sebagai juara atas Bayley
2. SINGLE Seth Rollins mengalahkan Cesaro
3. SINGLE Alexa Bliss ngalahin Shayna Baszler
4. SINGLE Sami Zayna beat Kevin Owens
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte menang DQ dari juara bertahan Rhea Ripley
6. WWE CHAMPIONSHIP HELL IN A CELL Almighty Bobby Lashley tetap juara mengalahkan Drew McIntyre
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
Kangen dengan masa – masa HIC di attitude era yg full of blood & gore..
Apakah mungkin moment2 legend itu akan terjadi lagi di masa skrg.. Hiks..
Zaman sekarang gore-nya mencongkel mata bola pingpong wkwkwkwk