MARLEY Review

“A dog doesn’t care if you are rich or poor, educated or illiterate, clever or dull. Give him your heart and he will give you his.”

 

 

Walau mengaku bujangan kep… eh salah, itu lagu Yuni. Walau mengaku penyayang binatang, tapi honestly dulu aku peduli memelihara hewan cuma kalo ‘peliharaan’ tersebut bisa diajarin nyerang orang, atau bisa membawaku terbang, atau punya berbagai alat ajaib di dalam kantongnya. Waktu kecil dulu aku belum kebayang hubungan dengan hewan peliharaan itu bisa menjadi sangat emosional. Dulu aku cuma melihara tamagotchi, dan memang aku bisa ’emosional’ kalo udah capek-capek dirawat, dia mati. Alias emosi dalam artian ngamuk, karena meliharanya masih dalam tahap menganggap sebagai game. Padahal melihara yang sebenarnya itu bisa membawa kedekatan. Pets bisa seperti sahabat, bahkan lebih dekat daripada keluarga. Waktu baru melihara kucing beneran lah (itupun awalnya karena loteng kafeku banyak tikus), aku mengerti. Tadinya aku pengen bicara tentang hal tersebut lebih lanjut, lewat film Marley garapan M. Ainun Ridho. Aku excited pengen nonton ini, karena merasa sekarang aku bisa semakin relate dengan cerita persahabatan manusia dengan hewan peliharaan. Ternyata Marley bicara lebih banyak di balik persahabatan tersebut. Namun sayangnya, film ini fell flat, tidak mampu menceritakan semuanya dengan baik. Mengatakan hanya membahas di permukaan pun, film ini belum berhasil.

Ini kali kedua dalam waktu dekat aku nonton film Indonesia yang mengangkat hewan peliharaan sebagai topik (atau mungkin bahkan pemain) utama. Sebelumnya ada June & Kopi (2021). Sehingga mau gak mau, aku akan membandingkan. Marley punya bahasan yang lebih banyak. Ceritanya tentang seekor seekor pitbull yang lagi ngumpet dari kejaran preman bayaran tukang daging, bertemu dengan Doni (Tengku Tezi jadi guru yang asik), pemuda yang memberinya makan. Si pitbull lantas ngikutin Doni si baik hati pulang. Doni jadi memeliharanya, memberinya nama Marley – sesuai musisi favoritnya. Masalah dimulai ketika Doni yang seorang guru matematika, gak bisa gitu aja ninggalin Marley di rumah selama mengajar. Doni harus membawa Marley ke sekolah, yang berujung membuatnya dipecat. Hidup menjadi semakin berat. Tapi sebaliknya, karena Marley-lah, guru kita itu belajar yang namanya cinta. Yang bakal mengubah hidupnya.  

124847791_1740492739436816_8121578112268320359_n
Daripada sok nyelametin satwa-liar langka, noh di jalanan banyak anjing dan kucing yang siap untuk diberi kasih sayang.

 

 

Ada bahasan asmara – Doni naksir-naksiran sama seorang bu guru bernama Vina (Tyas Mirasih, another alumni gadsam main di another film about human and dog) tapi dia gak kunjung melakukan gebrakan karena Vina ternyata sudah punya anak, sehingga most of time, relasi mereka tampak awkward. Lalu ada bahasan soal pendidikan; Doni ini guru yang punya pandangan maju tentang bagaimana cara yang fun dan efektif ngajarin matematika kepada anak SD. Supaya mereka gak stress menghapal dan sebagainya. Doni justru pengen membuat anak-anak merasa happy dan bermain-main dengan angka-angka. Soal pendidikan ini jadi concern utama film, cerita akan benar-benar membandingkan cara ngajar tradisional yang dianut sekolah di negara kita hingga saat ini dengan cara yang lebih, katakanlah, modern. Film akan memperlihatkan mana yang lebih baik,Jika serta menunjukkan walau cara tersebut lebih baik, tidak segampang itu untuk diterapkan karena guru-guru yang lebih ‘tradisional’ – guru-guru yang masih gak mau segampang itu menerima ide Doni masih banyak. Lalu ada juga pembahasan hingga ke soal perdagangan daging anjing yang semakin meliar. Persahabatan Doni dan Marley membentang melingkup semua itu. Kehadiran Marley menjadi warna, dan sedikit mempermudah Doni menelan masalah-masalahnya. Karena at least now, dia punya seseorang untuk diajak ngobrol. Punya tempat untuk mencurahkan hati. Enggak lagi bicara kepada foto-foto di rumahnya.

Hewan peliharaan adalah companion yang setia. Terutama seekor anjing. Anjing gak akan peduli siapa dirimu. Miskin atau kaya. Pintar atau bodoh. Begitu mereka merasakan hati tulusmu, maka kau telah mendapat teman seumur hidup.

 

Jika dikembangkan dengan baik, Marley akan bisa jadi lebih padat dan kompleks dibandingkan June & Kopi. Inilah kenapa film itu bukan semata soal ide cerita, gagasan, atau moralnya saja. Yang nomor satu dari sebuah film adalah penceritaannya. Marley ternyata bercerita dengan lebih simpel, dalam artian yang not-good. Penceritaan Marley hanya pada batasan ‘tell’, tidak melibatkan ‘show’. Sekalinya ‘show’, yang diperlihatkan malah sesuatu yang either diceritakan terlalu cepat, atau kurang relevan (misalnya porsi-porsi komedinya). 

Persahabatan antara Marley dan Doni misalnya. Hanya di awal-awal saja yang beneran terasa. Doni memandikan, ngasih makanan, lalu ada juga dia marah karena Marley ngacak-ngacak rumah. Makin ke akhir, Marley jadi hanya kayak berada di sana aja. Doni yang dipecat, berusaha membangun tempat mengajar sendiri. Dia melalui banyak kesulitan, dan malah jadi kayak berantem ama Tuhan. Marley agak terpinggirkan. Momen film kelihatan benar-benar berusaha langka sekali. Paling cuma pas ngasih nama. Entah itu nama tempat ngajarnya, ataupun nama Marley. Diperlihatkan proses berpikir mendapatkan nama tersebut, dan semua itu melibatkan Marley. Aku suka momen-momen seperti itu. Walaupun aku kurang sreg nama yang diberikan adalah Marley. It is too easy. Sudah ada film ikonik tentang persahabatan manusia dan anjing yang berjudul Marley & Me (2008) yang tebak siapa nama karakter anjingnya. Ada banyak nama lain; kalo mau nama musisi pun, banyak nama yang lain. Tapi film memilih nama yang membuat orang teringat sama film lain. Film yang bercerita dan dibuat dengan jauh lebih baik. Oh, aku yakin dari nama/judulnya saja, calon penonton akan membanding-bandingkan film ini, dan hasilnya ‘matematika’ perbandingan tersebut gak akan baik untuk film ini.

Film lebih banyak bercerita lewat montase. Doni membangun tempat ngajar; lewat montase ngumpulin murid-murid; lewat montase. Doni ngajarin murid-murid; lewat montase. Padahal ini momen-momen yang tepat untuk menumbuhkan atau menunjukkin development, tapi film lebih memilih untuk memperlihatkan sekelebat permukaan itu saja. Film ini menyebut Doni punya metode unik dalam mengajar. Kita sama sekali gak pernah melihat keunikan itu seperti apa. Doni cuma tampak seperti guru yang akrab dan pandai membawa dirinya di hadapan anak-anak (or di hadapan siapapun lawan bicaranya for that matter) Film yang rajin, film yang tahu apa yang sedang ia bikin, tentu akan menciptakan metode Doni dan menampilkannya kepada kita. Jangankan bikin kreasi, film ini kameranya saja enggak cepat tanggap. Ada adegan ketika Marley diberikan makanan gratis oleh orang dan Doni bilang “ayo ucapin terima kasih”. Adegan tersebut dari awal hingga akhir direkam dengan kamera wide dari depan doang. Mereka enggak memperlihatkan reaksi Marley. Mereka gak memberi kita informasi apapun dari karakter yang namanya jadi judul film ini. Sedikit sekali Marley tertampilkan. Film lebih suka memperlihatkan kamera seolah dari pov Marley. Padahal cara seperti itu gak bercerita banyak. Kita tetap gak tau apa yang dirasa oleh Marley. Lebih efektif merekam wajah Marley saat dia melihat orang. Tapi tentu saja itu mengharuskan sutradara benar-benar bisa ngedirect Marley.

marley5fe543db90c691ca5361aa8488f52236
Spoiler penting banget: Plot twist! Marley ternyata cewek!!

 

 

Contoh lain film ini cuma ngemeng tanpa ngasih bukti adalah ketika Doni bilang salah satu muridnya berbakat jadi pelawak gede. Kita gak pernah tuh melihat murid melawak. Sebagai orang yang lucu. Cuma ada satu dialog yang dia ngelucu, tapi penulisannya kayak orang yang berusaha ngelucu sehingga dibawakan pun gak lucu. Yang diberikan waktu lebih banyak justru momen pedekate Doni kepada Vina. Yang hampir semuanya tampak awkward. Tampang Vina entah kenapa selalu kayak lagi tertekan atau lagi melakukan sesuatu yang salah. Dan dialognya pun luar biasa basa-basi. Pernah gak baca komen di Instagram “Ih kamu cantik banget” “Enggak kok, kamu yang cantik” “Cantikan kamu, ih” “Yang ngelike juga semuanya cantik”. Dialog-dialog film ini, terutama pada bagian Doni dan Vina terasa se’forkal’ itu. Tau gak forkal apaan. Formal tapi dangkal. 

Dengan kualitas dialog seperti itu, hanya ada ruang sempit untuk aktor-aktor kita memaksimalkan akting mereka. Doni yang paling mending. Tetangganya juga cukup oke, meski karakternya satu dimensi. Dan memang karakter lain cuma satu dimensi. Untuk ngelucu, ngelucu aja. Untuk galak, galak aja. Khusus penjahat boleh ngelucu sambil galak. Tapi harus bego. Karakter-karakter anak-anak jangan ditanya. Mereka cuma kayak template karakter pendukung anak di film Indonesia. Dijauhkan dari segala emosi manusiawi. Cuma sebatas melafalkan dialog dengan suara yang seanak-anak mungkin. Kualitas penulisan cerita anak film Indonesia kebanyakan masih sebatas ini. Belum banyak yang berani mengembangkan lebih daripada ini. Cuma memang anehnya film ini, tadinya aku mau bilang kalo film ini sugarcoat aja – mengelak dari ngasih yang terlalu dalam untuk anak-anak. Eh, tapi kemudian datanglah ending yang katakanlah tragis. Berani juga film ini mengirim anak-anak pulang dengan cerita kematian. Tapi yang sesungguhnya mati di sini adalah plot, karena dengan ending seperti itu tidak ada lagi karakter yang benar-benar punya perkembangan di sini.

Jadi aku gak ngerti kenapa film memilih ending seperti itu. Akhiran yang merenggut semua orang dari kesempatan melingkarkan arc mereka. Satu-satunya alasan yang terpikirkan olehku adalah film ini ingin beda dari Marley & Me. Film ini pikir mereka akan ngeswerve kita dengan ending yang, katakanlah, kebalikan dari Marley & Me. Ending yang kalo mereka ditanya apakah film ini niruin Marley & Me, maka mereka bisa menjawab dengan sumringah “Enggak dong, endingnya aja beda, tonton aja”.

 

 

 

Untuk nyimpulin perbandingan yang kuangkat di awal; June & Kopi masih pilihan tontonan lebih baik dari film ini (perbandingan ke Marley & Me jangan ditanya!). Film ini sebenarnya manis, persahabatan Doni dan Marley cukup hangat. I want to see more of them doing things together. Aku cukup senang bisa nonton mereka dalam rangka menjelang satu tahun kematian kucingku, Max. Tapi film ini punya bahasan lebih banyak, dan gak mau benar-benar menggalinya. Film cenderung memilih bercerita dengan sangat aman – kalo gak mau dibilang amat malas. Sehingga, jangankan menggigit, film ini bahkan enggak menyalak. 
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MARLEY.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian punya cerita seru/lucu/haru bersama hewan peliharaan kesayangan?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

Leave a Reply